• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN KONSEP DAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN KONSEP DAN TEORI"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

7 A. Konsep Dasar

1. Appendiktomy

a. Pengertian Appendiktomy

Appendiktomy adalah suatu intervensi bedah untuk melakukan pengangkatan bagian tubuh yang mengalami masalah atau mempunyai penyakit (Mutaqin & Sari, 2009).

Appendiktomy adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks. Operasi appendiktomy yaitu pembedahanuntuk mengangkat apendiks yang dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkanresiko perforasi (Jitowiyono, 2010).

b. Tahap Operasi Appendiktomy 1) Pre Operasi

a) Observasi

Klien dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda gejala appendiksitis seringkali masih belum jelas. Observasi dilakukan dengan meminta klien melakukan tirah baring dan dipuasakan. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah diulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Diagnosa biasanya

(2)

ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.

b) Intubasi bila perlu

c) Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena

2) Intra Operasi a) Appendiktomy

b) Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika c) Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin

mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Appendiktomy dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan. 3) Post Operasi

Observasi perlu dilakukan seperti tanda tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler. Memberikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30ml/jam keesokan harinya diberikan makanan saring, lalu hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk melakukan mobilisasi dini yaitu dengan duduk tegak ditempat tidur

(3)

selam 2x30 menit. Hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk dan hari ketujuh jahitan dapat diangkat (Dermawan, 2010).

c. Teknik Appendiktomy

Menurut Mansjoer (2007) ada tiga cara yang secara teknik operatif appendiksitis :

1) Insisi menurut Mc Burney (grid incision atau muscle splitting incision).

Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus pada garis yang menghubungkan spina iliaka superior anterior dengan umbilikus pada batas sepertiga lateral (titik Mc Burney). Otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Berikut langkah-langkah dalam teknik apendiktomy Mc Burney : a) Pasien berbaring terlentang dalam anastesi umum atau

regional. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah.

b) Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya, sampai akhirnya tampak peritoneum.

c) Peritoneum disayat cukup lebar untuk eksplorasi. d) Sekum berserta apendiks diluksasi keluar.

e) Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa.

(4)

f) Disiapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks dengan sutra, basis apendiks kemudian dijahit dengan catgut.

g) Dilakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut. h) Puntung apendiks diolesi betadin.

i) Jahitan tabac sac disimpulkan dan putung dikuburkan dalam simpul tersebut. Mesoapendiks diikat dengan sutra.

j) Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat didalamnya.

k) Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.

l) Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan didekatkan untuk memudahkan penutupnya. Peritoneum ini dijahit jelujur dengan dhromic cargut dan otot-otot dikembalikan. m) Dinding perut ditutup/dijahit lapis demi lapis, fasia dengan sutera,

subkutis dengan catgut dan akhirnya kulit dengan sutera. n) Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril. 2) Insisi menurut Roux (muscle cutting incision).

Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatannya langsung menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai tampak peritonium.

3) Insisi pararektal.

Teknik ini dipakai pada kasus-kasus appendik yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah

(5)

tetapi sayatan ini tidak secara langsung mengarah ke appendik atau sekum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar, dan untuk menutup luka operasi diperlukan jahitan penunjang.

d. Komplikasi Post Apendiktomy

Komplikasi post apendiktomy menurut Courtney (2010) adalah : 1) Infeksi

Infeksi tetap merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pascabedah appendiksitis. Meskipun infeksi dapat terjadi dibanyak tempat, lokasi pembedahan adalah tempat terjadinya infeksi yang paling menonjol.

2) Obstruksi Usus

e. Perawatan Post Apendiktomy

Menurut Dermawan (2010), perawatan pascaoperasi apendiktomy adalah :

1) Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. 2) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi

cairan lambung dapat dicegah.

3) Baringkan pasien dalam posisi fowler.

4) Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.

(6)

5) Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk melakukan mobilisasi dini dengan duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar.

6) Hari kedua pasien dapat berdiri dan belajar bejalan disekitar tempat tidur.

7) Hari ketiga pasien dapat berjalan ke kamar mandi.

8) Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

2. Mobilisasi Dini

a. Pengertian Mobilisasi Dini

Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan. Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Hidayat, 2009).

Mobilisasi adalah proses aktivitas yang dilakukan paska pembedahan dimulai dari latihan ringan diatas tempat tidur (latihan pernafasan, latihan batuk efektif dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan keluar kamar (Smeltzer & Bare, 2008).

(7)

Mobilisasi dini bertujuan untuk mengurangi komplikasi paska bedah, terutama atelektasis dan pneumonia hipostasis, mempercepat terjadinya buang air besar dan buang air kecil secara rasa nyeri pasca operasi (Oswari, 2005). Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilisasi adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma), mempertahankan konsep diri,mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan non verbal. Immobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik. Mobilisasi dan immobilisasi berada pada suatu rentang.

Mobilisasi yang dilakukan untuk meningkatkan ventilasi, mencegah stasis darah dengan meningkatkan kecepatan sirkulasi pada ekstremitas dan kecepatan pemulihan pada luka abdomen. Immobilisasi dapat berbentuk tirahbaring yang bertujuan mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, menguranginyeri, dan untuk mengembalikan kekuatan. Individu normal yang mengalami tirah baringakan kehilangan kekuatan otot rata-rata 3% sehari (atropi disuse). (Smeltzer & Bare, 2008)

b. Prinsip dan Tujuan Mobilisasi

Menurut Dombovy ML dikutip oleh Yahya (2005), mengemukakan bahwa beberapa prinsip dalam melakukan mobilisasi

(8)

yaitu mencegah dan mengurangi komplikasi sekunder seminimal mungkin, menggantikan hilangnya fungsi motorik, memberikan rangsangan lingkungan, memberi dorongan bersosialisasi, memberi kesempatan untuk dapat berfungsi dan melakukan aktivitas sehari-hari serta memungkinkan melakukan pekerjaan seperti sebelumnya.

Smeltzer & Bare (2008) menyebutkan tujuan untuk mobilisasi yaitu untuk mencegah terjadinya bronkopneumonia, kekakuan sendi, mencegah tromboplebitis, atropi otot, penumpukan sekret, memperlancar sirkulasi darah, mencegah kontraktur, dekubitus serta memelihara faal kandung kemih agar tetap berfungsi secara baikdan pasien dapat beraktivitas. Sedangkan menurut Garrison (2004) tujuan mobilisasi adalah mempertahankan fungsi tubuh, memperlancar peredaran darah, membantu pernapasan menjadi lebih baik, mempertahankan tonus otot, memperlancar eliminasi bab dan bak, mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali normal memenuhi kebutuhan gerak harian, dan memberi kesempatan perawat dan pasien untuk berinteraksi dan berkomunikasi.

c. Tahap-Tahap Mobilisasi pada Pasien Paska bedah

Mobilisasi paska bedah yaitu proses aktivitas yang dilakukan paska pembedahan dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur (latihan pernapasan, latihan batuk efektif, dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan keluar kamar (Smeltzer & Bare, 2008).

(9)

Menurut Cetrione (2009) tahap-tahap mobilisasi pada pasien paska bedah meliputi :

1) Pada saat awal (6 sampai 8 jam setelah operasi), pergerakan fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk dan diluruskan, mengkontraksikan otot-otot termasuk juga menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau ke kanan.

2) Pada 12 sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase selanjutnya duduk di atas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakkan. 3) Pada hari kedua paska bedah, rata-rata untuk pasien yang dirawat di

kamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, semestinya memang sudah bisa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya ketoilet atau kamar mandi sendiri. Pasien harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin, hal ini perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien paska bedah untuk mengembalikan fungsi pasien kembali normal.

d. Manfaat Mobilisasi

Menurut Kozier (2004), keuntungan yang dapat diperoleh dari mobilisasi bagi sistem tubuh adalah sebagai berikut :

(10)

1) Sistem Muskuloskeletal

Ukuran, bentuk, tonus, dan kekuatan rangka dan otot jantung dapat dipertahankan dengan melakukan latihan yang ringan dan dapat ditingkatkan dengan melakukan latihan yang berat. Dengan melakukan latihan, tonus otot dan kemampuan kontraksi otot meningkat, meningkatkan fleksibilitas tonus otot dan range of motion.

2) Sistem Kardiovaskular

Dengan melakukan latihan atau mobilisasi yang adekuat dapat meningkatkan denyut jantung (heart rate), menguatkan kontraksi otot jantung, dan menyuplai darah ke jantung dan otot. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) meningkat karena aliran balik dari aliran darah. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) normal adalah 5 liter/menit, dengan mobilisasi dapat meningkatkan cardiac output sampai 30 liter/ menit.

3) Sistem Respirasi

Jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan oleh paru (ventilasi) meningkat. Ventilasi normal sekitar 5-6 liter/menit. Mobilisasi yang berat, menyebebkan kebutuhan oksigen meningkat hingga mencapai 20x dari kebutuhan normal. Aktivitas yang adekuat juga dapat mencegah penumpukan sekret pada bronkus dan bronkiolus, menurunkan usaha pernapasan.

(11)

4) Sistem Gastrointestinal

Beraktivitas dapat memperbaiki nafsu makan dan meningkatkan tonus saluran pencernaan, memperbaiki pencernaan dan eliminasi seperti kembalinya mempercepat pemulihan peristaltik usus dan mencegah terjadinya konstipasi serta menghilangkan distensi abdomen.

5) Sistem Metabolik

Mobilisasi atau latihan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme, dengan demikian peningkatan produksi dari panas tubuh dan hasil pembuangan. Selama melakukan aktivitas berat, kecepatan metabolisme dapat meningkat sampai 20x dari kecepatan normal. Berbaring di tempat tidur dan makan diit dapat mengeluarkan 1.850 kalori per hari. Melakukan aktivitas juga dapat meningkatkan penggunaan trigliserid dan asam lemak, sehingga dapat mengurangi tingkat trigliserid serum dan kolesterol dalam tubuh.

6) Sistem Urinary

Karena aktivitas yang adekuat dapat menaikkan aliran darah, tubuh dapat memisahkan sampah dengan lebih efektif, dengan demikian dapat mencegah terjadinya statis urinary. Kejadian retensi urin juga dapat dicegah dengan melakukan aktivitas.

e. Jenis Mobilisasi

Menurut Hidayat (2009), jenis mobilisasi dibedakan berdasarkan kemampuan gerakan yang dilakukan oleh seseorang yaitu :

(12)

1) Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilisasi penuh ini merupakan fungsi saraf motorik dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.

2) Mobilisasi sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan saraf sensorik pada area tubuh. Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis yaitu : Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang bersifat sementara, ini dapat disebabkan oleh trauma pada sistem muskuloskletal, Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf, contoh terjadinya hemiplegia karena stroke. f. Faktor – faktor yang mempengaruhi Mobilisasi

Menurut Kozier (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi adalah gaya hidup, proses penyakit dan injury, kebudayaan, tingkat energi, usia dan status perkembangan, tipe persendian dan pergerakan sendi, serta toleransi aktivitas dimana dapat diuraikan sebagai berikut:

(13)

1) Gaya Hidup

Istilah gaya hidup merupakan prinsip yang dapat dicapai sebagai landasan untuk memahami perilaku seseorang yang melatarbelakangi sifat khas seseorang, terlihat dari beberapa pengertian yang diungkapkan di bawah ini. Mendefinisikan gaya hidup sebagai sistem utama yang memungkinkan berfungsinya kepribadian individu sebagai keseluruhan yang menggerakkan bagian-bagiannya. Semua perilaku manusia bersumber dari gaya hidup yang dimilikinya, dimana manusia mempersepsi, mempelajari, dan menyimpan atau mempertahankan hal-hal yang sesuai dengan gaya hidupnya serta menyisihkan hal-hal yang tidak sesuai dengan gaya hidupnya. Gaya hidup merupakan pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat. Kebiasaan seseorang pada masa hidupnya, termasuk kebiasaan dalam memperhatikan kesempurnaan penampilan fisik (Prahmawati, 2001).

Gaya hidup adalah cara hidup yang dikenali dari bagaimana orang menggunakan waktu dan aktivitas mereka, dari minat mereka yaitu apa yang mereka anggap penting di dalam kehidupan mereka, dan dari pendapat mereka tentang diri mereka sendiri serta dunia sekitar mereka. Gaya hidup seseorang sangat tergantung dari tingkat pendidikannya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan diikuti oleh perilaku yang dapat meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan pengetahuan kesehatan tentang mobilitas

(14)

seseorang akan senantiasa melakukan mobilisasi dengan cara yang sehat (Kozier, 2004).

2) Proses Penyakit dan Injury

Proses penyakit adalah keadaan dimana seseorang sedang menderita suatu penyakit tertentu. Keadaan tersebut mengakibatkan keadaan kesehatan seseorang menjadi terganggu sehingga sulit melakukan aktivitas seperti biasa. Adanya penyakit tertentu yang diderita seseorang akan mempengaruhinya mobilitasnya, misalnya seseorang yang baru saja menjalani operasi akan kesulitan untuk mobilisasi secara bebas karena adanya rasa sakit/nyeri yang menjadi alasan mereka cenderung untuk bergerak lebih lamban. Ada kalanya pasien harus istirahat di tempat tidur karena menderita penyakit tertentu. Hal tersebut dikarenakan kondisi fisik pasien yang lemah dan energi yang kurang menyebabkan pasienberistirahat di tempat tidur dan tidak dapat melakukan mobilisasi (Kozier, 2004).

3) Kebudayaan

Menurut Berger kebudayaan adalah produk manusia, produk itu lalu menjadi kenyataan objektif yang kembali mempengaruhi yang menghasilkannya (Lawang, 2004). Maksud pernyataan tersebut adalah bahwa manusia berposisi sebagai subyek yang menghasilkan kebudayaan sebagai obyek. Tetapi setelah kebudayaan itu menjadi obyek, dengan sendirinya akan mempengaruhi manusia dan kehidupan lingkungannya.

(15)

Kebudayaan merupakan penyebab paling mendasar dari keinginan dan tingkah laku individu, dikarenakan kebudayaan berisikan kumpulan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan, dan tingkah laku yang dipelajari oleh anggota masyarakat dari keluarga dan lembaga penting lainnya. Kebudayaan mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya (Azwar, 2008). Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan aktivitas misalnya; pasien setelah operasi dilarang bergerak karena kepercayaan kalau banyak bergerak nanti luka atau jahitan tidak sembuh.

4) Tingkat Energi

Tingkat energi merupakan jumlah energi yang diperlukan seseorang untuk melakukan aktivitas. Tingkat energi yang rendah akan menyebabkan kondisi fisik seseorang menjadi lemah. Kondisi yang lemah akan mengakibatkan orang untuk bergerak atau melakukan mobilisasi lebih lamban. Seseorang yang melakukan mobilisasi jelas membutuhkan energi atau tenaga. Orang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya dibandingkan dengan orang yang dalam kondisi sehat. Untuk itu asupan makanan yang bergizi sangat diperlukan bagi orang yang sedang sakit apalagi orang yang baru menjalani tindakan operasi agar energi atau tenaga orang tersebut

(16)

dapat kembali optimal sehingga dapat melakukan mobilitas sebagaimana yang dianjurkan (Kozier, 2004).

5) Usia dan Status Perkembangan

Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya dibandingkan dengan seorang remaja atau dewasa. Seorang anak dapat melakukan mobilisasi yang lebih aktif karena mobilisasi yang dilakukan anak-anak tidak berdasarkan instruksi yang diperintah oleh seseorang. Apabila seorang anak tersebut baru saja menjalani tindakan appendectomy dan anak tersebut melakukan mobilisasi yang sangat aktif maka akan berakibat robeknya luka operasi yang masih belum sembuh. Sedangkan mobilisasi yang dilakukan pasien paska bedah appendectomy harus bertahap dan harus sesuai dengan instruksi yang telah diberikan oleh perawat (Kozier, 2004).

Berdasarkan teori yang diungkapkan oleh dua orang ahli mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi didapatkan bahwa dari faktor-faktor tersebut terdapat beberapa kesamaan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi adalah pengetahuan, emosi, fisik, stimulus lingkungan, dan usia & status perkembangan.

6) Tipe persendian dan pergerakan sendi

Dalam sistem muskuloskeletal dikenal 2 macam persendian yaitu sendi yang dapat digerakan (diartrosis) dan sendi yang tidak dapat digerakan (siartrosis).

(17)

7) Toleransi aktifitas

Penilaian tolerasi aktifitas sangat penting terutama pada klien dengan gangguan kardiovaskuler seperti Angina pektoris, Infark, Miokard atau pada klien dengan immobilisasi yang lama akibat kelumpuhan. Hal tersebut biasanya dikaji pada waktu sebelum melakukan mobilisasi, saat mobilisasi dan setelah mobilisasi.

g. Posisi dalam mobilisasi

Pengaturan posisi yang dapat dilakukan pada pasien ketika mendapatkan perawatan, dengan tujuan untuk kenyamanan pasien, kemudahan perawatan dan pemberian obat, menghindari terjadinya pressure area akibat tekanan yang menetap pada bagian tubuh tertentu. Menurut perry & potter (2009) macam – macam posisi saat dilakukan mobilisasi antara lain:

1) Posisi Fowler

Posisi setengah duduk atau duduk, bagian kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Untuk fowler (45-90°) dan semifowler (15°-45°). Dilakukan untuk mempertahankan kenyamanan, memfasilitasi fungsi pernapasan, dan untuk pasien paska bedah.

2) Posisi Sim

Posisi miring ke kanan atau ke kiri. Dilakukan untuk memberi kenyamanan dan untuk mempermudah tindakan pemeriksaan rektum atau pemberian huknah atau obat-obatan lain melalui anus.

(18)

3) Posisi Trendelenburg

Posisi pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah dari pada bagian kaki. Dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak, dan pada pasien shock dan pada pasien yang dipasang skin traksi pada kakinya.

4) Posisi Dorsal Recumbent

Posisi berbaring terlentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau direnggangkan) diatas tempat tidur. Dilakukan untuk merawat dan memeriksa genetalia serta proses persalinan.

5) Posisi Litotomi

Posisi berbaring terlentang dengan mengangkat kedua kaki dan menariknya ke atas bagian perut. Dilakukan untuk memeriksa genetalia pada proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi.

B. Konsep Penyakit

1. Pengertian appendiksitis

Apendiks adalah organ tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum tepat di bawah katup ileocecal (Smeltzer & Bare, 2008). Appendiksitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab pembedahan abdomen akut yang paling sering (Mansjoer, 2010). Sedangkan menurut Nugroho (2011) Appendiksitis merupakan suatu proses obstruksi (hyperplasia limpo nodi submukosa, fecolith, benda asing, tumor), kemudian diikuti proses infeksi dan disusul

(19)

oleh peradangan dari apendiks vermiformis dan menurut Dermawan dan Rahayuninghsih (2010) Appendiksitis adalah peradangan pada apendiks periformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. 2. Klasifikasi appendiksitis

Klasifikasi appendiksitis terbagi menjadi dua yaitu, apendiks akut dan apendiks kronik (Sjamsuhidajat, 2004) :

a. Appendiksitis akut

Appendiksitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang daerah epigastrium mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala appendiksitis akut ialah nyeri samar-samar dan tumpul merupakan nyeri visceral di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering di sertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney. Di sini nyeri di rasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

b. Appendiksitis kronik

Diagnosis appendiksitis kronik baru dapat di tegakkan jika di penuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang setelah appendiktomy. Kriteria mikroskopik appendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan

(20)

ulkus lama di mukosa, dan sel inflamasi kronik. Insidens appendiksitis kronik antara 1-5%.

3. Anatomi dan Fisiologi

a. Anatomi saluran pencernaan

Saluran pencernaan terdiri dari esophagus, lambung, usus halus, usus besar, apendiks, rectum, kelenjar pencernaan besar, hepar dan kandung empedu. Usus besar sendiri terbagi menjadi beberapa bagian yaitu kolon transfersum, kolon sigmoid, kolon desenden, seikum, apendiks, kolon sigmoid, rectum dan anus (Dermawan & Rahayuningsih, 2010).

(21)

1) Seikum

Kantung tertutup yang menggantung di bawah area katup ileoseka. Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang sempit, berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.

2) Kolon asenden

Panjangnya 13 cm terletak di bawah abdomen sebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati.

3) Apendiks

Bagian dari usus besar muncul seperti corong dari akhir seikum mempunyai pintu keluar yang sempit tetapi memungkinkan dapat di lewati oleh beberapa isi usus.

4) Kolon transfersum

Panjangnya kurang lebih 38 cm, membujur dari kolon asenden sampai ke kolon desenden berada di bawah abdomen sebelah kanan terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura lienalis. 5) Kolon desendens

Panjangnya kurang lebih 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri, membujur dari atas ke bawah dari fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri bersambung dengan kolon sigmoid.

6) Kolon sigmoid

Merupakan lanjutan dari desenden terletak miring, dalam rongga pelvis sebelah kiri, berbentuknya menyerupai S, ujung bawahnya berhubungan dengan rektum.

(22)

7) Rektum

Teletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan instestinum mayor dengan anus. Terletak dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan os koksigis.

8) Anus

Bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum dengan dunia luar (udara luar). Terletak di dasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh 3 sfingter.

b. Anatomi Apendiks

Apendiks (usus buntu) merupakan bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari akhir sekum pintu keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan dapat di lewati oleh beberapa isi usus. Vertikulum seperti cacing dengan panjang mencapai 18 cm terbuka kearah sekum sekitar 2,5 cm di bawah katup ileosecal. Apendiks tergantung menyilang pada linea terminalis masuk ke dalam rongga pelvis minor terletak horizontal di belakang pada sekum sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi, kadang apendiks beraksi hebat dan hiperaktif yang menimbulkan perforasi dibandingkan ke dalam rongga abdomen.

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), lebar 0,3-0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinis, apendiks

(23)

terletak pada daerah Mc Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dengan pusat. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persyarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persyarafan simapatis berasal darai nervus torakalis X. Oleh karena itu nyeri viseral pada appendiksitis bermula disekitar umbilicus (Tambayong, 2010) c. Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendiksitis.

Imonoglobulin sekrektor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imonoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Tambayong, 2010).

(24)

4. Etiologi

Appendiksitis menurut Sjamsuhidajat (2004) merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan akibat :

a. Hiperplasia dari folikel limfoid b. Adanya fekalit dalam lumen apendiks c. Tumor apendiks

d. Adanya benda asing seperti cacing askariasis

e. Erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histilitica. 5. Manifestasi Klinis

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang di dasari oleh radang mendadak di apendiks (Sjamsuhidajat, 2004). Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya di sertai oleh demam ringan, mual, muntah dan anoreksia. Akan terjadi nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin juga akan di temui pada appendiksitis. Bila appendiksitis melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat dirasakan didaerah lumbal. Tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rectal. Nyeri pada defekasi menunjukan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rectum kanan dapat pula terjadi. Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi pada kuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah rupture, nyeri akan lebih menyebar, distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien dapat memburuk.

(25)

Pada pasien lansia, tanda gejala apendisitis dapat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukan obstruksi usus atau proses penyakit lainya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai pasien mengalami rupture apendiks. Insiden perforasi apendiks lebih tinggi terjadi pada lansia kerena banyak dari pasien ini mencari bantuan perawatan tidak secepat klien yang lebih muda (Smeltzer & Bare, 2008). 6. Komplikasi

Komplikasi dari appendiksitis sendiri antara lain (Dermawan & Rahayuningsih, 2010)

a. Perforasi apendiks :

Perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, obsevasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut. Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadisejak pasien pertama kali dating, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.

b. Peritonitis abses

Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina.

(26)

c. Dehidrasi d. Sepsis

e. Elektrolit darah tidak seimbang f. Pneumoni

7. Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah di tegakkan. Antibiotic dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik juga dapat diberikan setelah diagnosa ditegakan. Appendiktomy (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan segera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.

Appendiktomy dapat dilakukan dengan anestesi umum atau spinal. Operasi appendiktomy dilakukan dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparaskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Sedangkan tindakan yang perlu dilakukan pada pasien setelah operasi adalah melakukan observasi tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam, syok, hipertemia, atau gangguan pernapasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat di cegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan sampai usus kembali normal. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2X30 menit. Pada hari kedua pasien dapat duduk dan berdiri diluar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan pasien di perbolehkan pulang.

(27)

C. Asuhan Keperawatan Appendiksitis 1. Pengkajian

Pengkajian fokus pada penderita appendiksitis meliputi : a. Anamnesa

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal masuk, nomor register, diagnose, agama, suku bangsa

b. Riwayat penyakit sekarang

Klien dengan post appendiktomy mempunyai keluhan utama nyeri yang disebabkan insisi abdomen

c. Riwayat penyakit dahulu

Pada penderita appendiksitis perlu ditanya adanya riwayat pembedahan sebelumnya, riwayat operasi abdomen

d. Riwayat penyakit keluarga

Perlu ditanyakan adanya riwayat appendiksitis pada salah satu anggota keluarga atau penyakit kronis lainnya

e. Pola fungsi kesehatan

1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Kebiasaan klien seperti merokok, penggunaan obat-obatan dan alkohol dapat mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.

2) Pola tidur dan istirahat

Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.

(28)

Aktivitas klien dengan appendiktomy biasanya terjadi pembatasan aktivitas akibat rasa sakit pada luka post operasi sehingga keperluan klien harus dibantu.

4) Pola hubungan dan peran

Dengan keterbatasan penderita tidak bisa melakukan peran baik dalam keluarga dan dalam masyarakat, penderita mengalami emosi yang tidak stabil.

5) Pola sensori dan kognitif

Pada penderita appendiksitis biasanya klien merasakan nyeri pada abdomen kuadran kanan bawah.

6) Pola penanggulangan stress

Kebiasaan klien yang digunakan dalam mengatasi masalah. 7) Pola eliminasi

Urine akibat penurunan daya kontraksi kandung kemih rasa nyeri atau karena tidak bisa buang air kecil ditempat tidur akan mempengaruhi pola eliminasi urine, pola eliminasi alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi.

8) Pola nutrisi dan metabolik

Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat pembatasan pemasukan makanan atau minuman sampai peristaltik usus kembali normal.

(29)

9) Pola reproduksi seksual

Pada penderita post operasi adanya larangan untuk berhubungan seksual selama beberapa waktu.

10) Pola terhadap keluarga

Perawatan dan pengobatan memerlukan biaya yang banyak yang harus ditanggung oleh keluarga juga perasaan cemas kelurga terhadap klien.

11) Pola nilai kepercayaan

Bagaimana keyakinan klien pada agamanya, dan bagaimana cara klien mendekatkan diri dengan tuhan selama sakit.

f. Pemeriksaan Fisik

1) Status kesehatan umum

Kesadaran biasanya composmentis, ekspresi wajah menahan sakit 2) Integumen

Ada tidaknya edema, sianosis, pucat, kemerahan pada luka post operasi

3) Kepala dan leher

Ekspresi wajah kesakitan, pada konjungtiva lihat apakah pucat 4) Thorax dan paru

Apakah bentuknya simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, gerakan cuping hidung maupun alat bantu nafas frekuensi pernafasan biasanya normal, apakah ada ronchi, whezing, stridor.

(30)

5) Abdomen

Pada post operasi biasanya sering terjadi ada tidaknya peristaltik pada usus ditandai dengan distensi abdomen, tidak flatus dan mual, apakah bisa kencing spontan atau retensi urine, distensi supra pubis, periksa apakah produksi urine cukup, keadaan urine apakah jenih 6) Ekstremitas

Biasanya kllien dengan post operasi pada ekstremitas terpasang infus g. Pemeriksaan Penunjang

1) Sel darah putih : lekositosis diatas 12000/mm3, netrofil meningkat sampai 75%

2) Urinalisis : normal, tetapi eritrosit /lekosit mungkin ada 3) Foto abdomen, adanya pergeseran material pada appendiksitis

(Doenges, 2000; Smeltzer & Bare, 2008) 2. Diagnosa Keperawatan

Menurut Dermawan & Rahayuningsih (2010) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada appendiksitis post appendiktomy antara lain: a. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya jaringan kulit sekunder

terhadap insisi bedah

b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik sekunder akibat luka operasi appendiktomy

c. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan masuknya organisme sekunder akibat pembedahan

(31)

3. Intervensi Keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya jaringan kulit sekunder terhadap insisi bedah.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan mengalami penurunan rasa nyeri dengan Kriteria Hasil: klien mengatakan nyeri hilang atau terkontrol , Skala nyeri 3-1, Klien tampak rileks

1) Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10) 2) Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler

3) Berikan latihan teknik relaksasi napas dalam 4) Motivasi klien untuk melakukan mobilisasi dini

5) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan analgesic sesuai indikasi

b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik sekunder akibat luka operasi appendiktomy.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan mampu beraktivitas sesuai kemampuan dengan kriteria hasil:

Klien mampu beraktivitas sesuai toleran tanpa bantuan, Klien tampak segar, Klien tampak tidak lemas

Intervensi

1) Kaji respon individu terhadap aktivitas 2) Tingkatkan aktifitas klien secara bertahap 3) Lakukan latihan mobilisasi dini pada klien

(32)

4) Anjurkan keluarga untuk berperan aktif dalam membantu latihan aktivitas klien.

5) Kolaborasi dengan rehabilitasi medik untuk latihan mobilisasi klien

c. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan masuknya organisme sekunder akibat pembedahan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan mampu beraktivitas sesuai kemampuan dengan kriteria hasil: Tidak terjadi tanda infeksi (drainase purulen, pus, eritema, edema dan demam), Suhu tubuh normal (36,50 C – 37,50 C), Luka bersih dan kering, Leukosit 4,8 – 10.8/uL

1) Monitor tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi,suhu dan respiratori rate,

2) Lakukan cuci tangan sebelum melakukan tindakan kepada klien 3) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic

4) Monitor tanda infeksi pada luka insisi dan balutan

5) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan antibiotik sesuai indikasi

Referensi

Dokumen terkait

Tahap Uji Kinerja Bahan Bakar Solar + Bioaditif Pada Mesin Diesel LIPI Serpong……….36a. Uji

Gambaran mengenai kinerja Co-Branding pada es krim Wall’s Selection Oreo dapat dilihat dari dimensi-dimensi yang terdiri dari Adequate Brand Awareness (Kesadaran merek

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p < 0,001) , dengan nilai r = 0,534 yang menunjukkan bahwa ada korelasi bermakna antara keintiman keluarga

Tugas sehari-hari seorang Public Relations officer (PRO) adalah mengadakan kontak social dengan kelompok masyarakat tertentu, serta menjaga hubungan baik (community

Dalam penelitian yang dilakukan oleh [10]yang menyatakan bahwa ROE atau return on investment berhubungan positif dan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga saham

Berdasarkan penilaian dari para responden tersebut, buram model bahan ajar matematika SMP berbasis RME yang dikembangkan, baik digunakan untuk mengembangkan

Analisa struktur mikro dalam pengujian stress corossion crack pada spesimen stainless steel AISI 304 ini terdapat tegangan pada material akibat dari perlakuan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) masyarakat Baduy yang selalu melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma), tidak terjadi bencana kebakaran hutan atau tanah longsor