• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TELAAH PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TELAAH PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

9

2.1. Kepemimpinan

2.1.1. Definisi Kepemimpinan

Hal kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan dimulainya sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau beberapa orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain, terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu (Astohar, 2012).

Menurut Robbins dalam Nawawi (2003) kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi suatu kelompok kearah pencapaian tujuan. Dalam buku yang sama Owen mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu interaksi antar suatu pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin. Ada pula yang mengartikan “kepemimpinan merupakan kemampuan untuk membangkitkan semangat orang lain agar bersedia dan memiliki tanggung jawab total terhadap usaha mencapai atau melampaui tujuan organisasi” (Goetsch dan Davis, 1994). Sedangkan Thoha (2006) merumuskan bahwa

(2)

kepemimpinan adalah kegiatan untuk memepengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi prilaku manusia baik perorangan maupun kelompok.”

Senada dengan pernyataan diatas Garry Yukl (2010) juga menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju tentang apa yang perlu dikerjakan dan bagaimana tugas itu dapat dilakukan secara efektif, dan proses memfasilitasi usaha individu dan kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Demikian halnya dengan Harold Koontz dan Cyrill O’Donnellc dalam Soekarso (2010) yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah seni membujuk bawahan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan mereka dengan semangat keyakinan (Leadership is the art of including subordinates to accomplish their assignment with zeal and confidence).

Beberapa pendapat yang dirumuskan para ahli diatas dapat diketahui bahwa konsepsi kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak dengan jumlah orang yang ingin mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih merupakan konsep berdasarkan pengalaman. Hampir sebagian besar pendefinisian kepemimpinan memiliki titik kesamaan kata kunci yakni “suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita menemukan bahwa konseptualisasi kepemimpinan dalam banyak hal berbeda. Perbedaan dalam hal “siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari upaya mempengaruhi, cara-cara menggunakan pengaruh tersebut”.

(3)

Karena itu kepemimpinan dapat dipahami oleh peneliti sebagai kemampuan mempengaruhi bawahan agar terbentuk kerjasama didalam kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga ketika orang-orang yang menjadi pengikut atau bawahan dapat dipengaruhi oleh kekuatan kepemimpinan yang dimiliki oleh atasan maka mereka akan mau mengikuti kehendak pimpinannya dengan sadar, rela, dan sepenuh hati.

2.1.2. Teori Kepemimpinan

Dalam salah satu pernyataan yang ada di https://teorionline.wordpress.com dinyatakan bahwa dalam perkembangannya, studi tentang kepemimpinan berkembang sejalan dengan kemajuan zaman yang dikategorikan Yukl (2005) menjadi lima pendekatan yaitu : (1) pendekatan ciri, (2) pendekatan perilaku; (3) pendekatan kekuatan – pengaruh; (4) pendekaan situasional; dan (5) pendekatan integratif.

Penjelasan kepemimpinan yang paling lama seperti yang tercantum dalam https://teorionline.wordpress.com adalah teori kepemimpinan “genetic” atau Teori Genetik (Genetic Theory) yang sering juga disebut sebagai Great Man Theory dengan ungkapan yang sangat populer waktu itu yakni “a leader is born, not made”. Dalam teori ini terdapat pemahaman bahwa seseorang dilahirkan dengan membawa sifat-sifat kepemimpinan dan tidak perlu belajar lagi atau dengan kata lain sifat-sifat utama seorang pemimpin diperoleh secara genetik dari orang tuanya.

(4)

Pemahaman-pemahaman dalam teori ini sebagian besar bersandar pada pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Thomas Charly di abad 19 yang pernah menyatakan bahwa sejarah dunia sesungguhnya tidak ada melainkan sejarah hidup orang-orang besar. Menurutnya, seorang-orang pemimpin besar akan lahir saat dibutuhkan sehingga para pemimpin ini tidak bisa diciptakan.

Selanjutnya menurut Henry dalam tulisannya di https://teorionline.wordpress.com menyatakan bahwa dalam perkembangan studi kepemimpinan muncul Teori Sifat (Trait Theory), sesuai dengan namanya maka teori ini mengemukakan bahwa efektivitas kepemimpinan sangat tergantung pada kehebatan karakter pemimpin. “Trait” atau sifat-sifat yang dimiliki antara lain kepribadian, keunggulan fisik dan kemampuan sosial. Penganut teori ini yakin dengan memiliki keunggulan karakter di atas, maka seseorang akan memiliki kualitas kepemimpinan yang baik dan dapat menjadi pemimpin yang efektif. Karakter yang harus dimiliki oleh seseorang menurut Judith R. Gordon mencakup kemampuan yang istimewa dalam (1) Kemampuan Intelektual (2) Kematangan Pribadi (3) Pendidikan (4) Status Sosial dan Ekonomi (5) “Human Relations” (6) Motivasi Intrinsik dan (7) Dorongan untuk maju (achievement drive).

Mengacu pada keterbatasan peramalan efektivitas kepemimpinan melalui “trait theory”, para peneliti pada era Perang Dunia ke II sampai era di awal tahun 1950-an mulai mengembangkan pemikiran untuk meneliti “behavior” atau

(5)

perilaku seorang pemimpin sebagai cara untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan sehingga muncullah Teori Perilaku (The Behavioral Theory). Fokus pembahasan teori kepemimpinan pada periode ini beralih dari siapa yang memiliki kemampuan memimpin ke bagaimana perilaku seseorang untuk memimpin secara efektif (https://teorionline.wordpress.com).

Dalam rangka penyempurnaan dan kekurangan teori-teori sebelumnya dalam meramalkan kepemimpinan yang paling efektif maka studi kepemimpinan terus dilanjutkan sehingga muncul teori situasional. Dalam “situational theory” pemimpin yang efektif akan melakukan diagnose situasi, memilih gaya kepemimpinan yang efektif dan menerapkannya secara tepat. Seorang pemimpin yang efektif dalam teori ini harus bisa memahami dinamika situasi dan menyesuaikan kemampuannya dengan dinamika situasi yang ada. Empat dimensi situasi yakni kemampuan manajerial, karakter organisasi, karakter pekerjaan dan karakter pekerja. Keempatnya secara dinamis akan memberikan pengaruh terhadap efektivitas kepemimpinan seseorang (https://teorionline.wordpress.com).

Teori kepemimpinan yang masih relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan adalah kepemimpinan transformasional. Dimana teori ini muncul dengan diawali oleh pemikiran mengenai kepemimpinan oleh sekelompok ahli yang mencoba “menghidupkan” kembali teori “trait” atau sifat-sifat utama yang dimiliki seseorang agar dia bisa menjadi pemimpin. Robert House menyampaikan teori

(6)

kepemimpinan dengan menyarankan bahwa kepemimpinan yang efektif mempergunakan dominasi, memiliki keyakinan diri, mempengaruhi dan menampilkan moralitas yang tinggi untuk meningkatkan kadar kharismatiknya (Ivancevich, dkk, 2008). Dengan mengandalkan kharisma, seorang pemimpin yang “transformational” selalu menantang bawahannya untuk melahirkan karya-karya yang istimewa. Langkah yang dilaksanakan pada umumnya adalah dengan membicarakan dengan pengikutnya, bagaimana sangat pentingnya kinerja mereka, bagaimana bangga dan yakinnya mereka sebagai anggota kelompok dan bagaimana istimewanya kelompok sehingga dapat menghasilkan karya yang inovatif serta luar biasa.

Menurut pencetus teori Transformasional ini, pemimpin transformational adalah sangat efektif karena memadukan dua teori yakni teori “behavioral” dan “situational” dengan kelebihan masing-masing. Atau, memadukan pola perilaku yang berorientasi pada manusia atau pada produksi (employee or production-oriented) dengan penelaahan situasi ditambah dengan kekuatan kharismatik yang dimilikinya. Tipe pemimpin transformational ini sesuai untuk organisasi yang dinamis, yang mementingkan perubahan dan inovasi serta bersaing ketat dengan perusahaan-perusahaan lain dalam ruang lingkup internasional. Syarat utama keberhasilannya adalah adanya seorang pemimpin yang memiliki kharisma (Ivancevich, 2008).

(7)

Kepemimpinan transaksional dan transformasional pada awalnya dikembangkan oleh Bass (1985) bertolak dari pendapat Maslow tentang tingkatan kebutuhan manusia. Menurut teori hierarki kebutuhan tersebut, kebutuhan bawahan lebih rendah seperti kebutuhan fisik, rasa aman dan pengharapan dapat terpenuhi dengan baik melalui penerapan kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.

2.2. Derajat Kepemimpinan yang melayani

Konsep kepemimpinan yang melayani adalah mengubah pendekatan kepemimpinan secara evolusioner dan pribadi. Konsep ini bukanlah suatu perbaikan serba cepat atas persoalan-persoalan yang dihadapi pemimpin. Kepemimpinan pelayan menggunakan pendekatan mendasar dan bersifat jangka panjang, yang pada akhirnya akan memberikan perubahan secara menyeluruh pada kehidupan personal dan profesional pegawai (Astohar, 2012).

Kepemimpinan yang melayani merupakan sebuah konsep kepemimpinan etis yang diperkenalkan pertama kali oleh Robert K. Greenleaf sejak tahun 1970. Dalam bukunya yang berjudul Servant Leadership beliau

(8)

menyebutkan bahwa kepemimpinan yang melayani adalah suatu kepemimpinan yang berawal dari perasaan tulus yang timbul dari dalam hati yang berkehendak untuk melayani, yaitu untuk menjadi pihak pertama yang melayani. Pilihan yang berasal dari suara hati itu kemudian menghadirkan hasrat untuk menjadi pemimpin. Perbedaan manifestasi dalam hal melayani yang diberikan, pertama adalah memastikan bahwa kebutuhan pihak lain dapat dipenuhi, yaitu menjadikan mereka sebagai orang-orang yang lebih dewasa, sehat, bebas, dan otonom, yang pada akhirnya dapat menjadi pemimpin yang melayani berikutnya.

Sejalan dengan hal itu Neuschel dalam Aorora (2009) menyatakan pemimpin yang melayani adalah orang dengan rasa kemanusiaan yang tinggi. Bukan nasib pemimpin untuk dilayani, tetapi adalah hak istimewanya untuk melayani. Harus ada sejumlah elemen atau pemahaman tentang hidup dalam kepemimpinan berkualitas tinggi karena tanpa karakter pemimpin yang melayani ini, kepemimpinan dapat tampak menjadi-dan sebenarnya menjadi-termotivasi untuk melayani diri sendiri dan mementingkan kepentingannya sendiri.

Banyak pakar membandingkan servant leadership dengan bentuk gaya kepemimpinan yang lain. Diantaranya adalah Bass (2000) dalam diskusinya tentang transformational leadership dengan bentuk kepemimpinan

(9)

yang lain menyatakan bahwa terdapat banyak kesamaan servant leadership dengan transformational leadership. Kesamaan tersebut terkait dengan karakteristik vision, influence, credibility, trust, dan service. Polly (2002) juga membuat perbandingan servant leadership dengan tiga paradigma kepemimpinan yang sebelumnya, yaitu pendekatan trait, behavioral, dan contingency. Polley menyatakan bahwa servant leadership sangat dekat kesamaannya dengan transformational leadership. Karakteristik utama yang membedakan antara kepemimpinan yang melayani dengan model kepemimpinan lainnya adalah keinginan untuk melayani hadir sebelum adanya keinginan untuk memimpin. Selanjutnya mereka yang memiliki kualitas kepemimpinan akan menjadi pemimpin, sebab itulah cara yang paling efektif untuk melayani (Spears dalam Lantu, 2007).

Berbagai penelitian dalam bidang kepemimpinan menemukan bahwa seorang pemimpin yang melayani dapat berhasil karena mereka memiliki dan “dibimbing” oleh suatu tujuan hidup. Tujuan hidup itu merupakan sumber energi dan arah bagi pemimpin. Greenleaf mendefinisikan tujuan hidup ini secara indah, yaitu “the job you were sent here to do”. Panggilan hidup ini merupakan penggerak dan sumber utama bagi pemimpin yang melayani untuk menentukan arah dan tujuan hidup yang tepat bagi dirinya, juga dalam hal pemanfaatan peluang-peluang yang ada, memegang teguh apa yang dipercayai, serta

(10)

memberikan yang terbaik dan bekerja keras. Panggilan hidup adalah alasan mengapa seseorang dilahirkan (Lantu, Pesiwarissa, & Rumahorbo, 2007).

Para peneliti mengindikasikan bahwa sebenarnya pemimpin yang melayani dapat dibentuk atau diciptakan (nurture) lewat berbagi pelatihan dan pengalaman dalam kurun waktu tertentu di masa hidupnya. Lantu, Pesiwarissa, & Rumahorbo (2007), mengatakan: “seorang pemimpin yang bukanlah seorang yang telah dilahirkan untuk itu, tetapi diperlukan kerja keras dan lingkungan yang tepat untuk dapat belajar serta bertumbuh menjadi pemimpin yang efektif”. Artinya perilaku kepribadian itu dapat dipelajari dan terus dikembangkan dengan tekad yang kuat.

Uraian-uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa servant leadership tidaklah dipahami secara sama oleh para ahli. Bagaimanapun ada prinsip-prinsip yang memberikan kesamaan pada konstruk-konstruk yang dipergunakan oleh para ahli tersebut yaitu bagaimana mengembangkan pihak lain (pengikut, komunitas internal dan eksternal), bukan untuk mementingkan diri sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Greenleaf (dalam Nixon, 2005) bahwa servant leadership mendasarkan pada tanggung jawab utama pada pelayanan terhadap bawahan dengan meletakkan kepentingan bawahan diatas kepentingan pemimpin. Yang juga didukung pendapat Spears (2002) yang menggambarkan servant leadership sebagai melayani

(11)

merupakan hal utama dan mendorong hubungan yang baik dengan mengembangkan atmosfer dignity dan respect, membangun komunitas dan kerja tim, dan mendengarkan rekan dan karyawan.

Dr. Jim Laub (1999) telah meneliti karakteristik mengenai kepemimpinan yang melayani dengan tujuan menghasilkan alat pengukuran yang valid dalam menilai kepemimpinan yang melayani di setiap organisasi. Ada enam hal penting yang merupakan konstruksi utama dalam menggambarkan perilaku kepemimpinan yang melayani.

Value People merupakan karakteristik pertama yang harus dimiliki oleh pemimpin yang melayani yaitu dengan cara mempercayai orang lain, dengan melayani kebutuhan orang lain terlebih dahulu dibandingkan dengan kebutuhan pribadi, ramah dan banyak mendengarkan orang lain secara empati. Sangat penting bahwa seorang pemimpin menghargai manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki perasaan ingin diperhatikan seperti misalnya cukup hanya dengan mendengarkan secara empati dari berbagai persoalan yang dihadapi. Hal senada juga diungkapkan oleh Russel & Stones (2002) bahwa tujuan utama dari seorang pemimpin pelayan adalah melayani dan memenuhi kebutuhan pihak lain, yang secara optimal seharusnya menjadi motivasi utama kepemimpinan. Kebutuhan tersebut tidak selalu dalam bentuk materi tapi dapat juga berbagai hal seperti perhatian, hal itu sudah dirasakan cukup bagi karyawan.

(12)

Value people dapat diterapkan melalui kemampuan untuk memahami, mengalami perasaan anggota, dari mana anggota itu berasal (George, 2002), dan kemampuan untuk melepaskan rasa bersalah anggota terhadap kesalahan yang dibuat di dalam pekerjaannya serta tidak trauma dengan kesalahan yang sama (McCullough, Hight, & Rachal, 1998). Value people mencakup unsur perspektif yang diadopsi dari ilmu psikologis, yakni: membuat semua anggota merasa diterima, adanya kasih, dan rasa memaafkan atas kepedulian terhadap pelanggaran atau kesalahan yang dibuat anggota terlebih lagi anggota tidak merasa ditolak.

Selanjutnya pemimpin yang melayani juga harus memiliki karakteristik Develop People dengan memberikan kesempatan kepada pengikut untuk belajar dan berkembang, dengan menjadi teladan terhadap perilaku yang diinginkan, mengembangkan orang lain dengan cara mendorong, mendukung, dan melayaninya. Develop people adalah konsep yang berfokus untuk memotivasi segala kelebihan anggota yang diberikan pemimpin. Memberdayakan anggota merupakan tujuan untuk pembinaan secara terus menerus, sehingga timbul sikap percaya diri yang kuat di dalam diri anggota yang memberikan anggota dengan rasa kekuatan pribadi di segala situasi dalam proses pekerjaan yang dilakukan. Hal tersebut menunjukan salah satu nilai-nilai kepemimpinan yang melayani untuk pengembangan pribadi anggota (Laub,

(13)

1999). Senada dengan pernyataan tersebut Lantu (2007) mengungkapkan bahwa fokus utama dari kepemimpinan yang melayani adalah bagaimana mengembangkan karyawan bukan untuk mementingkan diri sendiri. Dengan memprioritaskan pengembangan karyawan sebagai hal yang utama secara tidak langsung pemimpin mengarahkan menuju keberhasilan jangka panjang. Hal itu dapat dilakukan dengan cara memberikan pelatihan dengan tujuan meningkatkan profesionalitas dan kompetensi karyawan, baik yang bersifat hard skills maupun soft skills juga etos kerja yang dibutuhkan agar berhasil sebagai pekerja maupun dalam kehidupan pribadi. Memberikan teladan atau peraturan tertentu yang bertujuan meningkatkan disiplin diri, profesionalitas, serta integritas karyawan.

Karakteristik ketiga adalah Build Community dengan cara membangun hubungan personal yang kuat, berkolaborasi dengan orang lain dalam pekerjaan, menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Tujuan utama seorang pemimpin yang melayani bukan untuk mengejar banyaknya profit yang dihasilkan dalam setiap tahunnya, tetapi lebih pada bagaimana menumbuhkankembangkan komunitas, baik bagi mereka yang ada dalam perusahaan/lembaga, maupun masyarakat yang berada di sekitar perusahaan/lembaga itu beroperasi. Build community adalah kemauan pemimpin yang melayani untuk mengambil tanggung jawab atas institusi yang lebih

(14)

besar dan untuk melayani bukan sebatas kontrol dan kepentingan diri sendiri saja (Spears, 1995). Pemimpin yang melayani harus bertindak tidak hanya sebagai pengasuh, tetapi juga sebagai panutan bagi anggota. Dengan menetapkan contoh yang tepat, pemimpin yang melayani dapat merangsang anggota untuk bertindak demi kepentingan umum. Menurut Spears (1995) pemimpin yang melayani berusaha membangun suatu hubungan yang erat sebagaimana layaknya sebuah keluarga diantara sesama anggota yang bekerja dalam organisasi. Kepemimpinan yang melayani menyatakan bahwa komunitas yang sesungguhnya dapat juga diciptakan di lingkungan dan lembaga lainnya.

Karakteristik selanjutnya yang juga sangat penting adalah Display Authenticity dengan bertanggung jawab dan terbuka kepada orang lain, memiliki keinginan yang kuat untuk belajar dari orang lain, bersedia menerima kritikan, mempertahankan integritas dan sifat dapat dipercaya. Authenticity berkaitan erat dengan ungkapan “true self”, bagaimana seorang pemimpin yang melayani mengekspersikan diri dengan cara yang konsisten dalam hal pikiran dan perasaaan (Harter, 2002). Authenticity tentang seorang pemimpin yang melayani bersikap jujur terhadap diri sendiri dan komitmen untuk melayani anggota (Paterson & Seligman, 2004). Selain itu Authenticity menurut Russell & Stone terkait juga dengan masalah integritas pada diri pemimpin yang melayani serta kepatuhan terhadap norma-norma moral, memikul

(15)

tanggung jawab dan melakukannya dengan kerelaan hati merupakan ciri penting lainnya yang mendasar bagi seorang pemimpin yang melayani. Sejalan dengan hal tersebut Oswald Sanders dalam bukunya “Kepemimpinan Rohani” mengutip beberapa peraturan yang ditulis dalam buku Life of Robert E.Spears, sebagai pedoman hidup pemimpin yang melayani, yang memikul tanggung jawab yang besar.

Provide Leadership merupakan karakteristik ke lima yang dapat diwujudkan dengan memberikan perspektif masa depan kepada para pengikut, memprakarsai dan mengambil inisiatif, mengklarifikasikan tujuan-tujuan yang sesuai. Memprakarsai merupakan satu fungsi penting dalam jabatan seorang pemimpin. Beberapa orang mempunyai lebih banyak karunia untuk memelihara hasil yang telah dicapai daripada memprakarsai usaha-usaha yang baru; lebih banyak karunia untuk menjaga ketertiban daripada untuk membangkitkan semangat. Lantu (2007) mengatakan bahwa seorang pemimpin sejati harus memiliki keberanian maupun penglihatan. Ia harus menjadi seorang perintis dan bukan hanya orang yang memelihara. Memastikan agar anggota memahami apa yang pemimpin yang melayani harapkan dari anggota, yang bermanfaat bagi anggota dan organisasi atau perusahaan (Laub, 1999).

Terakhir adalah karakteristik Share Leadership dengan adanya penyebaran kekuasaan yang sehat dan

(16)

melepaskan pengendalian kepada pengikut, memiliki sikap rendah hati, berbagi status dan mempromosikan orang lain. Karakteristik dasar pemimpin yang melayani adalah sifat rendah hati yang dimilikinya. Share leadership mengacu pada kemampuan untuk menempatkan prestasi dan bakat anggota dalam perspektif yang tepat (Patterson, 2003). Pemimpin yang melayani berani mengakui bahwa mereka dapat bekerja dengan baik karena ada campur tangan dari orang lain, yaitu para anggota dan bukan bekerja sendiri untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Seseorang dapat dikatakan sebagai pemimpin yang melayani jika dan hanya jika ia memiliki sifat rendah hati. Bahkan jika upaya yang dilakukan mendatangkan keberhasilan, maka ia akan menyatakan kepada semua orang yang ditemuinya, bahwa keberhasilan itu adalah hasil dari kerja keras karyawan atau malah hanya karena faktor eksternal. Selain sikap rendah hati seorang pemimpin juga harus mampu untuk melepaskan pengendalian dan lebih memberikan kepercayaan kepada karyawan didalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bennet (2001) bahwa seorang pemimpin yang melayani menciptakan lingkungan kepercayaan sehingga terjadi tingkat kepercayaan yang lebih berarti dan lebih dalam yang akan menghasilkan pengaruh yang lebih besar lagi. Senada dengan hal tersebut Patterson (2003) mengatakan bahwa penting bagi seorang pemimpin untuk

(17)

mempercayakan kekuasaan kepada pihak lain dan kemudian menyatakannya.

Selanjutnya peneliti akan menggunakan enam karakteristik kepemimpinan yang melayani diatas untuk meneliti derajat pelaksanaan kepemimpinan yang melayani. Derajat pelaksanaan yang dimaksud adalah seberapa tinggi tingkat pelaksanaan kepemimpinan yang melayani di sekolah menengah tingkat atas swasta kota Salatiga.

2.3. Kajian Riset Terdahulu

Terkait dengan penelitian ini, telah ada beberapa penelitian yang terdahulu, yaitu :

1. Penelitian oleh Aorora (2009) tentang model Servant Leadership di IPB Bogor yang melibatkan responden yang bekerja di IPB memperlihatkan penerapan sepuluh karakteristik servant leadership dalam gaya kepemimpinan di IPB. Hasilnya menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan di IPB baru menerapkan lima dari sepuluh karakteristik servant leadership yaitu: empati, menyembuhkan, persuasif, melayani dan membangun komunitas.

2. Pengukuran Servant Leadership Sebagai Alternatif Kepemimpinan Di Institusi Pendidikan Tinggi Pada masa Perubahan Organisasi oleh Seger Handoyo (2010) di Universitas Airlangga Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji tingkat penting perilaku yang menunjukkan moral tinggi (virtue) dalam servant leadership dan menguji multidimensionalitas

(18)

servant leadership. Hasil penelitian menemukan bahwa servant leadership dapat menjadi alternatif kepemimpinan di pendidikan tinggi untuk melakukan perubahan organisasi dengan berhasil. Penelitian juga membuktikan bahwa servant leadership merupakan konstruk yang unidimensional. Semua dimensi dalam Servant Leadership penting untuk diterapkan.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Maria Merry Marianti (2012) berjudul Model Kepemimpinan Melayani (servant Leadership) Pada Perguruan Tinggi Katolik Di Indonesia. Penelitian ini berusaha mengetahui karakteristik Kepemimpinan Melayani yang dianggap penting oleh para Dosen Tetap pada Perguruan Tinggi Ekonomi Katolik yang ada di Indonesia. Model Kepemimpinan Melayani yang dibuat penulis, terdiri dari 3 dimensi, 18 faktor, dan 69 indikator variabel. Berdasarkan hasil Analisis dapat disimpulkan bahwa (1) Dimensi Karakter Pernimpin Melayani, (2) Dimensi Perilaku Pemimpin Melayani Yang Berorientasi Pada Pekerjaan. dan (3) Dimensi Perilaku Pemimpin Melayani yang Berorientasi Pada Manusia, adalah dimensi yang mampu merefleksikan konstruk Kepemimpinan Melayani. Dimensi Kepemimpinan Melayani dianggap sangat penting untuk dilakukan. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Mahembe and

Engelbrecht (2014) berjudul The Relationship between Servant leadership, Organisational Citizenship

(19)

Behavior and Team Effectiveness menyatakan bahwa Servant leadership berpengaruh secara signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) terbukti (diterima). Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis terhadap hubungan yang ada antara kepemimpinan pelayanan, Organizational Citizenship Behavior dan efektivitas tim sekolah. Dalam penelitiannya yang berkaitan dengan Servant leadership menyatakan bahwa ada hubungan positif dan signifikan yang ditemukan antara kepemimpinan pelayanan dan OCB.

5. Barry Foster (2000) dalam desertasinya yang berjudul Barriers to Servant Leadership: Perceived Organizational Elements that Impede Servant Leader Effectiveness, menemukan ada enam faktor yang dapat menghambat keberhasilan praktik kepemimpinan pelayan disebuah organisasi. Enam faktor itu adalah sebagai berikut:

- Rasa tidak percaya dan ekspektasi yang tidak realistis.

- Konflik terhadap model kepemimpian yang ada sebelumnya.

- Tidak ada atau lemahnya kerjasama tim.

- Konflik terhadap keinginan untuk melayani diri sendiri dan sistem penghargaan yang ada.

- Proses komunikasi dan kolaborasi yang tidak efektif.

(20)

- Proses pembelajaran dan pengembangan tidak berjalan baik.

2.4. Kerangka Pikir Penelitian

Kepemimpinan yang melayani (Servant Leadership)

Enam karakteristik : 1. Value people 2. Develop people 3. Build Community 4. Display 5. Provide Leadership 6. Share Leadership Derajat pelaksanaan Servant Leadership Persepsi Guru dan karyawan

Refleksi jenis kepemimpinan terbaik

Beberapa sekolah SMA swasta di berbagai daerah mulai ditinggalkan masyarakat

Sangat tinggi / tinggi Sangat rendah

/ rendah

- Suasana kerja kondusif - Guru & karyawan bertumbuh

- Siswa, orangtua, dan masyarakat merasa puas

- Sekolah berkembang baik/maju - Suasana kerja tidak kondusif

- Guru & karyawan sulit bertumbuh

- Siswa, orangtua, dan masyarakat merasa kecewa

(21)

Berdasarkan kerangka pikir diatas maka dapat dijelaskan bahwa karakteristik ideal dalam konsep Servant Leadership akan dilihat derajat pelaksanaannya dalam kepemimpinan kepala sekolah berdasarkan persepsi guru dan karyawan. Hal ini didasarkan bahwa persepsi guru dan karyawan menjadi relevan dalam hal menilai karakteristik kepemimpinan kepala sekolah karena salah satu refleksi dari kepemimpinan adalah dari orang-orang yang dipimpinnya.

Adapun 6 (enam) karakteristik Kepemimpinan Pelayan (Servant Leadership) yang akan penulis gunakan untuk mendeskripsikan derajat pelaksanaannya adalah: (1)Value people; (2)Develop people; (3)Build community; (4)Display authenticity; (5)Provide Leadership; (6)Share Leadership.

(22)

Referensi

Dokumen terkait

memerintahkan kepada Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan, Badan Usaha Angkutan Udara yang pesawat udaranya menjadi objek tindakan melawan hukum dan bandar udara

Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah keluarga harus ada yang menjadi pimpinan, sejak awal kepemimpinan keluarga itu telah di amanahkan kepada

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa : persepsi guru geografi terhadap penerapan pendidikan

Empat data hotel beserta tarif inap dan paket makan pada suatu cluster yang memiliki jarak pusat cluster dengan nilai terpendek/ terkecil yang diberikan oleh wisatawan

Saya tidak akan merokok atau mengambil mana – mana jenis dadah atau bahan yang memabukkan yang boleh mendatangkan kemudaratan semasa di dalam tempoh pengajian saya di

Manajer perusahaan yang going public melakukan earnings management untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya dengan harapan mendapatkan respon pasar yang

Berikut ini perhitungan Workload untuk mesin pada packaging primer (Groover, 2001). Apakah perusahaan akan menggunakan 1 mesin atau menambah jumlah mesin menjadi 2

Perusahaan cenderung lebih memilih penarikan dari dalam perusahaan, dengan alasan mengenal keperibadian, kemampuan, dan keterampilan karyawan secara lebih mendalam,