• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

pihak luar terlibat di satu desa untuk membantu masyarakat dalam membangun rumah dan pemulihan ekonomi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Aceh Besar terletak di paling ujung NAD, sebelah utara, barat dan selatan berbatasan langsung dengan laut lepas. Karena letak geografis tersebut, maka kerusakan yang ditimbulkan tsunami di daerah ini sangat parah. Sebelas kecamatan dari dua puluh dua kecamatan yang ada termasuk dalam katagori rusak (Tabel 4). Katagori kerusakan dilihat dari adanya sejumlah desa yang rusak, baik rusak sedang maupun rusak berat. Sedangkan kecamatan-kecamatan yang tidak rusak letaknya bukan di wilayah yang berbatasan langsung dengan laut.

Tabel 4. Keadaan Umum Kabupaten Aceh Besar dengan Jumlah Desa dan Katagori Kerusakannya.

Katagori Kerusakan Kecamatan Jumlah

Desa Rusak Berat Sedang Rusak Tidak rusak

Lhoong 28 24 - 4

Lhoknga 25 11 7 7

Leupung 6 6 - -

Indrapuri 52 - - 52

Kuta Cot Glie 32 - - 32

Seulimum 47 - 1 46 Kota Jantho 13 - - 13 Lembah Seulawah 12 - - 12 Mesjid Raya 13 4 8 1 Darussalam 29 - 2 27 Baitussalam 13 9 2 2 Kuta Baro 54 - - 54 Montasik 53 - - 53 Ingin Jaya 55 - - 55

(2)

Krueng Barona Jaya 12 - 1 11 Suka Makmur 35 - - 35 Kuta Malaka 15 - - 15 Simpang Tiga 18 - - 18 Darul Imarah 32 - 2 30 Darul Kamal 14 - - 14 Pekan Bada 26 26 - - Pulo Aceh 17 14 2 1

Sumber: Diolah dari Data BRR, BPS dan ADB (2006)

Kecamatan Lhoknga, Kecamatan Baitussalam, dan Kecamatan Mesjid Raya adalah 3 kecamatan dari 11 kecamatan yang termasuk dalam katagori rusak di Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga dan Kecamatan Baitussalam yaitu kecamatan yang jumlah desa dengan katagori rusak berat lebih banyak dibandingkan dengan katagori rusak sedang, sedangkan

Kecamatan Mesjid Raya sebaliknya yang katagori rusak sedang lebih banyak. Desa Kajhu termasuk salah satu desa yang dikatagorikan rusak berat di Kecamatan Baitussalam, begitu juga dengan Desa Lamkrut di Kecamatan Lhoknga. Sedangkan Desa Beurandeh di Kecamatan Mesjid Raya, termasuk dalam katgori rusak sedang.

Desa Kajhu

Desa Kajhu memiliki luas 600 Ha, termasuk desa pantai dengan topografi datar dan berada pada ketinggian rata-rata 5 meter di atas permukaan laut. Sebelum tsunami jumlah penduduknya mencapai 4.506 jiwa, terdiri atas 2.426 laki-laki dan 2.080 perempuan yang tersebar dalam 1.276 kepala keluarga. Masyarakat Desa Kajhu sebelum tsunami relatif sejahtera, keluarga miskin hanya 10 %, rumah permanen yang dimiliki masyarakat adalah 92 % dan penggunaan listrik 99 % dari PLN. Sumber air utama untuk minum, cuci dan mandi adalah sumur dan dibeli. Selain itu, penghasilan utama masyarakat bukan di sektor pertanian, persentase keluarga di sektor pertanian hanya 26 % saja. Sementara itu, Penggunaan lahan 123 Ha adalah untuk sawah, 321 Ha untuk ladang, 118 Ha untuk pemukiman dan lainnya 46 Ha (BRR, BPS dan ADB 2006).

(3)

Sebelum tsunami Desa Kajhu juga memiliki fasilitas pendidikan dan kesehatan. Fasilitas pendidikan yaitu mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, sedangkan fasilitas kesehatan yaitu terdapat Puskesmas Pembantu, Praktek Bidan, Posyandu dan Polindes. Selain itu juga memiliki kelompok dan fasilitas olah raga dan seni seperti lapangan dan kelompok sepak bola dan bola volly serta kelompok seni dibidang tarian. Bidang sosial, budaya dan keagamaan, di Desa Kajhu terdapat mesjid, surau/langgar, kelompok PKK, majlis taklim, kegiatan arisan, gotong royong dan pengumpulan zakat dan sodakah, kelompok pertanian, kegiatan

penyuluhan pertanian dan lembaga adat. Desa Kajhu juga dihuni oleh berbagai macam etnis dan suku, akan tetapi manyoritasnya adalah suku aceh (BRR, BPS dan ADB 2006).

Desa Kajhu termasuk dalam katagori rusak berat, karena seluruh rumah dan infrastruktur dasar yang ada hilang. Begitu juga dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, olah raga dan seni, fasilitas keagamaan, sosial dan budaya, fasilitas transportasi, komunikasi dan informasi dan tempat-tempat usaha mengalami rusak berat bahkan hancur. Jumlah penduduk hanya 2.776 jiwa dengan jumah keluarga 807 keluarga. Kehidupan masyarakat pasca tsunami masih sangat rentan, masyarakat sampai dengan bulan juni 2006 masih tinggal di barak-barak pengungsian karena belum memiliki rumah.

Desa Lamkrut

Desa Lamkrut yang berada di Kecamatan Lhoknga, termasuk dalam katagori rusak berat akibat tsunami. Desa Lamkrut tidak termasuk jenis desa pantai, letaknya sekitar 1 Km dari bibir pantai, akan tetapi desa ini memiliki ketinggian rata-rata hanya 3 meter diatas permukaan laut dengan topografi yang datar dan tipe umum lokasi termasuk dataran. Kondisi tersebut

menyebabkan Desa Lamkrut mengalami kerusakan yang cukup parah. Seperti halnya Desa Kajhu, infrastruktur desa dan fasilitas pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, keagamaan, olah raga dan seni, komunikasi dan informasi serta rumah penduduk semuanya hancur diterjang stunami.

(4)

Sebelum tsunami, mata pencaharian utama penduduk Desa Lamkrut sebahagian besar di sektor pertanian pada sub sektor padi/palawija. Jumlah penduduk sebelum tsunami mencapai 1.161 jiwa, laki-laki 627 jiwa dan perempuan 534 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 309 kepala keluarga. Persentase keluarga di sektor pertanian yaitu 82 %, dan keluarga yang memiliki rumah permanen sebanyak 52 % dari seluruh keluarga yang ada. Selain itu, 93 % rumah tangga sudah menggunakan listrik dari PLN, sementara itu kebutuhan utama air untuk minum, mandi dan cuci berasal dari sumur (BRR, BPS dan ADB 2006). Masyarakat desa ini tergolong relatif miskin, karena jumlah rumah tangga yang miskin mencapai 61 %.

Di Desa Lamkrut, fasilitas transportasi sangat mudah, karena desa ini dilintasi oleh jalan raya utama yaitu jalan provinsi menuju ke wilayah barat selatan NAD. Fasilitas umum lainnya juga cukup tersedia, di desa ini terdapat puskesmas, tempat praktek dokter, posyandu dan toko obat dan fasilitas pendidikan dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Walaupun fasilitas umum untuk komunikasi seperti WARTEL dan

INTERNET tidak tersedia, namun masyarakat Desa Lamkrut tidak memiliki kesulitan untuk malakukan komunikasi, karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari pusat ibu kota Provinsi NAD. Selain itu juga terdapat kelompok dan fasilitas keagamaan, sosial dan budaya, seperti mesjid, surau/langgar,

kelompok PKK, majelis taklim, karang taruna, kegiatan arisan, gotong royong dan pengumpulan zakat, infaq dan sodakah, dan juga kelompok tani.

Dari 480 Ha luas wilayah yang dimiliki Desa Lamkrut, sebanyak 37 Ha digunakan untuk lahan sawah, 185 Ha untuk ladang, 128 Ha perkebunan, 37 Ha untuk pemukiman dan 93 Ha untuk lainnya (BRR, BPS dan ADB 2006). Sama dengan Desa Kajhu, 20 % dari luas wilayah Desa Lamkrut adalah wilayah pemukiman.

Jumlah penduduk yang tersisa pasca tsunami di Desa Lamkrut hanya 827 jiwa dari 201 kepala keluarga. Kehidupan masyarakat belum begitu baik,

masyarakat yang kehilangan rumah belum bisa menempati rumah-rumah yang dibangun dari bantuan pihak luar (lembaga pemerintah dan lembaga non

(5)

pemerintah) karena belum selesai dibangun. Masyarakat desa yang dulunya bekerja di perusahaan swasta seperti di pabrik semen belum dapat bekerja kembali karena tempat kerjanya rusak berat. Begitu juga dengan petani, lahan-lahan sawah yang dimilikinya belum dapat diusahakan karena masih ada pengaruh zat-zat garam bekas tsunami.

Desa Beurandeh

Desa Beurandeh merupakan salah satu desa diantara 12 desa di Kecamatan Mesjid Raya yang menjadi korban tsunami. Letaknya kurang lebih 20 km dari kota Banda Aceh. Beurandeh termasuk desa wilayah pesisir yang letaknya persis di pinggir pantai dan di kaki bukit. Karena letaknya persis di pinggir pantai, maka desa ini juga mengalami kerusakan yang sangat parah. Secara umum kerusakan Desa Beurandeh dikatagorikan ke dalam katagori rusak sedang, karena walaupun pemukiman penduduk, tempat-tempat usaha, fasilitas kesehatan dan lain sebagainya hampir hancur total, akan tetapi masyarakatnya banyak yang selamat dan ada juga rumah yang tidak rusak, ini dikarenakan letak desa mereka di kaki bukit.

Jumlah penduduk di Desa Beurandeh sebelum tsunami sebanyak 336 jiwa dari 68 kepala keluarga, dengan jumlah laki-laki 165 jiwa dan jumlah perempuan 171 jiwa. Sebahagian besar masyarakatnya mengandalkan hasil laut untuk memperoleh pendapatan (memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari) dan sebahagian kecil dari hasil pertanian (tambak dan kebun) dan peternakan. Sumber penghasilan utama masyarakatnya yaitu di sektor pertanian pada sub sektor perikanan laut. Jumlah keluarga di sektor tersebut sebesar 70 %. Jumlah keluarga miskin sebanyak 15 keluarga (22 %). Masyarakat Desa Beurandeh hanya sebahagian kecil saja (34 %) yang menggunakan sumber penerangan listrik dari PLN. Sumber air utama untuk mandi dan cuci masyarakat menggunakan air sumur, sedangkan untuk minum harus membeli ke tempat lain (BRR, BPS dan ADB 2006).

Berbeda dengan Desa Kajhu dan Desa Lamkrut, Desa Beurandeh tidak memiliki fasilitas pendidikan, akan tetapi masyarakat tidak sulit untuk akses ke pendidikan karena fasilitas pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas dapat dijangkau dengan jalan kaki. Untuk fasilitas kesehatan terdapat posyandu dan polindes. Sedangkan kelompok dan fasilitas

(6)

keagamaan, sosial dan budaya, masyarakat memiliki surau/langgar, kelompok PKK, kegiatan gotong royong, kontak tani nelayan andalan (KTNA) dan kelompok usaha ternak (BRR, BPS dan ADB 2006).

Masyarakat Desa Beurandeh yang ramah dan kompak menyebabkan banyak NGO yang masuk dan bertahan lama di desa tersebut. Aparat desa dan masyarakat menerima semua NGO yang masuk ke desa mereka walau hanya sekedar mencari data dan tidak membawa bantuan baik berupa uang maupun materi, masyarakat tetap menghargainya asalkan tidak membawa misi-misi yang dapat merusak aqidah masyarakat desanya.

Kehidupan masyarakat Desa Beurandeh pasca tsunami relatif lebih baik dibandingkan dengan Desa Kajhu dan Desa Lamkrut. Seluruh rumah yang hancur saat tsunami sudah dibangun dan masyarakat sudah bisa menempatinya kembali. Dengan modal kekompakan dan keramahan yang dimiliki masyarakatnya, desa ini memiliki daya tarik bagi NGO, sehingga Desa Beurandeh merupakan desa pertama masuk NGO yang membawa program pembangunan rumah.

4.2. Kondisi Pembangunan Desa Pasca Tsunami

Tahap rehabilitasi yang ditetapkan pemerintah berakhir hingga Desember 2006. Namun tingkat pembangunan desa di Kabupaten Aceh Besar sampai Juni 2006 belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat masih sangat rentan, masyarakat masih tinggal dibarak-barak pengungsian karena belum memiliki rumah (rumah siap huni). Dari tiga desa tersebut, hanya Desa Beurandeh yang semua masyarakatnya sudah memiliki rumah. Disamping itu, masyarakat juga belum bisa melakukan aktivitasnya sesuai dengan aktivitas yang dilakukan sebelum tsunami. Masyarakat petani belum bisa bertani karena terkendala dengan masalah modal, begitu juga dengan masyarakat nelayan. Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat bekerja sebagai buruh-buruh bangunan yang bukan merupakan profesinya. Sebanyak 36,7 % kepala keluarga di wilayah penelitian memiliki pekerjaan yang tidak tetap yang sesuai dengan pekerjaannya sebelum tsunami.

Tabel. 5. Kondisi Fasilitas Umum Penunjang Kebutuhan Dasar Masyarakat di setiap Desa Pasca Tsunami

(7)

Infrastruktur dan Perumahan 1. Rumah 2. Kantor Desa 3. Balai Pertemuan 0 1 0*) 4 0 0*) 127 0*) 1*) Fasilitas Pendidikan 1. TK 2. SD 3. SMP 4. SMU 5. Tempat Pelatihan 0 1**) 1**) 0*) 0*) 0*) 2**) 1**) 1**) 0*) 0*) 0*) 0*) 0*) 1*)

Fasilitas Kesehatan dan Kebersihan 1. Posyandu

2. Polindes 3. Pos Obat Desa 4. Puskesmas

5. Puskesmas Pembantu 6. Tempat Praktek Dokter 7. Tempat Praktek Bidan 8. Toko Obat 9. MCK 1 0 0 0*) 1**) 0 0 0 1 1 1*)**) 0*) 1**) 0*) 0 0*) 0 1 1 1 0*) 0*) 0*) 0*) 0*) 0*) 1 Fasilitas Olah Raga dan Hiburan

1. Lapangan Bola Kaki 2. Lapangan Bola Volly 3. Penyewa VCD 0 1 0 0 0 0*) 1*) 1*) 0*)

Fasilitas Agama, Sosial dan Budaya 1. Mesjid 2. Surau/Langgar 3. Tempat Pengajian 1 0 1*) 1 1 0*) 0*) 1 1**)

Fasilitas Telekomunikasi dan Informasi 1. Telepon Umum Koin 2. Wartel 0 0 0*) 1*) 0 *) 0*)

Fasilitas Perdagangan dan Industri 1. Restoran 2. BPR 3. Koperasi 0*) 0*) 1 0 0 1 0*) 0*) 0*)

Sumber: BRR, BPS dan ADB (2006) dan data primer diolah **) Sementara/Darurat

*) Sebelum tsunami tidak ada

Lebih dari 50 % fasilitas umum dari berbagai bidang yang ada sebelum tsunami di tiap-tiap desa sampai sekarang belum dibangun kembali. Sejumlah fasilitas, seperti pada bidang pendidikan, walaupun sudah ada dan proses belajar-mengajar juga sudah berjalan, baik di Desa Lamkrut maupun di Desa Kajhu, akan tetapi sekolah-sekolah tersebut belum memiliki gedung yang permanen seperti sebelum tsunami. Selain fasilitas pendidikan, sejumlah fasilitas kesehatan juga sama yaitu belum memiliki gedung yang permanen seperti sebelum tsunami. Fasilitas kesehatan yang ada sekarang sifatnya sementara/darurat (Tabel 5). Namun demikian, ada juga beberapa fasilitas umum tersebut yang dulu sebelum tsunami tidak ada, sekarang sudah ada. Seperti balai pertemuan, tempat pelatihan, lapangan bola kaki dan lapangan bola volly di Desa Beurandeh; wartel dan polindes di Desa Lamkrut; dan tempat pengajian di Desa Kajhu.

(8)

4.3. Modal Sosial Masyarakat Desa

Modal sosial masyarakat yang tinggi dicirikan oleh adanya rasa saling percaya antar masyarakat, tingginya kerapatan jaringan kerja, interaksi sosial antar masyarakat kuat, adanya pertukaran informasi yang bermanfaat, intensitas kerjasama yang tinggi, serta kepatuhan terhadap norma dan nilai-nilai bersama untuk mewujudkan harapan bersama dan juga berkurangnya sifat oportunistik individu. Modal sosial akan mendorong terjadinya suatu proses pembangunan yang beretika dan bermoral yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan melalui distribusi pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan yang mempunyai tujuan untuk kebaikan bersama, tingkat toleransi dan tingkat kriminalitas juga merupakan indikator modal sosial dalam suatu masyarakat (Stone 2001).

Desa Beurandeh memiliki stok modal sosial masyarakat yang paling tinggi, disusul kemudian Desa Kajhu dan yang paling rendah yaitu di Desa Lamkrut (Gambar 2). Begitu juga dengan komponen modal sosial dimensi struktural, modal sosial dimensi kognitif dan aksi kolektif. Tinggi rendahnya tingkat modal sosial tersebut tentunya berkaitan dengan perbedaan tingkat rasa percaya, kerjasama, interaksi sosial masyarakat dan lain sebagainya di masing-masing desa. 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

Beurandeh Kajhu Lamkrut

Desa Ra ta -rata Indeks Modal Sosial Masyarakat (IMSM) Modal Sosial Struktural (MSDS) Modal Sosial Kognitif (MSDK) Aksi Kolektif (MSAK)

Gambar 2. Rata-rata Indeks Modal Sosial Masyarakat dan Komponen-komponennya di Tiap-tiap Desa.

Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara modal sosial masyarakat Desa Beurandeh dengan Desa Kajhu, begitu juga antara Desa Beurandeh dengan Desa Lamkrut dan antara Desa Kajhu dengan Desa Lamkrut

(9)

(Tabel 6). Rataan komponen modal sosial struktural menunjukkan bahwa modal sosial struktural di Desa Beurandeh tidak berbeda nyata dengan modal sosial struktural di Desa Kajhu. Akan tetapi, modal sosial struktural di Desa Beurandeh sangat berbeda nyata dengan modal sosial struktural di Desa Lamkrut. Keadaan yang sama juga ditunjukkan pada masyarakat kajhu dan lamkrut, modal sosial masyarakat kajhu lebih tinggi dibandingkan dengan modal sosial struktural masyarakat lamkrut.

Tabel 6. Uji Beda Rataan Indeks Modal Sosial Masyarakat dan Komponen-komponennya antar Desa

P-value (Mann-Whitney)

Modal Sosial Beurandeh

vs Kajhu Beurandeh vs Lamkrut Kajhu vs Lamkrut Modal Sosial Masyarakat (IMSM)

Modal Sosial Struktural (MSDS) Modal Sosial Kognitif (MSDK) Aksi Kolektif (MSAK)

0.006 0.291 0.008 0.014 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.004 0.059 0.130 Uji beda rataan juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara komponen modal sosial kognitif di Desa Beurandeh dengan Desa Kajhu, begitu juga dengan Desa Beurandeh dan Desa Lamkrut. Akan tetapi, antara kajhu dengan lamkrut tidak berbeda nyata. Sedangkan untuk aksi kolektif, perbedaan ditunjukkan oleh Desa Beurandeh dan Desa Kajhu dan antara Desa Beurandeh dan Desa Lamkrut. Sementara itu, aksi kolektif yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Kajhu dapat dikatakan sama dengan aksi kolektif yang dilakukan oleh masyarakat Desa Lamkrut.

Selanjutnya tiap-tiap komponen modal sosial akan dideskripsikan secara kualitatif berdasarkan unsur-unsur pembentukannya. Pendeskripsian dilakukan dengan tujuan untuk melihat unsur-unsur mana saja dari tiap-tiap komponen modal sosial yang berbeda nyata dan yang tidak berbeda nyata ditiap-tiap desa satu persatu.

4.3.1. Modal Sosial Struktural

Komponen modal sosial struktural terdiri atas indikator input dan indikator output. Unsur-unsur pembentuk modal sosial struktural yang termasuk

(10)

dalam indikator input yaitu keanggotaan di dalam jaringan dan asosiasi lokal yang meliputi kepadatan keanggotaan di dalam organisasi atau asosiasi, keragaman keanggotaan dan partisipasi dalam pembuatan keputusan. Indikator input merupakan komponen modal sosial yang dijadikan ukuran untuk mengukur proses interaksi sosial.

Interaksi sosial dalam kapital sosial sangat penting, karena kapital sosial itu selalu dilihat dalam hubungannya dengan kegiatan bersama, kelompok atau jaringan, dimana interaksi sosial merupakan media yang paling utama. Interaksi sosial di dalam masyarakat dilihat dari adanya tindakan sosial yang dilakukan secara kolektif untuk mencapai tujuan bersama yang dibatasi oleh institusi tertentu sehingga nilai dan normanya jelas dan hubungan yang terkandung didalamnya jelas pula (Lawang 2004).

Tingkat dukungan di dalam situasi krisis dan derajat tingkat keinklusifan di dalam akses ke pelayanan (derajat pembatasan) merupakan indikator outputnya. Jika indikator input untuk mengukur proses interaksi sosial yang terjadi, maka indikator output adalah untuk mengukur kuantitas dan kualitas dari interaksi sosial tersebut. Asumsinya bahwa semakin tinggi derajat interaksi sosial, maka kuantitas dan kualitas interaksi sosial masyarakat sebagai output semakin tinggi pula.

Komponen modal sosial struktural di Desa Lamkrut berbeda nyata dengan di Desa Beurandeh dan Desa Kajhu, akan tetapi komponen modal sosial struktural di Desa Beurandeh tidak berbeda nyata dengan di Desa Kajhu (Tabel 6). Secara agregat temuan ini dapat dijelaskan bahwa derajat interaksi sosial di Desa Beurandeh tidak lebih tinggi dibandingkan dengan di Desa Kajhu, akan tetapi, derajat interaksi sosial di Desa Beurandeh lebih tinggi dibandingkan dengan di Desa Lamkrut dan derajat interaksi sosial di Desa Kajhu juga lebih tinggi dibandingkan dengan di Desa Lamkrut. Sayangnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat interaksi sosial yang tinggi tidak selalu menghasilkan kualitas dan kuantitas interaksi yang tinggi pula. Gambar 3 menunjukkan bahwa antara derajat interaksi sosial dengan kualitas dan kuantitas interaksinya (indikator output) tidak selalu sesuai dengan yang diasumsikan.

(11)

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Beurandeh Kajhu Lamkrut

Desa Rata-rata Indeks Kepadatan keanggotaan Keragaman keanggotaan partisipasi dalam pembuatan keputusan Dukungan di dalam situasi krisis Derajat pembatasan

Gambar 3 Rata-rata Indeks Unsur-unsur Modal Sosial Struktural di Desa Beurandeh, Desa Kajhu dan Desa Lamkrut.

Kepadatan dan keragaman keanggotaan di dalam asosiasi lokal di Desa Beurandeh tidak berbeda nyata dengan di Desa Kajhu, sedangkan antara beurandeh dengan lamkrut dan kajhu dengan lamkrut berbeda nyata (Tabel 7), namun, perbedaan antara kajhu dengan lamkrut tidak setinggi perbedaan antara beurandeh dengan lamkrut. Selanjutnya, partisipasi dalam pembuatan keputusan di dalam asosiasi lokal antara beurandeh dan kajhu, beurandeh dan lamkrut serta kajhu dan lamkrut masing-masing berbeda nyata, tingkat partisipasi dalam pembuatan keputusan paling tinggi di Desa Beurandeh dan paling rendah di Desa Lamkrut. Untuk unsur dukungan di dalam situasi krisis yang merupakan salah satu dari dua indikator output, hanya antara kajhu dan lamkrut yang tidak berbeda. Sementara itu, unsur derajat pembatasan antara beurandeh, kajhu dan lamkrut adalah sama.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingginya modal sosial dimensi struktural masayarakat Desa Beurandeh hanya pada proses interaksinya saja (indikator input), akan tetapi kuantitas dan kualitas interaksi (indikator output) masih rendah. Interaksi sosial yang terjadi dengan keterlibatan anggota-anggota rumah tangga di dalam berbagai asosiasi lokal yang merupakan jaringan kerja (nertwork) tidak didasarkan atas rasa percaya terhadap pimpinan atau anggota lain dalam asosiasi tersebut melainkan karena keharusan (diwajibkan oleh NGO untuk membentuk kelompok). Kondisi tersebut berbeda dengan apa yang seharusnya terjadi yaitu, tingginya interaksi sosial masyarakat pada proses akan menghasilkan kualitas dan kuantitas interaksi yang lebih tinggi pula.

(12)

Tabel 7. Uji Beda Rataan Unsur-unsur Modal Sosial Struktural di Desa Beurandeh, Desa Kajhu dan Desa Lamkrut

P-value (Mann-Whitney)

Modal Sosial Beurandeh

Vs Kajhu Beurandeh Vs Lamkrut Kajhu Vs Lamkrut Kepadatan Keanggotaan (DS1) 1.000 0.004 0.011 Keragaman Keanggotaan (DS2) 0.804 0.015 0.041

Partisipasi dalam Pembuatan

Keputusan (DS3) 0.014 0.000 0.023

Dukungan di dalam Situasi

Krisis (DS4) 0.003 0.000 0.235

Derajat Pembatasan (DS5) 0.093 0.218 0.557

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa tingginya interaksi sosial masyarakat di Desa Beurandeh, masih sebatas pada hubungan (relation) dengan kadar norma dan institusi yang rendah. Interaksi yang terjadi hanya karena ada tuntutan dari pihak luar (NGO/LSM) agar lebih mudah memperoleh berbagai bantuan. Sehingga proses interaksi sosial yang mereka miliki belum berfungsi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas interaksi sosialnya.

4.3.1.1. Kepadatan Keanggotaan di dalam Asosiasi Lokal

Kepadatan keanggotaan di dalam asosiasi lokal di ukur dari keterlibatan anggota rumah tangga di dalam sejumlah organisasi atau asosiasi lokal. Dalam penelitian ini ada 15 kelompok asosiasi lokal yang digunakan untuk mengukur kepadatan keanggotaannya. Secara umum keterlibatan masyarakat yang paling tinggi yaitu pada asosiasi/organisasi/kelompok wanita dan keagamaan, disusul kemudian secara berturut-turut organisasi tani/nelayan, pendidikan, swadaya masyarakat, jasa dan remaja (Tabel 8).

Organisasi wanita yang paling menonjol adalah kelompok PKK. PKK merupakan organisasi yang sudah ada sejak lama disetiap desa dan setiap perempuan atau ibu rumah tangga secara aktif maupun tidak aktif akan menjadi anggotanya. Desa Beurandeh memiliki persentase keterlibatan wanita dalam assosiasi ini paling tinggi, karena di desa ini seluruh rumah tangga masih

(13)

memiliki anggota rumah tangga yang lengkap yaitu masih ada bapak, ibu dan anak. Berbeda dengan kondisi di Desa Beurandeh, di Desa Kajhu dan di Desa Lamkrut banyak keluarga yang anggota rumah tangganya sudah tidak lengkap karena korban tsunami, banyak keluarga yang kehilangan ibu rumah tangga dan anak perempuannya. Selain itu, organisasi ini juga lebih mudah untuk dijalankan, karena telah terstruktur dan menjadi bagian dari kelembagaan desa di setiap desa. Tabel 8. Kepadatan Keanggotaan di dalam Asosiasi Lokal di Desa Beurandeh,

Desa Kajhu dan Desa Lamkrut

Kepadatan Keanggotaan ( % )

No Jenis Asosiasi

Kajhu Lamkrut Beurandeh Rata-rata

1 Tani/Nelayan 9.52 30.00 65.00 34.84 2 Jasa 19.05 10.00 20.00 16.35 3 Produksi Lainnya 9.52 5.00 0.00 4.84 4 Pedagang 9.52 0.00 15.00 8.17 5 Pengurus Desa/Dusun/RW/RT 14.29 5.00 15.00 11.43 6 Keagamaan 76.19 85.00 100.00 87.06 7 Organisasi Politik 0.00 5.00 0.00 1.67

8 Organisasi Panglima Laot 0.00 0.00 0.00 0.00

9 Jasa Keuangan 14.29 0.00 0.00 4.76 10 Pendidikan 57.14 15.00 15.00 29.05 11 Kesehatan 0.00 0.00 20.00 6.67 12 Wanita 80.95 85.00 100.00 88.65 13 Remaja 28.57 10.00 10.00 16.19 14 Swadaya Masyarakat. 28.57 5.00 20.00 17.86 15 Kelompok Warga 23.81 0.00 5.00 9.60

Selain asosiasi wanita, asosiasi keagamaan juga merupakan asosiasi yang paling banyak di ikuti oleh masyarakat di Desa beurandeh, Desa Kajhu dan Desa Lamkrut. Kondisi sosial masyarakat yang tinggal di daerah dengan penerapan syariat islam, maka kebutuhan spiritual akan nilai-nilai islam menjadi kewajiban bagi setiap umat manusia. Disamping pendidikan atau memperdalam pengetahuan agama diwajibkan bagi setiap pemeluk agama, asosiasi keagamaan juga memberikan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya menjalin hubungan (interaction) dengan sesama warga. Pasca tsunami, kondisi mental masyarakat begitu menurun, sehingga masayarakat membutuhkan sebuah wadah untuk pengamalan nilai-nilai keagamaan. Dengan memahami nilai-nilai spiritual tersebut membuat masyarakat lebih bisa menerima apa yang telah terjadi sebagai sebuah cobaan. Nilai-nilai spiritual yang didapat masyarakat menjadi motivasi

(14)

bagi masyarakat desa untuk bangkit dan membenahi diri mereka untuk membangun kembali apa yang telah rusak.

Agama juga memiliki kedudukan sentral dalam memperlemah atau memperkuat dimensi modal sosial (Hasbullah 2006). Agama berguna dalam memperkaya dimensi spiritual dalam kehidupan, dimana agama memberikan inspirasi terhadap perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Agama juga mengajarkan masyarakat untuk menjunjung tinggi keadaban dan mengutamakan silaturrahmi (interaction) antar individu, kelompok dan lingkungannya juga mengajarkan untuk tidak berprasangka jahat kepada orang lain. Dengan demikian jelas keterlibatan masyarakat dalam asosiasi keagamaan akan memberikan dampak terhadap peningkatan modal sosial melalui jaringan (Network) dan kepercayaan (trust).

Asosiasi atau kelompok tani/nelayan adalah asosiasi dengan keterlibatan anggota keluarga masyarakat terbanyak setelah asosiasi wanita dan keagamaan. Kelompok tani/nelayan yang ada yaitu kelompok petani palawija dan holtikultura, kelompok nelayan dan kelompok petani peternak. Letak geografis Desa Beurandeh, Desa Kajhu dan Desa Lamkrut yang berada di wilayah pantai dan dekat pantai, maka umumnya penduduk memiliki pekerjaan sebagai petani atau nelayan, kecuali di Desa Kajhu. Desa Kajhu, walaupun desanya termasuk wilayah desa pantai, tetapi profesi masyarakatnya sangat beragam.

Keterlibatan masyarakat dalam kelompok tani/nelayan paling banyak di Desa Beurandeh, kemudian Desa Lamkrut dan paling sedikit di Desa Kajhu, karena persentase petani/nelayan di Desa Kajhu lebih sedikit. Pasca tsunami masyarakat ikut terlibat dalam kelompok-kelompok tani/nelayan dengan tujuan untuk lebih mudah mengajukan modal usaha kepada pihak-pihak luar. Masayarakat bahkan diharuskan untuk membentuk kelompok-kelompok usaha yang sesuai dengan pekerjaannya sebelum tsunami untuk mendapatkan bantuan modal usaha.

Asosiasi yang selanjutnya yaitu asosiasi dibidang pendidikan. Desa kajhu adalah desa yang paling banyak keterlibatan anggota rumah tangganya dalam asosiasi pendidikan, lebih setengah anggota rumah tangga terlibat di dalam asosiasi ini. Dilihat dari pekerjaan masyarakatnya, Desa Kajhu merupakan desa

(15)

yang dihuni oleh masyarakat dari berbagai kelompok pekerjaan, terutama sebagai tenaga pengajar. Jika di desa lain yang terlibat dalam asosiasi pendidikan hanyalah anak-anaknya yang masih sekolah, akan tetapi di Desa Kajhu orang tuanya juga banyak yang ikut terlibat. Keadaan tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keterlibatan masyarakat Desa Kajhu dalam asosiasi pendidikan yang ada di wilayah penelitian secara umum.

Selanjutnya keterlibatan anggota rumah tangga juga di dalam asosiasi/kelompok remaja yaitu organisasi remaja mesjid dan kelompok olahraga seperti kelompok klub bola kaki dan bola volly, asosiasi jasa yaitu tukang ojek, sopir labi-labi, kelompok swadaya masyarakat yaitu dengan menjadi tenaga pekerja untuk LSM/NGO yang dipekerjakan di desa masing-masing atau di luar desanya.

Tingkat keterlibatan anggota rumah tangga di dalam berbagai asosiasi lokal, dilihat dari nilai rata-rata indeks kepadatan keanggotaannya antara Desa Beurandeh dan Desa Kajhu tidak ada perbedaan yang nyata. Akan tetapi antara Desa Beurandeh dan Desa Lamkrut dan antara Desa Kajhu dengan Desa Lamkrut berbeda nyata (Tabel 7). Tingginya tingkat keterlibatan anggota rumah tangga di dalam berbagai asosiasi lokal di Desa Beurandeh dibandingkan dengan Desa Lamkrut karena karena beberapa faktor, diantaranya yaitu faktor pekerjaan masyarakatnya, pendidikan dan kondisi keluarga pasca tsunami. Kondisi keluarga masyarakat di Desa Beurandeh yang masih utuh, memungkinkan setiap anggota keluarganya ikut terlibat dalam setiap organisasi/asosiasi/kelompok yang ada atau paling kurang ada satu anggota rumah tangga yang ikut dalam satu asosiasi.

Keterlibatan masyarakat Desa Beurandeh di dalam berbagai asosiasi menandakan bahwa proses interaksi sosial masyarakat di desa tersebut semakin kuat. Interaksi yang berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama akan menghasilkan kualitas dan kuantitas interaksi yang lebih tinggi, sehingga akan menjadi modal untuk pembentukan modal sosial dikemudian hari.

4.3.1.2. Keragaman Keanggotaan di dalam Asosiasi Lokal

Tingkat keragaman keanggotaan di dalam asosiasi lokal diukur dari keragaman anggota dari 3 asosiasi lokal yang dianggap penting bagi anggota rumah tangga. Penilaian keragaman anggota menggunakan tujuh kriteria yaitu

(16)

kekerabatan, agama, jenis kelamin, partai politik, pekerjaan, umur dan pendidikan. Tiga asosiasi yang di anggap penting dan paling banyak dimasuki anggota rumah tangga di Desa Kajhu berturut-turut yaitu 1) kelompok wanita dan keagamaan, 2) organisasi pendidikan, lembaga swadaya masyarakat dan kelompok jasa, dan 3) jasa keuangan, kelompok remaja dan kelompok warga. Sementara itu, di Desa Lamkrut adalah 1) kelompok keagamaan, 2) kelompok wanita dan 3) kelompok tani/nelayan, sedangkan di Desa Beurandeh adalah 1) kelompok keagamaan, 2) kelompok wanita, dan 3) kelompok tani/nelayan.

Tabel 9. Keragaman Keanggotaan di dalam Asosiasi Lokal di tiap Desa

Kajhu Lamkrut Beurandeh

No Jenis Asosiasi Asosiasi

(%) Keragaman (%) Asosiasi (%) Keragaman (%) Asosiasi (%) Keragaman (%) 1 Tani/Nelayan 9.52 100.00 30.00 77.78 60.00 94.45 2 Jasa 14.29 66.67 10.00 83.34 10.00 83.34 3 Produksi Lainnya 9.52 83.34 5.00 100.00 0.00 0.00 4 Pedagang 4.76 66.67 0.00 0.00 15.00 100.00 5 Pengurus Desa/Dusun/RW/ RT 9.52 100.00 5.00 100.00 10.00 100.00 6 Keagamaan 57.14 36.11 85.00 35.29 100.00 35.00 7 Organisasi Politik 0.00 0.00 5.00 100.00 0.00 0.00 8 Org.Panglima Laot 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9 Jasa Keuangan 14.29 100.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10 Pendidikan 28.57 94.45 5.00 100.00 0.00 0.00 11 Kesehatan 0.00 0.00 0.00 0.00 5.00 100.00 12 Wanita 57.14 36.11 75.00 35.55 65.00 43.59 13 Remaja 14.29 77.78 5.00 100.00 5.00 100.00 14 Swadaya Masyarakat 28.57 100.00 5.00 100.00 20.00 83.33 15 Kelompok Warga 14.29 44.44 0.00 0.00 0.00 0.00

Secara umum di ketiga desa tersebut kelompok/asosiasi yang diangggap penting dan paling banyak dimasuki anggota rumah tangga adalah asosiasi/kelompok keagamaan, kelompok wanita dan kelompok tani/nelayan (Tabel 9). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kebutuhan masyarakat akan nilai spiritual keagamaan yang dianut bagi setiap anggota rumah tangga sangatlah penting. Nilai spiritual menjadi modal (kepercayaan dan jaringan) bagi masyarakat untuk bangkit dan membangun kembali desanya secara bersama-sama. Selain itu, pentingnya masyarakat bergabung dalam kelompok wanita, kelompok tani/nelayan, lembaga swadaya masyarakat dan kelompok jasa yaitu untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang lebih layak pasca tsunami. Jaringan yang terbentuk dari kelompok-kelompok tersebut akan memudahkan masyarakat terhadap akses ke sumber-sumber bantuan dan sekaligus

(17)

membangun kepercayaan pihak-pihak luar yang akan berinvestasi untuk pembangunan desa mereka.

Keragaman keanggotaan di dalam asosiasi lokal, tidak ada perbedaan yang nyata antara Desa Beurandeh dan Desa Kajhu. Perbedaan yang nyata yaitu antara Desa Beurandeh dan Desa Lamkrut dengan Desa Kajhu dan Desa Lamkrut. Keragaman keanggotaan dalam asosiasi lokal yang paling tinggi yaitu di Desa Beurandeh dan yang paling rendah di Desa Lamkrut (Tabel 7). Banyaknya keterlibatan anggota rumah tangga di Desa Beurandeh dalam asosiasi tani/nelayan menjadi penyumbang terbesar terhadap tingginya keberagaman keanggotaan di dalam asosiasi lokal di desa tersebut, karena asosiasi tani/nelayan merupakan salah satu asosiasi lokal dengan keragaman keanggotaan yang tinggi. Sedangkan di Desa Lamkrut anggota rumah tangganya lebih banyak terlibat di dalam asosiasi keagamaan dan wanita, kedua asosiasi itu tingkat keragamannya paling rendah (Tabel 9).

Keragaman keanggotaan di dalam asosiasi lokal memiliki dampak yang positif dan negatif terhadap modal sosial. Dampak positif karena memudahkan anggota kelompok/asosiasi untuk saling percaya satu sama lain, berbagi informasi dan mencapai kesepakatan/membuat keputusan. Dampak negatif, karena lebih sedikit manfaat yang diperoleh dari pertukaran informasi, sehingga proses pengambilan keputusan di tingkat desa menjadi lebih sulit (Grootaert and van Bastaeler 2002).

Keragaman organisasi yang tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah berkaitan dengan kemampuan serta keahlian yang dimiliki oleh anggota masyarakat di wialayah tersebut. Misalnya di Desa Beurandeh, keikutsertaan masyarakat di dalam kelompok pendidikan tidak sebanyak dalam kelompok tani/nelayan. Masyarakat Desa Beurandeh lebih banyak terlibat dalam kelompok tani/nelayan karena masyarakat umumnya bekerja sebagai petani dan nelayan.

4.3.1.3. Partisipasi Dalam Pembuatan Keputusan

Partisipasi dalam pembuatan keputusan dinilai dari sejauhmana proses pembuatan keputusan dari 3 asosiasi lokal yang dianggap penting bagi anggota rumah tangga, apakah dalam suatu organisasi setiap keputusan ditentukan sendiri oleh pemimpinya, melalui musyawarah tetapi yang memutuskan adalah

(18)

pemimpinnya atau keputusan diambil dari hasil musyawarah anggotanya. Jika suatu keputusan yang diambil dari hasil musyawarah seluruh anggota asosiasi/organisasi, maka organisasi tersebut menganut pola yang demokratis. Asosiasi atau organisasi yang menganut pola demokratis diasumsikan akan lebih efektif dibandingkan dengan pola lainnya. Namun demikian, tidak semua masyarakat menganggap bahwa pola demokratis akan lebih efektif.

Di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur, desa-desa terbentuk dari interaksi yang berulang-ulang, dan di bawah pengaruh kepemimpinan lokal dan tuntunan sejarah, beberapa komunitas asli (indigenous community) yang berdekatan kemudian membentuk sebuah desa (Laba 2006). Dengan demikian kepemimpinanan lokal terutama dalam asosiasi agama dan suku masih sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Masyarakat masih berkeyakinan bahwa keputusan yang dibuat oleh pemimpinnya merupakan keputusan yang terbaik bagi kepentingan bersama. Kepercayaan itu tentunya merupakan hasil dari interaksi masyarakat dengan pemimpinnya dalam waktu yang lama dan kemudian membuahkan pemimpin yang layak dipercaya (worthly) oleh anggota asosiasi.

Indeks partisipasi dalam pembuatan keputusan di Desa Beurandeh lebih tinggi dibandingkan dengan di Desa Kajhu dan di Desa Lamkrut (Tabel 7). Uji beda rataan menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang sangat nyata antara beurandeh dengan kajhu, beurandeh dengan lamkrut dan kajhu dengan lamkrut. Dengan demikian, asosiasi/organisasi/kelompok yang ada di Desa Beurandeh dapat dikatakan menganut pola yang lebih demokratis, sehingga proses pembuatan keputusan di dalam kelompok akan lebih efektif.

Masyarakat di Desa Beurandeh lebih banyak terlibat dalam kelompok-kelompok tani/nelayan sebagai salah satu dari 3 asosiasi/kelompok-kelompok yang dianggap penting bagi rumah tangga di bandingkan dengan masyarakat di Desa Kajhu dan Desa Lamkrut. Asosiasi/kelompok tersebut dibentuk atas dasar kebutuhan untuk memenuhi persayaratan yang di wajibkan oleh pihak-pihak yang akan membantu masyarakat pasca tsunami, dan proses pembentukannya juga dilakukan oleh pihak-pihak tersebut sehingga setiap proses pengambilan keputusan dalam

(19)

kelompok harus melalui musyawarah anggotanya. Hal inilah yang menyebabkan tingkat partisipasi dalam pembuatan keputusan lebih tinggi atau lebih demokratis.

4.3.1.4. Dukungan di Dalam Situasi Krisis

Dukungan di dalam situasi krisis ini mengukur sejauhmana peranan komunitas dalam mengatasi situasi krisis yang dialami oleh masyarakat dalam komunitas tersebut. Ada dua situasi krisis yang dilihat, pertama situasi krisis masalah dalam bidang pendidikan dan yang kedua situasi krisis masalah dalam ekonomi (gagal panen), kesehatan (penyakit menular) dan masalah pencurian. Masalah pendidikan, kegagalan panen, penyakit dan pencurian merupakan masalah yang secara langsung berpengaruh terhadap menurunnya kualitas kehidupan manusia.

Indeks dukungan di dalam situasi krisis di Desa Beurandeh Lebih tinggi di bandingkan di Desa Lamkrut, juga Desa Beurandeh lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Kajhu, akan tetapi antara Desa Kajhu dengan Desa Lamkrut relatif sama (Tabel 7). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan komunitas dalam mengatasi situasi krisis yang dialami masyarakat di Desa Beurandeh lebih tinggi dibandingkan dengan peranan komunitas yang ada di Desa Kajhu dan Desa Lamkrut dalam hal yang sama. Bagi masyarakat Desa Beurandeh, pentingnya dukungan terhadap sesama manusia yang mengalami krisis adalah sama pentingnya dengan keterlibatan masyarakat dalam asosiasi agama.

4.3.1.5. Derajat Pembatasan

Derajat pembatasan dilihat dari: 1) apakah perbedaan dalam aspek pendidikan, kesejahteraan/materi yang dimiliki, kepemilikan lahan, ststus sosial, jenis kelamin, generasi, penduduk asli dengan pendatang, partai politik yang diikuti, agama dan etnik menyebabkan pengkotakan-pengkotakan terhadap rumah tangga dalam lingkungan atau desa; 2) apakah rumah tangga dibatasi atau dikucilkan terhadap pelayanan di dalam memperoleh pendidikan, kesehatan, bantuan perumahan, latihan kerja atau ketrampilan, kredit atau modal usaha, transportasi, pembagian air, kebersihan lingkungan, penyuluhan, hukum atau penyelesaian konflik dan keamanan.

Indeks derajat pembatasan di Desa Beurandeh tidak beda nyata dibandingkan dengan di Desa Lamkrut dan Desa Kajhu. Masalah

(20)

pengotakan-pengotakan dan pengucilan terhadap rumah tangga di dalam lingkungan di ketiga desa relatif sama (Tabel 7). Sumber utama pengotakan orang di dalam komunitas di ketiga desa tersebut adalah perbedaan di dalam status penduduk sebagai pendatang yaitu bukan penduduk asli desanya. Penduduk pendatang sering dinomorduakan dalam setiap kegiatan yang dilakukan dan ketika ada bantuan-bantuan. Selain itu perbedaan generasi, antara generasi tua dengan generasi muda. Generasi muda kurang diperhitungkan dalam setiap pengambilan keputusan menyangkut kebijakan-kebijakan strategis di desa seperti dalam hal pembangunan desa. Selanjutnya status sosial dan kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat juga menjadi sumber pengotakan. Pada sisi lain, sumber pembatasan terhadap pelayanan atau rumah tangga dibatasi atau tidak mendapat pelayanan terutama terhadap akses rumah tangga untuk memperoleh kredit, latihan kerja/ketrampilan dan bantuan perumahan.

4.3.2. Modal Sosial Kognitif

Dimensi sruktural dari modal sosial yaitu melihat bagaimana proses, kualitas dan kuantitas interaksi sosial masyarakat yang diukur dari keterlibatannya dalam asosiasi lokal. Tingkat kepadatan, keragaman keanggotaan dalam asosiasi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan proses interaksi. dukungan dalam situasi krisis dan derajat pembatasan merupakan kualitas dan kuantitas interaksinya. Oleh karena itu, dimensi sruktural memfasilitasi masyarakat untuk melakukan aksi kolekif (output dari modal sosial)

Berbeda dari dimensi sruktural, dimensi kognitif dari modal sosial yaitu berfungsi dalam menggerakkan dan menuntun aksi kolektif yang dilakukan masyarakat agar tercapai manfaat bersama. Indikator Pendekatan terhadap dimensi kognitif dari modal sosial adalah kepercayaan dan ketaatan atas norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Pendekatan ini meliputi tiga indikator yaitu: kesetiakawanan, kepercayaan, kerjasama dan penyelesaian konflik.

Dimensi kognitif dari modal sosial masyarakat secara agregat tertinggi di Desa Beurandeh dan terendah di Desa Lamkrut. Akan tetapi secara disagregat, hanya dua unsur pembentuknya yang kelihatan berbeda yaitu derajat kesetiakawanan dan kepercayaan, dimana secara berturut-turut derajat kesetiakawanan dan tingkat kepercayaan masyarakat yang tertinggi yaitu di Desa

(21)

Beurandeh dan yang paling rendah di Desa Lamkrut. Sedangkan unsur kerjasama dan penyelesaian konflik relatif sama pada ketiga desa tersebut (Gambar 4). Temuan di atas menggambarkan bahwa modal sosial masyarakat Desa Beurandeh yang terbentuk dari jaringan kerja dengan keterlibatan anggota rumah tangga dalam berbagai asosiasi lokal dapat menggerakkan dan menuntun aksi kolektif masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

Beurandeh Kajhu Lamkrut

Desa R a ta -r at a I nde k s Derajat kesetiakawanan Kepercayaan Kerjasama Penyelesaiam konflik

Gambar 4. Rata-rata Indeks Unsur-unsur Modal Sosial Kognitif di Desa Beurandeh, Desa Kajhu dan Desa Lamkrut.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa unsur derajat kesetiakawanan, walaupun indeks rata-ratanya lebih tinggi di Desa Beurandeh akan tetapi tidak berbeda nyata dengan Desa Kajhu. Perbedaan yang signifikan yaitu antara Desa Beurandeh dengan Desa Lamkrut dan antara Desa Kajhu dengan Desa Lamkrut. Untuk unsur kepercayaan, perbedaan yang sangat signifikan yaitu antara Desa Beurandeh dengan Desa Lamkrut, sedangkan yang lainnya bisa dikatakan sama. Selanjutnya, unsur kerjasama dan penyelesaian konflik tidak ada perbedaan yang signifikan pada ketiga desa tersebut (Tabel 10)

Tabel 10. Uji Beda Rataan Unsur-unsur Modal Sosial Kognitif di Desa Beurandeh, Desa Kajhu dan Desa Lamkrut

P-value (Mann-Whitney)

Modal Sosial Beurandeh

Vs Kajhu Beurandeh Vs Lamkrut Kajhu Vs Lamkrut Derajat Kesetiakawanan (DK1) 0.076 0.004 0.048 Kepercayaan (DK2) 0.081 0.000 0.449 Kerjasama (DK3) 0.404 0.402 0.784

(22)

Penyelesaian Konflik (DK4) 0.990 0.105 0.197

4.3.2.1. Derajat Kesetiakawanan

Kesetiakawanan merupakan suatu aspek dari modal sosial kognitif yang sejalan dengan aspek dukungan dalam situasi krisis pada dimensi struktural. Aspek saling mendukung pada dimensi struktural melihat bagaimana masyarakat desa atau lingkungan akan bersatu untuk menghadapi suatu keadaan krisis yang mempengaruhi semua orang. Kesetiakawanan dalam dimensi kognitif melihat sejauh mana komunitas atau lingkungan mau memberikan bantuan kepada individu dari suatu peristiwa naas yang menimpanya.

Tingkat kemauan masyarakat Desa Beurandeh untuk membantu individu yang mengalami kesulitan sama dengan tingkat kemauan masyarakat Desa kajhu, akan tetapi solidaritas masyarakat di kedua desa tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan solidaritas masyarakat di Desa Lamkrut (Tabel 10). Masyarakat di Desa Beurandeh dan Desa Kajhu sangat mengerti, bahwa dengan saling menolong maka kehidupan sosial masyarakat akan semakin baik, dimana masyarakat tidak merasa hidup di desa hanya sendirian tetapi meliliki banyak teman. Kesetiakawanan merupakan suatu bentuk kerjasama untuk membangun nilai-nilai kepercayaan dalam pembentukan modal sosial yang menjadi faktor pendukung terhadap percepatan pembangunan desanya.

Tingginya solidaritas masyarakat di Desa Beurandeh sudah ditunjukkan dari tingkat dukungan masyarakat dalam situasi krisis pada komponen modal sosial struktural. Kedua unsur variabel pembentukan modal sosial ini memiliki hubungan yang positif. Adanya pengkotakan-pengkotakan di dalam masyarakat tidak mengurangi keinginan masyarakat untuk saling membantu, karena pengkotakan yang terjadi hanya sebatas perbedaan seperti pengkotakan antara generasi tua dengan generasi muda, generasi muda jarang diikutkan dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi suatu masalah yang terjadi di desa, dan pengkotakan tersebut tidak dianggap sebagai suatu masalah yang dapat menggangu hubungan antar sesama masyarakat. Dengan demikian keinginan masyarakat untuk membantu individu yang mengalami kesulitan di desanya tetap tinggi.

(23)

4.3.2.2. Kepercayaan

Rasa percaya sosial merupakan bagian dari karakteristik individu, yang menyangkut optimisme, keyakinan pada kerjasama, bahwasanya individu dapat menerima perbedaan dan hidup bersama dengan penuh kedamaian. Kepercayaan adalah suatu konsep abstrak yang sulit diukur, karena mungkin akan diartikan berbeda-beda diantara masing-masing orang. Namun demikian, pendekatannya difokuskan pada kepercayaan yang tergenaralisasi, taraf dimana seseorang percaya kepada orang lain secara penuh (seperti: kebanyakan orang-orang di desa umumnya jujur dan dapat dipercaya atau orang-orang tertarik hanya pada kesejahteraan keluarganya sendiri) dan tingkat kepercayaan yang ada dalam konteks transaksi-transaksi yang spesifik, seperti percaya dalam hal pinjam-meminjam, atau menjaga anak atau harta orang lain ketika mereka tidak berada di tempat.

Tingkat kepercayaan dalam komunitas terhadap sesama warga relatif sama antara masyarakat beurandeh dengan masyarakat kajhu dan masyarakat kajhu dengan masyarakat lamkrut. Perbedaan tingkat kepercayaan yang sangat signifikan yaitu antara masyarakat beurandeh dengan masyarakat lamkrut. Tingkat kepercayaan yang ditunjukkan masyarakat di Desa Beurandeh lebih tinggi daripada tingkat kepercayaan yang ditunjukkan oleh masyarakat di Desa Lamkrut (Tabel 10). Luas desa yang relatif kecil dan jumlah penduduk yang relatif sedikit serta sifat kekeluargaan yang melekat dimasyarakat Desa Beurandeh memudahkan masyarakatnya untuk saling kenal satu sama lain. Sifat saling kenal ini yang oleh Lawang (2004) dijadikannya sebagai alasan untuk menjawab mengapa orang saling percaya. Disamping itu juga kepercayaan akan timbul karena adanya interaksi sosial. Proses interaksi sosial yang terjadi antara sesama warga di Desa Lamkrut ternyata lebih rendah, hal ini menyebabkan tingkat kepercayaan yang terbangun dalam komunitas warganya juga rendah. Tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah menyebabkan proses pembangunan di Desa Lamkrut berjalan sangat lamban dibandingkan dengan Desa Beurandeh, karena masyarakatnya sulit untuk melakukan kerjasama.

(24)

Kerjasama adalan sebuah gambaran untuk mengukur tingkat kepercayaan, yang dilihat dari kemauan masyarakat untuk melakukan sesuatu secara bersama-sama untuk kepentingan komunitasnya. Dalam penelitian ini yang diukur yaitu semangat kerjasama, siapa yang dapat diajak bekerja sama, kesediaan untuk bekerjasama dan pengorbanan baik uang maupun waktu untuk melakukan kerjasama.

Kerjasama yang terjadi antar masyarakat di Desa Beurandeh dilihat dari indeksnya relatif lebih tinggi daripada kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Kajhu dan Desa Lamkrut (Gambar 4). Uji statistik terhadap rataan indeks unsur kerjasama, menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara beurandeh dengan kajhu, beurandeh dengan lamkrut dan juga kajhu dengan lamkrut (Tabel 10). Relatif tingginya tingkat kerjasama masyarakat di Desa Beurandeh dikarenakan tingkat kepercayaan antar masyarakat desa tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan desa lain.

4.3.2.4. Penyelesaian Konflik

Adanya konflik disuatu desa dapat dilihat dari kehidupan masyarakatnya, apakah masyarakat merasa tentram tinggal di desa tersebut atau tidak, apabila masyarakat merasa tidak tentram, maka di desa tersebut ada konflik. Konflik juga dapat dinilai dari tingkat keharmonisan masyarakat dalam menjalin hubungan diantara sesama masyarakat. Desa yang tidak mempunyai konflik hubungan antar masyarakat sangat hormonis, baik itu dirasakan oleh masyarakat desanya sendiri maupun ketika dibandingkan dengan desa tetangganya. Adanya konflik di desa atau lingkungan atau di wilayah yag lebih luas menunjukkan kurangnya kepercayaan antar sesama masyarakat disuatu wilayah. Penyelesaian konflik dalam hal ini dinilai dari situasi konflik yang ada dikomunitas/desa dan bagaimana cara menyelesaiakannya. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam meyelesaikan konflik antara Desa Beurandeh, Desa Kajhu dan Desa Lamkrut (Tabel 10).

4.3.3. Aksi Kolektif

Indikator aksi kolektif merupakan variabel untuk mengukur keluaran (output) dari modal sosial masyarakat. Aksi kolektif hanya akan terjadi jika terdapat modal sosial yang signifikan di suatu desa atau daerah. Ada tiga bentuk

(25)

informasi yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini berkenaan dengan aksi kolektif tersebut yaitu: tingkat aksi kolektif, jenis kegiatan yang dikerjakan secara kolektif dan tingkat kemauan masyarakat untuk melakukan aksi kolektif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum aksi kolektif Desa Beurandeh berbeda nyata dengan Desa Kajhu, Desa Beurandeh berbeda sangat nyata dengan Desa Lamkrut, akan tetapi Desa Kajhu dengan Desa Lamkrut tidak ada perbedaan yang nyata seperti yang sudah ditunjukkan dalam Tabel xx. Aksi kolektif masyarakat yang paling tinggi yaitu di Desa Beurandeh dan yang paling rendah adalah di Desa Lamkrut. Kondisi aksi kolektif masyarakat dilihat dari masing-masing unsur pembentukannya ditunjukkan dalam Gambar 6.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

Beurandeh Kajhu Lamkrut

Desa Rata -rat a Indeks Tingkat aksi kolektif Jenis kegiatan kolektif Kesediaan berpartisipasi dalam aksi kolektif

Gambar 5. Rata-rata Indeks Unsur-unsur Aksi Kolektif di Desa Beurandeh, Desa Kajhu dan Desa Lamkrut.

Selanjutnya, uji beda rataan menunjukkan bahwa tingkat aksi kolektif, hanya antara Desa Kajhu dengan Desa Lamkrut yang tidak berbeda secara signifikan, sedangkan jenis kegiatan kolektif, hanya Desa Beurandeh yang sama dengan Desa Kajhu (Tabel 11). Kesediaan untuk berpartisipasi dalam aksi kolektif, perbedaan yang signifikan terdapat pada Desa Beurandeh dengan Desa Lamkrut.

Tabel 11. Uji Beda Rataan Unsur-unsur Aksi Kolektif di Desa Beurandeh, Desa Kajhu dan Desa Lamkrut

P-value (Mann-Whitney)

Modal Sosial Beurandeh Vs

Kajhu Beurandeh Vs Lamkrut Kajhu Vs Lamkrut Tingkat Aksi Kolektif (AK1) 0.029 0.002 0.375

(26)

Jenis Kegiatan Kolektif (AK2) 0.368 0.001 0.010 Kesediaan untuk Berpartisipasi

dalam Aksi Kolektif (AK3) 0.076 0.047 0.948

4.3.3.1. Tingkat Aksi Kolektif

Tingkat aksi kolektif adalah banyaknya tindakan yang dilakukan secara kolektif oleh masyarakat dalam rangka mencapai tujuan bersama. Tingkat aksi kolektif dinilai dari intensitas ikut serta rumah tangga dalam perencanaan pembangunan desa dan intensitas kerjasama dengan orang lain untuk kepentingan umum di desa mereka.

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa dan kerjasamanya untuk kepentingan umum yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat desa, lebih tinggi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Beurandeh dibandingkan dengan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kajhu dan masyarakat Desa Lamkrut. Sedangkan partisipasi dan intensitas kerjasama dalam hal yang sama antara masyarakat Desa Kajhu sama dengan Masyarakat Desa Lamkrut (Tabel 11). Pasca tsunami Desa Beurandeh pernah beberapa kali melaksanakan proses perencanaan pembangunan desa dan umumnya seluruh masyarakat ikut terlibat di dalamnya. Begitu juga dengan kerjasama yang mereka lakukan untuk kepentingan umum, intensitasnya lebih lebih sering pasca tsunami, misalnya dalam pelaksanaan pembangunan rumah pasca tsunami, masyarakat terlibat langsung didalamnya yaitu mulai dari menggambar bentuk rumah yang mereka inginkan, juga mengerjakan sendiri secara gotong royong dalam pelaksanaan pembangunan rumah tersebut, sedangkan pihak yang membantu hanya menyediakan material-material yang dibutuhkannya saja. Tingkat aksi kolektif yang lebih tinggi yang dilakukan masyarakat di Desa Beurandeh, memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk akses kepada bantuan rumah lebih cepat dibandingkan dengan desa-desa lain. Keterlibatan masyarakat Desa Beurandeh di dalam berbagai asosiasi lokal menjadi modal masyarakat desa untuk saling kerjasama dalam berbagai hal.

4.3.3.2. Jenis Kegiatan Kolektif

Indikator jenis kegiatan kolektif dalam penelitian ini diukur dari keikutsertaan anggota rumah tangga dalam berbagai jenis kegiatan kolektif.

(27)

Kegiatan-kegiatan tersebut yaitu aktif di dalam suatu perkumpulan, melakukan kontak dengan orang berpengaruh di pemerintahan, membangun media berkaitan dengan masalah, aktif dalam kampanye pemilu, ikut kerja bakti/gotong royong, bertemu anggota DPRD kabupaten, ikut dalam pertemuan pemerintah, berdiskusi dangan orang lain tentang suatu masalah, melaporkan suatu masalah kepada polisi/pengadilan, menyumbang uang/barang dan menjadi sukarelawan organisasi amal.

Secara statistik (Tabel 11) dapat disimpulkan, jenis kegiatan kolektif yang diikuti oleh anggota rumah tangga di Desa Beurandeh dan Desa Kajhu relatif sama tingginya sedangkan yang apling rendah yaitu di Desa Lamkrut. Sedikitnya ada 4 jenis kegiatan kolektif yang dilakukan masyarakat di Desa Beurandeh dan Desa Kajhu pasca tsunami, sedangkan di Desa Lamkrut sejumlah anggota rumah tangga hanya melakukan kurang dari 3 jenis kegiatan kolektif tersebut.

4.3.3.3. Kesediaan untuk Berpartisipasi dalam Aksi Kolektif

Kesediaan berpartisipasi mengukur sejauhmana kondisi lingkungan (semangat partisipasi secara umum di dalam komunitas) mendukung kesediaan anggota rumah tangga untuk ikut di dalam kegiatan pembangunan desa serta menciptakan ketentraman di dalam komunitas Kesediaan untuk berpartisipasi dalam aksi kolektif dinilai dari: (1) cara pengambilan keputusan untuk proyek-proyek pembangunan desa apakah seluruh masyarakat harus dilibatkan atau hanya diputuskan oleh pemimpinnya saja, (2) semangat partisipasi masyarakat dan (3) banyaknya orang yang memiliki pikiran yang sama dalam memciptakan ketentraman di desanya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesediaan berpartisipasi dalam aksi kolektif, hanya Desa Beurandeh dengan Desa Lamkrut saja yang yang berbeda secara signifikan (Tabel 11). Kesediaan partisipasi dalam aksi kolektif masyarakat beurandeh lebih tinggi daripada masyarakat lamkrut. Perbedaan ini terutama pada semangat partisipasi dan jumlah orang yang mempunyai pemikiran yang sama dalam menciptakan ketentraman di desanya. Semangat partisipasi masyarakat beurandeh lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat lamkrut, begitu juga dengan jumlah orang yang mempunyai pemikiran yang sama dalam menciptakan ketentrman desanya dimana orang-orang di Desa Beurandeh lebih banyak yang

(28)

mempunyai pemikiran yang sama terhadap hal tersebut dibandingkan orang-orang di Desa Lamkrut.

4.4. Modal Sosial dan Peluang Memiliki Rumah

Secara umum modal sosial masyarakat yang sudah memiliki rumah lebih tinggi dibandingkan dengan modal sosial masyarakat yang belum memiliki rumah pasca tsunami. Begitu juga dengan komponen modal sosial struktural, kognitif dan aksi kolektif, ketiga komponen modal sosial tersebut nilainya lebih tinggi pada rumah tangga yang sudah memiliki rumah. Akan tetapi jika dilihat dari setiap unsur pembentukannya, tidak semua unsur berbeda nyata. Kepadatan keanggotaan di dalam asosiasi lokal dari komponen modal sosial struktural, tidak berbeda nyata antara rumah tangga yang sudah memiliki rumah dengan rumah tangga yang belum memiliki rumah. Kemudian juga unsur kerjasama dan penyelesaian konflik dari komponen modal sosial kognitif, tidak ada perbedaan yang nyata antara rumah tangga yang sudah memiliki rumah dengan rumah tangga yang belum memilki rumah. Sementara itu, indeks derajat pembatasan malah lebih kecil pada rumah tangga yang belum memiliki rumah (Tabel 12).

Tabel 12. Indeks Modal Sosial Masyarakat Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah

Status Kepemilikan Rumah

No Variabel Modal Sosial Sudah Belum P-value

Modal Sosial Masyarakat 0.799 0.521 0.0000 A. Dimensi Struktural 0.664 0.531 0.0032

1. Kepadatan Keanggotaan 0.533 0.455 0.1077 2. Keragaman Keanggotaan 0.684 0.550 0.0388 3. Partisipasi dalam Pembuatan Keputusan 0.910 0.726 0.0005 4. Dukungan dalam Situasi Krisis 0.734 0.532 0.0000

5. Derajat Pembatasan 0.119 0.192 - B. Dimensi Kognitif 0.641 0.388 0.0001 1. Derajat Kesetiakawanan 0.306 0.143 0.0029 2. Kepercayaan 0.661 0.451 0.0012 3. Kerjasama 0.737 0.652 0.0907 4. Penyelesaian Konflik 0.536 0.502 0.3705 C. Aksi Kolektif 0.719 0.530 0.0003

1. Tingkat Aksi Kolektif 0.643 0.452 0.0018 2. Jenis Kegiatan Kolektif 0.476 0.365 0.0209

(29)

3. Kesediaan Berpartisipasi di dalam Aksi

Kolektif 0.645 0.526 0.0114

Selanjutnya, hasil uji korelasi menunjukkan bahwa secara agregat modal sosial masyarakat desa komponen modal sosial struktural, komponen modal sosial kognitif dan komponen aksi kolektif berkorelasi posistif dengan kepemilikan rumah. Secara disagregat, hanya unsur kepadatan keanggotaan, keragaman keanggotaan dan derajat pembatasan dari komponen modal sosial struktural, unsur kerjasama dan penyelesaian konflik dari komponen modal sosial kognitif yang tidak berkorelasi secara signifikan dengan kepemilikan rumah (Tabel 13).

Tabel 13. Korelasi Antara Modal Sosial Masyarakat dengan Kepemilikan Rumah. No Variabel Modal Sosial Koefisien Korelasi P-value.

(2-tailed)

Modal Sosial Masyarakat 0.555 0.000

A. Dimensi Struktural 0.353 0.005

1. Kepadatan Keanggotaan 0.169 0.194

2. Keragaman Keanggotaan 0.233 0.071

3. Partisipasi dalam Pembuatan Keputusan 0.437 0.000 4. Dukungan dalam Situasi Krisis 0.510 0.000

5. Derajat Pembatasan -0.219 0.090

B. Dimensi Kognitif 0.482 0.000

1. Derajat Kesetiakawanan 0.371 0.003

Tabel 13. Lanjutan

No Variabel Modal Sosial Koefisien

Korelasi P-value (2-tailed).

2. Kepercayaan 0.398 0.002

3. Kerjasama 0.174 0.179

4. Penyelesaian Konflik 0.440 0.737

C. Aksi Kolektif 0.445 0.000

1. Tingkat Aksi Kolektif 0.389 0.002

2. Jenis Kegiatan Kolektif 0.265 0.039

3. Kesediaan Berpartisipasi di dalam Aksi

Kolektif 0.300 0.019

Dimensi kognitif dan aksi kolektif memiliki tingkat korelasi yang lebih besar dibandingkan dengan dimensi struktural. Tinginya derajat kesetiakawanan dan kepercayaan serta tingkat aksi kolektif mempermudah rumah tangga untuk

(30)

memperoleh bantuan dari pihak luar untuk lebih cepat membangun rumah-rumah mereka. Sedangkan derajat pembatasan, kerjasama dan penyelesaian konflik bukan merupakan determinan utama bagi rumah tangga sebagai penentu dalam hal memiliki rumah.

Hasil uji korelasi tersebut memperkuat hasil uji beda rataan antara modal sosial masyarakat pada rumah tangga yang sudah memiliki rumah dengan modal sosial masyarakat pada rumah tangga yang belum memiliki rumah. Modal sosial masyarakat yang lebih tinggi memiliki peluang memiliki rumah semakin besar. Keberagaman anggota di dalam asosiasi lokal yang dimasuki anggota rumah tangga, pola pengambilan keputusan untuk tujuan pembangunan desa yang lebih demokratis, dan dukungan di dalam situasi krisis yang lebih tinggi akan menghasilkan proses, kualitas dan kuantitas interaksi sosial masyarakat lebih berkembang. Demikian juga dengan derajat kesetiakawanan dan kepercayaan. Kepercayaan menjadi modal bagi masyarakat desa untuk bekerjasama dengan pihak-pihak luar yang akan membantu membangun rumah-rumah mereka. Demikian juga dengan aksi kolektif yang dilakukan masyarakat terutama partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan peningkatan pembangunan desa juga medorong para pemberi bantuan untuk mengalokasikan program kerja mereka ke wilayah tersebut. Selain itu, kegiatan yang dilakukan secara kolektif dapat mengurangi biaya yang harus dikelurkan untuk membangun rumah bagi setiap kelurganya.

Peluang masyarakat memiliki rumah tidak hanya dipengaruhi atau disebabkan oleh modal sosial saja sebagai faktor tunggal, akan tetapi juga merupakan konstribusi/dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang lebih kompleks. Faktor-faktor tersebut yaitu seperti karakteristik individu kepala keluarga (umur, pekerjaan, tingkat pendidikan), karakteristik rumah tangga (penghasilan keluarga, jumlah aset rumah tangga dan pengeluaran keluarga), karakteristik wilayah (kerapatan penduduk, letak gografis, jarak dari pusat kota terdekat), dan keterlibatan pihak luar yang memberi bantuan untuk membangun rumah (NGO dalm dan luar negeri)

Analisis terhadap faktor-faktor yang terkait/berhubungan dengan peluang masyarakat memiliki rumah yaitu menggunakan analisis regresi model logit

(31)

dengan variabel tidak bebas berupa variabel biner yaitu masyarakat yang sudah memiliki rumah (1) dan belum memiliki rumah (0). Sedangkan variabel-varibel bebasnya pada analisis pertama yaitu indeks komposit modal sosial masyarakat, pendapatan rumah tangga dan jumlah aset yang dimiliki rumah tangga. Pada analisis kedua, selain ketiga variabel bebas tersebut juga dimasukkan variabel keterlibatan sejumlah NGO dalam kegiatan pembangunan rumah.

Kelayakan model regresi dapat dilihat dari nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow, jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima dan jika nilai probabilitas < 0.05 maka Ho ditolak. Jika Ho diterima, artinya tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati, dan jika Ho ditolak artinya ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati.

Hasil analisis pada model yang pertama ini terbukti, model regresi yang digunakan untuk melihat pengaruh modal sosial dan variabel lainnya terhadap peluang masyarakat memiliki rumah adalah layak. Nilai goodness of fit test yang diukur dengan nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow menunjukkan angka probabilitas 0.971 artinya model menerima Ho. Menerima Ho berarti tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati. Selain kelayakan, kemampuan model untuk memprediksi peluang masyarakat untuk memiliki rumah dan peluang belum memiliki rumah juga sangat baik, yaitu masing-masing 68,2 % dan 82,4 % (Tabel 14).

Tabel 14. Klasifikasi dan Kebenaran Prediksi dari Model Logit. Predicted

Rumah Observed

Belum Ada Rumah Sudah Ada Rumah

Percentage Correct

Belum Ada Rumah 32 7 82.1

Sudah Ada Rumah 7 15 68.2

Overall Percentage 77.7

Hasil analisis regresi logit menunjukkan bahwa Indeks modal sosial masyarakat memberikan peluang secara signifikan bagi masyarakat untuk lebih cepat memiliki rumah (Tabel 15). Modal sosial berpengaruh secara positif terhadap peluang masyarakat memiliki rumah pada taraf 99,9 %. Sementara itu, Pendapatan dan jumlah aset rumah tangga menunjukkan angka negatif. Pasca

(32)

tsunami masyarakat yang bertempat tinggal pada daerah yang mengalami kerusakan akibat tsunami tidak menggunakan pendapatan dan aset rumah tangganya untuk membangun rumah mereka seperti yang banyak dilakukan oleh masyarakat dalam kondisi normal. Pemerintah dan lembaga non pemerintah sudah menyediakan bantuan untuk pembangunan kembali seluruh rumah bagi masyarakat yang rumahnya hancur atau rusak oleh tsunami. Oleh karena itu, pendapatan dan jumlah aset rumah tangga yang ada tidak digunakan untuk membangun kembali rumah-rumahnya yang telah rusak. Masyarakat sepenuhnya berharap pada bantuan-bantuan yang telah disediakan tersebut.

Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Logistik dengan Variabel Terikat Status Kepemilikan Rumah dan Tanpa Memasukkan Variabel Keterlibatan NGO

Variabel Koefisien Regresi P-Value

Indeks Modal Sosial Masyarakat (IMSM) 12.450 0.001

Pendapatan Rumah Tangga (P_RT) -0.042 0.070

Aset Rumah Tangga (ASET) -0.001 0.658

Constant -8.281 0.002

Memiliki rumah merupakan salah satu indikator kesejahteraan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Investasi dari modal sosial terbukti memberikan kemudahan tersebut. Makin tinggi modal sosial masyarakat makin tinggi pula peluangnya memiliki rumah. Proses, kualitas dan kuantitas interaksi sosial yang lebih baik yang dilakukan masyarakat memberikan dampak positif terhadap peningkatan kerjasama dan membangun kepercayaan. Begitu juga dengan intensitas dalam melaukan aksi kolektif, membangun kerjasama dan saling percaya antar sesama masyarakat di dalam komunitas akan menumbuhkan nilai-nilai kepercayaan. Nilai kepercayaan inilah yang menjadi modal bagi masyarakat untuk lebih mudah akses terhadap bantuan untuk membangun rumah.

Tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi merupakan ukuran kuatnya modal sosial masyarakat yang terbangun, sehingga partisipasi juga memberikan konstribusi terhadap peluang masyarakat untuk lebih cepat memiliki rumah pasca tsunami. Di Desa Beurandeh misalnya, dalam proses membangun rumah masyarakat diminta membuat sendiri gambar rumah yang akan dibangun secara

(33)

partisipatif dan kemudian masyarakat juga membangun sendiri rumah-rumah tersebut, sementara pihak pemberi bantuan hanya menyediakan material dan biaya yang dibutuhkan. Partisipasi tersebut menyebabkan masyarakat lebih cepat memiliki rumah. Selain itu, modal keramahan dan kekompakan yang dimiliki masyarakat di Desa Beurandeh juga menjadi modal dalam menarik minat pihak-pihak luar sebagai penyedia bantuan untuk membangun rumah agar mereka mau mengalokasikan bantuannya kepada masyarakat di Desa Beurandeh. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial masyarakat benar-benar modal untuk mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi dalam membangun kembali desa-desa terutama pembangunan di bidang infrastruktur perumahan pasca tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam.

Hasil analisis selanjutnya yaitu dengan memasukkan variabel keterlibatan pihak NGO sebagai variabel bebas yang diduga juga ikut mempengaruhi peluang masyarakat untuk lebih cepat memiliki rumah selain variabel modal sosial. Hasilnya adalah setelah dimasukkan variabel keterlibatan NGO dalam model, variabel modal sosial masyarakat tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap status kepemilikan rumah oleh masyarakat (Tabel 16). Sedangkan variabel NGO, biarpun memiliki pengaruh yang signifikan, tetapi nilainya negatif. Banyaknya NGO secara kuantitas yang membantu membangun rumah dalam satu desa tidak menjamin masyarakat untuk lebih cepat memiliki rumah, semakin banyak NGO yang terlibat semakin rendah peluang masyarakat untuk mendapatkan rumah yang lebih cepat. Hasil ini dapat dijelaskan secara naratif yaitu apabila dalam satu desa terdapat banyak NGO yang akan membantu pada satu jenis kegiatan yang sama seperti semuanya membantu membangun rumah, yang pertama harus dilakukan adalah menyamakan program diantara beberapa lembaga tersebut menjadi sama. Menyamakan seluruh program dari seluruh NGO yang akan membantu tersebut sangat sulit dilakukan karena terbentur pada tujuan proyek dan sistem pelaksanaannya yang berbeda-beda dari masing-masing lembaga tersebut. Akibatnya semakin banyak jumlah NGO yang terlibat dalam pembangunan kembali rumah masyarakat semakin lambat pembangunan rumah tersebut selesai.

(34)

Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Logistik dengan Variabel Terikat Status Kepemilikan Rumah dan dengan Memasukkan Variabel Keterlibatan NGO

Variabel Koefisien Regresi P-Value

Indeks Modal Sosial Masyarakat (IMSM) 3.711 0.436

Pendapatan Rumah Tangga (P_RT) -0.006 0.810

Aset Rumah Tangga (ASET) -0.006 0.592

Keterlibatan NGO (NGO_R) -1.383 0.001

Constant 2.697 0.522

Hosmer and Lemeshow Test 0.018

Nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow, pada persamaan model logit dengan memasukkan keterlibatan pihak NGO sebagai variabel bebasnya yaitu lebih kecil dari 0.05, maka model tersebut kurang layak untuk menggambarkan hubungan antara variabel terikat yaitu peluang memiliki rumah dengan variabel bebasnya yaitu modal sosial masyarakat, pendapatan rumah tangga, aset rumah tangga dan keterlibatan NGO dalam membantu membangun rumah bagi masyarakat desa pasca tsunami.

4.5. Modal Sosial dan Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan, tingkat kesejahteraannya juga semakin tinggi. Pendapatan keluarga secara umum bisa dipengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala keluarga, pekerjaan kepala keluarga, umur kepala keluarga, jumlah anggota rumah tangga, aset yang dimiliki rumah tangga dan lain sebagainnya.

Pasca tsunami, pendapatan keluarga tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tersebut di atas. Pasca tsunami banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan juga aset rumah tangganya, sehingga kondisi ini sangat mepengaruhi dalam meningkatkan pendapatan keluarganya. Akan tetapi, pasca tsunami masyarakat masih memiliki modal sosial yang selama ini sering tidak diperhitungkan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan kesejahtertaan masyarakat terutama untuk peningkatan pendapatan keluarga, padahal hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan tersebut. Selain itu, keterlibatan berbagai pihak baik itu pihak dari lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah

(35)

yang menyediakan berbagai bentuk bantuan, juga menjadi faktor penting dalam memulihkan pendapatan masyarakat pasca tsunami.

Model yang digunakan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi pendapatan keluarga pasca tsunami adalah model regresi linier. Selain memasukkan variabel-variabel yang secara umum digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi pendapatan keluarga, juga memasukkan indeks modal sosial masyarakat dan keterlibatan berbagai pihak sebagai penyedia bantuan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD sebagai variabel bebasnya. Dengan memasukkan indeks modal sosial masyarakat, maka dapat dilihat seberapa besar pengaruh modal sosial terhadap pemulihan pendapatan masyarakat pasca tsunami. Hasil pengujian hipotesis terhadap model analisis regresi linier menunjukkan nilai probabilitas < 0,05, maka model regresi linier tersebut layak digunakan untuk memprediksi hubungan modal sosial dan faktor-faktor lainnya terhadap pendapatan keluarga pasca tsunami (Tabel 17). Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan keluarga dipengaruhi secara nyata oleh indeks modal sosial masyarakat pada taraf nyata 95 %. Modal sosial memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pendapatan keluarga sebagaimana pengaruhnya terhadap peluang masyarakat memiliki rumah pasca tsunami. Modal sosial merupakan salah satu faktor yang dapat memudahkan masayarakat untuk memulihkan pendapatannya. Kerjasama dan saling percaya sebagai unsur modal sosial memberi peluang masyarakat untuk memperoleh keuntungan secara kolektif, seseorang pecaya kepada orang lain karena ada tujuannya yaitu untuk mendapat keuntungan (Lawang 2004). Contoh masyarakat desa Beurandeh, dengan modal kepercayaan dan kerjasama yang dimilikinya, masyarakat lebih cepat untuk medapat bantuan rumah. Pembangunan rumah tersebut tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat terhadap rumah saja, juga membuka peluang kerja, sehingga dengan upah yang diperoleh dari kerja tersebut dapat menjadi sumber pendapatan bagi rumah tangga.

Tabel 17. Hasil Analisis Menggunakan Regresi Linier dengan Variabel Terikat Pendapatan Rumah Tangga

Indikator Koefisienregresi P-Value

Gambar

Gambar  2.  Rata-rata Indeks Modal Sosial Masyarakat dan Komponen- Komponen-komponennya di Tiap-tiap Desa
Tabel 6. Uji Beda Rataan Indeks Modal Sosial Masyarakat dan Komponen- Komponen-komponennya antar Desa
Gambar 3 Rata-rata Indeks Unsur-unsur Modal Sosial Struktural di Desa  Beurandeh, Desa Kajhu dan Desa Lamkrut
Tabel 7. Uji Beda Rataan Unsur-unsur Modal Sosial Struktural di Desa  Beurandeh, Desa Kajhu dan Desa Lamkrut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menu order berisi sub menu view order yang menampilkan tabel yang berisi informasi mengenai pesanan yang dilakukan oleh sales dan customer pada hari tersebut.. Jika tombol

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini akan dilakukan sintesis dan karakterisasi TiO2 mesopori terdoping galium III pada variasi konsentrasi dopan galium III 0; 0,5;

Tidak terlalu banyak perbedaan jenis-jenis alga mikroskopis yang ditemukan dibagian atas dan bagian bawah dikarenakan lokasi pengamatan pengambilan sampel air

Beliau mengungkapkan bahwa bayi prematur sangat rentan mengalami penyakit karena organ tubuh mereka yang belum berfungsi secara sempurna, seperti kendala saat

2 Ada siswa menanyakan hal-hal yang belum dipahami namun kurang sesuai dengan materi yang dipelajari.. 1 Tidak ada siswa yang menanyakan hal-hal yang belum dipahami sesuai

tukar.Dimana komodifikasi ini terjadi pada bagian tubuh atas endorser ketika endorser itu berhijab, dan seluruh tubuh untuk endorser yang tidak berhijab.Akan

Tumbuh kembang anak diukur dengan menggunakan Kartu Kembang Anak dan seluruh anak pelaku pernikahan usia dini tidak ada yang berada di bawah garis merah yang

Sehingga diperlukan pola asupan makanan yang baik agar dapat terjadinya hubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak dimana orang tua yang memiliki tingkat