• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. berarti truancy; school non attendance. Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. berarti truancy; school non attendance. Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2 Landasan Teori 2.1. Konsep Futoukou

Dalam kamus online Denshi Jisho, kata futoukou ( 不登校 ) dalam bahasa Inggris

berarti truancy; school non attendance. Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan pembolosan / mangkir atau tidak menghadiri kelas yang berlangsung. Sedangkan dalam kamus kanji Matsuura (1994), kata futoukou dibagi menjadi 2 bagian yaitu fu ( 不 ) yang berarti tidak dan toukou ( 登校 ) yang berarti masuk sekolah. Namun,

untuk fenomena kasus ini, kata futoukou lebih tepat diartikan sebagai anak yang menolak masuk sekolah ( school refusal ). Sebelumnya, istilah yang digunakan untuk anak yang menolak masuk sekolah adalah toukoukyohi ( 登校拒否 ) yang diartikan

sebagai sebuah penyakit fobia sekolah. Maksud dari kata tersebut adalah anak merasakan adanya ketakutan untuk masuk ke sekolah.

Pengertian akan futoukou mengalami beberapa kali perubahan dari tahun 1947 sampai saat ini. Sebelum tahun 1960 – an, kasus anak yang menolak mengikuti wajib belajar sudah ada. Para peneliti pada saat itu menyebutnya sebagai persistent absenteeism atau dalam bahasa Indonesia berarti pembolosan secara terus menerus. Sebutan tersebut dimulai dari masa setelah Perang Dunia Kedua, yaitu 1947 – an hingga akhir tahun 1950 – an. Peneliti menganggap masa tersebut sebagai fase pertama. Kemudian pada fase kedua terjadi di tahun 1960 – an sampai pertengahan tahun 1970 – an. Pada fase kedua, istilah toukoukyohi pertama kali digunakan. Di fase ketiga ( pertengahan tahun 1970 –an hingga awal tahun 1990 –an ), istilah kembali berubah menjadi school refusal ( penolakan bersekolah ). Dan terakhir fase

(2)

keempat dari pertengahan tahun 1990 – an hingga sekarang, istilah futoukou digunakan. Alasan perubahan kata dari toukoukyouhi diganti dengan kata futoukou karena dalam beberapa pembahasan publik yang membicarakan kasus ini, kedua kata tersebut memiliki kesamaan arti dan alasan yang membuat anak – anak tidak ingin masuk sekolah ( Goodman, 2009:129 – 130 ).

Menurut Mombuka Gakushou dalam Gakkou Kihon Chousa dan Jidouseito no Mondai Nado Shidoujou no Shimondai ni Kansuru Chousa, mendefinisikan futoukou sebagai berikut: 「不登校児童生徒」の定義を、「何らかの心理的、情緒的要因、身体 的あるいは社会的要因・背景により、登校しないあるいはしたくとも できない状況にあるため年間三十日以上欠席した者のうち、病気や経 済的な理由による者を除いたもの」としています。    Terjemahan:

Definisi dari futoukou adalah adanya semacam faktor psikologis, faktor emosi dan faktor fisik dibalik faktor sosial yang melatarbelakangi seorang anak tidak masuk sekolah dalam waktu lebih dari 30 hari selama satu tahun ajaran, selain anak dengan alasan penyakit / sakit dan alasan masalah ekonomi (Ushio, 2004: 24).

Sedangkan Kerney dan Silverman (1996) mendefinisikan school refusal ( penolakan masuk sekolah ) sebagai berikut:

School refusal behavior generally refers to a child-motivated refusal to attend school and/or difficulties remaining in classes for an entire day. The problem is thus a form of school absenteeism that focuses on child-based problems (i.e., not parent-based school withdrawal or family-based emergencies). Specifically, school refusal behavior refers to school-age youth who are completely or partially absent from school, who show severe morning behavior problem (e.g., tantrums, clinging, running away) to try to miss school, and / or who have a great distress as they attend school during the day.

Terjemahan:

Perilaku penolakan untuk masuk sekolah umumnya mengacu pada anak yang termotivasi untuk menolak masuk sekolah dan / atau merasa sulit untuk

(3)

menghabiskan waktunya di kelas. Permasalahan ini berfokus pada anak tersebut (contohnya, bukan ditarik dari sekolah oleh orang tua atau keadaan keluarga yang berada dalam masalah). Khususnya, perilaku mereka mengarah ke anak usia sekolah yang sebagian atau seluruhnya menolah untuk masuk sekolah, menunjukkan masalah perilaku dan buruk (misalnya, temperamen buruk, malas bergerak, melarikan diri) untuk mencoba membolos dari sekolah, dan / atau yang memiliki tekanan besar terhadap mereka untuk bersekolah di siang hari (Watson & Skinner, 2004: 274).

Dalam Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology – Japan (2004) menyebutkan bahwa sampai pada tahun 1990, seorang siswa dianggap sebagai pembolos atau futoukou jika tidak masuk sekolah lebih dari 50 hari secara berturut – turut dalam waktu satu tahun ajaran. Setelahnya, yaitu pada tahun 1991 hingga sekarang, jangka waktunya diperpendek menjadi 30 hari atau lebih dalam waktu satu tahun ajaran sekolah. Dengan demikian, jumlah futoukou menjadi semakin tinggi dengan pengurangan batas waktu tersebut.

Kasus futoukou merupakan salah satu dari permasalahan yang dialami oleh siswa sekolah, di samping kasus ijime yang telah diketahui oleh banyak orang. Berdasarkan grafik MEXT pada tahun 2009, tercatat angka tertinggi jumlah futoukou dari tahun 1990 sampai pada tahun 2009 adalah pada tahun 2001 dengan jumlah gabungan siswa SD dan SMP yang mencapai angka 138.722 siswa. Angka tersebut naik 3,3% dari tahun sebelumnya. Sedangkan lonjakan siswa yang menolak bersekolah berada pada tahun 2008 dengan jumlah total 127.692 siswa yang membolos dengan perbandingan jumlah siswa yang membolos pada tahun 2007 adalah 105.466 siswa dengan rasio perbandingan 21,1%. Tidak mengherankan kasus futoukou menarik perhatian para orang tua di seluruh Jepang dan media massa.

(4)

2.2. Konsep School Culture

School culture, dalam bahasa Indonesia berarti budaya sekolah, secara eksplisit terbayang sebuah sekolah dengan kebiasaan yang hanya dimiliki sekolah tersebut atau juga diaplikasikan oleh sekolah – sekolah lain. Liliweri (2003) memberikan beberapa definisi dari budaya. Pertama, Iris Varner dan Linda Beamer mengartikan kebudayaan sebagai pandangan yang koheren tentang sesuatu yang dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan oleh sekelompok orang. Pandangan itu berisi hal yang mendasari kehidupan, derajat kepentingan, tentang sikap mereka yang tepat terhadap sesuatu, gambaran suatu perilaku yang harus diterima oleh sesama atau yang berkaitan dengan orang lain.

Kedua, kebudayaan, dalam arti yang luas, adalah perilaku yang tertanam, merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial (disosialisasikan), tidak sekedar sebuah catatan ringkas, tetapi dalam bentuk perilaku melalui pembelajaran sosial (social learning). Definisi ketiga adalah kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekoelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol – simbol, yang mereka terima tanpa sadar/ tanpa dipikirkan, yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Pengertian keempat, kebudayaan adalah komunikasi simbolis, simbolisme itu adalah ketrampilan kelompok, pengetahuan, sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol – simbol itu dipelajari dan disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi. Kelima, kebudayaan terdiri dari pola – pola yang eksplisit maupun implicit dari dan untuk sebuah perilaku tertentu yang dialihkan melalui simbol – simbol yang merupakan prestasi kelompok manusia, termasuk peninggalan berbentuk artifak yang

(5)

merupakan inti atau esensi dari gagasan – gagasan tradisional, dan dikemas dalam nilai – nilai yang telah mereka terima. Pendeknya, sistem kebudayaan dengan mudah diterangkan dengan produk atau tindakan, yang dipandang menjadi faktor berpengaruh terhadap tindakan mereka. Keenam, kebudayaan adalah jumlah keseluruhan perilaku yang dipelajari oleh sekelompok orang yang secara umum menerangkan sebuah tradisi kehidupan yang diwariskan oleh sebuah generasi kepada generasi lainnya.

Ketujuh, mengutip dari pendapat Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi. Kebudayaan juga bisa berarti sistem pengetahuan yang dipertukarkan oleh sejumlah orang dalam sebuah kelompok yang besar. Kedelapan, mengutip dari pendapat Adler, kebudayaan sebenarnya segala sesuatu yang dimiliki bersama oleh seluruh atau sebagian anggota kelompok sosial. Segala sesuatu (contohnya moral, hukum dan adat istiadat) yang coba dialihkan oleh anggota tertua dari sebuah kelompok kepada anggota yang muda. Sehingga mempengarihu perilaku atau membentuk struktur persepsi anggota tersebut tentang dunia. Kesembilan, menurut Levo – Henriksson, kebudayaan itu meliputi semua aspek kehidupan sehari – hari, terutama pandangan hidup, apa pun bentuknya, baik mitos, maupun sistem nilai dalam masyarakat.

Dari kesembilan definisi budaya yang telah dijabarkan, dapat diambil kesimpulan bahwa budaya merupakan suatu nilai yang secara turun menurun diwariskan kepada semua anggota kelompok dan menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan. Kebiasaan tersebut tidak lain diwariskan oleh guru kepada siswa – siswanya, kemudian siswa –

(6)

siswa saling mengingatkan kebiasaan – kebiasaan tersebut jika ada yang lupa atau melakukan pelanggaran. Dengan demikian, school culture dapat diartikan nilai – nilai yang berlaku di sekolah dan terus menerus dilaksanakan oleh semua anggota di dalam sekolah tersebut. Tomari dan Kudomi (2007: 2) juga mengartikan school culture adalah kekuatan dari budaya untuk membentuk pola yang menciptakan kehidupan sekolah bersama dengan anggota sekolah lainnya untuk menciptakan kebiasaan bagi siswa – siswanya.

Budaya sekolah terdiri dari empat bagian, yaitu budaya dari institusi sekolah, budaya para guru, budaya siswa, dan budaya etos sekolah. Setiap budaya memiliki sisi implisit dan eksplisit, terkecuali budaya etos sekolah, di mana budaya tersebut dianggap sebagai simbol atau kebiasaan yang menyangkut semua aspek budaya sekolah. Nilai implisit dan eksplisit dapat dilihat di tabel di bawah ini.

(7)

Tabel 2.1. Empat Sub-Kultur Sekolah dan Dua Sisi – Sisinya Budaya dari

Institusi Sekolah

Budaya Para

Guru Budaya Siswa

Budaya Etos Sekolah Sisi Eksplisit Pengetahuan Seputar Sekolah (misi, subjek, kurikulum, penilaian) Gambaran mengenai guru dan cara

guru menciptakan hubungan antara guru dengan siswa 1. Nilai akademi siswa 2. Peraturan sekolah 3. Bimbingan masa depan siswa 4. Kegiatan di luar pelajaran kelas Beberapa simbol atau kebiasaan yang melambangkan kesatuan sekolah, atau yang mengabsahkan hubungan tidak seimbang antara beberapa kelompok anggota sekolah Sisi Implisit Kurikulum tersembunyi (urutan waktu, ruang dan hubungan antar manusia) Bentuk kebiasaan, kepercayaan umum dan nilai – nilai sosial guru yang telah lama ada 1. Teman sekelas 2. Sahabat 3. Ijime 4. Hubungan kouhai - senpai sumber: http://hermes‐ir.lib.hit‐u.ac.jp/rs/handle/10086/13869

Jika dibandingkan dengan budaya institusi sekolah, budaya guru dan budaya etos sekolah, budaya siswa merupakan bagian yang lebih banyak mengalami masalah. Hal itu dikarenakan budaya siswa selalu mendapatkan pengaruh buruk dari ketiga budaya lainnya.

2.2.1. Sisi Eksplisit Dari Budaya Siswa

Jika dicari pandanan katanya, menurut Buku Thesaurus Indonesia (2007 : 168) kata eksplisit memiliki arti yang sama dengan kata terang, gamblang, jelas, kentara. Dengan demikian, sisi eksplisit merupakan bagian yang jelas. Dapat diinterpretasikan

(8)

melalui mata karena terlihat, melalui telinga karena terdengar, maupun oleh panca indera manusia lainnya. Sehingga sisi eksplisit merupakan bagian yang tidak ditutupi oleh hal – hal lain.

Pola sosial siswa dari sisi eksplisit merupakan bagian yang terlihat oleh semua warga sekolah karena mereka memiliki kaitannya dengan sekolah dan berbagi waktu dan tempat yang sama di sekolah (sisi implisit dari pola institusi sekolah). Bentuk dari budaya siswa yang terlihat secara eksplisit menurut Tomari dan Kudomi ( 2007: 5 – 10) adalah nilai akademis, peraturan sekolah, bimbingan masa depan siswa, dan kegiatan di luar pelajaran kelas (seperti festival budaya sekolah). Nilai akademis siswa dianggap sebagai sisi eksplisit karena nilai yang diperoleh siswa merupakan tanggung jawab dari guru. Guru menerapkan kurikulum yang berlaku di sekolah. Setiap kurikulum memiliki bentuk pengajaran yang berbeda, tergantung pada teori pendidikan yang dianut oleh guru yang mengajar. Menurut Sukmadinata dalam Ahira ( 2011), teori pendidikan dibagi menjadi empat, yaitu:

1. Pendidikan klasik

Teori pendidikan ini memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori ini lebih menekankan peranan isi pendidikan daripada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik memiliki peranan besar dan dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran pasif, sebagai penerima informasi dan tugas – tugas dari pendidik.

(9)

2. Pendidikan pribadi

Teori pendidikan ini berpendapat bahwa sejak dilahirkan anak memiliki potensi – potensi tertentu. Pendidik harus dapat mengembangkan potensi – potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.

3. Teknologi pendidikan

Teori ini mirip dengan teori pendidikan klasik tetapi lebih mengutamakan pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dalam pembelajaran menggunakan bantuan media elektronik dan para peserta didik belajar secara individual. Biasanya ketrampilan yang diajarkan langsung dapat digunakan dalam masyarakat.

4. Pendidikan interaksional

Teori ini menekankan bahwa pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendidikan ini, ditekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan juga sebaliknya. Leih dari itu, dalam teori pendidikan ini, interaksi juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Mereka belajar lebih sekedar mempelajari fakta – fakta.

Selain kurikulum yang mempengaruhi proses mengajar, pengajaran efektif juga mempengaruhi siswa dalam memahami pelajaran. Santrock ( 2009: 7 ) menjelaskan

(10)

bahwa pengajaran efektif adalah pengajaran yang tidak menerapkan “satu hal cocok untuk semua orang”. Hal itu dikarenakan adanya variasi individu di antara siswa.

Peraturan sekolah merupakan bagian dari bentuk eksplisit dari budaya siswa. Sebagai bagian dari warga siswa yang memiliki jumlah paling banyak, sekolah membuat peraturan guna menjaga ketertiban siswa. Sesuai dengan pengertian kata eksplisit, segala perilaku siswa yang terlihat oleh guru, diatur oleh peraturan sekolah. Pada saat siswa melanggar peraturan, maka guru yang akan bertindak sebagai eksekutor. Dalam Kamus Thesaurus ( 2007: 39 ), kata peraturan memiliki padanan kata yang sama dengan disiplin. Oleh karena itu frasa peraturan sekolah memiliki arti yang sama dengan disiplin sekolah. Menurut FW Foerster dalam Albertoes ( 2007: 233 - 237 ) mengungkapkan bahwa disiplin sekolah merupakan keseluruhan ukuran bagi tindakan – tindakan yang menjamin kondisi – kondisi moral yang diperlukan sehingga proses pendidikan berjalan lancar dan tidak terganggu. Selain itu, mengutip dari Komensky, terdapat tiga tujuan dari kedisiplinan sekolah, yaitu:

1. Kedisiplinan hanya diterapkan bagi mereka yang melanggar keteraturan. Namun, kedisiplinan itu diterapkan bukan karena mereka melanggarnya, sebab apa yang sudah terjadi, tetaplah terjadi. Akan tetapi kedisiplinan itu diterapkan agar siswa tidak mengulangi kesalahan mereka. Oleh karena itu kedisiplinan tidaklah ditunjukkan melalui kemarahan, kebencian, maupun kelemahan. Harusnya ditunjukkan dengan kelembutan agar siswa mengerti bahwa disiplin diterapkan demi kebaikan mereka.

2. Materi kedisiplinan bukanlah hal – hal yang berkaitan dengan pembelajaran atau hal – hal yang berkaitan dengan sekolah, melainkan kebiasaan – kebiasaan buruk siswa sehingga pembelajaran dan sekolah dapat tertata dengan baik. Tindakan

(11)

pendisiplinan dengan cara kekerasan akan menimbulkan perasaan anti dan membenci hal – hal yang berkaitan dengan sekolah.

3. Ketika disiplin mulai menampakkan pertumbuhannya, seperti benih yang mulai tumbuh, harus dengna sabar dirawat. Jangan menggunakan kekerasan karena hanya akan menjadi panas terik matahari yang memupuskan benih yang mudah goyah tersebut. Perlu menggunakan cara – cara yang selaras dengan perkembangan dan pertumbuhan siswa.

Bentuk dari sisi eksplisit budaya siswa yang lain adalah bimbingan untuk memberikan saran atau arahan mengenai masa depan siswa. Bimbingan ini merupakan agenda yang sudah rutin dijalankan di dalam sekolah. Salah satu kewajiban dari guru Jepang adalah membimbing siswa untuk menentukan masa depan siswa setelah lulus dari sekolah. Bimbingan yang diberikan oleh guru berupa menyesuaikan nilai – nilai sekolah yang didapatkan siswa untuk mendaftar di jenjang pendidkan yang lebih tinggi atau pekerjaan. Bentuk dari sisi eksplisit yang terakhir adalah kegiatan di luar jam kelas yang diselenggarakan oleh sekolah. Kegiatan ini merupakan ritual bagian dari sekolah. Contohnya adalah kegiatan klub, upacara kelulusan dan lain – lain, dan kegiatan klub. Di bagian ini, siswa diwajibkan untuk mengikuti seluruh kegiatan yang terselenggara di sekolah dan mengikuti salah satu klub yang tersedia.

2.2.2. Sisi Implisit Dari Budaya Siswa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) ( 2001: 427 ), arti kata implisit adalah termasuk ( terkandung ) di dalamnya ( meskipun tidak dinyatakan secara jelas atau terang – terangan ); tersimpul di dalamnya; terkandung secara halus; tersirat. Berlawanan dengan eksplisit di mana tidak ada hal yang ditutupi. Implisit adalah ada

(12)

bagian di dalamnya yang ditutupi sehingga orang lain tidak menyadarinya jika mereka tidak menelaah secara lanjut.

Permasalahan dalam sisi implisit pada budaya siswa terdiri dari empat hubungan yang terjalin di dalam sosialisasi antar siswa, yaitu teman sekelas, sahabat, ijime dan hubungan senpai – kouhai. Tomari dan Kudomi ( 2007: 10 ) menjelaskan secara singkat hubungan antara keempat bagian tersebut dengan sisi implisit. Siswa – siswa menghabiskan waktu lebih banyak bersama siswa lain di dalam sekolah, yang memiliki umur yang sama atau berbeda, dan saling menjalin komunikasi. Permasalahan dalam keempat hubungan tersebut tidaklah secara langsung dapat terlihat oleh guru dan hanya diketahui oleh siswa – siswa yang bersangkutan saja.

Kasus ijime sudah lama menjadi bagian dari hubungan sosial anak – anak usia sekolah di Jepang. Banyak yang mengasumsikan ijime sebagai bentuk dari bagian proses menuju kedewasaan (Okano & Tsuchiya, 1999: 195). Menurut Monbukagakushou dalam Kyouiku to Fukushi: Manabi wo Kei ni (2009), mengartikan ijime sebagai berikut:

いじめについての定義を以下のように定めています。 自分より弱い者に対して一方的に、身体的、心理的な攻撃を継読的に 加え、相手が深刻な苦痛を感じているもの。集団内で単独または複数 の成員が、人間関係のなかで弱い立場にいる成員に対して身体的暴力 や危ないを加えたり、心理的な苦痛や圧力を感じさせたりすること。 Terjemahan:

Berikut ini adalah definisi mengenai ijime.

Melakukan penyerangan secara fisik maupun mental kepada seseorang yang lebih lemah secara terus menerus hingga menyebabkan penderitaan yang serius. Tindakan kekerasan secara fisik dan memberi tekanan secara mental dari seorang individu atau beberapa anggota dalam sebuah kelompok kepada anggota kelompok lainnya yang berada pada posisi lemah.

(13)

Sedangkan Smith (1999: 311) menjelaskan ijime sebagai tindakan agresif oleh seseorang yang memegang kendali dalam sebuah kelompok, dengan sengaja atau berdasarkan keputusan bersama, menyebabkan penderitaan secara mental dan/ atau fisik kepada anggota kelompok di dalamnya. Walaupun pengertian tersebut mengatakan tindakan ijime dilakukan kepada anggota kelompok, kenyataannya kelompok yang dimaksud tidaklah selalu berarti kelompok teman sepermainan atau teman satu geng. Kelompok yang dimaksudkan adalah anggota – anggota yang berada dalam satu batasan dan dalam ruang lingkup yang sama. Contohnya kelompok kelas, kelompok sekolah, kelompok belajar dan kelompok guru. Dalam Kamus Ilmu Sosial Jepang (Shakaigaku Jiten) (1994: 43), ijime didefinisikan sebagai suatu fenomena atau gejala sosial dari tindakan mengucilkan dan mengeluarkan satu orang anak tertentu dari kelompok di mana ia bergabung, Memasuki era tahun 1980-an, jumlah anak yang melakukan bunuh diri diakibatkan ijime bertambah dan hal ini menjadi masalah yang diperbincangkan baik dalam dunia informasi maupun pendidikan. Ijime dbedakan menjadi tiga tingkat. Pada saat memasuki masa kanak – kanak maupun usia sekolah, anak – anak membentuk suatu komunitas (dapat berupa nakama atau kelompok maupun perkumpulan) bersama anak – anak lain yang berinteraksi dengan dirinya. Di dalam kelompok tersebut anak yang tidak dapat beradaptasi akan dikucilkan oleh kelompoknya. Pada mulanya, anak yang dikucilkan dari kelompoknyaa akan menerima ejekan, olokan, atau gangguan dari anggota kelompok yang lain. Tingkatan atau tahapan ini disebut ijiwaru. Selanjutnya, pada saat kesadaran kelompok menguat pada diri masing – masing anggota kelompok (pertengahan masa sekolah dasar), pengeluaran anggota kelompok atau nakamahazure akan muncul. Tahapan inilah yang disebut dengan ijime. Tindakan

(14)

ijime ini berlanjut sampai dengan perbuatan mengancam dan pemerasan dianggap mengarah kepada tahapan bouryoku atau kejahatan.

Bentuk – bentuk ijime lebih mengarah pada kekerasan secara psikologis (misalnya mengejek atau mengacuh dengan sengaja) daripada kekerasan fisik (misalnya memukul atau menendang). Umumnya efek dari kekerasan secara psikologis lebih menyakitkan. Sehingga tidak jarang kasus ijime berujung pada aksi bunuh diri dari korban ijime (Ishikida, 2005: 132). Morita menjelaskan ada enam poin karakteristik ijime di Jepang:

1. Aksi ijime tidak terlihat oleh guru dan orang lain

2. Korban bisa menjadi pelaku dan juga sebaliknya

3. Siapa pun bisa menjadi korban

4. Ada banyak pelaku yang tidak diketahui dan beberapa korban tertentu

5. Sangat sedikit anak yang mencoba untuk menghentikan aksi ijime

6. Pelaku sering menunjukkan perilaku yang tidak pantas

Dengan demikian, ijime dapat terjadi di dalam satu kelas dan dalam lingkaran persahabatan yang ada di dalam lingkungan sekolah.

Taki (2001) dalam Sastra (2009: 10) menyatakan berdasarkan hasil survey, didapatkan bahwa pelaku ijime bukan hanya berasal dari anak yang bermasalah tetapi juga anak yang biasa – biasa saja pun berpotensi menjadi pelaku ijime. Pada pertengahan tahun 1960-an, siswa – siswa diharuskan untuk mengikuti seluruh sistem pendidikan yang seperti neraka, di mana dalam satu tahun harus mengikuti sesi belajar mengajar dari 220 hari menjadi 240 hari. Seluruh sistem pendidikan

(15)

berpusat pada menyiapkan siswa untuk berhasil lulus dalam ujian masuk. Para ibu menjadi mengebu – ngebu terhadap pendidikan anaknya, sehingga mereka teru menerus menekan anak mereka untuk belajar lebih, lebih giat lagi. Pada akhir tahun 1970, anak – anak menjadi tertekan atau stress sehingga menolak untuk masuk sekolah dan mulai melakukan ijime dan bentuk kekerasan lainnya untuk melepaskan stress mereka ( De Mente, 2006: 165). Sejak itu, tak jarang ijime menjadi ajang untuk melepaskan beban yang dialami oleh beberapa pelaku.

Scaglione (2006) juga menyebutkan faktor yang menyebabkan beberapa anak melakukan ijime sedangkan anak lainnya tidak, yaitu dinamika keluarga pelaku yang membuat pelaku ijime menjadi korban ijime di dalam lingkungan keluarganya, pelaku memiliki pengalaman di-ijime, memiliki rasa iri kepada orang lain, dan yang terakhir, ingin menunjukkan keberadaannya atau ada rasa ingin diperhatikan / haus akan perhatian orang lain sehingga melakukan ijime secara terang – terangan (Sastra, 2009: 13 – 14).

Jika dilihat dari segi sosial, ijime merupakan suatu hukuman terhadap pelanggar solidaritas. Solidaritas yang dimaksudkan adalah masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang homogen. Jika ada yang menonjol, maka harus ditekan supaya sama ( Hays, 2009 ). Menurut Durkheim dalam Sunarto ( 2004: 132 ) terdapat masyarakat yang menganut solidaritas mekanik. Masyarakat ini mengutamakan persamaan perilaku dan sikap. Perbedaan tidak diperbolehkan. Seluruh warga masyarakat terikat dengan kesadaran kolektif, hati nurani kolektif. Yang dimaksudkan dengna kolektif adalah suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersikap ekstern serta memaksa. Jika ada yang melanggar, maka akan mendapatkan hukuman.

Gambar

Tabel 2.1. Empat Sub-Kultur Sekolah dan Dua Sisi – Sisinya   Budaya dari

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil observasi, pembagian angket, dan dilanjutkan dengan wawancara diperoleh beberapa informasi berkaitan dengan kondisi siswa SMA Negeri 2 Seulimum dalam proses

Adapun luaran yang diharapkan dari kegiatan pengabdian ini tentu saja adalah peningkatan kualitas UMKM Kampoeng Kayoetangan khususnya di bidang akuntansi keuangan dengan

edulis Ker., terutama tentang variasi pertumbuhan, kandungan prolin dan aktivitas nitrat reduktase pada kondisi ketersediaan air yang berbeda sehingga dapat digunakan sebagai

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka sebagai langkah awal dilakukan isolasi dan karakterisasi bakteri patogen pada budidaya udang windu sebagai sediaan

Menurut Kartika Nuringsih (2005) dan Anggie Noor Rachmad dan Dul Muid (2013) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap

Selain menghadirkan Xpander dan melakukan peluncuran kepada masyarakat Semarang dan Jawa Tengah, dalam pameran ini PT MMKSI juga menghadirkan 9 unit display dan 4 unit

[r]

Kajian tugas dan fungsi Kehumasan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memperlihatkan kinerja yang baik, karena didalam pelaksanaan aktivitas dari semua staf yang