• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sub Tema Religious Missions Local Religi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sub Tema Religious Missions Local Religi"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Sub Tema: Religious Missions, Local Religions and Indigeneous Communities

PERUBAHAN SOSIAL SUKU BATAK: DARI KANIBALISME KE HUMANISME

Sokemd Arjunaroi Manullang

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember sokemdmanullang@yahoo.com

Abad ke-19, suku batak masih memiliki peradaban yang cenderung primitif, seperti aliran kepercayaan animisme-dinamisme, permusuhan antar kelompok, perjudian, hingga kanibalisme. Mereka percaya kepada Mulajadi Nabolon yang berkuasa diatas langit. Kekuasaannya terwujud dalam Debata Na Tolu, yaitu tondi, sahala, dan begu. Kanibalisme dilakukan suku-suku Batak dalam ritual kepercayaan terhadap Mulajadi Nabolon. Mereka mempersempahkan organ tubuh manusia, terkhusus darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki manusia untuk menambah tondi dari Mulajadi Nabolon. Masyarakat suku Batak yang menyembah Mulajadi Nabolon menganut agama Parmalim.

Masa kolonialisme saat itu berusaha masuk ke dalam masyarakat suku Batak, untuk menguasai daerah-daerah batak di Sumatera Utara. Perilaku kanibalisme suku Batak sangat menakutkan dan mengancam bagi orang luar daerah yang hendak datang ke daerah-daerah batak, terutama bagi misionaris keagamaan. Masyarakat suku Batak menganggap orang yang berasal dari luar kelompok mereka sebagai musuh, sebab sering terjadi permusuhan antar kelompok-kelompok suku Batak. Para misionaris Injil dari Inggris, Amerika, dan Jerman, mengalami ancaman dibunuh karena dicurigai sebagai agen penjajah, yang mereka sebut Si Bottar Mata.

Tahun 1517 menjadi awal reformasi Protestan (Reformasi Jerman) dan Anglikanisme (Reformasi Inggris) ketika Martin Luther mempublikasikan “Sembilan Puluh Lima Tesis mengenai Kuasa dan Efikasi Indulgensi”. Penyebaran agama Kristen Protestan dilakukan keseluruh benua, termasuk wilayah nusantara. Misionaris agama Kristen Protestan datang ke dalam daerah suku Batak sejak 1824, dan penginjilan misi Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) dari Jerman hingga berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) pada 7 Oktober 1861.

150 tahun yang lalu, sejak berdirinya gereja HKBP di kabupaten Tapanuli Utara, propinsi Sumatera Utara, saat ini merupakan organisasi keagamaan terbesar ketiga di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Berdirinya gereja tersebut menjadi bukti bahwa misi keagamaan harus mampu beradaptasi dengan kebudayaan. Ini yang Soekarno sebut Ketuhanan yang berbudaya, ketika Soekarno merumuskan ideologi negara Indonesia. Masyarakat asli suku Batak dengan segala karateristik peradabannya mengalami proses perubahan sosial menjadi masyarakat yang lebih humanis, religius, dan nasionalis melalui misi keagamaan dalam gereja HKBP oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen.

Makalah ini membahas proses perubahan sosial masyarakat asli suku Batak yang masih berperilaku kanibalisme pada abad ke-19 hingga masuknya misi keagamaan dalam wujud gereja HKBP, yang merubah peradaban suku batak menjadi lebih baik lagi dan lebih humanis. Saat ini suku Batak merupakan salah satu masyarakat suku di Indonesia yang menghormati dan menjalankan budaya dan adat dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengalkulturasikan budaya dan adat menjadi lebih humanis. Perubahan sosial ini menarik untuk diangkat menjadi pembahasan dalam makalah ini, karena segala dinamika masyarakat yang terjadi di dalamnya.

(2)

PENDAHULUAN

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi sosial dalam kesatuan dan jaringan. Interaksi sosial yang dimaksud adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dalam masyarakat. Manusia disebut sebagai makhluk sosial, artinya manusia tidak dapat hidup hanya sendiri, terutama dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Interaksi sosial antara individu dengan individu terwujud dalam komunikasi verbal maupun komunikasi non-verbal atau isyarat, seperti jabat tangan, percakapan, perkelahian, dan sorot mata. Sedangkan interaksi sosial antara individu dengan kelompok menunjukkan kepentingan individu yang berhadapan dengan kepentingan kelompok dan sebaliknya, seperti perintah pemimpin kepada kelompok dan sanksi sosial atas nama kelompok terhadap individu. Dan interaksi sosial antara kelompok dengan kelompok terwujud apabila individu dalam kelompok telah memiliki kesamaan kepentingan untuk diinteraksikan pada kelompok lain, seperti kontak sosial antara pendukung tim sepak bola. Individu manusia tidak dapat berdiri sendiri, demikian juga satu kelompok tidak dapat berdiri sendiri, oleh karena itu mereka melakukan interaksi sosial. Interaksi sosial oleh individu dan kelompok yang dilakukan dalam satu kesatuan dan jaringan akan membentuk masyarakat. Karena dengan adanya kesatuan dan jaringan antara individu dan kelompok akan membentuk masyarakat yang memiliki nilai sosial dan norma sosial. Nilai sosial dan norma sosial memiliki peranan penting dalam membangun peradaban masyarakat. Nilai sosial dan norma sosial ini yang mengatur manusia dalam tata kehidupan bermasyarakat, sehingga tercapai suatu bentuk keteraturan yang berlandaskan pada sistem budaya masing-masing dalam masyarakat.

(3)

Sedangkan untuk definisi masyarakat secara antropologi, Koentjaraningrat (2002) merumuskan bahwa, “masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (hal 146). Interaksi sosial antar anggota masyarakat berjalan berdasarkan ikatan adat-istiadat yang meliputi kehidupan bermasyarakat yang berkelanjutan atau turun termurun antar generasi. Adat-istiadat ini menjadi ciri pembeda masyarakat satu dengan lainnya, dan ciri pembeda ini selanjutnya menjadi identitas khusus yang terikat oleh suatu rasa kebersamaan. Dengan definisi ini kita dapat menyebutkan pada masyarakat Indonesia, masyarakat desa Balun, masyarakat kota Jember, dan masyarakat suku Batak.

Interaksi sosial dalam masyarakat yang dinamis akan melahirkan kebudayaan dan pengetahuan masyarakat. Perkembangan kebudayaan dan pengetahuan merupakan bentuk peradaban masyarakat. Kebudayaan merupakan suatu hasil pengalaman sosial (Kartasapoetra. 1987: 320). Dalam melakukan interaksi sosial dipengaruhi tindakan sosial oleh anggota masyarakat, karena pada dasarnya tindakan sosial merupakan perwujudan dari interaksi sosial. Tindakan sosial merupakan upaya manusia secara individual untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya .... suatu tindakan baru dinyatakan sebagai tindakan sosial apabila subyeknya dihubungkan dengan individu-individu lain (Dhohiri, 2006: 46-47). Max Weber membedakan empat tindakan sosial yaitu zweckrational action, wertrational action, affectual action, dan traditional action (Siahaan, 1986: 200-201). Yang dimaksud zweckrational action atau disebut tindakan sosial legal-rasional adalah tindakan sosial berdasarkan pertimbangan manusia yang rasional dan diakui sebagai tindakan yang sah ketika menanggapi lingkungan diluar dirinya dalam rangka usahanya memenuhi kebutuhan hidup. Wertrational action adalah tindakan sosial yang rasional yang berdasarkan nilai-nilai absolut seperti nilai etis, estetis, keagamaan, atau nilai lain yang diyakini. Affectual action adalah tindakan sosial yang timbul dari dorongan emosional (perasaan) atau afeksi. Sedangkan Traditional action adalah tindakan sosial yang berorientasi pada hukum normatif dari tradisi budaya masyarakat pada masa lampau. Keempat tindakan sosial inilah yang menurut Weber akan mempengaruhi pola-pola interaksi sosial serta struktur sosial masyarakat.

(4)

sama sekali tidak mengalami perubahan (Kartasapoetra dan Kreimers, 1987: 367). Bapak Sosiologi, Auguste Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik, bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam, dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya (Johnson, 1986: 81-82). Metode-metode penelitian empiris tentang dinamika masyarakat ini, Comte menyebutnya sebagai sosiologi. Comte berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus, sekalipun dia juga menambahkan bahwa perkembangan umum dari pada masyarakat tidaklah merupakan suatu jalan lurus (Siahaan, 1986: 106). Dinamika masyarakat terus berjalan secara historis dalam proses perubahan sosial. Artinya, perubahan sosial menjadi tanda adanya dinamika masyarakat dalam usaha membangun peradabannya. Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya: di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur; di tingkat mezo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi; di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual (Sztompka, 2004: 65).

(5)

METODOLOGI

Makalah ini menjelaskan peristiwa yang terjadi pada sejarah yang menceritakan perubahan sosial suku Batak. Untuk dapat menjelaskannya dalam makalah ini memerlukan metode penelitian yang tepat. Metode penelitian yang tepat akan bermanfaat dalam mencapai tujuan penelitian. Manfaat metode penelitian yang tepat:

(1) menghindari cara pemecahan masalah dan cara berfikir yang spekulatif dalam mencari kebenaran ilmu, terutama dalam bidang ilmu sosial yang variabelnya sangat dipengaruhi oleh sikap subyektifitas manusia yang mengungkapkannya; (2) menghindari cara pemecahan masalah atau cara bekerja yang bersifat trial error sebagai cara yang tidak menguntungkan bagi perkembangan ilmu yang snagat dibutuhkan dalam kehidupan modern; (3) meningkatkan sifat obyektifitas dalam menggali kebenaran pengetahuan, yang tidak saja penting artinya secara teoritis tetapi juga sangat besar pengaruhnya terhadap kegunaan praktis hasil penelitian di dalam kehidupan manusia.

(Nawawi, 1991: 61) Maka dari itu makalah ini memilih satu metode penelitian untuk digunakan, yaitu metode penelitian historis. Karena sesuai dengan tujuan penelitian dalam makalah ini yang menjelaskan peristiwa yang terjadi pada sejarah yang menceritakan perubahan sosial suku Batak. Metode penelitian historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan-peninggalan (Nawawi, 1991: 78). Metode penelitian historis digunakan untuk:

.... memahami kejadian atau keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa sekarang, maupun untuk memahami kejadian atau keadaan masa sekarang dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lalu, selanjutnya kerap kalo juga hasilnya dapat dipergunakan untuk meramalkan kejadian atau keadaan masa yang akan datang.

(6)

pendekatan kualitatif akan melakukan penggambaran secara mendalam tentang situasi atau proses yang diteliti (Idrus, 2009: 24). Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data studi dokumenter berfungsi sebagai alat pengumpul data utama, karena pembuktikan hipotesanya dilakukan secara logis dan rasional melalui pendapat, teori atau hukum-hukum yang diterima kebenarannya (Nawawi, 1991: 133).

Selanjutnya, dalam melihat kejadian dan keadaan sosial yang terjadi pada kasus ini, perubahan sosial suku Batak, penulis melihat dengan menggunakan paradigma sosiologi. Paradigma sosiologi pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya, The Structure of Scientific Revolution (1962). Dia membahas mengenai perkembangan pengetahuan, bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu, lalu paradigma (Normal Science) ini mendapat pertentangan dan penyimpangan (Anomalies) karena tidak mampu menjadi solusi sosial. Normal Science tersebut pada waktu tertentu mengalami krisis (Crisis) validitas keilmuannya, hingga terjadi perubahan besar (Revolution) dalam ilmu pengetahuan dan melahirkan paradigma baru. Paradigma merupakan terminologi kunci dalam model perkembangan ilmu pengetahuan yang diperkenalkan Kuhn. Pengaruh paradigma lama mulai menurun dan digantikan paradigma baru yang menjadi dominan. Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Kuhn (Ritzer, 1985: 4) :

Paradigma INormal ScienceAnomaliesCrisisRevolutionParadigma II

(7)

Demikian juga dengan suku Batak, terjadi teori perkembangan ilmu pengetahuan dalam paradigma masyarakat Batak. Dari paradigma mereka tentang perilaku sosial kanibalime yang pada waktu tertentu mengalami anomali, lalu krisis, hingga merubah peradigma mereka tentang perilaku sosial yang kanibal ke paradigma mereka untuk berperilaku sosial yang humanis. Penulis akan mengkaji masyarakat suku Batak dengan ilmu pengetahuan sosiologi yang berparadigma ganda ini.

(8)

PEMBAHASAN

Perubahan Sosial

Konsep perubahan sosial dalam masyarakat berangkat dari teori Auguste Comte yaitu statistika sosial dan dinamika sosial. Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik, bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam, dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya (Johnson, 1986: 81-82). Hukum-hukum masyarakat, kerangka jaringan masyarakat, dan anatomi masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik, disebut Comte sebagai statistika sosial. Statistik-statistik sosial ini menjadi unsur penggerak masyarakat yang kemudian menghasilkan perubahan sosial. Perubahan sosial selalu terjadi dalam dinamika sosial masyarakat. Dinamika sosial memusatkan perhatian pada psikologi, yakni pada proses yang berlangsung dalam masyarakat seperti berfungsinya tubuh dan menciptakan perkembangan masyarakat yang dianalogikan dengan pertumbuhan organik (Sztompka, 2004: 1). Dinamika sosial masyarakat terus berjalan secara historis dalam proses perubahan sosial. Artinya, perubahan sosial menjadi tanda adanya dinamika sosial masyarakat dalam usaha membangun pengetahuan dan kebudayaan (peradaban) masyarakatnya. Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya: di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur; di tingkat mezo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi; di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual (Sztompka, 2004: 65).

(9)

Konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan; (2) pada waktu berbeda; dan (3) diantara keadaan sistem sosial yang sama (Sztompka, 2004: 3). Maksudnya, perubahan sosial terjadi setelah jangka waktu tertentu dan terjadi perbedaan yang terlihat pada waktu yang berbeda antara sebelum dan sesudah perubahan sosial dalam keadaan sistem sosial yang sama. Sztompka mengutip definisi Hawley (1978) bahwa perubahan sosial adalah setiap perubahan yang tak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan (Sztompka, 2004: 3). Masyarakat tidak akan pernah berada pada keadaan yang tetap (stagnan). Masyarakat selalu mengalami keadaan yang berbeda pada waktu yang selalu berbeda (waktu yang tidak terulang) dan terjadi terus-menerus tanpa henti. Masyarakat dalam sejarah mereka memiliki pengalaman sosial. Pengalaman sosial melahirkan kebudayaan dan pengetahuan masyarakat. Kebudayaan merupakan suatu hasil pengalaman sosial (Kartasapoetra dan Kreimers, 1987: 320). Perkembangan kebudayaan dan pengetahuan merupakan bentuk peradaban masyarakat.

Waktu, menjadi dimensi ruang terjadinya perubahan sosial. Sztompka (2004) membagi waktu dalam dua fungsi, yaitu waktu kuantitatif dan waktu kualitatif. Waktu kuantitatif adalah waktu sebagai kerangka eksternal untuk membandingkan kecepatan, interval, rentangan, dan lamanya berbagai peristiwa sosial berdasarkan alat pengukur konvensional seperti jam dan kalender. Semua bentuk perubahan sosial dapat ditetapkan waktunya yang ditempatkan dalam kerangka eksternal dan disebut sebagai “kejadian dalam waktu”. Sedangkan waktu kualitatif adalah waktu sebagai kerangka internal yang ditentukan oleh sifat proses sosial. Perubahan sosial membutuhkan proses sosial yang waktunya panjang atau pendek, lambat atau cepat, terbagi dalam proses sosial yang lebih substantif, dan yang ditandai dengan ritme atau interval proses sosial. Semua proses sosial yang terjadi tersebut disebut “waktu dalam peristiwa” atau “waktu sosial”. Muin (2006) menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai faktor internal dan eksternal penyeban perubahan sosial. Faktor internal yaitu perubahan jumlah penduduk, penemuan-penemuan baru (Discovery dan Invention), konflik dalam masyarakat, pemberontakan terhadap sistem (revolusi), dan reformasi struktur sosial. Sedangkan faktor eksternal yaitu bencana alam atau perubahan lingkungan, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Indigenous Community

(10)

tempat tinggal masyarakat tersebut. Masyarakat asli adalah masyarakat yang pertama kali bertempat tinggal pada suatu wilayah dan masih memiliki keorisinalitasan (keaslian) identitas masyarakat dalam peradaban budayanya. Masyarakat asli sering juga disebut sebagai suku. Suku Batak, suku Jawa, suku Bugis, suku Badui, dan suku Dayak merupakan penyebutan terhadap masyarakat yang memiliki keaslian identitas masyarakat. Reproduksi identitas masyarakat ini bertahan seiring reproduksi biologis keturunan generasi masyarakatnya. Istilah suku menunjuk pada keanekaragaman manusia dalam suatu kelompok dengan sifat-sifat yang merupakan warisan leluhurnya, secara keseluruhan kelompok manusia ini merasa berasal dari suatu tempat kelahiran yang pemulanya sama (Kartasapoetra dan Kreimers, 1987: 320). Suatu suku masyarakat pasti memiliki daerah asal atau tanah kelahiran yang selalu diasumsikan sebagai awal mula lahirnya masyarakat asli. Koentjaraningrat mendefinisikan suku adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2002: 264).

(11)

Masyarakat terus mengalami perubahan sosial, mulai dari manusia tertua yang terus berevolusi, lalu menyebar ke seluruh permukaan bumi, kemudian membangun komunitasnya serta peradabannya, lalu menyebar lagi dan mempengaruhi perdaban masyarakat lainnya. Saling mempengaruhi dan terpengaruhi masing-masing masyarakat terus terjadi, dan tak akan pernah berhenti, hingga sekarang dalam interaksi sosial mereka. Permasalahannya adalah bagaimana kita dapat menentukan masyarakat mana yang sebagai Masyarakat Asli (Indigenous Community) jika sebuah masyarakat terus dipengaruhi dan mempengaruhi antara masyarakat. Masing-masing suku di Indonesia juga mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu, kebudayaan Budha, kebudayaan Islam, dan kebudayaan Eropa. Ataukah masyarakat suku pedalaman adalah masyarakat yang disebut sebagai masyarakat asli karena sedikit tersentuh pengaruh kebudayaan asing. Asumsi tersebut berdasarkan definisi masyarakat asli yang memiliki keaslian identitas dalam peradaban budayanya. Sedangkan menurut pendapat Ronni Suryansyah, “Masyarakat asli adalah masyarakat yang hidup di suatu daerah dan mengembangkan kebudayaannya sehingga membentuk kebudayaan baru, sedangkan masyarakat pedalaman adalah masyarakat yang tidak maumengembangkan kebudayaannya”. Setuju dengan pendapat tersebut bahwa mayarakat suku pedalaman bukan termasuk masyarakat yang disebut sebagai masyarakat asli.

Suku Batak adalah masyarakat asli (Indigenous Community), karena suku Batak lahir dari satu keturunan biologis Si Raja Batak. Dalam kebudayaan suku Batak terdapat catatan atau silsilah keturunan masyarakat Batak, orang Batak menyebutnya tarombo. Tarombo atau silsilah masyarakat Batak bila ditarik hingga keturunan pertama adalah dari Si Raja Batak. Nama Si Raja Batak selanjutnya menjadi nama suku-bangsa Batak hingga saat ini (Hutagalung, 1991: 31). Satu keturunan yang sama, satu tanah kelahiran yang sama, dan satu identitas yang juga tetap sama, sebagai alasan bahwa suku Batak adalah masyarakat asli, bahkan sampai saat ini.

Agama Masyarakat Asli Batak

(12)

Toba, Pulau Samosir, Asahan, Silindung; Batak Angkola mendiami daerah Angkola, Sipirok, sebagian Sibolga dan Batang Toru, dan daerah bagian utara Padang Lawas; Batak Mandailing mendiami daerah Mandailing, Ulu, Pakatan, dan daerah bagian selatan Padang Lawas (Koentjaraningrat, 1971: 94).

Kekayaan kebudayaan Batak terdapat pada adat, ugama (agama), hata (kesusasteraan), kesenian, pansarian (filosofi pekerjaan), dan pargoluon (filosofi kehidupan) (Sihombing, 1989: 286). Adat-istiadat Batak sangat di pegang teguh masyarakat Batak. Sistem kekerabatan masyarakat Batak tidak dapat terlepas dari Marga dan Tarombo. Karena dari Marga dan Tarombo mereka menentukan posisi atau peran dalam menjalankan adat Batak. Sistem kekerabatan masyarakat terdapat dalam falsafa Dalihan na Tolu. Berdasarkan etimologinya, Dalihan na Tolu terdiri atas tiga kata, yaitu dalihan adalah ‘tungku yang terbuat dari batu’,naartinya ‘yang’, dan toluartinya ‘tiga’. Jadi secara harafiah, artiDalihan na Toluadalah ‘tungku yang terbuat dari tiga batu’. Dalam buku Jambar Hata dijelaskan:

diparngoluan siapari ni hita halak Batak partuturan i do ondolan ni falsafah ni parngoluon i, laos partuturan i do na songon tiang partunggul ni pardomuan parmudaranjala laos partuturan i do na manontuhon sikapta maradophon dongan. Tolu bagian bolon do partuturan, jala laos i do na ginoaran Dalihan na Tolu.

(Sihombing, 1989: 23). Dalam kehidupan bermasyarakat suku Batak, mereka selalu menanyakan marga dan tarombo kepada orang yang dikenal. Mengetahui marga dan tarombo sangat penting bagi orang Batak untuk menentukan hubungan kekerabatan (partuturan) dan sikap sosial dalam pergaulan antara individu atau keluarga. Menurut M. Manullang (Op.Sokemd), “Dalihan na Tolu maksudnya hubungan dari tiga tiang penyangga dalihan (tungku), seperti dalam hubungan orang Batak ada Hula-hula, Dongan Tubu, dan Parboru, dalam setiap acara adat Batak harus ada ketiga pihak tersebut”.

Terhadap hula-hula yaitu orang tua istri dan yang semarga dengan mertua hendaklah bersikap hormat (somba marhula-hula), secara tersirat itu adalah sebagai penghargaan terhadap istri. Terhadap sesama semarga hendaklah hati-hati, tidak sembarangan (manat mardongan tubu). Terhadap saudara perempuan dan suaminya serta yang semarga dengan mereka hendaklah bersifat membujuk dan mengayomi (elek marboru).

(13)

Tonga), dan Alam Bawah (Banua Toru). Ketiga dimensi alam ini diciptakan dan dikuasai Debata Mulajadi Nabolon. Di Banua Toru, Debata Mulajadi Nabolon dinamai Tuan Bubi Nabolon atau Debata Batara Guru. Di Banua Tonga, dinamai Ompu Siloan Nabolon atau Debata Mangalabulan. Sedangkan di Banua Toru, dinamai Tuan Pane Nabolon atau Debata Asiasi. Suku Batak mempercayai dan menyembah kepada Debata Mulajadi Nabolon. Kepercayaan ini disebut agama Parmalin (Ugama Malim). Si Raja Batak berkeyakinan bahwa Sang Pencipta manusia adalah Debata Mulajadi Nabolon.

Sistem kekerabatan suku Batak merupakan representasi dari wujud Debata Mulajadi Nabolon. Hula-hula merupakan representasi dari Debata Batara Guru. Orang batak mengakui bahwa berkat, kebijaksanaan, dan hikmat dari Debata Batara Guru disalurkan melalui Hula-hula dalam pelaksanaan upacara adat. Dongan Tubu merupakan representasi dari Debata Mangalabulan yang memberikan pengetahuan dan pengajaran. Dan Boru merupakan representasi dari Debata Asiasi yang menjadi penolong dan pendukung. Dalam kehidupan bermasyarakat suku Batak, seseorang tidak selamanya berperan dalam satu posisi dalihan na tolu. Dalam satu waktu ia dapat berkedudukan dalam peran sebagai Hula-hula, namun dalam waktu lain ia dapat berkedudukan dalam peran sebagai Dongan Tubu atau peran sebagai Boru.

Agama Parmalim menyakini manusia pertama adalah Raja Ihatmanisia dan Boru Ihatmanisia. Keturunan Raja Ihatmanisia adalah Raja Miokmiok, Patundal Nibegu, dan Ajilampaslampas. Keturunan Raja Miokmiok adalah Engbanua. Keturunan Engbanua adalah Raja Aceh, Raja Bonang-bonang, dan Raja Jau. Raja Bonang-bonang melahirkan Raja Tantandebata. Lalu Raja Tantandebata melahirkan Raja Batak. Dari Raja Batak inilah permulaan keturunan masyarakat suku Batak. Sejarah sistem kepercayaan suku Batak ini terdapat pada buku-buku kuno (Pustaha), salah satunya seperti buku W.M. Hutagalung (1991), Pustaha Batak: Tarombo dohot Turturian ni Bangso Batak.

(14)

Hula-hula. Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku orang tersebut sebelum meninggal dan hanya muncul pada waktu malam hari. Orang Batak menganggap Begu sebagai penyebab sakit dan kesusahan (Sihombing, 1989: 286). Beberapa nama Begu yang mereka kenal, antara lain Begu Jau, Begu Siharhar, Begu Antuk, Begu Nurnur, Begu Ladang, Begu Toba, Begu Siherut, Begu Surpusurpu, Begu Sorpa, Begu Pane, Begu Rojan, Begu Namora, dll. Dikalangan orang Batak Toba, Begu yang terpenting ialah Sumangot ni Ompu yaitu Begu dari nenek monyang (Koentjaraningrat, 1971: 115). Sumangot ni Ompu adalah Begu yang disegani dan dihormati karena mereka yang mengobati dan menyembuhkan sakit dan kesusahan yang disebabkan Begu lain. Kepercayaan terhadap Sumangot ni Ompu ini disebut kepercayaan Sipelebegu (Sihombing, 1989: 286).

Raja Monang Naipospos adalah Pengurus Pusat Ugamo Malim, sebuah agama kepercayaan yang lahir dari kebudayaan Batak. Agama ini merupakan peninggalan Raja Batak Sisingamangaraja.

Kini pusat agama Parmalim terbesar berada di Desa Hutatinggi, 4 kilometer dari kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. Di desa ini ada rumah ibadah orang Parmalim yang disebut Bale Pasogit. Mereka beribadah setiap hari sabtu dan memiliki dua hari peringatan besar setiap tahunnya yaitu Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Sipaha Sada ini dilakukan saat masuk tahun baru Batak yang dimulai setiap bulan Maret. Dan Sipaha Lima yang dilakukan saat bulan Purnama yang dilakukan antara bulan Juni-Juli. Dalam upacara, laki-laki yang telah menikah biasanya mengunakan sorban seperti layaknya umat muslim, sarung dan Ulos (selendang Batak). Sementara yang wanitanya bersarung dan mengonde rambut mereka. Semua acara Parmalin dipimpin langsung oleh Raja Marnokkok Naipospos (Pengurus Pusat Ugamo Malim). Kakek Raja Marnokkok adalah Raja Mulia Naipospos yang menjadi pembantu utama Sisingamangaraja XI. Agama ini merupakan peninggalan Raja Batak Sisingamangaraja. Kini penganut Parmalin ini mencapai 7000 orang termasuk yang bukan orang Batak. Mereka tersebar di 39 tempat di Indonesia termasuk di Singkil Nanggroe Aceh Darussalam.

Penginjilan oleh Rheinische Missions-Gesselschaft

(15)

Compagine) terhadap Portugis di Maluku pada tahun 1605 memulai babak baru Pekabaran Injil oleh Gereja Protestan. Awal abad ke-19 dicatat sebagi masa-masa bersejarah Pekabaran Injil di Indonesia, dengan bekerjanya sejumlah organisasi Zending oleh Gereja-gereja Protestan dari Belanda dan Jerman. Organisasi Pekabaran Injil Belanda yang sudah melakukan misinya di Indonesia adalah Nederlandse Zendeling Genootschap (1795-1816), Nederlandse Zendings Vereniging, Utrechtse Zendings Vereniging, sedangkan dari Jerman adalah Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG).

Saat itu masyarakat suku Batak menganut agama Parmalim dan kepercayaan Sipelebegu. Pengkabaran Injil pertama dilakukan oleh Burton dan Ward pada Juli 1824 sebagai utusan Babtist Church of England. Setelah itu, tahun 1825, pasukan Padri dan Bonjol, Minangkabau yang dipimpin Tuanku Rao menyerang Tanah Batak. Serangan mendadak berkekuatan 15.000 pasukan berkuda membunuh lebih dari separuh komunitas Batak Toba. Penyerangan Padri menimbulkan trauma di kalangan suku Batak Toba. Trauma inilah yang menjadi awal sikap suku Batak yang selalu menaruh curiga pada setiap pendatang.

Sikap inilah menyebabkan terbunuhnya (mati martir) dua misionaris utusan Gereja Amerika pada Juli 1834, Samuel Munson dan Henry Lyman. Mayat mereka di pertontonkan di sebuah pekan di Lobupining, tidak jauh dari Sisangkak, sebagai tanda kemenangan. Konon, mayat kedua martir itu dimakan hingga tinggal kerangka. Setelah mengetahui peristiwa tersebut, pemerintah Hindia Belanda melarang para misionaris memasuki Tanah Batak. Pada saat itu Belanda sendiri sudah menguasai Sumatera Barat dan Tanah Batak Bagian selatan (Mandailing dan Angkola) setelah berhasil menaklukkan pasukan Padri dalam perang yang disebut Padri Oorlog (perang Padri) pada tahun 1837. Sedangkan daerah Batak yang belum dikuasai Belanda disebut “Daerah Batak Merdeka” (De Onafhankelijke Bataklanden) terdiri dari kawasan yang didiami Batak Toba, yaitu Silindung, Humbang, Toba, dan Samosir.

(16)

31 Maret 1961 membaptis orang Batak Kristen pertama, Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon di Sipirok.

Pekabaran Injil dari Jerman adalah Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) yang berdiri pada tahun 1818. Di Indonesia, RMG pertama sekali mengkosentrasikan Pekabaran Injil di Kalimantan Tenggara sejak tahun 1836. Pada tahun 1859 meletus Perang Banjar yang dipimpin Pangeran Hidayat. Perang tersebut menelan banyak korban tewas, termasuk 4 pendeta, 3 istri, dan 2 anak mereka. RMG terpaksa mengundurkan Pekabaran Injil di sana lalu memindahkannya ke Tanah Batak (1861), Nias (1865), Mentawai (1901), dan Enggano (1903), Pekabaran Injil yang ditinggalkan RMG di Kalimantan Tenggara diteruskan Basler Mission Dari Swiss. Pimpinan RMG, Inspektur Dr.Friedrich Fabri mengutus dua misionaris, Klammer dan Heine. Keduanya tiba di Sibolga 17 Agustus 1961 dan memilih Sipirok sebagai pos utama.

Atas koordinasi Zending Emelo dan RMG, Betz dan van Asset bergabung dengan Heine dan Klammer di bawah naungan RMG. Keempat misionaris itu melakukan rapat pembagian tugas pada 7 Oktober 1861. Betz mendapat tugas di tempat pelayanan yang telah dia buka sebelumnya, yaitu Bungabondar, Klammer di Sipirok, sedangkan Heine dan van Asselt di Pangaloan. Tanggal pembagian tugas inilah yang kemudian dicatat sebagai hari jadi atau lahirnya HKBP (Huria Kristen Batak Protestan).

Lothar Schreiner,dalam bukunya Adat dan Injil membuat tahapan sejarah pengkristenan orang Batak denga merujuk pada tugas pelayanan Ingwer Ludwig Nommensen dan di mulainya pekabaran Injil oleh RMG di tanah Batak. Nommensen (1834-1918) merupakan tokoh sentral Pekabaran Injil di Tanah Batak yang kemudian dijuluki sebagai “Rasul Batak”. Pertama kali Nommensen datang di Barus Juni 1862, ditempatkan oleh rekan-rekan pendahulunya di Parausorat Desember 1862, lalu ke Silindung November 1863. Silindung adalah pilihan utama karena jumlah penduduknya sangat besar, meskipun ditentang pemerintah Hindia Belanda karena daerah alam yang masih hutan belantara serta kemungkinan ditolak bahkan bisa terbunuh.

Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”. Dalam perjalanan misi pekabaran injilnya bukanlah tanpa rintangan,

(17)

Suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukai Nommensen dan menyuruh pengikutnya untuk membunuh dia. Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi. Pada 1881 misi pekabaran injil dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti. Sepeninggalan Bonn, Nommensen mendapat rintangan di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.

Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang menuju Pulau Samosir. Pada 1893 Pendeta J. Warneck tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita. Misi zending tak berhenti sampai di sana, RMG mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903 untuk peerluasan pekabaran Injil sampai ke daerah Simalungun.

(18)

1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1912 di Medan; 1914 di Ambarita dan 1922 di Jakarta. Misi pekabaran Injil yang dilakukan Nommensen adalah misi zending inkulturatif yaitu misi pekabaran Injil yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai Ephorus (Pimpinan tertinggi Jemaat HKBP) pada 1881 hingga akhir hayatnya wafat pada 23 Mei 1918.

Dari Kanibalisme ke Humanisme

Kanibalisme merupakan sebuah fenomena di mana satu makhluk hidup makan makhluk sejenisnya. Misalkan anjing yang memakan anjing atau manusia yang memakan manusia. Kadang-kadang fenomena ini disebut anthropophagus (Bahasa Yunani anthrôpos, “manusia” dan phagein, "makan").

Dalam The History of Sumatera, William Marsden mengutip catatan penjelajah Barat yang pernah berpetualang ke tanah Batak pada abad k-18. Di daerah yang sekarang bernama Tapanuli Selatan, ia menjumpai orang yang memakan manusia. Kanibalisme ini terjadi ketika upacara tanda penaklukan terhadap musuh. Jadi, apabila terjadi peperangan, maka pihak yang menang memakan tubuh musuhnya sebagai simbol kemenangan. Samuel Munson dan Henry Lyman, dua misionaris utusan Gereja Amerika pada Juli 1834 terbunuh dan mayat mereka di pertontonkan di sebuah pekan di Lobupining, tidak jauh dari Sisangkak, sebagai tanda kemenangan. Mayat kedua misionaris itu dimakan hingga tinggal kerangka. Nommensen juga pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukai Nommensen dan menyuruh pengikutnya untuk membunuh dia. Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.

(19)

tawanan dianggap memiliki ilmu hitam, seorang pemancung berpakaian adat lengkap, mula-mula akan menyayat lengan tawanan dengan pisau kecil dan menyiramnya dengan perasan air limau. Saat tawanan menjerit-jerit kesakitan, ini diartikan segala ilmunya telah hilang. setelah itu, tawanan dibedah hidup- hidup, diiringi sorak-sorai. Perutnya di belah, diambil isinya dan dibagikan kepada penduduk untuk segera dimakan.

Dengan perut menganga dan hampir mati, tawanan dipapah menuju batu pancungan. Dalam satu kali ayunan parang, kepala tawanan harus putus. Kalau gagal, kepala sipemancung yang akan dipenggal. Itu sebabnya sipemancung harus berpengalaman dan parangnya harus tajam. Kepala tawanan dan daging dari mayatnya dicincang dan dimasak dengan daging kerbau, lalu dihidangkan diatas meja eksekusi untuk disantap oleh Raja. Darahnya digunakan sebagai pencuci mulut, sedangkan tulang belulangnya dibuang ke danau Toba. Eksekusi terakhir terjadi kira-kira tahun 1860, sebelum kedatangan misionaris Ingwer Ludwig Nommensen, yang berhasil memahami adat serta bahasa setempat dan merubah masyarakat Batak termasuk di Ambarita, menjadi penganut Kristen Protestan yang taat dan menghapus ritual kanibalisme ini. Sebelumnya, misionaris lainnya selalu gagal dan justru berakhir di batu eksekusi.

(20)

tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu seorang penjahat akan dimakan hidup-hidup, daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi". Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang penduduknya sangat ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya ternyata adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya. Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam. Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".

(21)

Batak Protestan (HKBP) yang telah berdiri 150 tahun (7 Oktober 1861) di kabupaten Tapanuli Utara, propinsi Sumatera Utara.

(22)

KESIMPULAN

Interaksi sosial dalam masyarakat yang dinamis akan melahirkan kebudayaan dan pengetahuan masyarakat. Perkembangan kebudayaan dan pengetahuan merupakan bentuk peradaban masyarakat. Perubahan sosial masyarakat suku Batak dipengaruhi faktor eksternal yaitu pengaruh kebudayaan lain. Perubahan sosial masyarakat suku Batak banyak dipengaruhi oleh misi Pekabaran Injil Rheinische Missions-Gesselschaft. Salah satu hasil perubahan sosial terwujud dalam gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang telah berdiri 150 tahun (7 Oktober 1861) di kabupaten Tapanuli Utara, propinsi Sumatera Utara. HKBP saat ini merupakan organisasi keagamaan terbesar ketiga di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Berdirinya gereja tersebut menjadi bukti bahwa misi keagamaan harus mampu beradaptasi dengan kebudayaan. Ini yang Soekarno sebut Ketuhanan yang berbudaya, ketika Soekarno merumuskan ideologi negara Indonesia. Masyarakat asli suku Batak dengan segala karateristik peradabannya mengalami proses perubahan sosial menjadi masyarakat yang lebih humanis, religius, dan nasionalis melalui misi keagamaan dalam gereja HKBP oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dhohiri, Taufiq Rohman, dkk. 2006. Sosiologi: Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta. Yudhistira.

Hutagalung, W M. 1991. Pustaha Batak: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak. Medan. Tulus Jaya.

Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Edisi Kedua. Jakarta. Erlangga. Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1. Jakarta. Gramedia. Kartosapoetra, G, dan Kreimers, L J B. 1987. Sosiologi Umum. Jakarta. Bina Aksara. Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Djambatan. Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka Cipta.

Muin, Indianto. 2006. Sosiologi SMA/MA Jilid 3 untuk Kelas XII. Jakarta. Erlangga.

Nawawi, H. Hadari. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Ritzer, George. 1985. Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta. Rajawali. Ritzer, G, dan Goodman, Douglas J. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Kencana.

Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta. Erlangga.

Sihombing, T M. 1989. Jambar Hata. Medan. Tulus Jaya.

Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2012. Konsepku Membangun Bangso Batak: Manusia, Agama, dan Budaya. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor.

Sinaga, Richard. 2012. Meninggal Adat Dalihan Natolu (Adat tu na Monding). Jakarta. Dian Utama

Sztompka, Piӧ tr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta. Prenada.

(24)

Siburian, Robert. 2008. Kearifan Ekologi dalam Budaya Batak sebagai Upaya Mencegah Bencana Alam. Jurnal: Masyarakat Indonesia, Edisi XXXIV, No. 1 Hal. 63-86. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sumatera: Menyibak Tabir Pusaka di Pulau Emas. 2012. Jakarta. Indomultimedia.

Internet

http://wisatanasional.com/?par=8&ki=669

http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/09/kanibalisme-dan-hkbp/

http://planet-berita.blogspot.com/2011/09/benarkah-orang-batak-dulunya-kanibal.html http://www.tobatabo.com/shownews.php?cat=9&news_id=113

http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Padri

Referensi

Dokumen terkait