• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kementerian PPN Bappenas :: Ekonomi 2006 RAPBN-P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kementerian PPN Bappenas :: Ekonomi 2006 RAPBN-P"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

TENTANG

PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2005

TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2006

(2)

DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GRAFIK ...

BAB I PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR APBN TAHUN

ANGGARAN 2006 ...

Pendahuluan ...

Gambaran Umum Ekonomi Indonesia Tahun 2005...

Perkembangan Indikator Ekonomi Makro 2004-2005...

Pertumbuhan Ekonomi ...

Inflasi ...

Nilai Tukar Rupiah ...

Suku Bunga SBI 3 Bulan ...

Harga Minyak Internasional ...

Neraca Pembayaran ...

BAB II ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ...

Pendahuluan ...

Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah ...

Penerimaan Dalam Negeri ...

Penerimaan Perpajakan ...

Penerimaan PPh ...

Penerimaan PPN dan PPnBM ...

Penerimaan PBB dan BPHTB ...

Penerimaan Cukai dan Pajak Lainnya ...

Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional ...

Penerimaan Negara Bukan Pajak ...

Hibah ......

Perkiraan Belanja Negara ...

Anggaran Belanja Pemerintah Pusat ...

(3)

Halaman

Belanja Pemerintah Pusat menurut Jenis ...

Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi ...

Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi ...

Anggaran Belanja Untuk Daerah .....

Dana Perimbangan ...

Dana Bagi Hasil ...

Dana Alokasi Umum ...

Dana Alokasi Khusus ...

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian ...

Dana Otonomi Khusus ...

Dana Penyesuaian ...

Defisit Anggaran ...

Pembiayaan Anggaran ...

LAMPIRAN :

Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006 ...

40

46

51

52

53

53

55

56

56

57

57

58

59

(4)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I.1 Perkembangan Asumsi Ekonomi Makro, 2005 – 2006 ...

Tabel I.2 Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (y-0-y),

2004-2006 ...

Tabel I.3 Perkembangan Suku Bunga SBI dan Perbankan, 2001-2006 ...

Tabel I.4 Ringkasan Neraca Pembayaran Indonesia, 2005 – 2006 ...

Tabel II.1 Perkiraan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun

2006...

Tabel II.2 Perkiraan Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah, Tahun 2006...

Tabel II.3 Perkiraan Realisasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut

Jenis, Tahun 2006...

Tabel II.4 Perkiraan Realisasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut

Organisasi, Tahun 2006 ...

Tabel II.5 Perkiraan Realisasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut

Fungsi, Tahun 2006...

Tabel II.6 Perkiraan Realisasi Anggaran Belanja Untuk Daerah, Tahun 2006...

Tabel II.7 Perkiraan Realisasi Pembiayaan Anggaran, Tahun 2006 ...

5

9

16

20

25

37

47

50

52

58

(5)

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik I.1 Perkembangan Inflasi, 2005 - 2006 ...

Grafik I.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS dan REER,

2004 - 2006 ...

Grafik I.3 Perkembangan Harga Rata-rata Minyak Mentah di Pasar

Internasional, Desember 2004 - Mei 2006...

11

14

(6)

BAB I

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR

APBN TAHUN ANGGARAN 2006

PENDAHULUAN

Kebijakan ekonomi makro 2006 merupakan satu bagian integral dari kebijakan ekonomi jangka menengah tahun 2004 - 2009 yang mengarah kepada tiga strategi dasar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

Indonesia, yaitu pro-growth, pro-employment, dan pro-poor. Kinerja

ekonomi Indonesia tahun 2006 sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal, yang meliputi kinerja perekonomian dan kebijakan-kebijakan yang diambil dalam tahun-tahun sebelumnya. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, kinerja ekonomi Indonesia tahun 2006 ini juga tidak akan terlepas dari pengaruh-pengaruh eksternal, antara lain terjadinya

global imbalances seperti kenaikan harga minyak mentah dunia dan kinerja ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia.

Kebijakan fiskal memiliki peran penting dalam mengelola perekonomian yang dapat dilihat dari kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menjalankan fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dan stimulasi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun peran kebijakan fiskal sendiri tidak akan mencukupi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Peran yang lebih besar dari sektor swasta sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan menjadi suatu keharusan. Ada dua pra-kondisi yang diperlukan untuk menggerakkan sektor swasta yaitu stabilitas ekonomi yang terjaga dan iklim investasi yang kondusif, yang antara lain telah diupayakan oleh Pemerintah dengan regulasi kebijakan sektor riil melalui Inpres No. 3 Tahun 2006. Iklim investasi yang kondusif dapat diciptakan melalui koordinasi yang baik dan harmonis dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan perbankan, serta kebijakan di sektor riil. Pemerintah terus berusaha melakukan perbaikan dalam rancangan, pelaksanaan, dan koordinasi kebijakan-kebijakan di berbagai bidang tersebut agar momentum pertumbuhan ekonomi dapat terjaga dan terus terbangun.

Undang-undang Nomor 13 tahun 2005 tentang APBN Tahun 2006 didasarkan pada asumsi-asumsi pertumbuhan ekonomi 6,2 persen, tingkat

inflasi 8,0 persen (y-o-y), rata-rata nilai tukar rupiah Rp9.900 per dolar

Kebijakan ekonomi makro 2006 merupakan bagian integral dari kebijakan ekonomi jangka menengah tahun 2004 – 2009.

Kebijakan fiskal memiliki peran untuk m e n d o r o n g pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

(7)

Amerika Serikat, rata-rata suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan 9,5 persen, rata-rata harga minyak mentah US$57 per barel, dan

rata-rata volume lifting 1,05 juta barel per hari. Sejak ditetapkannya

undang-undang tersebut telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang cukup berarti, baik yang bersumber dari perubahan faktor-faktor eksternal maupun internal yang mempengaruhi pokok-pokok kebijakan fiskal dan pelaksanaan APBN 2006. Berdasarkan perubahan dan perkembangan yang terjadi tersebut, Pemerintah mengajukan perubahan atas Undang-undang APBN 2006 dengan tujuan agar keberlangsungan kebijakan fiskal dapat terjaga dan sasaran pembangunan ekonomi 2006 dapat tercapai.

Dengan memperhatikan kondisi terkini, asumsi dasar ekonomi makro yang terdapat dalam APBN 2006 perlu disesuaikan dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2006 sehingga untuk tahun 2006 menjadi sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi 5,9 persen, inflasi 8,0 persen, rata-rata nilai tukar rupiah Rp9.300 per dolar Amerika Serikat, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan 12,0 persen, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$62

per barel, dan rata-rata lifting minyak 1,0 juta barel per hari. Perubahan

asumsi dasar ekonomi makro, khususnya asumsi harga minyak mentah akan membawa perubahan APBN secara signifikan, terutama terhadap besaran penerimaan minyak dan gas (migas), dana bagi hasil untuk daerah, dan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Demikian pula dengan perubahan asumsi nilai tukar rupiah dan suku bunga yang akan berpengaruh terhadap besaran pengeluaran negara terutama pembayaran bunga surat utang negara.

Perubahan atas APBN 2006 juga dimaksudkan untuk mengakomodasikan pertambahan kebutuhan dana yang diperlukan untuk anggaran pendidikan, subsidi terhadap PT Perusahaan Listrik Negara akibat tidak dinaikkannya tarif dasar listrik (TDL), rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, serta penanganan bencana alam Yogyakarta dan Jawa Tengah serta beberapa daerah lainnya.

GAMBARAN UMUM EKONOMI

INDONESIA TAHUN 2006

Memasuki tahun 2006, kinerja perekonomian Indonesia diwarnai oleh dinamika berbagai perubahan baik yang menggembirakan maupun yang kurang menggembirakan. Salah satu aspek kinerja ekonomi yang cukup menggembirakan adalah cukup terkendalinya stabilitas ekonomi yang merupakan salah satu kondisi penting dalam upaya pemulihan kepercayaan

perubahan dan per-kembangan.

Perubahan atas APBN 2006 juga dimaksud untuk mengakomodasi-kan tambahan kebu-tuhan dana.

(8)

para pelaku pasar dan investor di Indonesia. Secara kumulatif, dalam periode Januari - Juni 2006, inflasi terkendali di tingkat 2,87 persen, lebih rendah dibandingkan inflasi kumulatif pada periode yang sama tahun 2005 (4,28 persen), dan tahun 2004 (3,29 persen). Selain itu, pada periode Januari - Juni 2006 rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika cukup terkendali disekitar Rp9.205/US$, relatif lebih kuat dibandingkan dengan nilai tukar rupiah periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp9.412/US$. Dalam kurun waktu tersebut, nilai tukar rupiah bahkan pernah mencapai level terkuat sebesar Rp8.775/US$ pada akhir April 2006. Demikian pula dengan suku bunga SBI 3 bulan yang menunjukkan kecenderungan menurun sejak awal tahun 2006.

Sementara itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta juga menunjukkan kenaikan yang cukup menggembirakan, dimana pada penutupan perdagangan tanggal 30 Juni 2006 mencapai 1.310,26, lebih baik dibandingkan akhir tahun 2005 yang mencapai 1.162,63. Di pihak lain, data dari sisi penanaman modal riil, memperlihatkan bahwa persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dalam periode Januari – Mei 2006 mencapai nilai investasi sekitar Rp56,8 triliun, lebih besar dari persetujuan PMDN dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang besarnya sekitar Rp20,9 triliun, atau meningkat sebesar 171,8 persen.

Terkendalinya stabilitas ekonomi makro ini diiringi pula dengan meningkatnya posisi cadangan devisa dibandingkan dengan posisi tahun sebelumnya. Bila dalam tahun 2005 cadangan devisa mencapai US$34,72 miliar, maka pada tahun 2006 cadangan devisa diperkirakan naik sebesar US$6,82 miliar menjadi US$41,54 miliar, yang antara lain disebabkan

oleh meningkatnya surplus neraca transaksi berjalan (current accounts)

dalam tahun 2006 yang diperkirakan sebesar US$1,92 miliar, lebih tinggi dibanding perkiraan neraca transaksi berjalan di dalam APBN 2006 yang mengalami defisit sebesar US$1,66 miliar.

Walaupun dari aspek stabilitas perekonomian Indonesia tahun 2006 memperlihatkan kinerja yang cukup menggembirakan, namun dari sisi pertumbuhan ekonomi dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, kinerja perekonomian Indonesia dihadapkan pada kendala dan tantangan yang cukup berat. Pertumbuhan ekonomi dalam triwulan I tahun 2006 tercatat hanya mencapai 4,6 persen, lebih rendah dari angka pertumbuhan triwulan I tahun 2005 sebesar 6,3 persen. Angka pertumbuhan yang relatif rendah ini diiringi dengan jumlah pengangguran dan jumlah penduduk miskin yang relatif masih cukup tinggi. Sampai akhir tahun 2006, jumlah pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,4 juta orang (10,6 persen dari total angkatan kerja) lebih tinggi dari jumlah pengangguran tahun 2005

IHSG dan persetujuan PMDN meningkat.

(9)

yang sebesar 10,9 juta (10,3 persen dari total angkatan kerja). Peningkatan jumlah penganguran ini diperkirakan akan menambah jumlah penduduk miskin yang tercatat sebesar 35,1 juta jiwa pada akhir tahun 2005.

Relatif rendahnya angka pertumbuhan ini tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor internal maupun eksternal yang berkembang dalam tahun ini maupun dalam tahun-tahun sebelumnya. Dari sisi internal, hal tersebut terutama disebabkan oleh terbatasnya Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) akibat belum terciptanya iklim investasi dan usaha yang kondusif, menurunnya aktifitas konsumsi masyarakat, serta terbatasnya ketersediaan infrastruktur yang memadai. Rendahnya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat ini juga disebabkan oleh terjadinya berbagai musibah dan bencana alam, seperti merebaknya penyakit flu burung, gempa bumi dan banjir yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Di lain pihak, faktor-faktor eksternal, seperti naiknya harga

minyak mentah dunia dan kenaikan Fed Rate telah memberikan tambahan

pengaruh yang kurang menguntungkan bagi perekonomian domestik, antara lain meningkatkan tekanan inflasi sehingga mengurangi daya beli dan konsumsi rumah tangga, dan sekaligus meningkatkan ongkos produksi sektor usaha di dalam negeri,

Di tengah beratnya kendala dan tantangan yang dihadapi perekonomian Indonesia saat ini, masih ada peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari sisi eksternal, pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia yang diperkirakan masih cukup kuat di tahun 2006, khususnya di negara-negara mitra dagang utama Indonesia, diharapkan mampu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi ekspor. Dari sisi internal, kebijakan pengendalian inflasi yang cukup efektif dalam enam bulan pertama tahun 2006 dapat diharapkan memberikan sedikit ruang kepada otoritas moneter untuk menurunkan suku bunga

secara bertahap, di tengah tekanan meningkatnya Fed Rate. Hal ini

sekaligus diharapkan dapat menjadi langkah awal pemulihan kepercayaan pasar bagi dunia usaha dan mendorong kembali daya beli masyarakat untuk meningkatkan konsumsi.

Dalam kondisi dan situasi seperti yang digambarkan di atas, pemulihan kepercayaan pelaku dunia usaha untuk kembali melakukan dan mengembangkan investasi di dalam negeri merupakan suatu keharusan yang perlu diwujudkan. Salah satu langkah penting dalam upaya tersebut adalah mempercepat penyelesaian, penyempurnaan dan pelaksanaan paket-paket kebijakan reformasi sektor riil seperti di bidang investasi, perpajakan, bea cukai, perburuhan, dan perbaikan kinerja birokrasi,

Rendahnya angka per-tumbuhan dipengaruhi faktor internal dan eksternal.

Masih ada peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi baik dari sisi eksternal maupun internal.

(10)

disamping pembangunan infrastruktur yang perlu segera direalisasikan. Untuk itu diperlukan suatu langkah kebersamaan dan koordinasi yang erat dan konsisten di kalangan otoritas fiskal dan moneter, pemerintah daerah, kalangan dunia usaha, politisi, dan masyarakat pada umumnya.

PERKEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI

MAKRO 2005-2006

Beberapa variabel ekonomi makro tahun 2006 yang digunakan sebagai asumsi dasar penyusunan APBN 2006 adalah tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, rata-rata nilai tukar rupiah, rata-rata suku bunga SBI 3

bulan, rata-rata harga dan volume lifting minyak mentah. Perkembangan

indikator-indikator ekonomi makro tersebut dapat dilihat dalam Tabel

I.1.

Pertumbuhan Ekonomi

Dalam tahun 2005, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai sebesar 5,6 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan banyak kalangan dan lembaga-lembaga internasional sebelumnya. Meskipun demikian, angka pertumbuhan tersebut masih berada di bawah sasaran asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2005 sebesar 6,0 persen. Lebih rendahnya angka realisasi laju pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2005 tersebut, terutama disebabkan oleh tekanan tingginya biaya produksi terkait dengan tingginya harga minyak dunia, naiknya ongkos angkut (freight), naiknya harga barang modal, serta bahan baku dan penolong yang sebagian harus diimpor. Selain itu, tingginya harga minyak dunia juga menyebabkan Pemerintah memandang perlu untuk menaikkan harga BBM domestik guna mengurangi beban pengeluaran APBN 2005 pada bulan Maret dan Oktober 2005. Hal ini, telah menyebabkan meningkatnya tekanan inflasi secara keseluruhan.

2005

Realisasi APBN Perkiraan

realisasi

1. Pertumbuhan Ekonomi (persen) 5,6 6,2 5,9 2. Tingkat Inflasi (persen, y-o-y) 17,11 8,0 8,0 3. Rata-rata Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$) 9.705 9.900 9.300 4. Rata-rata Suku Bunga SBI-3 bulan (persen) 9,09 9,5 12,0 5. Rata-rata Harga Minyak Mentah Indonesia (US$/barel) 51,81 57 62 6. Rata-rata Lifting Minyak (juta barel/hari) 0,999 1,050 1,000

2006 Tabel I.1

Perkembangan Asumsi Ekonomi Makro, 2005 – 2006

(11)

Meningkatnya inflasi tersebut selain telah menyebabkan penurunan daya beli masyarakat juga mendorong kenaikan upah buruh yang harus ditanggung sektor produksi. Pada sisi lain, depresiasi rupiah yang mulai terjadi sejak akhir triwulan III hingga akhir tahun 2005 menjadi faktor lain terhadap meningkatnya inflasi. Sebagai reaksi naiknya tekanan inflasi dan depresiasi rupiah tersebut, Bank Indonesia telah melakukan kebijakan

menaikkan suku bunga (BI Rate).

Dari sisi penggunaan, tekanan pada stabilitas ekonomi makro di penghujung tahun 2005 tercermin pada terjadinya perlambatan di hampir semua komponen permintaan agregat. Konsumsi rumah tangga melambat dari 5 persen pada tahun 2004 menjadi 4 persen dalam tahun 2005 terkait dengan melemahnya daya beli masyarakat. Sementara itu, investasi yang telah menunjukkan pemulihan yang cukup berarti dalam tahun 2004 yang tumbuh sebesar 14,1 persen, mengalami perlambatan menjadi 9,9 persen dalam tahun 2005.

Dari sisi sektoral, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tahun 2005 ditandai dengan pertumbuhan positif pada hampir semua lapangan

usaha. Pertumbuhan tinggi masih ditunjukkan oleh sektor-sektor

non-tradable seperti pengangkutan dan komunikasi (13 persen), bangunan (7,3 persen), serta listrik, gas, dan air bersih (6,5 persen). Sementara itu, kinerja sektor industri manufaktur mengalami perlambatan dari 6,4 persen menjadi 4,6 persen disebabkan oleh menurunnya kegiatan subsektor industri migas yang tumbuh negatif sebesar 5,3 persen. Pada saat yang sama juga terjadi perlambatan pada subsektor industri non-migas dari semula 7,5 persen pada tahun 2004 menjadi 5,9 persen disebabkan oleh meningkatnya ongkos produksi akibat penyesuaian harga BBM domestik serta tekanan stabilitas ekonomi makro pada paroh kedua tahun 2005.

Memasuki paroh pertama tahun 2006, laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan I hanya mencapai 4,6 persen, lebih rendah dibanding laju pertumbuhan ekonomi periode yang sama tahun 2005. Dari sisi permintaan agregat, pengeluaran konsumsi yang masih memberikan kontribusi tertinggi dalam pembentukan PDB menunjukkan kecenderungan menurun khususnya dalam tiga triwulan terakhir. Penurunan ini disebabkan oleh besarnya tekanan inflasi yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat sebagai dampak dari penyesuaian harga BBM dalam negeri pada bulan Oktober 2005 serta tingginya tingkat suku bunga domestik. Terkait dengan tingginya suku bunga domestik, laju pertumbuhan kredit konsumsi dalam bulan Maret 2006 hanya mencapai sebesar 26,6 persen, lebih rendah dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 37,2 persen. Menurunnya tingkat konsumsi masyarakat tercermin pada menurunnya

(12)

penjualan mobil dan motor dalam empat bulan pertama tahun 2006. Di lain pihak, konsumsi pemerintah meningkat yang disebabkan karena pembenahan pada sistem penganggaran baru yang mulai berlaku sejak tahun 2005 yang berdampak positif pada kelancaran proses pencairan anggaran pemerintah. Dalam triwulan I tahun 2006, konsumsi pemerintah tumbuh sebesar 14,2 persen, lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya yakni tumbuh negatif sebesar 9,5 persen. Namun, tingginya konsumsi Pemerintah ini belum dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan.

Sementara itu, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami penurunan yang cukup berarti dari semula 14,1 persen dalam triwulan I tahun 2005 menjadi 2,9 persen dalam triwulan I tahun 2006 ini. Perlambatan kinerja investasi riil (PMTB) tersebut juga tercermin pada perlambatan yang terjadi pada pertumbuhan kredit investasi. Kredit investasi dalam bulan Maret 2006 hanya tumbuh sebesar 9,9 persen, jauh lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2005 sebesar 20,6 persen. Menurunnya tingkat PMTB disebabkan oleh belum terealisasinya program percepatan pembangunan infrastruktur, meningkatnya suku bunga, dan sulitnya menciptakan perbaikan dalam iklim investasi, meskipun kemajuan telah dicapai dalam peluncuran paket kebijakan reformasi di bidang investasi dan pembangunan infrastruktur. Pembenahan di sektor riil terutama yang berkaitan dengan perubahan kebijakan, regulasi seperti di bidang investasi, pajak, bea cukai, perburuhan, dan perbaikan kinerja birokrasi membutuhkan waktu cukup lama untuk menghasilkan dampak

langsung dan segera. Upaya perbaikan tata pengelolaan publik (good

public governance) serta pemberantasan korupsi telah menyebabkan beberapa ekses perlambatan pelaksanaan kebijakan di sektor publik. Dengan meningkatnya prinsip kehati-hatian dan munculnya kekhawatiran

yang tinggi terhadap tindakan law enforcement, telah menyebabkan

berbagai kelambatan dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaan. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab menurunnya kegiatan investasi swasta baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Kinerja ekspor barang dan jasa dalam triwulan I tahun 2006 masih cukup menjanjikan di tengah gejolak eksternal terkait dengan tingginya harga minyak dunia. Laju pertumbuhan ekspor barang dan jasa dalam triwulan I tahun 2006 mencapai sebesar 10,8 persen. Meskipun mengalami perlambatan bila dibandingkan laju pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya, ekspor barang dan jasa mencatat angka tertinggi dalam tiga triwulan terakhir. Pada sisi lain, seiring dengan perlambatan pada konsumsi dan investasi riil, kinerja impor barang dan jasa juga mengalami

PMTB pada triwulan I tahun 2006 mengalami penurunan yang cukup berarti.

(13)

perlambatan. Laju pertumbuhan impor barang dan jasa dalam triwulan I tahun 2006 hanya sebesar 5,0 persen, lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan impor barang dan jasa periode yang sama tahun 2005 sebesar 18,8 persen.

Pada sisi lain, kecenderungan penguatan kinerja ekspor barang dan jasa dalam triwulan I tahun 2006 diperkirakan terus berlanjut dalam tiga triwulan berikutnya guna menopang kinerja pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dalam tahun 2006. Laju pertumbuhan ekspor barang dan jasa dalam tahun 2006 diperkirakan mencapai sebesar 10,2 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 8,6 persen. Dalam pada itu, seiring dengan menguatnya pengeluaran konsumsi, ekspor barang dan jasa, serta investasi, impor barang dan jasa diperkirakan akan meningkat dari sekitar 12,3 persen dalam tahun 2005 menjadi 13,1 persen dalam tahun 2006.

Dari sisi penawaran, dalam tahun 2006, seluruh sektor usaha diperkirakan mengalami pertumbuhan positif, terkecuali subsektor industri pengolahan minyak dan gas yang dalam dua tahun terakhir mengalami pertumbuhan negatif terkait dengan menurunnya investasi untuk kegiatan eksplorasi migas. Walaupun hampir semua sektor mengalami pertumbuhan, namun hanya beberapa sektor yang diperkirakan akan mengalami peningkatan pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan yang melambat ini terkait dengan kecenderungan menurunnya kinerja subsektor pengangkutan akibat kebijakan penyesuaian harga BBM pada bulan Maret dan Oktober tahun 2005 yang lalu terutama pengangkutan laut dan udara serta jenis-jenis usaha terkait lainnya. Pada sisi lain, subsektor komunikasi masih mencatat laju pertumbuhan yang cukup tinggi dalam beberapa triwulan terakhir dengan rata-rata sekitar 24 persen, dan sektor bangunan diperkirakan akan tumbuh sebesar 7,4 persen.

Laju pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan mencapai sekitar 2,6 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 2,5 persen. Kondisi iklim yang relatif kondusif serta harga produk pertanian yang cukup fleksibel diharapkan dapat mendorong kinerja sektor pertanian dalam tahun 2006. Sampai dengan triwulan I tahun 2006, laju pertumbuhan sektor pertanian mencapai sebesar 3,9 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya, sebesar 1,1 persen.

Sementara itu, dalam tahun 2006, laju pertumbuhan sektor industri pengolahan khususnya non migas diperkirakan dapat tumbuh sebesar 6,2 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan tahun

(14)

sebelumnya. Faktor pendorong meningkatnya sektor manufaktur ini diperkirakan bersumber dari meningkatnya pasar domestik bagi produk lokal yang disebabkan oleh mulai meningkatnya daya beli masyarakat akibat menurunnya tekanan inflasi dan tingkat suku bunga pada paroh kedua tahun 2006. Di sisi lain, meningkatnya permintaan untuk ekspor pada triwulan I tahun 2006 diharapkan dapat berlanjut dalam periode-periode berikutnya sehingga dapat memacu kinerja sektor industri pengolahan. Realisasi dan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2004

-2006 dapat dilihat dalam Tabel I.2.

PRODUK DOMESTIK BRUTO 4,9 5,6 5,9

Menurut Penggunaan

Konsumsi 4,9 4,4 5,0

Konsumsi Masyarakat 5,0 4,0 4,1

Konsumsi Pemerintah 4,0 8,1 12,3

PMTB 14,1 9,9 11,8

Ekspor Barang dan Jasa 11,1 8,6 10,2

Impor Barang dan Jasa 25,6 12,3 13,1

Menurut Lapangan Usaha

Pertanian 2,1 2,5 2,6

Pertambangan dan Penggalian -4,9 1,6 1,1

Industri Pengolahan 6,4 4,6 5,5

Migas -1,9 -5,3 -1,1

Non migas 7,5 5,9 6,2

Listrik, Gas, dan Air Bersih 4,2 6,5 6,6

Bangunan 6,9 7,3 7,4

Perdagangan, Hotel dan Restoran 5,8 8,6 8,6

Pengangkutan dan Komunikasi 14,0 13,0 12,8

Keuangan, Persewaan dan Jasa Persh. 7,9 7,1 7,2

Jasa - Jasa 5,4 5,2 5,2

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

2006

Tabel I.2

Laju Pertumbuhan PDB

Atas Dasar Harga Konstan 2000 (y-o-y), 2004-2006

(persen)

(15)

Prospek ekonomi Indonesia dalam paroh kedua 2006 diperkirakan akan membaik sejalan dengan berkurangnya tekanan inflasi yang juga diharapkan akan diikuti dengan menurunnya suku bunga secara bertahap. Selain itu stabilitas nilai tukar rupiah yang terkendali, kemajuan realisasi percepatan pembangunan infrastruktur dan pembenahan sektor riil, serta tambahan stimulasi yang berasal dari dana luncuran anggaran tahun 2005, juga diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi tahun 2006. Dari sisi eksternal, kinerja perekonomian global yang masih relatif cukup kuat diharapkan akan memberikan lingkungan yang cukup kondusif terhadap perekonomian Indonesia. Dengan demikian, sasaran pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2006 diperkirakan mencapai sekitar 5,9 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan sasaran yang ditetapkan dalam APBN 2006 sebesar 6,2 persen.

Inflasi

Inflasi pada tahun 2006 diperkirakan cenderung menurun, setelah mengalami peningkatan pada tahun 2005 yang mencapai 17,11 persen (y-o-y). Tingginya inflasi pada tahun 2005 tersebut disebabkan oleh penyesuaian harga BBM dalam negeri pada bulan Maret dan Oktober 2005. Pada bulan-bulan tersebut inflasi masing-masing mencapai 1,91 persen pada bulan Maret dan 8,70 persen pada bulan Oktober 2005. Memasuki tahun 2006 harga beras mengalami peningkatan yang disebabkan antara lain oleh meningkatnya harga pembelian beras (HPB) sebesar 28 persen. Hal tersebut juga diperkuat dengan meningkatnya harga bumbu-bumbuan, tarif telepon, dan air minum, yang telah menyebabkan

inflasi pada bulan Januari 2006 mencapai 1,36 persen, atau inflasi y-o-y

sebesar 17,03 persen.

Namun, seiring dengan datangnya musim panen di beberapa daerah pada bulan Februari, Maret, dan April 2006, harga bahan makanan seperti beras, bumbu-bumbuan, sayur-sayuran, daging dan telor ayam ras, serta lainnya mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya. Penurunan harga tersebut menyebabkan laju inflasi pada bulan Februari, Maret, April relatif rendah, masing-masing menjadi sebesar 0,58 persen, 0,03 persen,

dan 0,05 persen, atau inflasi y-o-y masing-masing sebesar 17,92 persen,

15,74 persen, dan 15,40 persen. Sementara itu, inflasi inti (core inflation)

pada bulan Februari, Maret, dan April masing-masing mencapai 0,63 persen, 0,26 persen, dan 0,32 persen.

Setelah tercatat mengalami peningkatan indeks harga yang cukup rendah di bulan-bulan tersebut di atas, pada bulan Juni 2006, hampir semua indeks

Sasaran pertumbuhan ekonomi tahun 2006 sekitar 5,9 persen.

Inflasi pada bulan Januari 2006 1,36 persen atau inflasi y-o-y sekitar 17,03 persen.

Laju inflasi pada bulan Februari, Maret, dan April relatif rendah.

(16)

harga kelompok pengeluaran kecuali kelompok sandang, mengalami sedikit peningkatan sehingga inflasi pada bulan tersebut mencapai 0,45 persen,

atau inflasi y-o-y sebesar 15,53 persen. Beberapa kelompok barang

menunjukkan peningkatan indeks harga antara 0,1 persen sampai dengan 1,12 persen. Peningkatan tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan, dan terendah terjadi pada kelompok transport dan komunikasi. Beberapa komoditas yang mengalami kenaikan cukup tajam antara lain adalah beras, daging ayam ras, cabe rawit, dan tarif kontrak rumah. Perkembangan

inflasi tahun 2005-2006 dapat dilihat pada Grafik I.1

Grafik I.1

Perkembangan Inflasi, 2005 - 2006

-2,0 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0

Sumber : Badan Pusat St atist ik

y-o-y,%

-2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 14,0 16,0 18,0 20,0 m-t-m,%

Umum (m-t-m) Bahan Makanan (m-t-m) Umum (y-o-y)

,

Dengan perkembangan tersebut, inflasi kumulatif selama Januari-Juni 2006 sebesar 2,87 persen, lebih rendah dibandingkan inflasi kumulatif pada periode yang sama tahun 2005 (4,28 persen), dan tahun 2004 (3,29 persen). Sementara itu, bila dilihat dari komponen inflasi, selama enam bulan pertama tahun 2006, tercatat inflasi inti sebesar 2,72 persen, inflasi

administered prices sebesar 1,05 persen, dan inflasi volatile foods

sebesar 6,33 persen.

Menurut kelompok pengeluaran, inflasi kumulatif selama Januari-Juni 2006 disebabkan oleh meningkatnya kelompok bahan makanan (5,16 persen), sandang (4,31 persen), kesehatan (3,31 persen), makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (3,21 persen), perumahan (2,69 persen), transpor dan komunikasi (0,59 persen), serta pendidikan, rekreasi dan olah raga (0,44 persen). Sementara itu bila dilihat menurut komoditas, inflasi kumulatif tertinggi terjadi pada padi-padian, umbi-umbian dan hasil-hasilnya (15,87 persen), disusul kemudian oleh sub kelompok barang pribadi dan sandang

persen atau inflasi y-o-y sekitar 15,53 persen.

(17)

lainnya (12,19 persen), jasa keuangan (5,83 persen), minuman tidak beralkohol (3,91 persen), jasa kesehatan (3,73 persen), biaya tempat tinggal (3,63 persen), dan buah-buahan (3,37 persen)

Penundaan rencana penyesuaian tarif dasar listrik (TDL) diperkirakan akan mengurangi tekanan inflasi pada tahun 2006. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang perlu diwaspadai yang diperkirakan berpotensi memberi tekanan inflasi pada bulan-bulan mendatang, seperti masih tingginya harga minyak dunia dan adanya tekanan musiman pada hari raya keagamaan (Idul Fitri dan Natal) pada bulan Oktober dan Desember 2006.

Dalam rangka pengendalian laju inflasi, Pemerintah dan Bank Indonesia senantiasa meningkatkan koordinasi dalam melakukan pemantauan dan pengendalian inflasi, yang ditempuh melalui berbagai kebijakan, antara lain menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, menjaga kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi kebutuhan bahan pokok, menurunkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi, dan meminimalkan gejolak harga yang berasal

dari kebijakan administered prices. Dengan mempertimbangkan realisasi

laju inflasi sampai dengan bulan Juni 2006, berbagai kebijakan yang dilakukan, dan perkiraan inflasi pada enam bulan ke depan, maka asumsi laju inflasi sebesar 8 persen dalam APBN 2006 diperkirakan dapat dicapai, bahkan dapat lebih rendah dari 8 persen.

Nilai Tukar Rupiah

Nilai tukar rupiah yang pada awal tahun 2005 rata-rata sebesar Rp9.195/ US$ cenderung melemah hingga bulan November 2005, bahkan pernah mencapai Rp10.345/US$ pada awal September 2005. Namun, seiring dengan meningkatnya aliran masuk investasi portofolio, rupiah kembali menguat dari bulan sebelumnya, hingga mencapai rata-rata Rp9.841/US$ pada bulan Desember 2005. Dengan perkembangan tersebut, selama tahun 2005 rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp9.704/US$.

Memasuki tahun 2006, penguatan nilai tukar rupiah tersebut terus berlanjut dengan volatilitas yang menurun. Sampai dengan akhir April 2006, rupiah menguat cukup signifikan, yaitu dari sekitar Rp9.841/US$ pada Desember tahun 2005, menjadi sekitar Rp8.775/US$ pada akhir bulan April 2006. Namun, melemahnya beberapa mata uang global, memburuknya beberapa

kondisi pasar keuangan, dan meningkatnya Fed Rate menjadi 5,25 persen

pada akhir Juni 2006, telah memicu sentimen negatif pelaku pasar. Hal ini ditunjukkan oleh fluktuasi nilai tukar rupiah yang cukup tajam yaitu dari Rp8.785/US$ pada awal Mei menjadi Rp9.300/US$ pada akhir Juni

Asumsi laju inflasi sebesar 8 persen dalam APBN 2006 diperkirakan dapat dicapai.

Selama tahun 2005 rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp9.704/US$.

(18)

2006. Dengan perkembangan tersebut selama Januari – Juni 2006, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai sekitar Rp9.205/US$, menguat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp9.412/US$.

Secara fundamental, penguatan rupiah pada awal tahun 2006 ini didukung oleh membaiknya pasokan valas terkait dengan surplus neraca pembayaran. Surplus neraca pembayaran didukung oleh terjadinya surplus, baik pada kinerja neraca berjalan maupun neraca modal. Surplus kinerja neraca berjalan utamanya disebabkan oleh rendahnya impor, dan surplus pada neraca modal terutama terkait dengan meningkatnya pemasukan modal langsung dan investasi portofolio di pasar saham, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), serta Surat Utang Negara (SUN). Faktor lainnya yang menyebabkan nilai tukar rupiah menguat pada awal tahun 2006 antara lain adalah kecenderungan melemahnya dolar Amerika Serikat terhadap sebagian besar mata uang dunia terkait dengan terjadinya koreksi atas ketidakseimbangan global yang termanifestasi dalam bentuk semakin membengkaknya defisit transaksi berjalan dan defisit anggaran di Amerika Serikat.

Meskipun nilai tukar rupiah pada semester I tahun 2006 mengalami penguatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, namun masih terdapat beberapa faktor negatif yang perlu diwaspadai. Hal ini disebabkan karena sebagian besar investasi yang masuk didominasi oleh investasi portofolio jangka pendek yang mempunyai potensi risiko

terjadinya pembalikan (capital reversal). Selain itu, meningkatnya harga

minyak mentah dunia juga berpotensi meningkatnya kebutuhan valas. Dua hal di atas pada gilirannya dapat menekan nilai tukar rupiah.

Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia terus

melanjutkan kebijakan moneter yang tight bias, yang tercermin pada

masih tingginya suku bunga Bank Indonesia. Kebijakan lainnya adalah melakukan sterilisasi valas, menaikkan suku bunga penjaminan valas, melakukan pengaturan dan monitoring transaksi devisa, serta meningkatkan koordinasi antara Pemerintah dan Otoritas Moneter khususnya untuk memperkuat pasokan valas dan mengelola permintaan valas.

Menurunnya laju inflasi mendorong indeks nilai tukar rupiah secara riil

(real effective exchange rate, REER) dengan tahun dasar tahun 2003 menunjukkan peningkatan. Demikian pula indeks nilai tukar rupiah terhadap

dolar Amerika (bilateral regional exchange rate, BRER) juga

menunjukkan peningkatan dari 70,21 pada Desember 2005 menjadi 76,57

pada Mei 2006. Peningkatan BRER juga terjadi pada mata uang bath

Penguatan rupiah pada awal 2006 didukung oleh membaiknya pasokan valas terkait dengan surplus neraca pembayaran.

Daya saing Indonesia cenderung menurun dan sedikit lebih rendah dibandingkan negara-negara sekawasan, kecuali Korea.

(19)

Thailand, ringgit Malaysia, dolar Singapura, dan won Korea. Diantara negara-negara tersebut, indeks nilai tukar won Korea merupakan yang tertinggi, disusul kemudian oleh nilai tukar rupiah. Hal ini mengindikasikan bahwa daya saing Indonesia cenderung menurun dan sedikit lebih rendah dibandingkan negara-negara kawasan regional kecuali Korea. Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dapat

dilihat pada Grafik I.2

Memasuki semester II tahun 2006, nilai tukar rupiah relatif berfluktuasi dengan kecenderungan melemah sejalan dengan meningkatnya permintaan valas baik untuk pembayaran utang luar negeri maupun untuk impor bahan baku dan barang modal seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Selain itu, meningkatnya harga minyak dunia diperkirakan juga akan mendorong peningkatan permintaan valas. Di lain pihak investasi PMA diperkirakan akan meningkat pada enam bulan ke depan tahun 2006, sehingga akan menambah pasokan valas. Hal tersebut mengakibatkan rupiah sedikit terdepresiasi hingga akhir tahun 2006.

Dengan memperhatikan realisasi Januari – Juni 2006, dan perkiraan enam bulan ke depan, maka selama tahun 2006 rata-rata nilai tukar rupiah diperkirakan mencapai sekitar Rp9.300/US$, lebih rendah dari perkiraan APBN sebesar Rp9.900/US$.

Suku Bunga SBI 3 Bulan

Dalam tahun 2005, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan mencapai 9,09 persen, lebih tinggi dari rata-rata tahun 2004 sebesar 7,39 persen. Hal ini disebabkan karena Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter yang

Grafik I.2

(20)

cenderung ketat terkait dengan masih tingginya ekses likuiditas di sektor perbankan, tingginya laju inflasi, melemahnya nilai tukar rupiah, dan meningkatnya suku bunga internasional. Kebijakan tersebut dilakukan

melalui peningkatan suku bunga Bank Indonesia (BI rate) dari 8,25 persen

pada bulan Juni menjadi 12,75 persen pada akhir tahun 2005. Seiring dengan meningkatnya suku bunga Bank Indonesia, suku bunga SBI 3 bulan juga meningkat dari 8,05 persen pada bulan Juni menjadi 12,83 persen pada Desember 2005.

Memasuki tahun 2006 (Januari dan Februari), suku bunga SBI 3 bulan masih cukup tinggi yaitu 12,92 persen. Seiring dengan menurunnya inflasi dan menguatnya nilai tukar rupiah pada bulan Februari, suku bunga SBI 3 bulan secara bertahap menurun dari 12,92 persen pada bulan Februari menjadi 12,15 persen pada bulan Juni 2006. Dengan perkembangan tersebut, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan selama enam bulan pertama

tahun 2006 mencapai 12,59 persen, lebih tinggi 505 basis points (bps)

dibandingkan periode yang sama tahun 2005 sebesar 7,54 persen.

Sama halnya dengan SBI 3 bulan, suku bunga SBI 1 bulan juga mengalami penurunan, walaupun masih berada pada level yang cukup tinggi, yaitu dari 12,74 persen pada akhir Januari 2006 menjadi 12,50 persen pada akhir Juni 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi masih tingginya suku bunga SBI 3 bulan dan SBI 1 bulan ini antara lain adalah meningkatnya

suku bunga internasional seperti SIBOR, LIBOR, Fed Rate dan suku

bunga negara-negara ASEAN. Hal tersebut telah mendorong BI mempertahankan suku bunga tinggi, agar tetap kompetitif dibandingkan dengan suku bunga internasional, sehingga dapat mencegah terjadinya aliran modal keluar.

Penurunan suku bunga SBI ini juga direspon oleh turunnya suku bunga deposito pada semua tenor. Suku bunga deposito yang cenderung meningkat sejak Juli 2005 hingga Januari tahun 2006, mengalami penurunan sejak bulan Februari, yaitu dari 12,01 persen pada Januari 2006 menurun secara bertahap menjadi 11,7 persen pada April 2006. Meskipun menurun, namun masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2005 yang mencapai 6,58 persen. Relatif menurunnya suku bunga SBI tersebut tidak direspon oleh semua suku bunga kredit, kecuali suku bunga kredit modal kerja (KMK) yang mengalami penurunan dari 16,32 persen pada Januari menjadi 16,29 persen pada April 2006. Sedangkan suku bunga kredit investasi (KI) dan kredit konsumsi (KK) sejak Februari 2006 sedikit meningkat dari masing-masing 15,81 persen dan 17,08 persen menjadi 15,9 persen dan

Rata-rata suku bunga SBI 3 bulan semester I 2006 mencapai 12,59 persen.

Faktor-faktor yang mempengaruhi masih tingginya suku bunga SBI antara lain adalah meningkat suku bunga internasional.

(21)

17,65 persen pada April 2006. Perkembangan suku bunga SBI dan

perbankan dapat dilihat pada Tabel I.3

Dengan memperhatikan realisasi SBI 3 bulan dalam enam bulan pertama tahun 2006 dan perkiraan dalam enam bulan kedepan, maka selama tahun 2006 rata-rata suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan sekitar 12 persen, lebih tinggi dari perkiraan semula dalam APBN sebesar 9,5 persen.

Harga Minyak Internasional

Dalam tahun 2006, harga minyak mentah internasional diperkirakan masih akan berada pada level yang cukup tinggi. Beberapa faktor yang Deposito

1 Bln 3 Bln KMK KI KK 1 Bulan

2001 Desember 17,62 17,60 15,66 19,19 17,90 19,85 16,07 2002 Desember 12,99 13,12 8,89 18,25 17,82 20,21 12,81 2003 Desember 8,31 10,16 4,65 15,07 15,68 18,69 6,62 2004 Desember 7,43 7,29 3,76 13,41 14,05 16,57 6,43

2005 Januari 7,42 7,30 5,21 13,40 13,98 16,32 6,46 Februari 7,43 7,27 5,20 13,37 13,87 16,23 6,46 Maret 7,44 7,31 5,95 13,31 13,78 16,33 6,50 April 7,70 7,51 6,21 13,31 13,74 16,23 6,58 Mei 7,95 7,81 6,07 13,20 13,68 16,17 6,76 Juni 8,25 8,05 6,95 13,36 13,65 16,04 6,98 Juli 8,49 8,45 5,29 13,42 13,65 16,02 7,22 Agustus 8,75 8,54 8,55 13,40 13,62 15,96 7,55 September 10,00 9,25 6,92 14,51 14,47 16,27 9,16 Oktober 11,00 12,09 7,79 15,18 14,92 16,33 10,43 Nopember 12,25 12,69 7,73 15,92 15,43 16,6 11,46 Desember 12,75 12,83 9,44 16,23 15,66 16,83 11,98

2006 Januari 12,75 12,92 9,32 16,32 15,81 17,08 12,01 Februari 12,74 12,92 10,05 16,34 15,87 17,28 11,85 Maret 12,73 12,73 10,21 16,35 15,90 17,52 11,77 April 12,74 12,65 10,53 16,29 15,90 17,65 11,70 Mei 12,50 12,15 10,89

Juni 12,50 12,15

Sumber: Bank Indonesia

Tabel I.3

Perkembangan Suku Bunga SBI dan Perbankan 2001-2006

Periode SBI PUAB Kredit

Selama tahun 2006 suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan sekitar 12 persen.

(22)

mempengaruhi kenaikan harga minyak adalah kondisi geopolitik yang masih belum menentu di Irak, Nigeria, dan sengketa pengembangan teknologi nuklir oleh Iran. Konflik politik yang terjadi sampai saat ini di Irak telah menimbulkan gangguan terhadap pasokan minyak mentah dari negara tersebut. Pasokan minyak dari Nigeria juga mengalami gangguan sebagai akibat serangan yang dilakukan oleh kelompok militan terhadap fasilitas minyak di negara tersebut. Penolakan Iran atas permintaan dari negara-negara barat khususnya Amerika Serikat untuk menghentikan program nuklirnya menimbulkan ketegangan politik internasional yang berujung kepada meningkatnya harga minyak mentah internasional. Di samping faktor ketidakstabilan geopolitik di atas, tingginya harga minyak mentah internasional juga didorong oleh tetap kuatnya kinerja perekonomian Cina dan India yang menyebabkan tingginya permintaan minyak dari negara-negara tersebut. Meningkatnya harga minyak dunia

juga disebabkan oleh kecemasan pasar atas menurunnya spare capacity

produksi minyak dunia, dan kekhawatiran akan terbatasnya pasokan minyak mentah internasional di masa depan.

Harga rata-rata minyak mentah jenis Dated Brent di pasar internasional

pada periode Desember 2005 - Mei 2006 mencapai US$63,74 per barel atau meningkat US$16,92 per barel (36,14 persen) dibanding harga pada periode Desember 2004 – Mei 2005 yang mencapai US$46,82 per barel.

Harga rata-rata minyak mentah basket OPEC pada periode Desember

2005 - Mei 2006 juga mengalami kenaikan dibanding periode Desember 2004 – Mei 2005, yaitu dari US$43,91 per barel menjadi US$59,12 per barel (naik 34,64 persen).

Sejalan dengan meningkatnya harga minyak mentah internasional tersebut,

harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Oil Price/

ICP) dalam periode Desember 2005 - Mei 2006 juga menunjukkan

kecenderungan peningkatan yang relatif tinggi. Realisasi harga rata-rata minyak mentah ICP dalam periode tersebut sebesar US$63,12 per barel atau meningkat US$16,58 per barel (35,63 persen) dibandingkan periode Desember 2004 – Mei 2005. Dengan memperhatikan perkembangan harga minyak yang terjadi di pasar internasional dalam periode Desember 2005 - Mei 2006, maka realisasi harga minyak mentah ICP dalam tahun 2006 diperkirakan mencapai US$62 per barel. Perkembangan harga

rata-rata minyak mentah di pasar internasional dapat dilihat pada Grafik I.3.

Volume lifting minyak mentah Indonesia dalam tahun 2006 diperkirakan

mencapai 1,0 juta barel per hari atau sama dengan realisasi tahun 2005,

namun lebih rendah dibanding asumsi lifting dalam APBN 2006 sebesar

i n t e r n a s i o n a l diperkirakan masih tinggi.

Harga minyak mentah I n d o n e s i a ( I C P ) cenderung meningkat.

(23)

1,05 juta barel per hari. Belum berkembangnya lifting minyak tersebut

terkait dengan cukup tingginya natural declining rate sumur-sumur

minyak di Indonesia yang sudah tua yang mencapai sekitar 15 persen per tahun, sementara minyak dari sumur-sumur baru seperti Blok Cepu dan Lapangan Jeruk masih belum dapat berproduksi secara optimal.

Neraca Pembayaran

Perkiraan membaiknya perekonomian dunia tahun 2006 dan terjaganya stabilitas ekonomi makro Indonesia berdampak terhadap kinerja neraca pembayaran. Hal ini terlihat pada posisi cadangan devisa yang diperkirakan meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bila dalam tahun 2005 cadangan devisa mencapai US$34.724 juta, maka pada tahun 2006 cadangan devisa diperkirakan naik sebesar US$6.821 juta menjadi US$41.545 juta. Meningkatnya posisi cadangan devisa tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya ekspor terkait dengan menguatnya permintaan dunia dan meningkatnya arus masuk modal asing.

Dalam tahun 2006, realisasi surplus neraca transaksi berjalan (current

accounts) diperkirakan sebesar US$1.917 juta, yang berarti lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan neraca transaksi berjalan di dalam APBN 2006 yang mengalami defisit sebesar US$1.661 juta. Meningkatnya surplus transaksi berjalan tersebut terutama bersumber dari meningkatnya surplus neraca perdagangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan meningkatnya defisit neraca jasa-jasa.

Realisasi surplus neraca perdagangan dalam tahun 2006 diperkirakan mencapai US$25.160 juta atau meningkat dari perkiraan dalam APBN

Grafik I.3

Perkembangan Harga Rata-rata Minyak Mentah Di Pasar Internasional, Desember 2004-Mei 2006

(US $/barel)

20 30 40 50 60 70 80

Des '04

Jan

'05 Peb Mrt Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan '0

6

Peb Mar April May

Sum ber : Bloom berg dan Pertam ina Brent OPEC ICP

Pada tahun 2006 cadangan devisa diperkirakan naik.

Dalam tahun 2006, realisasi surplus neraca transaksi berjalan

(current accounts)

diperkirakan lebih tinggi.

(24)

2006 sebesar US$16.421 juta. Kenaikan tersebut terkait dengan peningkatan ekspor di satu sisi dan di sisi lain impor mengalami penurunan. Realisasi nilai ekspor diperkirakan mencapai US$95.036 juta, atau 8,73 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan APBN 2006. Meningkatnya ekspor tersebut antara lain bersumber dari ekspor nonmigas sebagai akibat dari perkiraan lebih tingginya harga beberapa komoditas di pasar internasional. Sedangkan realisasi nilai ekspor migas diperkirakan meningkat 18,77 persen dibandingkan dengan yang ditetapkan dalam APBN 2006. Sementara itu, realisasi nilai impor diperkirakan mencapai US$69.876 juta atau lebih rendah 1,57 persen dari perkiraan pada APBN 2006 sebesar US$70.987 juta. Nilai impor yang lebih rendah tersebut terutama didorong oleh menurunnya impor migas sebagai dampak dari kenaikan harga BBM yang dapat menahan laju kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri. Sedangkan penurunan impor nonmigas diperkirakan karena

adanya penurunan domestic demand.

Dari sisi neraca jasa-jasa, dampak Bom Bali II masih dirasakan di daerah tujuan wisata utama yang menyebabkan penerimaan devisa dari sektor pariwisata mengalami penurunan yang cukup signifikan. Di samping itu, cukup besarnya transfer ke luar atas pendapatan investasi asing yang berasal dari PMA berdampak pada semakin besarnya defisit neraca jasa-jasa secara keseluruhan. Realisasi neraca jasa-jasa-jasa-jasa dalam tahun 2006 diperkirakan defisit sebesar US$23.243 juta atau lebih besar daripada defisit pada tahun 2005 yang mencapai sebesar US$21.393 juta.

Dalam tahun 2006, realisasi neraca modal secara keseluruhan diperkirakan surplus sebesar US$5.020 juta dibandingkan dengan APBN tahun 2006 yang mengalami defisit sekitar US$68 juta. Surplus tersebut juga lebih baik dibandingkan dengan realisasi neraca modal tahun sebelumnya yang mengalami defisit sebesar US$3.911 juta. Membaiknya posisi neraca modal tersebut terkait dengan membaiknya perkiraan realisasi neraca modal sektor publik yang mengalami surplus sebesar US$3.479 juta dibandingkan dengan APBN 2006 yang mengalami defisit sebesar US$2.493 juta. Surplus neraca modal sektor publik tersebut disebabkan

karena penerbitan obligasi pemerintah dalam valuta asing (global bond)

pada bulan Maret 2006 dan tingginya pembelian surat utang negara (SUN) oleh investor luar negeri.

Realisasi neraca modal sektor swasta dalam tahun 2006 diperkirakan mencatat surplus sebesar US$1.541 juta, lebih tinggi dari realisasi tahun 2005 yang mencatat defisit sebesar US$7.915 juta, namun lebih rendah apabila dibandingkan dengan perkiraan dalam APBN tahun 2006 sebesar

tahun 2006 diper-kirakan meningkat.

Realisasi neraca jasa-jasa dalam tahun 2006 diperkirakan defisit.

(25)

US$2.425 juta. Aliran masuk penanaman modal asing (PMA) diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan APBN 2006 antara lain karena belum kondusifnya iklim investasi di Indonesia. Dengan demikian, PMA dalam tahun 2006 diperkirakan mengalami penurunan surplus sekitar US$2.561 juta dibandingkan dengan APBN 2006 sebesar US$2.874 juta. Investasi

jangka pendek (portfolio investment) diperkirakan masih surplus sebesar

US$1.178 juta, lebih baik dibandingkan dengan posisi tahun 2005, meskipun tidak sebesar APBN 2006 yang mencapai US$2.449 juta. Sementara itu, investasi lainnya (neto) dalam tahun 2006 diperkirakan masih mengalami defisit sebesar US$2.198 juta namun lebih rendah dibandingkan APBN 2006. Hal tersebut terutama disebabkan oleh berkurangnya kewajiban pembayaran luar negeri yang telah jatuh tempo. Ringkasan neraca pembayaran Indonesia tahun 2005 sampai dengan tahun

2006 dapat dicermati pada Tabel I.4.

APBN

A. TRANSAKSI BERJALAN 929 -1.661 1.917

Neraca Perdagangan 22.322 16.421 25.160

a. Ekspor, fob 86.178 87.408 95.036

b. Impor, fob -63.856 -70.987 -69.876

Neraca Jasa-jasa, neto -21.393 -18.082 -23.243

B. NERACA MODAL -3.911 -68 5.020

Sektor Publik, neto 4.004 -2.493 3.479

- Penerimaan pinjaman dan bantuan 7.452 5.051 9.719 a. Bantuan program dan lainnya 6.103 2.000 6.988 b. Bantuan proyek dan lainnya 1.349 3.051 2.731 - Pelunasan pinjaman -3.448 -7.544 -6.240

Sektor Swasta, neto -7.915 2.425 1.541

- Penanaman modal langsung, neto 2.194 2.874 2.561

- Investasi portfolio -588 2.449 1.178

- Lainnya, neto -9.521 -2.898 -2.198

C. TOTAL (A + B) -2.982 -1.729 6.937

D. SELISIH YANG BELUM DIPERHITUNGKAN 2.596 -368 1.430

E. KESEIMBANGAN UMUM -386 -2.097 8.367

F. PEMBIAYAAN 386 2.097 -8.367

Memorandum items :

Perubahan cadangan devisa1) 1.596 7.617 -6.821

Cadangan devisa 34.724 27.107 41.545

Transaksi berjalan/PDB (%) 0,3 -0,5 0,6

1) Tanda negatif berarti penambahan devisa dan tanda positif berarti pengurangan devisa Sumber : Bank Indonesia

Realisasi 2006 Tabel I.4

Ringkasan Neraca Pembayaran Indonesia, 2005 - 2006 (US$ juta)

(26)

BAB II

ANGGARAN PENDAPATAN DAN

BELANJA NEGARA

PENDAHULUAN

Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2006 menghadapi tekanan yang cukup berat, oleh karena sejak ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun Anggaran 2006, telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang cukup banyak pada faktor-faktor eksternal maupun internal yang berdampak signifikan pada berbagai indikator ekonomi makro, dan berbagai sasaran pendapatan negara dan hibah, belanja negara, defisit anggaran, serta kebutuhan dan sumber-sumber pembiayaan anggaran.

Dari sisi eksternal, faktor harga minyak dunia yang tinggi dan fluktuasinya masih akan menimbulkan ketidakpastian pada pelaksanaan APBN tahun 2006, oleh karena berpengaruh cukup signifikan pada penerimaan migas, perubahan subsidi BBM maupun subsidi listrik. Sementara itu,

ketidakseimbangan global (global imbalances) diperkirakan akan

menurunkan aliran modal ke negara-negara berkembang dan emerging,

sehingga kecenderungan larinya modal ke negara yang dianggap memiliki

risiko lebih kecil (flight to quality) akan menyebabkan terjadinya arus

keluar modal jangka pendek dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Faktor-faktor tersebut pada gilirannya dapat mempengaruhi stabilitas moneter serta struktur dan ketahanan fiskal.

Dari sisi internal, perkembangan ekonomi Indonesia selama triwulan I dan triwulan II tahun 2006 menunjukkan perubahan yang cukup besar pada berbagai variabel ekonomi makro dibandingkan dengan perkiraan awal pada saat penyusunan asumsi APBN 2006. Perekonomian Indonesia dalam semester I tahun 2006 masih mengalami perlambatan akibat kenaikan harga BBM tahun 2005 dan berbagai faktor eksternal, namun diperkirakan secara bertahap akan kembali membaik pada semester II tahun 2006. Perbaikan tersebut didukung oleh membaiknya kegiatan investasi, ekspor, dan pulihnya daya beli masyarakat. Kestabilan ekonomi makro terus dijaga baik, yang tercermin pada menurunnya volatilitas nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG), serta menurunnya laju inflasi.

Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2006 menghadapi tekanan yang cukup berat.

Dari sisi eksternal, faktor harga minyak dunia yang tinggi dan fluktuasinya masih akan menimbulkan ketidakpastian pada pelaksanaan APBN tahun 2006.

(27)

Pertumbuhan ekonomi tahun 2006 diperkirakan mencapai 5,9 persen. Meskipun perkiraan tersebut lebih rendah dari proyeksi awal pada saat penyusunan APBN 2006 sebesar 6,2 persen, namun masih lebih tinggi dari laju pertumbuhan ekonomi tahun 2005 yang mencapai 5,6 persen. Laju pertumbuhan ekonomi tahun 2006 tersebut akan dicapai dengan upaya perbaikan investasi, peningkatan kinerja ekspor dan menguatnya daya beli masyarakat. Namun, pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi tahun 2006 tersebut memerlukan kerja keras, mengingat masih terdapat faktor-faktor risiko yang perlu diwaspadai.

Laju inflasi kumulatif yang selama periode Januari – Mei 2006 stabil dan terkendali pada tingkat 2,41 persen, lebih rendah dari laju inflasi kumulatif pada periode yang sama tahun 2005 sebesar 3,76 persen.

Di sisi lain, nilai tukar rupiah meskipun mengalami perkuatan, terutama pada kuartal pertama akibat arus modal masuk yang cukup deras, namun volatilitasnya masih cukup tinggi meskipun mulai mencapai suatu titik kestabilan baru pada semester II tahun 2006. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi, kebutuhan valuta asing untuk impor, khususnya impor bahan baku dan barang modal dalam semester II tahun 2006 diperkirakan akan meningkat, sementara kegiatan ekspor masih diperkirakan stabil atau bahkan menguat. Dengan perkembangan tersebut, dalam tahun 2006 rata-rata nilai tukar rupiah diperkirakan mencapai sekitar Rp9.300/US$ atau lebih kuat bila dibanding dengan asumsi nilai tukar pada APBN 2006 sebesar rata-rata Rp9.900/US$. Seiring dengan menguatnya nilai tukar rupiah, laju inflasi akan dapat distabilkan pada tingkat yang relatif rendah dibandingkan tahun sebelumnya, sehingga sasaran inflasi sebesar 8,0 persen dalam tahun 2006 diperkirakan akan tetap dapat dicapai.

Selanjutnya, dengan menguatnya nilai tukar rupiah dan menurunnya laju inflasi tersebut, maka suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan akan cenderung menurun hingga mencapai sekitar 10,75 persen pada akhir 2006. Dengan perkembangan tersebut, selama tahun 2006, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan mencapai sekitar 12,0 persen, lebih tinggi dari perkiraan semula dalam asumsi APBN 2006 sebesar 9,5 persen.

Perubahan pada berbagai indikator ekonomi makro dalam tahun 2006 tersebut di atas, akan sangat mempengaruhi besaran APBN secara keseluruhan. Di samping itu, dalam tahun 2006 juga terjadi perubahan kebijakan dalam menghadapi tantangan-tantangan yang harus diantisipasi oleh Pemerintah dalam waktu singkat. Oleh karena itu, dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN 2006 perlu dilakukan penyesuaian

Pertumbuhan ekonomi tahun 2006 diperkira-kan lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi tahun 2005.

(28)

atas sasaran-sasaran pendapatan negara dan hibah, belanja negara, defisit anggaran, serta kebutuhan dan sumber-sumber pembiayaan anggaran, agar menjadi lebih realistis dan mampu mendukung pencapaian sasaran-sasaran pembangunan ekonomi tahun 2006.

Anggaran pendapatan negara dan hibah dalam tahun 2006 diperkirakan lebih tinggi dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN. Sementara itu, pada saat yang sama, volume anggaran belanja negara diperkirakan juga akan membengkak, terutama sebagai akibat dari meningkatnya belanja pemerintah pusat. Berbagai perkembangan tersebut akan memberikan implikasi pada meningkatnya defisit anggaran yang diperkirakan menjadi sekitar 1,2 persen terhadap PDB.

Untuk mengendalikan defisit, dan memenuhi kebutuhan pembiayaan yang lebih besar tersebut, maka dalam tahun 2006 telah dan akan diambil langkah-langkah kebijakan penyesuaian di sisi pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Di bidang pendapatan negara, akan dilakukan langkah-langkah penyempurnaan administrasi perpajakan, yang meliputi antara lain intensifikasi dan ekstenfikasi pajak, disertai dengan kegiatan penagihan aktif dan penegakan hukum, serta pemberantasan penyelundupan, pita cukai palsu dan rokok tanpa pita cukai. Selain dari langkah-langkah administrasi perpajakan tersebut, dalam tahun 2006 juga telah dan akan diambil langkah-langkah kebijakan perpajakan, yang meliputi antara lain kebijakan peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar 10 persen, kebijakan penyesuaian harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 10 persen pada bulan April 2006, serta kebijakan pemberian berbagai fasilitas perpajakan.

Dengan langkah-langkah administratif dan kebijakan perpajakan sebagaimana diuraikan di atas, maka sasaran penerimaan pajak dalam negeri dalam APBN tahun 2006 secara nominal diperkirakan dapat dicapai atau bahkan dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, rasio penerimaan pajak

dalam negeri terhadap PDB (tax ratio) akan diupayakan sesuai dengan

sasaran semula dalam APBN 2006 (sebesar 13,1 persen dari PDB).

Namun, akibat terjadinya kenaikan angka nominal PDB, maka tax ratio

menjadi lebih rendah. Untuk mempertahankan tax ratio yang tetap berarti

diperlukan peningkatan penerimaan pajak secara nominal. Sementara itu, penerimaan pajak perdagangan internasional (bea masuk), diperkirakan akan menurun sebagai akibat adanya penurunan tarif dan nilai impor kena

bea masuk (dutiable import) dalam rangka pelaksanaan perjanjian

perdagangan antarnegara. Di bidang penerimaan negara bukan pajak (PNBP), penerimaan migas diperkirakan akan lebih tinggi, selain disebabkan oleh meningkatnya rata-rata harga minyak Indonesia dari

Anggaran pendapatan negara dan hibah dalam tahun 2006 diperkirakan lebih tinggi dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN.

L a n g k a h - l a n g k a h kebijakan penyesuaian di sisi pendapatan, belanja, dan pembiaya-an untuk mengendali-kan defisit anggaran.

(29)

asumsi semula US$57,0 per barel menjadi US$62,0 per barel, juga karena PT Pertamina akan memenuhi seluruh sisa kewajiban penyetoran penerimaan migas tahun 2005.

Pada sisi lain, anggaran belanja pemerintah pusat diperkirakan akan meningkat, berkaitan dengan meningkatnya beban pembayaran bunga utang dalam negeri akibat naiknya suku bunga SBI 3 bulan dari perkiraan semula 9,5 persen menjadi 12,0 persen, dan bertambahnya beban subsidi akibat lebih tingginya harga minyak mentah. Di lain pihak, menguatnya nilai tukar rupiah akan berpengaruh pada lebih rendahnya beban pembayaran bunga utang luar negeri, serta belanja yang bersumber dari pinjaman proyek. Di samping itu, perubahan anggaran belanja pemerintah pusat dalam tahun 2006 juga dipengaruhi oleh pelaksanaan dan perubahan kebijakan, baik yang ditempuh dalam rangka pengelolaan APBN maupun karena faktor-faktor di luar APBN. Kebijakan-kebijakan tersebut antara

lain meliputi: (i) penambahan anggaran pendidikan, sebagai tindak lanjut

atas putusan Mahkamah Konstitusi; (ii) pembatalan rencana kenaikan

tarif dasar listrik; (iii) ditampungnya tambahan belanja dari luncuran DIPA

2005; (iv) penyediaan alokasi anggaran untuk rehabilitasi dan rekonstruksi

DIY dan Jawa Tengah pasca bencana gempa bumi; (v) tambahan anggaran

subsidi langsung tunai akibat meningkatnya jumlah penduduk miskin; (vi)

tambahan bunga utang sebagai dampak dari kebijakan pengelolaan surat utang negara, dan penyelesaian SU-002 dan SU-004 antara Pemerintah

dan Bank Indonesia; serta (vii) tambahan belanja dari revisi DIPA pinjaman

dan hibah luar negeri. Sementara itu, pada alokasi belanja untuk daerah, perubahan terjadi pada alokasi dana bagi hasil (DBH), sejalan dengan perubahan target penerimaan yang dibagihasilkan, serta adanya usulan tambahan dana otonomi khusus untuk pembangunan infrastruktur bagi Provinsi Papua.

Peningkatan defisit anggaran menjadi sekitar 1,2 persen terhadap PDB tersebut akan diupayakan pembiayaannya dari sumber-sumber dalam

negeri antara lain berupa: (i) penggunaan sebagian dana dari saldo rekening

pemerintah; (ii) penambahan penerbitan SUN neto; serta (iii) pemanfaatan

sumber pembiayaan luar negeri, baik dari pinjaman program (program

loan) maupun pinjaman proyek (project loan) secara selektif. Dengan

langkah-langkah kebijakan yang terpadu di berbagai lini tersebut, maka Pemerintah berkeyakinan pengelolaan APBN 2006 dan keuangan negara pada umumnya akan tetap dapat dilakukan secara aman dan terkendali sesuai dengan arah kebijakan fiskal yang ditetapkan dalam APBN 2006.

Secara lebih rinci, besaran perkiraan realisasi dari masing-masing komponen APBN 2006 sebagaimana tercantum dalam Undang-undang

Kebijakan di bidang belanja negara.

(30)

Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006 akan mengalami perubahan menjadi sebagaimana disusun dan dituangkan dalam Rancangan Undang-undang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006. Gambaran selengkapnya

tentang perkiraan realisasi APBN 2006 dapat diikuti dalam Tabel II.1.

PERKIRAAN PENDAPATAN NEGARA

DAN HIBAH

Perubahan kondisi ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi yang melambat, nilai tukar rupiah yang cenderung menguat, suku bunga SBI 3 bulan yang meningkat, harga minyak mentah Indonesia yang lebih tinggi, dan lifting minyak yang menurun, serta langkah-langkah kebijakan dan

A. Pendapatan Negara dan Hibah 625.237,0 20,6 651.912,6 104,3 20,9

I. Penerimaan Dalam Negeri 621.605,4 20,4 647.971,0 104,2 20,8

1. Penerimaan Perpajakan 416.313,2 13,7 423.455,3 101,7 13,6

a. Pajak Dalam Negeri 399.321,7 13,1 408.828,6 102,4 13,1

b. Pajak Perdagangan Internasional 16.991,5 0,6 14.626,7 86,1 0,5

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 205.292,3 6,8 224.515,7 109,4 7,2

a. Penerimaan SDA 151.641,6 5,0 161.918,3 106,8 5,2

b. Bagian Laba BUMN 23.278,0 0,8 21.687,7 93,2 0,7

c. PNBP Lainnya 30.372,7 1,0 40.909,7 134,7 1,3

II. Hibah 3.631,6 0,1 3.941,6 108,5 0,1

B. Belanja Negara 647.667,8 21,3 689.541,4 106,5 22,1

I. Belanja Pemerintah Pusat 427.598,3 14,1 470.161,0 110,0 15,1

1. Belanja Pegawai 79.896,1 2,6 79.603,7 99,6 2,5

2. Belanja Barang 55.180,9 1,8 54.616,1 99,0 1,7

3. Belanja Modal 62.952,2 2,1 67.044,9 106,5 2,1

4. Pembayaran Bunga Utang 76.629,0 2,5 83.464,9 108,9 2,7

5. Subsidi 79.510,4 2,6 104.324,7 131,2 3,3

6. Belanja Hibah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

7. Bantuan Sosial 36.930,5 1,2 37.228,1 100,8 1,2

8. Belanja Lainnya 36.499,1 1,2 43.878,7 120,2 1,4

II. Belanja Ke Daerah 220.069,5 7,2 219.380,4 99,7 7,0

1. Dana Perimbangan 216.592,4 7,1 215.328,2 99,4 6,9

2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian 3.477,1 0,1 4.052,1 116,5 0,1

C. Keseimbangan Primer 54.198,2 1,8 45.836,1 84,6 1,5

D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) -22.430,8 -0,7 -37.628,8 167,8 -1,2

E. Pembiayaan (I + II) 22.430,8 0,7 37.628,8 167,8 1,2

I. Pembiayaan Dalam Negeri 50.913,0 1,7 52.408,6 102,9 1,7

1. Perbankan dalam negeri 23.026,7 0,8 14.536,9 63,1 0,5

2. Non-perbankan dalam negeri 27.886,3 0,9 37.871,7 135,8 1,2

II. Pembiayaan Luar negeri (neto) -28.482,2 -0,9 -14.779,8 51,9 -0,5

1. Penarikan Pinjaman LN (bruto) 35.112,4 1,2 39.881,9 113,6 1,3

2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN -63.594,6 -2,1 -54.661,7 86,0 -1,8

1) Perbedaan satu angka di belakang koma terhadap angka penjumlahan adalah karena pembulatan.

Tabel II.1 PERKIRAAN REALISASI

(31)

administrasi yang ditempuh dalam tahun 2006, memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap sasaran pendapatan negara dan hibah tahun 2006.

Realisasi anggaran pendapatan negara dan hibah hingga akhir tahun 2006 diperkirakan mencapai Rp651.912,6 miliar (20,9 persen terhadap PDB), yang berarti naik sebesar Rp26.675,6 miliar atau 4,3 persen dari sasaran yang semula ditetapkan dalam APBN sebesar Rp625.237,0 miliar (20,6 persen terhadap PDB). Perkiraan realisasi pendapatan negara dan hibah tahun 2006 tersebut, apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2005 sebesar Rp495.502,9 miliar (18,2 persen terhadap PDB), berarti mengalami peningkatan sebesar Rp156.409,7 miliar atau 31,6 persen. Lebih tingginya perkiraan realisasi pendapatan negara dan hibah tahun 2006 tersebut terutama bersumber dari meningkatnya perkiraan realisasi penerimaan dalam negeri dibandingkan dengan sasaran yang ditetapkan dalam APBN 2006.

PENERIMAAN DALAM NEGERI

Realisasi penerimaan dalam negeri tahun 2006 diperkirakan mencapai Rp647.971,0 miliar atau 20,8 persen terhadap PDB. Jumlah ini berarti mengalami peningkatan Rp26.365,6 miliar atau 4,2 persen dari sasaran penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN 2006 sebesar Rp621.605,4 miliar (20,4 persen terhadap PDB). Apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2005 sebesar Rp494.206,9 miliar (18,1 persen terhadap PDB), maka perkiraan realisasi penerimaan dalam negeri tahun 2006 tersebut menunjukkan peningkatan sebesar Rp153.764,1 miliar atau 31,1 persen. Lebih tingginya perkiraan realisasi penerimaan dalam negeri tahun 2006 tersebut disebabkan oleh lebih tingginya perkiraan realisasi penerimaan perpajakan, terutama yang bersumber dari penerimaan Pajak Penghasilan nonmigas, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah , Pajak Bumi dan Bangunan, cukai, serta pajak/pungutan ekspor, dan lebih tingginya perkiraan realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) SDA migas dan PNBP lainnya.

PENERIMAAN PERPAJAKAN

Perkiraan realisasi penerimaan perpajakan mempunyai peranan yang sangat penting dalam memperkuat kapasitas fiskal dalam pembiayaan

anggaran negara. Hal ini terutama karena (i) penerimaan perpajakan

merupakan penyumbang terbesar penerimaan dalam negeri, yaitu 65,4 persen, sedangkan sisanya sebesar 34,6 persen disumbang oleh PNBP,

dan (ii) penerimaan perpajakan relatif lebih stabil dibandingkan dengan

Penerimaan dalam negeri diperkirakan lebih tinggi dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN 2006.

(32)

PNBP yang cenderung berfluktuasi tergantung kepada faktor-faktor eksternal, seperti harga minyak mentah dan nilai tukar.

Realisasi penerimaan perpajakan dalam tahun 2006 diperkirakan mencapai Rp423.455,3 miliar atau 13,6 persen terhadap PDB. Jumlah ini, secara nominal lebih tinggi Rp7.142,1 miliar atau 1,7 persen bila dibandingkan dengan sasaran penerimaan perpajakan yang ditetapkan dalam APBN 2006 sebesar Rp416.313,2 miliar (13,7 persen terhadap PDB). Namun, apabila dilihat rasionya terhadap PDB, perkiraan realisasi penerimaan perpajakan tersebut justru menunjukkan penurunan. Hal ini terutama karena perkiraan PDB nominal dalam perkiraan realisasi tahun 2006 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan awal PDB nominal yang diasumsikan dalam APBN 2006, meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi riil tahun 2006 diperkirakan justru lebih rendah (dari 6,2 persen menjadi 5,9 persen). Apabila dibandingkan dengan realisasi penerimaan perpajakan tahun 2005 sebesar Rp346.833,8 miliar (12,7 persen terhadap PDB), maka perkiraan realisasi penerimaan perpajakan tahun 2006 tersebut menunjukkan peningkatan sebesar Rp76.621,5 miliar atau 22,1 persen.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkiraan realisasi penerimaan

perpajakan dalam tahun 2006 tersebut diantaranya adalah: (i)

perkembangan berbagai variabel ekonomi makro; (ii) berbagai kebijakan

perpajakan yang telah dilakukan, seperti kenaikan PTKP, kenaikan HJE

rokok, dan pemberian fasilitas perpajakan; serta (iii) langkah-langkah

administrasi perpajakan yang telah dan akan dilakukan, seperti intensifikasi dan ekstensifikasi, modernisasi organisasi, serta penagihan aktif.

Realisasi penerimaan perpajakan tersebut terdiri dari pajak dalam negeri Rp408.828,6 miliar atau 13,1 persen terhadap PDB, dan pajak perdagangan internasional Rp14.626,7 miliar atau 0,5 persen dari PDB. Penerimaan pajak dalam negeri tersebut terdiri dari PPh, PPN dan PPnBM, PBB, BPHTB, cukai, dan pajak lainnya, sedangkan pajak perdagangan internasional terdiri dari bea masuk dan pajak ekspor.

Penerimaan PPh

Pajak Penghasilan (PPh) hingga saat ini merupakan penyumbang terbesar bagi penerimaan perpajakan. Dalam tahun 2006, realisasi penerimaan PPh diperkirakan mencapai Rp212.300,2 miliar atau 6,8 persen terhadap PDB. Jumlah ini, secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp1.586,6 miliar atau 0,8 persen bila dibandingkan dengan sasaran penerimaan PPh yang ditetapkan dalam APBN 2006 sebesar Rp210.713,6 miliar (6,9 persen terhadap PDB). Apabila dibandingkan

Penerimaan perpajakan diperkirakan lebih tinggi dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN 2006.

Faktor-faktor yang mempengaruhi per-kiraan realisasi pene-rimaan perpajakan tahun 2006.

Gambar

Tabel I.2Laju Pertumbuhan PDB
Grafik I.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS dan
Tabel I.3Perkembangan Suku Bunga SBI dan Perbankan
Grafik I.3 Perkembangan Harga Rata-rata Minyak Mentah Di Pasar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Para petani desa Cikole dalam malakukan perjanjian penggarapan kebun, dalam hal bibit, pupuk dan lain-lainnya yang digunakan untuk menunjang penggarapan kebun

Mengetahui peningkatan hasil belajar IPA pada materi energi pada siswa kelas V SD 3 Bulungcangkring menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student

Apabila tidak hadir atau tidak juga dikuasakan untuk menghadiri pembuktian kualifikasi dan/atau tidak dapat membuktikan keabsahan data kualifikasi perusahaan dalam

Kalbar Tahun Anggaran 2017 terhadap penawaran saudara untuk Pelelangan Pengawasan Pengembangan Infrastruktur Kawasan Pemukiman pada Kawasan Pedesaan Potensial,

Sehubungan dengan telah dilakukan Evaluasi Penawaran dan Evaluasi Kualifikasi oleh Pokja 437 Biro Administrasi Pembangunan dan Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat

Sehubungan dengan telah dilakukan Evaluasi Penawaran dan Evaluasi Kualifikasi oleh Pokja 443 Biro Administrasi Pembangunan dan Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Daerah Provinsi

PRES-XIII/2014 yang menolak permohonan surat gugatan pemohon tertanggal 25 Juli 2014 dengan Nomor pengaduan 01-1/PAN.MK/2014 yang dicatat dalam Buku Registrasi

setelah dilaksanakan evaluasi, selanjutnya nilai tersebut dianalisis, bagi siswa yang sudah sesuai atau melebihi KKM akan mengikuti program pengayaan atau pendalaman materi,