17
BAB II
Kajian Pustaka
PengantarKehadiran pariwisata pada sebuah daerah menjadi salah satu sektor yang penting yang dapat memberikan manfaat bagi peningkatan ekonomi masyarakat daerah setempat. Bagian kedua dari bab ini merupakan pembahasan mengenai beberapa literatur yang digunakan dalam menganalisis hasil data penelitian mengenai pemanfaatan kehadiran pariwisata terhadap perkembangan usaha akomodasi di daerah Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku seperti konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development), konsep mata pencaharian berkelanjutan (sustainable livelihood), dan konsep pembangunan ekonomi lokal. Untuk mencapai pembangunan pariwisata berkelanjutan melalui mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat maka akan didukung dengan konsep pemanfaatan aset dan diversifikasi mata pencaharian masyarakat.
Konsep Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Pada bagian ini, akan dibahas beberapa kajian teoritik dari pengembangan pariwisata berkelanjutan yang akan dijelaskan sebagai berikut. Dalam sub bab ini juga saya akan menguraikan beberapa pandangan peneliti terdahulu dalam menguraikan konsep-konsep pengembangan pariwisata yang berkelanjutan.
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Kemudian pada tahun 1987 konsep ini dipopulerkan dalam Our Common Future atau Brundtland Report atau laporan Brundtland tahun 1987 yang menyatakan bahwa “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of
18
future generations to meet their own needs”. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa dalam pembangunan berkelanjutan, setiap orang dapat memenuhi kebutuhannya pada saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam World Trade Organization (1993), mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang mencakup keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan sosial dan budaya serta keberlanjutan ekonomi baik untuk generasi saat ini maupun kepada generasi yang akan datang.
Dalam perjalanan waktu, Pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan dan penggerak roda perekonomian tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan oleh pemerintah sesuai dengan tujuan pembangunan nasional (Subadra, 2006). Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan diartikan sebagai proses pengelolaan pembangunan pariwisata yang dilakukan dengan mengembangkan potensi pariwisata yang dimiliki pada sebuah daerah dan melibatkan masyarakat sebagai sebagai pemilik dari sumber daya pariwisata untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam rangka mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pemenuhan akan kebutuhan wisatawan selama berada pada sebuah daerah dengan memperhatikan kelestarian sumber daya yang dibutuhkan untuk pembangunan pada masa mendatang, pengertian pembangunan pariwisata berkelanjutan ini pula diartikan “ Sustainable tourism is a tourism which concerns with management of then sustainable development of the natural, built, social and cultural tourism resources of the host community in order to meet the fundamental criteria of promoting their economic well-being, preserving their nature, culture, social life, intra and inter-generational equity of costs and benefits, securing their life sufficiency and satisfying the tourists’ needs” (Butler, 1991).
Selain itu, Wall (1993 dalam Suwena 2010 & Dany 2012), menekankan bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan tidak hanya pada ekologi dan ekonomi, tetapi juga kepada kebudayaan berkelanjutan karena kebudayaan juga merupakan sumber daya penting dalam pembangunan pariwisata. Oleh karena itu Suwena (2010), mengkategorikan suatu kegiatan wisata yang dapat dianggap
19 berkelanjutan ketika telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: “Pertama, secara ekologi berkelanjutan, yaitu pembangunan pariwisat yang tidak menimbulkan efek negatif terhadap ekosistem setempat. Selain itu konservasi merupakan kebutuhan yang harus diupayakan untuk melindungi sumber daya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan pariwisata; Kedua, secara sosial dapat diterima, yaitu mengacu kepada kemampuan penduduk lokal untuk menyerap usaha pariwisata (industri dan wisatawan) tanpa menimbulkan konflik sosial; Ketiga, secara kebudayaan dapat diterima, yaitu masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya wisatawan yang cukup berbeda (kultur wisatawan); Keempat, secara ekonomi menguntungkan, yaitu keuntungan yang didapat dari kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.
Adapun pandangan mengenai pariwisata berkelanjutan seperti yang didefenisikan oleh WTO (2004) dimana pembangunan pariwisata yang berkelanjutan merupakan sebuah proses dan sistem pengembangan pariwisata yang bisa menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya alam dan kehidupan sosial-budaya serta memberikan manfaat ekonomi kepada generasi sekarang hingga generasi yang akan datang guna memberantas atau mengentasakan kemiskinan. Dalam hal ini, upaya pengembangan pariwisata yang dilakukan dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat dimana pariwisata itu hadir dan berkembang dalam upaya untuk mengurangi masalah kemiskinan yang terjadi melalui berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan penghasilan dari kegiatan pariwisata. Jika masyarakat memperoleh manfaat dari kegiatan pariwisata maka dengan sendirinya akan menjaga sumber daya alam yang dimiliki, dengan demikian konservasi alam juga akan terjaga. Masyarakat lokal yang tinggal di sekitar objek wisata disebut sebagai “gateway communities” (Davies & Gahill, 2005 dalam Vincente, 2015). Masyarakat inilah yang sering berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata baik secara umum dan khususnya pariwisata berbasis lingkungan.
Untuk mencapai konsep pembangunan yang berkelanjutan, diperlukan partisipasi dan keterlibatan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan mampu untuk mencapai tujuan
20
dari pembangunan secara efektif yang mendukung aspek keberlanjutan (Vincente, 2015). Keterlibatan masyarakat untuk mencapai pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dilatarbelakangi oleh upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup melalui mata pencaharian yang dilakukan dalam kegiatan pariwisata yang dapat memberikan manfaat secara ekonomis bagi kehidupan rumah tangga tanpa membahayakan kemampuan generasi akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan sumber daya alam. Upaya tersebut merupakan usaha yang dilakukan oleh masyarakat agar dapat mencapai penghidupan yang memadai dan berkelanjutan (UNDP, 2007).
Dalam upaya untuk mencapai konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, mampu untuk mencapai tujuan pembangunan yang secara efektif dan efisien yang dapat mendukung aspek keberlanjutan melalui mata pencaharian yang dapat dilakukan dalam mendukung jalannya kegiatan pariwisata. Dengan demikian, konsep mata pencaharian yang berkelanjutan menjadi bagian penting yang sangat sebagai pendukung pariwisata berkelanjutan. Berikut ini akan diuraikan kajian tentang konsep mata pencaharian berkelanjutan.
Konsep Mata Pencaharian berkelanjutan
Livelihood sering diartikan sebagai sumber penghidupan atau mata pencaharian. Sumber penghidupan yang berkaitan dengan kemampuan (capabilities), kepemilikan sumber daya atau aset dan aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan dalam melangsungkan kehidupan. Konsep mata pencaharian (livelihood) sangat penting untuk dapat memahami coping strategies karena merupakan bagian dari strategi mata pencaharian (livelihood strategies). Sehingga livelihood dapat dimaknai sebagai strategi untuk memenuhi kebutuhan mereka atau peningkatan hidup (Chambers, 2004).
Konsep livelihood pertama kali dikembangkan di Inggris dan dipopulerkan oleh Chambers dan Conway pada akhir tahun 1990-an, melalui institusi Department for International Development (DFID).
21 Ide tentang livelihood didesain sedemikian rupa sehingga sangat relevan untuk mengurangi angka kemiskinan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang (DFID, 1999).
Defenisi livelihood menurut Chambers (1991 dalam William, 2003) A livelihood comprises the capability, assets (stores, resources, claims, access) and activities required for a means of living. Sebuah mata pencaharian terdiri dari kemampuan dan asset (dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana hidup. Berdasarkan defenisi ini maka ada dua komponen dalam konsep livelihood yaitu: kemampuan untuk mendapatkan mata pencaharian, dan aset (toko, sumber daya, klaim, akses).
Livelihood akan berkelanjutan (sustainable) apabila penghidupan yang dijalani oleh individu atau rumah tangga mampu untuk mengatasi masalah dan memulihkan segala tekanan dan goncangan, dengan meningkatkan kemampuan dan aset yang dimiliki sebagai sarana hidup untuk memperoleh kesejahteraannya, serta tidak menurunkan kualitas sumber daya alam (Chambers, 1991 dalam Saragih, 2007).
Selain itu menurut Meikle, Ramasut dan Walker (2001) untuk memahami konsep mata pencaharian berkelanjutan adalah apresiasi bahwa kemiskinan bukanlah kondisi stabil, permanen, dan statis. Terkait dengan gambaran tersebut, maka gambaran dari mata pencaharian berkelanjutan oleh ketiga ahli tersebut adalah sebagai berikut: (a) memberikan kemampuan, aset (materi dan sosial) dan aktivitas yang dapat diakses oleh laki-laki dan perempuan miskin yang hidup bersama. Banyaknya kesempatan yang ada berbeda menurut orang yang hidup dan atau memiliki akses kepada sumberdaya di kampung, sub-urban, dan kota, (b) dinamis dan mudah diadaptasi. Mata pencaharian berkelanjutan memiliki kemampuan untuk merespons perubahan dan secara berlanjut diperbaharukan melalui pengembangan dari strategi adaptif kemudian, dapat bangkit dari tekanan dan kejutan, stabil dan berlanjut dalam jangka panjang, (c) berhubungan ke prioritas, interpretasi dan kemampuan masyarakat miskin. Masyarakat di pusat kerangka mata pencaharian dianggap sebagai aktor yang mampu, bukan korban yang tidak berdaya. Mata
22
pencaharian menggambarkan kemakmuran, pengetahuan, strategi adaptif dan orang miskin (d) rumah tangga dan komunitas terpusat pada alokasi sensitif. Anggota rumah tangga berkontribusi pada berbagai cara tergantung peran, tanggung jawab, dan kemampuan. Rumah tangga memiliki modal sosial. Mereka terintegrasi kepada bahan sosial yang lebih luas, dan menggambarkan kepada hubungan dengan bermacam-macam individu dan kelompok dalam komunitas seperti, kesempatan pada bisnis lokal dan pemerintahan. (e) meraih komponen yang disebutkan diatas tanpa merongrong dasar sumberdaya alam
Bagi Scoones (1999 dalam Sumarti, 2007) salah satu pendekatan dalam memahami masalah kemiskinan adalah dengan melihat akan keberlanjutan dari mata pencaharian (sustainable livelihoods). Pendekatan ini tidak hanya berbicara mengenai pendapatan (income poverty), dan pekerjaan (jobs) tetapi lebih holistic dengan memahami kehidupan orang miskin, dengan kata lain memahami orang miskin harus bersifat komprehensif dengan berbagai elemen penting yang harus dipahami secara benar. Lebih lanjut menurut menurut Scoones di dalam sistem penghidupan rumah tangga terdapat tiga strategi yang dapat dilakukan oleh penduduk petani melalui intensifikasi pertanian, diversifikasi mata pencaharian, dan migrasi. Berdasarkan pandangan Scoones inilah konsep sustainable livelihood dapat dilakukan bagi individu ataupun rumah tangga yang mengalami kesulitan ekonomi. Berbagai strategi penghidupan yang dilakukan saat mengalami kesulitan ekonomi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan untuk menjaga keberlanjutan kehidupan rumah tangganya.
Wacana tentang sustainable livelihood dimulai pada pertengahan tahun 1980 hingga 1990-an karena beberapa peneliti mencari perspektif pembangunan secara komprehensif tentang penghidupan dengan menggabungkan prinsip-prinsip dan temuan Brundland Commission (de Silva, 2013). Keberlanjutan memiliki makna yang luas, tidak hanya sekedar sebagai sarana hidup yang dapat mendukung atau mengatasi kesulitan ekonomi dari waktu ke waktu, tetapi keberlanjutan merupakan bagian dari pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang, yang akan memenuhi kebutuhan hidupnya.
23 Defenisi mata pencaharian yang berkelanjutan (sustainable livelihood) menurut Carney (1998):
A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with and recover from stresses and shocks and maintain or enchance its capabilities and assets both now and in the future, while not undermining the natural resource base.
Dari pengertian di atas maka mengandung makna bahwa individu atau rumah tangga memiliki mata pencaharian sebagai sarana hidup baik di waktu sekarang dan yang akan datang. Serta dapat bertanggung jawab terhadap lingkungan dengan tidak merusak sumber daya alam. Dengan demikian pendekatan sustainable livelihood juga dapat mengidentifikasikan berbagai kemungkinan penyebab adanya hambatan untuk dapat memperoleh mata pencaharian.
Konsep mata pencaharian berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat melalui kehadiran pariwisata pada sebuah daerah akan berdampak juga kepada pertumbuhan pembangunan ekonomi lokal. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi lokal memiliki peran penting dalam pembangunan pariwisata sebagai salah satu indikator keberhasilan mencapai mata pencaharian berkelanjutan dalam sebuah upaya pembangunan pariwisata yang dijalankan pada sebuah daerah. Dengan demikian, kajian tentang pembangunan ekonomi lokal akan diuraikan sebagai berikut.
Pembangunan Ekonomi Lokal
Untuk mencapai pembangunan ekonomi pada sebuah daerah maka diperlukan upaya untuk mengembangkan ekonomi lokal yang ada di daerah setempat. Pengembangan ekonomi lokal (PEL) berupaya untuk melakukan pemanfaatan sumber daya lokal yang ada yaitu sumber daya fisik, manusia, dan kelembagaannya. Dengan demikian pembangunan ekonomi lokal berintikan pembangunan yang didasarkan pada kemampuan lokal yang semakin berkembang atau endogeneous development (Supriyadi, 2007). Menurut (Munir, 2007)
24
pembangunan ekonomi lokal adalah suatu proses yang mencoba merumuskan kelembagaan-kelembagaan pembangunan di daerah, peningkatan kemampuan SDM untuk menciptakan produk-produk yang lebih baik serta pembinaan industri dan kegiatan usaha pada skala lokal. Jadi, pengembangan wilayah dilihat sebagai upaya pemerintah daerah bersama masyarakat dalam membangun kesempatan-kesempatan ekonomi yang cocok dengan SDM, dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan kelembagaan secara lokal. Dalam istilah lainnya, pembangunan ekonomi lokal merupakan pemanfaatan faktor-faktor internal lokal guna pengembangan ekonomi lokal (locally based development).
Menurut Blakely dalam Supriyadi (2007), untuk mencapai keberhasilan dalam pengembangan ekonomi lokal maka terdapat beberapa indikator yang harus dilihat, seperti: 1) perluasan kesempatan bagi masyarakat kecil dalam kesempatan kerja dan usaha; 2) perluasan bagi masyarakat untuk dapat meningkatkan pendapatan; 3) keberdayaan lembaga usaha mikro dan kecil dalam proses produksi dan pemasaran; 4) keberdayaan kelembagaan jaringan kerja kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat lokal. Kemitraan pengembangan ekonomi lokal mengintegrasikan upaya mobilisasi para pelaku, organisasi dan sumber daya, serta pengembangan kelembagaan baru melalui dialog dan kegiatan-kegiatan strategik (Dendi et al., 2004). Pengembangan ekonomi lokal merupakan sebuah pendekatan yang menghubungkan daerah pedesaan atau daerah terbelakang dengan sistem ekonomi pasar guna memacu kegiatan ekonomi daerah tersebut.
Daerah akan menerima manfaat berupa peningkatan kegiatan ekonomi sebagai akibat dari peningkatan pendapatan rumah tangga, di samping memperoleh pendapatan secara langsung (Boulle et al., 2002). Pengembangan ekonomi lokal dan pengentasan kemiskinan mustahil dilakukan tanpa kemauan politik dan dukungan pemerintah, baik dalam menjamin kebijakan yang akomodatif maupun prioritas sumberdaya yang menyangkut infrastruktur, fasilitas dan dukungan jasa-jasa. Selain pihak pemerintah, ada tiga stakeholder kunci lain yang harus diajak ikut serta dalam setiap proses pengembangan ekonomi
25 lokal yakni, sektor swasta, masyarakat dan produsen (Boulle et al., 2004).
Pengembangan ekonomi lokal diarahkan untuk mencapai tiga tujuan yang saling berkaitan, yaitu: a) penciptaan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja; b) berkurangnya jumlah penduduk miskin; c) terwujudnya mata rantai kehidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) (Dendi et al., 2004). Menurut Wowor (2011) aktivitas mikro yang terjadi pada sebuah daerah melalui pembangunan pariwisata dalam pembangunan ekonomi lokal akan menciptakan lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Terciptanya lapangan kerja dilihat sebagai dampak langsung dari pengembangan pariwisata dari terserapnya tenaga kerja di sektor usaha akomodasi, rumah makan, biro perjalanan, dan tempat-tempat rekreasi lainnya. Terserapnya tenaga kerja dalam sektor pariwisata karena sifat industri pariwisata itu sendiri yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja daripada mesin.
Dengan hadirnya pariwisata, masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi objek wisata dapat menerima manfaat dalam upaya untuk peningkatan ekonomi rumah tangga dengan penyediaan jasa dan produk yang ditawarkan kepada wisatawan. Sedangkan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dengan cara memberikan modal serta pelatihan bagi masyarakat setempat melalui pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (Sulistiani, 2011). Menurut Antonio (2015) penyediaan jasa dan produk untuk kebutuhan wisatawan yang dapat dilakukan oleh masyarakat setempat berupa penyediaan penginapan, penyediaan rumah amakan, penyediaan alat transportasi, jasa sebagai pekerja, menjadi pemandu wisata, dan juga penyediaan produk souvenir berupa kerajinan tangan khas daerah setempat.
Penyerapan tenaga kerja juga secara tidak langsung terjadi jika pengembanagan sektor pariwisata mendorong sektor lainnya untuk untuk berkembang di luar pariwisata. keterkaitan (linkages) antar berbagai sektor yang berada pada sebuah daerah dapat dijelaskan sebagai akibat permintaan sektor pariwisata terhadap produk dari sektor lainnya seperti berbagai hotel membutuhkan beras, sayur
26
mayur, ikan, dan daging yang dapat diperoleh dari masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai petani, nelayan, maupun peternak. Hubungan inilah yang disebutkan oleh Meyer (2006 dalam Wowor, 2011) sebagai multiplier effect. Jika hal ini dapat terjadi maka akan memberikan peningkatan bagi kehidupan ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah dimana pariwisata itu hadir.
Melalui kerja sama yang dilakukan oleh pihak-pihak yang saling membutuhkan dapat dilihat bahwa telah terjalin keterkaitan (linkages) antar sesama pelaku usaha yang memiliki barang dan jasa yang berbeda dalam menunjang jalannya kegiatan pariwisata pada sebuah daerah. Meyer (dalam Wowor, 2011) dalam penelitiannya di negara-negara Karibia menemukan bahwa pembangunan pariwisata mempunyai dampak langsung terhadap pembangunan ekonomi lokal jika masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata. Misalnya, para pengusaha jasa wisata yang berkembang di suatu kawasan wisata harus mendukung usaha lokal yang dijalankan oleh masyarakat melalui pembelian produk yang dihasilkan oleh masyarakat setempat. Ketika hal ini dapat dilakukan maka pengusaha lokal akan dianggap sebagai mitra usaha.
Melalui kehadiran pariwisata pada sebuah daerah masyarakat daerah setempat dapat memperoleh manfaat dalam upaya untuk dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga. Dan upaya yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan diversifikasi mata pencaharian dalam mendukung jalannya kegiatan pariwisata pada sebuah daerah. Dengan demikian konsep mengenai diversifikasi mata pencaharian juga menjadi bagian penting sebagai pendukung untuk dapat mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan. Berikut ini akan diuraikan kajian tentang diversifikasi mata pencaharian.
Diversifikasi Mata Pencaharian (Livelihood Diversification)
Dewasa ini diversifikasi mata pencaharian sangat penting dalam menunjang ekonomi keluarga. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, salah satu strategi untuk mengatasi masalah kesulitan ekonomi yang dapat dilakukan oleh individu ataupun rumah tangga
27 adalah dengan melakukan upaya diversifikasi mata pencaharian (livelihood diversification) (Adepoju, 2013).
Diversifikasi mata pencaharian adalah sebuah upaya yang dilakukan masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup dengan cara melakukan berbagai pekerjaan dengan keinginan untuk tetap hidup dengan layak pada satu daerah tertentu (Waromi, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Emmanuel (2015) di Kenya, keputusan untuk melakukan diversifikasi mata pencaharian yang dilakukan oleh individu atau rumah tangga yang mayoritas sebagai pastoralis di daerah tersebut didorong oleh adanya perubahan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat tersebut. Berbagai kondisi yang dihadapi seperti terjadinya perubahan iklim, berkurangnya padang sebagai tempat kehidupan para pastoralis, dan semakin sedikit permintaan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh oleh masyarakat pastoralis. Hal inilah yang membuat sehingga masyarakat masyarakat yang sebelumnya perprofesi sebagai pastoralis kemudian mengarahkan mata pencahariannya kepada kegiatan eko-wisata. Masyarakat akan berusaha untuk memanfaatkan segala kondisi dengan segala fasilitas yang ada. Oleh karenanya, kecenderungan melakukan diversifikasi mata pencaharian menjadi hal yang sangat dibutuhkan masyarat untuk dapat bertahan hidup.
Di sisi lain, diversifikasi mata pencaharian (livelihood diversification) juga dilakukan oleh individu atau rumah tangga, bukan karena mengalami goncangan ataupun kesulitan hidup, tetapi adanya peluang dari berbagai aset yang dimiliki seperti keahlian atau keunggulan tertentu yang dimiliki oleh individu maupun rumah tangga sehingga apa yang dimiliki dapat diimplementasikan bagi kehidupannya dan berdampak terhadap pengingkatan ekonomi (Monica, 2010). Hal ini sepadan dengan hasil penelitian yang ditemukan Suardana (2015) bahwa diversifikasi mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat di pesisir Karangasem, Bali dalam kegiatan pariwisata. Bagi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka mereka dapat melihat peluang dari hadirnya pariwisata dengan membangun usaha yang berbeda dari usaha yang telah ada di daerah tersebut sehingga dari usaha yang dijalankan dapat memberikan manfaat bagi peningkatan penghasilan ekonomi.
28
Nghiem, 2010 dalam Utami (2014) menunjukkan terdapat tiga motif yang melatarbelakangi diversifikasi mata pencaharian rumah tangga: Pertama, motivasi resiko (Risk Motivation), dimana terjadinya fluktuasi pendapatan atau keuntungan yang dihadapi oleh sebuah rumah tangga. Motif dari motivasi resiko dalam upaya diversifikasi yang dilakukan dengan keinginan bahwa peningkatan pendapatan merupakan kekuatan utama yang mendorong diversifikasi mata pencaharian; Kedua, Motivasi kemiskinan (Poverty Motivation) dimana terjadi pada rumah tangga miskin di negara-negara berkembang yang dihadapkan pada kendala-kendala pasar dan sumber daya. Rumah tangga miskin berusaha untuk berdiversifikasi karena jumlah total pendapatan yang dihasilkan dari semua sumber daya rupanya lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh dengan memanfaatkan semua sumber daya yang hanya tertuju pada satu opsi pendapatan tunggal; Ketiga, motivasi ekspansi ekonomi (Economic expansion motivation) dimana motivasi ini menerangkan bahwa upaya diversifikasi yang dilakukan sebagai bagian dari usaha-usaha yang dilakukan oleh rumah tangga untuk ekspansi basis ekonominya. Rumah tangga yang berada dalam motif diversifikasi seperti ini berusaha memperoleh pendapatan ataupun menciptakan sumber pendapatan baru dengan menggunakan berbagai aset yang dimiliki maupun menggunakan kekayaan yang telah terakumulasi dari sumber-sumber pendapatan yang ada. upaya seperti ini biasanya dilakukan oleh rumah tangga kaya sebagai bentuk usaha akumulasi, yaitu selain mengandung nilai subsistensi yaitu bertahan hidup untuk sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, strategi ini juga mengandung usaha-usaha untuk mengakumulasi modal usaha sebagai suatu cara menjamin keberlangsungan hidup individu dan kelompok secara ekspansif. Dengan adanya modal, peluang untuk melakukan investasi, maka upaya diversifikasi melalui dibukanya usaha atau pengembangan usaha dapat dilakukan.
Dalam konteks kehadiran pariwisata pada sebuah daerah, upaya diversifikasi mata pencaharian (livelihood strategy) yang dapat dilakukan melalui penyediaan jasa maupun produk untuk kebutuhan wisata menurut Antonio (2015) dapat berupa penyediaan penginapan, penyediaan rumah makan, penyediaan alat transportasi, jasa sebagai
29 pekerja, menjadi pemandu wisata dan juga penyediaan produk souvenir berupa kerajinan tangan khas daerah setempat. Berbagai produk dan jasa yang ditawarkan kepada wisatawan memiliki peranan penting dalam mendukung jalannya kegiatan pariwisata yang dilakukan pada sebuah daerah bagi kehidupan masyarakat setempat. Upaya yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk dapat menopang kehidupan mereka dalam memperoleh tambahan penghasilan dan memenuhi kebutuhan dasar sepeti makan, pakaian, pendidikan kesehatan. Serta juga untuk keberlanjutan kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Namun demikian, beberapa permasalahan serius yang didapatkan dalam hal diversifikasi mata pencaharian adalah masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan rendah dan tidak mempunyai pengalaman kerja sehingga mengakibatkan individu atau rumah tangga cenderung tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan diri (Waromi, 2015). Hal inilah yang membuat dalam upaya diversifikasi mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat dengan terbatasnya pendidikan yang dimiliki mengakibatkan masyarakat tidak dapat mengembangkan potensi yang dimiliki melalui kepemilikan aset untuk dapat bertahan dalam kondisi goncangan dan juga untuk peningkatkan kebutuhan ekonomi melalui upaya diversifikasi yang dilakukan.
Diversifikasi mata pencaharian sebagai strategi penghidupan (coping strategies) memegang peranan penting pada saat individu atau rumah tangga mengalami kesulitan hidup yang disebabkan oleh kesulitan ekonomi. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian dijelaskan bahwa diversifikasi mata pencaharian yang dilakukan di berbagai negara disebabkan oleh berbagai masalah seperti: perubahan iklim, berkurangnya lahan, kesulitan ekonomi, dan untuk dapat mengatasi kemiskinan (Emmanuel, 2015).
Diversifikasi mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pariwisata pada sebuah daerah dengan tujuan untuk dapat memperoleh peningkatan ekonomi bagi kehidupan rumah tangga masyarakat tersebut. Dan upaya untuk mendukung jalannya diversifikasi mata pencaharian dapat dilakukan dengan
30
memanfaatkan kepemilikan aset yang dimiliki oleh masyarakat. Aset yang dimiliki oleh individu maupun rumah tangga sangatlah beragam. Hal inilah yang akan berpengaruh terhadap seberapa banyak hasil yang akan diperoleh oleh individu maupun rumah tangga tersebut. Dengan demikian, kajian mengenai penggunaan aset juga menjadi bagian penting sebagai salah satu indikator untuk dapat mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Berikut ini akan diuraikan kajian tentang konsep penggunaan aset.
Penggunaan Aset
Kesulitan ekonomi yang dialami oleh individu atau rumah tangga sebagai akibat dari kesulitan ekonomi yang dihadapi. Seringkali apa yang dilakukan adalah untuk mencari jalan keluar dari masalah ekonomi yang dihadapi oleh individu maupun rumah tangga. Umumnya individu maupun rumah tangga memiliki cara sendiri untuk dapat mengatasinya dengan memanfaatkan aset1 atau sumber daya
yang dimiliki sehingga kelangsungan hidup dapat tetap berjalan (Ellis, 2000). Akan tetapi strategi untuk mengatasi yang dilakukan oleh setiap individu maupun rumah tangga dapat berbeda-beda sesuai dengan aset yang dimiliki, dan daerah dimana mereka tinggal.
Aset yang dimiliki orang individu maupun rumah tangga sangat beragam, dan berbeda-beda. Ada yang berupa ternak peliharaan, tanah, toko, emas, tabungan, asuransi, dan modal social (Widiyanto, 2010). Bagi Scoones (1998) beragam aset penghidupan dapat dimanfaatkan oleh rumah tangga maupun individu pada saat mengalami goncangan. Aset yang dimaksudkan Scoones terdiri dari: modal alam (natural capital), modal ekonomi dan keuangan (economic financial capital), modal sumber daya manusia (human capital), dan modal social (social capital).
Setiap orang memiliki mata pencaharian yang berguna untuk memperbaiki kualitas hidupnya, seperti menggunakan aset yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan yang dilakukan, misalnya sepeda motor dan tanah (sumber daya) digunakan untuk menunjang
1 Aset adalah sumber ekonomi yang diharapkan memberikan manfaat usaha di
31 kualitas hidup mereka dan digunakan sebagai sumber kekuatan dalam meningkatkan kualitas hidup, ekonomi, sosial, dan budaya (Martopo, 2013). Segala sesuatu yang digunakan untuk menciptakan mata pencaharian yang baru dapat dikatakan sebagai aset mata pencaharian. Aset memiliki peranan penting dalam mengatasi kesulitan ekonomi, karena aset dapat memberikan manfaat langsung kepada peningkatan pendapatan individu maupun rumah tangga (Widiyanto, 2010) dengan cara ketika rumah tangga menghadapi kesulitan ekonomi maka aset yang dimiliki akan dijual pada saat menghadapi kesulitan ekonomi. Sedangkan rumah tangga yang memiliki aset berupa simpanan atau tabungan dapat digunakan secara langsung untuk mengatasi masalah yang dialami.
Daerah pedesaan umumnya masih memiliki ikatan kekerabatan yang kuat, termasuk didalamnya hubungan pertukaran modal, akses yang besar terhadap kekayaan sumber daya hutan, dan pengetahuan lokal yang baik. Namun kelemahan mereka atas semua itu adalah rendahnya modal finansial yang dimiliki, serta akses yang terbatas terhadap pendidikan formal. Masyarakat membutuhkan sejumlah aset untuk mencapai tingkat livelihoods yang positif. Oleh karena itu, kepemilikan hanya satu jenis aset dirasa tidak lagi cukup untuk mencapai hasil-hasil penghidupan yang jumlahnya banyak dan berbeda-beda, terutama bagi warga miskin/marginal yang memiliki keterbatasan akses terhadap capital aset. Sebagai akibatnya, orang-orang tersebut harus mencari cara untuk memperoleh dan menggabungkan berbagai aset yang benar-benar mereka miliki dengan cara yang inovatif guna mempertahankan hidup. Kekuatan seseorang ditentukan oleh besar/kecilnya, keragaman, dan keseimbangan antar aset.
Pada umumnya bagi rumah tangga yang memiliki status sosial yang tinggi maka mereka memiliki semua jenis akses, sedangkan rumah tangga yang memiliki status sosial yang rendah maka semakin sedikit juga pilihan akses yang dimiliki. Kebanyakan dari rumah tangga dengan status sosial yang rendah akses yang dimiliki berupa tenaga kerja dan modal sosial. Keterbatasan aset penghidupan yang dimiliki oleh rumah tangga lapisan bawah membatasi kemampuan dan pilihan penghidupan mereka. Dalam kondisi seperti ini tidak banyak upaya
32
yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang memiliki status sosial rendah. Sehingga rumah tangga dengan golongan ini tidak mampu untuk mengatasi dan memulihkan diri dari permasalahan yang dihadapi (Khatun, 2012).
FAO (Food Agricultural Organization) mengemukakan setidaknya ada 5 aset yang mempengaruhi bentuk-bentuk penghidupan masyarakat pedesaan. Kelima aset livelihood tersebut dapat disederhanakan sebagai bentuk pentagon segi lima (FAO, 2003). Adapun kelima aset yang mempengaruhi livelihood dapat diurai sebagai berikut : Pertama, Sumber daya manusia yang dimaksudkan sebagai aset livelihood dapat dilihat berdasarkan kesehatan masyarakat, kesempatan kerja, pengetahuan, pendidikan, kemampuan yang dimiliki serta tenaga kerja. Di kawasan pedesaan memang terdapat peningkatan kuantitas tenaga kerja, tetapi pada dasarnya kenaikan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar di pedesaan; Kedua, Modal sosial merupakan alasan yang mengakibatkan orang dapat bekerja bersama, baik dalam rumah tangga maupun dalam masyarakat luas. Di dalam kehidupan masyarakat, masing-masing rumah tangga yang berbeda akan dihubungkan bersama oleh ikatan kewajiban sosial, hubungan timbal balik, kepercayaan dan hubungan yang saling mendukung; Ketiga, Modal fisik termasuk kedalamnya alat, infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, baandara, serta fasilitas pasar (dalam artian yang lebih luas), air, atau fasilitas perawatan kesehatan yang akan mempengaruhi kemampuan orang lain untuk mendapatkan kehidupan yang layak; Keempat, Modal finansial dimana modal yang tersedia bagi rumah tangga pedesaan berasal dari hasil poduksi pertanian. Mereka juga dapat menggunakan kredit formal dan informal untuk melengkapi sumber keuangan mereka; Kelima, Sumber daya alam dimana bagi masyarakat pedesaan yang termasuk dalam sumber daya alam antara lain tanah, air, sumber daya hutan, dan ternak. Tanah merupakan salah satu dari dua sumberdaya utama populasi pedesaan. Ketersediaan lahan tergantung pada banyaknya rumah tangga dan sistem kepemilikan lahan. Biasanya petani memiliki akses tanah melalui warisan, sewa tanah dan bagi hasil. Namun belakangan dalam kehidupan pedesaan masyarakat, distribusi tanah melalui warisan sudah mulai di tinggalkan. Oleh karenanya, mulai terdapat ekspansi
33 lahan pertanian pada lahan-lahan lindung. Akibatnya jumlah pemilik lahan menurun dan rumah tangga yang tidak memiliki lahan meningkat.
Berbagai aset yang dikemukan tersebut di atas, merupakan kebutuhan yang diperlukan secara bersamaan untuk saling menunjang dan sekaligus menjamin keberlangsungan penghidupan masing-masing individu dan rumah tangga. Cara lain yang dapat digunakan ialah dengan menggabungkan kemampuan, keahlian, dan pengetahuan dengan sumber daya yang berbeda-beda yang dimiliki untuk kegiatan yang memungkinkan orang tersebut atau kelompok mencapai kehidupan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Lebih jauh lagi hal tersebut berpengaruh terhadap pendapatan dan keberlanjutan rumah tangga. Kekuatan sumber daya atau aset yang dimiliki antar keluarga dalam sebuah pedesaan ataupun antara individu dalam keluarga tidaklah homogen. Oleh karenanya aktifitas/kegiatan setiap masyarakat yang berbeda menuju capaian dan hasil penghidupan yang berbeda-beda pula.
Kesimpulan
Untuk membahas mengenai peluang pemanfaatan kehadiran pariwisata terhadap perkembangan usaha akomodasi di daerah Banda Neira maka tidak bisa dilepaskan dengan kajian-kajian teoritis yang relevan. Dari konsep-konsep tersebut terdapat keterkaitan antara satu konsep dengan konsep lainnya dengan tujuan untuk membantu penulis agar lebih memahami dan menjelaskan tentang perkembangan usaha akomodasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal melalui pemanfaatan peluang kehadiran pariwisata yang terjadi di daerah Banda Neira dalam upaya untuk mencapai pengembangan pariwisata dalam konteks pariwisata yang berkelanjutan. Tujuan utama pembangunan pariwisata berkelanjutan pada dasarnya berpijak pada Pertama, prinsip keberlangsungan ekologi dimana pembangunan pariwisata yang tidak memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitar; Kedua,dapat diterima secara sosial dimana mengacu kepada kemampuan masyarakat lokal dalam memanfaatkan peluang dari kehadiran pariwisata; Ketiga, masyarakat dapat beradaptasi dengan budaya yang berbeda melalui
34
kehadiran pariwisata; Keempat, dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat melalui keuntungan yang didapatkan dari kegiatan pariwisata sehingga berpengaruh terhadap peningkatan kehidupan ekonomi rumah tangga.
Untuk dapat mencapai pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dalam upaya untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga bagi kehidupan masyarakat dimana pariwisata itu hadir maka upaya yang dilakukan oleh masyarakat ialah dengan melakukan diversifikasi mata pencaharian melalui usaha yang dijalankan dalam mendukung berkembangya kegiatan pariwisata pada sebuah daerah dengan memanfaatkan kepemilikan aset yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di daerah tersebut. Selain itu keterkaitan antar berbagai sektor dalam jalannya kegiatan pariwisata yang saling membutuhkan dalam kerja sama yang dibangun anatar kedua belah pihak yang saling membutuhkan dapat memberikan manfaat positif bagi kehidupan masyarakat lainnya dalam upaya untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga. Oleh karena itu, menjadi penting untuk dikembangkan konsep pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dengan menekankan kepada unsur pencapaian melalui konsep mata pencaharian yang berkelanjutan melalui diversifikasi mata pencaharian dengan memanfaatkan kepemilikan aset serta pengembangan ekonomi lokal daerah setempat.