• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI EFEKTIFITAS BEBERAPA MIKROORGANISME ANTAGONIS TERHADAP Pseudomonas solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU PADA TANAMAN PISANG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI EFEKTIFITAS BEBERAPA MIKROORGANISME ANTAGONIS TERHADAP Pseudomonas solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU PADA TANAMAN PISANG."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

UJI EFEKTIFITAS BEBERAPA MIKROORGANISME ANTAGONIS TERHADAP Pseudomonas solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU

PADA TANAMAN PISANG

Oleh :

Ni Made Laksmi Ernawati dan Febriana Tri Wulandari

Staf Pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Mataram

Abstrak : Penelitian bertujuan untuk menguji efektifitas beberapa mikroorganisme antagonis terhadap P. solanacearum pada tanaman pisang. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Jurusan HPT

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Percobaan dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 28 perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tanpa penambahan mikroorganisme antagonis intensitas serangannya 100% dan tanaman mati 35 hari setelah inokulasi dengan P. solanacearum, sedangkan dengan penambahan mikroorganisme antagonis intensitas serangannya lebih rendah dan tanaman tidak mati. Tidak ada perbedaan penekanan antara 6 mikroorganisme antagonis terpilih terhadap P. solanacearum. Berdasarkan perbedaan tipe koloni dan macam tanah yang digunakan Bacillus subtilis memberikan daya hambat tertinggi yaitu 88,0% terhadap P. solanacearum dengan tipe koloni no 2 pada tanah tidak steril. Efektifitas 6 mikroorganisme antagonis terpilih lebih tingi pada P. solanacearum dengan tipe koloni no 2 dibandingkan dengan no 9, dan efektifitasnya lebih tinggi pada tanah tidak steril dibandingkan dengan tanah steril.

Kata kunci: mikroorganisme antagonis, P. solanacearum, penyakit layu, pisang

PENDAHULUAN

Pisang mempunyai potensi pengembangan yang sangat besar karena daya adaptasinya terhadap zone agroklimat yang cukup tinggi dan merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai arti penting (Satuhu dan Supriadi 1994). Dari sekian banyak penyakit yang menyerang tanaman pisang di Indonesia, salah satu yang penting adalah penyakit layu yang disebabkan oleh bakteri tular tanah

Pseudomonas solanacearum (Semangun, 1991 ;

Muharam dan Subianto 1991).

Kerugian yang dialami akibat serangan penyakit ini cukup tinggi yaitu 10-42 % bahkan dapat sampai 93,1 % pada serangan yang berat (Buddenhagen dan Kelman 1964 ; Rao 1976 ; Rukmana 1997). Penyakit layu bakteri ini penyebarannya sangat luas yaitu di daerah tropik, subtropik, dan daerah-daerah lain di seluruh dunia yang memiliki iklim hangat (Satari dan Sumaraw 1990 dalam Baharuddin 1994).

Salah satu strategi pengelolaan penyakit yang menjanjikan adalah penggunaan mikroorganisme antagonis. Mikroorganisme yang berkolonisasi dengan akar dapat menghambat atau berkompetisi dengan patogen tular tanah yang berada di sekitar daerah perakaran tanaman sehingga dapat menjaga akar tanaman tetap sehat. Secara alami, pada tanah terdapat mikroorganisme yang berpotensi untuk menekan perkembangan patogen tular tanah karena dapat bersifat antagonis (Cook dan Baker 1989). Penambahan mikroorganisme antagonis ke dalam tanah dapat meningkatkan populasi mikroorganisme

antagonis yang sudah ada, sehingga lebih efektif dalam menekan perkembangan patogen tular tanah.

Mikroorganisme antagonis yang penting dari golongan jamur salah satunya adalah Trichoderma spp. Populasi P. solanacearum penyebab penyakit layu pada kentang, dapat ditekan dengan menggunakan Trichoderma spp. sebesar 36 % (Gunawan 1995). Trichoderma spp. juga berpotensi untuk mengendalikan P. solanacearum pada tanaman tomat (menekan 23,4-100 %), dan kacang tanah (menekan 57,8-71,1 %) (Suprapto 1982 ; Paath 1988; dan Yusriadi 1998). Penicillium,

Aspergillus, Fusarium spp. dapat menghambat P. solanacearum secara in vitro (Nesmith dan Jenkins

1985 dalam Paath 1988). P. cepacia, P. fluorescens dan P. gladiol memiliki potensi sebagai agen pengendali hayati untuk menekan pertumbuhan P.

solanacearum sebesar 60-90 % pada tanaman tomat

(Hartman et al. 1992). Shekhawat et al. (1992) juga melaporkan bahwa penggunaan Bacillus sp., B.

subtilis, P. fluorescens dan actinomycetes dapat

mengurangi persentase penyakit layu pada tanaman kentang yang disebabkan oleh P. solanacearum baik secara percobaan laboraturium (menekan 43 – 71 %) maupun di lapang (menekan 52 – 79 %). Selain bakteri tersebut, Kelman ( 1953 dalam Hartman et

al. 1992) mendapatkan bahwa B. mesentericus, B. megaterium, B. mycoides, dan Erwinia merupakan

agen pengendali hayati yang potensial. Diharapkan beberapa agen pengendali hayati tersebut juga dapat

(2)

digunakan untuk menekan penyakit layu bakteri pada tanaman pisang. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas beberapa mikroorganisme antagonis terhadap P. solanacearum pada tanaman pisang.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Laboratorium

Bakteriologi Jurusan HPT Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Desember 2000.

Rancangan Percobaan. Bakteri dan jamur

antagonis yang diujikan ada 6 yakni Bacillus

subtilis, Bacillus spp., Bacillus megaterium, Pseudomonas putida, Trichoderma viride, dan Aspergillus flavus (hasil isolasi dari tanah di sekitar

perakaran tanaman pisang yang sudah diidentifikasi dan diuji daya antagonisnya secara in vitro). Media tanah yang digunakan ada 2 yaitu tanah steril dan tidak steril dan patogen P. solanacearum ada 2 tipe koloni yang digunakan yaitu tipe no 2 dan no 9 (hasil isolasi dari tanaman pisang sakit), serta kontrol. Percobaan dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 28 perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang tiga kali.

Persiapan bibit pisang. Bibit pisang hasil kultur

jaringan didapatkan dari PT Harakah Kitri Endah Mojokerto. Bibit pisang yang digunakan memiliki genom triploid AAA yaitu pisang Cavendish dan sudah berumur 8 minggu aklimatisasi.

Persiapan Media Tanam Pisang. Bibit pisang

ditanam pada media campuran tanah, pasir, dan serabut kelapa dengan komposisi 2:1:1. Untuk media yang disterilkan dilakukan dengan menggunakan formalin 4%. Media yang sudah disemprot ditutup dengan plastik selama 2 minggu, setelah itu dibuka dan dikeringanginkan. Media tanam yang steril maupun yang tidak kemudian dimasukkan ke dalam polybag dengan ukuran 8x8x15 sebanyak 600 gram/polybag.

Persiapan Inokulum Bakteri Patogen dan Mikroorganisme Antagonis. Inokulum bakteri P.

solanacearum diperbanyak pada media NGA selama

48 jam dan dijadikan suspensi sebelum

diinokulasikan, demikian pula dengan

mikroorganisme antagonis diperbanyak pada media PDA. Konsentrasi suspensi P. solanacearum yang digunakan 108 CFU/ml, 1010 CFU/ml untuk bakteri antagonis, dan untuk jamur konsentrasi sporanya 1010/ml.

Inokulasi. Bibit pisang dengan hati-hati dicabut

dari polybag dan dicuci pada air mengalir sampai tidak ada tanah yang tertinggal di akar, kemudian ujung akar dipotong sedikit untuk jalan masuk

mikroorganisme antagonis. Bibit pisang direndam dalam suspensi mikroorganisme antagonis selama satu jam, setelah itu ditanam kembali ke polybag. Dua hari setelah bibit pisang diinokulasikan dengan mikroorganisme antagonis, dilakukan inokulasi dengan P. solanacearum dengan cara menyiramkan suspensi bakteri di sekitar akar tanaman pisang sebanyak 25-30 ml/tanaman.

Pengamatan.

Pengamatan terhadap perkembangan gejala penyakit dilakukan dua hari sekali sampai tanaman kontrol mati. Intensitas serangan penyakit dihitung pada akhir pengamatan dengan menggunakan rumus (Sastrosiswojo 1992; Baharudin 1994):

∑(n x v)

I =- --- x 100% Z x N

dimana:

I = intensitas serangan penyakit

n = jumlah daun yang diamati tiap kategori serangan

v = nilai numerik dari tiap kategori serangan Z = nilai numerik dari kategori serangan tertinggi N = jumlah daun yang diamati

Skala kerusakan:

0 = tidak timbul gejala (daun sehat) 1 = sebagian daun lengkung dan klorosis 2 = sebagian daun lengkung dan nekrosis 3 = sebagian daun layu dan klorosis 4 = sebagian daun layu dan nekrosis 5 = sebagian daun kering dan mati 6 = tanaman mati

Analisa Data. Data intensitas serangan penyakit

layu dianalisis dengan Analisis Keragaman (Anova) pada taraf nyata 5%. Jika ada perbedaan perlakuan maka diuji lanjut dengan Kontras Ortogonal dan Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata yang sama.

HASIL

Perkembangan gejala penyakit. Semua

perlakuan dapat menimbulkan gejala penyakit dengan waktu yang berbeda-beda tergantung pada tanah yang digunakan dan tipe koloni dari patogen. Pada penambahan mikroorganisme antagonis gejala muncul lebih lambat dibandingkan dengan tanpa penambahan mikroorganisme antagonis. Gejala muncul sekitar 3-4 hari setelah inokulasi dengan P.

solanacearum dan pada tanah steril gejala muncul

lebih awal dibandingkan pada tanah tidak steril. Meskipun semua perlakuan dapat menimbulkan gejala tetapi tidak semua tanaman mati sampai akhir percobaan kecuali pada kontrol. Tanaman mati antara 16-35 hari setelah inokulasi (hsi) dan tanaman mati lebih awal pada tanah steril dibandingkan pada

(3)

tanah tidak steril. Gejala yang muncul secara umum adalah diawali dengan melengkungnya daun dengan sedikit klorosis atau nekrosis, selanjutnya daun menjadi layu dan akhirnya kering dan mati. Perkembangan penyakit pada tipe koloni no 2 lebih lambat dibandingkan no 9.

Intensitas serangan P. solanacearum pada tanaman pisang. Hasil analisis keragaman pada

akhir pengamatan menunjukkan bahwa ada beda nyata antara perlakuan yang diberikan terhadap intensitas serangan penyakit layu yang disebabkan oleh P. solanacearum. Hasil uji kontras ortogonal dari masing-masing perlakuan terhadap intensitas serangan penyakit layu disajikan pada Tabel 1, sedangkan rata-rata intensitas serangan penyakit pada masing-masing perlakuan yang diberikan disajikan pada Tabel 2.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa pemberian mikroorganisme antagonis sangat berpengaruh terhadap intensitas serangan P. solanacearum pada pisang dan nampak perbedaan yang nyata dibandingkan dengan kontrol. Meskipun pemberian mikroorganisme antagonis dapat menurunkan intensitas serangan penyakit tetapi efektifitas

mikroorganisme antagonis terhadap P.

solanacearum sama karena intensitas serangan

diantara mikroorganisme antagonis tidak berbeda nyata. Efektifitas mikroorganisme antagonis lebih tinggi pada tipe koloni no2 dibandingkan no 9. Demikian pula efektifitas mikroorganisme antagonis lebih tinggi pada tanah tidak steril dibandingkan pada tanah steril karena intensitas serangannya berbeda nyata.

Tabel 1. Hasil uji kontras ortogonal dari masing-masing perlakuan terhadap

Ket: nilai p<0,05 menunjukkan beda nyata (significance = S) dan p>0,05 tidak berbeda nyata (non significance = NS), analisa dilakukan setelah data di transformasikan pada

√x+0,5

Tabel 2. Rata-rata intensitas serangan penyakit pada masing-masing perlakuan yang diberikan.

Perlakuan Intensitas

serangan C (B.subtilis + patogen no 2 + tanah tidak steril)

W (A.flavus + patogen no 2 + tanah tidak steril) O (P. putida + patogen no 2 + tanah tidak steril) Y (A.flavus + patogen no 9 + tanah tidak steril) K (B.megaterium + patogen no 2 + tanah tidak steril) S (T.viride + patogen no 2 + tanah tidak steril) I (Bacillus spp. + patogen no 9 + tanah tidak steril) G (Bacillus spp. + patogen no 2 + tanah tidak steril) J (B.megaterium + patogen no 2 + tanah steril) N (P. putida + patogen no 2 + tanah steril) F (Bacillus spp. + patogen no 2 + tanah steril) U (T.viride + patogen no 9 + tanah tidak steril) B (B.subtilis + patogen no 2 + tanah steril) Q (P. putida + patogen no 9 + tanah tidak steril) M (B.megaterium + patogen no 9 + tanah tidak steril) E (B.subtilis + patogen no 9 + tanah tidak steril) V (A.flavus + patogen no 2 + tanah steril) L (B.megaterium + patogen no 9 + tanah steril) H (Bacillus spp. + patogen no 9 + tanah steril) D (B.subtilis + patogen no 9 + tanah steril) X (A.flavus + patogen no 9 + tanah steril) P (P. putida + patogen no 9 + tanah steril) T (T.viride + patogen no 9 + tanah steril) R (T.viride + patogen no 2 + tanah steril) A1 (tanpa MA + patogen no 2 + tanah steril) A2 (tanpa MA + patogen no 2 + tanah tidak steril) A3 (tanpa MA + patogen no 9 + tanah steril) A4 (tanpa MA + patogen no 9 + tanah tidak steril)

3,54 a 3,97 ab 4,96 abc 5,06 abc 5,53 abcd 6,07 abcde 6,17 abcdef 6,41 abcdefg 6,50 abcdefg 6,77 bcdefgh 7,07 cdefghi 7,39 cdefghi 7,53 cdefghi 7,59 cdefghi 7,76 cdefghi 8,17 defghi 8,26 defghi 8,51 defghi 8,77 efghi 9,03 efghi 9,15 fghi 9,29 ghi 9,63 hi 9,88 i 10,02 i 10,02 i 10,02 i 10,02 i

Ket: Angka pada kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji

BNT dengan α = 0,05 (data telah

ditransformasikan pada √x+0,5. MA =

mikroorganisme antagonis

Tabel 2 menunjukkan bahwa 10 perlakuan yaitu C, W, Y, O, K, S, I, G, J, dan N berbeda nyata dengan kontrol (tanpa mikroorganisme antagonis). Perlakuan C menunjukkan intensitas serangan terendah dibandingkan 9 perlakuan yang lain.

PEMBAHASAN

Ada kecendrungan bahwa 6 mikroorganisme antagonis yang digunakan menunjukkan efektifitas yang lebih baik terhadap P. solanacearum dengan tipe koloni no 2 pada tanah tidak steril, dan yang terbaik adalah B.subtilis. Hal ini kemungkinan karena keunggulan yang dimiliki kelompok Bacillus sehingga lebih dapat bertahan di dalam tanah dan memberikan perlindungan lebih lama dibandingkan bakteri fluoresen (P. putida). Diduga bahwa pada tanah bakteri fluoresen kehilangan viabilitasnya karena tidak tahan terhadap stres lingkungan. Akibatnya bakteri fluoresen tidak mampu memberikan proteksi yang maksimal lagi. Untuk jamur antagonis, tidak saja menghasilkan antibiotik tetapi juga merupakan kompetitor yang baik sehingga mempunyai daya hambat yang lebih baik dibandingkan bakteri fluoresen.

Tidak adanya perbedaan efektifitas penekanan antara mikroorganisme antagonis yang satu dengan lainnya diduga karena antibiotik yang dikeluarkan oleh 6 mikroorganisme antagonis tersebut tidak jauh berbeda sehingga tidak ada perbedaan intensitas

(4)

serangan penyakit. Dengan demikian 6 mikroorganisme antagonis ini memiliki potensi untuk dijadikan agen pengendali hayati terhadap P.

solanacearum pada tanaman pisang.

Efektifitas 6 mikroorganisme antagonis lebih tinggi terhadap P. solanacearum dengan tipe koloni no 2 dibandingkan tipe koloni no 9. Perkembangan penyakit pada tipe koloni no 2 juga lebih lambat dibandingkan tipe koloni no 9. Tipe koloni no 2 dan no 9 sama-sama memiliki virulensi tinggi. Jika koloni tunggal dari tipe koloni no 2 digoreskan kembali ke media TZC, ternyata tumbuh koloni campuran (2, 3, 4, dan 7), sedangkan tipe koloni no 9 hanya tumbuh tipe 9 dan 3. Dengan kata lain, tipe koloni no 2 merupakan koloni campuran sedangkan no 9 hampir merupakan koloni tunggal. Oleh karenanya, diduga mikroorganisme antagonis lebih efektif menekan koloni campuran dibandingkan dengan koloni yang hampir tunggal. Dalam prinsip segitiga penyakit disebutkan bahwa penyakit akan terjadi jika terdapat patogen yang virulen, tanaman yang rentan, dan lingkungan yang mendukung (Agrios 1997). Jadi meskipun kedua tipe koloni patogen memiliki virulensi yang sama tetapi karena faktor lingkungan yang kurang mendukung seperti aktifnya kegiatan mikroorganisme antagonis di sekitar perakaran tanaman, maka tingkat serangan yang terjadi juga berbeda.

Efektifitas 6 mikroorganisme antagonis lebih rendah pada tanah steril dibandingkan pada tanah tidak steril. Hal ini diduga karena pada tanah yang disterilkan mikroorganisme tanah yang ada mati. Pada tanah yang tidak steril, mikroorganisme tanah yang ada kemungkinan ada yang bersifat sinergis sehingga bersama-sama dengan mikroorganisme

antagonis yang diberikan dapat menekan

perkembangan bakteri patogen. Percobaan

pemberian beberapa saprofit tanah terhadap infeksi busuk akar pada bibit gandum yang disebabkan oleh

Helminthosporium sativum, didapatkan bahwa pada

tanah steril tingkat infeksi yang terjadi hampir 50% dan 8% pada tanah tidak steril. Jika pada tanah steril ditambahkan bakteri, jamur, dan aktinomisetes maka tingkat infeksi hanya 2% (Henry dalam Campbell 1989). Hal ini membuktikan bahwa terjadi interaksi diantara mikroorganisme tanah dan kemungkinan peran mikroorganisme antagonis yang ditambahkan dapat ditingkatkan. Cook dan Baker (1989) menyebutkan bahwa di dalam tanah terdapat berbagai tipe interaksi antar mikroorganisme yang

berperan dalam proses untuk mencapai

keseimbangan biologi. Interaksi ini dapat berpengaruh terhadap salah satu atau beberapa mikroorganisme yang berinteraksi. Beberapa akibat interaksinya antara lain: merangsang pertumbuhan

mikroorganisme, menghambat pertumbuhan,

merangsang atau menghambat pembentukan spora

istirahat, menyebabkan kematian bagi

mikroorganisme lain, ataupun bersama-sama dapat mengakibatkan kerusakan tanaman.

PENUTUP a. Simpulan

1. Perlakuan tanpa penambahan mikroorganisme antagonis intensitas serangannya 100% dan tanaman mati 35 hari setelah inokulasi dengan

P. solanacearum, sedangkan dengan

penambahan mikroorganisme antagonis

intensitas serangannya lebih rendah dan tanaman tidak mati.

2. Tidak ada perbedaan efektifitas antara 6 mikroorganisme antagonis yang diujikan terhadap P. solanacearum.

3. Berdasarkan perbedaan tipe koloni dan macam tanah yang digunakan Bacillus subtilis

memberikan daya hambat tertinggi yaitu 88,0% terhadap P. solanacearum dengan tipe koloni no 2 pada tanah tidak steril.

4. Efektifitas 6 mikroorganisme antagonis lebih tinggi pada P. solanacearum dengan tipe koloni no 2 dibandingkan no 9, dan efektifitasnya lebih tinggi pada tanah tidak steril dibandingkan tanah steril.

b. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di lapang untuk mengetahui daya antagonisme, cara aplikasi, dan cara perbanyakan masal dari 6 mikroorganisme antagonis tersebut. Perlu juga dicoba penggabungan beberapa mikroorganisme antagonis ini untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, atau menggabungkannya dengan cara pengendalian yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, GN., 1997. Plant Pathology. Fourth Edition. Academic Press. Inc. San Diego California. Baharudin, 1994. Pathological, biochemical, and

serological characterization of blood disease bacterium affecting banana plantain (Musa spp.) in Indonesia. Cuviller Verlag.

Gottongen. Jerman.

Buddenhagen dan Kelman, 1964. Biological and physiological aspects of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum.

Annual Review Phytopathology 2. 203-230.

Cook, R.J and K.F. Baker, 1974. Biological Control

of Microbial Plant Pathogen. W.H. Freeman

and Company. San Fransisco.

Gunawan, O.S., 1995. Pengaruh mikroorganisme antagonis dalam mengendalikan bakteri layu

(5)

Pseudomonas solanacearum pada tanaman

kentang. Dalam Risalah Kongres Nasional

XIII dan Seminar Ilmiah PFI (Mataram, 25-27 September 1995), p.473-479. Mataram.

NTB.

Hartman, G.L., W.F. Hong, Hanudin, dan A.C. Hayward, 1992. Potential of biological and chemical control of bacterial wilt. Pp.322-326. Proceeding of an International

Conference held at Kaohsiung, Taiwan, 23-31 October 1992.

Muharam dan Subianto, 1991. Status of banana disease in Indonesia. In Proceeding of

Regional Technical Meeting on Disease Affecting Banana and Plantation in Asia and the Pasific. p.44-56. Bribane, Australia.

Paath, J.M., 1988. Pengaruh antagonistic Trichoderma spp. terhadap perkembangan penyakit layu bakteri Pseudomonas solanacearum pada tanaman tembakau dan tomat.Tesis Master. Fakultas Pascasarjana

IPB. Bogor.

Rao, M.V.B., 1976. Bacterial wilt of tomato and eggplant in India. In Proc. 1st International Planning Conference and Workshop on Ecological and Control of Bacterial Wilt Caused by Pseudomonas solanacearum,

pp.92-94. New Delhi, India.

Rukmana, 1997. Penyakit Tanaman dan Teknik Pengendaliannya. Kanisius. Jakarta.

Sastrosiswojo, S., 1992. Buku Panduan Teknis

Pengendalian Hama Terpadu Sayuran

Dataran Tinggi. Program Nasional Pelatihan dan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu. Bandung.

Satuhu dan Supriyadi, 1994. Pisang: Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Semangun, H., 1991. Penyakit-penyakit

Hortikultura. Gajah Mada Univ. Press. Yogyakarta.

Shekawat, G.S., S.K. Chakrabarti, V. Kishore, V. Sunaina, dan Ashok V. Gadewar, 1992. Possibilities of biological management of potato bacterial wilt with strains of Bacillus sp., Bacillus subtilis, Pseudomonas fluorescens, and Actinomycetes.

pp.327-330. In Proceeding of an International

Conference held at Kaohsiung, Taiwan, 23-31 October 1992.

Suprapto, W., 1982. Penelitian jazad-jazad antagonis terhadap bakteri penyebab layu Pseudomonas solanacearum E.F. Smith.

Sripsi. Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Yusriadi, 1998. Dampak introduksi mikroorganisme

antagonis terhadap perkembangan penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum E.F. Smith) pada kacang tanah. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.

Gambar

Tabel  1.  Hasil  uji  kontras  ortogonal  dari  masing- masing-masing perlakuan terhadap

Referensi

Dokumen terkait

Produksi IAA yang terlalu tinggi juga dapat menstimulasi kerentanan tanaman terhadap patogen (Agrios 1997). Perlakuan agen antagonis pada perakaran tanaman dengan bakteri kelompok

Berbagai cara pengendalian sudah pernah dilapor.kan, tetapi hingga saat ini belum ada kepastian cara pengendalian yang efektif untuk mengatasi pcnyakit layu bakteri pada

Analisis Data: Pengamatan dilakukan terhadap kemampuan jamur Gliocladium sp dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen Fusarium sp penyebab penyakit layu pada tanaman

Dalam penelitian ini, kandungan fenol pada tanaman tomat yang diberi perlakuan agens hayati lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol kecuali pada B. Hal ini

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Uji Efektifitas Bakteri Kitinolitik Terhadap Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman Bawang Merah” yang merupakan salah satu syarat

Pengujian biofungisida pada TBM menunjukkan penurunan intensitas serangan penyakit sebesar 18,33% sampai dengan 23,33% yang tidak berbeda nyata dengan fungisida kimia

Sidik ragam intensitas penyakit pada bibit pisang yang telah diaplikasi dengan formula tapioka dari Pseudomonas berfluoresensi PfPj 1 dan inokulasi R.. solunacearzrrn pada media

Produksi IAA yang terlalu tinggi juga dapat menstimulasi kerentanan tanaman terhadap patogen (Agrios 1997). Perlakuan agen antagonis pada perakaran tanaman dengan bakteri kelompok