10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kepatuhan
1. Pengertian Kepatuhan
Menurut Idrus (1996) kepatuhan berasal dari kata patuh yang artinya sifat taat dan menurut. Niven (2011) mengatakan bahwa kepatuhan berasal dari kata patuh yang artinya disiplin dan taat. Menurut Sarwono (1997) patuh atau panut (menurut) merupakan perubahan perilaku atau keyakinan yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat secara umum, walau hatinya tidak menyetujuinya.
Menurut Smet (1994) seorang ahli psikologi mengemukakan bahwa kepatuhan merupakan tingkat seseorang dalam melakukan suatu aturan dan perilaku yang disarankan, sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap patuh, identifikasi, kemudian menjadi internalisasi, yang awal mulanya individu akan mematuhi aturan dari petugas tanpa adanya kerelaan untuk memberikan tindakan tersebut dan sering menghindar, mendapat hukuman atau sanksi jika ia tidak patuh dan mendapat imblan apabila mematuhi aturan tersebut. Maka tahap ini sisebut tahap kepatuhan (Sarwono, 1999).
Menurut Arifiyani (2012) menyatakan kepatuhan adalah perubahan sikap dan tingkah laku seseorang untuk mengikuti permintaan atau perintah orang lain. Seseorang dikatakan patuh terhadap orang lain apabila orang tersebut dapat: mempercayai, menerima, dan melakukan sesuatu permintaan atau perintah orang lain.
11
Kepatuhan (obedience) didefinisikan sebagai sikap berdisiplin atau perilaku taat terhadap suatu perintah maupun aturan yang ditetapkan, dengan penuh kesadaran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2014). Kepatuhan sebagai perilaku positif dinilai merupakan sebuah pilihan. Artinya individu memilih untuk melakukan, mematuhi, merespon secara kritis terhadap aturan, hukum, norma sosial, permintaan maupun keinginan dari seseorang yang memegang otoritas ataupun peran penting (Morselli dan Passini, 2012). Disisi lain kepatuhan dalam dimensi pendidikan dinilai sebagai suatu kerelaan seseorang dalam tindakan terhadap perintah dan keinginan dari pemilik otoritas atau guru (Normasari, dkk, 2013).
Kepatuhan (obedience) atau ketaatan yaitu bilamana orang yang menampilkan perilaku-perilaku tertentu karena adanya tuntutan, meskipun mereka lebih tidak suka menampilkannya (Sears & Freedman, 1985). Perihal perilaku penyesuaian diri dan kepatuhan yaitu adanya perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, untuk melakukan suatu perilku agar bisa sesuai dengan kelompok tersebut (konformitas), baik yang sungguh-sungguh maupun yang hanya dibayangkan saja (Atkinson, 1991).
Krisnatuti dkk, 2011 menjelaskan bahwa kepatuhan merupakan kecendrungan dan kerelaan seseorang untuk memenuhi dan menerima permintaan, baik yang berasal dari seseorang pemimpin atau yang bersifat mutlak sebagai sebuah tata tertib atau perintah. Kepatuhan adalah berperilaku atau berperan aktif. Menurut Pardede, 2009 bahwa perilaku kepatuhan dapat berupa perilaku patuh dan perilaku tidak patuh.
12
Kepatuhan pada dasarnya dipengaruhi oleh pengaruh intrapersonal dan pengaruh interpersonal (Pardede, 2009).
Kusumadewi dkk, 2012 menjelaskan arti kepatuhan sebagai kemauan mematuhi sesuatu dengan takluk tunduk. Pelanggaran terhadap peraturan kerap terjadi di masyarakat akibat dari kurang puasnya salah satu pihak dengan peraturan tersebut. Pelanggaran yang terjadi dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk oleh remaja.
Sanderi dkk, 2013 menjelaskan bahwa kepatuhan merupakan serangkaian perilaku seseorang dalam melaksanakan atau mentaati tata tertib yang berlaku atas dasar rasa hormat dan kesadaran diri sendiri. Melihat pengertian kepatuhan tersebut, maka di dalam kepatuhan terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1) Menerima norma/nilai-nilai. Seseorang dikatakan patuh apabila yang bersangkutan menerima baik kehadiran norma-norma/nilai-nilai dari suatu peraturan meskipun peraturan tertulis.
2) Penerapan norma-norma/nilai-nilai itu dalam kehidupan . seseorang dikatakan patuh jika norma-norma/ nilai-nilai dari suatu peraturan diwujudkan dalam perbuatan, bila norma atau nilai itu dilaksanakannya maka dapat dikatakan bahwa ia patuh.
Mengintrospeksi diri. Introspeksi diri adalah suatu perbuatan yang menelaah ke belakang mengenai perbuatan yang pernah dilakukan. Seseorang yang berkeinginan untuk melihat perbuatannya yang lalu dan melakukan perbaikan merupakan sifat bahwa ia berusaha untuk mengikuti aturan-aturan/nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat atau kelompok
13
orang. Kepatuhan yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Teori kepatuhan dalam literatur ilmu perilaku, psikologi, dan sosiologi menekankan pada pendorong internal perilaku manusia dan faktor-faktor penentu secara sosial dalam suatu analisis normatif perilaku patuh (Pardede, 2009).
Kusumadewi dkk, 2012 menyatakan bahwa peraturan adalah suatu tatanan yang digunakan untuk mengatur pola kehidupan masyarakat agar berjalan dengan stabil. Peraturan merupakan salah satu bentuk keputusan yang harus ditaati dan dilaksanakan (Fiana, 2013).
Dari semua pengertian dari para tokoh tokoh diatas maka tergambar bahwa perilaku kepatuhan adalah setiap perilaku yang orang lakukan dengan sengaja dilakukan, cara tersebut supaya dapat menyesuaikan diri terhadap norma, etika serta aturan yang berlaku dalam suatu kelompok. Maka dari itu dapat diambil kesimpulan bahwa kepatuhan adalah sikap atau perilaku yang dilakukan berdasarkan norma atau nilai yang ada dilingkungan sekitar dengan banyak konsekuensi yang berat apabila tidak mengikutinya.
2. Proses Terjadinya Kepatuhan
Kepatuhan terjadi saat orang dapat menyesuaikan diri oleh individu kepada norma pada setiap kelompok yang ditemuinya, atu dimana seseorang sudah menjadi anggota baru atau bagian kelompok tersebut, misalkan pada saat makan di restoran internasional harus terampil dengan menggunakan sendok, garpu dan pisau (Sears,dkk: 1985).
14
Sarbaini (2012) melihat persoalan kepatuhan dalam realitasnya ditentukan oleh tiga aspek, yaitu:
1) Taat terhadap pemegang otoritas,
Status yang tinggi dari figur yang memiliki otoritas memberikan pengaruh penting terhadap perilaku kepatuhan. Untuk status yang tinggi tersebut adalah pihak paling dihormati contohnya di rumah ada ayah dan ibu, berbeda di sekolah ada kepala sekolah dan para guru, dan di pondok peantrena ada kiai, para pengurus pondok.
2) Taat terhadap kondisi yang terjadi
Terbatasnya peluang untuk tidak patuh dan meningkatnya situasi yang menuntut kepatuhan. Seseorang mempunyai batasanya dalam bertindak sehingga apabila ada keinginan pasti akan melakukan apa yang diinginkan walaupun mengetahui hal tersebut dilarang atau tidak diperbolehkan.
3) Orang yang mematuhi
Kesadaran seseorang untuk mematuhi peraturan karena ia mengetahui bahwa hal itu benar dan penting untuk dilakukan. Setiap aturan yang dibuat untuk dilaksanakan atau dipatuhi bukan untuk dilanggar. Tetapi masih banyak orang yang belum patuh.
Menurut Sarwono (1997) kepatuhan orang yang banyak dilakukan karena adanya tekanan dari kelompok, mak kepatuhan ini dilakukan untuk menghormati nilai-nilai etika yang berlaku dimasyarakat, suapaya menjaga kestabilan dengan tuntutan sosial yang ada di lingkungannya. Penyesuaian diri ini dapat terjadi melalui tiga cara ini yaitu :
15
i. Konformitas, merupakan perubahan perilaku secara terbuka sehingga terlihat secara umum, walaupun hatinya tidak menyetujuinya. Jika perilaku sejalan dengan hati karena perintah atau aturan yang ada berarti ketaatn atau kepatuhan.
ii. Menurut (compliance), menurut Atkinson, 1991 menyatakan
compliance yaitu peruabahan perilaku atau keyakinan kerana adanya
tekanan dari kelompok, baik sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja.
iii. Penerimaan (Acceptance), perubahan perilaku yang disadari oleh kepercayaan yang sesuai dengan aturan sosial. Yang selanjutnya dalam penerimaan bahwa ada kecenderungan untuk konformitas berdasarkan pengaruh yang bersifat informatif bergantung pada dua aspek yaitu:
pertama, seluas apa pengetahuan kelompok tersebut, sehingga menurut
individu dengan mempercayai informasi yang dimiliki kelompok dan
kedua, individu semakin menghargai pendapat kelompok tersebut pada
situasi tertentu, mak semakin besar kemungkinan individu untuk melakukan konformitas.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan
Setiap lingkungan atau kelompok mempunyai norma –norma dalam bentuk peraturan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan identitas masyarakat atau kelompok tersebut. Berfungsinya suatu peraturan tentunya terkait dengan bagaimana masyarakat menyikapi peraturan tersebut, supaya peraturan yang terbentuk dapat digunakan dan mencapai tujuannya. Maka dari itu sangat diperlukan sikap patuh dari setiap
16
anggotanya. Adapun pro dan kontra dalam menyikapi peraturan kerap terjadi di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari munculnya pelanggaran yang diakukan oleh anggota kelompok, itu semua akibat dari kurangnya kepuasan salah satu pihak akan peraturan yang ada.
Pelanggaran yang terjadi dapat dilakukan oleh siapa saja, begitu juga oleh remaja termasuk pada santri. Menurut Ali dan Asrori (2008) menjelaskan bahwa pada periode perkembangannya, remaja mengaami masa menentang (trotzater) yang ditandai dengan adanya perubahan yang mencolok pada dirinya, baik secara fisik maupun psikis sehingga menimbukan reaksi emosional dan periaku radikal. Selain itu, remaja memiiki kecenderungan untuk melakukan perlawanan terhadap otoritas. Tidak terkecuali remaja yang berlatarbelakang sebagai santri di pondok pesantren. Dengan banyakanya peraturan yang dapat berpotensi menimbulkan peluang adanya pelanggaran tersebut.
Kepatuhan bisa terjadi dalam berbagai cara, kepatuhan yang dilakukan santri yaitu “takzim” khidmad yang artinya mengabdi, “ abdi yang stia” (KBBI, 2014). Kepatuhan terjadi ketika adanya peaturan yang dibuat oleh pihak pondok pesantren atau kiai, sehingga perilaku individu dapat dikontro dan diarahkan oleh aturan dalam kelompok itu sendiri, maka hal tersebut akan efektif dengan adanya sanksi yang dibuat dan disepakati bersama (Wiley, 1961).
Menurut Kusumadewi dkk, 2012 menyatakan bahwa peraturan adalah suatu tatanan yang digunakan untuk mengatur pola kehidupan masyarakat agar berjalan dengan stabil. Peraturan sendiri diartikan sebagai
17
seperangkat norma-norma yang mengandung perintah dan larangan, yang di dalamnya mengatur tentang bagaimana individu seharusnya berperilaku, apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan (Kusumadewi, dkk, 2012).
Peraturan didefenisikan sebagai sesuatu yang mengandung kata-kata perintah dan larangan, serta apa yang harus dilakukan, tidak sedikit yang mengandung paksaan (Hadikusuma, 1992). Peraturan adalah tindakan yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan. Peraturan sekolah adalah peraturan yang diterapkan oleh sekolah tertentu dengan tujuan untuk memberi batasan dan mengatur sikap anak muda yang sering bersikap kurang kondusif dalam menjalankan proses belajar mengajar di sekolah (Fuadah, 2011).
Pengertian lain tentang peraturan adalah perilaku yang ditetapkan oleh suatu pola, seperti peraturan disiplin sekolah yang dibentuk untuk membentuk perilaku siswa agar sesuai dengan tujuan dan harapan sekolah (Fajarwati, 2011). Peraturan atau tata tertib yang diterapkan membuat santri belajar untuk berperilaku agar sesuai dengan nilai-nilai secara sosial, serta dapat membentuk remaja atau santri menjadi orang dewasa yang produktif (Way, 2011).
Menurut Tajiri (2011) mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap aturan diantaranya adalah faktor internal, meliputi:
a. Kontrol diri, dibutuhkan kesadaran diri dan kontrol diri agar santri mampu menghadapi situasi yang sulit. Kesadaran diri akan tugas dan
18
kewajiban santri sebagai peserta didik di pondok pesantren mampu menanggulangi kondisi emosi negatif yang dirasakan santri akibat tekanan lingkungan. Selain itu kesadaran diri akan tujuan santri masuk pondok pesantren akan mampu memunculkan rasa tanggung jawab pada diri santri. Tanggung jawab yang dimiliki santri akan membentuk kontrol diri yang mana dapat membantu santri untuk mengendalikan pengaruh buruk dari lingkungan dan kondisi negatif dalam diri santri seperti malas dan bosan.
b. Kondisi emosi, santri yang berada pada masa remaja mengalami masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa dengan perubahan baik dari segi fisik maupun psikis yang terkadang menimbulkan reaksi emosional. Remaja yang tinggal di lingkungan pondok pesantren dengan padatnya jadwal kegiatan dan ketatnya peraturan yang harus dipatuhi membuat santri mengalami tekanan yang dapat menimbulkan kondisi tidak menyenangkan atau emosi negatif seperti badmood, malas, bosan, lelah atau perasaan ingin melampiaskan terhadap suatu hal yang menyebabkan santri melakukan pelanggaran terhadap aturan.
c. Penalaran Moral, Santri yang mampu melaksanakan tanggung jawab memiliki penalaran moral yang baik, dimana santri telah mampu untuk
memahami baik dan buruk suatu tindakan serta mampu
mempertanggung jawbakan setiap perbuatan yang telah dilakukan. Santri yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas penilaian baik-buruknya sesuatu, semakin tinggi tingkat penalaran seseorang maka semakin tinggi pula tingkatan moral
19
yang dimiliki. Remaja dengan tingkat penalaran moral yang matang mampu mengenal konsep-konsep moralitas seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, kedisiplinan dan sebagainya.
Faktor lain yaitu faktor eksternal, meliputi:
a. Keluarga, sebagai santri atau remaja yang tinggal di pondok pesantren sangat membutuhkan dukungan dan pengertian dari keluarga untuk dapat melewatinya. Kurangnya dorongan, dukungan dan bimbingan dari keluarga membuat remaja merasa begitu bebas terhadap setiap tindakan yang dilakukan sehingga melupakan akan tanggung jawab sebagai seorang remaja yang mandiri. Hubungan orangtua yang suportif memungkinkan remaja untuk dapat mengungkapkan perasaan positif maupun negatif yang dapat membantu perkembangan sosial remaja dan mencapai kemandirian yang bertanggung jawab.
b. Hubungan dengan teman sebaya, Santri yang berada dalam usia remaja cenderung banyak dipengaruhi oleh perilaku teman sebaya. Kehidupan santri di pondok pesantren yang jauh dari orangtua mengharuskan santri lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya sehingga setiap perilaku yang ditunjukkan merupakan wujud dari perilaku yang juga dilakukan oleh anggota kelompok lainnya. Teman sebaya berpotensi untuk menghilangkan pengaruh positif dari orangtua dan guru sehingga mampu mengembangkan perilaku menyimpang atau kenakalan pada remaja, seperti ketidakpatuhan yang ditunjukkan oleh santri di pondok pesantren. c. Sistem sekolah yang berupa kebijakan peraturan, Pengurus organisasi
sekolah yang menaati aturan yang telah dibuat mampu menjadi teladan
20
bagi santri dalam mematuhi aturan, sedangkan pengurus yang tidak menaati tata tertib dan melanggar aturan menjadi contoh bagi santri untuk melakukan pelanggaran yang sama. Kurangnya teladan dari guru serta pengurus organisasi sekolah dalam memberikan contoh yang baik merupakan salah satu alasan timbulnya perilaku menentang santri terhadap aturan yang ditandai dengan pelanggaran terhadap tata tertib pondok pesantren.
d. Lingkungan sekolah, suasana dari lingkungan sekitar atau sekolah sangat diperhatikan supaya para santri merasa nyaman dengan dilingkungan yang meraka gunakan selama ini. Apabila santri tidak merasa nyaman dengan lingkungan sekolah maka meeka akan melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri dan banyak melakukan pelanggaran aturan yang ada disekolahnya.
e. Figur guru, Setiap tindakan santri diawasi oleh guru dan pengurus organisasi sekolah sebagai pembuat kebijakan di lingkungan pondok pesantren, sehingga kedua sosok tersebut dijadikan sebagai figur atau teladan bagi santri di pondok pesantren. Guru yang mampu menegakkan aturan dengan adil dan konsisten mampu membuat santri mematuhi aturan yang telah ditetapkan, sedangkan guru yang kurang mampu bersikap adil dan menegakkan aturan secara konsisten akan menghambat proses penanaman nilai atau karakter disiplin dan patuh terhadap aturan pada santri.
f. Hukuman yang diberikan oleh guru, Hukuman atau sanksi yang diberikan sebagai konsekuensi yang harus diterima oleh santri akibat pelanggaran
21
yang dilakukan juga mempengaruhi kepatuhan santri. Hukuman yang diberikan secara adil dan memberikan efek jera bagi santri yang melanggar dapat mengurangi ketidakpatuhan santri terhadap aturan, sedangkan hukuman yang tidak adil dan kurang mendidik bagi santri kurang mampu untuk mendisiplinkan santri karena kurangnya efek jera sehingga santri dapat mengulangi pelanggaran yang sama.
Sikap atau perilaku taat terhadap aturan tidak hanya didasarkan pada norma sosial yang berlaku saja, namun dibutuhkan dorongan dalam diri individu yang berupa pengendalian diri. Pengendalian diri (Self Control) merupakan upaya atau keinginan untuk menumbuhkan keteraturan diri, ketaatan pada peraturan/tata tertib yang muncul dari kesadaran internal individu akan pikiran-pikiran dan perasaannya (Widodo, 2010).
Menurut Normasari, 2013 dikatakan ada empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
1) Normativist, biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu:
a) Kepatuhan terhadap nilai atau norma itu sendiri;
b) Kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri; c) Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari
peraturan yang telah dibuat.
2) Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
3) Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
22
4) Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan santri diantaranya: kondisi psikologis santri seperti rasa bosan, malas, lelah,
badmood, kurang bisa mengatur waktu, pelampiasan, rasa tanggung jawab,
kesadaran diri dan kontrol diri. Santri yang memiliki kesadaran diri akan tugas dan kewajiban di pondok pesantren mampu menunjukkan tanggung jawab terhadap setiap tindakan yang dilakukan sehingga mampu memilah baik dan buruk suatu tindakan. Tanggung jawab yang dimiliki santri akan membentuk kontrol diri yang mana dapat membantu santri untuk mengendalikan pengaruh buruk dari lingkungan dan kondisi negatif dalam diri santri seperti malas dan bosan (Tajiri, 2011).
Bertanggung jawab terhadap segala tindakan mampu membuat remaja belajar untuk tidak mengulangi hal-hal yang memberikan dampak negatif bagi dirinya (Desmita, 2011). Didukung dengan penjelasan mengenai faktor yang mendukung kepatuhan diantaranya adalah dukungan diri sendiri yang meliputi: motivasi, kesadaran diri, kontrol diri, rasa hormat serta kebutuhan untuk merefleksikan situasi dan menjadikan diri bertanggung jawab (Widodo, 2010).
Selain itu faktor eksternal seperti: pengaruh teman, kondisi lingkungan, keteladanan guru, keteladanan dari pengurus organisasi sekolah, penegakkan aturan dan hukuman juga mempengaruhi kepatuhan santri terhadap aturan. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan mengenai faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan terhadap aturan meliputi keluarga, hubungan dengan teman sebaya, sistem sekolah yang berupa kebijakan
23
peraturan, penegakkan aturan oleh guru, lingkungan sekolah, demografi (usia, suku, jenis kelamin), keteladanan dan figur guru, serta hukuman yang diberikan oleh guru (Stearns, 2014).
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kepatuhan terhadap peraturan adalah sikap dan perilaku taat dalam menjalankan seluruh peraturan yang telah ditetapkan dengan penuh kesadaran. Pelanggaran yang terjadi dapat dilakukan oleh siapa saja, begitu juga oleh remaja termasuk pada santri serta perilaku kepatuhan yang dilakukan oleh santri pada dasarnya untuk menyesuaikan diri pada norma dan aturan pesantren. Semuanya akan berguna untuk kelancaran bersama dalam mencapai keberhasilan agar menjadi kebiasaan, dan nantinya meraka akan seperti yang diharapkan menjadi manusia yang memiliki mental spiritual yang tinggi dan mengamalkannya imu yang telah dimiliki.
B. Pondok pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Pondok adalah bangunan untuk tempat sementara, banguan tempat tinggal berpetak-petak (KBBI, 2014). Pondok berasal dari bahasa Arab yaitu “funduq” yang artinya hotel, asrama, rumah dan tempat tinggal (Mastuhu, 2001). Pondok diartikan sebagai sebuah asrama pendidikan islam tradisional yang para santrinya tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan kiai (Dhofier, 1985).
Pesantren berasal dari kata santri, dengan awlan “pe” dan akiran “an” yang berarti tempat tinggal santri (Dhofier; 1982). Pesantren pada prinsipnya adalah sebuah asrama pendidikan tradisional dimana santri
24
tinggal bersama dan belajar dalam bimbingan kiai. Menurut Dhofier (1982) ada tiga alasan utama pesantren harus menyediakan asrama,
pertama kemasyhuran sang kiai dan kedalaman wawasan tentang islam,
hal tersebut akan menarik santri-santri dari jauh untu tinggal di asrama.
Kedua, hampir setiap pesantren berada di desa-desa yang tidak tersedia
perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung santri, dengan demikian keberadaan asrama sangat diperlukan. Ketiga, adanya sikap timbal balik antar kiai dan santri, dimana para santri menganggap kiai seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kiai menganggap santri sebagai titipan tuhan yang selalu harus dibimbing dan melindunginya.
2. Asal Mula Adanya Pondok Pesantren
Pesantren merupakan fenomena yang sudah cukup lama, selama dengan datangnya agama Islam ke Indonesia, walaupun jumalahnya masih sangat terbatas (Dhofier. 1982). Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman tetapi makna keaslian Indonesia, sebab memang cikal bakal lembaga pesantren memang sudah ada pada masa Hindu-Budha dan Islam tinggal melanjutkan, melestarikan, dan mengislamkan saja (Madjid, 1997).
Pesantren sudah ada sejak beberapa abad yang silam semenjak datangnya Islam ke Indonesia, kehadirannya sangat berarti bagai kelangsungan pendidikan islam seutuhnya, karena pesantren merupakan pusat pembelajaran yang mendalami pendidikan Islam seutuhnya. Maka dari itu pesantren memiliki makna penting bagi kalangan umat Islam.
25
3. Jenis-Jenis Pondok Pesantren
Berdasarkan ciri-cirinya pesantren dapat dibedakan antara dua jenis pesantren, yaitu pesantren salafi yang mengutamakan pada pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan teks-teks bahasa Arab Tradisional, juga masih mempertahankan tradisi-tradisi lama sebagai norma dan etika yang berlaku di pesantren yang sudah ada sejak lama. Sedangkan itu pesantren modern (pesantren khanafi) tampil dengan gayanya sendiri dengan mengutamakan pemikiran yang bersifat rasional, dan pesantren modern telah mampu menerima hal-hal yang baru dengan membrikan pengetahuan umum dan membangun sekolah-sekolah formal bahkan berani tersedianya laboratorium komputer dan pelatihan keterampilan lainnya salah satunya penggunaan laboraturium bahasa Arab dan bahasa Inggris , olahraga dan lain sebagainya.
4. Unsur-Unsur Yang Terdapat Di Pesantren
Pesantren merupakan komplek pendidikan yang meliputi 5 elemen pokok: kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab klasik Islam (Dhofier, 1985). Dari kelima eleman pesantren yang diuraikan sebagai berikut:
i. Kiai (guru) adalah elemen yang paling berpengaruh dari suatu pesantren, sebagai pendiri dan penagsuh, kiai juga merupakan faktor utama untuk maju atau mundurnya sebuah pesantren.
ii. Santri : bagian yang penting di pesantren karena santri adalah penghuni yang tinggal dipesantren. Santri dibagi menjadi dua klasifikasi sebagai berikut : pertama, santri mukim yaitu santri yang berasal dari daerah
26
yang jauh dan menetap dalam pesantren. Kedua, santri kalong yaitu santri yang tidak tinggal di pesantren, mereka hanya datang pada saat waktu belajar saja lalu setelah pengajian usai meraka pulang ke rumah masing-masing. Karena sebagian besar dari mereka berasal dari lokasi yang dekat dekat pesantren atau masih satu lingkungan dengan pesantren.
iii. Masjid : kedudukan masjid adalah sebagai pusat pendidikan dalam tradisi yang ada di pesantren, yang merupakan manifestasi dari system pendidikan Islam secara tradisional, dengan kata lain adanya kesinambungan dengan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid.
iv. Pondok : adalah asrama pendidikan yang dihuni oleh santri dibawah bimbingan kiai atau pengasuh.
v. Pengajaran kitab-kitab Islam Klasik: semuanya dikaji sesuai tahapan atau tingkatan pembahasan berdasarkan karangan-karangan ulama uyang menganut paham Syafi’iyah merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.
C. Kepatuhan Santri dalam Menaati peraturan di Pondok Pesantren
Kepatuhan (obedience) didefinisikan sebagai sikap berdisiplin atau perilaku taat terhadap suatu perintah maupun aturan yang ditetapkan, dengan penuh kesadaran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2014). Disisi lain kepatuhan dalam dimensi pendidikan dinilai sebagai suatu kerelaan seseorang dalam tindakan terhadap perintah dan keinginan dari pemilik otoritas atau guru (Normasari, dkk, 2013).
27
Pesantren pada prinsipnya adalah sebuah asrama pendidikan tradisional dimana santri tinggal bersama dan belajar dalam bimbingan kiai. Menurut Dhofier (1982) ada tiga alasan utama pesantren harus menyediakan asrama, pertama kemasyhuran sang kiai dan kedalaman wawasan tentang islam, hal tersebut akan menarik santri-santri dari jauh untuk tinggal di asrama. Kedua, hampir setiap pesantren berada di desa-desa yang tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung santri, dengan demikian keberadaan asrama sangat diperlukan. Ketiga, adanya sikap timbal balik antar kiai dan santri, dimana para santri menganggap kiai seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kiai menganggap santri sebagai titipan tuhan yang selalu harus dibimbing dan melindunginya.
Peraturan sendiri diartikan sebagai seperangkat norma-norma yang mengandung perintah dan larangan, yang di dalamnya mengatur tentang bagaimana individu seharusnya berperilaku, apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan (Kusumadewi, dkk, 2012). Peraturan didefenisikan sebagai sesuatu yang mengandung kata-kata perintah dan larangan, serta apa yang harus dilakukan, tidak sedikit yang mengandung paksaan (Hadikusuma, 1992).
Pondok pesantren Roudlotul Qur’an mempunyai peraturan yang harus dipatuhi oleh semua santri. Peraturan yang berlaku yaitu :
1) Menjaga nama baik PPRQ..
2) Membaca al-qur’an sebelum sholat jama’ah.
28
3) Wajib mengikuti sholat berjama’ah baca wirid serta do’a sholat ba’diah.
4) Mengikuti seluruh kegiatan yang telah ditetapkan PPRQ.
5) Menggunakan bahasa Arab, Inggris, Indonesia, dan bahasa Jawa sopan (krama).
6) Mengenakan pakaian muslim-muslimah dimanapun berada.
7) Belajar dengan tekun dikamar maupun ditempat belajar lainnya dengan lainnyayang telah ditentukan.
8) Dilarang keluar dari pondok tanpa seizin pengurus/pengasuh
9) Dilarang membawa HP, laptop, dan buku-buku yang dilarang di PPRQ,
10) Berbicara kasar, kotor dan menyakitkan,
11) Menerima tamu laki-laki atau perempuan yang bukan mahromnya Sikap atau perilaku taat terhadap aturan tidak hanya didasarkan pada norma sosial yang berlaku saja, namun dibutuhkan dorongan dalam diri individu yang berupa pengendalian diri. Pengendalian diri (Self Control) merupakan upaya atau keinginan untuk menumbuhkan keteraturan diri, ketaatan pada peraturan/tata tertib yang muncul dari kesadaran internal individu akan pikiran-pikiran dan perasaannya (Widodo, 2010).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan santri diantaranya: kondisi psikologis santri seperti rasa bosan, malas, lelah,
badmood, kurang bisa mengatur waktu, pelampiasan, rasa tanggung jawab,
kesadaran diri dan kontrol diri. Santri yang memiliki kesadaran diri akan tugas dan kewajiban di pondok pesantren mampu menunjukkan tanggung
29
jawab terhadap setiap tindakan yang dilakukan sehingga mampu memilah baik dan buruk suatu tindakan. Tanggung jawab yang dimiliki santri akan membentuk kontrol diri yang mana dapat membantu santri untuk mengendalikan pengaruh buruk dari lingkungan dan kondisi negatif dalam diri santri seperti malas dan bosan (Tajiri, 2011).
Maka dari perilaku kepatuhan yang dilakukan oleh santri pada dasarnya untuk menyesuaikan diri pada norma dan aturan pesantren, dengan demikian akan berguna untuk kelancaran bersama dalam mencapai keberhasilan agar menjadi kebiasaan, dan nantinya meraka diharapkan menjadi pendakwah yang memiliki mental spiritual yang tinggi dan sehingga bisa disebarluaskan kepada masyarakat baik melalui perbuatan atau ucapan dan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kepatuhan terhadap peraturan adalah sikap dan perilaku taat dalam menjalankan seluruh peraturan yang telah ditetapkan dengan penuh kesadaran.
D. Kerangka Berpikir
Kepatuhan bisa terjadi dalam berbagai cara, kepatuhan yang dilakukan santri yaitu “takzim” khidmad yang artinya mengabdi, “ abdi yang stia” (KBBI, 1996). Kepatuhan terjadi ketika adanya peraturan yang dibuat oleh pihak pondok pesantren atau kiai, sehingga perilaku individu dapat dikontro dan diarahkan oleh aturan dalam kelompok itu sendiri, maka hal tersebut akan efektif dengan adanya sanksi yang dibuat dan disepakati bersama (Wiley, 1961).
30
Peraturan sendiri diartikan sebagai seperangkat norma-norma yang mengandung perintah dan larangan, yang di dalamnya mengatur tentang bagaimana individu seharusnya berperilaku, apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan (Kusumadewi, dkk, 2012).
Pondok pesantren merupakan lembaga yang mendukung nilai-nilai agama di kalangan masyarakat Islam. Faktor pendukung dalam berjalannya pendidikan pesentren adalah adanya pondok maka santri bisa belajar bersama dalam naungan kiai dipesantren, pondok merupakan salah satu elemen penting karena pondok merupakan tempat tinggal bagi para santri yang ingin belajar agama.
Maka dari itu perilaku kepatuhan yang dilakukan oleh santri pada dasarnya untuk menyesuaikan diri pada norma dan aturan pesantren, dengan demikian akan berguna untuk kelancaran bersama dalam mencapai keberhasilan agar menjadi kebiasaan yang baik.
31
Gambar I. Kerangka Berpikir Kepatuhan Aspek-aspek Taat terhadap Pemegang Otoritas Rendah Orang yang Mematuhi Taat terhadap Kondisi yang Terjadi Paling sering melanggar peraturan yang ada
dan mendapatkan hukuman Tinggi Sedang Masih sering melanggar peraturan yang berlaku dan mendapat hukuman Menaati semua peraturan yang berlaku dan tidak pernah mendapat
hukuman.