• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II LANDASAN TEORI A. Perceived Threat

Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia mengelompokkan diri berdasarkan kategori tertentu, seperti suku, agama, paham politik, asal daerah, dsb. Pengelompokan secara natural menciptakan perspsi adanya ingroup (orang-orang yang dianggap sebagai bagian dari kelompok) dan outgroup ((orang-orang-(orang-orang yang dianggap sebagai bukan anggota kelompok). Sebagai contoh, dalam kelompok Islam, hanya individu yang beragama Islam yang dianggap anggota, individu dari agama lain bukan dianggap anggota). Pengelompokan ini akan membentuk identitas individu yang ada di dalamnya (Stephen, Ybarra, & Kimberly, 2009). Kelompok merupakan sumber identitas bagi individu, oleh karena itu kelompok menjadi hal yang sangat penting bagi individu dan harus dijaga.

Pada situasi dan kondisi tertentu, anggota suatu kelompok dapat merasakan keberadaan kelompok lain dapat memberikan kerugian bagi kelompoknya, hal ini disebut sebagai persepsi ancaman, yaitu pengalaman subjektif anggota-anggota suatu kelompok (ingroup) bahwa kelompok lain (outgroup) berada pada posisi yang dapat menyebabkan hal negatif terhadap kelompoknya (stephan, Ybbara, & Morrison, 2008). Menurut Stephan, ada dua tipe ancaman, yaitu (1)ancaman realistik dan (2)simbolik (Stephan & Stephan, 2000). Ancaman simbolik adalah ancaman terhadap kekuatan, sumber daya,

(2)

kesejahteraan kelompok. Ancaman realistik adalah ancaman yang konsekuensinya bersifat nyata dan langsung. Contoh dari kedua bentuk ancaman dapat dilihat dari insiden pembakaran mesjib di Papua (Nuroyono, Pembakaran mesjid di Papua, ini hasil penulusuran komnas HAM, 2015). Dalam kasus ini, bagi umat Islam di Indonesia, insiden pembakaran masjid di Papua merupakan tindakan yang dirasakan sebagai ancaman realistik, karena menimbulkan kerugian fisik dan materi yang nyata. Sedangkan bagi umat yang menjadi pelaku pembakaran tindakan pembakaran dipicu oleh ancaman yang bersifat simbolik, yaitu penggunaan pengeras suara di masjid tersebut ketika umat masjid tersebut melaksanak kegiatan ibadah. Penggunaan pengeras suara tersebut bisa saja dipandang sebagai tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh umat yang melakukan pembakaran.

Menurut Stephan dan Mealy (2011) ancaman simbolik yang mereka maksudkan termasuk juga di dalamnya adalah ancaman-ancaman seperti ancaman terhadap group distinctiveness (ancaman bahwa suatu kelompok tidak berbeda dengan kelompok lain) , threat towards ingroup values (ancaman bahwa nilai-nilai kelompok dianggap tidak bermoral; Wohl & Branscombe, 2005), atau relative status (ancaman bahwa ingroup kalah dengan outgroup dalam hal kompetensi, pengetahuan, atau sumber daya; Ellemers, Kortekaas & Ouwerkerk, 1999).

Di Indonesia bentuk-bentuk ancaman yang telah dijelaskan sebelumnya juga muncul. Ancaman group distinctiveness dan ancaman terhadap nilai-nilai kelompok muncul ketika umat Islam menghadapi aliran-aliran yang dianggap

(3)

sesat oleh umat Islam. misalnya kasus Ahmadiyah yang dianggap oleh umat Islam mengaku-ngaku agama Islam tapi telah mengobok-ngobok prinsip Islam (Akbar, 2011). Ahmadiyah yang menyatakan dirinya Islam dianggap ancaman oleh mayoritas umat Islam Indonesia karena nila-nilai yang dianut jemaat Ahmadiyah dianggap berbeda oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia. Pada kasus juga disampaikan bahwa Ahmadiyah bukan urusan kebebasan beragama, tapi penodaan agama.

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Ancaman pada Kelompok Fenomena persepsi ancaman yang dirasakan oleh anggota suatu kelompok adalah hal kompleks. Berbagai aspek yang ada dalam hubungan antar kelompok memberikan pengaruh terhadap persepsi ancaman yang dirasakan oleh anggota kelompok , aspek-aspek tersebut adalah:

1) Kelompok dengan kekuatan yang besar cenderung lebih mudah bereaksi terhadap ancaman (Stephen Walter G., Ybarra O, Morrison K)

2) Kelompok yang memiliki kekuatan seimbang juga memiliki persepsi ancaman yang tinggi, karena kekuatan yang seimbang justru membuat antar kelompok menjadi saingan (Esses, Dovidio, Jackson, & Armstrong, 2001)

3) Pengalaman kelompok akan konflik (Shamir & Sagiv-Schifter, 2006; Stephan et al., 2002)

4) Jumlah anggota kelompok (Campbell, 2006; Corneille, Yzerbyt, Rogier, & Buidin,2001; McLaren, 2003; Quillian, 1995; Schaller & Abeysinghe, 2006). Kelompok minoritas akan mudah merasa terancam karena jumlah anggota nya yang sedikit sehingga mudah untuk dikalahkan oleh kelompok mayoritas.

(4)

2. Dampak Persepsi Ancaman

Seperti yang telah dijelaskan di atas, berbagai bentuk ancaman terhadap kelompok muncul di Indonesia. Kecintaan anggota kelompok Islam menimbulkan berbagai persepsi ancaman terhadap kelompok. Masalahnya adalah, ancaman yang dipersepsikan oleh anggota kelompok terhadap kleompoknya belum tentu akurat. Dampak buruk terhadap kelompok belum tentu benar-bernar terjadi. Namun efek buruk dari persepsi ancaman adalah hal yang nyata. Persepsi ancaman dapat merubah sikap anggota kelompok terhadap kelompok lain (Stephan & Stephan, 2000) dan sikap dapat mewujud kedalam kognitif, afektif, dan perilaku.

a. Kognitif

Respon kognitif dari anggota kelompok dapat merubah persepsi ingroup terhadap outgroup (Quist & Resendez, 2003). Hal ini dapat mengarah kepada ethnocentrism, intolerance, hatred, dan dehumanization terhadap outgroup (Shamir & Sagiv-Schifter, 2006; Skitka, Bauman, & Mullen, 2004). Efek dari bias kognitif ini adalah lebih mudahnya anggota kelompok melakukan kekerasan dan mudah memberikan lebel terhadap kelompok lain (Stephen Walter G., Ybarra O, Morrison K, 2009).

Di Indonesia sendiri, berbagai kasus yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa bias kognitif telah muncul di berbagai kasus. Dengan adanya persepsi ancaman yang dirasakan oleh anggota kelompok telah mendorong terjadinya bias kognitif yang berujung kepada kebencian, tidak toleransi.

(5)

Sehingga mempermudah terjadinya tindak kekerasan terhadap anggota kelompok lain atas nama membela kelompok.

b. Afektif

Persepsi ancaman dapat memunculkan berbagai emosi negative, seperti: takut, cemas, marah, kebencian. (Stephan, Renfro, & Davis, 2008; Renfro et al., 2006), kerentanan (MacLeod & Hagan, 1992), dan berbagai emosi negative lain seperti rasa malu, helplessness, putus asa, panik. Hal ini sesuai dengan kasus yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa anggapan-anggapan bahwa agama lain sedang menghina nilai-nilai Islam, dan berbagai bentuk persepsi ancaman lain dapat menimbulkan rasa takut, cemas, benci, rentan pada umat Islam.

c. Perilaku

Efek dari persepsi ancaman terhadap perilaku anggota kelompok dapat berupa penarikan diri, menyerah, pembenaran terhadap kekerasan (langsung ataupun tidak langsung), diskriminasi, berbohong, curang, mencuri, menganggu, balas dendam, sabotase, protes, meyerang, perang, dan berbagai perilaku lain yang dapat memicu konflik (Stephen Walter G., Ybarra O, Morrison K, 2009). Sesuai dengan kasus pembakaran masjid yang terjadi di Papua yang telah dijelaskan sebelumnya, pembakaran masjid diawali oleh tuntutan untuk tidak beribadah dengan menggunakan pengeras suara yang tidak dipenuhi oleh kelompok Islam, yang berakhir dengan penyerangan dan pembakaran masjid. Umat Kristen mempersepsikan tuntutan yang tidak dipenuhi tersebut sebagai sebuah bentuk ancaman, tidak dihargainya nilai yang mereka anut. Persepsi ancaman ini mewujud ke dalam bentuk perilaku, yaitu menyerang.

(6)

B. Identitas Sosial 1. Definisi

Tajfel menjelaskan Identitas sosial dalam (Utami, 2013) adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan kelompok tersebut. Hogg dan Abrams dalam (Maukar, 2013) identitas sosial adalah pengetahuan seseorang bahwa ia milik suatu lingkungan sosial atau kelompok.

Identitas sosial sangat penting bagi individu, karena memberikan banyak keuntungan. Crocker dan Luhtanen menjelaskan keuntungan identitas sosial dalam (stephan, Ybbara, & Morrison, 2008) adalah penerimaan, dukungan sosial, peran, peraturan, norma, nilai, dan keyakinan untuk mengarahkan perilaku. Kelompok juga menyediakan arti bagi hidup kita dengan meningkatkan self-esteem individu, meningkatkan sense of distinctiveness kita dari orang lain (Turner, 1987), dan membuat kita yakin tentang dunia sosial dan tempat kita di dalamnya (Abraham & Hogg, 1988).

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan karena ada begitu banyak keuntungan yang diberikan oleh identitas sosial, menjadikan individu takut akan kehancuran kelompok mereka sebagaimana mereka takut akan kehancuran mereka sendiri. Sebagai contoh ketika terjadi reaksi menentang film anti Islam di Pakistan. Ketika umat Islam di Pakistan merasa agamanya dihina, maka umat Islam di Pakistan turun ke jalan untuk melakukan unjuk rasa, bahkan pemerintah Pakistan mengadakan hari libur nasional guna memberikan

(7)

kesempatan kepada warganya untuk melakukan unjuk rasa (BBC, 2012). Menurut penjelasan di atas, umat Islam Pakistan akan membela agamanya karena agamanya adalah hal yang sangat penting baginya, sehingga mereka tidak akan membiarkan agamanya direndahkan. Sehingga dapat dilihat bahwa segala membentuk ancaman terhadap eksistensi kelompok akan mengancam semua individu yang berada di kelompok tersebut. Jadi ancaman terhadap identitas dapat mengarahkan individu pada perilaku-perilaku melindungi identitas, termasuk dengan upaya yang ekstrim. Sehingga anggota kelompok akan melakukan apapun untuk melindungi kelompoknya termasuk menyerang kelompok lain.

3. Aspek-aspek Identitas Sosial

Menurut Deaux (2001) identitas sosial memiliki beberapa aspek: a. Aspek kognitif

Aspek kognitif pada identitas sosial sangat luas dan bervariasi. Dapat berupa trait, sikap politik dan ingatan yang berhubungan dengan identitas. Sebagai contoh, seorang muslim yang baik adalah orang yang tidak hanya sekedar shalat atau berpuasa, melainkan ikut berjuang menegakkan ajaran agamanya.

b. Aspek Emosional dan Motivasional

Emosi kita juga dapat berhubungan dengan identitas sosial kita. Misalnya seorang muslim itu penyabar, bersahabat. Kelompok tertentu memiliki kriteria sifat tertentu. Sedangkan motivasi terbagi tiga. Pertama, motivasi sebagai kontribusi terhadap self definition atau self esteem, membuat individu merasa lebih baik. Contohnya, seorang individu merasa esteemnya meningat setelah

(8)

menjadi anggota sebuah organisasi Islam. Kedua, identititas sosial mempermudah hubungan kita dengan orang yang sama dengan kita. Contoh: Dengan mengindifikasi diri kita seorang muslim, kita akan lebih mudah berhubungan dengan muslim lain. Ketiga, membedakan diri individu yang satu dengan individu yang lain dari kelompok lain. Dengan membedakan diri dengan dengan kelompok lain, individu lebih dapat menonjolkan kelompoknya pada masyarakat. Contohnya organisasi Islam yang menggunakan atribut tertentu agar dapat dikenali bahwa indovidu tersebut merupakan anggota dari kelompok Islam tertentu.

c. Aspek Perilaku

Identitas sosial individu juga berhubungan dengan perilakunya terutama dengan orang diluar kelompoknya. Individu akan melakukan perilaku yang ditujukan untuk menguntungkan kelompoknya dan tidak menguntungkan bagi kelompok lain. Individu yang memiliki identitas kelompok yang tinggi akan lebih melakukan perilaku-perilaku yang mendukung kelompoknya.

C. Islam Radikal

Menurut Sheri Berman (2003) dalam Islamism, revolution, and civil society, Islamisme, adalah paham yang menganggap seluruh aspek kehidupan harus diatur berdasarkan ajaran Islam. Penganut paham ini ingin menguasai kepemimpinan, dan ingin merubah komunitas tempat hidupnya secara revolusioner. Penganut paham ini menyatakan dengan jelas bahwa perubahan yang mendasar pada komunitas tempat mereka tinggal adalah tujuan mereka. Paham ini menjadi kekuatan yang besar terutama di Negara-negara Arab yang

(9)

kurang stabil secara ekonomi, politik dan/atau sosial. Gerakan Islamisme muncul sebagai dampak akumulasi dari keluhan sosial, ketidakpuasan dan kesenjangan antara pemerintah dan rakyat.

Sebagaimana penjelasan Berman bahwa Islamisme muncul di Negara yang sedang kacau dan lemah. Berman memberikan contoh Mesir. Mesir dalam keadaan politik yang buruk, sehingga Mesir sedang berada di posisi yang lemah, sehingga gerakan islamisme muncul di Mesir.

Tidak semua negara di negara Arab gerakan Islamisme muncul. Contohnya Uni Emirat Arab, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pencapaian pertumbuhan ekonomi Arab Saudi akan meningkat di atas empat persen pada 2014 dan 2015 (Puspaningtyas, 2014). Sehingga menurut penjelasan Berman Islamisme tidak akan muncul di Arab Saudi, karena Islamisme sama sekali tidak dibutuhkan di sana.

Apabila merujuk pada Berman, maka potensi islamisme untuk berkembang di Indonesia cukup besar karena adanya berbagai ketidak puasan terhadap pemerintah. Sebagai contoh berdasarkan Lingkaran survey Indonesia hanya 31,4 persen masyarakat yang merasa puas dengan pelaksaan reformasi, sejak tahun 2008 sampai 2013 jumlah kepuasan publik terus menurun hingga 14 %. (Umi, 2013). Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hukum juga rendah. Peneliti LSI, Dewi Arum menyatakan pada survey tahun 2013, jumlah masyarakat yang tidak puas terhadap hukum Indonesia sebesar 56%, 29% menyatakan puas dan 14,2% tidak menjawab, (Damarwati, 2013). Dari sisi ekonomi, survey pada tahun 2011 menyatakan bahwa 35,7% masyarakat Indonesia menyatakan kondisi

(10)

ekonomi semakin memburuk (Ina, 2011). Dari berbagai hasil survey tersebut dapat disimpulakan bahwa kepuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah adalah rendah. Islamisme muncul dan dianggap oleh sebagian orang Islam di Indonesia sebagai satu-satunya keluar dari permasalahan ini. Segala konflik seperti ketidak adilan, kesenjangan ekonomi dan sebagainya dapat diselesaikan melalui jalan pelaksanaan hukum Islam secara mutlak di Indonesia.

Gerakan Islamisme sudah terlihat di Indonesia. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI menerbitkan buku yang berjudul Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia. Dalam buku tersebut, HTI menjelaskan bahwa persoalan-persoalan yang terjadi di Indonesia seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, kedzaliman, ketidakadilan dsb, berpangkal dari tidak tegaknya hukum Islam di Indonesia. Sistem sekuler yang menguasai Indonesia selama lebih dari 6 dekade, dianggap gagal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di Indonesia. Sehingga dibutuhkan negara dengan sistem hukum Islam yang diharapkan akan memberikan kebaikan dan kemajuan. Dikarenakan penegakan hukum Islam sedemikian penting, setiap umat Islam wajib untuk menegakkan agamanya. Hizbut Tahrir sama sekali tidak menggunakan cara-cara yang kompromis atau langkah-langkah penyesuaian diri dalam penegakan hukum Islam. meskipun demikian HTI juga tidak menggunakan kekerasan fisik dalam perjuangannya.

Contoh lainnya adalah Front Pembela Islam (FPI). FPI dikenal sering terlibat dalam berbagai aksi kekerasan fisik di Indonesia. Ketua umum FPI Muhammad Rizieq Shihab di situs Youtube dengan jelas mengatakan bahwa

(11)

hukum Islam lebih tinggi posisinya dibandingkan konstitusi Negara, Hukum Islam tidak boleh dikalahkan oleh hukum manusia, dan umat Islam tidak boleh mengalah dan menyerah dalam urusan prinsip ini. (Arsyad, 2015).

Ada berbagai istilah yang dapat merujuk kepada Islamisme, salah satunya fundamentalisme. Istilah islamisme dapat disamakan dengan istilah fundamentalisme, yaitu sebuah gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada kemurnian etika dengan cara mengintegrasikannya secara positif (dengan doktrin agama) , kembali kepada keseimbangan hubungan antara manusia dengan tuhan, manusia dengan kepribadiannya sendiri (Yusril Mahendra dalam Fenomena Sosial Fundamentalisme Islam). Dari definisi tersebut, gerakan-gerakan Islamisme yang telah disampaikan sebelumnya juga merupakan gerakan fundamentalisme.

Ada tujuh ciri fundamentalisme (Farid Essack dalam Fenomena Sosial Fundamentalisme Islam), yaitu: berkomitmen pada praktik keagamaan yang ketat, berkomitmen mentaati teks, memiliki pandangan ahistoris bahwa Islam mampu menjawab semua persoalan umat manusia secara permanen, berkeyakinan akan perlunya penerapan syari’at sebagai yang diyakini fundamentalis telah dipraktikkan dalam era Nabi Muhammad SAW di Madinah, berkomitmen untuk menegakkan Negara Islam dengan kedaulatan di tangan tuhan, permusuhan dengan semua yang menentang fundamentalis dengan menyebut mereka sebagai orang yang telah memiliki kesesatan dari pada kebenaran, penyangkalan terhadap kebaikan apapun dalam sesuatu yang non Islam.

Referensi

Dokumen terkait

kelompok kerja guru pendidikan agama islam yang pada awalnya belum maksimal karena proses yang dilakukan secara manual dapat teratasi dengan adanya sistem administrasi yang

終焉以降は更に変化していく. 日本社会は 1980 年代になると,前半は第二次オイルショック,後半はバブル経済の発生 と拡大,そして

Bagi pelajar OKU yang tinggal di kawasan luar bandar, mereka menghadapi kesukaran untuk mendapat akses kepada kemudahan-kemudahan di sekolah awam (Ong et al., 2002).. Kajian

Permasalahan yang dilihat peneliti adalah bagaimana pelaksanaan program pemberdayaan lanjut usia yang dilaksanakan oleh UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia

Abstrak: Dalam pembuatan abstrak menggunakan jenis font Times New Roman, ukuran 12, 1 spasi, serta memiliki margin 3,3,3,3 dengan ukuran kertas A4.. Abstrak dan

Fakulti Muzik dan Seni Persembahan, Universiti Pendidikan Sultan Idris 35900 Tanjung Malim, Perak, Malaysia. Abstrak: Kertas kerja ini berusaha untuk mengeksplorasi dan

Hasil kegiatan P2M ini adalah (1) Adanya peningkatan atau dimilikinya keterampilan oleh ibu-ibu PKK dalam pembuatan kue Bali yang dapat digunakan untuk upacara

Pengamatan dilakukan terhadap stadium dalam siklus hidup, rata-rata umur stadium, perilaku makan larva yang merupakan stadium yang merusak daun sambung nyawa, dan karakteristik