PROGRAM PERCEPATAN
SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU (PSDSK)
DI KABUPATEN SINJAI
Ir. Daniel Pasambe, dkk
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Permintaan daging sapi di Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan pertambahan penduduk. Mulai akhir tahun 1980-an sampai tahun 2003 kesenjangan antara permintaan dengan pasokan daging dalam negeri semakin besar yang menyebabkan impor daging sapi bakalan meningkat terus menerus sekitar 500.000 ekor/tahun, bahkan diperkirakan telah mencapai 1.200.000 ekor yaitu sapi bakalan 400.000 ekor tambah daging setara 400.000 ekor dan jeroan setara 400.000 ekor (Diwyanto, 2003). Besarnya permintaan daging tidak diikuti dengan suplay daging, sehingga menyebabkan pengurasan sapi potong yang produktif dalam negeri misalnya pemotongan betina fertil, jantan muda dan pejantan dan sebagainya (Suryana, 2000 dan Tambing et al., 2000). Hal ini menyebabkan populasi dasar pada daerah sentra produksi sapi potong menjadi tidak stabil dimana pengeluaran sapi lebih banyak dari pada yang lahir sehingga kalau tidak segera diperbaiki maka pada waktu tertentu sentra produksi sapi potong menjadi punah.
Kebutuhan konsumsi daging sapi belum terpenuhi dari produksi nasional, karena itu dilakukan impor sapi bakalan maupun daging sapi yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 impor daging telah mencapai 35% dari kebutuhan dalam negeri. Perkiraan impor tersebut akan mencapai 55% pada tahun 2014. Oleh karena itu Kementerian Pertanian mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) tahun 2014 dengan sasaran utama adalah: penyediaan bakalan/daging sapi lokal, peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, pencegahan pemotongan sapi
betina produktif, penyediaan bibit sapi, pengaturan stock daging sapi dalam negeri (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010)
Komoditas peternakan unggulan di Sulawesi Selatan adalah sapi, karena itu Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan telah menargetkan pencapaian populasi ternak sapi satu juta ekor pada tahun 2013 sebagai dukungan terhadap PSDSK. Pada tahun 2008 populasi sapi di Sulawesi Selatan mencapai 704.303 ekor. (Anonim, 2010).
Di Kabupaten Sinjai pengembangan sektor peternakan mendapat perhatian dari Pemerintah, terbukti dengan ditetapkannya Kabupaten Sinjai dalam program "Gerbang Mas" sektor pertanian. Dengan program "Gerbang Mas" ini, Kabupaten Sinjai yang memiliki iklim dan letak geografis yang menguntungkan. Disamping itu potensi lahan yang luas untuk pengembangan sektor ini masih luas dan tersediannya pakan yang melimpah merupakan salah satu indikator dipilihnya Kabupaten Sinjai dalam pengembangan program Gerbang Mas di sektor peternakan. Sektor Peternakan di Kabupaten Sinjai, memilik peluang yang cukup besar, baik ternak kecil dan besar beserta unggas. Dikarenakan luas lahan dan potensi pakan ternak yang sangat melimpah. Pengembangan sektor ini diusahakan oleh hampir masyarakat di Kabupaten Sinjai. Untuk itu dinas peternakan Kab. Sinjai berusaha untuk meningkatkan hasil produksi peternakan. Diantaranya sarana yang dimiliki, (Rumah Potong Hewan), Sarana Pabrik Pakan. Pada tahun 2008 populasi sapi potong di Kabupaten Sinjai mencapai 48.395 ekor/tahun dangan populasi daging mencapai 416.309,9 kg/tahun. (Anonim, 2010).
Ternak sapi potong mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan peternakan dalam pengembangan misi peternakan yaitu sebagai berikut: (a) sumber pangan hewani asal ternak, berupa daging dan susu, (b) sumber pendapatan masyarakat terutama petani ternak, (c) penghasil devisa yang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan nasional, (d) menciptakan lapangan kerja, (e) sasaran konservasi lingkungan terutama lahan melalui daur ulang pupuk kandang dan (f) pemenuhan sosial budaya masyarakat dalam ritus adat/kebudayaan.
Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan sapi potong di Sulawesi Selatan adalah kecenderungan populasi yang semakin merosot, ini terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kelahiran dan permintaan semakin meningkat (Sariubang et al.,2002) dimana telah mengalami penurunan 2,6% yakni 743.374 ekor pada tahun 1998 menjadi 724.044 ekor pada tahun 2002 (Anonim 2003). Penyebab rendahnya pertambahan populasi tersebut, ada kaitannya dengan tingkat reproduksi yang juga masih rendah, seperti yang dilaporkan Sonjana, et al. (1996) bahwa calving interval atau jarak kelahiran sapi ini berkisar antara 2-3 tahun.Selain penurunan populasi juga telah terjadi penurunan kualitas dimana sapi Bali yang pada mulanya (potensi genetik) dapat mencapai berat badan 500 – 600 kg/ekor tetapi sekarang sudah sulit mendapatkan sapi Bali yang mencapai berat badan 300 kg/ekor, hal ini disebabkan terjadinya perkawinan dalam satu populasi yang terus menerus (inbreeding) dan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Sariubang et al., 1992) demikian juga yang dikemukakan oleh Warwick et al., (1983) bahwa perkawinan silang dalam (inbreeding) berlangsung terlalu lama dalam suatu populasi tertutup menyebabkan proporsi lokus genetik yang homozigot. Berbarengan dengan itu terjadi depresi persedarahan yang menyebabkan menurunnya daya tahan (vigor), kesuburan dan sifat-sifat produksi lainnya. Untuk keluar dari masalah ini pemerintah perlu upaya pelestarian yang diimbangi dengan pendekatan kuantitatif yakni peningkatan populasi dan kualitatif melalui peningkatan kualitas ternak. Produktivitas sapi potong sering dikaitkan dengan faktor genetik dan lingkungan. Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu dan produksi ternak di Sulawesi Selatan maupun wilayah lain di Indonesia, oleh karena dalam waktu yang bersamaan dapat dilakukan inseminasi pada beberapa induk yang siap kawin melalui sinkronisasi berahi (Tolleng, 1977). Tiga pokok alasan memilih program IB adalah (1) IB adalah cara yang murah untuk meningkatkan mutu genetik sapi, (2) IB adalah cara cepat dalam transformasi dan konfigurasi genetik populasi ternak, (3) alternatif murah dan cepat dari program IB ini dalam skala massal.
Berdasarkan hal di atas perlu dikatakan pedampingan pembibitan, penggemukan dan kelembagaan sapi potong agar pada masa yang akan datang Sulawesi Selatan akan menjadi gudang ternak yang utama di Indonesia terutama
dalam meningkatkan pendapatan petani peternak dan PAD propinsi Sulawesi Selatan khususnya kabupaten yang menjadi sentra menjadi produk sapi potong.
1.2. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan peternakan sapi potong di Kabupaten Sinjai:
Degradasi/alih fungsi lahan pengembalaan menjadi pemukiman dan industri
Kelembagaan dan permodalan kelompok ternak yang belum berkembang
Koordinasi dan sinergitas antar instansi terkait yang belum berjalan dengan baik.
1.3. Tujuan
Tujuan Pendampingan BPTP Sulsel di Kabupaten Sinjai:
1.
Mempercepat tercapaian keberhasilan dan keberlanjutan Program SL-PSDSK.2.
Mengoptimalkan peran BPTP dalam mengintervensi dan menginfiltrasi muatan inovasi pertanian pertanian pada program SL-PSDSK.3.
Mendapatkan umpan balik dan pelaku utama dan pelaku usaha Program SL-PSDSK saran/usulan kebijakan pengembangan Strategis Deptan ke depan1.4. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari pendampingan BPTP pada program SL – PDSK di Kabupaten Sinjai adalah :
1. Percepatan capaian keberhasilan dan keberlanjutan Program SL-PDSK. 2. Digunakannya seoptimal mungkin inovasi teknologi dan hasil Litbang
Pertanian dalam Implementasi SL- PSDSK.
3. Umpan balik dari pelaku utama dan pelaku usaha Program SL-PSDSK sebagai bahan untuk saran/usulan kebijakan pengembangan Program Strategis Kementerian Pertanian ke depan.
1.5. Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan mencakup :
1. Diseminasi dan percepatan alih teknologi melalui Demonstrasi Plot (Demplot) dan pendampingan dan pengawalan teknologi pada lokasi kegiatan.
2. Pelatihan-pelatihan teknologi pertanian
3. Koordinasi dan monitoring pendampingan/pengawalan kegiatan dengan pemerintah daerah setempat.
1.6. Manfaat
Manfaat yang didapatkan dari kegiatan pendampingan ini adalah : 1. Tercapainya keberhasilan dan keberlanjutan Program SL-PSDS
2. Berkembangnya dan meluasnya inovasi teknologi pertanian hasil Litbang Pertanian dalam Implementasi SL-PSDSK
3. Tercapainya umpan balik dari pelaku utama dan pelaku usaha Program SL-PSDSK sebagai bahan untuk saran/usulan kebijakan pengembangan Program Strategis Kementerian Pertanian ke depan.
1.7. Dampak
Dampak yang kegiatan pendampingan ini adalah :
1. Meningkatnya produksi dan produktivitas Peternakan Sapi potong dan Kerbau
II. TINJAUAN PUSTAKA
Inovasi teknologi pertanian yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Universitas dan Lembaga-lembaga penelitian lainnya telah banyak tersedia, tetapi belum sepenuhnya dapat diadopsi oleh petani. Lambatnya adopsi inovasi teknologi pertanian tersebut disebabkan adanya keterbatasan dalam penerapan teknologi tersebut, kondisi sosial ekonomi dan pengetahuan petani serta kebijaksanaan pemerintah dan keterbatasan dalam tindakan operasional yang diterapkan (Made Oka et.al., 1994).
Salah satu upaya untuk mendorong peningkatan adopsi inovasi teknologi adalah penyebar luasan inovasi teknologi melalui pendekatan pemasyarakatan inovasi teknologi dilakukan dalam bentuk SL-ASP. Implementasinya melalui pendekatan holistik yang bersifat partisipatif dan disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi sehingga tidak semua paket teknologi sesuai untuk diterapkan oleh semua petani dan untuk semua lokasi.
Pelaksanaan SL-ASP diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani melalui penerapan inovasi teknologi yang cocok untuk kondisi setempat yang dapat meningkatkan produktivitas daging sapi. Populasi sapi di Propinsi Sulawesi Selatan meningkat dari tahun ke tahun, namun peningkatannya belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi daging yang juga meningkat setiap tahun.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh sebagian besar peternak sapi potong di Sulawesi Selatan adalah pengelolaan ternak masih bersifat tradisional sehingga produksi dagingnya sangat rendah. Pemenuhan pakan masih mengandalkan rumput yang berasal dari padang penggembalaan dan hanya sebagian kecil peternak yang membudidayakan hijauan pakan ternak.
Salah satu cara untuk mempertankan/meningkatkan populasi sapi potong adalah melalui sistem pembibitan sapi potong skala petani, melakukan penggemukkan agar sapi potong pada saat dagingnya optimal dan memanfaatkan hijuan unggul.
Penggemukan adalah suatu istilah untuk menggambarkan keadaan hewan pada saat-saat akhir stadium pertumbuhan atau usaha memaksimalkan pertumbuhan ternak. (Tilman et. al., 1984). Usaha untuk memaksimalkan produksi ternak dengan memperhatikan faktor pakan khususnya kandungan protein yang merupakan senyawa yang kompleks berfungsi untuk membangun dan memelihara jaringan dan organ tubuh, menyediakan sumber lemak badan dan menyediakan asam amino.
Peranan pakan dalam usaha ternak sapi potong sangat penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan kunci keberhasialan ternak. Jenis pakan ternak yang terpenting adalah hijauan Karena merupakan pakan utama ternak ruminansia, 70% dari makanan ternak ruminansia adalah hijauan (Nitis, et al, 1992), sehingga ketersediaan pakan baik dari segi kuantitas, kualitas dan secara berkesinambungan sepanjang tahun perlu diperhatikan.
III. METODELOGI
3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan demplot managemen perbaikan pakan pada pembibitan dan penggemukan sapi mendukung PSDSK akan dilaksanakan di daerah pengembangan ternak dilaksanakan pada Kelompok tani Mallereng, Kelurahan Lamatting Rilau, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai bulann Januari sampai Desember 2012
3.2 Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang Lingkup Pendampingan SL- PSDSK oleh BPTP Sulawesi Selatan meliputi:
a. Cakupan Kegiatan
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan adalah penerapan teknologi pada demplot sapi bali, menjadi nara sumber inovasi teknologi dalam pertemuan dengan kelompok ternak, dan penyebar luasan materi diseminasi. Pada demplot pembibitan dan penggemukan sapi menggunakan 10 ekor induk dan 8 ekor jantan milik petani.
Pelaksanaan Pelatihan dan pendampingan disesuaikan dengan jadwal kegiatan dan kebutuhan kelompok tani peserta SL-ASP yang akan didampingi. b. Penentuan petani kooperator
Peternak koperator dipilih berdasarkan kriteria: mempunyai sapi jantan berumur 2 tahun, berpengalaman beternak sapi, mempunyai motivasi untuk berkembang, dan berpotensi menjadi peternak pelopor dalam mengadopsi managemen pakan sapi.
Semua kegiatan pendampingan dilakukan secara partisipatif petani, sedangkan peneliti dan penyuluh hanya bertugas sebagai fasilitator. Kegiatan- demplot PSDSK menggunakan sapi bali milik petani.
d. Implementasi Teknologi
Managemen pakan yang diintroduksi pada Demplot pembibitan sapi adalah pemberian pakan penguat (kosentrat 1 % dari bobot badan + hijauan berdasarkan kebiasaan petani secara ad libitum .sedangkan pada penggemukan pakan konsentrat 1% dari bobot baqdan + rumpaut unggul secara ad libitum. Jenis Data yang Diamati
Parameter yang diamati dalam pelaksanaan pendampingan PSDS adalah: 1. Peningkatan pertambahan berat badan harian (PBBH) dan efisiensi pakan
sapi hasil penggemukan.
2. Respon peternak terhadap kegiatan pendampingan PSDSK. Data yang dikumpulkan dianalisis statistik secara deskriptif.
e. Pelaporan
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengukuran parameter pengamatan pada kegiatan pendampingan SL-ASP dan demplot managemen pakan, maka disusun laporan hasil kegiatan sebagai bukti pertanggung jawaban pelaksanaan kegiatan dan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dalam penerapan inovasi teknologi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sebaran Lokasi Pendampingan
Kabupaten Sinjai adalah salah satu dari 23 Kabupaten dalam Wilayah
Propinsi Sulawesi Selatan dengan ibukota Sinjai yang terletak di pantai
timur bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan yang berjarak lebih kurang
220 Km dari Kota Makassar (Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan)
Kabupaten Sinjai memiliki luas 819,96 Km
2(81.996 Ha) terdiri dari 9
kecamatan dengan jumlah desa / kelurahan sebanyak 85 buah.
Secara geografis Kabupaten Sinjai terletak antara 5
019’ 30” sampai
5
036’ 47” Lintang Selatan dan antara 119
048’ 30” sampai 120
020’ 00” .
Yang berbatasn dengan :
Sebelah utara dengan Kabupaten Bone
Sebelah Timur dengan Teluk Bone
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bulukumba
Sebelah Barat dengan Kabupaten Gowa
Secara morfologi, daerah ini lebih dari 55,5 % terdiri dari daerah
dataran tinggi (100 – 500 meter dari permukaan laut. Secara klimatologi
terletak pada posisi iklim musim timur dimana bulan basah jatuh antara
bulan April sampai Oktober dan bulan kering jatuh antara bulan Oktober
sampai April.
Secara ekonomi, Sinjai memiliki letak strategis karena memiliki dua
jalur perhubungan, yaitu darat dan laut. Jalur darat menghubungkan kota
kabupaten dan propinsi sebagai pusat kegiatan ekonomi. Sedang jalur
laut digunakan menghubungkan antar daerah luar propinsi Sulawesi
selatan.
Pada tahun 2011 telah terbentuk kelompok ternak sebanyak 84
kelompok ternak pemerintah dan 16 kelompok ternak sapi perah di 9
Kecamatan di 13 kelurahan dan 67 Desa.
4.2 Koordinasi di Tingkat Internal Pemda
Koordinasi ditingkat internal Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai
dilakukan dengan pihak/instasi yang terlibat yaitu Dinas Perternakan dan
Kesehatan Hewan, Badan Pelaksana Penyluhan dan Ketahanan Pangan
Kabupaten Sinjai., Kantor Penyuluh Pertanian Kecamatan, dan Kelompok
Tani. Pada kegiatan koordinasi ini masih didapatkan kendala, utamanya
tentang mekanisme operasional kegiatan pendampingan, namun dapat
diatasi secara bersama dengan dasar saling pengertian terhadap peran
dan fungsi masing-masing.
Tabel 1. Kinerja Koordinasi Pendampingan
No. Instansi
Komponen Penilaian Kinerja
Koordinasi (skor 1-3)*
A**
B**
C**
1.
Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan
2
2
2
2.
Badan Pelaksana Penyuluhan dan
Ketahanan Pangan
2
2
2
3.
Badan Penyuluhan Pertanian
2
3
3
*) Skor penilaian 1=kurang, 2=baik, 3=sangat baik
**) A = Kelengkapan legalitas ketersediaan institusi
B = Berfungsinya institusi yang terlibat sesuai fungsi yang telah
disepakati bersama
4.3
Pelaksanaan Pendampingan Inovasi Teknologi
4.3.1 Fermentasi Jerami sebagai pakan ternak
Proses fermentasi terbuka dilakukan pada tempat yang terlindung
dari sinar matahari langsung. Proses pembuatan jerami fermentasi dibagi
dua tahap, yaitu tahap fermentasi dan tahap pengeringan dan
penyimpanan.
Tahap pertama jerami padi yang baru dipanen (kandungan air sekitar
65%) dikumpulkan pada tempat yang telah disediakan. Bahan yang
digunakan dalam proses fermentasi jerami adalah urea dan probiotik.
Jerami padi segar yang difermentasi ditumbuk hingga ketebalan 20 Cm,
kemudian ditaburi dengan urea dan probiotik dan diteruskan pada lapisan
timbunan jerami berikutnya yang juga setebal sekitar 20 cm. Demikian
seterusnya hingga ketebalan tumpukkan jerami padi mencapai 1-2 m.
Takaran urea dan probiotik masing-masing 6 kg untuk setiap ton jerami
padi segar. Pencampuran urea dan probiotik pada jerami dilakukan secara
merata, kemudian didiamkan selama 21 hari agar proses fermentasi dapat
berlangsung dengan sempurna, dilihat pada gambar 3.
4.3.2 Pembuatan Pupuk Organik
Peralatan yang dibutukan antara lain:
1. Sabit/parang
2. Cetakan yang dibuat dari bambu.Cetakan ini dibuat seperti pagar
yang terdiri dari 4 bagian. Dua bagian berukuran 2 x 1 m dan dua
bagian yang lain berukuran 1 x 1 m.
3. Ember/bak untuk tempat air.
4. Air yang cukup untuk membasahi jerami.
5. Aktivator pengomposan (Promi).
6. Ember untuk menyiramkan aktivator.
7. Tali.
8. Plastik penutup. Plastik ini bisa dibuat dari plastik mulsa berwarna
hitam (ukuran leber 1 m) yang dibelah sehingga lebernya menjadi 2
m.
Siapkan bak dan air. Masukkan air ke dalam bak.Kemudian larutkan
aktivator sesuai dosis yang diperlukan ke dalam bak air. Aduk hingga
aktivator tercampur merata
Masukkan jerami, kotoran ternak dan bahan-bahan lain lapis demi lapis
ke dalam cetakan kompos. Setiap lampis tumpukan jerami diinjak-injak
agar padat, t
umpukan jerami ditutup dengan plastik. Tumpukan diinkubasi selama satu bulan.Selama masa fermentasi akan terjadi proses pelapukan dan penguraian jerami menjadi kompos. Selama waktu fermentasi ini akan terjadi perubahan fisik dan kimiawi jerami. Proses pelapukan ini dapat diamati secara visual antara lain dengan peningkatan suhu, penurunan volume tumpukan jerami, dan perubahan warna.
Suhu tumpukan jerami akan meningkat dengan cepat sehari/dua hari setelah inkubasi. Suhu akan terus meningkat selama beberapa minggu dan suhunya dapat mencapai 65-70 oC. Pada saat suhu meningkat, mikroba akan dengan giat melakukan penguraian/dekomposisi jerami. Akibat penguraian jerami, volume tumpukan jerami akan menyusut. Penyusutan ini dapat mencapai 50% dari volume semula. Sejalan dengan itu wana jerami juga akan berubah menjadi coklat kehitam-hitaman.
4.3.3. Pengemukan dan Pembibitan Sapi Potong
Hijauan yang terdapat di daearah tropis umumnya berkualitas
rendah. Ternak ruminansia yang hanya diberi hijauan saja, tidak akan
dapat diharapkan produksi maupun efisiensi reproduksi yang tinggi.
Manfaat hasil sampingan agro-industri sebagai pakan ternak, sangat
tergantung dari ketersediaan bahan, kemampuan ekonomi petani –
ternak, dan efisiensi penggunaan bahan pakan tersebut. Preston dan Leng
(1987) menyatakan bahwa ternak ruminansia mampu menggunakan
zat-zat makanan di dalam pakan, seperti karbohidrat, protein, nitrogen bukan
protein dan lemak secara efisien. Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam
penggunaan ransum diperlukan pencampuran berbagai bahan pakan
dalam jumlah tertentu, disamping menyediakan Zat makanan yang secara
langsung dapat diserap dari berbagai alat pencernaan pasca rumen.
Menurut Abidin et al.(1988) bahwa penambahan konsentrat dalam ransum
ternak ruminansia dapat meningkatkan konsentrasi produk akhir
fermentasi rumen yang akan meningkatkan pertambahan bobot badan.
Kebutuhan pakan bagi ternak ada dua jenis yaitu kebutuhan hidup
pokok dan kebutuhan untuk produksi. Pengertian kebutuhan hidup pokok
secara sederhana dan mudah diukur adalah kebutuhan untuk
mempertahankan bobot badan hidup. Artinya, apabila seekor sapi tersebut
tidak naik dan juga tidak turun serta tidak mengasilkan susu. Jika sapi
diberi lebih dari kebutuhan hidup pokoknya maka kelebihan itu akan
dirubah menjadi bentuk produksi misalnya susu, daging, tenaga kerja dan
pertumbuhan embrio atau fetus dalam masa kebuntingan. Kebutuhuan
pakan dapat dipenuhi dengan pakan hijauan segar (sebagai pakan
utama) dan konsentrat (sebagai pakan penguat). Kedua jenis pakan
tersebut dapat diukur jumlah pemberian sesuai dengan berat badan dan
produksi yang diharapkan. Namun kedua jenis pakan tersebut belum
menjamin terpenuhinya unsure-unsur mikro berupa mineral, vitamin serta
asam amino tertentu yang tidak diperoleh ternak seperti pada saat di
alam bebas. Dengan demikian selain pakan utama dan penguat, ternak
yang dipelihara secara intensif juga perlu memperoleh bahan makanan
pelengkap atau pakan suplemen ini dapat meningkatkan produksi ternak.
Sedangkan ternak yang kekurangan unsur mikro tertentu dalam pakan
suplemen akan menderita defisiensi atau penurunan efisiensi produksi
sampai daya tahan tubuh.
Pola pemeliharaan penggemukan memerlukan ketersediaan pakan yang
lebih banyak dan kontinyu. Untuk itu pakan lokal sangat relevan
dimanfaatkan sehingga tidak tergantung dari luar.
Dengan pergeseran dan peningkatan penggunaan lahan untuk
pemukiman industri dan intensifnya tanaman pangan membawa dampak
semakin menyempitnya padang pengembalaan/perumputan dibeberapa
daerah. Kenyataan ini lebih jauh terhadap pegadaan hijauan pakan ternak
sebagai kebutuhan dasar ternak sepanjang tahun. Hal ini memberikan
perlunya
diupayakan
langkah-langkah
penanggulangan
melaui
pemanfaatan limbah namun kendalanya adalah rendahnya protein
sehingga diperlukan sentuhan teknologi untuk meningkatkan nilai gizi
limbah tersebut melalui proses fermentasi dan memanfaatkan bahan lokal
sebagai penyusun konsentrat. Bahan pakan lokal selalu dikaitkan dengan
harga yang murah. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam menggunakan
sesuatu
bahan pakan, seperti jumlah
ketersediaannya, kandungan gizi, harga, kemungkinan adanya faktor
pembatas seperti zat antinutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah
sebelum digunakan.
Secara umum bahan pakan untuk ternak ruminansia maupun
unggas dibagi atas dua kelompok : 1) bahan pakan umum tersedia, yaitu
bahan pakan yang sering dan selalu dipakai serta tersedia relatif banyak.
Contohnya adalah jagung giling, dedak padi, bungkil kelapa, bungkil
kedelai, tepung kapur, tepung singkong dan sebagainya, dan 2) bahan
pakan tidak umum tapi bahan tersebut potensial didaerah tertentu yang
dapat dimanfaatkan ternak contohnya adalah: tepung bekicot (keong
mas), biji sorghum,tepung kepala udang, bungkil inti sawit, lumpur sawit
dll.selain jenis harga bahan pakan merupakan suatu hal yang harus
diketahui terutama dalam penyusunan formula ransum alternatif yang
lebih murah yang mempunyai kualitas yang memadai, ditinjau dari
kandungan nilai gizi. Proses penggemukan merupakan tahap penting
dalam proses produksi sapi potong sebelum ternak tersebut dipotong.
Kebutuhan pakan dapat dipenuhi dengan pakan hijuan (sebagai pakan
utama) dan konsentrat (sebagai pakan penguat) yang bermanfaat untuk
ternak untuk melengkapi zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh
sehingga komposisi seimbang untuk produksi secara optimal, oleh karena
pakan suplemen dan dengan kandungan yang berbeda-beda . Adapun
komposisi konsentrat yang digunakan dalam penggemukan in.
Tabel 2. Performans Sapi Potong di Kabupaten Sinjai
Uraian
A (Kontrol
B
Pertambahan bobot
badan (kg/ek/hr)
0,321
0,395
Pertambahan tinggi
pundak(cm/ek/hr)
0,079
0,063
Pertambahan
lingkar
dada(cm/ek/hr)
0,062
0,131
Pertambahan
panjang
badan(cm/ek/hr)
0,079
0,095
Catatan : Perlakuan A = Kontrol ( kebiasaan Petani)
Perlakuan B = Kosentrat 1% dariu BB
Tabel 3. Performans Induk Sapi Potong Di Kabupaten Sinjai
Uraian
Induk
Bunting
Melahirkan
Induk
Pertambahan bobot badan
(kg/ek/hr)
0,313
0,121
Pertambahan tinggi
pundak(cm/ek/hr)
0,122
0,001
Pertambahan lingkar
dada(cm/ek/hr)
0,124
0,011
Pertambahan panjang
badan(cm/ek/hr)
0,113
0,013
Catatan : Perlakuan dengan pemberian Kosentrat 1% dari Bobot badan
3.4 Efektivitas pelatihan teknis
Pelatihan teknis yang dilakukan ditujukan untuk meningkatkan
kemampuan penyuluh dalam hal menerapkan teknologi budidaya Sapi
Potong, Fermentasi Jerami, Pembuatan Kosentarat dan Pembuatan Pupuk
Organik. Teknologi yang tepat guna akan sangat bermanfaat dan akan
terus digunakan petani karena mereka akan merasakan manfaatnya.
3.5. Efektivitas penyebarluasan inovasi melalui media cetak dan
elektronik
Tabel 4. Efektivitas penyebarluasan inovasi (Leaflet) pada kegiatan PDSKi kabupaten Sinjai , 2012
No Judul Materi Leaflet Jumlah
eksemplar Jumlah inovasi yang dimuat Penerimaan Target Media Informasi 1. Teknologi sambung
samping pada tanaman
kakao 3 exp 1 Kelompok tani
2. Pengembangan usaha
agribisnis Pedesaan 3 exp 1 Kelompok tani
3. Bubidaya penggemukan
sapi potong 4 exp 1 Kelompok tani
4. Pembuatan Pupuk
Organik 5 exp 1 Kelompok tani
5. Fermentasi Jerami Padi 10 exp 1 Kelompok tani
Tabel 5. Efektivitas penyebarluasan inovasi (Booklet) pada kegiatan PDSK Kabupaten, 2012
No Judul Materi Booklet Jumlah
eksemplar inovasi yang Jumlah dimuat Target Penerimaan Media Informasi Kumpulan inovasi teknologi Pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan
2 exp 18 Kelompok Tani
V.
KESIMPULAN
1. Pelaksanaan kegiatan PSDSK padi di Kabupaten Sinjai telah
dilaksanakan belum nyata dilapangan baru melakukan pelatihan
pada penyuluh pendamping dan semua kelompok tani pelaksanaan
PSDSK di Sinjai
2.
Pembuatan pakan kosentrat dengan pemafaatan bahan lokal, bahan-bahan yang digunakan seperti dedak padi (83%), tepung ikan (5%), tepung jagung (10%), garam (1%), dan pikuten (1%), bahan yang sudah disiapkan tersebut dicampur secara merata di hamparan terpal, setelah tercampur merata kemudian di kemas dengan menggunakan karung dan disimpan yang aman.3.
Dari hasil kegiatan pendampingan PSDSK pada tahun 2012 di
kabupaten Sinjai dapat disimpulkan bahwa. Inovasi teknologi
menunjukkan pertambahan bobot badan harian pada sapi
pengemukkan dan pembibitan lebih tinggi pada pemberian
konsentara 1% dibandingkan kontrol.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Kebijakan Pembangunan Pertanian Kabupaten Sinjai. Dinas Pertanian Dan Peternakan Kabupaten Sinjai.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Implementasi PSDS di Daerah: Lokasi dan Target Sasaran. Makalah disampaikan pada acara : “Rapat Koordinasi Pengawalan PSDS 2014” di Surabaya, 6 – 7 April 2010. Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian.
Made Oka A., I. Manwan, S. Saenong, M.N. Noor dan Y. Makmun. 1994. PenelitianPengembangan: Prosedur Pelaksanaan dan Evaluasi Hasil Penelitian. Disampaikan pada Pelatihan Peningkatan Manajemen Suberdaya Manusia di BLPP Wonocatur, Yogyakarta.
Dwiyanto, K. 2003. PengarahanPelatihan CLS pada lahan Kering di Sukamandi, Jawa Barat.
Sariubang, M., Chalidijah, A.Prabowo dan U. Abduh. 1992. Hubungan Antara pertambahan bobot badan dan ukuran lingkar dada sapi bali betina yang diberikan perlakuan pakan. Pros. Pertemuan Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Peternakan di Sulawesi Selatan. Sub Balai Penelitian Ternak Gowa, Sulawesi Selatan.
Suryana. A. 2000. Harapan dan Tantangan bagi Subsektor Peternakan dalam meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional. Proc. Seminar Nasional. Peternakan dan Veteriner 2000. Puslitbangnak Bogor.
Tambing, S. N., Sariubang dan Chalidijah. 2000. Bobot Lahir Kinerja Reproduksi Sapi Hasil Persilangan Bos Taurus X Bos Benteng. Proc. Seminar Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, Bogor.
Tilman,A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1983. Ilmu Makan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Warwick, E. J., M. Astuti dan A. Wartomo. 1983. Pemulihan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
LAMPIRAN
Lokasi Klp tani Mamllereng Nara Sumber
Pembuatan Konsentrat
Proses Fermentasi Jerami dan Penyimpanan