• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter di Indonesia dikontrol oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, kebijakan moneter yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam mewujudkan stabilitas ekonomi makro terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional. Kerangka strategis umumnya terkait dengan pencapaian tujuan akhir kebijakan moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja) serta strategi untuk mencapainya (exchange Rate

targeting, monetary targeting, Inflation targeting, implicit but not explicit anchor)

(Warjiyo dan Solikin, 2004).

Kerangka operasional kebijakan moneter terdiri dari instrumen, sasaran-operasional, dan sasaran-antara yang digunakan untuk mencapai sasaran akhir. Sasaran-antara diperlukan karena adanya time lag antara pelaksanaan kebijakan moneter dengan hasil pencapaian sasaran akhir, sehingga untuk meninjau keefektifan suatu kebijakan, maka diperlukan adanya kebijakan yang dapat dilihat dengan segera (Pohan,2008:38).

Seperti yang tercantum dalam UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia pasal 1 ayat (10), “Kebijakan moneter adalah kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga”. Kebijakan moneter memiliki target akhir yang ingin dicapai,

(2)

yakni pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan, kesempatan kerja, kestabilan harga, keseimbangan neraca pembayaran (Pohan, 2008: 26).

Untuk mencapai sasaran akhir ini, diperlukan adanya sasaran operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai rencana. Kerangka operasional kebijakan moneter merupakan rangkaian langkah-langkah bank sentral dari penentuan dan prakiraan sasaran akhir, pemantauan variabel-variabel ekonomi yang dijadikan dasar perumusan kebijakan moneter hingga pelaksanaan pengendalian di pasar uang untuk mencapai sasaran akhir.

Kriteria dari sasaran-operasional ini adalah memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan oleh bank sentral, dan informasi tersedia lebih awal dari pada sasaran-antara. Sedangkan instrumen moneter merupakan instrumen yang dimiliki bank sentral yang dapat mempengaruhi sasaran operasional yang telah ditetapkan.

Instrumen Sasaran Operasional Sasaran Antara Sasaran Akhir -Operasi pasar terbuka -Cadangan wajib minimum -Fasilitas diskonto -Imbauan -Uang primer -Reserve Bank -Besaran Moneter (M1,M2,kredit) -Suku bunga -Stabilitas harga -Pertumbuhan ekonomi -Kesempatan kerja

Kerangka Kebijakan Moneter

Sumber: Aulia Pohan, 2008

Gambar 2.1

KERANGKA KEBIJAKAN MONETER

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, indikator adalah sasaran menengah untuk mencapai sasaran akhir. Indikator penting sekali peranannya karena berfungsi sebagai indikasi apakah arah suatu kebijakan moneter tetap tertuju

(3)

kepada sasaran yang ingin dicapai atau tidak,sekaligus sebagai pengukur sejauh mana pencapaian hasil dari kebijakan moneter yang diinginkan. Indikator atau

intermediate target tersebut adalah variabel-variabel yang mempengaruhi

keseimbangan pasar uang. “Terdapat dua pilihan variabel yang dapat digunakan yaitu tingkat suku bunga (interest rate) dan jumlah uang beredar (monetary

aggregate)”. (Pohan,2008:41)

Selain itu untuk dapat mengontrol indikator baik tingkat suku bunga maupun uang beredar, bank sentral perlu melakukan intervensi dalam menggunakan sejumlah alat-alat kebijakan moneter atau biasa disebut dengan instrumen kebijakan moneter, instrumen yang digunakan oleh bank sentral yaitu instrumen langsung dan instrumen tidak langsung.

Instrumen langsung merupakan instrumen yang dapat digunakan secara langsung pada saat dibutuhkan. Terdapat beberapa jenis instrumen langsung yaitu penetapan suku bunga, pagu kredit, rasio likuditas langsung, kuota rediskonto, pengguntingan uang dan penjualan kembali surat berharga.

Sementara itu instrumen tidak langsung merupakan instrumen yang tidak dapat secara langsung mempengaruhi uang beredar. Terdapat beberapa jenis instrumen tidak langsung yang terdiri dari cadangan wajib minimum, fasilitas diskonto dan rediskonto, operasi pasar terbuka, fasilitas simpanan bank sentral, intervensi valuta asing, lelang kredit dan moral suasion. (Pohan,2008:48)

2.1.1.1 Tujuan Kebijakan Moneter

Target akhir sebuah kebijakan moneter adalah suatu kondisi ekonomi makro yang ingin dicapai. Target akhir tersebut tidak sama dari satu negara dengan negara lainnya serta tidak sama dari waktu ke waktu. Target kebijakan

(4)

moneter tidak statis, namun bersifat dinamis karena selalu disesuaikan dengan kebutuhan perekonomian suatu negara. Akan tetapi, kebanyakan negara menetapkan empat hal yang menjadi ultimate target dari kebijakan moneter,yaitu : a. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan,

b. Kesempatan kerja,

c. Kestabilan harga, dan Keseimbangan neraca pembayaran.

Idealnya, semua sasaran perekonomian tersebut dapat dicapai secara serentak dan optimal. Namun, karena usaha-usaha untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut dapat menimbulkan dampak yang kontradiktif, sangat sulit untuk mencapai semua sasaran dengan serempak dan optimal. Menyadari adanya hal yang bertolak belakang tersebut, otoritas moneter biasanya harus memilih berbagai alternatif yang memungkinkan dan menguntungkan.

Mengingat kompleksitasnya, dalam teori ekonomi moneter, mekanisme transmisi kebijakan moneter sering disebut “black box” (Mishkin, 1995), karena transmisi dimaksud banyak dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : (1) perubahan perilaku bank sentral, perbankan, dan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas ekonomi dan keuangannya; (2) lamanya tenggat waktu (time lag) sejak tindakan otoritas moneter sampai pada akhir tercapai; (3) terjadinya perubahan pada saluran-saluran transmisi moneter itu sendiri sesuai dengan perkembangan ekonomi dan keuangan di negara yang bersangkutan.

Alternatif pertama adalah memilih salah satu sasaran untuk dicapai secara optimal dan mengabaikan sasaran lainnya. Alternatif kedua adalah mengupayakan untuk mencapai semua target dengan resiko tidak ada satupun yang tercapai

(5)

secara optimal. Alternatif ini dipilih dengan alasan karena semua indikator yang menjadi target kebijakan ekonomi itu sama pentingnya.

Betapa pentingnya semua target itu membuat kebijakan moneter yang diambil oleh suatu negara bukanlah sebuah langkah mudah. Namun, sejalan dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan telah direvisi dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004, tujuan Bank Indonesia telah bersifat tunggal, yaitu menjaga kestabilan harga atau inflasi. (Aulia Pohan, 2008)

Pada dasarnya semua negara di dunia memiliki tujuan akhir yang ingin dicapai oleh otoritas moneter masing-masing negara untuk mencapai suatu perekonomian yang ideal bagi negara tersebut. Peran Bank Indonesia dalam konteks pengelolaan perekonomian secara makro lebih difokuskan pada menjaga kestabilan harga. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, tugas Bank Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat mendasar dalam hal pengelolaan moneter. Dalam UU tersebut, terdapat perubahan paradigma mengenai tujuan kebijakan moneter yang jauh lebih fokus dibandingkan dengan UU sebelumya, yaitu menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Sejak tahun 2000, Bank Indonesia menerapkan pola kebijakan moneter yang diformulasikan dalam rangka mencapai sasaran tingkat inflasi yang ditargetkan. Landasan hukumnya adalah UU No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diungkapkan bahwa sasaran laju inflasi merupakan sasaran akhir kebijakan moneter Indonesia.

(6)

2.1.1.2 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Perubahan perilaku otoritas moneter, perbankan dan sektor keuangan serta pelaku ekonomi akan berpengaruh pada interaksi yang dilakukannya dalam berbagai aktivitas perekonomian dan akan membawa perubahan pada mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan akhir yang ditetapkan (Warjiyo dalam Hirawan, 2007). Pada dasarnya praktik pelaksanaan transmisi kebijakan moneter masing-masing negara berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan struktur perekonomian, perkembangan pasar keuangan dan sistem nilai tukar yang dianut oleh negara yang bersangkutan.

Pada dasarnya terdapat empat jalur transmisi utama yang menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi perekonomian (Mishkin, 1995,), yaitu : jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga aset dan jalur kredit. Mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan proses pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor keuangan dan sektor riil (Warjiyo, 2004). Masing-masing jalur transmisi tersebut menjelaskan mengenai alur pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor keuangan dan aktivitas ekonomi.

Jalur suku bunga dimana suku bunga riil jangka panjang paling berpengaruh dalam perekonomian. Pengetatan moneter mengurangi uang beredar dan dalam jangka pendek akan mendorong naiknya suku bunga nominal jangka pendek. Apabila kebijakan ini dianggap sesuai, masyarakat akan mempunyai

(7)

ekspektasi bahwa laju inflasi akan menurun di waktu mendatang sehingga expected inflation menurun atau suku bunga riil jangka panjang meningkat.

Jalur nilai tukar berpandangan bahwa pergerakan nilai tukar paling berpengaruh bagi perekonomian khususnya perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar fleksibel. Pengetatan moneter akan mendorong suku bunga nominal dalam negeri meningkat. Jika suku bunga internasional tidak berubah maka interest rate differential meningkat, dan ini akan mendorong masuknya dana dari luar negeri. Nilai tukar akan cenderung mengalami apresiasi. Kegiatan ekspor akan menurun dan sebaliknya impor meningkat, sehingga transaksi berjalan dalam neraca pembayaran akan membaik akibatnya laju inflasi akan mengalami penurunan.

2.1.2 Teori Inflasi

Inflasi didefinisikan dengan banyak ragam yang berbeda, tetapi semua definisi itu mencakup pokok-pokok yang sama. Samuelson (2001) memberikan definisi bahwa inflasi sebagai suatu keadaan dimana terjadi kenaikan tingkat harga umum, baik barang-barang, jasa-jasa maupun faktor-faktor produksi. Dari definisi tersebut mengindikasikan keadaan melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara.

Inflasi merupakan salah satu varibel makro yang memiliki hubungan yang erat dengan kebijakan moneter, serta memiliki dampak yang besar terhadap perekonomian suatu negara, hal ini dikarenakan inflasi dapat mempengaruhi hampir segala aspek kegiatan ekonomi oleh karena itu diperlukan perhatian yang khusus.

(8)

Dalam ekonomi, inflasi memiliki pengertian suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan secara terus-menerus (Nopirin,1987:25). Dapat juga dikatakan bahwa kenaikan harga barang yang hanya sementara tidak dapat diakatan sebagai sebuah penyebab terjadinya suatu inflasi. Literatur yang lain menyatakan bahwa inflasi merupakan “condition of continually rising price level

so a nation is called face the inflation if inflation rate is extremely high for sustained period of time, its rate of money supply extremely high”

(Mishkin,2004:632)

Pada dasarnya inflasi memiliki beberapa pengertian Mankiw (2006) menyatakan ”Economist use the term inflation to describe a situation in which the

economy’s overall price level is rising”. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

kenaikan harga-harga barang tidaklah harus pada presentase yang sama tapi secara keseluruhan ada peningkatan pada level harga tertentu bahkan mungkin kenaikan harga pada kelompok barang dan jasa tersebut tidak terjadi secara bersamaan (Pohan,2008).

Secara umum pendapat ahli ekonomi menyimpulkan bahwa inflasi yang menyebabkan turunnya daya beli dari nilai uang terhadap barang-barang dan jasa, besar kecilnya ditentukan oleh elastisitas permintaan dan penawaran akan barang dan jasa. Faktor lain yang juga turut menentukan fluktuasi tingkat harga umum diantaranya adalah kebijakan pemerintah mengenai tingkat harga, yaitu dengan mengadakan kontrol harga, pemberian subsidi kepada konsumen dan lain sebagainya.

Kesimpulannya kenaikan harga pada satu atau beberapa komoditas barang tidak dapat dikatakan sebagai inflasi, kecuali kenaikan tersebut akan berdampak

(9)

pada barang yang lain sehingga mengakibatkan kenaikan harga secara menyeluruh. Hal itu sejalan dengan pernyataan Militon Friedman, bahwa inflasi merupakan fenomena moneter yang disebabkan oleh peningkatan harga yang tidak hanya terjadi pada satu atau beberapa komoditas saja tapi secara umum dan berlangsung secara terus menerus (Miskhin, 2004:195)

Inflasi dapat digolongkan menurut sifatnya, menurut sebabnya, parah dan tidaknya inflasi tersebut dan menurut asal terjadinya. Menurut Samuelson (2004:676-677) dan Boediono (2005:163) penyebab inflasi dibagi menjadi dua yaitu:

1. Demand Pull Inflation

Demand pull inflation adalah kenaikan harga-harga yang disebabkan

oleh adanya gangguan (shock) pada sisi permintaan barang dan jasa. Inflasi ini disebabkan karena sisi permintaan agregat lebih besar daripada sisi penawaran agregat dalam perekonomian. Tingginya permintaan ini disebabkan oleh terlalu banyaknya uang yang beredar di masyarakat, yang pada akhirnya mendorong masyarakat untuk meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya kenaikan tingkat harga barang dan jasa.

Dalam gambar tersebut di bawah dapat terlihat bahwa, peningkatan dalam JUB mengakibatkan permintaan masyarakat untuk berkonsumsi akan cenderung meningkat, dan peningkatan ini akan megeser kurva permintaan ke kanan (Demand 2), sehingga meskipun produksi dan permintaan naik dari Q1 ke Q2, namun harga akan naik dari P1 ke P2, sehingga bila ini terjadi pada semua barang akan menimbulkan inflasi

(10)

Sumber: Boediono, 2005 Gambar 2.2

DEMAND PULL INFLATION. 2. Cost Push Inflation

Berbeda dengan demand pull inflation, cost push inflation adalah inflasi yang disebabkan oleh adanya gangguan (shock) dari sisi penawaran barang dan jasa atau yang biasa juga disebut dengan supply shock inflation.

Cost push inflation disebabkan karena tingkat penawaran lebih rendah

dibandingkan tingkat permintaan hal ini dikarenakan adanya kenaikan biaya dari kegiatan memproduksi barang dan jasa dalam perekonomian.

Ketika harga-harga input untuk melakukan proses produksi meningkat maka akan mengakibatkan biaya produksi meningkat dan akhirnya akan meningkatkan harga output dalam perekonomian, sehingga produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada jumlah tertentu. Penawaran yang semakin turun mengakibatkan kelangkaan barang dan barang yang ada di perekonomiaan menjadi semakin mahal sehingga mengakibatkan terjadinya inflasi.

(11)

S2 S1 P1 P2 Q2 Q1 Harga Output Sumber: Boediono, 2005 GAMBAR 2.3 COST PUSH INFLATION

Dari gambar di atas terlihat bahwa, kenaikan harga (dari P1 ke P2) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi, yang mendorong produsen untuk mengurangi jumlah produksinya (garis Supply 1 bergeser ke kiri menuju Supply 2), akibatnya jumlah produksi berkurang dan harga naik dari P1 ke P2.

Bila diperhatikan, dampak dari kenaikan harga ini lebih buruk dari proses yang disebabkan Demand Pull, karena selain kenaikan harga, jumlah produksi juga berkurang, sehingga selain harus menanggung kenaikan harga, masyarakat juga mengalami kesulitan dalam mendapatkan produk.

Berdasarkan asal-usulnya, maka inflasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) dan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), (Nopirin, 1994).

1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)

Inflasi ini disebabkan oleh adanya shock dari dalam negeri, baik karena tindakan masyarakat maupun tindakan pemerintah dalam melakukan kebijakan-kebijakan perekonomian.

(12)

2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)

Imported inflation adalah inflasi yang terjadi di dalam negeri karena

adanya pengaruh kenaikan harga dari luar negeri, terutama kenaikan harga barang- barang impor yang selanjutnya juga berdampak pada kenaikan harga barang-barang input produksi yang masih belum bisa diproduksi secara domestik.

Sedangkan berdasarkan intensitasnya menurut Samuelson (2004:671). inflasi dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. Low inflation

Yaitu inflasi rendah dengan laju kurang dari 10% per tahun. Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan presentase yang kecil dalam jangka waktu yang relatif lama dan dapat diperkirakan. Ketika nilai uang stabil maka masyarakat mempercayai untuk memegang uang.

2. Galloping Inflation

Yaitu inflasi menengah yang ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar (biasanya dua digit atau tiga digit per tahun) dan berjalan dalam jangka waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat-sifat akselerasi. Dalam kondisi ini uang kehilangan nilainya dengan cepat sehingga masyarakat memegang uang dalam jumlah besar hanya untuk memenuhi kebutuhan transaksi harian.

3. Hyperinflation

Merupakan inflasi yang paling parah akibatnya karena pada saat terjadi hyperinflation harga-harga naik 5 sampai 6 kali lipat. Preferensi masyarakat untuk menyimpan uang sudah tidak ada lagi diakrenakan nilai

(13)

uang yang merosot tajam sehingga masyarakat lebih memilih untuk menukarkannya dengan barang. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja.

Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. disebut dengan

equity effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan

nasional masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Nopirin, 2000).

Setelah mengetahui efek-efek yang ditimbulkan oleh inflasi maka diperlukan adanya suatu kebijakan yang bisa mengontrol tingkat inflasi yang terjadi dalam perekonomian sehingga efek-efek negatif yang ditimbulkan oleh inflasi tidak menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh sebab itu bank sentral harus membuat suatu kebjakan yang khusus mengatasi permasalahan inflasi, bank sentral pada beberapa negara telah menerapkan sebuah pemikiran terbaru dalam bidang kebijakan moneter yang disebut Inflation Targeting

Framework (ITF).

2.1.3 Inflation Targeting Framework (ITF)

Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kerja

kebijakan moneter yang mempunyai ciri-ciri utama adanya pernyataan resmi dari bank sentral dan dikuatkan dengan undang-undang bahwa tujuan akhir dari kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, dan mengumumkan target inflasi kepada publik.

(14)

Pengumuman tersebut mengandung arti bahwa bank sentral memberikan komitmen dan jaminan kepada publik bahwa setiap kebijakannya selalu mengacu pada pencapaian target tersebut, dan bank sentral mempertanggung jawabkan kebijakannya apabila target tersebut tidak tercapai. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter.

Kerangka kebijakan ini pertama kali diterapkan oleh New Zaeland pada awal 1990-an. Dimana pada saat itu Bank of New Zaeland menerapkan strategi tersebut guna menanggulangi overheated di New Zaeland, dan kerangka baru tersebut berhasil menjaga tingkat inflasi yang rendah dan tingkat harga yang stabil.

Perlunya mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil didasarkan oleh dua hal (Warjiyo dan Solikin, 2004), yaitu adanya biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat terjadinya laju inflasi yang tinggi, serta adanya temuan empiris yang menunjukkan bahwa dalam jangka menengah-panjang, kebijakan moneter hanya akan berpengaruh terhadap inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi, walaupun belum terdapat kesepakatan tentang pengaruh kebijakan moneter dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.

Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter yang memiliki wewenang untuk mengumumkan target inflasi yang ingin dicapai oleh pemerintah kepada masyarakat. Menurut Bank Indonesia guna mencapai sasaran inflasi kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan arah kebijakan moneter dilakukan melalui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke

(15)

depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan atau perlu dikoreksi lagi.

Agar penerapannya bisa efektif, ITF membutuhkan beberapa syarat, baik syarat sebelum implementasi maupun syarat saat implementasi. Sebelum implementasi ITF, pemerintah harus mempersiapkan dua hal, antara lain:

1. Menciptakan independensi bank sentral.

Ada beberapa independensi yang dimiliki bank sentral, tapi yang terpenting adalah independensi instrumen. Artinya, bank sentral memiliki kebebasan untuk menentukan dan menggunakan setiap instrumen kebijakan tanpa diganggu oleh kepentingan pihak lain (eksekutif dan legislatif). Gangguan yang sering terjadi berasal dari sisi fiskal, yaitu kebijakan pembiayaan defisit anggaran melalui pencetakan uang baru (seignarage). Jika hal ini terjadi, maka sangat sulit bagi bank sentral untuk mengontrol jumlah uang beredar (money supply) yang memenuhi dua kepentingan sekaligus. Untuk alasan itu, maka tidak adanya dominasi fiskal dalam model ITF merupakan suatu keharusan.

2. Menghindari target-target nominal selain inflasi.

Tidak adanya target nominal selain inflasi, misalnya target nilai tukar. Secara teoritis dan empirik inflasi memiliki hubungan yang erat dengan nilai tukar. Akibatnya, memilih target inflasi berarti mengorbankan target nilai tukar. Jika inflasi yang dipilih untuk dijadikan target atau sasaran akhir kebijakan moneter, maka perekonomian harus menerima konsekuensi dari berapapun besarnya nilai tukar. Untuk alasan itu, maka rezim nilai tukar yang relevan dengan ITF adalah free floating exchange rates.

(16)

Setelah dua syarat tersebut di atas dipenuhi, maka suatu negara dapat memulai implementasi kebijakan moneter dengan sasaran tunggal inflasi atau model ITF. Meskipun demikian, agar model ITF dapat berjalan dengan baik maka ada empat prinsip pokok rezim kebijakan moneter dengan Inflation Targeting

Framework (ITF) :

1. Memiliki sasaran utama yaitu sasaran inflasi yang dijadikan sebagai prioritas pencapaian (overriding objective) dan acuan (nominal anchor) kebijakan moneter.

2. Bersifat antisipatif (preventive atau forward looking) dengan mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan.

3. Mendasarkan pada analisis, prakiraan, dan kaidah kebijakan tertentu dalam menetapkan pertimbangan respon kebijakan moneter (constrained

discretion).

4. Sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good governance), yaitu berkejelasan tujuan, konsisten, transparan, dan berakuntabilitas. Beberapa persyaratan tersebut di atas, memungkinkan adanya hal-hal positif atau kekuatan dalam kebijakan ekonomi, antara lain: Penerapan ITF memungkinkan bank sentral (otoritas moneter) untuk fokus pada masalah inflasi, tanpa diganggu persoalan-persoalan lainnya. Selain itu penerapan ITF memungkinkan bank sentral untuk transparan dalam kebijakan ekonomi.

Keharusan mengumumkan semua aspek kepada publik membawa dua manfaat sekaligus, yaitu publik lebih familier dengan kebijakan ekonomi yang

(17)

ditempuh oleh otoritas moneter dan menghindari adanya time inconsitency yang dilakukan oleh otoritas moneter.

Meski kebijakan target inflasi ini cukup menjanjikan, namun sebenarnya terdapat banyak hambatan yang berkaitan dengan banyaknya prasyarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya di Indonesia. Ditambah dengan adanya faktor lain yang juga menjadi kendala dalam pemberlakuan kebijakan ini. Menurut (Maimun,2006) secara singkat, hambatan-hambatan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Hambatan dalam menciptakan independensi

Sulitnya menciptakan independensi bank sentral, karena hingga saat ini sistem pemerintahan Indonesia tidak memungkinkan untuk memberikan kewenangan penuh terhadap suatu lembaga/otoritas dalam menjalankan fungsi pengawasan instrumen keuangan. Dengan kata lain bahwa pemerintah tidak dapat benar-benar tidak turun campur tangan dalam urusan lembaga pengawas, meski lembaga tersebut disebut lembaga independen. Para pejabat dalam lembaga tersebut digaji oleh pemerintah, yang berarti loyalitas mereka terhadap pemerintah tak diragukan lagi. Hal ini jelas-jelas menyebabkan fungsi pengawasan tak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

2. Hambatan dalam memprediksi inflasi.

Kemampuan untuk memprediksi inflasi merupakan kunci utama dalam pelaksanaan kebijakan target inflasi. Kemungkinan besar, peramalan inflasi di Indonesia akan sulit dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan kondisi politik dan keamanan yang boleh dikatakan tidak menentu akibat adanya goncangan internal. Padahal, stabilitas nasional sangat berperan dalam

(18)

menentukan kondisi ekonomi suatu negara. Untuk saat ini, para investor masih beranggapan bahwa negara kita tidak cukup kondusif bagi investasi. Isu-isu seputar politik dan keamanan daerah sudah rawan untuk memporak-porandakan perekonomian nasional. Jika stabilitas belum tercapai, maka otoritas moneter akan kesulitan dalam memprediksi.

3. Hambatan konsistensi dan transparansi.

Pelaksanaan kebijakan target inflasi secara konsisten dan transparan juga akan sulit terwujud. Selain itu permasalahan internal yang terjadi dalam suatu negara menyebabkan sikap masyarakat semakin apatis dan enggan berpartisipasi dalam pelaksanaan pemulihan krisis ekonomi.

4. Hambatan dalam mewujudkan kebijakan secara fleksibel dan kredibel.

Menjalankan kebijakan secara fleksibel sekaligus kredibel juga bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Jika kebijakan diberlakukan secara lentur, maka akan membuka kesempatan korupsi dan kolusi, sehingga menyebabkan

incredible. Demikian juga sebaliknya, apabila kebijakan ini lebih berfokus

pada kredibilitas, maka akan timbul sifat inflexible.

2.1.4 Definisi Variabel Suku Bunga, M2, Tingkat Inflasi, Nilai Tukar

Dalam penelitian ini ada beberapa variabel moneter yang biasa digunakan untuk mengkaji suatu kebijakan moneter. Variabel pertama yang digunakan adalah variabel suku bunga, dalam penelitian ini suku bunga yang digunakan adalah tingkat suku bunga yang digunakan sebagai acuan kebijakan moneter yaitu suku bunga Bank Indonesia untuk negara Indonesia.

Suku bunga merupakan harga atas dana yang dipinjam (Reilly and Brown, 1997).Menurut Miskhin (2004:61) pengertian tingkat bunga adalah biaya dari

(19)

peminjaman atau harga dari sewa sejumlah dana tertentu, sedangkan menurut Samuelson (1998:84) suku bunga adalah pembayaran yang dilakukan untuk penggunaan uang. Dengan kata lain bunga adalah harga yang harus dibayar untuk meminjam uang sebagai pengganti keuntungan yang hilang dari pemberi pinjaman selama waktu pinjaman.

Tingkat bunga memiliki peranan penting dalam suatu kebijakan moneter aktifitas menaikkan dan menurunkan tingkat suku bunga oleh otoritas moneter dapat mempengaruhi perekonomian. Menurut teori klasik, tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga, semakin tinggi tingkat bunga maka semakin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menabung, dengan kata lain tingkat bunga yang tinggi masyarakat akan lebih terdorong untuk mengurangi pengeluaran untuk konsumsi guna menambah tabungannya. Tingkat suku bunga juga dapat digunakan oleh otoritas moneter dalam mempengaruhi jumlah uang beredar salah satu jenis uang beredar yang dapat dipengaruhi yaitu M2.

Variabel kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel M2 yaitu Uang beredar adalah meliputi uang dalam peredaran, uang giral, dan uang kuasi. Uang kuasi terdiri dari deposito berjangka, tabungan, dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik. seperti yang telah diketahui oleh masyarakat bahwa uang adalah alat yang digunakan untuk pembayaran barang dan jasa . Jenis uang beredar dalam masyarakat terdiri dari beberapa jenis yaitu M1, M2, dan M3, pemisahan dan klasifikasi tersebut bertujuan untuk mempermudah pengukuran total jumlah uang beredar dalam JUB.

Variabel ketiga yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat inflasi yang diukur dalam IHK atau indeks harga konsumen, variabel ini sangat penting

(20)

digunakan untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara pada waktu tertentu, beberapa pendekatan lain yang digunakan untuk mengukur tingkat harga adalah dengan menggunakan perubahan indeks harga perdagangan besar (IHPB), IHPB sama halnya dengan IHK tapi dalam IHPB dipisahkan berdasarkan sektor-sektor ekonomi, ekspor dan impor, baik secara total keseluruhan maupun tanpa migas.

Variabel yang terakhir yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai tukar (exchange rate). Nilai tukar atau kurs didefinisikan sebagai nilai suatu mata uang terhadap mata uang lain (Mishkin, 2008). Sementara itu Krugman (2000) menjelaskan nilai tukar sebagai harga sebuah mata uang yang diukur atau dinyatakan dalam mata uang lain.

Nilai tukar adalah harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya atau nilai dari suatu mata uang terhadap nilai mata uang lainnya (Salvatore 1997:9). Didalam pengertian tingkat nilai tukar dibagi menjadi dua yaitu tingkat nilai tukar nominal dan tingkat nilai tukar riil, menurut (Hubbard 2002:179) nilai tukar diartikan sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang negara lain dan tingkat nilai tukar nominal biasanya disebut dengan nilai tukar sehingga dalam penelitian ini digunakan nilai tukar nominal.

Kenaikan nilai tukar mata uang dalam negeri disebut apresiasi atas mata uang asing, sedangkan penurunan nilai tukar uang dalam negeri disebut depresiasi atas mata uang asing. Dalam menentukan nilai tukar pemerintah juga harus mengatur suatu kebijakan pengaturan nilai mata uang. Ada beberapa jenis sistem nilai tukar yang ditetapkan oleh pemerintah antara lain adalah:

a. Fixed exchange rate system adalah sistem nilai tukar yang ditahan secara tetap oleh pemerintah atau berfluktuasi di dalam batas yang sangat sempit.

(21)

Jika nilai tukar berubah terlalu besar, maka pemerintah akan mengintervensi untuk memeliharanya dalam batas-batas yang dikehendaki. b. Freely floating exchange rate system sistem nilai tukar yang ditentukan

oleh mekanisme pasar tanpa intervensi dari pemerintah.

c. Managed floating exchange rate system adalah sistem nilai tukar yang terletak diantara fixed system dan freely floating, tetapi mempunyai kesamaan dengan fixed exchange system, yaitu pemerintah bisa melakukan intervensi untuk menjaga supaya nilai mata uang tidak berubah terlalu banyak dan tetap dalam arah tertentu. Sedangkan bedanya dengan free

floating, managed float masih lebih fleksibel terhadap suatu mata uang.

Indonesia sebelum krisis menerapkan Fixed exchange rate dan setelah krisis diterapkan Freely floating exchange rate system. Sehingga nilai tukar

Indonesia sekarang ini ditentukan oleh keseimbangan pasar, tetapi dalam kenyataannya pemerintah masih melakukan intervensi pada nilai tukar dengan melakukan intervensi pada pasar valas guna menjaga kestabilan nilai tukar.

2.2 Penelitian Sebelumnya

Penelitian terdahulu yang membahas tentang relevansi penerapan kebijakan moneter dengan kerangka inflation targeting framework telah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian yang dilakukan sebagian besar membahas tentang penerapan inflation targeting framework di beberapa negara tentang apa yang menyebabkan inflasi tidak sesuai dengan target dan kondisi yang harus dipenuhi oleh masing-masing negara dalam melakukan penerapan ITF.

1. Alina Carare dan Mark R. Stone (2005), penelitian ini membagi kerangka moneter negara-negara yang menggunakan target inflasi menjadi tiga rezim yang

(22)

berbeda yaitu penargetan inflasi penuh,stabilitas harga jangkar dan penargetan inflasi sebagian, rezim dibedakan oleh kejelasan dan kredibilitas komitmen terhadap target inflasi. Kebijakan moneter dapat mendukung pertumbuhan jangka panjang melalui inflasi yang rendah , stabilitas keuangan , dan stabilisasi output. Kombinasi kesejahteraan memaksimalkan tiga tujuan tersebut di kerangka kebijakan tergantung pada kredibilitas suatu negara.

2. Gulasekaran Rajaguru dan Reza Siregar (2002), penelitian ini berusaha menjelaskan perbedaan penyebab inflasi di Thailand, Indonesia dan Korea pada periode 1985-2001. Penelitian ini menmberikan penjelasan tentang penyebab terjadinya inflasi pada ketiga negara ini mungkin disebabkan oleh peran monetary

aggregates dan ketidakstabilan exchange rate menyebabkan variasi tingkat inflasi

terutama pada era krisis 1997. Oleh sebab itu diperlukan pengendalian monetary

aggregate serta diperlukannya kerangka kebijakan baru dalam mengendalikan

inflasi yaitu penerapan Inflation targeting framework (ITF) serta diperlukan kredibilitas bank sentral dalam mengatur price level.

3. Klaus Schmidt-Hebbel dan Mat´ıas Tapia (2002). Menguji relevansi penerapan inflation targeting pada negara Chili menggunakan analisis VAR (Vector Auto Regression). Dalam penelitian ini mereka menunjukkan pentingnya

inflation targeting dalam membangun kredibilitas moneter utamanya dalam

menurunkan inflasi dan mengurangi ekspektasi inflasi dan mengurangi efek inflasi pada nominal non-core inflation dan exchange rate shocks.

4. Carlos Eduardo S. Gonçalves dan João M. Salles (2006), penelitian ini menunjukkan bahwa Inflation targeting terbukti berpengaruh terhadap ekonomi, hasil penelitian yang pertama adalah adanya penurunan lebih besar dalam inflasi

(23)

yang dialami oleh negara berkembang sampai dengan batas tertentu yang mengakibatkan inflasi dapat terkendali tapi disisi lain mereka yang menerapkan

inflation targeting memiliki penurunan lebih besar dalam volatilitas pertumbuhan

ekonomi, data yang digunakan dalam penelitian ini sejauh ini menunjukkan bahwa penerapan inflation targeting oleh negara-negara berkembang tidak terlalu berkontribusi dalam peningkatan kinerja pertumbuhan ekonomi.

5. Haichun Ye (2008) mengevaluasi efek dari penargetan inflasi di tiga belas negara berkembang yang telah mengadopsi kebijakan ini pada akhir 2004, penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata penargetan inflasi memiliki dampak yang besar dan signifikan terhadap penurunan inflasi pada tiga belas negara tersebut, Namun efektivitas penargetan inflasi pada masing-masing negara memiliki beberapa perbedaan hal ini dikarenakan kinerja rezim inflation targeting dapat dipengaruhi oleh karakteristik negara seperti posisi fiskal pemerintahan,keinginan bank sentral untuk membatasi gerakan nilai tukar, serta lamanya waktu sejak mengadopsi kebijakan inflation targeting.

6. Irfan Civcir , Anıl Akc¸a˘glayan (2009), penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki bagaimana kebijakan moneter menanggapi guncangan sebelum dan sesudah penerapan inflation targeting rezim. Turki telah mengalami perubahan penting dalam rezim kebijakan moneter nya, Turki bergeser dari rezim nilai tukar ( sebelum 2002) yaitu menargetkan nilai tukar, inflasi implisit (2002-2005) dan akhirnya inflasi resmi penargetan dimulai pada 2006. Menggunakan model VAR , penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki bagaimana kebijakan moneter menanggapi guncangan nilai tukar sebelum dan sesudah penerapan inflasi menargetkan rezim. Penelitian ini memfokuskan pada Turki yang telah pindah

(24)

dari program moneter dan nilai tukar menuju program stabilisasi berbasis rezim inflation targeting. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa selama periode penargetan inflasi suku bunga bereaksi kuat terhadap guncangan nilai tukar dan lemah untuk output gap, nilai tukar telah relevan menjadi variabel kebijakan moneter , yang menunjukkan penggunaan indeks kondisi moneter.

7. Enrico Tanuwidjaja (2006) dalam penelitiannya membahas kredibilitas bank sentral dalam mencapai target inflasi dan mengusulkan aturan kebijakan moneter untuk Indonesia, dengan menggunakan Model skala Makroekonomi (SSMM), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya Bank Indonesia untuk meningkatkan kredibilitasnya untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah, aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia mempengaruhi volatilitas makroekonomi dimasukkannya variabel nilai tukar sebagai pertimbangan dalam menetapkan arah kebijakan moneter masa depan.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam aktivitas dan kebiasaan kita, prinsip ini mendorong kita membersihkan hati dan pikiran kita dari hal-hal yang tidak perlu dan tidak penting serta negatif.. Bersih

Kaip galimybę paskatinti į mokyklą važiuoti dviračiu moksleiviai nurodė geresnių dviračių takų įren- gimą (10 pav.).. Už tai pasisakė 274

Strategi yang diperoleh untuk meningkatkan pemasaran jamur tiram putih ( Pleurotus sp ) di daerah penelitian adalah strategi SO ( Strenghts ± Opportunities ) yaitu

Usaha rental mobil memilki target pasar yang sangat luas, oleh karena itu diperlukan variasi produk yang dapat menjangkau semua jenis konsumen. Disamping itu persaingan dalam

Selain itu, kesan tekanan kerja dan konflik keluarga juga turut mempengaruhi kepuasan kerja seseorang seperti kajian yang dijalankan oleh Sharon & Sherry

[r]

tahu tempat dan waktu yang akan dibuat untuk penelitian sehingga mudah dalam melakukan sebuah penelitian agar dapat menentukan subyek yang cocok untuk

Proses Dapur Tinggi Listrik5. Proses