• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEREVISI JURNALISME SEBAGAI PROFESI DI E

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MEREVISI JURNALISME SEBAGAI PROFESI DI E"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MEREVISI JURNALISME SEBAGAI PROFESI DI ERA DIGITAL:

TELAAH PENGARUH TEKNOLOGI MEDIA BARU

DALAM PRAKTIK JURNALISTIK DI INDONESIA

Ambang Priyonggo, M.A.

Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara

Boulevard Gading Serpong, Tangerang

ambang@umn.ac.id

ABSTRAK

Upaya mendefinisikan wartawan sebagai sebuah profesi seakan makin sulit di tengah dinamika teknologi media baru yang terus berkembang. Teknologi digital ini memang telah memberi akses wartawan atas new tools (alat-alat baru) yang membantu kerja mereka serta sarana atau platform baru sebagai channel menyampaikan berita dan informasi ke publik. Namun media baru telah mengubah relasi media dengan audiens, dalam arti kini wartawan tidak lagi memiliki posisi eksklusif atas narasumber berita dan ruang publik. Baik narasumber berita dan audiens bahkan bisa membangun „channel‟ sendiri di ruang publik lewat fitur berbasis user generated content (UGC), sehingga makin menggerus peran dan tugas wartawan sebagai gate keeper. Makalah ini mencoba memberikan penelaahan awal tentang pengaruh teknologi media baru terhadap kerja wartawan dan keprofesian wartawan. Koran Sindo sebagai subsidiari dari jaringan media terbesar di Indonesia, Media Nusantara Citra (MNC), dipilih sebagai “laboratorium”. Dengan mengimplementasikan Teori Aktor Jaringan (Actor Network Theory/ANT) serta metode focused group discussion (FGD), makalah ini menguak aspek-aspek potensi perubahan dalam tiga dimensi budaya profesi. Pertama, terkait keahlian penggunaan perangkat lunak dan media sosial (dimensi kognitif). Kedua, pandangan wartawan terhadap potensi penggunaan teknologi internet dalam pembuatan berita (dimensi evaluatif). Ketiga, kemunculan praktik-praktik baru yang diadaptasi dalam model jaringan pembuatan berita serta proses diseminasinya (dimensi performatif).

Kata kunci: Teknologi Media Baru, Wartawan, Profesi, Teori Aktor Jaringan

1. Pendahuluan

Dalam dua dasawarsa terakhir, lingkungan media massa telah banyak dihiasi berbagai diskusi tentang internet. Kehadiran teknologi dunia maya yang menyeruak hebat pada 1990-an—terutama di negara-negara maju di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang—ini telah mengubah bentuk praktik jurnalisme dari yang „konvensional‟ menjadi „digital‟ atau sering disebut jurnalisme dalam jarigan (daring).

Perkembangan jurnalisme daring ini makin pesat seiring dengan terus bertambahnya user (pengguna) internet. Data per 31 Desember 2013 dari Internet World Statistic mengungkapkan pengguna internet di dunia sudah mencapai angka 360.985.492. Angka ini setara dengan 39% dari total populasi di bumi yang mencapai 7 miliar lebih. Akses yang makin mudah, terutama dengan lahirnya teknologi mobile, menjadi salah satu poin penyebab meningkatnya user, dengan penetrasi menembus 676.3% dari periode 2000-2014.

Lebih lanjut Internet World Statistics juga mengungkapkan jumlah user internet di Indonesia per 31 Desember 2013 yang sudah mencapai angka 55 juta pengguna, atau sekitar 21,7% dari total populasi sebanyak 253.609.643 penduduk.

Wartawan memang banyak dimudahkan dalam beragam aktivitas saat menjalankan kerja profesionalnya dengan kehadiran teknologi internet ini. Ada dua kemudahan yang didapat wartawan dengan hadirnya media baru, yaitu, pertama, terkait aspek pengumpulan bahan berita (news gathering); dan kedua, dalam aspek mengonstruksi dan memublikasikan (mengirim luas produk berita) (Ward, 2002: 17-18). Dengan internet, proses ini telah tersimplifikasi dengan tanpa mengurangi kualitas dari prosesnya.

Saat menjalankan proses riset untuk suatu berita, wartawan sering bertumpu pada banyak sumber materi yang dapat berupa laporan terdahulu, dokumen-dokumen asli, data, siara pers, atau informasi dari individu. Teknologi internet telah membuat semua sumber materi itu mampu terdigitalkan dan terpublikasikan dalam jaringan sehingga memberi keuntungan bagi wartawan untuk mengakses segala informasi yang mereka butuhkan lewat apa yang populer disebut “riset dalam jaringan” (online research).

(2)

dokumen, data atau arsip berita), tetapi juga dapat menembus ruang debat, diskusi, dan opini pakar melalui mailist, chat, thread forum, blog, tweets—untuk selalu update terhadap informasi tentang isu-isu tertentu.

Di bawah aspek dan potensi penting dari internet, akhirnya, banyak organisasi media massa, yang mengharuskan staf mereka untuk belajar, mengadopsi, dan mengimplementasikan keahlian komputer, tentang bagaimana menggunakan internet dalam metode reportase yang populer disebut “CAR” (Computer-Assisted Reporting). “Keahlian baru” ini diharapkan dapat mendukung dan memberi nilai lebih dari metode kuno news gathering mereka yang selalu mengandalkan teknik bertemu dan mengunjungi nara sumber atau tempat kejadian secara langsung.

Selanjutnya, pada tataran proses mengonstruksi dan memublikasikan suatu karya berita, internet telah kokoh menjadi medium alternatif untuk menyebarkan informasi ke ruang publik. Teknologi dunia maya sebagai platform publikasi ini bahkan dapat dikatakan lebih dinamis dan interaktif dibandingkan dengan modalitas yang lain, khususnya media konvensional. Teknologi media baru memungkinkan untuk proses mengupdate materi-materi berita dan informasi secara simultan dan berulang-ulang, menit demi menit tanpa terjadi interupsi antarhalaman (Ward, 2002: 21). Di sinilah keunggulan sejati internet dibanding medium-medium yang lainnya seperti koran, televisi atau radio. Teknologi media baru di dunia maya terbukti mampu menawarkan suatu cara khas mengirim pesan kepada audiens dengan cara kerja yang lebih fungsional.

Namun terlepas dari aspek-aspek positif itu, kehadiran teknologi media baru dalam konteks jurnalisme mengindikasikan beberapa persoalan krusial yang berujung pada degradasi nilai keprofesian wartawan. Jamak diketahui, perdebatan tentang jurnalisme sebagai sebuah profesi atau bukan tak kunjung selesai hingga kini. Banyak wartawan yang menyebut pekerjaan mereka lebih tepat disebut sebagai keterampilan (craft) daripada profesi seperti layaknya dokter, pengacara, atau insinyur. Sementara kalangan akademisi mencoba menjawab perdebatan ini dengan tinjauan lain, mencocokkan pekerjaan wartawan dengan kriteria sosiologi profesi seperti adanya landasan teori yang sistematis atas „ilmu jurnalistik‟, keberadaan otoritas profesional, penerapan sanksi masyarakat, keberadaan kode etik, serta budaya profesional.

Kehadiran media baru semakin memperkeruh perdebatan ini. Media baru dinilai menimbulkan tendensi ke arah yang dapat mengaburkan batasan antara jurnalistik dan non-jurnalistik. Apa yang penulis maksud, dengan makin berkembangnya teknologi media baru, merangkai informasi dan mempublikasikannya dalam segala entitas media (cetak, elektronik, atau bahkan daring) bukan menjadi suatu skill eksklusif yang dimiliki wartawan. Kita bisa menyaksikan, betapa piawainya “orang biasa” merangkai informasi—berita tertulis hingga berita audio-visual digital—lewat situs, blog, atau media sosial. Tak jarang pula mereka mengirimkan karya-karya mereka itu ke berbagai media lewat apa yang kini popular disebut “jurnalisme warga.”

Artinya, setiap orang di era media baru ini bisa mengakses “profesi” wartawan dari mana pun. Tak kurang, karya-karya jurnalistik para pseudo journalist ini begitu menakjubkan, setara atau bahkan bisa melebihi apa yang dikerjakan oleh “jurnalis sejati.” Dari beberapa aspek pekerjaan, pelatihan atau pendidikan khusus bisa jadi tidak dibutuhkan, dan bagi sebagian yang lain bisa langsung praktik.

Lebih lanjut, media baru telah mengubah relasi media dengan audiens mereka. Kini wartawan tidak lagi memiliki posisi eksklusif atas narasumber berita dan ruang publik. Baik narasumber berita dan audiens bahkan bisa membangun „channel‟ sendiri di ruang publik lewat fitur berbasis user generated content seperti media sosial yang beragam (Youtube, Facebook, Twitter). Hal ini tentu makin menggerus peran dan tugas wartawan sebagai gate keeper. Oleh karena itu, telaah untuk melihat tentang pengaruh teknologi media baru terhadap kerja wartawan dan keprofesian wartawan perlu untuk dilakukan, terutama dalam konteks Indonesia. Sejumlah pertanyaan yang menyangkut aspek kognitif, evaluatif dan performatif dalam kaitan dengan penelitian ini adalah (i) Bagaimana level keahlian penggunaan perangkat lunak dan media sosial para wartawan? (ii) Bagaimana pandangan wartawan terhadap potensi penggunaan teknologi internet dalam pembuatan berita? (iii) Serta apa saja praktik-praktik baru yang muncul dan diadaptasi oleh wartawan dalam model jaringan pembuatan berita serta proses diseminasinya?

2. Konsep Terkait

2.1 Jurnalisme dalam Media Baru

(3)

baru mampu menciptakan semacam medium baru, sebuah tipe baru jurnalistik berplatform internet yang disebut jurnalisme dalam jaringan (Singer, 19980; Deuze, 1999).

Menurut Deuze, ada tiga paradigma jurnalisme dalam jaringan yang sudah terlihat bahkan saat internet masih di fase web 1.0: hipertekstualitas, multimedialitas, dan interaktivitas (Deuze, 2001). Hipertekstualitas, dalam konteks jurnalisme dalam jaringan, adalah mengkoneksi audiens dengan links (dapat bersifat internal atau eksternal) tentang berita atau artikel, materi, arsip terkait. Sementara istilah multimedialitas merujuk pada ide bahwa audiens terlayani dengan beragam metode untuk mengakses informasi pada laman Internet dengan berbagai format. Contoh terbaik dan—termasuk pioner—soal ini adalah laman berita BBC News Service yang menyediakan audiens mereka dengan tiga format dalam jaringan (konvergensi): material tertulis, streaming audio, dan streaming video. Format ini kini pun popular diterapkan media dalam jaringan lainnya, termasuk yang dari Indonesia seperti detik.com, kompas.com, atau vivanews.com.

Paradigma terakhir, interaktivitas, berarti bahwa jurnalisme dalam jaringan memberi celah bagi user/audiens untuk merespons, berinteraksi, atau bahkan mengatur sesuai keinginan tentang berita mana yang perlu diakses. Interaktivitas ini dapat berformat navigasi (lewat banyak bar seperti next page, back page); fungsi (lewat email, links, papan diskusi); dan adaptasi (lewat menu customization pribadi melalui “smart webdesign.”) (ibid). Khusus terkait interaktivitas ini makin berkembang saat internet memasuki era web 2.0, di mana muncul fitur-fitur baru yang bersifat user-generated content.

Segala aspek khas dari internet, terutama dalam penggunaannya dalam jurnalisme dalam jaringan, telah melahirkan berbagai penilaian. Dari perspektif komunikasi politik, jurnalisme dalam jaringan dipandang telah melahirkan optimisme dalam upaya mengembangkan demokrasi. Hal terkait ini telah terbukti di banyak negara di mana rezim otoriter bernaung dan ruang mengemukakan pendapat telah terkekang. Sebagai contoh, di Malaysia, di mana media massa mengalami kontrol ketat dan intervensi dari pemerintah lewat perizinan dan sensor, ternyata tampilnya media dalam jaringan Malaysiakini.com, dapat memberi oase segar kebebasan berpendapat di ruang publik di Negeri Jiran itu. Contoh lainnya terjadi di Indonesia di era Soeharto. Kita bisa melihat betapa Majalah Tempo yang dibredel pada 1994 akibat laporan kritisnya tentang pembelian kapal perang eks-Jerman, ternyata masih bisa menyiasati untuk tetap hadir ke pembacanya dengan terbit secara daring lewat Tempo Interaktif. Bahkan lewat Internet ini, Tempo Interaktif turut berandil secara konsisten dan kritis melaporkan “ketidakberesan” pemerintah yang, sedikit-banyak, berkontribusi pula pada kejatuhan rezim Soeharto pada 1998 (Send dan Hill, 1999).

Di samping menyediakan medium alternatif, internet dengan aspek interaktivitasnya melalui papan diskusi antara pengguna atau pengguna ke wartawan dipandang dapat pula meningkatkan partisipasi warga negara dalam mengaspirasikan pendapat, komentar, serta opini (interaksi sipil)—faktor yang sangat menunjang demokrasi. Pandangan penuh optimisme atas kehadiran media baru terkait demokrasi ini sangat relevan dengan istilah yang dikemukakan oleh Peter Dahlgren (1999:60), yaitu “cybereuphoria.”

Namun sayangnya di balik aspek positif kehadiran Internet di dunia jurnalistik, pandangan bernada pesimistis juga muncul. Dahlgren menyatakan bahwa penggunaan Internet oleh user untuk mencari informasi serius, termasuk jurnalisme, “ternyata hanya sambilan, terutama jika dibandingkan dengan arus mega dari hal-hal sepele, hiburan, chatting, permainan dan games, transaksi komersial, dan tak luput pula terkait pornografi” (ibid:61). Situasi itu disebut Dahlgren sebagai ”digital dystopia.”

Pandangan pesimisme Dahlgren ini belum cukup. Jurnalistik dalam jaringan sejatinya telah menggerogoti praktik ideal seorang wartawan dalam melakukan kerja profesionalnya. Kecepatan untuk menyajikan berita dalam hitungan menit demi menit (salah satu yang dianggap menjadi keunggulan jurnalisme dalam jaringan) sangat berpotensi menimbulkan masalah keberimbangan dan akurasi. Tantangan besar wartawan media dalam jaringan adalah menyeimbangkan usaha menyajikan berita ke audiens secara cepat menit demi menit dengan standar tradisi jurnalistik yang ideal seperti adil, lengkap, seimbang, dan akurat (Lasica, 2001:4). Namun tantangan itu cenderung tidak mudah untuk ditaklukkan karena realitanya, “kecepatan seringkali dinilai lebih penting dari verifikasi (ibid).”

Sementara, isu etika muncul ketika wartawan tidak mengidentifikasi dirinya sebagai wartawan dalam chatroom atau papan diskusi. Wartawan juga dituduh melanggar etika ketika mengutip dari papan buletin dalam format apapun (audio, video, tertulis) tanpa meminta izin dari pemiliknya—hanya sekedar menulis sumber link atau alamat situsnya.

Lebih lanjut, isu negatif berikutnya dari dampak teknologi media baru berfokus pada nilai keprofesian wartawan. Spyridou et. al. (2013) menyatakan media baru telah menyebabkan jurnalisme berada pada suatu fase ketidakjelasan (state of flux) karena sedang mengalami perubahan cepat dan terstruktur hingga berdampak tidak hanya pada praktik, produk, namun juga pada keprofesian.

(4)

dalam mengonsumsi informasi (termasuk berita)—termasuk munculnya fitur user generated content (UGC). Teknologi media baru ini dianggap menjadi faktor yang membongkar kembali pola pertukaran pesan (dalam konteks ini adalah berita); bagaimana pesan itu dinilai memiliki signifikansi; dan bagaimana pesan itu dapat membentuk opini publik (Lloyd dan Seaton, 2006: 1). Teknologi dengan segala konsensus yang terus berevolusi dan berdampak pada aspek kualitas dan keahlian wartawan, seperti diungkapkan oleh Zelizer (2004: 23), menjadi jaminan utama terhadap akses kriteria apa dan siapa yang layak disebut wartawan. Tak hanya itu, teknologi media baru telah menyebabkan budaya profesional dalam jurnalisme menjadi lebih beragam, terbuka, dan dinamis, teutama kala wartawan sekadar disebut sebagai “pekerja media” yang berbasis hasil (portofolio) dan multi-keahlian—dua atribut yang kini disandang jurnalis pada lingkungan media baru (Deuze, 2007).

Perkembangan teknologi media baru, menurut Witschge dan Nygren (2009), juga telah mengubah relasi jurnalis dengan audiens. Jurnalis tidak lagi memiliki posisi akses eksklusif kepada narasumber berita dan ruang publik. Dewasa ini, dengan kehadiran media baru berfitur UGC, baik sumber berita dan audiens dapat membangun „channel‟ sendiri untuk masuk ke ruang publik sehingga makin menggerus fungsi jurnalis sebagai gate keeper.

2.2 Jurnalisme dan Sosiologi Profesi

Seperti diketahui, di kalangan media dan akademisi, perdebatan untuk mengkategorikan wartawan sebagai profesi tak kunjung usai. Sejatinya, mengkategorikan wartawan sebagai profesi merupakan sesuatu yang tak jelas dan meragukan. Di kalangan insan pers sendiri, terutama di Indonesia, banyak yang menganggap pekerjaan mereka sekadar sebuah craft (keterampilan) daripada sebuah ”profesi” seperti dokter, pengacara, arsitek, atau insinyur yang memiliki skill teramat khusus berbasis intelektualitas keilmuwan yang sangat distinctive.

Witschge dan Nygren (2009) mengutip Freidson (2001) menguraikan bahwa dalam perspektif sosiologi profesi, terdapat beragam logika sebagai pendekatan atas sebuah pekerjaan yang layak disebut sebagai profesi: logika professional, logika birokrasi, dan logika pasar. Pertama, logika profesional, yaitu sebuah cara mengontrol aturan dan standar yang ditentukan oleh kalangan kaum profesional itu sendiri. Kedua, logika birokrasi, bahwa kontrol atas kerja kaum professional yang berupa aturan-aturan dan standar ditentukan oleh negara atau organisasi-organisasi. Ketiga, logika pasar yang berarati bahwa aturan-aturan sebagai kontrol atas pekerjaan mereka ditentukan oleh konsumen. Logika-logika ini merupakan tipe model ideal dan kebanyakan sebuah pekerjaan yang dikategorikan profesi dikontrol melalui kombinasi tiga logika ini.

Agar bisa dikategorikan sebagai profesi, para sosiolog menekankan pentingnya kamun profesional menguasai pekerjaan mereka sendiri, memiliki otonomi dalam praktik kesehariannya. Dalam konteks pekerjaan wartawan, akademisi lalu menganjurkan agar melihat nature kerja wartawan dan mutlak mensinkronkannya dengan ciri dasar sosiologi profesi.

Black dan Bryant (1995) mencoba memaparkan tujuh karakteristik yang digunakan selama bertahun-bertahun untuk mendefinisikan nature sebuah profesi, termasuk dalam konteks memberikan kerangka mengkategorikan pekerjaan wartawan.

Suatu pekerjaan dapat disebut profesi jika memenuhi seluruh ciri berikut: (1) berdasarkan kerangka teori sistematik bersifat esotorik (dipahami khusus oleh orang-orang tertentu) namun dapat dipelajari dan dikuasai dalam waktu tertentu lewat sertifikasi khusus melalui test ”keprofesian”; (2) sebuah aktivitas praktisi independen yang memiliki klien, bukan customer, dengan hubungan timbal balik berdasar kompensasi profesional berupa ”fee” atau ”tarif khusus”; (3) pelayanan yang diberikan bersifat penting bagi kepentingan publik dan tak mengenal hubungan-hubungan ”pertemanan” khusus; (4) dalam hubungan dengan klien yang kompleks, pemegang profesi lebih menjadi authority (pemegang otoritas); (5) sanksi masyarakat atas kekuasaan dan privilege kaum profesional harus ada; (6) kaum profesional memiliki kode etik yang menjamin mereka di hadapan publik untuk tidak menyalahgunakan praktik keprofesiannya; (7) kaum profesional menjalankan praktiknya berdasarkan norma dan ekspektasi yang diperkuat lewat keanggotaan dalam budaya keprofesian, jaringan formal-informal—seperti asosiasi—yang menaungi praktik mereka.

Secara lebih singkat, pakar sosiologi media Oliver Boyd-Barret (1970) juga turut memaparkan ciri-ciri profesi dalam lima atribut utama: (i) kerangka teori sistematik; (ii) otoritas profesional; (iii) sanksi masyarakat; (iv) kode etik; (v) budaya keprofesian.

(5)

kalangan wartawan sudah terbukti sering menghadapi kenyataan bahwa ”kehormatan” mereka makin terkikis akibat kehilangan kontrol nature dari skill mereka hari demi hari.

Sosiolog anglo-Amerika, seperti dipaparkan oleh Witschge dan Nygren (2009) mengutip Freidson (2001) dan Evett (2003), mencoba mengidentifikasi penyebab deprofesionalisasi sebagai berikut. 1) sebuah profesi mengalami kehilangan kepercayaan dari publik dan kondifensi; 2) sebuah profesi mengalami tekanan keuangan hingga harus mengesampingkan ideologi profesi mereka di prioritas kedua; 3) pembagian pekerjaan menjadi kabur dan profesi itu semakin heterogen.

2.3 Teori Aktor Jaringan

Literatur-literatur akademis belakangan ini mencoba menekankan pentingnya mencari teori yang tepat untuk menelaah dampak teknologi terhadap praktik jurnalisme. Usaha ini kemudian memunculkan pendekatan Aktor Jaringan dalam kajian jurnalistik. Digagas oleh sosiolog Latour (2005) dan Law (1992/1999), Actor Network Theory/ANT (Teori Aktor Jaringan) adalah sebuah kerangka konseptual untuk memahami proses dari suatu inovasi teknologi. Teori ini mengasumsikan bahwa terdapat pembentukan yang bersifat mutual (saling menguntungkan) antara teknologi dan entitas society (masyakarat). Dua konsep kunci dari ANT adalah adanya aktor dan network (jaringan). Aktor dalam konteks ini dapat berupa manusia (human) atau pun bukan manusia (non human) seperti alat-alat teknologi atau sebuah organisasi dengan segala nilai, prosedur, dan atribut-atribut lainnya.

Menurut Law (1999), aktor-aktor ini membentuk dirinya dan mendapatkan atribut-atributnya sebagai sebuah hasil dari hubungan dengan pihak lain baik manusia atau pun non manusia. Artinya sebuah proses pembentukan yang terjadi pada satu diri itu merupakan hasil yang dipengaruhi dan disebabkan oleh hubungan dengan aktor-aktor lain dalam lingkungannya.

Networks (jaringan-jaringan), dalam konsep ANT, merupakan entitas yang selalu berproses, sebuah aktivitas yang terbentuk oleh aktor-aktor yang ada di dalamnya. ANT mengklaim bahwa relasi di antara aktor-aktor tadi secara simultan bersifat material (antara benda) dan semiotik (antara konsep). Bersama relasi-relasi yang terbentuk ini kemudian menjadi jaringan tunggal (single network). Yang menjadi penting dalam ANT ini adalah konsep pemaknaan, baik berupa proses dan efek. Jaringan aktor-jaringan aktor dan juga relasi-relasi yang mengikatnya dimaknai. Dalam setiap tahapan-tahapan khusus pembentukan jaringan tunggal ini—yang disebut “momen”, beragam aktor akan menegosiasikan atribut-atribut, peran-peran, dan tujuan-tujuan mereka dalam rangka meraih hasil tertentu.

Satu hal lagi yang perlu dipahami dari konsep ANT, yaitu konsep intermediator dan mediator. Intermediator adalah sebuah entitas jaringan dari hal-hal yang minor atau kurang penting; sementara mediator adalah entitas jaringan yang lebih berperan memberikan pengaruh besar. Menurut Latour (2005:12), mediator berperan besar karena dapat mentransformasi, menerjemahkan, mengacuhkan, memodifikasi makna atau elemen yang seharusnya mereka bawa.

Aksi pengaruh-mempengaruhi (interplay) antara beragam jaringan aktor dan relasi-relasi di dalamnya akan membentuk sebuah pola, menghasilkan hirarki-hirarki, membentuk organisasi-organisasi, agen-agen, dan keteraturan. Gangguan atas keteraturan “sosial” dalam jaringan ini bisa saja terjadi jika terdapat penolakan keteraturan dan juga akibat aktor-aktor jaringan melawan hirarki dan melawan relasi kuasa jaringan yang ada.

(6)

Dalam konteks jurnalisme dan teknologi media baru, terdapat sebuah Aktor Jaringan yang kompleks. Seperti dipaparkan oleh Spyridou et. al. (2013), di antara aktor-aktor human dan non-human, wartawan dapat berperan baik sebagai intermediator ataupun mediator, dan dapat memaknai jaringan itu, memengaruhi praktik dan hasil dari jaringan (produk jurnalistik) dengan cara bernegosiasi dengan aktor human lain (sebagai contoh wartawan yang lain, redaktur, staf teknis, dan pengguna) dan aktor non-human lain (seperti teknologi, peralatan, pengetahuan dan keterampilan, struktur, protokol, serta aturan-aturan).

3. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian awal ini, penulis menggunakan metode Focused Group Discussion (FGD) terhadap empat redaktur Koran Seputar Indonesia (Sindo). Para narasumber dalam FGD ini sebagai berikut.

1. M. Ridwan (narasumber 1)

Redaktur senior di halaman nasional/nusantara dan sebelumnya pernah menjadi redaktur olahraga. Pengalaman kerja di dunia jurnalistik selama lebih kurang 15 tahun.

2. Sugeng Wahyudi (narasumber 2)

Redaktur madya di desk internasional dan sebelumnya pernah menjadi asisten redaktur di desk olahraga dan nasional. Pengalaman kerja di dunia jurnalistik selama lebih kurang 9 tahun

3. Syarifudin (narasumber 3)

Redaktur madya di desk ekonomi dan sebelumnya pernah menjadi wartawan dan asisten redaktur di desk internasional. Pengalaman kerja di dunia jurnalistik selama lebih kurang 9 tahun.

4. Pangeran Ahmad Nurdin (narasumber 4)

Redaktur madya di desk tajuk rencana dan opini. Pengalaman kerja di dunia jurnalistik selama lebih kurang 7 tahun.

Pemilihan empat narasumber ini berdasarkan latar belakang, pengalaman, serta aktivitas kerja sehari-hari yang sangat dipengaruhi oleh teknologi media baru. Sindo sendiri dipilih sebagai „laboratorium‟ pada penelaahan awal dengan kerangka studi kasus mengingat media ini bernaung dalam sebuah induk korporasi media terbesar di Asia Tenggara yang terintegrasi satu sama lain dalam kerangka MNC News Network.

4. Pembahasan

Pada subbab ini akan dibahas hasil temuan FGD dengan empat narasumber yang merupakan jurnalis senior Koran Sindo. Dalam FGD ini terkuak tiga aspek potensi perubahan dalam budaya profesi wartawan akibat pengaruh teknonologi media baru. Yang pertama, meliputi dimensi kognitif wartawan terkait keahlian penggunaan perangkat lunak dan media sosial untuk mendukung kerja jurnalistik mereka. Kedua, meliputi dimensi evaluatif terkait pandangan wartawan terhadap potensi penggunan teknologi media baru (internet) dalam proses pembuatan berita. Ketiga, meliputi dimensi performatif, terkait kemunculan praktik-praktik baru yang diadaptasi dalam model jaringan pembuatan berita serta proses diseminasinya.

a. Literasi Teknologi dan Keahlian yang Dibutuhkan

Penguasaan atas teknologi komputer dan internet telah menjadi sebuah kemampuan yang penting bagi wartawan di era jurnalisme digital ini. Keahlian jurnalistik tradisional—daya endus nilai berita, riset dan reportase lapangan, serta teknik penulisan—dirasa masih perlu ditambah dengan keahlian lain untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja jurnalistik yang kini makin didikte oleh teknologi.

Dari empat narasumber, kesemuanya setuju bahwa literasi teknologi mutlak diperlukan. Tak hanya kemampuan penggunaan perangkat lunak, keahlian perangkat keras (gawai) juga dibutuhkan. Hasil FGD mengungkap bahwa semua narasumber dapat menggunakan perangkat lunak terkait sistem operasional (Windows, Mac, dan Open source) dan perangkat lunak terkait pekerjaan mereka di dunia cetak (Word, Excel, Adobe Indesign, Adobe Photoshop). Berikut kutipan komentar narasumber 4, Pangeran Ahmad Nurdin.

Kita setidaknya perlu mengerti [Indesign dan Photoshop] karena untuk mengarahkan [layouter] sehingga bisa mengecek berita .

(7)

Sementara terkait perangkat lunak penyuntingan suara dan gambar (Adobe Premier, Audition), semua narasumber mengatakan bahwa mereka kurang menguasainya karena faktor “habit” pekerjaan mereka sehari-hari yang masih belum terlalu menuntut keahlian itu. Namun demikian, mereka menyadari bahwa lambat laun, keahlian ini akan diperlukan, terutama karena alasan bahwa media akan makin konvergen.

Tabel 1. Level Literasi Perangkat Lunak

Narasumber 1 Narasumber 2 Narasumber 3 Narasumber 4 Sistem Operasi

(windows, mac)

Menguasai Menguasi Menguasai Menguasai

Microsoft office Menguasai Menguasai Menguasai Menguasai InDesign Menguasai Menguasai Menguasai Menguasai Photoshop Menguasai Menguasai Menguasai Menguasai Perangkat lunak suara

(Audition)

Kurang Kurang Kurang Kurang

Perangkat lunak suara dan video (Premier)

Kurang Kurang Kurang Kurang

Content Management System

Kurang Kurang Kurang Kurang

WWW Menguasai Menguasai Menguasai Menguasai Surat Elektronik (Surel) Menguasai Menguasai Menguasai Menguasai Blogging Menguasai Menguasai Menguasai Menguasai Media Sosial

(Facebook, Twitter, Path, Pinterest, Instagram)

Menguasai Menguasai Menguasai Menguasai

Chat (BBM, Line, WhatsApp)

Menguasai Menguasai Menguasai Menguasai

Dalam FGD terkuak bahwa semua narasumber menguasai pengetahuan dan menggunakan perangkat lunak dan keras terkait internet dan media sosial. Bahkan kesadaran menggunakan sosial media dan blog dirasakan cukup tinggi. Dalam konteks yang lebih personal, mereka menyadari perlunya keahlian mengembangkan dan mengelola media sosial dan blog di luar konteks formal mereka sebagai wartawan yang telah disediakan platform (cetak dan daring) oleh redaksi tempat mereka bekerja. Narasumber 2 (Sugeng Wahyudi) menguraikan pendapatnya sebagai berikut.

Skill bagaimana mengembangkan sosial media sendir ya.. Sekarang banyak kesempatan dari

new media itu untuk mengembangkan diri ya… lebih pada soal misalnya bagaimana kita bisa

upload video sendiri secara bagus.. karena itu mau-nggak mau membantu pekerjaan di media mainstream juga kan dengan semakin punya keahlian yang banyak di new media kita akan dapat misalnya ketika menulis blog tidak hanya berisi tulisan [artikel berita] kita, tapi bisa menambahkan foto, gambar, agar jadi lebih menarik

(FGD, 2/11/14)

b. Potensi Penggunan Teknologi Media Baru

Perangkat yang ditawarkan oleh teknologi media baru telah sedikit banyak menghasilkan potensi positif terhadap proses kerja jurnalistik. Empat narasumber FGD dalam penelitian ini menuturkan pandangannya terhadap potensi ini. Mereka sepakat bahwa teknologi media baru sejatinya membuat kerja mereka lebih cepat; lebih efisien; juga memudahkan mereka untuk melakukan riset dan analisis; memudahkan mereka, sesama wartawan, untuk dapat berkolaborasi menghasilkan produk jurnalistik; memudahkan mereka untuk membagun jaringan, melakukan kontak dan berinteraksi dengan narasumber atau pun audiens.

(8)

cepat ketimbang menggunakan steno atau pun catatan lewat buku saku kecil. Seperti dituturkan oleh narasumber 1, M. Ridwan.

Tidak ada lagi yang bisa melakukan steno[graph] . Sekarang tinggal rekam dengan gadget, HP, atau bahkan ketik langsung saat wawancara lewat BB [Blackberry]

(FGD, 2/11/14)

Dalam konteks berkomunikasi antar wartawan, dengan narasumber berita, dan dengan audiens dalam hal memperoleh feedback (umpan balik), teknologi media baru dipandang oleh keempat narasumber memberikan dampak sangat positif bagi praktif jurnalistik. Feedback langsung via teknologi media baru juga dinilai berpotensi menciptakan ruang diskusi yang berguna, khususnya, untuk mengembangkan ide tulisan.

Namun ada satu catatan yang diberikan oleh narasumber 4, Pangeran Ahmad Nurdin, terkait feedback ini. Sebagai redaktur opini, dia menuturkan pengalamannya tentang feedback yang kadang berpotensi menjadi bias negatif. Sebagai contoh, dia menjelaskan terkait kasus opini dengan judul yang sama „Revolusi Mental‟ dan keluar di hari yang sama pada 10 Mei 2014 di Sindo dan Kompas. Sindo memuat tulisan dari Romo Benny Susetyo, sementara Kompas memuat tulisan dari Jokowi. Feedback yang luar biasa muncul lewat media sosial dan penuh dengan kontroversi serta tudingan bahwa Romo Benny merupakan „ghost writer‟ Jokowi yang saat itu sedang menjadi capres. Tudingan lalu bergeser bahwa Jokowi memplagiat Romo Benny.

Nggak ada [kesengajaan] . Sekarang logika aja, mana mungkin Sindo janjian sama

Kompas. Waktu itu ada di kutub yang berbeda. Dan juga kalo andai kata, misalkan

ada janjian, janjiannya siapa yang dituntungkan? Ka lo janjiannya kayak gitu pasti

Jokowi yang dirugikan, kan? Nggak mungkin juga Kompas melakukan itu.

(FGD, 2/11/14)

Menurut Pangeran, dua artikel itu jelas sekali berbeda isinya, walaupun judulnya sama. Daripada memperkeruh suasana, Pangeran Ahmad Nurdin memilih untuk „menghindar‟ dari polarisasi diskusi/informasi di sosial media karena kondisinya secara politik saat itu sangat “spinning” atau penuh plintiran. Laporan berita terkait isu ini di media lain, termasuk media dalam jaringan pun menjadi tidak obyektif dan akurat.

Tidak ada kaitannya sama sekali. Jadi Romo Benny membahas apa itu revolusi mental. Nggak sama persis. Sa ma sekali berbeda. Jadi Romo Benny ini menulis apa itu revolusi mental yang sering disebut-sebut sama Jokowi. Jadi apa sih ini, calon ini ngomongnya revolusi mental terus? Dibahaslah revolusi mental menurut versi dia. Yang dia tahu. Dia membahas revolusi mental dalam konsepnya Romo Mangun Wijaya. Jadi dia membahas revolusi mental dari konsep Romo Mangun yang sangat berbeda dengan konsep revolusi mental ala Trisaktinya Bung Karno. Sangat jauh berbeda.

(FGD, 2/11/14)

Lebih jauh, pandangan negatif terkait pengaruh teknologi media baru pada praktik kerja jurnalistik yang diungkap oleh keempat narasumber adalah terkait akurasi dan obyektivitas produk jurnalistik dalam platform media baru. Menurut mereka, media mainstream masih lebih baik terkait hal ini dan masih dinilai lebih kredibel secara umum karena setidaknya masih bisa memainkan peran gatekeeper atas informasi.

Mereka mengakui ada sedikit kegalauan soal makin menipisnya peran gatekeeper wartawan sebagai satu-satunya pihak ekslusif yang bisa menembus narasumber dan ruang publik. Namun, seperti disampaikan oleh narsumber 1, M. Ridwan, selama media mainstream dapat memegang teguh aspek kredibilitas serta kemasan informasi dengan sudut pandang berbeda, lebih lengkap dan dalam, serta dikombinasikan dengan strategi bisnis yang tepat (termasuk adaptasi platform daring atau pun e-paper) maka asa atas kesinambungan eksistensi media tradisional akan tetap tumbuh. Ridwan kemudian memberikan penekanan atas kecenderungan praktik yang sekarang ini terjadi di media konvensional yang sering mengutip sumber-sumber dari berita dalam jaringan.

(9)

Fenomena lain ditangkap juga oleh narasumber 3, Pangeran Ahmad Nurdin. Dia melihat pola isu yang seringkali berawal di dalam jaringan (termasuk media sosial) hingga membesar, namun tetap berkonklusi di media konvensional. Artinya, media baru masih cenderung menjadi platform beredarnya informasi yang masih dangkal dan kurang komprehensif. Orang masih akan mencari media konvensional untuk kemudian mencari konklusi lengkapnya.

Tabel 2.Pandangan terkait Pengaruh Media Baru pada Praktik Jurnalistik

PANDANGAN POSITIF PANDANGAN NEGATIF

Kerja lebih cepat Akurasi dan obyektivitas produk jurnalistik Kerja lebih efisien Feedback langsung: polarisasi informasi/diskusi

atas berita/artikel yang diturunkan Meningkatkan akses riset dan analisis Kredibilitas informasi

Memfasilitasi kolaborasi antarwartawan User bisa menjadi gatekeeper sendiri untuk menyebarkan informasi/berita

Feedback langsung: memperkuat hubungan dengan audiens, narasumber, dan

antarwartawan

Feedback langsung: membuka pekuang diskusi dengan audiens, narasumber, dan

antarwartawan

c. Kemunculan Praktik-Praktik Baru

Keempat narasumber menekankan sebuah kesepahaman bahwa teknologi media baru memberikan suatu budaya baru dalam beberapa aspek terkait praktik kerja jurnalistik.

a. Tweet menjadi Artikel Opini

Mereka sepakat bahwa teknologi media baru merupakan alat efektif untuk menggali ide penulisan berita. Isu yang beredar di internet baik di blog dan media sosial, dapat dijadikan sumber ide untuk menulis.

Bagi Pangeran Ahmad Nurdin, media sosial tidak hanya mempermudah akses terhadap narasumber, namun lebih jauh dapat digunakan sebagai semacam “tools for ideas” atau alat untuk menggali ide. Sebagai redaktur opini, dia memaparkan bahwa sosial media, seperti twitter dapat digunakannya untuk mengetahui gagasan seorang narasumber (mulai dari ekonom, pakar politik hingga politisi) yang berpotensi untuk diminta mengembangkan tweet-tweetnya menjadi sebuah artikel opini menarik di Koran Sindo.

Misalnya saya melihat kayak orang-orang [pakar, ekonom, politisi] biasa nulis begitu. Mereka ngetweet-ngetweet pendek begitu. Waktu itu sepuluh tweet begitu dan menarik, [lalu] saya telpon.. ‘tolong dong kembangkan yang di tweet jadikan tulisan misalnya. Dan itu sering seperti begitu. Bahkan itu jadi cara saya untuk tahu mereka lagi mikirin[gagasan] itu..

(FGD, 2/11/14)

Pangeran mengakui bahwa era media baru yang memungkinkan narasumber memiliki akses langsung ke publik turut berimbas bagi desk opini. Kehadiran blog pribadi, atau note di media sosial membuat siapa pun dapat menyebarkan gagasan berupa artikel opininya kepada khalayak luas tanpa dimediasi atau dijembatani oleh kehadiran media. Namun, dia tidak pesimistis terhadap kondisi ini.

(10)

sebaiknya tulisan itu ditawarkan terlebih dulu di koran, lalu baru ditampilkan di blog. Hal ini dapat meningkatkan kredibilitas penulis dan tulisannya.

Kadang-kadang saya ngontak beberapa [penulis opini] , saya becandain begini ‘mas, masak itu dipasang di blog doang? Harusnya dorong di saya dulu, baru posting di blog juga, pasang di Sindo.

(FGD, 2/11/14)

b. Memberitakan Newsmaker di Dunia Maya

Menurut narasumber 1, M. Ridwan, wilayah peliputan wartawan sekarang makin luas tidak hanya melaporkan peristiwa dan gagasan di dunia nyata saja namun juga di dunia maya. Dalam kaitan dengan hal ini, dia mengungkapkan perlunya bagi wartawan untuk mengamati perilaku-perilaku para user di dunia maya yang justru kemudian memiliki nilai berita. Menurut Ridwan, user seringkali kemudian menjadi newsmaker akibat perilaku dan „tutur-katanya‟ di media sosial. Dia mencontohkan salah satu kasus terbaru, yaitu kasus Arsyad, seorang pekerja warung sate yang berurusan dengan polisi akibat mengunggah meme Jokowi yang bernuansa asusila.

User itu sebenarnya bisa menjadi newsmaker.. new media adalah newsmaker. Orang yang tidak dikenal sekalipun bisa menjadi terkenal.

(FGD, 2/11/14)

c. Mengakses narasumber dari dunia maya

Teknologi media baru telah menyediakan akses luas atas sumber berita yang beragam. Dalam praktik jurnalistik tradisional saat mengumpulkan bahan mentah berita, misalnya, wartawan sering harus mengalami proses yang tidak mudah. Wawancara dengan narasumber berita misalnya, harus dilakukan dengan prosedur yang berbelit, memakan waktu, dan tidak efisien. Namun, sekarang, wartawan dapat memiliki akses lebih mudah terhadap narasumbernya dengan melakukan kontak via chat, email, atau sosial media. Narasumber 2, Sugeng Wahyudi, menuturkan manfaat yang besar memiliki beragam akun sosial media atas dasar alasan memperoleh peluang akses menembus beragam narasumber.

Tapi sekarang.. sosial media banyak orang buka twitter.. pejabat-pejabat segala macam.. kalau kita menjadi follower-nya dan sering mengikuti perkembangannya dan dekat, dengan kita sekadar [tanya] ‘Pak, boleh nggak kita wawancara?’ Biasanya direspon, ‘Oh ya silakan.’ Nah, dengan cara seperti itu, wa wancara tidak perlu bertemu tetapi bisa lewat inbox di twitter atau kemudian cara-cara yg lain.

(FGD, 2/11/14)

Demikian pula narasumber 3, Syarifudin yang mengakui manfaat menggunakan internet, termasuk sosial media untuk mendapatkan akses sumber berita yang tak terbatas. Namun dia mengingatkan untuk tetap melakukan verifikasi serta cek dan ricek atas akun atau pun informasi yang dia dapatkan melalui internet, termasuk sosial media.

Narasumber 4 (Pangeran Ahmad Nurdin) dan narasumber 1 (M. Ridwan) menegaskan bahwa soal “verified account” di media sosial ini harus benar-benar dapat dibuktikan sebelum wartawan dapat menjadikannya sumber berita, termasuk jika harus mengutip pernyataan dari sebuah tweet atau status narasumber berita melalui akun media sosial mereka.

d. Diseminasi portofolio via media sosial

(11)

e. Feedback sebagai ruang diskusi

Interaktivitas dan kesegeraan (immediacy) umpan balik (feedback) yang ditawarkan oleh teknologi media baru kini banyak dimanfaatkan oleh wartawan. Keempat narasumber mengakui bahwa mereka sering memanfaatkan platform media baru untuk melakukan interaksi dan diskusi dengan narasumber, audiens, atau dengan wartawan lain. Mereka mengakui bahwa dari interaksi dan diskusi inilah kemudian justru sering mendapatkan ide-ide baru untuk topik liputan atau tulisan.

Narasumber 4, Syarifudin menilai perlunya kemudian media konvensional membolehkan wartawannya untuk mencantumkan akun email atau jejaring sosial sebagai pelengkap “byline” agar dapat beinteraksi dengan pembaca. Sayangnya koran besar seperti Sindo masih belum mengeluarkan kebijakan itu.

5. Kesimpulan

Kehadiran teknologi baru tak bisa dimungkiri berdampak pada praktik kerja jurnalistik hingga ada nilai-nilai keprofesian yang tergerus. Di aspek kognitif, wartawan di era sekarang mutlak memerlukan penguasaan piranti lunak dan keras untuk dapat mempermudah proses kerja mereka mulai dari tahapan penggalian ide, akses sumber berita, diseminasi, hingga memperoleh umpan balik.

Secara umum, terdapat pandangan positif atas dampak dari teknologi media baru terhadap praktik kerja jurnalistik. Sementara pendapat yang negatif muncul lebih pada aspek akurasi, obyektivitas, kredibilitas, dan fungsi gatekeeper yang terdegradasi karena semua bisa menjadi wartawan era media baru ini.

Praktik-praktik baru sebagai dampak dari teknologi media baru muncul dalam ragam bentuk aktivitas yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, terutama dalam praktik media tradisional. Dalam penelitian ini juga terungkap pengakuan atas tergerusnya nilai-nilai keprofesian wartawan akibat dampak media baru. Salah satu cara yang dinilai mampu melanggengkan eksistensi adalah penguatan dan ketajaman jurmalistik yang dalam dan komprehensif.

Daftar Pustaka

Bardoel, J. (1996). The Internet, Journalism and Public Communication Policies pada International Communication Gazette October 2002, 64 (5), 501-511

Black, Jay and Jennings Bryant. (1995). Introduction to Communication. Fourth Edition, Brown and Benchmark Publisher Boyd-Barret, Oliver. (1970). “Journalism and Training: Problems in Professionalization” dalam Jeremy Tunstall, The

Sociology of Social Welfare Series-Media Sociology. Redwood Burn Limited-Trowbridge & Esher. Hlm. 181-201 Dahlgren, P. (1996). “Media Logic in Cyber Space: Repositioning Journalism and Its Public” dalam Javnost/The Public, 3

(3), 59-62.

Deuze, Mark (1999). Journalism and the Web: An Analysis of Skills and Standards in an Online Environment, Gazette, 61 (5): 373-390

Deuze, Mark. (2001). Online Journalism: Modelling the First Generation of News Media on the World Wide Web. <http://www.firstmonday.dk/issues/issue6_10/deuze/> Akses: 25 April 2009.

Deuze, M. et al. (2007). „Preparing for an Age of Participatory News,‟Journalism Practice, 1(3):322-338

Hill, David T and Krishna Sen. (2000). Media, Culture and Politics in Indonesia. South Melbourne: Oxford University Press. Latour, B. (2005), Reassembling the Social: An Introduction to Actor -Network Theory, Oxford, UK: Oxford University Press Law, J. (1999), „After ANT: Topology, Naming and Complexity‟ dalam J. Law and J. Hassard (editor) Actor Network Theory

and After, Oxford and Keele, Blackwell and the Sociological Review, 1-14 Lasica, J. D. (2001). “Taking Ethics to the Net” in Quill, July/August 2001, 89 (6).

Lloyd, J., & Seaton, J. (2006). What can be done? Making the media and politics better. Oxford: Blackwell. Pavlik, J. (2001), Journalism and New Media, New York: Columbia University Press

Quinn, S. (2004), „Convergence's fundamental question‟, Journalism Studies, 6(1), 29-38

Singer, J. (2011), Journalism and Digital Technologies dalam Lowrey W. and P. Gade (editor) Changing the News The Forces Shaping Journalism in Uncertain Times, New York: Routledge, 213-229

Schudson, M. (2005). „Four approaches to the sociology of news.‟ dalam J. Curran & M. Gurevitch (editor). Massmedia and Society (4th edition) London: Hodder Arnold., 172-197.

Spyridou, Lia Paschalia et. al. “Journalism in a state of Flux: Journalists as Agents of Technology Innovation and Emerging News Practices” dalamInternational Communication Gazette. February 2013, 75 (1), 76-98.

Ward, Mike (2002). Journalism Online. Oxford: Focal Press

Gambar

Tabel 1. Level Literasi Perangkat Lunak Narasumber  2 Menguasi
Tabel 2.Pandangan terkait Pengaruh Media Baru pada Praktik Jurnalistik PANDANGAN NEGATIF Akurasi dan obyektivitas produk jurnalistik

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil uji statistik nilai warna yang paling bermakna yaitu F0 dengan F3 dikarenakan terdapat perbedaan komposisi daging kijing dan wortel yang lebih banyak pada F3,

Bentuk pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan di PT XL Axiata yang sudah dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang berlaku yakni ketentuan Undang-Undang Nomor

Jenis penelitian ini adalah penelitian non eksperimental dengan desain cross sectional dan pengukuran variabel juga dilakukan pada saat yang sama (Sastroasmoro

Pengolahan data dengan menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Range Test menunjukkan bahwa sebagian besar anak yaitu sebanyak 24 anak (77,42%) mengalami perubahan

Metode istinbāṭ fikih perempuan kontemporer, meskipun berbeda dengan usul fikih jumhur ulama, namun bukan sesuatu yang baru dalam usul fikih. Metode tersebut

Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa nilai signifikan sebear 0,0220 &lt; alpha 0,05 maka keputusannya adalah Ho ditolak dan H 3 diterima sehingga dapat disimpulkan

APARAT SIDAK Mengantisipasi peredaran beras plastik, jajaran aparat Kelurahan Tegal Alur, Kalideres bersama polisi dan TNI sidak di dua pasar tradisional di wilayah

Dengan demikian penelitian ini diharapkan mendapatkan suatu sistem pengelolaan sampah yang baik secara teknis maupun secara ekonomis dan tidak menimbulkan dampak