Perantauan
Sekolah Filial untuk Anak-anak TKI
Senin, 29 September 2008 | 00:46 WIB
Aurelius Teluma MSF
Hanya 8.000 dari 26.000 anak TKI di Sabah yang belajar pada pusat bimbingan belajar lembaga nonprofit Humana. Itu pun tidak mendapat ijazah (Kompas, 4/9/2008).
Bagaimana mereka dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi?
Sejauh pengalaman penulis, pembangunan dan pengembangan sekolah-sekolah berfilial di daerah perbatasan kiranya menjadi sebuah solusi yang efektif.
Di Sinjaya, di dekat kota Nabawan-Keningau Sabah—2 jam perjalanan dengan taksi di jalan mulus dari pusat kota Keningau—terdapat sebuah ”kelompok belajar” untuk anak -anak TKI usia 6-13 tahun.
Kini ada sekitar 60 anak yang terbagi dalam 4 kategori dengan 3 pendamping. Mereka belajar di emperan sebuah gereja kecil di tengah hutan bekas kamp pekerja perusahaan kayu balak atau Somel.
Semula kelompok ini hanya semacam kelompok bina iman oleh tenaga-tenaga pastoral dari Komisi Migran dan Perantau Keuskupan Tanjung Selor-Kalimantan Timur dalam kunjungan mereka tahun 2002. Anak-anak TKI di kamp-kamp terdekat dan beberapa anak tempatan (sebutan untuk masyarakat suku asli) dari Dusun Pandiwan dikumpulkan untuk mendapat pendidikan iman. Namun, hampir semua anak itu buta huruf.
Bersama orangtua disepakati, kelompok ini dikembangkan menjadi kelompok belajar membaca, menulis, dan berhitung. Target awal adalah agar mereka dapat membaca teks-teks perayaan keagamaan. Akan tetapi, kemudian diupayakan mempelajari aneka mata
pelajaran sekolah dasar (SD). Dua bapak yang dianggap berpendidikan lebih dan
bersedia menjadi relawan dijadikan ”tenaga pengajar”. Kelompok ini berkembang pesat,
Anak-anak itu tak mungkin melanjutkan pendidikan di Indonesia jika tidak memiliki surat keterangan apa pun. Anak-anak TKI yang sempat mengenyam pendidikan dasar di ”SD”
maupun ”SMP” milik Sabah karena mengantongi ”surat lahir”—karena lahir di Malaysia—
tetap akan kesulitan ketika berusia 16 tahun karena surat lahir itu habis masa berlakunya. Umumnya mereka tak dapat lulus dari sekolah setingkat SMP, apalagi mengantongi Sijil Kelulusan.
Adalah Yayasan Gabriel Manek, SVD Cabang Nunukan, milik para biarawati Puteri-Puteri Reinha Rosari yang mengelola TK-Playgroup, SD, dan SMP Fransisco-Yashinta di
Nunukan membantu dengan menjadikan Kelompok Belajar Sinjaya ”anak angkat” SD
Fransisco-Yashinta. Kelompok belajar di Sinjaya dijadikan sekolah filial SD Fransico-Yashinta Nunukan. Caranya? Kelompok dibagi ke dalam tingkatan kelas hingga kelas 4 SD. Kurikulum mengikuti sekolah induk dan sekolah induk menyiapkan buku-buku
pelajaran dan pedoman belajar-mengajar lainnya. Pembiayaan pendidikan seperti gaji
”guru” diatur bersama orangtua anak-anak itu.
”Lulus” dari kelas 4, mereka berhak melanjutkan ke kelas 5 dan 6 di SD
Fransisco-Yashinta Nunukan. Yayasan menyediakan pula asrama dengan pendamping bagi anak-anak. Tantangan terbesar adalah kemiskinan para orangtua anak-anak yang notabene buruh perkebunan. Yayasan terseok-seok jika harus menalanginya. Di sini pemerintah seharusnya membuktikan keberpihakannya pada rakyat kecil.
Peran pemerintah
Pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Nunukan dan Provinsi Kalimantan Timur, sejauh penulis alami telah mulai memberi sedikit harapan dalam menjawab kisah kecil di atas melalui kiprah Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, maupun Satgas TKI. Misalnya beasiswa bagi anak-anak TKI maupun eks-TKI yang belajar di Nunukan dan bantuan untuk asrama anak-anak, serta pelatihan untuk para tutor yang beranggotakan guru-guru Yayasan Gabriel Manek dan Hidayatullah Nunukan.
Sebuah langkah awal baik, meski risiko kebuntuan tetap ada. Mengembangkan ”kisah kecil” di atas, menurut hemat saya, menjadi sebuah langkah praktis yang efektif.
Hal pertama yang bisa dilakukan pemerintah adalah mendorong, memberdayakan, dan
mengembangkan sekolah-sekolah dasar di perbatasan untuk memiliki ”anak angkat”— kelompok-kelompok belajar di wilayah Malaysia, termasuk yang digarap pemerintah dan
Sekolah Indonesia yang akan dibangun di Kinabalu oleh Mendiknas (Kompas, 4/9/2008) sangat perlu memiliki sekolah filial di sudut-sudut Sabah agar dapat dinikmati semakin
banyak anak TKI. Pemerintah dapat menentukan: ”anak-anak” mana menjadi ”anak
angkat” sekolah yang mana. Pemberdayaan bisa dikembangkan melalui pemberian
beasiswa dan pembangunan asrama-asrama bersubsidi.
Hal kedua adalah peningkatan program persamaan ”kejar paket”, terutama A dan B, di
wilayah perbatasan. Penyelenggaraan Kejar Paket A dan B yang rutin, terencana, dan terpadu— ada proses persiapan dan penyetaraan kelas—kiranya dapat membantu anak-anak itu melanjutkan pendidikan. Paling tidak mereka memegang bukti tertulis yang diakui negara dan masyarakat bahwa mereka pernah bersekolah!
Langkah-langkah ini tidak mudah… dan mahal! Tetapi, harus diperjuangkan karena
anak-anak TKI tetaplah generasi sah penerus bangsa ini. Mereka adalah anak-anak-anak-anak dari warga negara yang banyak menyumbang devisa untuk negara sehingga pantas mendapat penghargaan. Seorang anak pekerja patut menikmati buah pekerjaan orangtuanya, termasuk yang telah disetorkan kepada negara; entah anak TKI maupun bukan!