• Tidak ada hasil yang ditemukan

Draft Pedoman Asuhan Antenatal Terintegrasi 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Draft Pedoman Asuhan Antenatal Terintegrasi 2009"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

DRAFT PEDOMAN

ASUHAN ANTENATAL TERINTEGRASI

2009

(2)

DAFTAR ISI

BAB I:

PENDAHULUAN

1

A. Latar Belakang

1

B. Pelayanan Antenatal Care Terpadu

2

Definisi

2

Tujuan

2

Manfaat

3

Cara Menggunakan Buku Pedoman

3

Integrasi ANC dan Standar Pelayanan ANC

3

Bentuk Kegiatan

3

Kerangka Kerja

4

BAB II:

STANDAR PELAYANAN ANC TERPADU

6

Definisi

6

Latar Belakang

6

Tujuan

6

Struktur

6

Muatan Struktur

7

Penyusunan Standar

7

Sasaran

8

Pemanfaatan

8

BAB III

PENGINTEGRASIAN PELAYANAN DALAM ANC

TERPADU

A. Manajemen Pelayanan ANC

10

B. Pelayanan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal

12

C. Pencegahan Sipilis Dari Ibu Ke Anak

15

D. Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)

17

E. Suplementasi Zat Besi dan Asam Folat

18

F. Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC)

20

G. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT)

22

H. Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK

24

BAB IV

PENUTUP

26

(3)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini telah terjadi penurunan yaitu dari 307/100.000 Kelahiran Hidup (KH) pada tahun 2002, turun menjadi 228/100.000 KH pada tahun 2007 (SDKI, 2007). Angka ini sudah mendekati sasaran RPJMN 2004 - 2009 yaitu 226/100.000 KH, dan diupayakan terus untuk mencapai target pencapaian MDG 102/100.000 KH pada tahun 2015. Penyebab langsung dari kematian ibu adalah perdarahan (28%) , hipertensi dalam kehamilan (24%), infeksi (11 %), abortus tidak aman (5%) dan persalinan lama (5%).

Departemen Kesehatan sebagai sektor yang bertanggung jawab secara langsung dalam Percepatan Penurunan AKI telah berupaya secara maksimal dengan beberapa upaya terfokus antara lain : Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), Kemitraan Bidan dan Dukun, PKM PONED, Unit Transfusi Darah di Rumah Sakit mampu PONEK (UTD RS PONEK) dan pemenuhan Sumber Daya Kesehatan Ibu. Kesehatan Ibu dan Anak merupakan salah satu prioritas utama Depkes, dan salah satu indikator utama dalam RPJMN periode 2005 - 2009. Percepatan penurunan AKI dilaksanakan melalui Strategi Making

Pregnancy Safer (MPS).

Cakupan pelayanan asuhan antenatal saat ini sudah cukup baik, walaupun di beberapa Kabupaten/Kota masih terdapat disparitas. Cakupan K1 (kunjungan antenatal ke-1) sudah mencapai 92,65% dan K4 (kunjungan antenatal ke-4) sudah mencapai 86,04% (Laporan Tahunan Dit Binkes Ibu, 2008), tetapi persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) baru mencapai 80,36%. Sejalan dengan telah tingginya akses pelayanan asuhan antenatal tersebut, maka kualitas asuhan antenatal juga harus dimantapkan. Ibu hamil perlu mendapatkan perlindungan secara menyeluruh, baik mengenai kehamilan dan komplikasi kehamilan, serta intervensi lain yang perlu diberikan selama proses kehamilan untuk kesehatan/ keselamatan ibu dan bayinya.

Dari data yang ada saat ini prevalensi pada Wanita Usia Subur (WUS) yang mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK) mencapai 13,60% (Riskesdas, 2007) sedangkan prevalensi Anemia Gizi pada Ibu Hamil mencapai 40,1% (SKRT, 2007). Hal ini perlu mendapat perhatian karena sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan janin yang dikandungnya, dan kemungkinan timbulnya komplikasi kehamilan dan persalinan yang kelak dapat mengancam nyawa ibu.

Menurut SKRT 2001, persentase ibu hamil yang positif malaria di Jawa Bali sebesar 0,3%, Sumatera 3,8% dan di kawasan Indonesia Timur mencapai 3,9%. Namun pada daerah endemis malaria, data Ibu hamil yang memakai kelambu hanya 29,0% (SDKI, 2007). Hal ini perlu mendapatkan intervensi khusus mengingat malaria dalam kehamilan merupakan komplikasi yang berbahaya bagi ibu, janin dan bayinya. Demikian juga tuberkulosis (TB) dalam kehamilan dapat menimbulkan komplikasi pada ibu dan janinnya, oleh karenanya pada daerah dengan prevalensi infeksi TB yang tinggi, program DOTS TB perlu diintegrasikan dalam asuhan antenatal.

Sejak tahun 2000 Indonesia memasuki klasifikasi Epidemi terkonsentrasi untuk infeksi HIV, bahkan sejak tahun 2006 di Papua dan Papua Barat sudah memasuki klasifikasi Epidemi umum. Seiring dengan meningkatnya Cakupan HIV pada perempuan, maka program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke bayi (PMTCT/ Prevention of Mother to Child HIV

(4)

ingin Kehilangan Generasi karena terjangkit HIV. Perlu perhatian khusus untuk Keppri, Papua, Papua Barat, Bali dan Jawa Barat karena pada daerah tersebut telah terjadi perubahan metode penularan tertinggi dari Pengguna Napza Suntik (Penasun) menjadi Heteroseksual. Hal yang hampir sama mengenai Sifilis, yang mempunyai potensi menimbulkan Sifilis Kongenital. Apabila terdeteksi dini dan mendapat pengobatan yang tepat, maka komplikasi dapat dihindari. Oleh karenanya perlu intervensi selama kehamilan.

Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-107 dari 179 negara pada tahun 2007 dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development

Index) dimana awalnya lebih disebabkan oleh tingkat kesehatan, utamanya

terhadap stimulasi otak dini janin dan asupan gizi pada ibu hamil. Salah satu kegiatan yang sedang berkembang pada saat ini dalam peningkatan potensi sumber daya manusia melalui stimulasi potensi otak janin saat ibu hamil adalah program Brain Booster, sebagai solusi alternatif untuk mendapatkan satu generasi yang lebih cerdas – secara teoritis dan merupakan investasi SDM di masa depan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, maka pelayanan asuhan antenatal perlu dilaksanakan secara terpadu dengan program lain yang terkait. Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi adalah integrasi asuhan antenatal dengan pelayanan program Gizi, Imunisasi, IMS-HIV-AIDS, ESK dan Frambusia, TB dan Kusta, Malaria, Kecacingan, dan Intelegensia dengan pendekatan yang responsif gender untuk menghilangkan missed opportunity yang ada. Selanjutnya akan menuju pada pemenuhan hak reproduksi bagi setiap orang khususnya ibu hamil. Untuk itu perlu adanya perbaikan standar pelayanan asuhan antenatal yang terpadu, yang mengakomodasi kebijakan, strategi, kegiatan dari program terkait. Dalam pelaksanaannya perlu dibentuk tim pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi, yang dapat memfasilitasi kemitraan antara dokter spesialis, dokter umum, bidan maupun dukun dengan sistem rujukan yang jelas, dilengkapi fasilitas pendukung dari masing-masing program guna mewujudkan Making Pregnancy Safer.

Buku ini disusun untuk pedoman pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi, sebagai pendamping buku pelayanan asuhan antenatal yang telah ada sebelumnya.

B.

KEBIJAKAN PELAYANAN ANTENATAL RUTIN 1. Kebijakan Program

Kebijakan Departemen Kesehatan dalam upaya mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) pada dasarnya mengacu kepada intervensi strategis “Empat Pilar Safe Motherhood” yaitu meliputi: Keluarga Berencana, ANC, Persalinan Bersih dan Aman dan Pelayanan Obstetri Essensial.

Pendekatan pelayanan obsterik dan neonatal kepada setiap ibu hamil ini sesuai dengan pendekatan Making Pregnancy Safer (MPS), yang mempunyai 3 (tiga) pesan kunci yaitu : (1) Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih; (2) Setiap komplikasi obstetrik dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat; dan (3) Setiap perempuan dalam usia subur mempunyai akses pencegahan dan penatalaksanaan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.

Dalam pemeriksaan antenatal selain kuantitas (jumlah kunjungan) perlu diperhatikan pula kualitas pemeriksaannya. Kebijakan program

(5)

pelayanan antenatal menetapkan frekuensi kunjungan antenatal sebaiknya minimal 4 (empat) kali selama kehamilan, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Minimal satu kali pada trimester pertama (K1); (2) Minimal satu kali pada trimester kedua (K2); (3) Minimal dua kali pada trimester ketiga (K3 dan K4).

Apabila terdapat kelainan atau penyulit kehamilan seperti mual, muntah, keracunan kehamilan, perdarahan, kelaianan letak dan lain-lain maka frekuensi pemeriksaan disesuaikan dengan kebutuhan.

Dalam pelaksanaan operasionalnya, dikenal Standar Pelayanan Antenatal “7T”, yang terdiri atas: 1) Timbang Berat Badan; 2) Ukur Tekanan Darah; 3) Ukur Tinggi fundus uteri; 4) Pemberian imunisasi TT (Tetanus Toksoid) lengkap; 5) Pemberian Tablet zat besi, minimal 90 hari selama kehamilan; 6) Test terhadap Penyakit Menular Seksual, HIV/AIDS dan malaria; dan 7) Temu wicara/konseling dalam rangka persiapan rujukan. Pelayanan antenatal ini sebaiknya diberikan oleh tenaga kesehatan profesional.

2. Kebijakan Teknis

Setiap saat kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau mengalami penyulit/komplikasi. Oleh karena itu diperlukan pemantauan kesehatan ibu hamil selama masa kehamilannya. Penatalaksanaan pelayanan pemeriksaan ibu hamil secara keseluruhan meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Mengupayakan kehamilan yang sehat; 2) Melakukan deteksi dini penyulit/komplikasi, melakukan penatalaksanaan awal serta rujukan bila diperlukan; 3) Persiapan persalinan yang bersih dan aman; dan 4) Perencanaan antisipatif dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi penyulit/komplikasi.

Beberapa kebijakan teknis pelayanan antenatal rutin yang selama ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan cakupan pelayanan antara lain meliputi:

a.

Untuk daerah dengan K1 < 90 % dan atau K4 < 75%.

b. Deteksi dini ibu hamil melalui kegiatan P4K dengan stiker dan buku KIA, dengan melibatkan kader & perangkat desa.

c.

Peningkatan kemampuan penjaringan ibu hamil melalui kegiatan Kemitraan Bidan dan Dukun.

d. Peningkatan akses ke pelayanan dengan kunjungan rumah. e. Peningkatan akses ke pelayanan dengan Rumah Tunggu.

Sedangkan untuk peningkatan dari sisi kualitas pelayanan asuhan antenatal difokuskan agar dapat menyelenggarakan pelayanan antenatal terintegrasi/ terpadu antara berbagai program/jenis pelayanan yang selama ini sebenarnya terkait secara langsung dengan peningkatan status kesehatan dan keselamatan dari ibu hamil.

C.

PELAYANAN ASUHAN ANTENATAL TERINTEGRASI

Untuk meningkatkan mutu pelayanan agar tercapai penurunan angka kematian maternal dan perinatal perlu dilakukan integrasi berbagai program pelayanan dengan standar minimal pelayanan agar dapat digunakan/ diimplementasikan pada seluruh fasilitas pelayanan asuhan antenatal. Karena terdapat bukti di banyak negara masih tingginya kematian maternal dan perinatal diantaranya disebabkan kurangnya mutu asuhan antenatal yang berkaitan dengan rendahnya pemanfaatan fasilitas pelayanan asuhan antenatal.

Peningkatan mutu asuhan antenatal akan dapat tercapai apabila dapat ditetapkan standar pelayanan, sehingga seluruh pihak yang

(6)

berkepentingan baik pengambil kebijakan, manajer program di tingkat kabupaten/kota dan tingkat di bawahnya, institusi pendidikan, organisasi profesi, maupun pemberi pelayanan di fasilitas kesehatan akan berusaha mencapai standar yang telah ditetapkan. Adapun standar dimaksud mencakup tujuan, persyaratan, pelaksanaan, serta pemantauan dan penilaian.

Definisi

Integrasi pelayanan asuhan antenatal rutin dengan beberapa program tambahan lain sesuai prioritas Departemen Kesehatan, yang diperlukan guna peningkatan kualitas asuhan antenatal

Tujuan

1.

Deteksi dan antisipasi dini kelainan/penyakit/gangguan yang mungkin terjadi dalam kehamilan.

2.

Intervensi dan pencegahan kelainan/penyakit/gangguan yang mungkin dapat mengancam ibu dan atau janin.

3.

Standarisasi kegiatan pelayanan asuhan antenatal terintegrasi, meliputi : tujuan, persyaratan, implementasi serta pemantauan dan penilaian

4.

Mengintegrasikan asuhan antenatal rutin dengan pelayanan tambahan dalam praktik asuhan antenatal.

Manfaat

1.

Menjadi pedoman umum bagi penentu kebijakan di daerah dalam melaksanakan program pelayanan asuhan antenatal yang terintegrasi.

2.

Meningkatkan efektivitas pola kerjasama antar unit atau program yang akan diintegrasikan dalam model pelayanan asuhan antenatal terintegrasi di masa mendatang.

3.

Meningkatkan efek sinergi dalam rangka mencapai target penurunan angka kematian ibu dan perinatal melalui berbagai kegiatan intervensi yang ada dalam model pelayanan asuhan antenatal terintegrasi sesuai dengan karakteristik kebutuhan dan potensi yang tersedia di daerah atau fasilitas kesehatan.

4.

Menjadi panduan/pedoman bagi pemberi pelayanan dalam melaksanakan asuhan antenatal terintegrasi.

Bentuk Kegiatan

Secara umum pelayanan asuhan antenatal terintegrasi ini terdiri dari beberapa bentuk kegiatan antara lain meliputi :

1.

Penetapan wilayah/daerah yang akan diprioritaskan untuk peningkatan kualitas pelayanan antenatal melalui pelayanan asuhan antenatal terintegrasi. Dasar untuk menetapkan suatu wilayah/daerah yang akan dipilih/diprioritaskan tersebut minimal harus memenuhi salah satu dari dua kriteria utama yaitu:

a.

Untuk daerah dengan K1 > 90 % dan atau K4 > 75%, dan/atau

b.

Spesifik sesuai dengan kebutuhan daerah berdasarkan data epidemiologis.

2.

Penetapan beberapa jenis pelayanan/program terkait yang dianggap paling mendesak dan/atau layak untuk diintegrasikan dalam asuhan antenatal yaitu meliputi:

(7)

b. Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika)

c. Pencegahan dan Pengobatan IMS/ISK dalam Kehamilan (PIDK)

d.

Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) dan Frambusia

e. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT) f. Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)

g. Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC) dan Kusta h. Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK)

i. Manajemen Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi

3.

Penetapan standarisasi persyaratan untuk pelayanan asuhan antenatal terintegrasi pada sarana/penyelenggara pelayanan kesehatan terkait

4.

Penetapaan standarisasi pelaksanaan pelayanan, pemantauan dan penilaian.

Cara Menggunakan Buku Pedoman

Buku Pedoman Asuhan Antenatal Terintegrasi merupakan pedoman pelayanan asuhan antenatal di Indonesia yang dapat diterapkan untuk semua pasien yang mendapatkan asuhan antenatal dan dapat digunakan pada semua fasilitas pelayanan yang memberikan pelayanan asuhan antenatal.

Buku pedoman Asuhan Antenatal Terintegrasi tidak terpisahkan dengan pedoman lain yang telah diterbitkan oleh Departemen Kesehatan seperti ; Pedoman Pencegahan dan Penanganan Malaria Pada Ibu Hamil dan Nifas (2009), Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia (2008), Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi (2005), Modul Pelatihan Program P2 Kusta bagi UPK (2009), Pedoman Pemberian tablet besi-folat dan sirup besi bagi petugas (1999) Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT), Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC), Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK), Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika), Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK).

Untuk institusi (rumah sakit) yang telah memberikan pelayanan sekunder atau tersier, maka pedoman Asuhan Antenatal Terintegrasi adalah pedoman minimal asuhan antenatal.

(8)

BAB II

STANDAR PELAYANAN ASUHAN ANTENATAL TERINTEGRASI

DEFINISI

Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi adalah seperangkat rekomendasi tentang penyelenggaraan pelayanan asuhan antenatal pada fasilitas kesehatan, mulai dari tingkat unit pelayanan antenatal dan jaringannya. Fasilitas kesehatan pada level yang lebih tinggi juga memerlukan standar pelayanan minimal, selain standar pelayanan spesialistik dan obstetrik.

Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini akan dapat memberikan pedoman bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan status kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi yang dilahirkan.

LATAR BELAKANG

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa negara-negara dengan angka kematian maternal, perinatal dan neonatal yang tinggi umumnya memiliki pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan berkualitas rendah, terkait rendahnya utilisasi pelayanan kesehatan. Untuk itu, perlu adanya suatu standar pelayanan, selain mekanisme yang dapat mengatasi hambatan pemberian dan penggunaan pelayanan berkualitas. Bukti-bukti menunjukkan bahwa implementasi pedoman secara benar dapat meningkatkan proses dan hasil/outcome pelayanan kesehatan. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa proses penyusunan dan implementasi yang jelas didukung monitoring dan supervisi yang efektif berdampak pada praktik pedoman tersebut.

TUJUAN

Tujuan penyusunan Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini adalah untuk membantu manajer program dan petugas kesehatan dalam mengembangkan standar untuk skala kabupaten/kota dan tingkatan pelayanan di bawahnya dengan cara :

1.

Mensosialisasikan standar dan proses peningkatan mutu asuhan antenatal di tingkatan pelayanan kesehatan sebagai sarana untuk meningkatkan keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.

2.

Memberikan pelayanan kesehatan yang efektif bagi ibu dan bayi baru lahir.

3.

Menggunakan sumber daya yang tersedia untuk mencapai hasil/outcome

kesehatan yang optimal, dan

4.

Meningkatkan kepuasan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir pada tingkat individu, keluarga maupun masyarakat

STRUKTUR

Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini terdiri atas beberapa bagian standar pelayanan untuk :

Manajemen Pelayanan Asuhan Antenatal

Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE), • Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika)

• Pencegahan dan Pengobatan IMS dalam Kehamilan (PIDK)

Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) dan Frambusia

(9)

• Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)

Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC) dan Kusta • Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK)

Penanggulangan Gangguan Intelegensia pada Kehamilan (PAGIN) MUATAN STRUKTUR

Dikemas dalam bentuk paket, masing-masing standar disusun secara mandiri, dilengkapi elemen-elemen yang dibutuhkan untuk implementasinya. Format ini dimaksudkan untuk memfasilitasi pengguna dengan menyusun langkah-langkah implementasi sesuai kebutuhan dan ketersediaan sumber daya, dan memungkinkan adanya pembaruan yang lebih efektif secara periodik sesuai dengan perkembangan keilmuan, arah kebijakan dan informasi terbaru.

Elemen kunci yang terdapat di semua standar meliputi ;

Judul; yang mengidentifikasi program.

Pernyataan standar; yang dibuat berdasarkan pedoman program yang telah ada.

Tujuan; yang mengindikasikan tujuan di bidang kesehatan masyarakat yang ingin dicapai oleh program.

Persyaratan; berisikan daftar tilik kondisi-kondisi, termasuk fasilitas, yang perlu dipenuhi guna mengimplementasikan standar.

Pelaksanaan; yang secara singkat menerangkan kegiatan apa yang seharusnya dilakukan untuk mengimplementasikan standar tersebut.

Pemantauan dan Penilaian; yang berisi beberapa indikator penilaian meliputi unsur input, proses, outcome dan dapat digunakan untuk memantau ketepatan implementasi standar berikut dampaknya.

Daftar referensi yang digunakan untuk mengembangkan standar dan daftar

links yang dapat membantu pengguna dalam mengimplementasikan standar

PENYUSUNAN STANDAR

Standar yang terdapat dalam pedoman ini dibatasi hanya untuk penggunaan pada tingkatan pelayanan asuhan antenatal tertentu yaitu ditingkat unit pelayanan asuhan antenatal terdepan dan jaringannya. Tiga prinsip utama yang mendasari pemilihan program pelayanan tersebut adalah :

1.

Relevansi terhadap bidang kesehatan masyarakat, misalnya sebagai kausa utama morbiditas atau mortalitas maternal, fetal, atau neonatal

2.

Kemungkinan pengimplementasian pada fasilitas pelayanan antenatal dengan sumber daya yang tersedia, baik dari perspektif pelayanan kesehatan maupun komunitas

3.

Memperhatikan implikasi pada pembiayaan kesehatan SASARAN

Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini ditujukan kepada : 1. Pengambil kebijakan

2.

Manajer Program dan Perencana Kesehatan pada kabupaten/kota dan tingkatan di bawahnya

3. Institusi pendidikan 4. Organisasi profesi

5.

Pemberi pelayanan maternal dan neonatal (digunakan pada semua tingkat pelayanan, baik untuk perorangan; bidan praktek swasta, dokter praktek

(10)

swasta maupun institusi; Unit pelayanan asuhan antenatal, Klinik bersalin, Rumah sakit.)

Mengingat adanya perbedaan antar daerah terkait kategori tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal, serta kemampuan kader kesehatan, maka pedoman ini lebih menitikberatkan pada keterampilan teknis petugas dan ketersediaan sumber daya pelayanan yang diperlukan untuk memastikan bahwa kondisi kesehatan maternal dan neonatal dapat diidentifikasi, dicegah dan dikelola. Tenaga-tenaga dengan keterampilan dasar kebidanan untuk pelayanan antenatal dimaksud (misalnya bidan, dokter dan perawat) dapat berpraktik di rumah sakit, klinik, unit kesehatan, di rumah atau di tempat pelayanan kesehatan lain. Tenaga kesehatan tersebut harus terdaftar dan atau secara legal memiliki izin praktik.

Namun demikian perlu dipertimbangkan bahwa sejumlah ibu dan bayi mungkin membutuhkan pelayanan spesialistik yang tidak tercakup dalam standar ini, yang dapat dirujuk sesuai pedoman sistim rujukan pelayanan yang ada.

PEMANFAATAN

Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini dimaksudkan untuk menjadi standar yang dapat diadaptasi dan diimplementasikan sesuai kebutuhan, pembiayaan dan kapasitas sistem kesehatan di berbagai daerah. Standar ini dapat digunakan tersendiri atau dalam rangkaian pelayanan antenatal, karena masing-masing terhubung untuk memudahkan penggunaan.

Standar ini dapat digunakan pada tingkatan kabupaten/kota dan tingkatan di bawahnya dalam rangka menyusun atau memperbarui pelayanan yang ada saat ini. Idealnya, semua standar ini dapat dilakukan guna memastikan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal berkualitas.

Standar ini juga dapat digunakan untuk mengembangkan pedoman lebih lanjut seperti merancang kurikulum pelatihan bagi tenaga terlatih dan pemberi pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Juga dapat digunakan untuk proses adaptasi pedoman praktis lainnya dari pelayanan maternal dan neonatal di tingkat nasional, regional dan lokal.

Pada tingkat unit pelayanan antenatal dan jaringannya, standar ini dapat merepresentasikan suatu alat yang bermanfaat untuk memfasilitasi pendekatan sistematis dalam mengevaluasi dan meningkatkan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal oleh petugas kesehatan. Standar ini juga dapat menjadi sarana untuk mensosialisasikan audit klinik yang merupakan penilaian sistematis terhadap kualitas pelayanan berdasarkan standar pelayanan yang telah disepakati bersama, dan difokuskan pada proses peningkatan mutu yang lebih luas dalam asuhan antenatal di tingkat unit pelayanan Asuhan Antenatal dan jaringannya.

Proses penetapan standar, penggunaan standar untuk pemantauan dan penilaian serta implementasi perubahan yang telah disepakati akan memberikan kontribusi dalam meningkatkan kinerja dan praktik klinik di unit pelayanan asuhan antenatal. Standar pelayanan ini diharapkan membantu mendorong kesadaran petugas kesehatan tentang mutu pelayanan serta peran mereka dalam memastikan praktik terbaik dalam asuhan antenatal di masyarakat.

Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini akan diperbarui sejalan dengan bertambahnya pengalaman dan bukti-bukti ilmiah dan akan dimodifikasi guna mendukung implementasi pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang lebih baik.

(11)

BAB III

PENGINTEGRASIAN PELAYANAN DALAM ASUHAN ANTENATAL

Beberapa program/jenis pelayanan yang saat ini dianggap paling siap untuk dilakukan pengintegrasiannya sesuai prioritas Departemen Kesehatan dalam bentuk Asuhan Antenatal Terintegrasi antara lain meliputi:

j. Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) k. Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika)

l. Pencegahan dan Pengobatan IMS/ISK dalam Kehamilan (PIDK)

m.

Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) dan Frambusia

n. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT) o. Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)

p. Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC) dan Kusta q. Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK)

r. Manajemen Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi

Peningkatan cakupan kunjungan antenatal yang telah berhasil dilakukan akhir-akhir ini perlu diimbangi dengan peningkatan mutu pelayanan secara terus menerus. Melalui pendekatan pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi diharapkan peningkatan kualitas asuhan antenatal secara bertahap dapat tercapai. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci pengintegrasian berbagai kegiatan/jenis pelayanan dalam pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi.

A. MATERNAL NEONATAL TETANUS ELIMINATION (MNTE) STANDAR:

Semua wanita yang melahirkan dan bayi yang dilahirkannya harus terlindung dari Tetanus

TUJUAN:

Mencegah Tetanus Maternal dan Neonatal (MNT) PERSYARATAN:

1. Terdapat perencanaan, strategi, kebijakan, dan pedoman nasional maupun lokal terkait MNTE pada tempat pelayanan asuhan antenatal .

2. Di daerah yang tergolong risiko tinggi MNT, perlu perencanaan dan strategi implementasi dengan “pendekatan risiko tinggi”, termasuk imunisasi pada Wanita Usia Subur (WUS).

3.

Tersedia Standard Operating Procedure (SOP) penilaian mutu vaksin, jadwal imunisasi dan pemberian imunisasi

4.

Semua anggota tim antenatal di tempat pelayanan asuhan antenatal telah dilatih untuk melakukan penapisan status imunisasi, memberikan imunisasi Tetanus dan mengelola pelayanan imunisasi TT

5.

Di tempat pelayanan asuhan antenatal , tersedia vaksin dan logistik (refrigerator, ADS (Auto Disable Syringe) dll) yang dibutuhkan untuk pelaksanaan imunisasi Tetanus

6. tempat pelayanan asuhan antenatal yang dapat melayani imunisasi Tetanus mudah diakses oleh ibu hamil

7. Terdapat sistem monitoring dan evaluasi imunisasi Tetanus yang efektif, termasuk register imunisasi, kartu imunisasi pribadi dan buku KIA.

8. MNT dimasukkan dalam sistem surveilans nasional

9. Tersedia informasi tentang sistem pelayanan rujukan dan tempat pelayanan yang menjadi rujukan pada kasus MNT

(12)

PELAKSANAAN:

Tim asuhan antenatal di tempat pelayanan asuhan antenatal, secara khusus, harus :

1.

Sebelum pemberian vaksin, periksa tgl kadaluwarsa dan VVM

(vial-vaccine-monitoring)

2. Vaksin yang sebelumnya telah membeku tidak boleh diberikan.

3. Pada pelayanan antenatal, periksalah status imunisasi ibu hamil melalui penapisan (dengan anamnesis atau memeriksa kartu), sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 1.

-

Jika ibu

hamil sebelumnya (di masa lampau) telah mendapatkan 1-4 dosis TT di masa lampau, berikan satu dosis TT sesuai dengan selang waktu pemberian minimal (sehingga total perlindungan sejumlah 5 dosis sepanjang masa suburnya)

Tabel 1. Cara Penapisan Imunisasi TT pada WUS dan ibu hamil Pemberian

immunisasi

Kapan diberikan

(Selang Waktu Pemberian Minimal)

Lama proteksi yang diharapkan

T1

-T2 Minimal 4 minggu setelah T1 1-3 tahun T3 Minimal 6 bulan setelah T2 Minimal 5 tahun T4 Minimal setahun setelah T3 Minimal 10 tahun T5 Minimal satu tahun setelah T4 Minimal 25 th

Jika ibu hamil dapat menunjukkan bukti tertulis vaksinasi saat bayi dan usia sekolah dengan vaksin yang mengandung Tetanus (misalnya DPT, DT, Td atau TT) berikan dosis sesuai Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Pedoman imunisasi TT bagi ibu hamil yang telah diimunisasi saat bayi, atau anak usia sekolah

Usia saat vaksinasi terakhir Imunisasi sebelumnya (berdasarkan rekaman tertulis)

Imunisasi yang dianjurkan Pada kunjungan ini/pada kehamilan Kemudian (dengan interval minimal setahun)

Bayi 3 DPT 2 dosis TT/Td (minimal

interval 4 mgg antara kedua dosis)

1 dosis TT/Td Anak Usia Sekolah 1 DT + 2 TT/Td 3 dosis TT/Td

4. Rekam/catat dosis yang telah diberikan pada register standar imunisasi TT, kartu imunisasi pribadi, dan buku KIA. Kartu imunisasi pribadi dan buku KIA harus disimpan oleh yang bersangkutan.

5.

Bila teridentifikasi suatu kasus Tetanus Neonatal (TN), berikan ibu satu dosis TT secepatnya dan rawat bayinya sesuai pedoman nasional. Dosis selanjutnya diberikan sesuai dengan waktu pemberian minimal.

6. Rekam/catat semua kasus MNT dan laporkan pada yang berwenang. Semua kasus MNT yang berasal dari daerah berisiko rendah harus diselidiki lebih lanjut. 7. Rekam/catat dan laporkan semua kasus Tetanus dari kelompok umur lain secara

terpisah.

8. Penyuluhan kesehatan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang perlunya dilaksanakan imunisasi Tetanus.

(13)

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN: Indikator Input:

1. Terdapat dokumen perencanaan, strategi dan kebijakan nasional maupun lokal terkait MNTE pada tempat pelayanan asuhan antenatal .

2. Tersedia dokumen perencanaan dan strategi implementasi dengan “pendekatan risiko tinggi”, termasuk immunisasi pada Wanita Usia Subur (WUS) di daerah yang tergolong risiko tinggi MNT

3. Tersedia dokumen SOP penilaian mutu vaksin, jadwal imunisasi dan pemberian imunisasi

4. Semua anggota tim asuhan antenatal telah dilatih untuk melakukan penapisan status imunisasi Tetanus, memberikan imunisasi Tetanus, dan mengelola pelayanan imunisasi TT di tempat pelayanan asuhan antenatal

5.

Di tempat pelayanan asuhan antenatal , tersedia vaksin dan logistik yang dibutuhkan untuk pelaksanaan imunisasi Tetanus

6. Tersedia dokumen perencanaan monitoring dan evaluasi imunisasi Tetanus 7. Tersedia register imunisasi, kartu vaksinasi pribadi, dan buku KIA

8. Terdapat sistem surveilans nasional MNT dan formulir pelaporan untuk surveilans MNT

9. Tersedia bagan alur informasi pelayanan rujukan pada kasus MNT dan daftar tempat pelayanan yang dapat menjadi rujukan kasus MNT

10. Tersedia catatan inventaris vaksin Tetanus

11.

Terdapatnya rencana kegiatan penyuluhan kesehatan berbasis komunitas serta

outreach dalam rangka meningkatkan cakupan imunisasi Tetanus

Indikator Proses dan Output:

1. Cakupan pelayanan antenatal yang memiliki vaksin dan logistik yang dibutuhkan untuk imunisasi Tetanus.

2. Jumlah dan sebaran pelayanan antenatal yang dapat memberikan pelayanan imunisasi Tetanus

3. Semua ibu hamil dapat teridentifikasi status imunisasi Tetanusnya

4. Cakupan ibu hamil yang diimunisasi, setidaknya dua dosis tetanus toxoid (TT 2+) atau Cakupan neonatus yang “terlindungi saat lahir”

5. Setiap Ibu hamil memiliki kartu imunisasi pribadi dan Buku KIA 6. Kelengkapan dan ketepatan waktu laporan kasus MNT

7. Cakupan Kasus MNT yang ditangani sesuai pedoman nasional

8. Jumlah kegiatan penyuluhan berbasis komunitas terkait imunisasi tetanus yang telah dilakukan

Indikator Outcome:

1. Insidensi Tetanus Neonatal (targetnya adalah kurang dari 1 kasus per seribu kelahiran hidup pada tingkat kabupaten)

2. Insidensi Tetanus Maternal

3. Tersedia analisis hasil pelayanan MNTE yang telah ada dan tindak lanjutnya REFERENSI:

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi, Jakarta, Jakarta, 2005.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Tenaga Kesehatan Imunisasi Tetanus Toxoid Dalam Rangka Akselerasi Eliminasi Tetanus Maternal Dan Neonatal ( MNTE), Jakarta, 2003.

3.

World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer, Integrated Management of Pregnancy and Childbirth: Standards For Maternal and Neonatal Care, Geneva, 2007

(14)

B. ANTISIPASI DEFISIENSI GIZI DALAM KEHAMILAN (ANDIKA) STANDAR:

Semua ibu hamil mendapatkan pelayanan dan konseling gizi pada setiap kunjungan antenatal.

TUJUAN:

Mencegah dan menangani masalah gangguan gizi selama masa kehamilan agar menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan bayi yang optimal, serta ibu yang sehat

PERSYARATAN:

1.

Terdapat perencanaan, strategi dan kebijakan nasional maupun lokal dalam penanganan masalah gizi pada ibu hamil

2.

Ketersediaan pedoman tentang penanggulangan masalah gizi (KEK, Anemia, KVA) dan konseling, alat peraga penyuluhan/konseling gizi (seperti food-model, kit konseling menyusui), pemeriksaan laboratorium (Hb), pita LILA, suplementasi tablet besi.

3. Ketersediaan pemberi pelayanan gizi yang berkompeten

4. Ketersediaan informasi tentang sistem dan tempat rujukan pelayanan gizi oleh ahli gizi (tenaga gizi)

PELAKSANAAN:

1. Semua ibu hamil mendapatkan penyuluhan/konseling gizi, termasuk konseling menyusui

2. Semua ibu hamil mendapatkan suplementasi tablet besi 1 tablet perhari selama hamil sampai dengan masa nifas (minimal untuk 90 hari), termasuk konsumsi tablet besi mandiri. Pemberian dilakukan pada waktu pertama kali ibu hamil memeriksakan kehamilannya (K1).

3. Semua ibu hamil diperiksa status gizi dengan pita LILA pada kunjungan pertama antenatal. Ibu hamil dengan KEK dirujuk ke fasilitas pelayanan gizi (petugas gizi).

4. Semua ibu hamil diperiksa kadar Hb pada kunjungan pertama antenatal. Ibu hamil dengan anemia dirujuk ke fasilitas pelayanan gizi (petugas gizi).

1. Semua ibu hamil dengan anemia dan KEK berat dirujuk ke pelayanan kesehatan rujukan

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN: Indikator Input:

1.

Tersedia dokumen perencanaan, strategi dan kebijakan nasional maupun lokal dalam penanganan masalah gizi pada ibu hamil

2.

Tersedia fasilitas pelayanan gizi yang mencukupi; pedoman-pedoman, alat peraga penyuluhan/konseling (seperti food model, kit konseling menyusui), pemeriksaan laboratorium untuk Hb, pita LILA, dan tablet besi.

3. Tersedia petugas yang berkompeten dalam pelayanan gizi

4. Tersedia bagan alur informasi pelayanan rujukan dan daftar tempat rujukan pelayanan gizi oleh ahli gizi

Indikator Proses:

1. Cakupan ibu hamil yang mendapat penyuluhan/konseling gizi 2. Cakupan ibu hamil yang mendapat tablet besi minimal 90 hari

(15)

3.

Cakupan ibu hamil yang menderita KEK 4. Cakupan ibu hamil yang menderita anemia

5. Cakupan ibu hamil dengan anemia dan atau KEK berat yang dirujuk dan mendapat pelayanan gizi

Indikator Outcome:

1. Kematian ibu yang terkait dengan anemi dan atau KEK berat 2. Komplikasi ibu yang terkait dengan anemi dan atau KEK berat

3. Kematian perinatal yang terkait dengan anemi dan atau KEK berat selama kehamilan

REFERENSI:

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pemberian Tablet Besi-Folat dan Sirup Besi Bagi Petugas, Jakarta, 1999.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penggunaan Alat Ukur Lingkar Lengan Atas (LILA) pada wanita usia subur, Jakarta, 1995.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Praktis Terapi Gizi Medis, Jakarta, 2006.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, UNICEF, HKI, MI, Apa dan mengapa tentang Vitamin A, Jakarta, 2008.

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, 2009.

C. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN IMS/ISK DALAM KEHAMILAN (PIDK) STANDAR:

Semua ibu hamil pada setiap kunjungan antenatal mendapatkan informasi dan penapisan Infeksi Menular Seksual (IMS)/Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), serta diberi pengobatan dan rujukan yang tepat dan efektif bagi ibu hamil dan pasangannya.

TUJUAN:

Menurunkan morbiditas, mortalitas maternal dan infertilitas yang disebabkan oleh IMS dan ISR, serta menurunkan morbiditas dan mortalitas pada bayi/anak.

PERSYARATAN:

1. Terdapat perencanaan, strategi dan Kebijakan nasional maupun lokal tentang pedoman pencegahan dan pengelolaan IMS/ISR tersedia

2. Tersedia pemberi pelayanan asuhan antenatal yang kompeten untuk memberikan informasi tentang IMS dan ISR, serta mampu mendiagnosis dan mengobati infeksi tersebut.

3. Seluruh perlengkapan, supplai dan obat-obatan yang dibutuhkan guna mendiagnosis, mengelola serta (konseling) tentang IMS/ISR tersedia di semua tempat pelayanan asuhan antenatal .

4.

Pelayanan kesehatan IMS/ISR haruslah terjangkau (accessible and

affordable) bagi semua ibu hamil dan pasangannya.

5. Terdapat mekanisme pencatatan hasil pemeriksaan dan pengobatan IMS/ISR.

6. Tersedia informasi tentang sistem dan tempat rujukan kasus IMS/ISR PELAKSANAAN:

(16)

1. Semua ibu hamil yang datang memeriksakan diri selama masa kehamilan, persalinan dan nifas harus diberikan informasi yang tepat mengenai identifikasi dan pengendalian IMS/ISR.

2. Dengan cara simpatik menanyakan kepada semua ibu hamil pada setiap kunjungan, menjelang persalinan dan kunjungan pasca persalinan, adanya keluhan yang mengindikasikan adanya suatu IMS/ISR.

3.

Bilamana ibu mempunyai keluhan yang menandakan IMS/ISR (misalnya adanya duh tubuh vagina abnormal, ulkus, nyeri perut bagian bawah, dll) periksalah untuk menemukan gejala dan tanda ISR, termasuk pemeriksaan vagina dengan menggunakan spekulum.

4.

Berikan pengobatan bagi ibu, pasangannya, dan bayinya sesuai hasil temuan kasus IMS/ISR, hasil tes sifilis on site dan pemeriksaan bayi, dan rujuklah bila fasilitas yang dibutuhkan tidak tersedia di tingkat pelayanan asuhan antenatal. 5. Diskusikan dengan ibu pentingnya pengobatan itu baginya, bagi

pasangannya, dan bayi mereka, jelaskan konsekuensi yang timbul bila tidak segera mendapat pengobatan, dan pentingnya penggunaan kondom selama pengobatan.

6. Berikan informasi tentang pencegahan primer IMS, penggunaan kondom, gejala dan tanda IMS, konsekuensi bagi ibu dan bayinya bila tidak mendapat pengobatan, saran untuk pencegahan terhadap HIV serta saran untuk melakukan VCT.

7. Menyiapkan perawatan lanjutan atau rujukan bagi ibu, bayi dan pasangannya, bila timbul komplikasi atau kegagalan pengobatan.

8. Rekam diagnosis dan pengobatan yang diberikan dalam buku kohort atau buku KIA ibu.

9. Pelaksanaan kegiatan pendidikan/ penyuluhan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pencegahan dan pengelolaan IMS dan ISR.

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN: Indikator Input:

1. Tersedia dokumen perencanaan, strategi, kebijakan, pedoman nasional maupun lokal tentang pengendalian IMS/ISR

2. Tersedia pemberi pelayanan asuhan antenatal yang kompeten untuk memberikan informasi tentang IMS/ISR, serta mampu mendiagnosis dan mengobati infeksi tersebut

3. Tersedia fasilitas untuk pemeriksaan dan pengelolaan IMS/ISR pada tempat pelayanan asuhan antenatal .

4. Tersedia dokumen SOP mekanisme pencatatan dan pelaporan IMS/ISR 5. Tersedia bagan alur informasi rujukan dan daftar tempat rujukan kasus

IMS/ISR

Indikator Proses dan Output:

1. Jumlah dan sebaran tempat pelayanan asuhan antenatal yang melayani diagnosis dan pengobatan IMS/ISR pada tingkatan pelayanan primer.

2. Jumlah kasus IMS yang teridentifikasi dan diobati dengan benar (berdasarkan laporan bulanan dan pencatatan pada unit pelayanan antenatal, kebidanan dan pasca persalinan)

3. Jumlah neonatal yang diobati akibat komplikasi IMS Indikator Outcome:

(17)

2. Morbiditas pada neonatal dan gejala sisa / sekuel yang diakibatkan IMS (misalnya Opthalmia)

3. Pengetahuan dan kesadaran ibu dan keluarganya tentang IMS, gejala, tanda, pengobatannya dan perlunya pengobatan bagi pasangan.

REFERENSI:

1.

World Health Organization, Department of Making Pregnancy Safer, Integrated Management of Pregnancy and Childbirth: Standards For Maternal and Neonatal Care, Geneva, 2007.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Dasar Infeksi Menular Seksual Dan Saluran Reproduksi Lainnya pada Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu, Jakarta, 2008.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Ditjen. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual, Jakarta, 2006.

D. ELIMINASI SIFILIS KONGENITAL (ESK) DAN FRAMBUSIA STANDAR:

Semua ibu hamil yang melakukan kunjungan antenatal harus mendapatkan layanan penapisan sifilis dan atau penapisan frambusia serta diberi pengobatan dan rujukan yang tepat dan efektif bagi ibu hamil dan pasangannya.

TUJUAN:

Menurunkan mortalitas dan morbiditas ibu dan atau bayi akibat sifilis dan frambusia PERSYARATAN:

1. Tersedia perencanaan, strategi, kebijakan dan pedoman nasional dan lokal tentang pencegahan, penapisan dan pengelolaan ibu hamil dengan sifilis dan atau frambusia.

2. Tersedia informasi tentang manfaat penapisan sifilis dan risiko sifilis jika tidak diobati pada ibu hamil.

3. Tersedia fasilitas untuk penapisan sifilis, atau fasilitas untuk pengambilan dan pengiriman specimen untuk penapisan sifilis pada tempat pelayanan asuhan antenatal dengan fasilitas terbatas.

4. Semua wanita hamil mempunyai akses untuk melakukan/dilakukan penapisan terhadap sifilis.

5. Tersedia tenaga pemberi pelayanan kesehatan yang kompeten didalam pencegahan sifilis, penapisan selama kehamilan, tindakan pada wanita yang positif sifilis dengan pasangannya, perlindungan dan perawatan pada bayi baru lahir, konseling pencegahan sifilis, dan bagaimana mencegah reinfeksi selama kehamilan dengan mempromosikan kondom.

6.

Tersedianya metode dan logistik penapisan dengan RPR, VDRL, atau Rapid Test di pelayanan antenatal.

7. Logistik untuk tes tersedia baik di tempat pelayanan asuhan antenatal maupun di tingkat laboratorium.

8. Pusat laboratorium dan fasilitas kesehatan menjamin kualitas uji laboratorium

9.

Benzatine Penicilin tersedia di tempat pelayanan asuhan antenatal ,

pelayanan maternal dan klinik pasca persalinan.

10. Tersedia sistem monitoring layanan sifilis yang efektif

11. Tersedia materi pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran individu, keluarga dan komunitas tentang pentingnya mendatangi klinik antenatal lebih awal untuk pencegahan sifilis dan perawatannya.

(18)

12. Tersedianya buku saku atau leaflet yang berisi foto klinis penderita frambusia. 13. Tersedianya informasi tentang sistem rujukan dan tempat pelayanan yang

menjadi rujukan kasus sifilis dan atau frambusia. PELAKSANAAN:

1.

Penapisan semua ibu hamil dengan sifilis on site dengan metode uji cepat (rapid test) pada kunjungan antenatal yang pertama. penapisan harus dikerjakan sedini mungkin (lebih baik sebelum 16 minggu dari kehamilan) untuk mencegah infeksi kongenital. Pada kunjungan ulang, ibu yang dengan beberapa alasan tidak dapat menunjukkan hasil tes sifilis harus di tes kembali.

2.

Apabila hasil rapid test pertama positif, dilakukan pengobatan dan diberi informasi tentang perlunya pemeriksaan terhadap infeksi HIV. Satu minggu kemudian pasien dirujuk untuk pemantauan dan penatalaksanaan lebih lanjut. Apabila hasil rapid test pertama negatif, maka akan dilakukan pemeriksaan ulang pada trimester ketiga.

3.

Review hasil uji sifilis pada saat kunjungan dan saat persalinan. Jika ibu belum dites pada saat kehamilan, tes sifilis seharusnya ditawarkan setelah persalinan.

4.

Semua ibu hamil yang seropositif diberikan Benzathine benzylpenicilin, dosis 2,4 juta unit intramuskuler sebagai dosis tunggal, kecuali alergi penicilin. Pada kasus alergi penisilin, ibu hamil harus dirujuk pada pelayanan lebih tinggi.

5. Pada ibu yang positif, dilakukan konseling bahwa pasangannya juga harus di tes dan diberi tindakan dengan regimen yang sama, segera setelah kelahiran. 6. Semua ibu hamil dengan dengan riwayat kehamilan yang buruk, seperti

abortus, lahir mati, bayi terinfeksi sifilis harus di tes dan diberikan perawatan yang sesuai.

7. Semua ibu hamil yang memiliki gejala klinis atau riwayat terpapar dengan orang yang terkena sifilis harus mendapatkan perawatan.

8. Semua ibu hamil yang terinfeksi sifilis dilakukan penapisan untuk IMS lainnya serta konseling dan perawatan yang sesuai.

9. Semua ibu hamil yang positif sifilis dianjurkan untuk konseling VCT . 10. Buat perencanaan untuk perawatan bayi sejak saat kelahiran.

11. Rekam hasil tes dan perawatan di buku KIA.

12. Lakukan pemeriksaan inspeksi kulit pasien untuk mencari kemungkinan adanya frambusia pada semua ibu hamil di daerah endemis (dan pada daerah non-endemis jika hasil tes serologis sifilis positif)

13. Dilakukan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran individu, keluarga dan komunitas tentang pentingnya mendatangi klinik antenatal lebih awal untuk pencegahan sifilis dan perawatannya.

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN: Indikator Input:

1. Tersedia dokumen perencanaan, strategi, kebijakan dan pedoman nasional dan lokal tentang pencegahan, penapisan dan pengelolaan ibu hamil dengan sifilis dan atau frambusia.

2. Tersedia media informasi tentang manfaat penapisan sifilis dan risiko sifilis jika tidak diobati pada ibu hamil

3. Tersedia tenaga pemberi pelayanan kesehatan yang telah dilatih tentang pencegahan sifilis, penapisan selama kehamilan, tindakan pada wanita yang positif sifilis dengan pasangannya, perlindungan dan perawatan pada bayi baru lahir, konseling pencegahan sifilis, dan bagaimana mencegah reinfeksi selama kehamilan dengan mempromosikan kondom.

(19)

4.

Ketersediaan uji penapisan untuk sifilis pada fasilitas kesehatan primer, minimal rapid test, RPR atau VDRL.

5. Terdapat dokumen SOP tentang penggunaan dan cara melakukan Rapid test, tes RPR dan atau VDRL yang tersedia di fasilitas kesehatan.

6. Terdapat dokumen SOP untuk penjaminan kualitas uji lab. Dan fasilitas kesehatan

7.

Ketersediaan Benzathyne Penicilin pada tempat pelayanan asuhan antenatal .

8. Tersedia dokumen SOP sistem monitoring layanan sifilis yang efektif

9. Tersedia dokumen materi pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran individu, keluarga dan komunitas tentang pentingnya mendatangi klinik antenatal lebih awal untuk pencegahan sifilis dan perawatannya.

10. Tersedianya buku saku atau leaflet yang berisi foto klinis penderita frambusia. 11. Tersedia bagan alur informasi tentang pelayanan rujukan bagi sifilis dan

frambusia serta daftar tempat pelayanan yang menjadi rujukan.

12. Tersedia media informasi tentang perawatan bayi lahir bagi ibu hamil yang positif sifilis.

Indikator Proses dan Output:

1. Jumlah dan sebaran tempat pelayanan asuhan antenatal yang dapat melayani penapisan sifilis

2. Cakupan tes RPR ( atau lainnya) pada ibu hamil selama antenatal. 3. Cakupan perawatan sifilis di klinik antenatal.

4. Cakupan tes pada pasangan dan perawatan yang sesuai. 5. Cakupan ibu hamil yang di penapisan klinis frambusia. 6. Cakupan VCT pada ibu hamil yang positif sifilis

Indikator Outcome:

1. Insidensi kelainan kongenital akibat sifilis.

2. Angka kesakitan dan kematian perinatal dan neonatal dengan riwayat kehamilan positif sifilis.

3. Angka kejadian frambusia pada ibu hamil. REFERENSI:

1.

World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer, Integrated Management of Pregnancy and Childbirth : Standards For Maternal and Neonatal Care, Geneva, 2007.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Infeksi Menular Seksual dan Saluran Reproduksi Lainnya pada Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu, Jakarta, 2008.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Ditjen. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual, Jakarta, 2006.

E. PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE BAYI (PMTCT) STANDAR:

Semua ibu hamil mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS, akses untuk mendapatkan layanan VCT (Voluntery Counseling and Test), profilaksis ART, dan layanan rujukan.

(20)

Mencegah penularan HIV dari ibu dengan HIV ke bayi dan mengurangi dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi.

PERSYARATAN:

1. Tersedia kebijakan nasional maupun lokal tentang HIV-AIDS dan PMTCT, termasuk buku pedoman (manual) pelayanan HIV pada ibu hamil.

2. Adanya kebijakan dan dukungan dari pemerintah daerah dan institusi pelayanan kesehatan untuk mendukung dan memberikan pelayanan HIV pada ibu hamil. 3. Terdapat pemberi pelayanan kesehatan yang kompeten serta mempunyai

pengetahuan dan ketrampilan untuk memberikan dorongan pada ibu hamil dan suaminya untuk mengetahui status HIV dengan datang ke klinik VCT terdekat, pengelolaan umum ibu hamil dengan HIV , pengawasan efek samping obat ARV, kerahasiaan status HIV pasien, kemampuan melakukan rujukan (khususnya ibu hamil diduga/dengan HIV +), memberikan dukungan ibu hamil dengan hasil tes HIV + dan mampu melakukan pencatatan dan pelaporan.

4. Semua ibu hamil dengan faktor risiko HIV mempunyai akses untuk mendapatkan layanan VCT

5. Adanya informasi fasilitas klinik VCT dan Rumah sakit rujukan HIV terdekat dari tempat pelayanan asuhan antenatal .

6. Terdapat informasi tentang sistem dan tempat rujukan ibu hamil dengan HIV PELAKSANAAN:

1. Semua ibu hamil mendapatkan informasi serta faktor risiko HIV, cara pemeriksaan/tes HIV, risiko penularan ke bayi pada ibu hamil dengan HIV. 2. Pada daerah yang prevalensi HIV tinggi dan atau pada populasi berperilaku risiko

tinggi dilakukan full-coverage untuk VCT.

3. Pada kunjungan antenatal pertama (K1) pemberi pelayanan melakukan penapisan/penapisan tanda dan gejala HIV serta penapisan/penapisan apakah ibu hamil termasuk dalam kelompok berisiko tinggi HIV. Jika ya maka dorong dan beri dukungan agar ibu hamil dan juga suaminya mau melakukan konsultasi dan tes HIV di klinik VCT terdekat, melakukan aktivitas seksual yang sehat (termasuk penggunaan kondom) dan konsultasikan ke klinik TBC jika ditemukan batuk lama yang tidak sembuh.

4. VCT dilakukan dengan prinsip 3C; Counselling, Confidential dan Consent

5. Ibu hamil dengan status HIV -, beri dukungan untuk tetap negatif dan melakukan aktivitas seksual yang sehat.

6. Ibu hamil dengan HIV mengetahui upaya yang dilakukan untuk menurunkan risiko penularan ke bayi dan mempunyai akses untuk profilaksis ART, pilihan persalinan (melalui konseling) dan PASI (Pengganti Air Susu Ibu) (melalui penyuluhan atau konseling).

7. Ibu hamil dengan status HIV +, diberikan profilaksis ARV (untuk mencegah penularan dari ibu ke bayi) dan kemudian dilakukan pemeriksaan CD4 nya untuk menentukan indikasi pemberian ARV.

8. Ibu hamil dengan HIV +, mempunyai pilihan untuk menentukan cara persalinan (melalui konseling) apakah memilih melahirkan melalui partus normal atau SC dan berharap ibu dengan HIV tidak memberikan ASI kepada bayinya.

9. Ibu dengan HIV +, setelah melahirkan mendapatkan ARV dengan indikasi (karena pemberian ART adalah untuk seumur hidup).

10. Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV , mendapatkan profilaksis ARV dan dilakukan pemeriksaan status HIV nya pada umur 18 bulan.

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN: Indikator Input:

(21)

1. Adanya dokumen kebijakan nasional, kebijakan pemerintah daerah dan fasilitas kesehatan tentang pelayanan HIV pada ibu hamil.

2. Provider telah dilatih/mendapat pelatihan tentang HIV pada ibu hamil.

3. Tersedia bagan alur informasi pelayanan rujukan dan daftar tempat rujukan kasus HIV

Indikator Proses dan Output:

1. Jumlah ibu hamil yang mendapat konseling HIV

2. Jumlah ibu hamil diduga mempunyai tanda/gejala HIV atau diduga termasuk berisiko HIV. Terdiri dari:

a) Jumlah ibu hamil yang merupakan pasangan dari kelompok berperilaku risiko tinggi untuk terinfeksi HIV.

b) Jumlah ibu hamil dengan gejala infeksi oportunistik c) Jumlah ibu hamil dengan riwayat perilaku berisiko 3. Jumlah ibu hamil yang dirujuk ke klinik VCT.

4. Jumlah pasangan dari ibu hamil yang dirujuk ke klinik VCT. 5. Jumlah ibu hamil dengan status HIV +

6. Jumlah ibu hamil dengan HIV, memilih melahirkan per-vaginam (melalui konseling)

7. Jumlah ibu hamil dengan HIV, memilih melahirkan dengan SC (melalui konseling) Indikator Outcome:

1. Jumlah bayi yang HIV+ dari ibu hamil HIV+ 2. Jumlah bayi yang HIV- dari ibu hamil HIV+

3. Jumlah bayi yang HIV+ menurut cara persalinan ibu hamil HIV+ 4. Jumlah efek samping obat ARV pada ibu hamil yang mendapat ARV.

REFERENSI:

1.

World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer, Integrated Management of Pregnancy and Childbirth : Standards For Maternal and Neonatal Care, Geneva, 2007.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Ditjen Pemberantasan Penyakit dan Pengendalian Lingkungan, Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi Odha, Jakarta, 2006.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Tata Laksana Infeksi HIV dan Antiretroviral pada Anak di Indonesia, Jakarta, 2008

F. PENCEGAHAN MALARIA DALAM KEHAMILAN STANDAR:

Semua ibu hamil di daerah endemis malaria mendapatkan penapisan malaria, kelambu berinsektisida (LLIN/Long Lasting Insecticide Nets (Kelambu berinsektisida tahan lama)) pada kunjungan antenatal pertamakali, dan bila hasil pemeriksaan positif untuk malaria, maka ibu hamil diberi pengobatan sesuai usia kehamilan. TUJUAN:

Menurunkan insidens penyakit malaria dan berbagai komplikasi/dampak negatif terhadap ibu hamil yang disebabkan oleh penyakit malaria

PERSYARATAN:

1. Tersedia pedoman teknis dan kebijakan nasional maupun lokal dalam pencegahan, penegakan diagnosis dan pengobatan penyakit malaria

(22)

2. Tersedianya pemberi pelayanan di unit pelayanan antenatal yang sudah terlatih dan kompeten dalam pengelolaan kasus malaria selama kehamilan antara lain: penegakan diagnosa baik secara mikroskopis maupun RDT, pemberian obat untuk kasus positif malaria, dan penyuluhan untuk penggunaan kelambu berinsektisida

3. Ibu hamil mau dan mampu mengakses ke tempat pelayanan asuhan antenatal . 4. Ada jaminan ketersediaan mikroskop atau RDT, obat dan kelambu

5. Penyuluhan dan pendidikan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat tentang bahaya malaria bagi ibu hamil telah dilaksanakan secara efektif.

6. Adanya informasi sistem dan tempat rujukan untuk kasus malaria. PELAKSANAAN:

Tim antenatal di daerah endemis harus mampu:

1. Melakukan pemeriksaan sediaan darah dengan mikroskopik atau RDT pada kunjungan pertama ibu hamil ataupun kunjungan berikutnya bila disertai dengan keluhan demam. Apabila serologis positif dilakukan pengobatan berdasarkan umur kehamilan.

Trimester I : Kina (dosis 10 mg/kg BB/kali diberikan 3 kali sehari selama 7 hari) Trimester II, III : ACT (Artemisinin Combination Therapy) (Artesunat 10 mg/kgBB, Amodiakuin 10mg/kgBB selama 3 hari )

2. Setiap ibu hamil diberikan kelambu berinsektisida disetiap kunjungan pertama, atau kunjungan berikutnya apabila belum mendapatkan kelambu pada kunjungan pertama/sebelumnya.

4. Dilakukan pemberian motivasi secara sungguh-sungguh agar semua ibu hamil bersedia tidur memakai kelambu sesegera mungkin selama umur kehamilan mereka bahkan dilanjutkan setelah pasca persalinan.

Tim Antenatal di daerah non-endemis harus mampu :

1. Mewaspadai jika dijumpai ibu hamil yang memiliki gejala anemis dan/atau demam jika sebelumnya mempunyai riwayat pernah menderita dan/atau berkunjung di daerah endemis malaria. Selanjutnya diberikan pengobatan sesuai dengan standar teknis pengobatan malaria yang berlaku secara nasional.

2. Sebagai bentuk upaya pencegahan dan dapat memberikan nasehat agar semua ibu hamil lebih waspada apabila akan tinggal atau berpergian ke wilayah endemis malaria dan dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap gigitan nyamuk misal dengan memakai pakaian tertutup, lotion anti nyamuk , dll

3. Dibuatkan catatan riwayat pengobatan malaria secara lengkap di kartu antenatal dari semua ibu hamil.

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN: Indikator Input:

1. Tersedia dokumen pedoman teknis dan kebijakan nasional maupun lokal dalam pencegahan, penegakan diagnosis dan pengobatan penyakit malaria 2. Tersedia Obat anti malaria di unit pelayanan antenatal

3. Tersedia Alat pemeriksaan sediaan darah malaria (mikroskop/RDT) 4. Tersedia kelambu berinsektisida

5. Terdapat dokumen rencana kegiatan penyuluhan Malaria berbasis komunitas 6. Terdapat bagan alur informasi pelayanan rujukan kasus Malaria dan daftar

tempat pelayanan yang menjadi rujukan Indikator Proses dan Output:

1. Jumlah ibu hamil yang dilakukan penapisan malaria 2. Jumlah ibu hamil yang mendapat kelambu berinsektisida Indikator Outcome:

(23)

1. Jumlah ibu hamil yang menderita malaria

2. Jumlah komplikasi akibat malaria (anemi, malaria berat, abortus, persalinan sebelum waktunya,BBLR/Berat Badan Lahir Rendah)

3. Jumlah ibu hamil yang tidur memakai kelambu malam sebelumnya (dalam 1 bulan)

4. Persentase ibu hamil yang menderita malaria (dengan denominator jumlah kasus malaria)

5. Persentase ibu hamil yang diobati sesuai pedoman tatalaksana kasus malaria REFERENSI:

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pencegahan dan Penanganan Malaria Pada Ibu Hamil dan Nifas, Jakarta, 2009.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia, Jakarta, 2008.

3.

World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer, Integrated Management of Pregnancy and Childbirth: Standards For Maternal and Neonatal Care, Geneva, 2007.

G. PENATALAKSANAAN TB DALAM KEHAMILAN (TB-ANC) DAN KUSTA STANDAR:

Semua wanita yang dijumpai pada periode kehamilan harus diberikan informasi yang tepat mengenai pencegahan dan pengenalan penyakit TB Paru dan Kusta. Mereka harus diperiksa gejala dan tanda TB Paru dan Kusta, dan bila perlu diberikan pengobatan yang tepat dan efektif bagi mereka

TUJUAN:

Menurunkan angka kesakitan atau angka kematian penyakit TB Paru dan Kusta dengan cara memutuskan rantai penularan, kekambuhan dan Multi Drug Resistant (MDR) (khusus pada TB Paru) dapat dicegah sehingga penyakit TB Paru dan Kusta tidak lagi merupakan masalah kesehatan bagi ibu hamil di Indonesia.

PERSYARATAN:

1. Adanya suatu kebijakan nasional dan adaptasi lokal pedoman pencegahan dan pengelolaan TB Paru dan Kusta pada semua ibu hamil

2. Tersedia pemberi pelayanan asuhan antenatal yang kompeten dalam mengenali dan memberikan informasi kepada para ibu tentang gejala, tanda dan pencegahan TB Paru dan Kusta

3. Terdapat tenaga wasor Kusta Kabupaten, minimal 2 orang per kabupaten, dibantu dengan dokter/petugas Kusta terlatih di Puskesmas.

4. Seluruh perlengkapan, supplai dan pengobatan yang diperlukan untuk penatalaksanaan, konseling dan pencegahan TB Paru dan Kusta tersedia di berbagai level tempat pelayanan asuhan antenatal .

5. Jasa pelayanan kesehatan untuk TB Paru dan Kusta mudah didapat dan terjangkau bagi ibu hamil

6. Terdapat mekanisme untuk merekam hasil pemeriksaan dan pengobatan TB paru

7. Kegiatan penyuluhan kesehatan dilaksanakan untuk meninggikan kesadaran masyarakat tentang pencegahan dan penatalaksanaan TB Paru dan Kusta pada kelompok ibu hamil

PELAKSANAAN: 1. Paradigma Sehat.

(24)

a) Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini mungkin, serta meningkatkan cakupan program.

b) Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat. c) Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi pada kondisi tertentu. 2. Srategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), sesuai rekomendasi

WHO, terdiri dari 5 komponen yaitu :

a) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dana.

b) Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis yang terjamin mutunya

c) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksanan kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

d) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu

e) Sistim Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.

3. Prinsip pengobatan bagi ibu hamil yang menderita TB paru adalah tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya :

a) Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 (6 bulan): (1) Phase Intensif 2 bulan setiap hari (2) Phase Lanjutan 4 bulan 3 kali seminggu

(3) Kategori 1 untuk pasien baru BTA (+), pasien baru BTA (-) dengan Rontgen (+)

b) Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 (8 bulan): (1) Phase Intensif 3 bulan setiap hari

(2) Phase Lanjutan 5 bulan 3 kali seminggu

(3)

Kategori 2 untuk pasien kambuh, pengobatan setelah putus berobat (default), gagal (failure)

4. Hampir semua OAT aman untuk kehamilan kecuali streptomisin

5. Ibu hamil dapat diberikan pengobatan TB kecuali streptomisin. Sebaiknya bila ibu hamil memerlukan pengobatan kategori 2 maka pengobatan sebaiknya ditunda

setelah melahirkan. Apabila pengobatan tidak bisa ditunda maka sebaiknya dirujuk untuk pengobatannya.

6. Prinsip pengobatan ibu hamil yang menderita kusta tidak berbeda dengan penderita kusta lainnya:

a) Multi Drug Treatment (MDT) untuk Pauci Basiler (PB) : Obat diberikan selama 6-9 bulan, terdiri dari:

o Dapson setiap hari o Rifamipisin (1x/bulan)

b)

MDT Multi Basiler (MB) : Obat diberikan selama 12-18 bulan terdiri dari: Rifamipisin (1x/bulan)

o Dapson setiap hari o Klofazimin setiap hari c) Reaksi Kusta

Reaksi kusta merupakan fase akut pada perjalanan penyakit kusta yang kronis. Sebelum, selama, dan sesudah penyakit kusta, reaksi dapat terjadi. Jika terjadi reaksi pada ibu hamil yang menderita kusta, pasien harus dirujuk d) Semua MDT aman untuk ibu hamil

7. Bidan di desa membantu penemuan kasus TB dan Kusta pada bumil melalui pengiriman dahak ke Unit pelayanan ANTENATAL pada TB, dan melaporkan tersangka/kasus Kusta pada petugas/wasor kusta di Puskesmas/Kabupaten. 8. Pengembangan program dilaksanakan secara bertahap keseluruh UPK.

9. Peningkatan kerjasama dengan semua pihak melalui kegiatan advokasi, diseminasi informasi dengan memperhatikan peran masing-masing.

(25)

10. Kabupaten/Kota sebagai titik berat manajemen program meliputi : perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi serta mengupayakan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).

11. Kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan dengan melibatkan semua unsur terkait.

12. Memperhatikan komitmen internasional.

13. Pada setiap ibu hamil harus dilakukan inspeksi kulit untuk mencari tanda/gejala kusta, dilakukan minimal sekali selama kehamilan. Bila ditemukan kelainan kulit/bercak disertai gangguan saraf berupa mati rasa/baal, nyeri saraf, tangan/kaki bengkok, kaki semper atau mata tidak dapat menutup, rujuk ke layanan yang lebih tinggi (petugas/wasor kusta atau dokter terlatih).

14. Tersedia informasi sistem rujukan dan tempat rujukan kasus TB Paru atau Kusta

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN: Indikator Input:

1. Pedoman pengelolaan TB dan kusta pada ibu hamil yang sesuai dengan standar dan arah kebijakan nasional tersedia di unit pelayanan ANTENATAL

2. Obat anti TB dan kusta tersedia di unit pelayanan ANTENATAL atau Puskesmas dan level yang lebih tinggi.

3. Tersedia tenaga pelaksana program TB dan kusta pada level yang lebih tinggi 4. KPP (Kelompok Unit pelayanan Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM (Unit

pelayanan Rujukan Mikroskopik) dan beberapa PS (Unit pelayanan Satelit). Untuk daerah dengan geografis sulit dapat dibentuk PPM (Unit pelayanan Pelaksana Mandiri).

5. Tersedia informasi tentang sistim rujukan dan tempat pelayanan yang menjadi rujukan TB dan kusta

Indikator Proses dan Output:

1. Ketepatan diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

2.

Kualitas laboratorium dijaga melalui pemeriksaan Uji Silang (Cross Check). 3. Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus menerus. 4. Keteraturan menelan obat sehari-hari diawasi oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Keteraturan pengobatan tetap merupakan tanggung jawab petugas kesehatan.

5. Dilakukan pemeriksaan inspeksi kulit ibu hamil untuk deteksi dini Kusta 6. Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan dengan teratur, lengkap dan benar. Keterangan:

Target dari program TB secara nasional antara lain : 1. Case detection rate (CDR) >70% 2. Conversion rate > 90%

3. Cure rate > 85% 4. Error rate < 5%

Ketercapaian beberapa indikator tersebut diatas diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya

Indikator Outcome:

1. Kematian ibu hamil yang terkait dengan TB paru 2. Komplikasi ibu yang terkait dengan TB paru 3. Jumlah kasus penularan infeksi TB paru ke bayi

4. Kematian perinatal yang terkait dengan TB paru selama kehamilan 5. Jumlah kasus Kusta pada Ibu hamil

(26)

REFERENSI:

1.

World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer, Integrated Management of Pregnancy and Childbirth : Standards For Maternal and Neonatal Care, Geneva, 2007.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2, Cetakan kedua, Jakarta, 2008

3.

IUATLD, Epidemiologic Basis of Tuberculosis Control, 1 st

edition, Paris 1999

4.

WHO, Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National

Programmes, 2 nd edition, Geneva, 2003; WHO/CDS/TB20003.313.

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta, Jakarta, 2007.

H. PENCEGAHAN KECACINGAN DALAM KEHAMILAN (PKDK) STANDAR:

Semua wanita hamil harus terlindung dari kecacingan dan akibat yang ditimbulkannya, baik terhadap ibu maupun bayi yang dilahirkan. Bila dijumpai anemia yang berat tanpa tanda-tanda lain, perlu adanya penapisan khusus tentang kecacingan.

TUJUAN:

Mencegah kecacingan dan akibat yang ditimbulkannya (anemia) pada ibu hamil maupun bayi yang dilahirkan

PERSYARATAN:

1.

Adanya kebijakan dan strategi nasional pencegahan kecacingan pada wanita hamil dan diimplementasikan dengan baik.

2. Ketersediaan pemberi pelayanan antenatal yang kompeten untuk memberikan penyuluhan/informasi tentang pencegahan, akibat dan pengendalian kecacingan dalam kehamilan

3. Terdapat fasilitas yang dibutuhkan untuk penapisan dan intervensi anemia dan kecacingan pada ibu hamil

4. Terdapat informasi tentang sistim rujukan dan tempat yang menjadi rujukan pelayanan kecacingan dalam kehamilan

PENERAPAN STANDAR:

1. Semua ibu hamil diperiksa kadar Hb pada kunjungan pertama antenatal. 2. Semua ibu hamil dengan gejala dan tanda anemia, terutama Hb < 8 g/dl perlu

dilakukan penapisan kecacingan dengan pemeriksaan tinja/feses dan gambaran hitung jenis (eosinofilia)

3.

Bila pemeriksaan tinja/feses menunjukkan hasil positif telur cacing atau keluar cacing pada waktu buang air besar maka perlu pengobatan

4.

Bila teridentifikasi suatu kasus kecacingan pada ibu hamil, berikan ibu obat cacingan sesudah melewati trimester ke 1.

5. Pada daerah dengan prevalensi kecacingan yang tinggi, semua ibu hamil dilakukan penapisan terhadap kecacingan

6. Memberikan penyuluhan kesehatan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang perlunya pencegahan kecacingan dalam kehamilan

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN: Indikator Input:

Gambar

Tabel 2. Pedoman imunisasi TT bagi ibu hamil yang telah diimunisasi saat bayi,  atau anak usia sekolah

Referensi

Dokumen terkait

Program microfinance pertanian ini telah mampu mencapai tujuan jangka pendeknya yakni membantu anggota dalam menyediakan modal dalam bentuk pinjaman untuk mengembangkan

Pendalaman yang saksama dari kalender sejarah Alkitab menunjukkan bahwa jadwal waktu untuk penghakiman Allah atas gereja-gereja akan berlangsung selama 23 tahun, tepat pada hari

Abstrak: Kerusakan tebing (Erosi) yang terjadi disebabkan oleh gerusan pada pias sungai Krueng Aceh di desa Lamsie karena didominasi oleh perubahan perilaku

From the results obtained residue level of pesticides in tomatoes from Pasar buah brastagi kabupaten karo without washing 02928 mg/kg, tomatoes are washed with running

Proses belajar bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif mengenal sifat-sifat air pada anak. Oleh karena itu, dapat dikatakan yang menjadi salah satu faktor penting

Tanaman sayuran tahunan adalah tanaman sumber vitamin, garam mineral, dan lain-lain yang dikonsumsi dari bagian tanaman yang berupa daun dan atau buah

Penghapusan node tidak boleh dilakukan jika keadaan node sedang ditunjuk oleh pointer, maka harus dilakukan penunjukkan terlebih dahulu dengan pointer hapus pada head,

Setelah menjalani program kerja praktik, penulis ditempatkan di divisi EC dari hal itu dapat di simpulkan bahwa tidak seluruh ilmu yang diperoleh di bangku kuliah dipakai dalam