• Tidak ada hasil yang ditemukan

REMOTE SENSING UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI GUNUNGAPI. Seri Pertama: Interferometric Synthetic-Aperture Radar (InSAR) Estu KRISWATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REMOTE SENSING UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI GUNUNGAPI. Seri Pertama: Interferometric Synthetic-Aperture Radar (InSAR) Estu KRISWATI"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

 

Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 31-37 Hal :31  REMOTE SENSING UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI GUNUNGAPI

Seri Pertama: Interferometric Synthetic-Aperture Radar (InSAR)

Estu KRISWATI

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi

PENDAHULUAN

Deformasi gunungapi adalah perubahan bentuk dan dimensi gunungapi. Perubahan dimensi menyangkut perubahan geometri sehingga dalam pengukuran deformasi, parameter-parameter yang umum diukur adalah jarak antar titik, posisi titik, besarnya ungkitan, dan beda tinggi antar titik. Dalam hal ini deformasi diartikan sebagai perubahan kedudukan atau pergerakan suatu titik di tubuh gunungapi secara absolut maupun relatif. Pengukuran deformasi di tubuh gunungapi selama ini dilakukan dengan metode pengukuran langsung di lapangan dengan metode EDM, GPS, tilt, dan leveling. Metode-metode tersebut memberikan ketelitian data yang tinggi tetapi dalam pelaksanaannya terdapat berbagai keterbatasan yang berhubungan dengan sumberdaya manusia, konsumsi waktu dan dana yang tinggi, medan yang berat, titik ukur yang sering hilang atau rusak, keamanan dan keselamatan, ketergantungan terhadap cuaca, dan terbatasnya data yang diperoleh. Dengan banyaknya keterbatasan yang dihadapi, adakah metode pengukuran deformasi lainnya yang dapat mengatasinya?

Keterbatasan yang paling penting diperhatikan adalah yang berhubungan dengan dimensi data. Informasi yang dicari dalam pengukuran deformasi adalah deformasi bidang, tetapi pada pengukuran menggunakan metode di atas yang diperoleh adalah deformasi titik. Dengan demikian untuk memodelkan mekanisme aktivitas gunungapi dibutuhkan jaringan titik ukur yang sangat rapat sehingga perubahan

yang terjadi pada semua titik secara bersamaan dianggap bisa mewakili perubahan bidang. Data radar menawarkan jawabannya. What a boon it would be to train a magical geodetic camera on a deforming volcano and take a picture of the entire deformation field, rather than trying to piece it together benchmark by benchmark! (Dzurisin, 2007). Data radar mempunyai kemampuan untuk memberikan informasi deformasi bidang tanpa keterbatasan seperti yang dialami pada metode lapangan. Meskipun saat ini ketelitian data radar belum bisa menyamai ketelitian hasil pengukuran lapangan tetapi pada saatnya nanti dapat menyediakan informasi deformasi gunungapi secara lebih teliti.

RADAR

Istilah radar berasal dari “radio detection and ranging”. Radar menggunakan microwave dari spektrum elektromagnetik, dengan rentang frekuensi 1 hingga 1,000 GHz dan panjang gelombang 30 cm hingga 0.3 mm (Tabel 1). Radar dengan panjang gelombang yang pendek lebih sensitif terhadap perubahan yang kecil (resolusi tinggi) tetapi tidak bisa menembus awan maupun vegetasi seperti halnya sinyal dengan panjang gelombang tinggi (resolusi lebih rendah).

Semua sistem radar menggunakan radio transmitter yang mengirimkan sinyal microwave. Radar diklasifikasikan menjadi tracking radar dan imaging radar (Dzurisin, 2007).

(2)

Hal :32 Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 32-37   berkecepatan cahaya dari transmitter ke

obyek dan kembali ke receiver. Obyek yang bergerak terhadap transmitter, kecepatannya ditentukan dari frekuensi sinyal balik yang berbeda dari sinyal yang dipancarkan karena adanya efek Doppler. Jika receiver diatur untuk menolak sinyal balik yang sama frekuensinya dengan yang dipancarkan dan memperbesar hanya sinyal yang berbeda frekuensi, maka obyek yang bergerak dapat terdeteksi. Radar pengontrol lalulintas udara dan detektor kecepatan yang digunakan oleh polisi menggunakan teknologi ini.

2. Imaging radar. Pada radar untuk keperluan imaging, saat sinyal microwave mencapai target, sebagian dari energi dipantulkan kembali ke sumbernya yang kemudian diterima, diperbesar, dan diproses. Jarak antara obyek dan transmitter dan sifat dari obyek ditentukan oleh waktu tempuh dan karakter dari sinyal yang diterima. Tidak semua target memantulkan microwave secara sama. Daya pantul benda tergantung pada ukuran, bentuk, kekasaran permukaan, arah, dan sifat dielectric (sangat dipengaruhi oleh kandungan uap air). Obyek berbahan metal adalah reflektor terbaik, sementara kain dan plastik menghasilkan pantulan lemah. Air laut yang bergerak dan danau es

kasar biasanya lebih terang pada image radar dibandingkan dengan permukaan yang halus, karena bagian dari elemen yang kasar berarah tegak lurus terhadap datangnya sinyal dan memantulkan energi kembali ke sumbernya. Dengan permukaan yang halus, hampir semua energi terbelokkan menjauh dari sumber yang menyebabkan obyek tampak gelap di image radar. Contohnya adalah pada saat tenang, tubuh air akan berwarna gelap dan pada cuaca berangin akan tampak terang.

Dua karakteristik radar yang menjadikannya penting dalam pemantauan gunungapi adalah : (1) radar adalah sensor aktif yang menyediakan sinyal sendiri sehingga efektif pada siang maupun malam hari, pada cuaca baik maupun buruk (tidak tergantung cuaca) dan (2) dengan panjang gelombangnya yang lebih panjang sehingga mampu untuk menembus awan dan vegetasi. Untuk imaging radar rentang frekuensi dari 1 hingga 12 GHz, terbagi atas X-band (λ ~ 3 cm), C-band (λ ~ 5 cm), dan L-band (λ ~ 20 cm). Hal ini memberikan keuntungan dalam pemantauan gunungapi terutama pada saat terjadi erupsi atau pada peningkatan aktivitas vulkanik.

(3)

 

Tabel 1. Satelit radar

Satelit Institusi Periode Orbit

repeat cycle Frekuensi

Panjang gelombang Incidence angle at swath center Resolusi ERS-1 ERS-2

European Space Agency (ESA) Juli 1991 – Maret 2000 (ERS-1) April 1995 – sekarang (ERS-2) 35 hari 5.3 GHz C-Band 5.66 cm 23º 30 m JERS-1

National Aeronautics and Space Development Agency of Japan (NASDA) dan Ministry of International Trade and Industry (MITI)

Februari 1992 –

Oktober 1998 44 hari 1.275 GHz L-Band 23.5 cm 39º 18 m

RADARSAT-1 Canadian Space Agency (CSA) November 1995 - sekarang 24 hari 5.3 GHz C-Band 5.66 cm 10º - 59º 8 – 100 m

SIR-C/X-SAR

National Aeronautics and Space Administration (NASA), German Space Agency (DARA), and Italian Space Agency (ASI)

9 – 20 April 1994 (STS-59) 30 September – 11 Oktober 1994 (STS-68) N/A L-Band 1.249 GHz C-Band 5.298 GHz X-Band 9.6 GHz 24 cm 5.66 cm 3.1 cm 17º – 63º (L dan C-band) 54º (X-band) 10 – 200 m

SRTM National Aeronautics and Space Administration (NASA) 11 – 22 Februari 2002 (Space Shuttle mission

STS-99) N/A C-Band 5.3 GHz X-Band 9.6 GHz 5.8 cm 3.1 cm 17º – 63º (L dan C-band) 54º (X-band) 30 m

Envisat European Space Agency (ESA) Maret 2002 - sekarang 35 hari 5.331 GHz C-Band 5.63 cm 14º - 45º 30 m

ALOS Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) Sejak 24 Januari 2006 46 hari 1.275 GHz L-Band 23.5 cm 8º - 60º 10 - 100 m

(4)

SYNTHETIC-APERTURE RADAR (SAR) Berbeda dengan foto udara yang diambil secara vertikal terhadap obyek, pengambilan data radar dilakukan dari arah samping dengan tujuan untuk memudahkan dalam membedakan target-target yang berlokasi pada jarak yang berbeda dari radar. Informasi yang diperoleh adalah berupa ketinggian permukaan (misalnya topografi) dan faktor lain yang mempengaruhi reflektivitas radar, termasuk kekasaran permukaan benda dan kandungan uap air.

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan karakteristik SAR, diantaranya adalah:

1. Keterlambatan (delay) perambatan sinyal di ionosfer dan troposfer juga berpengaruh terhadap waktu tempuh sinyal. Ketidakseragaman kerapatan elektron di ionosfer atau konsentrasi kandungan air di troposfer menghasilkan variasi delay dalam dimensi ruang yang kemudian menghasilkan fringe pada interferogram.

2. Foreshortening, layover, dan shadowing. Kondisi yang dikenal sebagai foreshortening dan layover sangat umum dijumpai pada radar image. Efek dari sinyal radar yang bervariasi sudut dan arahnya saat dipancarkan, dapat secara signifikan merubah tampilan dan informasi pada radar image. Arah pancaran sinyal balik sangat berkaitan dengan sinyal yang dipancarkan dan posisi obyek terhadap satelit sangat menentukan dimensi atau kenampakan citra yang dihasilkan. Secara umum, lebar dari suatu permukaan baik horizontal maupun miring akan meningkat seiring meningkatnya jarak perjalanan sinyal. Pada radar citra dimana topografinya berbukit-bukit dengan lereng bergelombang, muncul karakteristik geometrik yang tidak biasa. Istilah layover dan foreshortening diaplikasikan pada fenomena tersebut. Keduanya menggambarkan kompresi atau kontraksi (thinning) pada lereng yang menghadap dan memanjang pada sisi yang terkena bayangan. Pada banyak kejadian, layover dan foreshortening menghasilkan kenampakan akhir yang sama. Perubahan kenampakan tersebut lebih terlihat di jarak yang dekat ke satelit dibandingkan yang jauh.

Sementara shadowing terjadi jika sinyal radar tidak dapat menjangkau suatu area karena tertutupi oleh banyangan obyek yang tinggi di antara area tersebut dengan satelit sehingga tidak ada sinyal yang dipantulkan kembali dan pada citra akan terlihat gelap.

Gambar 1. Ilustrasi terjadinya foreshortening, layover, dan shadowing. Pada tampakan topografi A, sinyal radar mencapai puncak dari lereng yang menghadap arah datang sinyal sebelum mencapai lereng bagian bawah. Sinyal balik bagian atas akan diterima lebih dulu oleh antenna penerima daripada bagian bawah dan menghasilkan efek layover. Hal ini terjadi pada area yang berjarak lebih dekat dan menurun seiring dengan meningkatnya jarak obyek ke satelit; layover mulai menghilang di tampakan topografi B. Foreshortening dimulai saat muka gelombang mencapai bagian dasar sebelum bagian atas. Pada tampakan topografi D, foreshortening terjadi pada lereng yang terjal dan pada area dibelakang bukit akan terjadi shadowing. Panjang dan tingkat gelapnya bayangan meningkat dari

tampakan A ke D. (http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect8/Sect8_4.html).

INTERFEROMETRIC SAR

Pertama yang harus disiapkan untuk menghasilkan data digital elevation model (DEM) dan deformasi pada skala sentimeter adalah radar image yang berpasangan dan overlap. Radar yang overlap bisa diperoleh dengan 2 cara, yaitu: (1) satelit dilengkapi dengan antenna yang terpisah, satu antenna berfungsi sebagai transmitter dan receiver sementara antenna lain berfungsi sebagai receiver kedua. Image yang dihasilkan oleh kedua antenna

(5)

 

mirip tetapi dengan sudut pandang yang berbeda. NASA menggunakan satelit jenis ini untuk Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) dan (2) membuat citra yang overlap dengan cara mengambil data citra setidaknya dua kali dengan titik/sudut yang berdekatan pada waktu yang berbeda. Prinsip ini sama dengan pengambilan data deformasi menggunakan metode lapangan secara episodik.

Kedua, co-registration dan membuat interferogram untuk mendapatkan beda phase antara dua radar image. Hasil yang baik ditentukan oleh nilai koherensi kedua image. Nilai koherensi dipengaruhi terutama oleh baseline/jarak satelit pada waktu pengambilan data yang berbeda. Pada baseline yang panjang, perbedaan yang disebabkan oleh topografi dan sudut datang sinyal akan menyulitkan tercapainya koherensi yang baik. Interferogram dihasilkan dari geometri sudut pandang kedua image (orbital fringe), topografi (topographic fringe), delay karena perbedaan kondisi atmosfer, gangguan, dan perubahan range yang disebabkan oleh deformasi permukaan bumi (deformation fringe) selama rentang dua waktu pengambilan data. Untuk menghasilkan informasi deformasi permukaan, efek dari geometri dan topografi harus dihilangkan. Pada pengambilan data radar, sinyal yang kembali dan ditangkap oleh receiver sangat bervariasi dan random termasuk perubahan fase yang disebabkan oleh sinyal radar yang berinteraksi dengan permukaan suatu benda. Pembuatan interferogram dimaksudkan untuk menghilangkan variasi dan data yang acak tersebut dengan cara meregistrasi dua citra yang diambil pada waktu yang berbeda namun dari titik dan sudut yang hampir sama, menghilangkan efek geometri dan topografi, dan pada akhirnya hanya menghasilkan perubahan/deformasi di permukaan.

InSAR UNTUK PEMANTAUAN GUNUNGAPI

Banyak contoh keberhasilan penggunaan InSAR untuk mengukur adanya deformasi di gunungapi. Meskipun metode ini tidak selalu berhasil di semua gunungapi terutama di daerah tropis dan subtropis dimana koherensi yang baik antar

image sulit untuk didapatkan karena pengaruh vegetasi dan perbedaan cuaca serta iklim yang berimbas pada perbedaan kandungan uap air di atmosfer serta kenampakan bentang alamnya yang berubah dari waktu ke waktu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut ditempuh beberapa cara, yaitu diantaranya:

1. Menggunakan data satelit dengan panjang gelombang yang lebih tinggi, dalam hal menghilangkan pengaruh vegetasi akan lebih baik digunakan L-band radar dibandingkan dengan C-band atau X-band.

2. Hanya menggunakan pasangan image yang diambil pada musim yang sama untuk menghindari kesalahan yang disebabkan oleh perubahan permukaan bumi karena cuaca misalnya karena tertutup salju, dan reduksi efek atmosfer yang berbeda. Karena meskipun temporal decorrelation tidak menjadi masalah, anomali yang disebabkan oleh delay karena efek atmosfer dapat menyulitkan interpretasi. Delay karena efek atmosfer terjadi di ionosfer atau troposfer dan disebabkan oleh ketidak homogenan kandungan air, suhu, tekanan, atau kerapatan elektron. Akan lebih baik lagi kalau pengambilan data dilakukan pada malam hari pada saat kondisi atmosfer stabil.

Bagaimana data InSAR bisa diinterpretasikan sebagai deformasi di tubuh gunungapi? Ilustrasi pada Gambar 2a memperlihatkan bagaimana interferogram menginformasikan adanya inflasi. Suatu tubuh gunungapi yang menggembung menghasilkan pola fringe konsentrik pada interferogram yang efek geometri dan topografinya sudah dihilangkan (Massonnet, 1997 dalam Dzurisin, 2007). Pada gambar tersebut, jika tinggi gunungapi berubah dari garis tegas ke garis putus-putus pada radar yang diambil pada waktu t1 dan t2, range R(t) dari SAR ke permukaan akan menurun setengah panjang gelombangnya (δR=λ/2) di beberapa area, δR= λ di area lain, dan δR = 3λ/2 di area berikutnya, dan seterusnya. Untuk setiap setengah panjang gelombang perubahan, akan terbentuk fringe yang diperlihatkan dengan perubahan warna dari merah ke biru pada interferogram.Deformasi berupa inflasi dengan sumber titik (point-source) akan diperlihatkan

(6)

oleh pola fringe yang konsentrik di sekitar gunungapi dengan interval kontur λ/2. Penurunan (subsidence) akan ditunjukkan dengan perubahan warna ke arah sebaliknya (Gambar 2b). Pola fringe yang berhubungan dengan sumber tidak simetrik seperti misalnya pada model pipa terbuka maupun tertutup tidak berbentuk melingkar karena radar melihatnya dari samping dan peka terhadap perubahan vertikal maupun horizontal.

(a)

(b)

Gambar 2. (a) Ilustrasi deformasi di tubuh gunungapi dan perubahan range dan (b) interferogram yang menginformasikan adanya inflasi dan deflasi di gunungapi (Dzurisin, 2007).

Berikut ini adalah contoh penggunaan metode InSAR memakai data ALOS untuk pemantauan/pengukuran deformasi di gunungapi Indonesia:

1. Gunung Sinabung, Sumatera Utara

Gunung Sinabung memperlihatkan adanya inflasi sebesar 4 cm selama periode Februari 2007 – 2009 dengan kecepatan deformasi 2.2 cm/tahun (Chaussard, 2010). Pada bulan September 2010 Gunung Sinabung meletus setelah lebih dari 300 tahun istirahat. Deformasi teramati di puncak Gunung Sinabung merupakan gejala awal letusan tersebut. Data lain (komunikasi pribadi) menunjukkan bahwa terjadi inflasi sebesar 2 cm pada rentang waktu Februari – Juli 2010 (Gambar 3).

Gambar 3. Hasil InSAR G. Sinabung Februari – Juli 2010 (Agustan, dkk, 2010)

2. Gunung Slamet, Jawa Tengah

Setelah tidak ada letusan selama 7 tahun, Gunung Slamet kembali meletus pada April 2009. Data satelit menunjukkan adanya inflasi sebesar 12 cm selama periode Mei 2007 hingga Mei 2009 dengan kecepatan inflasi sebesar 7.7 cm/tahun (Chaussard, 2010).

3. Gunung Merapi

Dari data InSAR terdeteksi inflasi yang cukup besar di Gunung Merapi hingga September 2010 di lereng barat kawah. Inflasi terukur sebesar 5 cm, bersesuaian dengan hasil pengukuran lapangan sebesar 11 mm/hari pada 16 September 2010. Inflasi juga masih terdeteksi hingga 1 November 2010 selama letusan berlangsung (Agustan, 2011).

(7)

 

KESIMPULAN

Informasi yang diperoleh dari data satelit sangat berguna untuk membantu dalam mitigasi bencana gunungapi. Data deformasi yang diperoleh jauh sebelum letusan terjadi, atau sebelum gempa-gempa dangkal muncul menjelang letusan sangat dibutuhkan. Untuk keperluan tersebut memang dibutuhkan ketelitian yang lebih tinggi, pengambilan data yang lebih rapat, serta proses yang lebih baik untuk menghilangkan efek atmosfer dan koherensi yang rendah. Setidaknya, pada saat ini data satelit sudah dapat memberikan informasi yang dibutuhkan mengingat kelebihannya dibandingkan dengan metode pengukuran lapangan.

DAFTAR ISTILAH (Dzurisin, 2007)

Fringe (radar interferometry) : Color band corresponding to ha meters of topographic relief

in a radar interferogram that retains topographic information; or to half a wavelength of ground-range change in a topography removed interferogram; where ha is the altitude of ambiguity for the interferogram.

Foreshortening : a type of spatial distortion in radar images whereby terrain slopes facing a side-looking radar’s illumination are mapped as having a compressed ground-range scale relative to flat-lying areas. The effect is more pronounced for steeper slopes and for radars using steeper incidence angles. Range-scales expansion, the complementary effect, occurs for slopes that face away from the radar.

Layover : an extreme form of foreshortening in radar images in which the top of a reflecting object such as mountain is closer to the radar than are the lower parts of the object. The image of such a feature appears to lean toward the radar. The effect is more pronounced for radars that use steeper incidence angles.

Shadowing : the effect of side-looking radar images produced by steep topography or other obstructions that block down-range areas from being illuminated by radar beam. Shadowed areas produce no radar backscatter and, therefore.

Appear dark in the radar image. The effect is more pronounced for radars that use shallow incidence angles.

Ground range : Distance measured from the near-range line to particular point in the footprint of an imaging radar systems (i.e., the area illuminated by the radar beam) in the direction perpendicular to the flight path of the radar. The resolution of an imaging-radar system in the ground-range direction improves with higher radar frequency, greater signal bandwidth, and higher (more grazing) incidence angle.

Slant range : The straight-line distance from a sensor to a target (e.g., from an imaging radar antenna to a point in the antenna footprint (i.e., the area on the ground illuminated by the radar beam) or from a GPS satellite to a receiver). DAFTAR PUSTAKA

Agustan, Kriswati, E., and Kimata, F.,2011, The 2010 Merapi Eruption: Observation System based on Remote Sensing Technique, abstract for Asia Oceania Geosciences Society (AOGS) Taipei 2011

Dzurisin, 2007, Volcano Deformation, Geodetic Monitoring Techniques, Springer-Praxis Books in Geophysical Sciences

Chaussard, E., and Amelung, F., 2010, Monitoring the ups and downs of Sumatra and Java with D-InSAR time-series, a presentation file, American Geophysical Union, Fall Meeting 2010 http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect8/Sect8_4.html,

Remote Sensing Tutorial Page 8-4, Section 8 Radar and Microwave Remote Sensing.

Gambar

Tabel 1. Satelit radar
Gambar 1. Ilustrasi terjadinya foreshortening,  layover, dan shadowing.  Pada tampakan topografi A,  sinyal radar mencapai puncak dari lereng yang  menghadap arah datang sinyal sebelum mencapai  lereng bagian bawah
Gambar 3. Hasil InSAR G. Sinabung Februari – Juli  2010 (Agustan, dkk, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini pengetahuan responden dihitung berdasarkan jumlah jawaban yang benar mereka dari pertanyaan mengenai persalinan dan penolong persalinan meliputi yang boleh

Kereta Api Indonesia tetap konsisten, baik diukur dengan rasio keuangan saja maupun diukur dengan pengukuran kinerja yang komprehensif ( Balanced Scorecard ). Hasil

Keterampilan sosial siswa baik berkebutuhan khusus maupun normal merupakan perilaku sebagai wujud dari interaksi sosial antar siswa di Sekolah inklusi untuk mencapai

There is a big opportunity for Banda Aceh to sell the heritage assets in tourism arena. The Baiturrahman Great Mosque has sufficient criteria for heritage tourism icon. What

Ukuran kristal sampel Zn 1-x Cu x O untuk semua variasi penambahan konsentrasi dopan tembaga (Cu) yang didapatkan dari hasil pengolahan menggunakan software MAUD

Semakin besarnya kebutuhan akan plastik, maka kebutuhan akan bahan baku plastik pun semakin meningkat. Salah satu bahan baku plastik yang banyak digunakan saat

Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman

The annual financial statements, consolidated financial state- ments, combined management report, and separate, combined non-financial report for fiscal 2018 were presented in good