• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN MENCIT DAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL PENELITIAN NIKOTIN SKRIPSI GUTAMA AGUS PRIBADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGUNAAN MENCIT DAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL PENELITIAN NIKOTIN SKRIPSI GUTAMA AGUS PRIBADI"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN MENCIT DAN TIKUS SEBAGAI

HEWAN MODEL PENELITIAN NIKOTIN

SKRIPSI

GUTAMA AGUS PRIBADI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

GUTAMA AGUS PRIBADI. D14102060. 2008. Penggunaan Mencit dan Tikus

Sebagai Hewan Model Penelitian Nikotin. Skripsi. Program Studi Teknologi

Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer

Pembimbing Anggota : dr. Anwar Wardy Warongan, Sp.S, DFM

Nikotin adalah suatu zat yang terkandung pada tembakau. Tembakau sebagai salah satu produk sumber pendapatan negara, saat ini mulai terancam keberadaannya dan mulai ditentang oleh beberapa kalangan karena hanya diihat dari sisi negatifnya saja.. Nikotin berfungsi sebagai pengontrol nafsu makan, selain itu nikotin memiliki manfaat yang positif yaitu dapat membantu dalam meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, meningkatkan perasaan senang serta mengurangi stress. Berbagai hewan percobaan mulai dikembangkan untuk mendukung kegiatan-kegiatan dan penelitian-penelitian berbasis ternak dan kesehatan, diantaranya adalah mencit (Mus musculus) dan tikus putih (Rattus novergicus). Mencit dan tikus putih sering digunakan sebagai hewan percobaan (hewan model) karena murah, cepat berkembang-biak, sifat anatomis dan karakter fisiologisnya mirip mamalia lain seperti manusia.

Penelitian ini laksanakan di Laboratorium Lapangan, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada bulan November sampai Desember 2006. Materi yang digunakan 30 ekor mencit dan 30 ekor tikus putih jantan lepas sapih yang diberi pakan dengan penambahan tepung tembakau yang terdiri dari tiga taraf perlakuan yaitu 0; 0,16; dan 0,32%. Kadar nikotin dalam tepung tembakau yang digunakan sebesar 10mg/g. Parameter yang diukur meliputi bobot badan, pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, konversi pakan, mortalitas, dan pengamatan tingkahlaku harian mencit dan tikus. Data yang diperoleh dari hasil percobaan dengan mencit dan tikus yang diberi perlakuan nikotin dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), sedangkan untuk data pengamatan tingkahlaku dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus memberikan respon perlakuan yang lebih baik dibandingkan mencit. Semakin tinggi kadar nikotin yang diberikan maka pertambahan bobot badan tikus semakin kecil. Pada mencit, pemberian nikotin (0,32%) meningkatkan konsumsi pakan dibandingkan mencit yang tanpa diberi nikotin, sedangkan pada tikus pemberian nikotin (0,16% dan 0,32%) berpengaruh pada penurunan daya konsumsi pakan. Konversi pakan tikus lebih rendah dibandingkan mencit, artinya tikus lebih efisien dalam menggunakan pakan. Pada mencit, semakin tinggi dosis nikotin yang diberikan maka semakin aktif makan, tetapi tingkahlaku bergerak menurun dan aktivitas sosial cenderung meningkat. Pada tikus, penambahan nikotin berpengaruh menurunkan tingkahlaku makan, tetapi tingkahlaku minum meningkat. Pemberian nikotin pada tikus cenderung meningkatkan aktivitas bergerak.

(3)

ABSTRACT

Mice and Rats Utilization as Model Animals for Nicotine Reseach

Pribadi, G. A., S. S. Mansjoer, and A. W. Warongan

Nicotine is a substract which is consisted in tobbaco. Tobbaco as one of the nation’s income, nowdays becomes a serious position agains the protest from several communities who only observe its negative inputs. Nicotine is an appetite control, it also helps to increase concentration and recall, improve pleasant feelings and decreases stress. Various animals have been improved to support research activities related to husbandry and medicals, both are mice (Mus musculus) and white haired rats (Rattus novergicus). Mice and rats are very common as research model animals. The anatomy and physiology are similiar to mammals such as human. This research was done at the field laboratory of Animal Breeding and Genetics Division, Animal Production and Technology Department, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University, from November up to the end of December 2006. The materials were 30 heads of mice and 30 heads of male white haired rats on post-weaning. The animals were supplemented of tobbaco mashed which consisted of three different treatments, 0, 0.16, and 0.32%. The levels of nicotine in tobacco mashed was 10mg/g. Each treatment consisted 10 heads and were placed in cages, each cage for two heads. The variables were body weight, body weight gain, feed consumption, feed conversion, mortality, and daily behaviours. The data were analysed by randomized group design, while the behaviours were analyzed descriptively from the one-zero method. The results showed the rats gave better respons to nicotine treatments. Supplementation of nicotine effected on decrease of feed consumption and body weight gain. On mice, the feed consumption of 0.32% treatment showed higher than control. Feed conversion of rats lower than mice. Rats showed more efficient for feed. On mice, supplementation of nicotine increased feeding and social behaviour but decreased on locomotion behaviour. On rats, supplementation of nicotine could decrease feeding behaviour, but increased of drinking and locomotion behaviour.

(4)

PENGGUNAAN MENCIT DAN TIKUS SEBAGAI

HEWAN MODEL PENELITIAN NIKOTIN

GUTAMA AGUS PRIBADI D14102060

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

PENGGUNAAN MENCIT DAN TIKUS SEBAGAI

HEWAN MODEL PENELITIAN NIKOTIN

Oleh

GUTAMA AGUS PRIBADI D14102060

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 21 Mei 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dr.Anwar Wardy Warongan, Sp. S, DFM

NIP. 130 354 159 NIP. 5004 0228

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr. NIP. 131 955 531

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Agustus 1984 di Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak tunggal dari pasangan Bapak Jatmiko dan Ibu Anna Sutinah.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri Cibuluh 2, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP Negeri 1 Bogor dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMU Negeri 1 Bogor.

Pada tahun 2002 Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti pendidikan, Penulis pernah menjadi pengurus OSIS SMU Negeri 1 Bogor, Ketua Komunitas Seni Fakultas Peternakan “Theater Kandang” 2004-2005, Ketua Persekutuan Mahasiswa Protestan-Katolik Fakultas Peternakan (POPK) 2004-2005, mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2005. Selain itu, Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan kepanitiaan yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D) dan Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER).

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan YME yang dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Penggunaan Mencit dan Tikus Sebagai Hewan Model Penelitian Nikotin” di bawah bimbingan Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan dr.Anwar Wardy Warongan, Sp.S, DFM.

Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan November hingga Desember 2006 di Bagian Pemulian dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Penulis tertarik melakukan penelitian nikotin dengan menggunakan mencit dan tikus putih, karena mencit dan tikus putih merupakan hewan model yang paling sering digunakan untuk penelitian, murah dan sifat-sifatnya mirip dengan mamalia besar lainnya. Disamping itu tembakau sebagai bahan yang mengandung nikotin saat ini keberadaannya mulai ditentang berbagai kalangan, padahal keberadaannya sangat membantu dalam perolehan pendapatan negara kita.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”, sehingga kritik dan saran sangat Penulis harapkan. Penulis berpendapat skripsi ini dibuat sebagai awal suatu proses pembelajaran mandiri yang tidak pernah berhenti. Semoga hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, Juni 2008

Penulis

(8)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... i ABSTRACT ... ii RIWAYAT HIDUP ... v KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Manfaat ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Mencit dan Tikus ... 3

Klasifikasi Mencit dan Tikus ... 3

Pertumbuhan ... 7

Pertambahan Bobot Badan... 7

Konsumsi Ransum dan Air Minum ... 8

Konversi dan Keefisienan Ransum ... 9

Nikotin ... 10

Dampak dari Nikotin ... 12

Pengaruh Nikotin pada Reproduksi ... 12

METODE ... 13

Lokasi dan Waktu ... 13

Materi ... 13

Hewan ... 13

Pakan ... 13

Kandang dan Peralatan ... 14

Rancangan ... 15

Analisis Data ... 16

Prosedur ... 17

Persiapan Penelitian ... 17

(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Kondisi Lingkungan ... 20

Bobot Badan ... 21

Bobot Badan Mencit... 21

Bobot Badan Tikus... .. 22

Pertambahan Bobot Badan ... 24

Pertambahan Bobot Badan Mencit dan Tikus... 24

Konsumsi Pakan ... 27

Konversi Pakan ... 31

Mortalitas ... 32

Tingkahlaku Mencit dan Tikus ... 33

Tingkahlaku Makan ... 34

Tingkahlaku Minum ... 35

Tingkahlaku Istirahat... 36

Tingkahlaku Eliminasi... 38

Tingkahlaku Perawatan Tubuh ... 38

Tingkahlaku Agresi... 39

Tingkahlaku Sosial ... 39

Tingkahlaku Bergerak/Lokomosi... 40

SIMPULAN DAN SARAN ... 42

Simpulan ... 42

Saran ... 42

UCAPAN TERIMAKASIH ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Klasifikasi Mencit (Mus musculus)

dan Tikus Putih (Rattus novergicus) ... 3

2. Karakteristik Biologi Mencit (Mus musculus) dan Tikus Putih (Rattus novergicus) ... 6

3. Komposisi Ransum Penelitian... ... 14

4. Rataan Suhu dan Kelembaban selama Penelitian... . 20

5. Rataan Bobot Badan Awal dan Akhir Mencit Penelitian... 21

6. Rataan Bobot Badan Awal dan Akhir Tikus Penelitian... . 23

7. Pertambahan Bobot Badan (PBB) Mencit dan Tikus Penelitian... 25

8. Konsumsi Pakan Mencit dan Tikus per Hari... ... 28

9. Konversi Pakan Mencit dan Tikus selama Penelitian... 31

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Struktur Kimia Nikotin ... 11

2. Kandang, Tempat Pakan dan Minum ... 14

3. Bagan Kandang Percobaan ... 17

4. Kurva Pertumbuhan Mencit selama Penelitian... 22

5. Kurva Pertumbuhan Tikus selama Penelitian... 24

6. Histogram Pertambahan Bobot Badan Mencit... 26

7. Histogram Pertambahan Bobot Badan Tikus... 27

8. Histogram Konsumsi Pakan Mencit... ... 29

9. Histogram Konsumsi Pakan Tikus... ... 30

10. Tingkahlaku Makan Tikus Penelitian... ... 35

11. Tingkahlaku Minum Tikus Penelitian... . 36

12. Rataan Frekuensi Tingkahlaku Harian Mencit dan Tikus... 37

13. Tingkahlaku Istirahat Mencit dan Tikus Penelitian... 37

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Ragam Bobot Badan Awal Mencit Penelitian... 48

2. Hasil Analisis Ragam Bobot Badan Akhir Mencit Penelitian... 48

3. Hasil Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Mencit Selama Penelitian... 48

4. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Pakan Mencit Selama Penelitian... 48

5. Hasil Analisis Ragam Konversi Pakan Mencit Selama Penelitian... 48

6. Hasil Analisis Ragam Bobot Badan Awal Tikus Penelitian... 49

7. Hasil Analisis Ragam Bobot Badan Akhir Tikus Penelitian... 49

8. Hasil Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Tikus Selama Penelitian... 49

9. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Pakan Tikus Selama Penelitian... 49

10. Hasil Analisis Ragam Konversi Pakan Tikus Selama Penelitian... 49

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tanaman tembakau (Nicotiana tabacum) termasuk kelompok tumbuhan beracun dan banyak dikonsumsi dalam bentuk rokok. Informasi yang beredar di masyarakat tentang nikotin dalam tembakau atau rokok hanya terbatas pada pengaruh negatifnya saja dan kurang sekali informasi sisi positifnya. Penggunaan nikotin dalam dosis yang berlebihan dapat menyebabkan kematian, namun dalam batas normal efek stimulasi dari nikotin menyebabkan peningkatan perhatian, belajar, waktu reaksi, dan kemampuan untuk memecahkan masalah. Tembakau sebagai bahan utama produksi rokok telah memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan negara selama ini. Selama rentang waktu dari Tahun Anggaran 1995/1996 hingga semester I Tahun Anggaran 2003, peneriman cukai rokok telah meningkat sekitar 7,6 kali, yaitu dari 3.667,60 miliar rupiah menjadi 27,945,60 miliar rupiah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa peneriman dari cukai rokok masih memiliki potensi yang cukup besar untuk terus ditingkatkan sebagai salah satu sumber penerimaan Negara (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003). Nikotin dalam tembakau akan memberikan efek kecanduan dan menimbulkan rasa kepuasan bagi mereka yang mengkonsumsinya baik dalam bentuk rokok maupun nikotin murni. Penggunaan nikotin dengan dosis yang tepat diharapkan dapat memberikan efek positif bagi penggunanya.

Berbagai hewan percobaan mulai dikembangkan untuk mendukung kegiatan-kegiatan dan penelitian-penelitian berbasis ternak dan kesehatan, diantaranya adalah mencit (Mus musculus) dan tikus putih (Rattus novergicus). Mencit dan tikus putih sering digunakan sebagai hewan percobaan (hewan model) karena murah, cepat berkembang-biak, interval kelahiran pendek, jumlah anak per kelahiran tinggi, sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Promono, 1989). Beberapa kendala yang dihadapi dalam peternakan mencit, salah satunya adalah kepekaan ternak ini terhadap berbagai perubahan lingkungan, seperti cekaman panas, kelembaban yang berfluktuasi dan ransum berkualitas rendah. Penggunaan hewan model telah banyak digunakan dalam penelitian di bidang biomedis dan farmasi yang dapat memberikan kontribusi terhadap kesehatan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan manusia.

(14)

Tembakau sebagai salah satu produk sumber pendapatan negara, saat ini mulai terancam keberadaannya dan mulai ditentang oleh beberapa kalangan karena hanya diihat dari sisi negatifnya saja. Tembakau mengandung nikotin, yaitu suatu zat yang telah diakui oleh organisasi kedokteran internasional sebagai pembawa sifat kecanduan. Perlakuan dengan menggunakan nikotin berfungsi sebagai pengontrol nafsu makan, selain itu nikotin memiliki manfaat yang positif yaitu dapat membantu dalam meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, meningkatkan perasaan senang pada penderita penyakit alzeimer dan parkinson serta mengurangi stress.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi sensitivitas respon nikotin (asal tembakau Indonesia) terhadap mencit dan tikus putih sebagai hewan model mamalia pada masa pertumbuhan, dalam menentukan hewan-coba yang lebih tepat guna.

Manfaat

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar informasi bagi penelitian biomedis dan farmasi, untuk mengembangkan penelitian-penelitian yang menggunakan nikotin pada hewan model mamalia, yang dapat menjadi jembatan dalam penggunaan hewan model lainnya yang mendekati karakteristik biologis manusia.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Mencit dan Tikus Klasifikasi Mencit dan Tikus

Menurut Malole dan Promono (1989), mencit hidup di berbagai daerah mulai dari iklim dingin, sedang maupun panas dan dapat hidup dalam kandang atau hidup bebas sebagai hewan liar. Mencit liar lebih suka suhu lingkungan yang tinggi namun dapat beradaptasi dengan baik pada suhu yang rendah. Bulu mencit liar berwarna abu-abu dan warna perut sedikit lebih pucat, mata berwarna hitam dan kulit berpigmen. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa setelah dibudidayakan dan diseleksi selama puluhan tahun, sekarang mencit memiliki warna bulu dan galur dengan bobot badan yang bervariasi. Tikus putih (Rattus novergicus) sangat baik sebagai hewan percobaan, lebih cepat menjadi dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih mudah berkembang biak. Menurut Arrington (1972) dan Priambodo (1995), mencit dan tikus masih merupakan satu famili, yaitu termasuk ke dalam famili Muridae. Klasifikasi mencit dan tikus di sajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Mencit (Mus musculus) dan Tikus Putih (Rattus novergicus)

Klasifikasi Mencit1) Tikus2)

Kerajaan Hewan Hewan

Filum Chordata Chordata

Sub-Filum Vertebrata Vertebrata

Kelas Mamalia Mamalia

Ordo Rodentia Rodentia

Sub-Ordo Myoimorphia -

Famili Muridae Muridae

Genus Mus Rattus

Spesies Mus musculus Rattus novergicus

Sumber: 1) Arrington (1972) 2) Priambodo (1995)

(16)

Berdasarkan sifat genetiknya terdapat tiga macam mencit (Malole dan Promono, 1989):

1) Random Breed Mice yaitu mencit yang dikawinkan secara acak dengan mencit yang tidak ada hubungan keturunan,

2) Inbreed mice yaitu mencit hasil perkawinan antar saudara sebanyak lebih dari 20 turunan, dan

3) F1-Hybrid yaitu mencit hasil perkawinan antara dua galur yang inbreed. Berdasarkan lingkungan hidupnya mencit dibagi dalam empat kategori:

1) mencit bebas hama yaitu mencit yang bebas dari mikroorganisme yang dapat dideteksi,

2) mencit yang hanya mengandung mikroorganisme tertentu, 3) mencit yang bebas mikroorganisme patogen tertentu, dan

4) mencit biasa yaitu mencit yang dipelihara tanpa perlakuan khusus.

Mencit merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan model laboratorium dengan kisaran penggunaan antara 40-80%. Menurut Moriwaki et al. (1994), mencit banyak digunakan sebagai hewan laboratorium (khususnya digunakan dalam penelitian biologi), karena memiliki keunggulan-keunggulan seperti siklus hidup relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi, mudah ditangani, serta sifat produksi dan karakteristik reproduksinya mirip hewan lain, seperti sapi, kambing, domba, dan babi. Menurut Malole dan Pramono (1989), berbagai keunggulan mencit seperti: cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya tinggi dan sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik.

Tikus merupakan hewan mamalia yang mempunyai peranan penting bagi manusia untuk tujuan ilmiah karena memiliki daya adaptasi baik. Tikus yang banyak digunakan sebagai hewan model laboratorium dan peliharaan adalah tikus putih (Rattus novergicus). Tikus putih memiliki beberapa keunggulan antara lain penanganan dan pemeliharaan yang mudah karena tubuhnya kecil, sehat dan bersih, kemampuan reproduksi tinggi dengan masa kebuntingan singkat, serta memiliki karakteristik produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia lainnya (Malole dan Pramono, 1989).

(17)

Mencit laboratorium merupakan hewan yang sejenis dengan mencit liar atau mencit rumah yang tersebar di seluruh dunia dan sering ditemukan di dalam rumah atau gedung-gedung yang tidak dihuni manusia sepanjang ada makanan dan tempat untuk berlindung. Mencit liar makan segala makanan (omnivora) dan mau mencoba makanan apapun yang tersedia termasuk makanan yang tidak biasa dimakan. Mencit liar dapat dengan mudah memanjat dinding batu bata, masuk lubang yang kecil dan liang di dinding maupun celah-celah atap (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Mencit dapat hidup mencapai umur 1-3 tahun tetapi terdapat perbedaan usia dari berbagai galur terutama berdasarkan kepekaan terhadap lingkungan dan penyakit. Selama hidupnya, hewan ini beranak selama 7-18 bulan dan menghasilkan anak rata-rata 6-10 anak/kelahiran dengan tingkat kesuburan sangat tinggi yaitu dapat menghasilkan kurang lebih satu juta keturunan dalam kurun waktu kurang lebih 425 hari dengan rataan jumlah anak 8 ekor per kelahiran. Mencit bila diperlakukan dengan baik akan memudahkan penanganan, sebaliknya perlakuan yang kasar akan menimbulkan sifat agresif bahkan dapat menggigit pada kondisi tertentu. Mencit betina yang sedang menyusui anak akan mempertahankan sarangnya dan bila anaknya dipegang dengan tangan yang kotor, induknya akan menggigit dan memakan anak tersebut (Malole dan Pramono, 1989).

Percobaan-percobaan tentang makanan, dan defisiensi zat makanan pada semua jenis hewan termasuk manusia, kebanyakan menggunakan tikus daripada hewan percobaan lain. Lama hidup tikus dapat mencapai umur 3,5 tahun, dengan kecepatan tumbuh 5 g per hari. Dibandingkan dengan tikus lain, tikus laboratorium lebih cepatr dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman dan lebih cepat berkembang biak, bobot badan dewasa mencapai 450 g tergantung galur (Malole dan Pramono, 1989).

(18)

Tabel 2. Karakteristik Biologi Mencit (Mus musculus) dan Tikus Putih (Rattus novergicus)

Kriteria Mencit Tikus

Lama hidup (tahun) 1-31) 2,5-3,59) Lama bunting (hari) 19-211)2) 21-239) Umur disapih (hari) 18-281); 18-212) 219) Umur dewasa kelamin (hari) 351) - Umur dewasa tubuh (hari) 561) 40-609) Bobot lahir (g/ekor) 0,5-1,01); 1,523); 1,374),

1,665); 1,486);1,587)

5-69) Bobot sapih (g/ekor) 18-201); 10-122); 6,983),

7,544); 9,485); 12,506); 6,987)

-

Bobot dewasa jantan (g/ekor) 20-401)2) 300-4001) 450-5209)

Bobot dewasa betina (g/ekor) 18-351)2) 250-3009) Pertambahan bobot badan

(g/ekor/hari)

11); 0,498) 59) Jumlah anak per kelahiran

(ekor) 6-15

1);9,063); 7,674), 7,725);

8,566); 10,57) 6-12

9)

Pernafasan (per menit) 140-1801); 1632) - Denyut jantung (per menit) 600-6501); 6002) -

Suhu tubuh (oC) 35-391) 35,9-37,59) Suhu rektal (oC) 37-401) - Konsumsi makanan (g/ekor/hari) 3-51); 4-52); 4,208) 10 g/100g bobot badan/ hari9) Konsumsi air minum

(ml/ekor/hari) 4-8

1); 4-72); 5,635) -

Aktivitas Nokturnal1) Nokturnal9)

Sumber: 1) Smith dan Mangkoewidjojo (1988). 5) Huda (2004). 9) Malole dan Pramono (1989)

2) Arrington (1972). 6) Rosa (2004). 3) Singarimbun (2003). 7) Jaenudin (2002). 4) Fitriawati (2001). 8) Hadian (2004).

Menurut Blakely dan David (1991), mortalitas merupakan jumlah atau persentase ternak yang mati dalam suatu populasi pada tempat dimana ternak tersebut berada, kondisi lingkungan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan ternak dapat menurunkan angka mortalitas. Nilai mortalitas dalam bentuk persentase diperoleh dengan cara membagi jumlah tikus yang mati selama selang waktu tertentu dengan jumlah populasi awal, dikalikan 100%. Mortalitas mencit dipengaruhi oleh

(19)

kualitas pakan, kepekaan terhadap penyakit, suhu dan kelembaban kandang serta manajemen pemeliharaan mencit. Menurut penelitian Hadian (2004), mortalitas mencit dari umur 3-8 minggu sebesar 5% pada lingkungan yang normal dengan pemberian ransum berkadar protein 23%. Menurut Raimon (2006), tingkat mortalitas tikus dengan pemberian ransum berkadar protein 16% adalah 0%, artinya tidak ada tikus yang mati selama penelitian.

Pertumbuhan Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dapat digunakan sebagai kriteria untuk mengukur pertumbuhan yaitu suatu proses yang sangat kompleks yang meliputi pertambahan bobot hidup dan perkembangan semua bagian tubuh secara serentak dan merata (Maynard et al. 1979). Nilai pertambahan bobot badan diperoleh melalui pengukuran bobot badan yang dilakukan secara berkala pada waktu tertentu (Tillman, 1989).

Menurut Sudono (1981), kurva pertumbuhan mencit merupakan titik-titik pertemuan antara bobot badan dengan waktu, pola kurva pertumbuhan mencit berbentuk sigmoid. Pertumbuhan mencit ada dua fase yaitu fase tumbuh cepat saat laju pertambahan bobot badan mencit meningkat tajam, dan fase yang kedua yaitu fase tumbuh lambat saat laju pertambahan bobot badan mulai menurun sampai menjadi nol yaitu hewan telah mencapai dewasa tubuh. Titik antara dua fase tersebut disebut titik peralihan dan terjadi pada umur 29-30 hari. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada umur 21-29 hari baik pada mencit jantan maupun pada mencit betina masing-masing sebesar 0,55 dan 0,50 g/hari. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan seekor mencit adalah 1 g/ekor/hari. Hasil penelitian Hadian (2004) menunjukkan rata-rata pertambahan bobot badan mencit umur 3-8 minggu sebesar 0,49 g/ekor/hari. Bobot badan yang dicapai pada umur 35 hari sebesar 20,49 g dengan pemberian ransum berkadar protein 23%. Menurut hasil penelitian Feri (2004), pertambahan bobot badan mencit jantan dari umur 3-8 minggu sebesar 0,60 g/ekor/hari lebih tinggi (P<0,01) dibanding pada betina 0,45 g/ekor/hari dengan ransum berkadar protein 19,07%.

Menurut hasil penelitian Raimon (2006), pertambahan bobot badan tikus jantan dari umur 3-8 minggu sebesar 2,74 g/ekor/hari dengan pemberian ransum

(20)

berkadar protein 16%. Menurut Gultom (2003), pertambahan bobot badan tikus sebesar 2,36 g/ekor/hari dengan pemberian pakan berkadar protein 21-23%. Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa pertambahan bobot badan tikus dapat mencapai 5 g/ekor/hari.

Konsumsi Ransum dan Air Minum

Menurut Anggorodi (1985), ransum merupakan makanan yang disediakan bagi hewan untuk kebutuhannya selama 24 jam. Menurut Parakkasi (1999), konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh hewan dalam jangka waktu tertentu. Tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya ransum yang dikonsumsi, semakin tinggi energi ransum maka konsumsinya semakin menurun. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), ransum yang dapat diberikan pada mencit adalah ransum ayam komersial dengan kandungan protein kasar 20-25%, lemak 10-12%, pati 44-55%, serat kasar 4% dan abu 5-6%, seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi ransum 3-5 g/ hari. Menurut penelitian Hadian (2004), rata-rata konsumsi ransum mencit sebesar 4,20 g/ekor/hari dengan menggunakan ransum berkadar protein 23%, penelitian Feri (2004) menghasilkan rata-rata konsumsi ransum mencit jantan 4,23 g/ekor/hari lebih tinggi (P<0,01) daripada betina 3,71 g/ekor/hari. Ransum yang digunakan berkadar protein 19,07%.

Menurut Priambodo (1995), kebutuhan pakan bagi seekor tikus putih setiap harinya kurang lebih sebanyak 10% dari bobot tubuhnya., jika pakan tersebut merupakan pakan kering. Hal ini dapat meningkat sampai 15% dari bobot tubuhnya, jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah. Menurut penelitian Raimon (2006), rata-rata konsumsi tikus adalah 18,62 g/ekor/hari dengan pemberian ransum berkadar protein 16%. Menurut Gultom (2003), rata-rata konsumsi tikus dengan pemberian pakan berkadar protein 21-23% adalah 16,09 g/ekor/hari.

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), tikus putih dewasa makan setiap hari antara 12-20g, kualitas pakan merupakan faktor penting yang mempengaruhi kemampuan tikus mencapai potensi genetik untuk tumbuh. Kebutuhan protein tikus adalah 12% (lengkap berisi 20 asam amino), lemak 5% dan serat kasar ±5%, makanan tikus juga harus mengandung vitamin A, vitamin D, asam linoleat, tiamin, riboflavin, pantotenat, vitaminb B12, biotin, piridoksin dan kolin, serta

(21)

mineral-mineral tertentu. Menurut Malole dan Pramono (1989), tikus dewasa membutuhkan 10g makanan per hari per 100g bobot badan. Tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban, kesehatan, dan kualitas makanan itu sendiri.

Menurut Anggorodi (1973) air merupakan zat kimiawi anorganik terpenting dalam tubuh hewan, berfungsi sebagai cairan interseluler dan intraseluler pengangkut zat-zat makanan, metabolit dan zat-zat sisa dari dan ke seluruh tubuh, melumas persendian, bantalan bagi sistem syaraf dan banyak lagi manfaat dari air. Berdasarkan jenis fungsi dan kegunaannya, air dapat dianggap sebagai suatu zat makanan yang sangat esensial sehingga menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) air minum untuk mencit harus selalu tersedia (ad libitum), tidak terkontaminasi, tidak kotor dan disterilkan sekurang-kurangnya satu kali setiap dua minggu. Tillman (1989) mengatakan bahwa air adalah salah satu zat makanan yang penting bagi hewan dan kebutuhan hewan akan air sangat tinggi karena air berfungsi sebagai media untuk aktivitas metabolik. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyarankan kebutuhan air minum seekor mencit setiap hari berkisar antara 4-8 ml. Menurut Malole dan Pramono (1989), air minum yang diperlukan seekor mencit berkisar antara 3-6 ml/hari dengan bobot badan antara 20-40 g. Menurut penelitian Huda (2004), konsumsi air minum mencit sebesar 5,63 ml/ekor/hari. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), tiap hari seekor tikus dewasa minum 20-45 ml air. Tingkat konsumsi ransum dan air minum bervariasi menurut suhu kandang, kelembaban, kualitas makanan, kesehatan, dan kadar air dalam makanan..

Konversi dan Keefisienan Ransum

Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah konsumsi dengan produksi yang dicapai pada periode tersebut. Tujuan utama pemberian pakan adalah untuk menghasilkan pertumbuhan yang paling cepat dengan jumlah pakan paling sedikit serta hasil yang memuaskan (Blakely dan David, 1991). Menurut penelitian Hadian (2004), konversi ransum mencit sebesar 8,84 dengan ransum berkadar protein 23%, sedangkan menurut penelitian Feri (2004), konversi mencit jantan sebesar 7,29 lebih besar (P<0,01) daripada betina sebesar 8,83 dengan ransum berkadar protein 19,07%. Menurut Sudono (1981), konversi pakan berhubungan dengan keefisienan pakan, rumus keefisienan pakan berbanding terbalik dengan

(22)

konversi pakan, yaitu perbandingan jumlah produksi yang dicapai dengan jumlah konsumsi ransum. Keefisienan pakan tergantung dari suhu, kualitas pakan dan umur ternak tersebut. Rata-rata keefisienan pakan mencit umur 3-8 minggu adalah 0,167 dengan keefisienan tertinggi terjadi pada umur 21-29 hari yaitu sebesar 0,255.

Menurut Raimon (2006), konversi tikus jantan sebesar 8,35 lebih besar (P<0,01) daripada betina sebesar 13,19 dengan pemberian ransum berkadar 16%, hal ini mengindikasikan bahwa tikus putih jantan memiliki pertambahan bobot badan lebih tinggi dengan konsumsi ransum lebih rendah dibandingkan dengan tikus putih betina.

Nikotin

Nikotin adalah alkaloid yang secara alami ditemukan pada tumbuhan tembakau. Kandungan nikotin pada berat kering daun tembakau adalah 0,3-15% (Wikipedia, 2006). Menurut Chaloupka (2000), tembakau berisi nikotin, suatu zat yang telah diakui oleh organisasi kedokteran internasional sebagai pembawa sifat kecanduan. Ketergantungan pada tembakau telah tercatat dalam Klasifikasi Penyakit Internasional (International Classification of Diseases). Nikotin memenuhi kriteria kunci penyebab kecanduan atau ketergantungan, seperti: dorongan penggunaan yang kuat, meskipun ada hasrat dan upaya berulang-ulang untuk berhenti; pengaruh-pengaruh psikoaktif akibat bekerjanya zat-zat itu pada otak; dan perilaku-perilaku yang dimotivasi oleh efek-efek “penguatan” zat psikoaktif itu.

Menurut BALITTAS (1999), tembakau termasuk kelompok tumbuhan beracun, dalam susunan taksonominya tembakau termasuk famili Solanaceae dan genus Nicotiana. Genus ini mempunyai 3 subgenus, yaitu rustica, tabacum dan petunioides. Susunan taksonomi Nicotiana tabacum sebagai berikut:

Famili : Solanaceae Subfamili : Nicotianae Genus : Nicotiana Subgenus : Tabacum Seksi : Genuinae

(23)

Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang dengan panjang antara 50-70 cm, akar serabut akan tumbuh setelah dipindah tanam, yang berkembang disekitar leher akar. Pada tanaman tembakau, akar merupakan tempat sintetis nikotin sebelum diangkut melalui pembuluh kayu ke daun. Oleh karena itu faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan akar, seperti kekeringan dan pemangkasan pucuk dapat mengakibatkan meningkatnya kadar nikotin. Tanaman tembakau dapat mensintesis nikotin dari nitrogen yang diserap sebelum maupun setelah dipangkas. Daun tembakau mengandung alkaloida, saponin, flavonoida, dan polifenol

Nikotin memiliki nama kimia 3-(1-methyl-2-pyrrolidinyl)pyridine, rumus kimia C10H14N2, titik didihnya 247°C, dan memiliki kepadatan 1,01 g/ml.

Gambar 1. Struktur Kimia Nikotin (Wikipedia, 2006)

Pada dosis yang rendah nikotin memiliki efek merangsang, meningkatkan aktivitas, kewaspadaan dan daya ingat. Dosis mematikan pada nikotin yang dilaporkan dapat membunuh 50% populasi adalah 50mg/kg bobot badan untuk tikus dan 3mg/kg bobot badan untuk mencit (Wikipedia, 2006).

Dari segi farmakologi ada tiga masalah yang perlu diperhatikan tentang nikotin yaitu absorbsi nikotin, keracunan nikotin, dan daya kerja nikotin. Nikotin dapat diserap melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran pencernaan yang bernuansa basa (Gilman et al. 1980). Keracunan dapat terjadi karena pemakaian dosis yang kurang tepat dalam arti terlalu tinggi. Dengan kontrol yang ketat dan berhati-hati dalam pemakaian dosis, efek buruk nikotin dapat diatasi (Jones, 1974). Menurut Gilman et al. (1980), pada dosis rendah, nikotin akan merangsang aktifitas urat syaraf dan otot-otot licin, tetapi pada dosis tinggi nikotin memblokir aktifitas organ-organ tersebut.

(24)

Dampak dari Nikotin

Menurut Grunberg (2007), nikotin memiliki dampak negatf, yaitu dapat menekan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan pada tikus jantan, namun tidak berpengaruh pada tikus betina pada masa pertumbuhan. Penghentian pemberian nikotin dapat meningkatkan konsumsi pakan dan bobot badan pada tikus jantan, namun tidak pada tikus betina. Selain itu nikotin memiliki manfaat yang positif, yaitu dapat membantu dalam meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, meningkatkan perasaan senang pada penderita penyakit alzeimer dan parkinson serta mengurangi stress. Menurut June Russell's Health Facts (2004), nikotin juga dapat dijadikan sebagai obat radang usus besar, selain itu nikotin dapat memperkuat syaraf pada hippocampus (struktur otak) yang berperan dalam proses belajar dan daya ingat.

Pengaruh Nikotin pada Reproduksi

Menurut Kakisina (2004), nikotin berpengaruh terhadap penampilan reproduksi induk mencit antara lain penurunan berat badan induk mencit, berat fetus, panjang fetus, jumlah fetus hidup, peningkatan kematian intrauterus meliputi jumlah fetus mati dan embrio diresorpsi pada umur kebuntingan hari ke12 dengan dosis 12 mg/kg bobot badan, sehingga dapat dikatakan bahwa nikotin bersifat embriotoksik dan teratogenik. Nikotin menyebabkan kelainan anggota pada fetus mencit yaitu talipes pada umur kebuntingan hari ke-10 dengan dosis 6 mg/kg bobot badan. Nikotin menyebabkan kelainan perkembangan pada rangka fetus mencit antara lain kelainan perkembangan tulang sternum, terutama pada umur kebuntingan hari ke-8 dan hari ke-10 dengan dosis 3 dan 6 mg/kg bobot badan. Kelambatan penulangan pada tulang supraoksipital terutama pada hari ke-8 dan hari ke-12 dengan dosis 12 mg/kg bobot badan. Kelambatan penulangan pada tulang sakrokaudalis terutama pada umur kebuntingan hari ke-10 dan hari ke12 dengan dosis nikotin 6 dan 12 mg/kg bobot badan. Kelambatan penulangan tulang anggota depan dan belakang terutama pada umur kebuntingan hari ke-10 dan hari ke-12 dengan dosis 6 dan 12 mg/kg bobot badan. Nikotin menyebabkan kelainan internal fetus mencit berupa hidrosefalus pada umur kebuntingan hari ke-8 dengan dosis 10 dan 12 mg/kg bobot badan. Kelainan ginjal ektopik terutama pada umur kebuntingan hari ke-8 dengan dosis 3 dan 6 mg/kg bobot badan.

(25)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapangan, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari awal bulan November hingga pertengahan Desember 2006.

Materi Hewan

Penelitian ini akan menggunakan mencit albino jantan lepas sapih sebanyak 30 ekor, tikus putih jantan lepas sapih sebanyak 30 ekor yang diperoleh dari Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pakan

Ransum yang diberikan pada hewan penelitian berupa ransum komersial untuk ayam peranggang (broiler) periode awal yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand dengan kode CP 511 karena kebutuhan protein mencit dan tikus berkisar 20%. Ransum dibeli dari toko pakan di Pasar Anyar Bogor. Komposisi ransum dapat dilihat pada Tabel 3. Sebelum diberikan pada mencit dan tikus, ransum dihaluskan dan disaring agar ukurannya seragam. Bahan penyusun ransum tersebut adalah jagung, dedak, tepung ikan, bungkil kedelai, bungkil kelapa, tepung daging dan tulang, pecahan gandum, bungkil kacang tanah, tepung daun, vitamin, kalsium, fosfat dan mineral mikro.

Nikotin yang diberikan berasal dari daun tembakau rajangan. Tepung tembakau dibuat dengan cara menggiling daun tembakau rajangan, sehingga menjadi tepung, kemudian dianalisis kadar nikotin yang terkandung dalam tepung tembakau. Tepung tembakau penelitian telah dianalisis, memiliki kadar nikotin 10 mg/g. Tepung tembakau yang telah dianalisis dicampurkan kedalam ransum sesuai dengan taraf perlakuan. Komposisi ransum penelitian disajikan pada Tabel 3.

(26)

Tabel 3. Komposisi Ransum Penelitian Komposisi Tembakau P1 Kontrol (0%) P2 (0,16%) P3 (0,32%)

Label pakan Analisis

--- (%)--- Bahan Kering 86,06 87,00 88,67 88,59 87,38 Kadar Air 13,94 13,00 11,33 11,41 12,62 Abu 11,33 7,00 5,78 5,87 5,86 Protein Kasar 7,56 21,00-23,00 21,15 19,86 19,36 Serat Kasar 13,86 5,00 4,67 4,82 5,18 Lemak 1,60 5,00 3,50 3,72 4,06 Beta-N 51,83 - 53,57 54,32 52,92

Sumber: Hasil analisis proksimat dari Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2007)

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan untuk memelihara mencit selama penelitian sebanyak 15 kandang mencit dengan ukuran 28x18x22 cm dan 15 kandang tikus dengan ukuran 35x27x12 cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan plastik, botol air minum kapasitas 265 ml, sekam padi sebagai alas kandang dan kawat kasa penutup. Peralatan lain yang digunakan terdiri dari timbangan elektrik dengan tingkat ketelitian 0,1 g, termometer, higrometer, gelas ukur, alkohol 70%, sikat botol, sarung tangan, pengaduk, kertas label dan alat tulis.

(27)

Rancangan

Pengaruh nikotin pada mencit dan tikus diamati dari segi pertumbuhan dan tingkah laku. Masing-masing data pertumbuhan dan tingkah laku diolah dan dianalisis.

Pertumbuhan

Untuk mendapatkan informasi pengaruh nikotin terhadap mencit dan tikus digunakan rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri atas 3 perlakuan dengan 5.kelompok, setiap kelompok ada 2 ekor. Perlakuannya adalah penambahan nikotin berupa tepung tembakau dalam ransum yang terdiri dari 3 taraf yaitu 0% (P1), 0,16% (P2), dan 0,32% (P3).

Tingkahlaku

Pengamatan tingkah laku dilakukan dengan metode sampling dan mengamati tingkah laku hariannya. Masing-masing taraf perlakuan nikotin pada mencit dan tikus dilakukan pengamatan dengan jumlah individu 2 ekor. Data yang diperoleh diolah dan dijadikan data frekuensi tingkahlaku harian.

Model Matematika (Untuk Pertumbuhan)

Model matematika rancangan menurut Matjik dan Sumertajaya (2002):

Y

ij

= μ+ τ

i

j

ij

Keterangan:

Y

ij = hasil pengamatan pada perlakuan pakan taraf ke-i dan kelompok

kandang ke-j

μ

= rataan umum

τ

i = pengaruh perlakuan pakan taraf ke-i (i = 1, 2, 3)

β

j = pengaruh kelompok kandang ke-j (j=1,2,3,4,5)

(28)

Analisis Data Analisis Data Pertumbuhan

Data hasil penelitian seperti bobot badan, pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, konversi pakan, dan mortalitas dianalisis dengan analisis ragam atau Analysis of Variance (ANOVA), jika ada hasil yang berbeda karena pengaruh perlakuan diuji lanjut menggunakan uji lanjut Tukey untuk mengetahui besarnya perbedaan tersebut. Pengolahan data hasil penelitian menggunakan program komputer dengan bantuan perangkat lunak MINITAB.

Analisis Data Tingkahlaku

Data tingkah laku dianalisis secara deskriptif, yaitu tabulasi hasil, interpretasi, dan penjelasan jenis aktivitas (lama beraktivitas dan frekuensi setiap aktivitas) yang dilakukan. Frekuensi tingkahlaku dihitung, dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Frekuensi Tingkahlaku = x 100% Y

X

Keterangan :

X..= jumlah kali suatu tingkahlaku dalam delapan jam pengamatan per individu. Y..= jumlah kali seluruh tingkahlaku yang diamati dalam delapan jam pengamatan per individu.

Peubah

Peubah yang diamati adalah: 1. Bobot badan

2. Pertambahan bobot badan 3. Konsumsi pakan

4. Konversi pakan 5. Mortalitas 6. Tingkahlaku

(29)

Prosedur Persiapan Penelitian

Sebelum penelitian dilakukan, kandang dan semua peralatan yang akan digunakan dicuci dengan sabun cuci dan disterilkan dengan alkohol 70%, kandang diberi alas sekam, tempat pakan dan tempat minum dipasang pada tempatnya. Selanjutnya mencit dan tikus ditimbang dan diberi tanda cat hitam pada ekornya untuk membedakan setiap individu. Mencit dan tikus dimasukkan dalam kandang secara acak, masing-masing 2 ekor/kandang. Bagan percobaan dapat dilihat pada Gambar 3.

Mencit 30 ekor Tikus putih 30 ekor

P1 (2 ekor P2 (2 ekor) P3 (2 ekor) P1 (2 ekor P2 (2 ekor) P3 (2 ekor) P1 (2 ekor P2 (2 ekor) P3 (2 ekor) P1 (2 ekor P2 (2 ekor) P3 (2 ekor) P1 (2 ekor P2 (2 ekor) P3 (2 ekor) P1 (2 ekor P2 (2 ekor) P3 (2 ekor) P1 (2 ekor P2 (2 ekor) P3 (2 ekor) P1 (2 ekor P2 (2 ekor) P3 (2 ekor) P1 (2 ekor P2 (2 ekor) P3 (2 ekor) P1 (2 ekor P2 (2 ekor) P3 (2 ekor) Keterangan: P1= 0% P2= 0,16% P3= 0,32%

Gambar 3. Bagan Kandang Percobaan

Pengambilan data dilakukan pada awal penelitian dengan penimbangan bobot badan awal mencit, setiap hari dilakukan pengamatan suhu, kelembaban dan pencatatan mortalitas. Setiap tiga hari dilakukan penimbangan bobot badan, penimbangan sisa pakan untuk mengetahui pertambahan bobot badan dan konversi pakannya, dan penggantian air minum, sedangkan penggantian sekam dilakukan

(30)

setiap enam hari sekali. Penimbangan bobot badan akhir mencit dan tikus dilakukan pada akhir penelitian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah percobaan dengan perlakuan pakan, dengan pemberian pakan 6.g/ekor/hari bagi mencit dan 25.g/ekor/hari bagi tikus. Ransum yang diberikan adalah ransum ayam broiler yang ditambah dengan nikotin yang terdapat dalam tepung tembakau sebanyak 3 taraf, yaitu 0, 0,16 dan 0,32%. Pemberian jumlah tepung tembakau dalam setiap 6.g ransum mencit adalah 0.g untuk perlakuan pertama (P1) sebagai kontrol, 0,01g (P2), 0,02.g (P3), sedangkan pemberian tepung tembakau dalam setiap 25 g ransum tikus adalah 0.g untuk perlakuan pertama (P1)sebagai kontrol, 0,04.g (P2), dan 0,08.g (P3). Pencampuran ransum broiler dengan tepung tembakau dilakukan secara manual yaitu dengan mencampur dan mengaduknya dalam baskom dan diaduk secara merata dengan sendok. Mencit yang akan digunakan diberi pakan percobaan tiga hari sebelum periode pengambilan data agar hewan dapat beradaptasi terhadap ransum perlakuan. Air minum diberikan ad libitum, pakan diberikan satu kali sehari pada sore hari pukul 16.00 WIB.

Pengumpulan Data

Peubah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bobot badan (g/ekor)

Pengambilan data bobot badan dilakukan selama penelitian setiap tiga hari sekali. Data bobot badan ini dapat dijadikan acuan dalam menghitung pertambahan bobot badan harian dan konversi pakan selama penelitian.

2. Pertambahan bobot badan mencit dan tikus (g/ekor/hari)

Pertambahan bobot badan dihitung dengan menimbang mencit setiap tiga hari sekali, setiap enam hari sekali dilakukan penggantian sekam. Pertambahan bobot badan dihitung berdasarkan bobot badan akhir dikurangi bobot badan penimbangan sebelumnya kemudian dibagi dengan jumlah hari.

3. Konsumsi pakan (g/ekor/hari)

Konsumsi pakan dihitung dengan mengurangi jumlah pakan yang diberikan dalam kandang dengan sisa pakan dalam kandang tersebut kemudian dibagi dengan jumlah hari dan dibagi lagi dengan jumlah mencit dalam kandang.

(31)

4. Konversi pakan

Konversi pakan dihitung dengan menjumlah konsumsi pakan per ekor dibagi dengan jumlah pertambahan bobot badannya selama penelitian.

5. Mortalitas (%)

Mortalitas merupakan angka kematian yang diamati dan dicatat setiap hari selama penelitian dan dihitung dengan cara membagi jumlah mencit yang mati selama penelitian dengan jumlah populasi awal, kemudian dikalikan 100%.

6. Tingkahlaku

Tingkahlaku yang diamati selama delapan jam pengamatan adalah tingkahlaku harian yang meliputi tingkahlaku makan, minum, istirahat, eliminasi, perawatan tubuh, agresi, sosial dan bergerak. Pengamatan dilakukan dengan interval 15 menit, secara bergantian. Pencatatan pengamatan dengan menggunakan metode pencatatan one-zero, jika melakukan suatu aktivitas diberi nilai satu, tetapi jika tidak melakukan aktivitas diberi nilai nol (Martin dan Bateson, 1999). Respon nikotin menyebabkan abnormalitas pada mencit dan tikus penelitian.

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan

Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, konsumsi pakan dan mortalitas. Suhu dan kelembaban yang ideal dapat meningkatkan konsumsi pakan sehingga mencit dan tikus dapat tumbuh dengan optimal, selain itu angka kematian (mortalitas) dapat ditekan seminimal mungkin. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Suhu dan Kelembaban selama Penelitian

Waktu Suhu Kelembaban

(OC) (%)

Pagi (07:00 WIB) 23,39 81,28

Siang (12:00 WIB) 32,75 74,03

Sore (16:00 WIB) 30,89 74,86

Selama penelitian, tidak terjadi fluktuasi suhu dan kelembaban yang ekstrem dengan rata-rata suhu 23,39OC pada pagi (pukul 07:00 WIB), 32,75OC pada siang (pukul 12:00 WIB) dan 30,89OC pada sore hari (pukul 16:00 WIB). Rata-rata kelembabannya 81,28% pada pagi, 74,03% pada siang dan 74,86% pada sore hari. Menurut Malole dan Pramono (1989), rata-rata suhu yang ideal untuk pertumbuhan mencit berkisar antara 21-29OC, sedangkan kelembaban udaranya 30-70%. Secara umum suhu kandang selama penelitian sesuai dengan suhu ideal untuk pertumbuhan mencit yaitu 29OC, namun hasil pengukuran menunjukkan kelembaban kandang rata-rata 76,72% lebih tinggi dari kelembaban ideal untuk pertumbuhan mencit. Namun kondisi tersebut masih dapat ditoleransi oleh mencit sehingga mortalitas mencit selama penelitian tidak ada, selain itu sirkulasi udara pada kandang penelitian cukup baik sehingga kelembaban yang cukup tinggi ini dapat diminimalkan agar mencit dan tikus dapat beraktivitas dengan nyaman.

(33)

Bobot Badan Bobot Badan Mencit

Menurut Sudono (1981), kurva pertumbuhan mencit merupakan titik-titik pertemuan antara bobot badan dengan waktu, pola kurva pertumbuhan mencit berbentuk sigmoid. Pertumbuhan mencit ada dua fase yaitu fase tumbuh cepat saat laju pertambahan bobot badan mencit meningkat tajam, dan fase yang kedua yaitu fase tumbuh lambat saat laju pertambahan bobot badan mulai menurun sampai menjadi nol yaitu hewan telah mencapai dewasa tubuh. Titik antara dua fase tersebut disebut titik peralihan. Hasil rataan bobot badan awal dan akhir mencit disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Bobot Badan Awal dan Akhir Mencit Penelitian

Awal Akhir Pakan Rataan ± Sb KK Rataan ± Sb KK (g/ekor) (%) (g/ekor) (%) P1 12,72 ± 0,91 7,22 27,79 ± 3,04 10,96 P2 12,27 ± 1,18 9,69 29,29 ± 2,58 8,82 P3 12,16 ± 1,33 10,96 26,74 ± 1,76 6,58 Keterangan : P1 : Pakan dengan 0% tepung tembakau Sb : Simpangan baku

P2 : Pakan dengan 0,16% tepung tembakau KK: Koefisien keragaman P3 : Pakan dengan 0,32% tepung tembakau

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa rata-rata bobot badan awal mencit penelitian tidak berbeda (P>0,05), artinya bobot awal mencit masih homogen. Bobot awal mencit P1 lebih seragam (7,22%) dibandingkan mencit P2 dan P3, yaitu dengan koefisien keragaman masing-masing sebesar 9,69% dan 10,96%. Pencatatan bobot badan mencit dilakukan hingga mencit berumur 8 minggu, sehingga dapat diketahui bobot akhirnya pada saat mencit memasuki umur dewasa tubuh.

Hasil analisis ragam menunjukkan bobot badan mencit pada akhir penelitian tidak berbeda (P>0,05) dengan rataan bobot akhir mencit P1, P2, dan P3. Menurut Gono (1987), pertumbuhan setelah penyapihan dipengaruhi oleh faktor kandungan gizi ransum, jenis kelamin, umur, bobot sapih, dan lingkungan. Data hasil pencatatan bobot akhir menunjukkan bahwa mencit dengan tingkat pemberian 0,32% tepung tembakau lebih seragam (6,58%) dibandingkan mencit P2 dan P3. Kurva pertumbuhan mencit selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

(34)

0 5 10 15 20 25 30 35 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 Umur (hari) B obo t B a da n ( g) 0% 0,16% 0,32%

Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Mencit selama Penelitian

Pada Gambar 4, mencit dengan pemberian tepung tembakau 0,16% (P2) memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan mencit P1 (0%) dan P3 (0,32%). Kurva pertumbuhan mencit berbentuk sigmoid dan cenderung mengalami peningkatan yang cepat (akselerasi) pada umur 21-42 hari karena pada saat itu mencit mulai memasuki masa dewasa kelamin dan mengalami penurunan sesaat kemudian meningkat kembali hingga memasuki umur 54 hari. Titik infleksi mulai terlihat pada umur 54-57 hari karena pada saat itu mencit memasuki umur dewasa tubuh, dimana pertumbuhannya sudah mulai konstan dan sedikit mengalami peningkatan. Meskipun pada kurva menunjukkan bahwa nikotin dengan kadar yang sesuai (0,16%) dapat memberikan respon pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol dan pemberian nikotin dengan tingkat yang lebih tinggi (0,32%) justru akan memberikan respon yang negatif atau dengan kata lain pertumbuhannya tidak lebih baik dari mencit yang tanpa pemberian nikotin, namun perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna (P>0,05).

Bobot Badan Tikus

Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa bobot badan dewasa dipengaruhi oleh litter size, bobot lahir (bobot awal), produksi susu induk dan pemberian pakan. Pencatatan bobot awal dilakukan pada saat tikus berumur 21 hari dan pencatatan bobot akhir dilakukan pada saat akhir penelitian yaitu ketika tikus berumur 57 hari (8 minggu). Rataan bobot awal tikus disajikan pada Tabel 6.

(35)

Tabel 6. Rataan Bobot Badan Awal dan Akhir Tikus Penelitian Awal Akhir Pakan Rataan ± Sb KK Rataan ± Sb KK (g/ekor) (%) (g/ekor) (%) P1 28,86 ± 5,54 19,20 166,21 ± 21,62A 13,00 P2 26,50 ± 4,91 18,54 151,84 ± 9,23AB 6,07 P3 26,13 ± 3,53 13,53 137,33 ± 13,03B 9,48 Keterangan : A dan B dalam kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

P1 : Pakan dengan 0% tepung tembakau Sb : Simpangan baku P2 : Pakan dengan 0,16% tepung tembakau KK: Koefisien keragaman P3 : Pakan dengan 0,32% tepung tembakau

Hasil Tabel 6 menunjukkan bahwa tikus P1 (0%), rataan bobot awalnya lebih besar walaupun menurut hasil analisis menyatakan bahwa rataan bobot awal tikus P1 (0%) tidak berbeda (P>0,05) dengan tikus P2 dan P3, dengan kata lain rataan bobot awal tikus penelitian masih homogen. Tingkat keragaman bobot awal tikus P1 lebih tinggi dibanding tikus P2 dan P3. Pencatatan bobot badan tikus dilakukan hingga tikus mencapai umur 57 hari (8 minggu), dimana pada saat tersebut tikus memasuki masa dewasa tubuh. Menurut Malole dan Pramono (1989), dewasa tubuh yaitu umur saat organ-organ tubuh dan reproduksi telah tumbuh dengan sempurna.

Rataan bobot akhir tikus P1 (0%) lebih besar dibandingkan P2 (0,16%) dan P3(0,32%). Bobot akhir tikus juga dipengaruhi oleh konsumsi pakan, tikus yang diberi pakan dengan penambahan nikotin memiliki daya konsumsi yang lebih rendah dengan tikus yang diberi pakan tanpa penambahan nikotin. Hasil analisis ragam menyatakan bahwa rataan bobot akhir tikus P1 (0%) tidak berbeda (P>0,05) dengan tikus P2 (0,16%), namun rataan bobot akhir tikus P1 (0%) berbeda (P<0,05) dengan tikus P3 (0,32%). Rataan bobot akhir tikus P2 (0,16%) tidak berbeda (P>0,05) dengan rataan tikus P3 (0,32%), hasil ini menunjukkan bahwa pemberian nikotin dalam pakan mempengaruhi bobot akhir tikus penelitian dan memberikan efek yang negatif terhadap bobot akhir tikus. Pengaruh metabolisme nikotin dalam tubuh dapat meningkatkan aktivitas minum dan menurunkan aktivitas makan sehingga mengakibatkan bobot badan cenderung menurun (Benowitz et al., 1994). Koefisien keragaman menunjukkan bahwa bobot akhir tikus dengan pemberian tepung tembakau sebesar 0,32% lebih seragam dibanding tikus P2 (0,16%) dan P3 (0,32%). Kurva pertubuhan tikus selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

(36)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 Umur (hari) B obo t B a da n ( g) 0% 0,16% 0,32% Gambar 5. Kurva Pertumbuhan Tikus selama Penelitian

Tikus yang diberi pakan tanpa penambahan tepung tembakau memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan tikus P2 (0,16%) dan P3 (0,32%). Pada umur 51 hari tikus penelitian mengalami penurunan bobot badan secara bersamaan, hal ini disebabkan karena pengaruh suhu lingkungan. Pada hari tersebut suhu lingkungan kandang pada sore hari mencapai 33°C, meningkat dua derajat dari hari-hari sebelumnya yang cenderung stabil yaitu 31°C, sehingga mengakibatkan tikus lebih cenderung banyak minum dan sedikit makan agar suhu tubuhnya menurun dan dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Apabila dilihat secara statistik, perbedaan bobot badan ini hanya terlihat pada tikus yang diberi pakan dengan tanpa penambahan tepung tembakau (P1) jika dibandingkan dengan tikus yang tanpa diberi pakan penambahan tepung tembakau 0,32% (P3). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian nikotin pada tikus menimbulkan respon yang negatif terhadap pertumbuhan tikus tersebut.

Pertambahan Bobot Badan Pertambahan Bobot Badan Mencit dan Tikus

Rataan pertambahan bobot badan mencit selama penelitian berkisar antara 0,40-0,47 g/ekor/hari sedangkan pada tikus berkisar antara 3,08-3,81 g/ekor/hari. Menurut penelitian Sudono (1981), rata-rata laju pertumbuhan mencit jantan dan betina umur 21-56 hari masing-masing sebesar 0,43 dan 0,38 g/ekor/hari dengan laju

(37)

tertinggi dicapai pada saat umur 29 hari, pada jantan dan betina masing-masing sebesar 0,55 dan 0,50 g/ekor/hari. Menurut penelitian Feri (2004), laju pertambahan bobot badan mencit umur 3-8 minggu sebesar 0,60 g/ekor/hari pada jantan dan 0,45 g/ekor/hari pada betina. Menurut hasil penelitian Raimon (2006), pertambahan bobot badan tikus jantan dari umur 3-8 minggu sebesar 2,74 g/ekor/hari dengan pemberian ransum berkadar protein 16%. Menurut Gultom (2003), pertambahan bobot badan tikus sebesar 2,36 g/ekor/hari dengan pemberian pakan berkadar protein 21-23%. Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa pertambahan bobot badan tikus dapat mencapai 5 g/ekor/hari. Data pertambahan bobot badan harian mencit dan tikus selama penelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Pertambahan Bobot Badan (PBB) Mencit dan Tikus per Hari

Mencit Tikus Pakan Rataan ± Sb KK Rataan ± Sb KK (g/ekor/hari) (%) (g/ekor/hari) (%) P1 0,41 ± 0,08 19,94 3,81 ± 0,51 A 13,51 P2 0,47 ± 0,05 11,70 3,48 ± 0,31 AB 8,91 P3 0,40 ± 0,05 12,75 3,08 ± 0,33 B 10,89 Keterangan : A dan B dalam kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

P1 : Pakan dengan 0% tepung tembakau Sb : Simpangan baku P2 : Pakan dengan 0,16% tepung tembakau KK: Koefisien keragaman P3 : Pakan dengan 0,32% tepung tembakau

Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian nikotin berupa tepung tembakau dalam pakan tidak berpengaruh pada pertambahan bobot badan mencit, rata-rata pertambahan bobot badan mencit sebesar 0,40-0,47 g/ekor/hari, cenderung menurun dari hari ke hari dan titik terendah dicapai di hari ke 45. Hasil ini mendekati hasil penelitian Hadian (2004), yang menyatakan bahwa laju pertambahan bobot badan mencit umur 3-8 minggu sebesar 0,49 g/ekor/hari. Pertambahan bobot badan mencit menurun dari hari ke hari karena kebiasaan mencit yang sering makan membuat mencit sering melakukan urinasi dan defekasi sehingga penyerapan zat makanan rendah (Sudono, 1981). Pertambahan bobot badan mencit tidak mengalami perbedaan meskipun konsumsi pakan mencit P3 (0,32%) lebih tinggi dibandingkan dengan mencit P1 dan P2, hal ini disebabkan oleh kandungan nutrisi pakan P3 yang mengandung serat kasar yang lebih tinggi sehingga penyerapan makanan lebih rendah. Histogram pertambahan bobot badan harian mencit dapat dilihat pada Gambar 6.

(38)

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 Umur (hari) g/ e k o r/ h a ri 0% 0,16% 0,32%

Gambar 6. Histogram Pertambahan Bobot Badan Mencit

Rataaan PBB tertinggi terjadi saat mencit berumur antara 24 hari dan mulai menurun hingga mencit berumur 39 hari pada semua perlakuan, hal ini terjadi karena mencit pada masa pertumbuhan atau baru saja mencapai umur dewasa kelamin. Penurunan PBB cukup jelas terlihat saat mencit berumur 45 hari. Hal ini terjadi karena mencit telah mencapai dewasa tubuh dan kelamin, sehingga yang terjadi hanya sebatas pertumbuhan jaringan lemak tubuh (Rose, 1997). Pertumbuhan selanjutnya rataan PBB yang terjadi cenderung naik-turun.

Hasil analisis ragam menunjukkan, bahwa perlakuan jenis pakan sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi PBB tikus. Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa perlakuan P2 tidak nyata dengan P1 (kontrol) dan P2 tidak nyata dengan P3, tetapi P3 memiliki PBB berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan P1 (kontrol). Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh konsumsi pakan dan daya serap tikus terhadap pakan yang diberikan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus P3 (0,32%) Hal ini berarti, penambahan tepung tembakau dapat mengakibatkan penurunan PBB seiring dengan meningkatnya tepung tembakau yang ditambahkan ke dalam pakan tikus tersebut, dengan kata lain nikotin memberikan efek negatif pada pertumbuhan tikus, semakin banyak kadar nikotin yang diberikan maka semakin kecil pertumbuhannya. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil analisis pada tikus tanpa pemberian tepung tembakau dan tikus P3 yang diberi tepung tembakau paling tinggi (0,32%). Histogram pertambahan bobot badan harian tikus dapat dilihat pada Gambar 7.

(39)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 Umur (hari) g/ e k or /ha ri 0% 0,16% 0,32%

Gambar 7. Histogram Pertambahan Bobot Badan Tikus

Pada histogram di atas (Gambar 7) dapat dilihat bahwa pertambahan bobot badan tikus cenderung stabil dibandingkan dengan mencit walaupun terlihat pada gambar pertambahan bobot badan tikus cenderung naik-turun. Pertambahan bobot badan tikus P1 (0%) cenderung lebih tinggi, hal ini karena tikus P1 mengkonsumsi pakan relatif lebih banyak daripada tikus yang diberi nikotin sehingga penyerapan makanan cenderung lebih tinggi dan mengakibatkan pertambahan bobot badannya ikut meningkat dibandingkan tikus yang diberi nikotin. Pertambahan bobot badan tertinggi tikus dicapai pada umur 54 hari, hal ini terjadi karena pada umur tersebut tikus memasuki umur dewasa tubuh sehingga pada umur selanjutnya PBB tikus mulai mengalami penurunan.

Konsumsi Pakan

Salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah kualitas pakan yang diberikan. Kandungan protein pada pakan penelitian adalah 19,36-21,15% (Tabel 3). Rataan konsumsi pakan mencit selama penelitian berkisar antara 4,77-4,86 g/ekor/hari, hasil ini sesuai dengan pernyataan Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa mencit dapat mengkonsumsi pakan sebanyak 3-5 g/ekor/hari. Rataan konsumsi pakan tikus selama penelitian berkisar antara 12,07-16,54 g/ekor/hari. Menurut Gultom (2003), rata-rata konsumsi tikus dengan pemberian pakan berkadar protein 21-23% adalah 16,09 g/ekor/hari. Tikus putih dewasa makan setiap hari antara 12-20.g, kualitas pakan merupakan faktor penting yang

(40)

mempengaruhi kemampuan tikus mencapai potensi genetik untuk tumbuh (Smith dan Mankoewidjojo, 1988). Menurut Malole dan Pramono (1989), tikus dewasa membutuhkan 10.g makanan per hari per 100.g bobot badan. Tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban, kesehatan, dan kualitas makanan itu sendiri. Hasil pengukuran konsumsi mencit dan tikus terhadap pakan yang diberikan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Konsumsi Pakan Mencit dan Tikus per Hari

Mencit Tikus Pakan Rataan ± Sb KK Rataan ± Sb KK (g/ekor/hari) (%) (g/ekor/hari) (%) P1 4,77 ± 0,04B 1,01 16,54 ± 0,19A 1,20 P2 4,78 ± 0,09B 1,90 14,35 ± 0,17B 1,21 P3 4,86± 0,05A 1,08 12,07 ± 0,43C 3,60 Keterangan : A dan B dalam kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

P1 : Pakan dengan 0% tepung tembakau Sb : Simpangan baku P2 : Pakan dengan 0,16% tepung tembakau KK: Koefisien keragaman P3 : Pakan dengan 0,32% tepung tembakau

Rataan konsumsi pakan mencit yang diberi tepung tembakau 0,16% tidak berbeda (P>0,05) dengan yang diberi tepung tembakau 0% (kontrol), sedangkan rataan konsumsi pakan mencit yang diberi tepung tembakau 0,32% lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan yang diberi tepung tembakau 0% dan 0,16%., kemungkinan disebabkan pengaruh adiksi nikotin dalam tepung tembakau yang menyebabkan mencit lebih menyukai pakan yang memiliki kadar nikotin lebih tinggi. Menurut Chaloupka (2000), tembakau berisi nikotin, suatu zat yang telah diakui oleh organisasi kedokteran internasional sebagai pembawa sifat kecanduan. Perbedaan tingginya konsumsi pakan mencit P3 (0,32%) tidak seiring dengan pertambahan bobot badan dan konversi pakannya yang cenderung tidak mengalami perbedaan, hal ini disebabkan rendahnya daya serap mencit P3 terhadap pakan yang dikonsumsi. Histogram konsumsi pakan mencit dapat dilihat pada Gambar 8.

(41)

4,5 4,5 4,6 4,6 4,7 4,7 4,8 4,8 4,9 4,9 5,0 5,0 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 Umur (hari) g/ e k or /ha ri 0% 0,16% 0,32%

Gambar 8. Histogram Konsumsi Pakan Mencit

Rata-rata konsumsi pakan mencit pada taraf pemberian tepung tembakau 0% dan 0,16% dalam ransum dari umur 27-48 hari cenderung meningkat tajam, mulai ada penurunan dari umur 48 hari. Pada umur 35 hari mencit mencapai umur dewasa kelamin (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988) sehingga aktivitas reproduksi meningkatkan nafsu makan mencit untuk memenuhi kebutuhan perkembangan organ-organ reproduksinya. Rata-rata konsumsi ransum mencit jantan umur 6-8 minggu cenderung menurun karena mencit jantan mulai memasuki umur dewasa tubuh (Malole dan Pramono, 1989). Dewasa tubuh yaitu umur saat organ-organ tubuh dan reproduksi telah tumbuh dengan sempurna sehingga konsumsi ransumnya mulai menurun. Rataan konsumsi pakan mencit pada taraf pemberian tepung tembakau 0,32% lebih tinggi dibandingkan yang lain namun pertambahan bobot badannya tidak mengalami perbedaan dengan mencit P1 dan P2, kemungkinan disebabkan pengaruh adiksi nikotin dalam tepung tembakau yang ditambahkan ke dalam pakan mencit. Hal ini berbeda dengan konsumsi pakan pada tikus, tikus yang diberi pakan dengan penambahan nikotin memiliki daya konsumsi pakan yang rendah dibanding dengan tikus yang diberi pakan tanpa penambahan nikotin.

Rataan konsumsi pakan tikus pada saat penelitian berkisar antara 12,07-16,54 g/ekor/hari. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, rata-rata konsumsi pakan tikus kontrol (0%) sangat nyata (P<0,01) lebih banyak dibandingkan tikus yang diberi pakan dengan penambahan tepung tembakau 0,16% dan 0,32%. Perlakuan

(42)

jenis pakan memberi pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi pakan tikus. Taraf penambahan tepung tembakau dalam pakan mengakibatkan konsumsi pakan semakin menurun. Berdasarkan uji lanjut Tukey, konsumsi pakan antar taraf perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01), hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung tembakau sebanyak 0,16% dan 0,32% sangat mempengaruhi konsumsi pakan tikus, artinya pemberian nikotin berupa tepung tembakau memberikan efek negatif terhadap konsumsi pakan tikus. Histogram konsumsi pakan tikus dapat dilihat pada Gambar 9.

0 5 10 15 20 25 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 Umur (hari) g/ e k or /ha ri 0% 0,16% 0,32%

Gambar 9. Histogram Konsumsi Pakan Tikus

Pada Gambar 9 terlihat tikus yang diberi pakan tanpa penambahan tepung tembakau selalu memiliki tingkat kosumsi lebih tinggi dibanding tikus yang diberi pakan dengan penambahan tepung tembakau. Pada akhir penimbangan (umur 57 hari) tikus mengalami penurunan konsumsi terhadap pakan, karena pada masa ini tikus mulai memasuki dewasa tubuh. Dewasa tubuh yaitu umur saat organ-organ tubuh dan reproduksi telah tumbuh dengan sempurna sehingga konsumsi pakannya mulai menurun.

(43)

Konversi Pakan

Konversi pakan merupakan perbandingan jumlah konsumsi pada periode tertentu dengan produksi yang dicapai pada periode tersebut, sehingga bila konsumsi yang tinggi namun tidak diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi, maka akan menghasilkan nilai konversi yang tinggi, artinya nilai konversi yang semakin tinggi menunjukkan jumlah konsumsi pakan semakin banyak untuk menambah satu satuan bobot badan. Rataan konversi pakan mencit berkisar antara 10,23-12,18 sedangkan pada tikus berkisar antara 3,94-4,40. Hasil konversi pakan mencit dan tikus selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Konversi Pakan Mencit dan Tikus selama Penelitian

Mencit Tikus Pakan Rataan ± Sb KK Rataan ± Sb KK (%) (%) P1 11,82 ± 2,50 21,14 4,40 ± 0,55 12,51 P2 10,23 ± 1,17 11,51 4,15 ± 0,37 9,11 P3 12,18 ± 1,56 12,82 3,94 ± 0,38 9,81 Keterangan : P1 : Pakan dengan 0% tepung tembakau Sb : Simpangan baku

P2 : Pakan dengan 0,16% tepung tembakau KK: Koefisien keragaman P3 : Pakan dengan 0,32% tepung tembakau

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05) pada konversi pakan mencit di semua taraf perlakuan. Konversi pakan tertinggi diperoleh pada mencit yang diberi pakan dengan taraf penambahan tepung tembakau 0,32% yaitu sebesar 12,18 dan konversi pakan terendah pada mencit yang mengkonsumsi pakan dengan penambahan tepung tembakau 0,16%, yaitu sebesar 10,23. Hal ini menunjukkan bahwa mencit yang diberi pakan dengan penambahan 0,16% tepung tembakau lebih baik dalam mengkonversi pakan dibanding mencit kontrol dan mencit yang diberi pakan 0,32% tepung tembakau, walaupun secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna. Walaupun mencit P3 mongkonsumsi pakan lebih tinggi, namun tidak memberikan pengaruh terhadap pertambahan bobot badannya karena kandungan serat kasar pada pakan mencit P3 lebih banyak dibandingkan mencit P1 dan P2, sehingga daya serap terhadap pakan yang dikonsumsi kecil dan mengakibatkan konversi pakannya tinggi.

Sama halnya dengan mencit, pada tikus hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan nikotin berupa tepung tembakau tidak berpengaruh terhadap konversi pakan. Konversi pakan tertinggi diperoleh pada tikus yang diberi pakan

(44)

dengan taraf penambahan tepung tembakau 0% (kontrol) yaitu sebesar 4,40 dan konversi pakan terendah pada tikus yang mengkonsumsi pakan dengan penambahan tepung tembakau 0,32%, yaitu sebesar 3,94. Hal ini menunjukkan bahwa tikus yang diberi pakan tanpa penambahan tepung tembakau lebih baik dalam mengkonversi pakan dibanding tikus yang diberi pakan dengan penambahan tepung tembakau, walaupun secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna. Konversi pakan sangat berhubungan erat dengan daya serap mencit dan tikus terhadap pakan, menurut hasil penelitian tikus memiliki daya serap pakan yang lebih baik dibandingkan mencit. Secara keseluruhan, rataan konversi pakan tikus lebih rendah dibandingkan dengan mencit, dengan kata lain tikus lebih efisien dalam menggunakan pakan.

Mortalitas

Mortalitas mencit dan tikus 0%, artinya tidak ada mencit dan tikus yang mati selama penelitian berlangsung. Hal ini disebabkan mencit dan tikus mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan dan perlakuan yang diberikan selama penelitian. Suhu selama penelitian rata-rata berkisar antara 23,39-32,75OC dan rata-rata kelembaban berkisar anatra 74,03%-81,28%. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), suhu yang ideal untuk pertumbuhan tikus berkisar antara 20-25OC sedangkan menurut Malole dan Pramono (1989), rata-rata suhu yang ideal untuk pertumbuhan mencit berkisar antara 21-29OC. Suhu lingkungan saat penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan suhu ideal untuk pertumbuhan mencit dan tikus, namun mencit dan tikus masih mampu beradaptasi pada suhu lingkungan tersebut dan tidak sampai menyebabkan kematian. Faktor lain yang dapat menekan angka mortalitas adalah kebersihan kandang, sirkulasi udara dan manajemen pemeliharaan yang baik Sirkulasi udara memiliki peran penting agar mencit dan tikus merasa nyaman dan lebih mudah membuang panas tubuh, walaupun suhu dan kelembaban kandang selama penelitian lebih tinggi dari suhu dan kelembaban ideal namun mencit dan tikus masih merasa nyaman sehingga tidak terjadi kematian selama penelitian

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi Mencit (Mus musculus) dan Tikus Putih (Rattus  novergicus)
Tabel 2. Karakteristik Biologi Mencit (Mus musculus) dan Tikus Putih  (Rattus novergicus)
Gambar 2. Kandang, Tempat Pakan dan Minum
Gambar 3. Bagan Kandang Percobaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Purbasari et al., (2018) yang menyajikan variabel Pendapatan Asli Desa, Dana Desa, Alokasi Dana Desa dan Bagi Hasil

Proses pengelasan dari material besi cor FC 25 dan pipa baja karbon rendahdimulai dariSpesimen uji yang sudah terpasang diputar dengan kecepatan putaran 4125 Rpm pada

Pengaruh usia dan pendidikan perempuan dan suami terhadap kepemilikan asset menunjukkan bahwa hanya variabel pendidikan perempuan yang berpengaruh terhadap

terhadap bentuk kayu dibandingkan dengan bambu yang memiliki yang memiliki tingkat kuat tarik yang setara dengan baja berkualitas sedang pada tingkat kuat tarik yang setara dengan

Therefore, in this thesis, we proposed a novel technique to train a single convolutional neural network CNN successfully for multiple object extraction from aerial imagery with

Ledakan populasi Sexava nubila yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit yang berumur sekitar 25 tahun di Papua Barat telah menim- bulkan kerusakan lebih dari

Faktor variabel proses pembelajaran yang mempengaruhi keberhasilan belajar sis- wa dibedakan menjadi dua, yaitu: a) kinerja guru dalam kelas, yang meliputi:.. 7 kejelasan

Jika diperhatikan dari data yang tertera pada tabel 5, sebenarnya jika semua kawasan mampu menyediakan area parkir sesuai dengan standard yang ditentukan oleh DJPD maka