• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian Asam Askorbat Dan Giberelin Untuk Mengatasi Kondisi Stres Garam Pada Tanaman Kedelai (Glycine Max ( L.) Merrill) Di Lahan Salin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemberian Asam Askorbat Dan Giberelin Untuk Mengatasi Kondisi Stres Garam Pada Tanaman Kedelai (Glycine Max ( L.) Merrill) Di Lahan Salin"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Tanaman Kedelai

Sistem perakaran pada kedelai terdiri dari sebuah akar tunggang yang

terbentuk dari calon akar, sejumlah akar sekunder yang tersusun dalam empat

barisan sepanjang akar tunggang, cabang akar skunder, dan cabang akar adventif

yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Bintil akar pertama terlihat 10 hari

setelah tanam. Panjang akar tunggang ditentukan oleh berbagai faktor, seperti

kekerasan tanah, populasi tanaman, varietas dan sebagainya. Akar tunggang dapat

mencapai kedalaman 200 cm, namun pada pertanaman tunggal dapat mencapai

250 cm. populasi tanaman yang rapat dapat mengganggu pertumbuhan akar

(Carlson, 1973). Kedelai yang tergolong tanaman leguminosa dicirikan oleh

kemampuannya untuk membentuk bintil akar, yang salah satunya oleh Rhizobium

joponicum, yang mampu menambat nitrogen dan bermanfaat bagi tanaman (Adie

dan Krisnawati, 2007).

Batang tanaman kedelai berasal dari poros janin (embrio) yang terdapat

pada biji masak. Bagian terpenting dari poros janin ialah hipokotil dan bakal akar,

yang merupakan sebagai dari poros hipokotil akar. Bagian batang kecambah di

atas kotiledon disebut epikotil. Semasa pertumbuhan vegetatif, titik tumbuh dari

epikotil membentuk primordial daun dan kuncup ketiak, plumula muncul

kepermukaan tanah bersama dengan kotiledon, letaknya diantara kedua kotiledon,

jaringan batang dan daun terbentuk dari pertumbuhan dan perkembangan plumula

(Departemen Pertanian, 1990).

Daun kedelai terbagi menjadi empat tipe, yaitu: (1) kotiledon atau daun

biji, (2) dua helai daun primer sederhana, (3) daun bertiga, dan (4) profila. Daun

(2)

berseberangan pada buku pertama diatas kotiledon. Setiap daun memiliki

sepasang stipula yang terletak pada dasar daun yang menempel pada batang. Tipe

daun yang lain terbentuk pada batang utama, dan pada cabang lateral terdapat

daun trifoliat (bertiga) yang secara bergantian dalam susunan yang berbeda. Anak

daun bertiga mempunyai bentuk yang bermacam-macam, mulai bulat hingga

lancip (Adie dan Krisnawati, 2007). Sedangkan daun profila ialah daun yang

terletak pada pangkal tiap cabang.

Kedelai merupakan tanaman menyerbuk sendiri yang bersifat kleistogami.

Periode perkembangan vegetatif bervariasi tergantung pada varietas dan keadaan

lingkungan, termasuk panjang hari dan suhu. Tanaman memasuki fase reproduktif

saat tunas aksiler berkembang menjadi kelompok bunga dengan 2 hingga 35

kuntum bunga setiap kelompok. Ada dua tipe pertumbuhan batang dan permulaan

pembungaan pada kedelai. Tipe pertama adalah indeterminit, yaitu tunas terminal

melanjutkan fase vegetatif selama pertumbuhan. Tipe kedua adalah determinit

dimana pertumbuhan vegetatif tunas terminal terhenti ketika terjadi pembungaan.

Buku pada bunga pertama berhubungan dengan tahap perkembangan tanaman.

Ketika buku kotiledon, daun primer, dan daun bertiga dalam fase vegetatif, bunga

pertama muncul pada buku kelima atau keenam dan atau buku diatasnya. Bunga

muncul kearah ujung batang utama dan kearah ujung cabang. Periode berbunga

dipengaruhi oleh waktu tanam, berlangsung 3-5 minggu. Tidak semua bunga

kedelai berhasil membentuk polong, dengan tingkat keguguran 20-80 %.

Umumnya varietas dengan banyak bunga per buku memiliki presentase

keguguran bunga yang lebih tinggi dari pada yang berbunga sedikit (Adie dan

Krisnawati, 2007).

Jumlah polong bervariasi mulai 2-20 dalam satu pembungaan dan lebih

(3)

berisi 2-3 biji per polong. Polong berlekuk lurus atau ramping dengan panjang

kurang dari 2-7 cm. polong masak berwarna kuning muda sampai kuning kelabu,

coklat, atau hitam. Warna polong tergantung pada keberadaan pigmen karoten dan

xantofil, warna trikoma dan ada-tidaknya pigmen antosianin. Panjang polong

maksimum dicapai 20-25 hari setelah berbunga. Lebar dan tebal polong

maksimum dicapai sekitar 30 hari setelah berbunga. Hal ini berhubungan dengan

saat biji mencapai ukuran maksimum pada semua dimensi ukuran. Bobot segar

dan ukuran biji maksimum dapat dicapai 5-15 hari sesudahnya. Ketika biji mulai

kehilangan kelembaban, bentuknya berubah dari panjang menjadi lebih oval atau

berbentuk bola saat biji masak (Carlson, 1973).

Kulit biji kedelai terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, hipodermis dan

parenkim. Pada epidermis terdapat sel-sel palisade yang diselubungi oleh lapisan

kutikula. Lapisan hipodermis terdiri dari selapis sel yang berbentuk huruf I

(hourglass). Lapisan parenkim terdiri dari 6-8 lapisan tipis yang terdapat pada

keseluruh kulit biji kecuali pada hilum yang tersusun oleh tiga lapisan yang

berbeda. Hilum tersusun oleh tiga lapisan parenkim. Morfologi penting pada

bagian luar biji lainnya adalah hilum. Pada ujung bagian atas hilum terdapat

mikrofil dan hipokotil dan bagian ujung lainnya adalah kalaza (Adie dan

Krisnawati, 2007).

Salinitas Tanah

Salinitas tanah menunjukkan besar konsentrasi garam terlarut di dalam

tanah (Sembiring dan Gani, 2010). Lahan yang tanahnya memiliki salinitas tinggi

disebut lahan salin. Lahan salin merupakan lahan pasang surut yang mendapat

pengaruh atau intrusi air asin lebih dari 3 bulan dalam setahun dan kandungan Na

(4)

yang menimbulkan stres tanaman antara lain ialah NaCl, NaSO4, CaCl2, MgSO4,

MgCl2yang terlarut dalam air (Sipayung, 2003). Tanah salin memiliki pH kurang

dari 8,5 dengan daya hantar listrik lebih dari 4 mmhos/cm (Follet et al., 1981).

Menurut Munns (2002), jenis dan penyebab salinitas alam (salinitas

primer), merupakan hasil akumulasi garam secara alami terjadi dalam jangka

waktu yang lama terbagi dalam dua proses yaitu: proses pertama disebabkan oleh

karena terjadinya pelapukan bahan induk yang mengandung garam larut. Proses

pelapukan memecah batuan dan pelepasan garam larut dari berbagai jenis,

terutama Natrium klorida, kalsium dan magnesium, untuk tingkat yang lebih

rendah yaitu: sulfat dan karbonat. Sementara natrium klorida adalah garam yang

paling larut.

Proses terjadinya salinitas secara alami yang kedua disebabkan oleh

pengendapan garam laut yang terbawa oleh angin dan hujan. Garam siklik adalah

garam laut pedalaman yang terbawa oleh angin dan disimpan oleh curahan hujan

terutama dalam jenis NaCl. Air hujan mengandung 6-50 mg/kg NaCl, kosentrasi

NaCl semakin menurun bila jaraknya semakin jauh dari pantai. Jika kosentrasi

NaCl mencapai 10 mg/kg dalam air hujan tersebut maka, akan menambahkan 10

kg/ha NaCl untuk setiap 100 mm curah hujan per tahun. Jumlah natrium yang

disimpan dalam tanah bervariasi tergantung pada jenis tanah (Munns, 2002).

Kandungan NaCl yang tinggi pada tanah salin menyebabkan rusaknya

struktur tanah, sehingga aerasi dan permeabilitas tanah tersebut menjadi sangat

rendah (Hakim et al., 1986). Berdasarkan hasil penelitian FAO (2005), ciri-ciri

tanah yang terkena salinitas adalah munculnya endapan liat atau butiran-butiran

kristal garam yang terdapat di permukaan tanah. Keretakan adalah tanda yang

jelas adanya endapan liat atau debu. Selanjutnya Tan (2004), menyatakan bahwa

(5)

tanah tetap tersuspensi. Dengan pengeringan tanah membentuk lempeng-lempeng

keras dan terjadi pembentukan kerak di permukaan sehingga menyebabkan

menurunnya porositas tanah dan aerasi terhambat. Nilai pH yang tinggi juga

menurunkan ketersediaan sejumlah unsur mikro, jenis tanah ini sering kahat akan

unsur Fe, Cu, Zn dan Mn.

Pengaruh Cekaman Salinitas Terhadap Pertumbuhan Tanaman

Stres akibat garam menyebabkan kekeringan fisiologis pada tanaman,

ketidak seimbangan dalam komposisi nutrisi hara dan karena Na+ dan Cl

-berlebihan sehingga berakibat meracuni tanaman, menyebabkan penurunan

potensial osmotik tanaman, gangguan organel sel, metabolisme dan pada akhirnya

mempengaruhi pertumbuhan dan mengurangi hasil panen (Evelin et al., 2009).

Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan

respon dalam bentuk kerusakan langsung tapi pertumbuhan yang tertekan dan

perubahan secara perlahan. Gejala pertumbuhan tanaman pada tanah dengan

tingkat salinitas yang cukup tinggi adalah pertumbuhan yang tidak normal. seperti

daun mengering dibagian ujung dan gejala khlorosis. Gejala ini timbul karena

konsentrasi garam terlarut yang tinggi menyebabkan menurunnya potensial

larutan tanah sehingga tanaman kekurangan air (Sipayung, 2003). Selain itu

terjadi pula penurunan jumlah daun dan stomata per satuan luas daun,

meningkatnya daun sukulen serta terjadinya penebalan lapisan kutikula dan lilin

di permukaan daun (Bintoro, 1999).

Tingginya konsentrasi garam menyebabkan gangguan pada seluruh siklus

hidup kedelai. Kedelai memiliki spektrum toleransi garam dari tingkat yang tinggi

(6)

berbagai varietas kedelai dan tergantung pada tingkat pertumbuhan.

Perkecambahan biji kedelai akan terhambat pada konsentrasi garam rendah.

Konsentrasi garam yang lebih tinggi secara nyata akan menurunkan persentase

perkecambahan. Pengaruh garam pada tahap awal dan penurunan persentase

perkecambahan lebih menonjol pada varietas yang sensitif dibandingkan varietas

toleran (Phang et al., 2008).

Tanaman yang tumbuh di tanah bergaram akan mengalami dua tekanan

fisiologis yang berbeda. Pertama, pengaruh racun dari beberapa ion tertentu

seperti natrium dan klorida, yang lazim terdapat pada tanah bergaram, yang akan

menghancurkan struktur enzim dan makromolekul lainnya, merusak organel sel,

mengganggu fotosintesis dan respirasi, serta akan menghambat sintesis protein

dan mendorong kekurangan ion (Marschner, 2005). Kedua, tanaman yang

dihadapkan pada potensial osmotik yang rendah dari larutan tanah bergaram akan

terkena resiko “physiological drought” karena tanaman tersebut harus

mempertahankan potensial internal osmotik yang lebih rendah dalam rangka

untuk mencegah pergerakan air akibat osmosis dari akar ke tanah. Tanaman

mungkin akan menyerap ion untuk mempertahankan potensial osmotik internal

yang rendah, namun hal ini akan menyebabkan kelebihan ion yang pada akhirnya

mengakibatkan terjadinya penurunan pertumbuhan pada beberapa tanaman

(Greenway and Munns, 2001).

Pengaruh salinitas terhadap fotosintesis berbeda antar jenis tanaman dan

juga berbeda dalam satu tanaman pada tahap perkembangan yang berbeda. Pada

umumnya fotosintesis glikofit akan menurun dengan peningkatan salinitas,

(7)

dari cairan daun, potensial air dan pembukaan stomata (Gale et al., 1999).

Salinitas tanah dapat menekan laju fotosintesis per satuan luas daun pada

beberapa jenis tanaman. Secara umum fotosintesis berkurang sebanding dengan

peningkatan salinitas tanah. Mekanisme utama penekanan laju fotosintesis terjadi

karena menutupnya stomata sebagai akibat tidak seimbangnya air. Sebaliknya

peningkatan salinitas tanah akan meningkatkan laju respirasi akar

(Poljakoff-Mayber and Gale, 2002).

Kadar garam yang tinggi dalam larutan tanah di daerah perakaran

tanaman, menyebabkan tekanan osmotik yang tinggi dan berkurangnya

ketersediaan unsur kalium bagi tanaman (Berstein, 2003). Salinitas tanah akan

menghambat pembentukan akar-akar baru dan akar tanaman mengalami kesulitan

dalam menyerap air karena tingginya tekanan osmotik larutan tanah. Keadaan ini

selanjutnya akan menyebabkan terjadinya kekeringan pada tanaman (Sipayung,

2003).

Selain adanya masalah tekanan osmotik yang merugikan pertumbuhan

tanaman, pada tanah-tanah salin seringkali juga terjadi ketidak seimbangan

ketersediaan hara tanaman. Hal ini disebabkan karena kadar hara tertentu tersedia

dalam jumlah yang tinggi dan dapat menekan ketersediaan unsur hara lainnya. Di

samping itu adanya bahaya keracunan dari natrium (Na), klorida (Cl) dan ion-ion

lainnya (Bernstein, 2003).

Peningkatan konsentrasi natrium (Na) dalam jaringan tanaman dapat

meningkatkan stres oksidatif, yang menyebabkan kerusakan dalam struktur

kloroplas dan berkaitan terhadap kehilangan klorofil. Hal ini menyebabkan

(8)

dihasilkan reaktif oksigen spesies (ROS) seperti superoksida (O2-), hidrogen

peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil (OH) (Wahid et al., 2007).

Peningkatan Spesies Oxygen Reactive (ROS) dapat menimbulkan

kerusakan pada komponen membran sel. Komponen membran sel yang

mengalami kerusakan tersebut antara lain: lipid (peroksidasi dari asam lemak

tidak jenuh pada membran), protein (denaturasi), karbohidrat, dan asam nukleat.

Kerusakan membran ini dapat dilihat dari perubahan komposisi dan kandungan

lipid, pengaktifan lipid peroksidase dan meningkatnya kebocoran membran

(Blokhina et al., 2003). Spesies oksigen reakif (ROS) juga mempengaruhi

ekspresi sejumlah gen, oleh karena itu ROS mengontrol banyak proses seperti

pertumbuhan, siklus sel, penuaan sel, respon stress abiotik dan pertumbuhan (Gill

and Tuteja, 2010).

Stres oksidatif menginduksi konsentrasi ROS (Reactive Oxygen Spesies)

yang lebih tinggi/menengah seperti superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2)

dan radikal hidroksil (OH), karena proses transportasi electron terganggu di

kloroplas, mitokondria, dan jalur fotorespirasi. Keadaan ini mengakibatkan

terjadinya ketidak seimbangan antara Source dan Sink dalam metabolisme

tanaman (Bohnert et al., 1995).

Peranan Asam Askorbat dalam Meningkatkan Hasil Tanaman pada Lahan Salin

Asam askorbat memilki sifat antioksidan yang baik dalam mendeteksi

spesies oksigen reaktif (ROS) dan spesies nitrogen reaktif, serta mendaur ulang

α -tokoferol yang teroksidasi. Asam askorbat merupakan salah satu senyawa yang

(9)

dalam mengaktifkan aktivitas metabolisme ketika dimulai proses perkecambahan

(Arrigoni et al., 1992). Menetralisir racun, melindungi sel dari senyawa oksigen

reaktif dan radikal bebas serta mencegah kematian sel (Conklin dan Barth, 2004).

Menurut Arora et al., (2002) Mekanisme asam askorbat terhadap cekaman

berpengaruh pada metabolisme sel tanaman dengan melakukan perlindungan

terhadap oksigen reaktif dan radikal bebas yang diproduksi berlebih ketika terjadi

cekaman sehingga menghambat pertumbuhan dan pembelahan sel.

Peranan asam askorbat pada tanaman terutama diperlukan pada saat

tanaman mengalami cekaman oksidatif. Asam askorbat digunakan sebagai

senyawa antioksidan yang dapat membantu mengubah senyawa oksidatif menjadi

senyawa yang tidak berbahaya bagi tumbuhan. Asam askorbat berkaitan dengan

aktivitas enzim askorbat peroksidase (APX) pada siklus askorbat-glutation. Pada

siklus ini asam askorbat berperan sebagai senyawa yang ikut mengubah hidrogen

peroksida (H2O2) menjadi H2O. Pada reaksi ini asam askorbat akan dirubah ke

dalam bentuk radikal bebas, pada proses selanjutnya enzim glutation reduktase

(GR) berperan merubah kembali asam askorbat yang dalam bentuk radikal bebas

tersebut menjadi bentuk semula. (Noctor and Foyer, 1998; Apel and Hirt, 2004).

Selanjunta Blokhina et al., (2003) juga menyatakan, Asam askorbat berperan

sebagai agen reduksi yang dapat menetralisir spesies oksigen reaktif (ROS) seperti

hidrogen peroksida (H2O2) pada tumbuhan. Pembentukan senyawa oksidatif pada

tumbuhan diawali dengan reduksi oksigen pada membran sel kloroplas

membentuk ROS seperti; (O2-), H2O2.

Secara umum, efek asam askorbat dalam mengurangi dampak buruk dari

(10)

1981). Selain itu, efek positif seperti asam askorbat dalam mengatasi

efek samping dari stres garam dikaitkan dengan kestabilan dan perlindungan

pigmen fotosintesis dari kerusakan oksidatif (Choudhury et al., 1993; Hamada,

1998). Selanjutnya menurut Arora et al., (2002) Asam askorbat juga memiliki

peranan dalam menginduksi penutupan stomata seperti halnya ABA. Namun

peranan asam askorbat ini terjadi terutama ketika tanaman mengalami stres

kekeringan berat, yaitu untuk mengurangi kehilangan air yang berlebihan akibat

transpirasi.

Asam askorbat dianggap sebagai salah satu pengatur tumbuh yang paling

efektif melawan cekaman abiotik (Conklin, 2001). Asam askorbat tidak hanya

bertindak sebagai antioksidan namun pada tingkat seluler karena asam askorbat

berhubungan dengan pengaktifan mekanisme pertahanan biologis yang kompleks

(Conklin and Barth, 2004). Serta fungsi dalam metabolisme seluruh tanaman

(Debolt et al., 2007). Selanjutnya, penelitian pada tanaman yang berbeda telah

menunjukkan bahwa pemberian asam askorbat secara eksogen dapat mengurangi

efek merugikan yang disebabkan oleh garam dan menghasilkan peningkatan

pertumbuhan dan hasil yang signifikan (Salama, 2009. Khan et al., 2010).

Hasil penelitian Basra et al., (2006), menunjukkan bahwa priming benih

padi kultivar KS-282 dan Super Basmati dengan asam askorbat dan asam salisilat

10 dan 20 ppm selama 48 jam mampu meningkatkan vigor bibit, keseragaman dan

keserempakan tumbuh, menurunkan waktu untuk memulai perkecambahan,

meningkatkan panjang plumula dan radikula serta meningkatkan bobot segar dan

bobot kering bibit. Priming dengan asam askorbat 10 ppm selama 24 jam juga

mampu meningkatkan kinerja, pertumbuhan dan produksi benih padi Super

Basmati yang ditanam dengan system tebar langsung (Farooq et al., 2006) dan

(11)

Perendaman benih Lupinus termis dan Vicia faba dalam larutan asam

askorbat 50 ppm selama 4 jam sebelum tanam mampu meningkatkan persentase

perkecambahan, panjang kecambah, bobot kering kecambah, kandungan

karbohidrat, protein, dan asam amino serta mengurangi efek merugikan yang

ditimbulkan oleh kondisi cekaman garam (Shaddad et al., 1989).

Selanjutnya hasil penelitian Dolatabadian dan Modarressanavy (2008),

menunjukkan bahwa perlakuan pra tanam dengan asam askorbat dan pyridoxine

terhadap benih Helianthus annus L., dan Brassica napus L., mampu

meningkatkan daya berkecambah, mencegah kerusakan protein dan peroksidasi

lemak. Perlakuan asam salisilat 50 ppm dan asam askorbat 50 ppm sebagai

perlakuan pra tanam pada benih gandum (Triticum aestivum L.) mampu

meningkatkan vigor kecambah, bobot segar dan bobot kering kecambah normal

pada kondisi optimum ataupun kondisi cekaman garam. Perlakuan ini juga

mengurangi dampak negatif dari konsentrasi garam yang tinggi (Afzal et al.,

2005).

Peranan Giberelin dalam Meningkatkan Hasil Tanaman pada Lahan Salin

Dalam mengurangi pengaruh merugikan dari salinitas, berbagai jenis

fitohormon telah digunakan. Diantaranya, giberelin telah menjadi fokus utama

beberapa ilmuwan tanaman (Hisamatsu et al., 2000). Asam giberelin (GA3)

terakumulasi dengan cepat ketika tanaman terkena cekaman biotik (McConn

et al., 1997) dan abiotik (Lehmann et al., 1995).

Giberelin (GA3) dapat menghambat terjadinya peroksidasi lipid akibat

radikal bebas (Choudhuri, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan GA3

(12)

kondisi garam. Selain itu, GA3 berinteraksi dengan hormon lain untuk mengatur

berbagai proses metabolisme dalam tanaman (Yang et al., 1996; Van Huizen

et al., 1997). Asam giberelin (GA3) penting terkait dalam pengaturan respon

tanaman terhadap lingkungan luar dan mengendalikan sejumlah gen akibat dari

pengaruh stres (Naqvi, 1999).

Stres garam dapat meningkatkan aktivitas oxygenase dari Rubisco dan

mengurangi aktivitas karboksilase (Sivakumar et al., 2000) yang dapat

menyebabkan penurunan dalam tingkat penyerapan CO2. Sebaliknya, pemberian

GA3 dapat meningkatkan laju fotosintesis bersih melalui peningkatan aktivitas

karboksilase dari Rubisco (Yuan dan Xu, 2001).

GA3 dapat mengurangi pengaruh stres garam terhadap kandungan pigmen

(Aldesuquy dan Gaber, 1993), efisiensi penggunaan air (Aldesuquy dan Ibrahim,

2001) dan peningkatan kapasitas fotosintesis (Khan, 1996). Selanjutnya Bejaoui,

(1985) menyimpulkan bahwa pengaruh dari penggunaan GA3 eksogen dalam

mengurangi dampak buruk dari stres garam kemungkinan disebabkan oleh

pengaktifan enzim khusus yang berpartisipasi dalam RNA dan sintesis protein.

Asam giberelat dapat mendukung pembentukan RNA baru serta sintesis

protein (Abidin, 1994). Adanya peningkatan sintesis protein akan memicu kerja

enzim dalam proses metabolisme tanaman yang selanjutnya akan meningkatkan

laju fotosintesis.

Pemberian hormon giberelin secara eksogen dapat meningkatan aktivitas

enzim nitrat reduktase. Nitrat reduktase berfungsi mengubah nitrat menjadi

amoniak yang selanjutnya dapat berubah menjadi amonium (Bidwell, 1979).

(13)

pertumbuhan tanaman dengan mempengaruhi metabolisme yang berhubungan

dengan proses resprasi dan juga mengatur keseimbangan hormon endogen antara

perangsang dan penghambat.

Pada kondisi garam, perkecambahan biji meningkat dengan pemberian

GA3 dan pada penelitian pertumbuhan dan hasil biji gandum yang menurun

dengan meningkatnya salinitas, meningkat secara keseluruhan oleh perlakuan

benih dengan GA3(Kumar dan Singh, 1996). Dalam studi lain, pemberian GA3

dapat meningkatkan serapan hara, berat kering, tinggi tanaman, luas daun dan

hasil gandum pada kondisi salin (Ashraf et al., 2002). Penambahan asam giberelin

secara eksogen menyebabkan peningkatan perkecambahan dan pertumbuhan bibit

dengan meningkatnya kandungan asam giberelin endogen (Kaur et al., 1998).

Asam giberelin (GA3) telah dilaporkan dapat membantu dalam

meningkatkan pertumbuhan gandum dan padi pada kondisi salin (Prakash dan

Prathapasenan, 1990). Perlakuan GA3 pada tomat dapat mengurangi resistensi

stomata dan meningkatkan penggunaan air tanaman pada salinitas rendah

(Maggio et al., 2010), dapat menetralkan pengaruh NaCl pada metabolisme

karbohidrat dalam daun Pennisetum typhoides (Huber et al., 1974) dan

menurunkan kandungan prolin pada Vigna radiata di bawah kondisi garam

(14)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Seuriget, Kecamatan Langsa Barat,

Kota Langsa, Provinsi Aceh, dengan ketinggian tempat ± 1,5 m dpl, yang

dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2014. Analisis tanah dan

jaringan tanaman dilakukan di Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua genotipa kedelai

Grobogan yaitu genotipa Non Seleksi dan genotipa Seleksi generasi F5 pada tanah

salin (Deskripsi disajikan pada Lampiran 1), Asam Askorbat, Giberelin (Auxillin :

giberelin dengan 90% biologis aktif A3) (Keterangan produk asam askorbat dan

giberelin disajikan pada Lampiran 2), NaOH, Urea, SP-36, KCl, fungisida

Dithane M-45 untuk mengendalikan penyakit, insektisida Decis 25 EC untuk

mengendalikan hama, Polybag serta bahan-bahan lain yang mendukung

pelaksanaan penelitian.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi leaf area meter, kamera

digital, timbangan analitik (Acis, Capacity 500 g x 0,1 g), handspryer, pacak plot,

pacak sampel, cangkul, parang, meteran, gembor, pulpen, penggaris serta alat-alat

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu lembaga kursus yang sangat banyak adalah kursus bahasa inggris, namun tidak semua menggunakan komputer dalam pendataan. Tentu hal ini

Mempertimbangkan pentingnya Kurikulum 2013 dan masih ditemukannya beberapa kendala teknis, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan kebijakan penataan

Sijunjung UPTD

peserta didik oleh masing-masing guru mata pelajaran dengan berpedoman pada Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 Tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan.. Pendidikan

Pembuatan aplikasi Penataan Rumah ini bertujuan untuk memperkenalkan berbagai tipe rumah yang disertai dengan denah rumah dan gambar ruangan dengan tampilan efek suara maupun

Dalam Penulisan ini penulis akan menjelaskan bagaimana cara memesan tiket kereta api yang mengakses ke database dengan menggunakan pemograman WML, PHP

Catatan : Form Ini Digunakan Pada Setiap Penyerahan Jilid Proposal Dan Jilid Laporan Kerja Praktik Dan Tugas Akhir Dan Segera Dikembalikan Ke Bapendik Sebagai Syarat

pemrogram  12 TIK.PR02.00 5.01 Menulis program  dasar.      Skema  Klaster  Perekaya saan  Perangka t Lunak I 3.4 Menerapkan  penggunaan tipe data, variabel,