• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Spesifikasi Tanaman Pisang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Spesifikasi Tanaman Pisang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Spesifikasi Tanaman Pisang

Tanaman pisang termasuk monokotil herba, tumbuh baik di daerah tropika pada ketinggian 0-1300 m dpl tetapi lebih cocok pada dataran rendah yang beriklim lembab dan panas. Persyaratan tumbuh penting lain adalah temperatur rata-rata 30ºC dan curah hujan minimal 100 mm/bulan (Sunarjono 1989). Pisang merupakan buah yang menduduki urutan pertama di Indonesia, area produksi tersebar di seluruh kepulauan, 70% dari total produksi berada di pulau Jawa diikuti Sumatra, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan dan Maluku-Irian Jaya berturut-turut 11.8%, 9.7%, 5.6%, 4.2% dan 1.3% (Hasan dan Pantastico 1990).

Pisang (Musa sp.) termasuk dalam famili Musaceae, ordo Scitaminaceae.

Musaceae memiliki 2 genus yaitu Ensete dan Musa. Genus Musa dibagi menjadi

4 kelompok yaitu Australimusa, Callimusa, Eumusa dan Rodochlamys. Hanya kelompok Australimusa dan Eumusa saja yang dapat dikonsumsi sebagai buah (Stover dan Simmond, 1987). Genus Musa mempunyai banyak anggota yang mempunyai taksonomi sangat komplek.

Kultivar pisang yang dapat dimakan merupakan hibrid interspesifik dari dua spesies liar Musa balbisiana (BB) dan Musa acuminata (AA) (Hasan dan Pantastico 1990; Hirimburegama dan Gamage 1997). Variasi group genom yang terbentuk: AA/AAA, AB, AAB, ABB, ABBB, BB/BBB tergantung pada apakah klon tersebut murni acuminata atau balbisiana, derivat diploid atau triploid atau apakah group genom tersebut merupakan hibrid diploid, triploid, tetraploid dari dua spesies liar. Umumnya karakteristik kultivar yang ada adalah triploid dengan vigor yang besar dan bijinya steril (Hasan dan Pantastico 1990; Stover dan Simmond 1987). Oleh karena itu para peneliti mengalami kesulitan dalam mendapatkan dan mengembangkan pisang dengan sifat unggul. Tanaman pisang secara umum diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan anakan (sucker). Kultivar pisang yang tersebar di seluruh dunia berjumlah 300-500 jenis (Hirimburegama dan Gamage 1997), lebih dari 100 jenis berada di Indonesia

(2)

(Megia et al. 2001). Stover dan Simmond (1987) mengelompokan pisang yang dapat dimakan ke dalam 3 kelompok, yaitu 1) Pisang buah meja yang dimakan segar terdiri dari kelompok AA dan AAA, 2) Pisang yang dimakan setelah diolah yaitu kelompok AAB, 3) Pisang berbiji yaitu kelompok ABB/BB. Di antara 100 kultivar pisang yang berada di Indonesia, 16 kultivar diketahui mempunyai potensi pasar, antara lain yang termasuk pisang meja adalah Pisang Mas (AA), Pisang Ambon Putih (AAA), Pisang Ambon Lumut (AAA), Pisang Ambon Jepang (AAA), Pisang Badak (AAA), Pisang Lampung (AA), Pisang Raja Sere (AAA), Pisang Barangan (AAA), Pisang Susu (AAA). Sedangkan yang termasuk pisang olahan diantaranya, Pisang Raja Bulu (AAB), Pisang Raja Uli (AAB), Pisang Tanduk (AAB), Pisang Nangka (AAB), Pisang Siem (ABB), Pisang Kepok (ABB), Pisang Kapas (AA) (Hasan dan Pantastico 1990), di samping itu masih banyak jenis kultivar yang lain. Kultivar-kultivar pisang sesuai spesifik kultivar berbeda ukuran tanaman dan buah, warna dan rasa daging buah, serta jumlah anakan.

Kultur Jaringan Pisang Tanduk dan Pisang Rajabulu

Teknik kultur jaringan merupakan usaha untuk mengisolasi sel, sekelompok sel (jaringan) atau organ tanaman, menumbuhkannya dalam keadaan aseptik sehingga dapat menghasilkan tanaman baru yang dapat ditanam dalam media non aseptik, tidak terbatas pada perubahan iklim dan musim (Gunawan. 1988). Jadi perbanyakan pisang dengan kultur jaringan merupakan pembiakan vegetatif, bahan tanam yang diperoleh selain mempunyai keuntungan sifat true to

type, juga relatif dapat menghambat penyebaran penyakit, pertumbuhan seragam

sehingga memberi jaminan pada perkebunan pisang yang diharapkan. Keuntungan lainnya dengan kultur jaringan dapat tersedia bahan tanam dalam waktu cepat serta distribusi yang mudah dan relatif murah (Hwang et al. 1984; Lee dan Hwang 1993; Thorpe 1990).

Damasco dan Barba (1985) mengatakan bahwa selain dapat mempercepat propagasi spesies yang sulit, kultur jaringan sangat mendukung pengembangan perkebunan pisang, memperpendek siklus seleksi, mempercepat multiplikasi dan penyebaran varietas baru.

(3)

Berdasarkan beberapa penelitian yang dilaporkan Zaffari et al. (2000), perbanyakan pisang dengan kultur jaringan menunjukkan variasi multiplikasi yang tinggi, atau laju multiplikasi dapat berbeda di antara spesies dengan genom sama walaupun dikulturkan dalam kondisi yang sama. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis kultur in-vitro, yaitu: genotipe eksplan (sifat/karakter eksplan), substrat (media dan zat pengatur tumbuh), kondisi kultur dan faktor internal eksplan seperti umur fisiologis, umur ontogenik dan bagian tanaman yang digunakan (Gamborg dan Shyluk 1981; George dan Sherrington 1988; Hartman dan Kester 1983; Yusnita 2003).

Gambar 2.1 Tahapan perbanyakan planlet pisang secara kultur jaringan

Perbanyakan planlet pisang secara kultur jaringan meliputi (Gambar 2.1): persiapan eksplan untuk mendapatkan material tumbuh yang sehat dan secara

(4)

fisiologis baik, kemudian masuk ketingkatan inisisasi untuk mendapatkan tunas awal yang dapat diandalkan dan aseptik, selanjutnya induksi dan multlipikasi di mana pada tingkatan ini tunas dirangsang dengan sitokinin untuk berkembang biak (berproliferasi), kemudian masuk ketingkatan pemanjangan tunas dan pengakaran (morfogenesis) dan tingkat yang terakhir adalah aklimatisasi (Werbrouck dan Debergh 1994; Israeli et al. 1995; Yusnita 2003).

Karakteristik Eksplan

Pemilihan eksplan yang tepat atau karakteristik eksplan sangat menentukan keberhasilan kultur jaringan. Prinsip penting, sel-sel yang telah mengalami perubahan bentuk dan kekhususan fungsi lanjut (diferensiasi) lebih sukar ditumbuhkan dibanding dengan sel-sel yang masih bersifat meristematik (Gunawan 1988). Jaringan tanaman yang masih muda secara fisiologis (juvenil) lebih mudah berproliferasi daripada jaringan tanaman yang tua atau dengan kata lain eksplan dari tanaman juvenil mempunyai daya regenerasi lebih tinggi daripada tanaman dewasa (Yusnita 2003).

Menurut Stover dan Simmond (1987), ada beberapa macam tipe anakan pada pisang yakni anakan yang belum berdaun dan masih pada awal pembentukan (peeper leaf sucker), anakan dengan bakal daun mulai keluar (swords leaf sucker), anakan yang telah menghasilkan daun pertama (water leaf sucker), dan anakan yang telah berdaun lebih dari dua helai (maiden leaf sucker). Swords leaf sucker umumnya dianjurkan sebagai bahan eksplan (Hirimburegama dan Gamage 1997). Keberhasilan terbentuknya tunas baru secara in-vitro berbeda untuk setiap jenis pisang. Hirimburegama dan Gamage (1997) menyatakan bahwa multiplikasi dipengaruhi oleh spesifik kultivar selain beberapa faktor lingkungan kultur. Perbedaan genom juga dapat menentukan kecepatan tumbuh dan jumlah tunas yang dihasilkan. Nampaknya genom ‘B’ bersifat menghambat multiplikasi. Kultivar pisang yang mempunyai semakin banyak genom ‘B’ laju multiplikasinya semakin rendah. Kultivar bergenom AAA memperlihatkan laju multiplikasi tertinggi. Kecepatan membentuk rumpun Musa balbisiana (BB) di lapangan lebih rendah dan periode vegetatifnya bertahan lama, tapi batang yang dihasilkan sangat vigor.

(5)

Sifat pencoklatan (browning) eksplan menentukan keberhasilan kultur jaringan terutama di awal inisiasi. Meskipun eksplan semua kultivar pisang umumnya memperlihatkan pencoklatan tetapi variasinya sangat luas. Berdasar penelitian Hirimburegama dan Gamage (1997), jaringan eksplan kultivar pisang dengan genom B lebih mudah terjadi browning bila dibanding yang bergenom A. Hal tersebut sejalan dengan hasil yang diperoleh Banerje et al. (1986), bahwa proliferasi tunas ‘balbisiana’ menunjukkan tingkat browning yang tinggi pada proliferasi tunas pisang secara in vitro..

Ukuran eksplan menentukan keberhasilan pembiakan. Menurut Gunawan (1988), eksplan dengan ukuran besar lebih mudah terkontaminasi, dan eksplan yang berukuran kecil mempunyai persentase kematian jaringan lebih tinggi. Menurut Bhojwani dan Razdan (1983) makin besar ukuran eksplan jumlah sel lebih banyak, sehingga kemungkinan keberhasilan lebih besar, namun terdapat kelemahan yaitu kemungkinan terjadi aberasi genetik lebih besar. Yusnita et al. (1997) menggunakan ukuran eksplan pisang berbentuk kubus (0.5 x 0.5 x 0.5) cm dan memberikan hasil pertumbuhan yang baik, ukuran tersebut juga dianjurkan oleh Israeli et al. (1995)

Media Tumbuh dan Zat Pengatur Tumbuh

Berbagai media kultur in-vitro pisang telah dikembangkan oleh para peneliti. Media yang dipakai secara umum untuk kultur jaringan adalah media Murashige dan Skoog (1962), terutama untuk morfogenesis, kultur meristem dan regenerasi. Media MS ini mengandung garam-garam mineral dalam konsentrasi tinggi (Gamborg dan Shyluk 1981). Menurut Gunawan (1988), pada prinsipnya media dalam kultur jaringan terdiri dari sumber karbon dan energi, vitamin dan zat pengatur tumbuh (ZPT).

Memanipulasi komposisi media dan ZPT banyak dilakukan oleh para peneliti untuk menyesuaikan kebutuhan pertumbuhan bahan tanam. Menurut Weaver (1972), ZPT memegang peranan sangat penting dalam sel tumbuhan dan yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah berasal dari golongan sitokinin dan auksin. Menurut Zaffari et al. (2000), walaupun level hormon endogen pada pembentukan dan perkembangan tunas sangat penting baik secara

(6)

in-vitro dan ex-vitro, tetapi masih sangat sedikit studi tentang hormon eksogen

dilaporkan dalam kasus mikropropagasi pisang.

Dalam kultur jaringan, auksin digunakan untuk merangsang pertumbuhan kalus, pemanjangan sel dan pembentukan akar (Pierik 1987). Secara alami tanaman memiliki auksin endogen yang disebut IAA (Indole Acetic Acid) yang dihasilkan di meristem pucuk pada tajuk dan meristem pucuk akar (Salisbury dan Ross 1995). ZPT golongan sitokinin berperan penting dalam pembelahan sel dan morfogenesis (Gunawan 1988; Salisbury dan Ross 1995).

Interaksi dan perimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur (Gunawan 1988). Pemberian sitokinin yang cukup tinggi antara 0 sampai 10 mg/l mampu menginduksi (merangsang) pembentukan tunas, namun biasanya makin tinggi sitokinin dapat menghambat pembentukan akar (Prawiranata et al. 1994; Pierik 1987). IAA eksogen dengan konsentrasi rendah sering digunakan dalam media kultur jaringan dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas tunas mengimbangi pengaruh BAP (6 Benzyl Amino Purin) terhadap pengandaan tunas (Pierik 1987).

Weaver (1972) dan Salisbury dan Ross (1995), mengemukakan rasio sitokinin/auksin penting untuk mengendalikan dominasi apikal (penekanan tunas lateral). Level rasio sitokinin/auksin yang tinggi mendorong perkembangan tunas lateral dan rasio yang rendah mendukung dominasi apikal. Penelitian Zaffari et

al. (2000) pada pertunasan Musa sub group AAA ‘ Grande Naine’ secara in-vitro,

menunjukkan pentingnya level IAA endogen dan rasio auksin/sitokinin dalam menentukan arah pertunasan pisang. Sitokinin endogen meningkat di bagian basal eksplan dan menurun di bagian apikal pada pembentukan tunas, hal tersebut nampak pada subkultur pada medium proliferasi (65 sampai 75 hari) yang ditambah dengan 11.1 µM BAP. Level IAA endogen dan rasio IAA/sitokinin menurun setelah periode kultur 65 hari. Dari analisis jaringan, ternyata pembentukan primordia tunas pada bagian basal daun, meliputi jaringan sub epidermal dan epidermal pada periode kultur 65 hari.

Manipulasi hormon pada media tumbuh untuk kultur pisang harus disesuaikan dengan spesifikasi kultivar pisang. Meldia et al. (1992) melaporkan

(7)

bahwa pisang yang bergenom ABB (pisang batu) pada pemberian BAP dari konsentrasi 3.0 ppm sampai 5.0 ppm memberikan respon peningkatan jumlah tunas per eksplan yang masih relatif rendah (sedikit). Hutabarat (1997) mendapatkan bahwa pada kultivar-kultivar pisang bergenom BB jumlah tunas terbanyak dihasilkan pada BAP taraf konsentrasi 7.0 mg/l (pisang Klutuk Susu dan Batu) serta 10.5 mg/l (pisang Klutuk Wulung dan Klutuk Susu, bergenom BB). Penambahan IAA pada kombinasi 7.0 mg/l BAP dengan 1.5 mg/l IAA dihasilkan tunas lebih banyak dibandingkan dengan media yang hanya diberi 7.0 mg/l BAP pada pisang Kepok Sobo/ABB.

Ernawati et al. (1994), melaporkan bahwa jumlah tunas maksimum pada pisang Rajabulu/AAB sebesar 7.2 buah terjadi pada kombinasi perlakuan IAA 3.0 ppm dengan BAP 7.0 ppm. Rosjidi (1992) melaporkan hasil penelitian pada pisang Tanduk/AAB dengan perlakuan BAP (0, 3, 6, 8 mg/l) dan IAA (0,2,4,6 mg/l). Makin tinggi BAP tunas yang dihasilkan makin banyak walaupun pertumbuhan dan perkembangan tunas makin tidak sempurna.

Pisang Tanduk (AAB) responsif terhadap sitokinin pada media BAP 2 mg/l dan IAA 3 mg/l menghasilkan 4 tunas kecil-kecil dan nodul-nodul, pada konsentrasi BAP makin tinggi, tunas-tunas yang dihasilkan makin banyak tetapi makin tidak sempurna roset. Makin dilakukan subkultur tunas abnormal makin meningkat. Pisang Rajabulu (AAB) dengan BAP 5 mg/l dan IAA 3 mg/l memberikan 5 tunas ukuran sedang (2-3 cm) (Kasutjianingati 2004). GA3 mempunyai respon fisiologis berperan dalam proses pemanjangan sel dan dapat menyebabkan perpanjangan tunas/ruas (Salisbury dan Ross 1995).

Berdasarkan struktur kimia ada dua kelompok sitokinin yaitu turunan adenin (BAP, kinetin, zeatin) dan turunan fenilurea (Thidiazuron/TDZ). BAP dan TDZ mempunyai respon fisiologis yang sama yaitu berperan dalam regulasi pembelahan sel, deferensiasi pertumbuhan jaringan dan organ serta biosintesa klorofil (Murthy et al. 1995). Pengaruh penggunaan TDZ dalam perbanyakan in

vitro di antaranya adalah meningkatkan biosintesis atau akumulasi sitokinin dan

auksin endogen, menginduksi embrio somatik tanpa dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh lainnya, merangsang proliferasi tunas dan regenerasi organ adventif (Huetteman dan Preece 1993)

(8)

Layu Fusarium pada Pisang

Penyakit layu Fusarium

penyakit yang disebabkan oleh

cubense (E.F. Smith)/Foc merupakan salah satu patogen tular tanah yang

menurunkan produksi secara nyata

1994). Klamidosporanya mampu bertahan lama dalam tanah

ada sekresi akar atau eksudat akar yang merupakan sumber nutrisi untuk berkecambah. Dalam mempertahankan

epifit pada akar gulma atau tanaman 2001).

Gambar 2.2 Gejala kuning daun (A) dan daun kering

Fusarium oxysporum

Layu Fusarium pada Pisang

Fusarium yang dikenal dengan Panama disease, merupakan

penyakit yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht f.sp merupakan salah satu patogen tular tanah yang dapat menurunkan produksi secara nyata di daerah tropis (Stover 1990; Semangun Klamidosporanya mampu bertahan lama dalam tanah (30 tahun), sampai ada sekresi akar atau eksudat akar yang merupakan sumber nutrisi untuk mempertahankan hidupnya, patogen ini dapat hidup sebagai a atau tanaman yang mempunyai kekerabatan dekat (Nelson

kuning daun (A) dan daun kering (B) yang ditimbulkan

Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc)

, merupakan Schlecht f.sp dapat Semangun , sampai ada sekresi akar atau eksudat akar yang merupakan sumber nutrisi untuk dapat hidup sebagai (Nelson

(9)

Gambar 2.3 Gejala bercak coklat batang semu bonggol dan akar (B) yang ditimbulkan

cubense (

Penyakit tersebut dapat menular karena perakaran tanaman sehat berhubungan dengan spora yang dilepaskan oleh tanaman sakit di

dapat juga melalui penyebaran bahan tana air pada permukaan tanah serta sisa

Cendawan menyebar dengan cepat, setelah spora masuk ke dalam akar melalui lubang-lubang alami lenti sel atau luka

yang lambat laun masuk ke bonggol, selanjutnya patogen berkembang sangat cepat ke jaringan pembuluh. Miselium akan meluas dari jaringan pembuluh ke jaringan parenkhim, selanjutnya patogen membentuk

konidia yang dapat terangkut melalui arus transportasi xilem (Wardlaw 1972). Polisakarida dan enzim yang dihasilkan patogen dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel jaringan xilem tanaman membentuk gel dan gum (massa koloidal) dan menyebabkan penyumbatan pembuluh. Sekresi ber

bercak coklat batang semu (Ploetz 2000) (A); bercak pada bonggol dan akar (B) yang ditimbulkan Fusarium oxysporum

(Foc)

Penyakit tersebut dapat menular karena perakaran tanaman sehat berhubungan dengan spora yang dilepaskan oleh tanaman sakit di

dapat juga melalui penyebaran bahan tanam, alat atau tanah yang terinfeksi, aliran air pada permukaan tanah serta sisa-sisa tanaman sakit (Hutagalung 2002). Cendawan menyebar dengan cepat, setelah spora masuk ke dalam akar melalui

lubang alami lenti sel atau luka, berkecambah menghasilkan miselium yang lambat laun masuk ke bonggol, selanjutnya patogen berkembang sangat cepat ke jaringan pembuluh. Miselium akan meluas dari jaringan pembuluh ke jaringan parenkhim, selanjutnya patogen membentuk makro konidia dan mikro

angkut melalui arus transportasi xilem (Wardlaw 1972). Polisakarida dan enzim yang dihasilkan patogen dapat menyebabkan kerusakan

sel jaringan xilem tanaman membentuk gel dan gum (massa koloidal) dan menyebabkan penyumbatan pembuluh. Sekresi berupa massa koloidal

bercak pada

Fusarium oxysporum f.sp.

Penyakit tersebut dapat menular karena perakaran tanaman sehat sekitarnya, m, alat atau tanah yang terinfeksi, aliran sisa tanaman sakit (Hutagalung 2002). Cendawan menyebar dengan cepat, setelah spora masuk ke dalam akar melalui

n miselium yang lambat laun masuk ke bonggol, selanjutnya patogen berkembang sangat cepat ke jaringan pembuluh. Miselium akan meluas dari jaringan pembuluh ke konidia dan mikro angkut melalui arus transportasi xilem (Wardlaw 1972). Polisakarida dan enzim yang dihasilkan patogen dapat menyebabkan kerusakan

sel jaringan xilem tanaman membentuk gel dan gum (massa koloidal) upa massa koloidal

(10)

tersebut dan mengkerutnya sel-sel pembuluh menyebabkan aliran zat air mengalami proses penurunan laju sehingga menimbulkan kelayuan (Agrios 1997). Tanaman yang terinfeksi Foc menunjukkan gejala awal berupa penguningan tepi daun-daun tua (daun 1 dan 2 dari bawah) menyebar dari tepi ke arah tulang daun kemudian kecoklatan dan mengering, gejala menguning dari daun tua menuju daun-daun muda. Daun yang terserang berangsur-angsur layu pada tangkainya atau dasar ibu tulang daun menggantung ke bawah menutupi batang semu (Gambar 2.2). Beberapa menunjukkan gejala daun berwarna sangat hijau tangkai daun rebah dan layu. Pertumbuhan tidak terhenti, daun baru berkurang, abnormal berdiri tegak, berkerut dan rusak. Gejala khas lain adanya retakan batang semu dimulai dari permukaan tanah (Ploetz dan Pegg 2000).

Gejala paling khas penyakit layu yang disebabkan Foc adalah gejala dalam yaitu apabila pangkal batang semu dibelah membujur atau melintang (Gambar 2.3A) akan terlihat garis-garis coklat atau hitam melalui jaringan pembuluh (Ploetz 2000), demikian juga pada bonggol dan akar (Gambar 2.3B).

Pengetahuan keragaman genetik dan karakter Foc saat ini telah berkembang pesat. Forma spesialis Foc berdasar geografis dan patogeniknya pada kultivar yang berbeda dibagi ke dalam ras. Setiap kultivar pisang mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap ras Foc, oleh karena itu perlu dilakukan pengujian sifat-sifat patogen dan ras pada populasi secara lokal (Ploetz, 1998). Ras Foc baru dapat muncul apabila suatu kultivar tahan, ditanam secara monokultur pada areal yang luas secara terus menerus. Untuk saat ini dikenal ada ras 1 s/d ras 4, di mana ras 4 merupakan ras Foc yang paling virulen dan ganas, karena dapat menyerang semua kultivar pisang dan penyebarannya sangat luas hampir di seluruh daerah penghasil pisang di dunia. Bahkan sampai saat ini Foc ras 4 masih terus menjadi permasalahan di semua daerah pisang termasuk Indonesia (Jones 1995; Muharam et al. 1994; Ploetz 1998). Meluasnya serangan dapat juga disebabkan karena kultur budidaya pisang yang tidak menerapkan konsep pertanian berkelanjutan sehingga merangsang munculnya ras-ras Foc yang lebih virulen, misalnya penggunaan fungisida yang berlebihan, penggunaan kultivar yang rentan, penyebaran melalui bahan tanam atau bibit yang terinfestasi.

(11)

Pengendalian Hayati

Keberhasilan budidaya tanaman bergantung pada banyak faktor, salah satu faktor penting adalah serangan mikroorganisme patogen tumbuhan. Tanaman pisang yang dikembangkan di seluruh dunia mempunyai keragaman genetik yang luar biasa dan umumnya rentan terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh

Fusarium oysporum f. sp cubense. Fusarium oxysporium merupakan salah satu

patogen tular tanah yang menurut beberapa laporan dapat menurunkan produksi secara nyata (Stover 1990).

Beberapa perlakuan untuk mengontrol penyebaran penyakit telah banyak dilakukan seperti sanitasi lapang, fumigasi tanah dan pengapuran, tetapi belum memberikan hasil yang maksimum. Rotasi tanaman dengan padi dapat mengontrol penyakit tetapi efektif hanya bertahan satu sampai dua tahun kemudian terjadi peningkatan penyakit ke level kerusakan epidemi. Para ahli pemuliaan tanaman telah banyak meneliti untuk mendapatkan sifat ketahanan baik secara konvensional maupun bioteknologi, serta tidak sedikit penelitian ahli patologi yang mengarah pada usaha induksi resistensi (Agrios 1997; Gowen 1995; Hwang et al. 1984)

Kendala utama bagi ahli pemuliaan tanaman sebenarnya adalah sifat triploid pada pisang sehingga sulit untuk mendapatkan tanaman hasil silangan. Selain itu, pemulia tanaman membutuhkan waktu dan biaya yang sangat mahal dan genotipe baru yang dihasilkan harus dievaluasi dengan mengadakan percobaan lapang yang memerlukan waktu lama. Hwang (1998), melakukan

screening terhadap 20.000 planlet, diperoleh 6 klon yang mempunyai resistensi

tinggi terhadap patogen namun memiliki sifat agronomi yang tidak ideal untuk tanaman pisang seperti tanaman sangat tinggi, periode pertumbuhan lebih panjang, bentuk daun tidak normal, produktivitas dan kualitas buah tidak memenuhi standar pasar.

Pada saat ini terdapat kecenderungan perubahan orientasi dalam bidang pertanian untuk memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen pengendali hayati untuk mempertahankan produksi pertanian yang berkelanjutan. Berdasar pada trend tersebut sudah selayaknya mikroorganisme yang dapat hidup berdampingan dengan tanaman perlu mendapat kajian yang serius. Biologi kontrol atau

(12)

pengendalian hayati dapat didifinisikan sebagai kemampuan mengelola komponen ekosistem untuk melindungi tanaman dari pengaruh yang tidak menguntungkan, dengan kata lain pengendalian hayati bisa disebut sebagai teknik pengelolaan pertanian yang berkelanjutan sehingga kualitas lingkungan dapat dipertahankan dengan mengurangi input kimia, membatasi pertumbuhan dan aktivitas patogen tumbuhan di sekitar permukaan tanaman (udara dan tanah) dengan menggunakan strain bakteri antagonis (Reinntjes et al 1992).

Dalam pengendalian penyakit secara terpadu, pengendalian hayati merupakan salah satu komponen di mana kepadatan inokulum patogen dan aktivitas patogen dikurangi dengan memanipulasi lingkungan; inang dan antagonis atau dengan memasukkan satu atau lebih antagonis (Baker dan Cook 1974). Pengendalian hayati akhir-akhir ini banyak diminati karena pengendalian ini aman bagi lingkungan, tidak perlu dilakukan berulang-ulang dan aplikasinya cukup sederhana, meskipun cara tersebut membutuhkan waktu lama. Hemming (1990), menyatakan bahwa penggunaan bakteri dalam pengendalian hayati penyakit tumbuhan cukup menguntungkan terutama untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh patogen tular tanah.

Bakteri Antagonistik Memperbaiki Pertumbuhan

dan Perkembangan Tanaman

Populasi bakteri dalam tanah merupakan populasi yang terbesar dibandingkan dengan mikroorganisme lainnya, kepadatan bakteri dilaporkan 1 x 106 sampai 9 x 109 sel bakteri per gram tanah. Populasi yang tinggi dan kecepatan dalam mempergunakan nutrisi memungkinkan bakteri menjadi kelompok besar yang penting sebagai pesaing dalam memperoleh nutrisi, terutama pada rizosfer dan daerah sekitar tanaman. Dengan memberi lingkungan fisik yang tepat, bakteri dapat tumbuh dengan cepat dan mencapai jumlah yang tinggi kurang dari 48 jam sejak tersedianya nutrisi. Selama pertumbuhan diperkirakan waktu yang dibutuhkan bakteri untuk memperbanyak diri dan beregenerasi sekitar 20 menit. Penambahan air pada tanah yang kering akan menambah jumlah bakteri dalam kelipatan sepuluh selama 12-24 jam, tidak adanya substrat organik baik lignin, selulosa, hemiselulosa, protein, gula

(13)

sederhana, asam amino maupun kitin dalam tanah dapat menyebabkan bakteri hilang atau berkurang (Baker dan Cook 1974).

Mikroorganisme berdasar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibagi dalam dua kelompok yaitu mikroorganisme yang menghambat dan yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Mikroorganisme yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan tanaman di antaranya adalah rhizobia, mikroorganisme pemfiksasi N2, mikroorganisme yang dapat menambah unsur-unsur seperti S, P, N dan Fe untuk perkembangan tanaman, mikroorganisme antagonis yang dapat melawan patogen tanah dan mikroorganisme lain dalam tanah. Mikroorganisme yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman, yaitu patogen yang memparasit jaringan tanaman dan menyebabkan gejala penyakit, patogen yang memparasit sel akar dan mikroorganisme yang tidak memparasit tetapi aktivitas metabolismenya berbahaya terhadap perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman (Schipper 1986).

Pada saat agen bakteri diintroduksikan ada tiga macam pengaruh yang ditimbulkan terhadap tanaman yaitu perusakan, netral dan menguntungkan. Introduksi bakteri yang menguntungkan dapat menanggulangi ketidakseimbangan biologi tanaman, seperti bakteri rizosfer yang dapat memacu pertumbuhan (Plant

Growth-Promoting Rhizobacteria/PGPR) (Kloepper 1991).

Pseudomonas kelompok fluorescens, Bacillus spp dan Serratia sp

mendapat perhatian utama sebagai agen pengendali hayati. Pseudomonas kelompok fluorescens dapat mengendalikan penyakit dengan berkompetisi dalam penggunaan besi, nutrisi dan antibiosis yang dihasilkan sebagai senyawa anti cendawan (Bakker et al. 1990).

Kesuksesan inokulum bakteri sebagai agen pengendali hayati bergantung pada kemampuan kompetisi in situ dengan mikroflora asli yang sudah ada dan ekspresi gen penting dari pengendali hayati (Bakker et al. 1990). Pseudomonas

fluorescens diketahui dapat menghasilkan beberapa senyawa yang dapat

menghambat pertumbuhan fungi (Oku 1994). Mekanisme kerja dari P.

fluorescens adalah dengan sistem yang dapat mengkelat Fe, sehingga Fe tidak

(14)

sianida (Alstrom dan Burn 1989; Leyns et al.1990; Siddiqui 2006), atau antibiotik seperti pyrrolnitrin dan pyoluterin (Cho et al. 2003; Tsuge et al. 2005; Mizumoto dan Shoda 2007). Beberapa isolat dari Bacillus subtillis dapat memproduksi antibiotik iturin A, di samping itu dapat membentuk iturin lain mycosubtilins, bacillomycin, fenhymicin, mycobacillin dan mycocerein dimana senyawa-senyawa tersebut sangat efektif melawan fungi (Duitman et al. 1999; Siddiqui 2006).

Beberapa bakteri mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman secara in vitro. Pada penelitian Suaria et al. (2001) perlakuan isolat bakteri memberi pengaruh positif pada hampir semua peubah yang diamati pada kultur in vitro Dendrobium, dikatakan bahwa isolat bakteri memiliki triptofan deaminase yang dapat mempengaruhi regulasi sitesis indole- 3-acetic acid (IAA). Selanjutnya IAA mempengaruhi perkembangan kultur in vitro Dendrobium dengan merangsang aktivitas sel sehingga pembelahan dan pertumbuhan sel meningkat. Meningkatnya aktivitas sel akan menyebabkan pembentukan organ tanaman seperti akar, batang dan daun meningkat. Glick et al. (1999) dan Wilkinson et al. (1994) menyatakan beberapa bakteri tertentu dapat merangsang pertumbuhan langsung melalui sintesa senyawa yang membantu penyerapan nutrien dari lingkungannya, sintesa indol asetat dan giberelin.

Gambar

Gambar 2.1    Tahapan perbanyakan planlet pisang secara kultur jaringan
Gambar 2.2   Gejala kuning daun (A) dan daun kering  Fusarium oxysporum
Gambar 2.3    Gejala bercak coklat batang semu  bonggol dan akar (B) yang ditimbulkan  cubense (

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilatar belakangi berdasarkan fenomena yang ada menunjukan bahwa pelayanan, harga dan fasilitas mempengaruhi keputusan konsumen untuk menginap pada

Untuk menciptakan fokus yang mudah dan natural adalah menempatkan pemain dalam posisi segitiga. Setiap pemain akan mudah terlihat oleh penonton dan mereka dapat melihat satu sama

Beberapa data fokus telah didapatkan berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan terhadap Ny.N yang pertama, yaitu data subjektif : Ny.N mengatakan nyeri

Perusahaan sebaiknya berfokus pada penguatan dan pengembangan faktor motivasi untuk berprestasi melalui pemberian penghargaan berdasarkan lama karyawan bekerja dan hasil

Besarnya pendapatan tergantung pada banyaknya produk yang dihasilkan serta harga jual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan agroindustri tempe dalam satu

Hasil pengujian secara parsial, character mempunyai pengaruh yang positif terhadap keputusan pemberian kredit pada Bank Perkreditan Rakyat di Kota Semarang, dapat

Hasil perhitungan analitis terhadap komponen rangka batang sepanjang 100 cm dengan sambungan yang dirancang dapat menerima beban tekan 922 kg dan tarik 3.925 kg untuk

This study discusses the Temperature and Humidity Monitoring System Chili Plant Greenhouse Based on LabVIEW. Each plant requires a climate in order to grow optimally and results in