BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DI INDONESIA
A. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
1. Pengakuan Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana
Menurut Utrecht dan Moch. Soleh korporasi adalah ”Suatu gabungan orang
yang dalam pergaulan bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek tersendiri suatu
personifikasi. Korporasi adalah badan yang beranggota, tetapi mempunyai hak
kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing”.60
Selanjutnya menurut Wiryono Prodjodikoro, korporasi adalah suatu perkumpulan
orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang
manusia yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota-anggota juga mempunyai
kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan
yang tertinggi dalam peraturan korporasi.61
Korporasi sebagai badan keperdataan dapat dirinci dalam beberapa golongan,
dilihat dari cara mendirikannya dan peraturan perundang-undangan sendiri, yaitu:
a. Korporasi egoistis, yaitu korporasi yang menyelenggarakan kepentingan para
anggotanya, terutama kepentingan harta kekayaan, misalnya Perseroan Terbatas,
Serikat Pekerja;
b. Korporasi yang altruistis, yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan
kepentingan para anggotanya, seperti perhimpunan yang memperhatikan
60
Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 189.
61
nasib orang-orang tuna netra, tuna rungu, penyakir TBC, penyakit jantung, Taman
Siswa, Muhamdiyah dan sebagainya.62
Berbicara tentang tindak pidana korporasi (corporate crime), maka diartikan di
sini adalah:
“organization crime occur in the context of complex relationship and
expectations among boards of directors, executive, and manager, on the other
hand, and among parent corporations, corporate divisions, and subsidiaries,
on the other.”63
Artinya adalah kejahatan organisasi terjadi dalam konteks hubungan yang
kompleks dan harapan antara dewan direksi, eksekutif, dan manajer di satu sisi, dan di
antara perusahaan induk, divisi perusahaan, dan anak di sisi lain. Berdasarkan hal
tersebut, maka unsur-unsur dalam definisi tersebut adalah: kejahatan organisasi, dewan
direksi, eksekutif, manajer, perusahaan induk, divisi perusahaan dan anak perusahaan.
Dalam literatur sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan
salah satu bentuk white collar crimes.64 Dalam arti luas, kejahatan korporasi ini sering
rancu dengan tindak pidana korporasi, sebab seringkali kombinasi antara ke-duanya
sering terjadi. Bentuk-bentuk tindak pidana yang dapat dilakukan sangat beraneka
ragam, dan sering kali bernilai ekonomis (pajak, lingkungan hidup, pelanggaran hak
62
Neni Sri Imaniyati, Op. Cit., hlm. 190. 63
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit., hlm. 243. 64
Cybercrime dalam pengertian secara kriminologis adalah segala perbuatan menyimpang (dari norma-norma kemasyarakatan) yang dilakukan dengan menggunakan atau dalam kaitan dengan sistem atau jaringan komputer, yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain. Pengertian secara kriminologis ini jauh lebih luas dari pengertian cybercrime secara yuridis yang mensyaratkan adanya peraturan perundang-undangan pidana yang secara tegas mengatur tentang hal itu. Dalam pengertian tersebut cybercrime dapat meliputi kejahatan-kejahatan yang dilakukan: (a) dengan menggunakan sarana-sarana dari sistem atau jaringan komputer, (b) di dalam sistem atau jaringan komputer, dan (c) terhadap sistem atau jaringan komputer. Lihat Barda Nawawi Arief, Antisipasi Penanggulangan
konsumen, penyuapan, dan sebagainya) dengan skala dan ruang lingkup korban yang
sangat luas. Korbannya dapat meliputi konsumen, sistem ekonomi, lingkungan hidup,
buruh, dan pemerintah sendiri. Untuk jelasnya harus dibedakan pembedaan antara:
a. Crimes for corporation;
b. Crimes against corporations, dan
c. Criminal corporations.65
Yang pertama di atas, sebenarnya yang merupakan kejahatan korporasi
(corporate crime). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa corporate crimes are clearly
committed for the corporate, and not against. Yang kedua ini sering dinamakan
employee crimes, sedangkan yang ketiga merupakan korporasi yang sengaja dibentuk
dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan.
Dengan melihat aspek-aspek di atas, atas dasar pengamatan, dapat disimpulkan
bahwa kerugian yang ditimbulkan bisa bersifat fisik, ekonomi dan sosial (cost).
Konsekuensi fisik dapat terjadi dalam kecelakaan-kecelakaan sebagai akibat tidak
dipenuhinya persyaratan keselamatan kerja, terjadinya corporate violence,yakni
behavior producing an unreasonable risk of physical harm to consumers, employees
or other persons as a culpable negligence on their part.66
Konsekuensi yang bersifat ekonomis tidak dapat diragukan lagi, mengingat
profil merupakan motivasi utama terjadinya kejahatan korporasi, sedangkan kerugian
sosial dapat dikaji dari pernyataan Conclin, pensiunan President on Law Enforcement
and Administration of Justice Amerika Serikat bahwa “such offences are the most
threatening of all-not just effect on the moral standards by which American business is
65
Ibid. 66
conducted”.67Bahwasanya pelanggaran tersebut adalah yang paling mengancam dari
semua, bukan hanya berpengaruh pada standar moral tetapi juga dalam bisnis yang
dilakukan Amerika.
Berdasarkan pengalaman di berbagai negara maju, maka identifikasi kejahatan
korporasi dapat mencakup tindakan-tindakan pidana antara lain pelanggaran
undang-undang antimonopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai,
pelanggaran harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, pelanggaran
administratif, pencemaran lingkungan hidup, korupsi (penyuapan), perburuhan dan
sebagainya.
Berdasarkan di atas, tampak bahwa apa yang dilakukan oleh korporasi di atas
(corporate crimes) pada hakikatnya merupakan tindak pidana di lingkungan hukum
ekonomi yang di Indonesia dapat meliputi tindak-tindak pidana tersebut pada
Undang-Undang Nomor. 7 Drt. Tahun 1955, maupun ketentuan-ketentuan hukum ekonomi lain
yang berkembang di luar undang-undang tersebut, misalnya ketentuan tentang hak
cipta, perpajakan, lingkungan hidup, dan lain-lain.
2. Tindak Pidana Korporasi
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dalam hukum positif sudah diakui
bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan dapat dijatuhkan
pidana. Bahwasanya, korporasi sebagai badan hukum, maka itu juga berarti korporasi
adalah subjek hukum. Oleh karena itu, dapat dimintai pertanggungjawabab secara
pidana. Di negara Belanda, untuk menentukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana
berdasarkan pada Arrest “Kleuterschool Babbel”, yang menyatakan bahwa perbuatan
67
dari perorangan/orang pribadi dapat dibebankan pada badan hukum/korporasi, apabila
perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan dari badan
hukum.68 Perbuatan tersebut harus merupakan bagian dari kebijakan suatu badan
hukum atau korporasi.
Pada dekade sekarang pendapat tentang korporasi sebagai pelaku tindak pidana
didasarkan pula pada ijzerdraad-arrest (H.R. 23-2-1954, N.J. 1955, NR.378) di negara
Belanda. Manajer sekaligus kepala bagian belanja sebuah perusahaan ekspor pada
tahun 1952 hendak memperoleh izin ekspor dan/atau devisa untuk mengekspor
sejumlah partai kawat yang dilapisi seng ke Finlandia. Untuk keperluan itu, ia mengisi
formulir yang dialamatkan kepada dinas impor dan ekspor pusat di Gravenhage
dengan menerangkan bahwa barang tersebut berasal dari Negara Belanda, yang
sepenuhnya dibuat di perusahaannya sendiri di negeri Belanda, walaupun
barang-barang itu diimpor dari Belgia dengan membayar memakai valuta Belgia. Di hadapan
pengadilan pemilik perusahaan yang pemiliknya memang tunggal, bahwa dialah
sebagai pemilik perusahaan itu bertanggungjawab mengenai apa yang telah dilakukan
oleh manajer ekspor sekaligus kepala belanjanya (kepala pemasaran), pada tahun 1952
telah diserahi kekuasaan penuh. Karena dia telah menyerahkan kepadanya untuk
mengurusi masalah ekspor dan untuk meminta izin ekspor dan devisa.69
Pengadilan rendah menjatuhkan pidana bagi pengusaha tersebut, dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa apa yang ada dalam suatu perusahaan dengan
68
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 263.
69
pemilik tunggal apabila bawahannya melakukan suatu perbuatan yang masih dalam
hubungan kerja, sebagai akibat dari perintah umum, dalam suasana perusahaan itu
harus dianggap sebagai dilakukan oleh pemilik perusahaan yang merupakan milik
tunggal tersebut.
Pada tingkat banding, pengadilan menjatuhkan pidana pada si pemilik
perusahaan tersebut. Adapun pertimbangannya menyatakan bahwa apabila hukum
pidana dalam bidang ekonomi sering menggunakan istilah kolektif, hampir selalu
orang-orang melakukan perbuatan secara tidak langsung. Akan tetapi sering kali
melalui seseorang atau lebih perantara, sehingga mengakibatkan bahwa yang dianggap
sebagai “pleger” dari perbuatan yang terlarang tersebut ialah pemilik perusahaan.
Walaupun pemilik perusahaan itu tidak mengetahui terjadinya perbuatan terlarang
tersebut, yang sesungguhnya ia tidak memberi perintah secara khusus kepada
bawahannya.
Pada tingkat kasasi H.R. menilai pertimbangan hakim/pengadilan rendahan dan
pengadilan tinggi tersebut sebagai sesuatu yang tidak adil. Bagi H.R., perbuatan dari
bawahannya tersebut hanya dapat ditetapkan sebagai perilaku tertuduh, apabila
tertuduh dapat mengatur apakah perbuatan itu akan terjadi atau tidak dan perbuatan itu
termasuk perbuatan-perbuatan yang terjadi menurut perkembangan selanjutnya oleh
tertuduh diterima atau biasa diterima. Sebagai dasar dari pertimbangan tersebut,
menurut H.R. bahwa dalam hukum pidana Belanda seorang pribadi tidak pernah
dianggap memunyai maksud dan tujuan tertentu, apakah keadaan kejiwaannya tidak
hadir secara pribadi. Tingkah laku pegawai hanya dianggap sebagai tingkah laku
walaupun tidak terjadi, dan kecuali itu tingkah laku termasuk yang sedemikian rupa
yang diterima olehnya atau biasa diterima olehnya.Sehingga berdasarkan “ijzerdraad
arrest,” H.R. berpendapat bahwa segala kesalahan yang terjadi dalam suatu
perusahaan (korporasi), dapat dianggap sebagai risiko dari pengusaha, jadi sebagai
kelanjutan yang normal dalam melakukan pekerjaan dari suatu organisasi.
Berdasarkan putusan H.R. tersebut dapat diambil dua kriteria untuk
menetapkan tanggung jawab pemilik perusahaan sebagai pemilik tunggal terhadap
suatu tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya. Kriteria tersebut ialah:
1. Tertuduh dapat mengatur apakah perbuatan-perbuatan tersebut terjadi atau tidak.
2. Perbuatan itu termasuk perbuatan yang terjadi menurut perkembangan selanjutnya
oleh tertuduh diterima atau biasa diterima.70
Berdasarkan kriteria tersebut dapat digunakan dalam delik-delik fungsional, di
mana pembuat fungsional dapat menempati kedudukan sebagai “pleger” (pelaku).
Persoalan selanjutnya adalah apakah kedua kriteria tersebut dapat diterapkan pada
korporasi? Pertama-tama dilihat pada kriteria kewenangan dari pemilik perusahaan.
Dengan kewenangan yang ada padanya pemilik perusahaan seharusnya mampu
mencegah dilakukannya perbuatan terlarang dari bawahannya. Apabila ia tidak
menggunakan kewenangannya untuk itu, maka dalam hal ini ia dapat
dipertanggungjawabkan atas delik yang dilakukan oleh bawahannya. Apabila kriteria
pertama sudah dipenuhi, maka tidaklah sulit untuk menerima berlakunya kriteria
kedua. Sebab pemilik perusahaan yang tidak berusaha untuk mencegah dilakukannya
perbuatan terlarang oleh bawahannya secara terus-menerus, berarti ia telah menerima
70 Muladi, Dwidja Priyatno,…
atau biasa menerima perbuatan tersebut. Sehingga dengan demikian pemilik
perusahaan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.Berdasarkan pola
pikiran tersebut, maka harus dapat diterima konstruksi pada korporasi sebagai pelaku
dan dapat dipertanggungjawabkan.71
Sehubungan dengan kepelakuan korporasi, Roling menyatakan suatu tindakan
apabila mau diperlakukan terhadap badan hukum, agar tidak janggal, harus sesuai
dengan tugas dan tujuan dari badan hukum, seperti yang terdapat dalam anggaran
dasarnya.72 Berkaitan dengan hal tersebut, D. Schaffmeister tentang kepelakuan badan
hukum/korporasi menyatakan bahwa kepelakuan pidana dari badan hukum tak akan
diterima secara cepat, apabila tindakan dalam badan pergaulan masyarakat tidak
dipandang sebagai perilaku dari badan hukum. Juga apabila unsur-unsur dari tindak
pidana badan hukum dipandang sebagai pelaku, diketemukan tersebar pada sejumlah
banyak orang dan perbuatan yang dilakukan itu dibatasi tidak pada seseorang atau
beberapa orang dalam badan hukum tersebut, kriteria pergaulan masyarakat akan
sangat penting menentukan kepelakuan pidana.73
Perundang-undangan di Indonesia untuk menentukan kepelakuan suatu
korporasi dapat dilihat pada Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun
1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang
lebih dikenal dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dengan
menggunakan peraturan, yaitu pertama berdasarkan hubungan kerja atau hubungan
lain, kedua berdasarkan bertindak dalam lingkungan badan hukum, penjelasan dan
71
Ibid., hlm. 128. 72
D. Schaffmeister, Het Daderschap…Op. Cit., hlm. 42. 73
uraiannya secara panjang lebar sudah penulis kemukakan di muka dalam pembahasan
tentang sifat pertanggungjawaban pidana korporasi.
Dengan diterimanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sudah tentu
timbul konsekuensi khususnya tentang pertanggungjawabab pidananya.Apakah
kesalahan terdapat pada korporasi sebagai konsekuensi diterimanya asas kesalahan
pada korporasi, maka timbul suatu pertanyaan, yaitu apakah korporasi dapat
mempunyai kesengajaan atau kelalaian? Untuk itu penulis akan membahas tentang
masalah kesengajaan dan kealpaan pada korporasi.
Apabila suatu badan hukum dituntut melakukan suatu tindak pidana, baik yang
dilakukan dengan kesengajaan maupun kealpaan, pertanyaan yang akan timbul apakah
dan bagaimanakah badan hukum/korporasi yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan
(menselijke psyche), dan unsur-unsur psychis (de psychische bestanddelen), dapat
memenuhi unsur-unsur kesengajaan atau “iopzet” dan kealpaan?74
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan mengemukakan pendapat
beberapa sarjana di negara Belanda yang sudah maju pengaturan tentang korporasi
sebagai subjek tindak pidana. Menurut D. Schaffmeister, sangat sulit untuk
menentukan kapan suatu badan hukum terdapat apa yang disebut dengan kesengajaan.
Selanjutnya beliau menyatakan, kesengajaan pada badan hukum pertama-tama
berbeda, apabila kesengajaan itu pada kenyataannya terletak dalam politik perusahaan,
atau berada dalam keadaan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu. Torringa dalam
hubungan ini mengatakan adanya suatu macam “suasana kejiwaan” (psychesch
klimaat) yang dapat berlaku dalam suatu badan hukum. Hal ini mengingatkan pada
74
suatu perseroan tertutup dengan pimpinan kembar (koppelbazen B.V.), yang “didirikan
untuk melakukan kekacauan” (op belazeren is ingericht). Juga dapat terjadi pada
perusahaan pengangkutan di mana berlaku pemikiran bahwa perusahaan tidak dapat
berjalan tanpa melanggar undang-undang “waktu penggunaan kendaraan”
(rijtijdenwet). Oleh karena itu, dengan melihat kenyataan tersebut, maka perusahaan
tidak dapat menjalankan perusahaannya.75
Menurut D. Schaffmeister, kejadian tersebut harus diselesaikan dengan
konstruksi pertanggungjawaban (toerekeningsconructie), kesengajaan dari perorangan
(natuurlijk person) yang bertindak atas nama perserikatan/badan usaha (corporatie), di
mana dapat menimbulkan kesengajaan dari badan hukum tersebut. Arrest Bijenkorf
(H.R 14 Maret 1950 N.J. 1952, 656) menyatakan, bahwa kesengajaan dari suatu organ
dari badan hukum dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum.76
Adapun menurut Remmelink, bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar
anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin
sebagai kesengajaan bersyarat dan bahwa kesalahan ringan dari setiap orang yang
bertindak untuk korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan
besar dari korporasi itu sendiri.77
Hal senada diungkapkan pula oleh Suprapto, antara lain menyatakan jika
hukum memperkenankan badan-badan melakukan perbuatan sebagai orang-orang
dengan melalui alat-alatnya, maka dapatlah dimengerti bahwa pada badan-badan bisa
didapatkan kesalahan bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang
menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individual, karena hal ini mengenai
badan sebagai suatu kolektiviteit, dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan
kolektif, yang dibebankan kepada pengurusnya.78
Dalam praktik terdapat kemungkinan bahwa badan hukum bertindak alpa,
sedangkan perorangan mempunyai kesengajaan, misalnya jika seorang pengawas
(opzichter) dari suatu perusahaan, guna mengisi kantongnya sendiri (om de eigen
beurs te spekken), menghubungi suatu perusahaan kebersihan sampah yang tidak dapat
dipercaya, sedangkan si badan hukum sama sekali tidak mengawasi pelaksanaan
pembersihan sampah tersebut.79
Adapun bila suatu perusahaan dipimpin oleh empat orang, yang mempunyai
kekuasaan yang sama, H.R. dalam arrest-nya, yaitu Nut-Arrest (H.R. 16 Juni 1981
N.J. 1981/586) mempertimbangkan:
Di dalam pergaulan masyarakat, dianggap secara bersama-sama memberikan pimpinan secara nyata, yang ditujukan bukan untuk dirinya sendiri, melainkan secara bersama-sama di dalam suatu hubungan organisatoris dan bersekutu dengan orang lain secara musyawarah bersama, sesuai dengan perjanjian dan perjanjian yang mereka buat bersama, sehingga menurut pertimbangan Mahkamah (hof), sehingga perbuatan yang satu dapat diperhitungkan terhadap yang lainnya, sehingga tidak menjadi persoalan siapa di antara mereka berempat yang secara nyata melakukan tindakan tersebut, sehingga menjadi perbuatan yang terlarang dari suatu badan hukum, maka dipertanggungjawabkan terhadap mereka yang telah
memberikan pimpinan yang nyata.80
Menurut D. Schaffmeister, bahwa arrest tersebut di atas “memberikan
pengertian yang lebih sempit kepada mereka yang telah memimpin secara nyata
perbuatan terlarang tersebut”, sehingga dalam hal ini tidak perlu digunakan konstruksi
78
Suprapto, Hukum Pidana Ekonomi Ditinjau dalam Rangka Pembangunan Nasional.Disertasi, (Jakarta: Widjaya, 1963), hlm. 37.
79
D. Schaffmeister, Op. Cit., hlm. 26. 80
turut serta melakukan, apabila seseorang dituntut bersama-sama orang lain melakukan
pimpinan.
B.Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 1. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Kesalahan
Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada
diri pembuat ketika melakukan tindak pidana dan menghubungkan antara keadaan
pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan.81
Sehubungan dengan hal itu, Sudarto menyatakan dipidananya seseorang
tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang telah bertentangan
dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Pemidanaan masih diperlukan
syarat-syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum
tersebut haruslah mempunyai kesalahan atau bersalah. Berlaku asas tiada pidana tanpa
kesalahan “Green Straf Zonder Schuld” atau nulla poena sine culpa.82
Pengertian kesalahan dalam hukum pidana, telah banyak diartikan para ahli
hukum. Kesalahan ditempatkan sebagai salah satu unsur dari pertanggungjawaban
pidana. Kesalahan sangat erat hubungannya dengan pemidanaan, sesuai dengan
adagium yang dianut “tiada pidana tanpa kesalahan “Green straf zonder schuld” atau
actus non facit reum nisi mens sit rea. Asas tiada pidana tanpa kesalahan “Green straf
zonder schuld” merupakan asas dalam pertanggungjawaban pidana. Oleh sebab itu,
81
Mahmud Mulyadi, Feri Anton Surbakti, Op. Cit., hlm. 36. 82
dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan pidana, tergantung
adanya kesalahan.83
Penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan “Green straf zonder schuld”,
dalam pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya sejalan dengan doktrin actus non
est reus, nisi mens sit rea yang terdapat dalam common law system yaitu untuk dapat
mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana sangat
ditentukan adanya mens rea pada diri orang tersebut. Kesalahan adalah adanya
syarat-syarat yang berdasarkan celaan pribadi terhadap orang yang melakukan perbuatan.84
Simos berpendapat, kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang
yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut
dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela
karena melakukan perbuatan tadi.85
2. Teori Identifikasi
Dalam rangka mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, di negara
Anglo-Saxon seperti di Inggris dikenal teori direct corporate criminal liability atau
pertanggungjawaban pidana langsung. Menurut teori ini korporasi bisa melakukan
sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat
dengan korporasi dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Dalam keadaan
demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban
83
Mahmud Mulyadi, Feri Anton Surbakti,..Op. Cit., hlm. 36. 84
Adam Chazawi, hlm. 98. 85
korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.86 Teori ini dikenal dengan nama
teori identifikasi.
Teori identifikasi pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari anggota
tertentu dari koperasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap
sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri.87 Teori ini juga berpandangan bahwa agen
tertentu dalam sebuah korporasi dianggap sebagai “directing mind” atau “alter
ego”.88
Perbuatan dan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan
korporasi. Jika individu diberi kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama
menjalankan bisnis korporasi, mens rea para individu itu merupakan mens rea
korporasi.89
Korporasi mempunyai sifat yang mandiri dalam hal pertanggungjawaban
pidana, sehingga tidak bisa disamakan dengan model pertanggungjawaban pengganti
(vicarious liability). Perbedaan ini bisa dilihat pada pertimbangan putusan pengadilan
dalam memutus kasus Tesco Supermarket Ltd vs Natrrass, yaitu:90
“A living person as a mind which can have knowledge or intention or be
negligent and he has hand to carry out his intention. A corporation has none of these; it must act through living persons, through not always one and the same person then the person who act is not speaking or acting for the company. There is no question to the company being vicarious liability. He is not acting as a servent, representative, agent or delegate. He is an ambodiment of the company, or one could say, he hears and speaks through the person of the company, within the appropriate sphere, and his
86
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 154.
87
Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, artikel dalam Jurnal Hukum, Vol. 6 No. 11 Tahun 19999, hlm. 35.
88
Alter ego merupakan istilah dalam Bahasa Latin yang berarti diri yang lain. Ungkapan ini dipakai untuk menunjuk nama samara (pseudonym) atau pribadi orang lain yang secara ideologis dinilai sebagai wakil dari dirinya.
89
Dwija Priyatno, Kebijakan Legislatif tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV. Utomo, 2004), hlm. 89.
90
mind is the mind of the company. If it is a guilty mind then that guilt is the guilt of the
company.”
Bahwasanya orang yang hidup sebagai pikiran yang dapat memiliki
pengetahuan atau niat atau lalai dan dia memiliki tangan untuk melaksanakan niatnya.
Sebuah perusahaan memiliki satu pun dari ini dan itu harus bertindak melalui orang
yang hidup melalui tidak salah satu dan orang yang sama, maka orang yang bertindak
tidak berbicara atau betindak bagi perusahaan tidak ada pertanyaan untuk perusahaan
menjadi kewajiban perwakilan. Dia tidak bertindak sebagai servent, perwakilan, agen
atau delegasi. Dia adalah ambodiment perusahaan, atau orang bisa mengatakan ia
mendengar dan berbicara melalui orang perusahaan, dalam lingkup yang sesuai, dan
pikirannya adalah pikiran perusahaan. Jika itu adalah pikiran bersalah, maka yang
bersalah adalah rasa bersalah dari perusahaan.
Tindakan yang dilakukan individu pada dasarnya bukan mewakili korporasi,
tetapi dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri.Ketika individu melakukan suatu
kesalahan, dengan sendirinya kesalahan itu pada dasarnya adalah kesalahan korporasi.
Jadi, individu identik dengan korporasi.91
Berkaitan dengan hal ini pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa yang
dimaksud identik dengan korporasi. Pertanyaan ini dijawab direkturlah yang identik
dengan korporasi, sehingga dikatakan bahwa tindakan direktur merupakan tindakan
dari korporasi, asal saja tindakan itu masih dalam ruang lingkup pekerjaannya dan
demi keuntungan korporasi.92 Mengapa direksi? Sebab, direksi adalah organ perseroan
yang diberikan kewenangan bertindak atas nama perseroan, baik di muka maupun di
91
Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008), hlm. 52.
92
luar pengadilan. Direksi adalah satu-satunya organ yang melaksanakan fungsi
pengurusan perseroan dan bertanggungjawab untuk kepentingan dan tujuan
perseroan.93 Sedemikian pentingnya organ direksi, sehingga keberadannya ibarat
nyawa bagi perseroan.94
Setiap tindakan pengurusan perseroan yang hendak dilaksanakan direksi harus
dipertimbangkan dengan wajar dari berbagai faktornya. Faktor hukum dan anggaran
dasar sama sekali tidak bisa diabaikan95 karena direksi adalah organ perseroan yang
bisa diidentikkan sebagai perseroan itu sendiri.
Di samping itu, korporasi dalam banyak hal disamakan dengan tubuh manusia.
Korporasi memiliki otak dan pusat syaraf yang mengendalikan apa yang dilakukannya.
Ia memiliki tangan yang memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat
syaraf. Beberapa orang di lingkungan korporasi itu hanyalah ada karyawan dan agen
yang tidak lebih dari tangan dalam melakukan pekerjaannya dan tidak bisa dikatakan
sikap batin atau kehendak perusahaan. Pada pihak lain, direktur dan manajer yang
mewakili sikap batin yang mengarahkan dan mewakili kehendak perusahaan dan
mengendalikan apa yang dilakukan. Sikap batin direktur dan manajer ini merupakan
sikap batin dari korporasi.96
Dalam kasus-kasus di mana undang-undang mensyaratkan kesalahan seseorang
dalam pertanggungjawaban di bidang perdata, kesalahan direktur adalah kesalahan
korporasi juga. Begitu juga dalam bidang hukum pidana.Dalam kasus-kasus di mana
93
Tumbuan, Fred B.G., Tugas dan Wewenang Organ Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas, makalah pada Seminar “Sosialisasi Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas”,
undang-undang mensyaratkan kesalahan (sikap batin jahat) dalam suatu perbuatan
pidana, kesalahan direktur dipandang sebagai kesalahan dari korporasi itu sendiri.
Dengan demikian, untuk tujuan hukum pejabat senior adalah orang yang
mengendalikan korporasi baik sendiri maupun bersama-sama pejabat senior lainnya; ia
mewakili sikap batin dan kehendak korporasi, dan ia dibedakan dari mereka yang
semata-mata sebagai pegawai dan agen korporasi yang harus melaksanakan
petunjuk-petunjuk dari pejabat senior.97
3. Teori Directing Mind
Sehubungan dengan directing mind, Sutan Remy Sjahdeini dengan mengutip
pendapat Little dan Savoline terkait dianutnya teori direct corporate criminal liability
dalam Putusan Mahkamah Agung Kanada dalam perkara Canadian Dredge and Dock
vs The Queen menyebutkan enam asas.98 Pertama, directing mind dari suatu
korporasi tidak terbatas pada satu orang saja. Sejumlah pejabat (officer) dan direktur
dapat merupakan directing mind dari korporasi tersebut.
Kedua, geografi bukan merupakan factor. Dengan kata lain, kenyataan bahwa
suatu korporasi memiliki berbagai operasi (multiple operation) di berbagai lokasi
geografis (memiliki berbagai kantor cabang) tidak akan memengaruhi penentuan
mengenai siapa orang-orang yang merupakan directing mind dari perusahaan yang
bersangkutan. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat mengelak untuk
bertanggungjawab hanya karena dia melakukan operasinya dari suatu lokasi yang
terpisah dari lokasi di mana tindak pidana itu terjadi. Sebagai contoh, perbuatan
97
Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 53. 98
seorang kepala kantor cabang suatu perusahaan yang melakukan tindak pidana
berdasarkan perintah dari atasannya di kantor pusat, directing mind utama kasus ini
adalah kepala kantor cabang tersebut beserta atasannya.
Ketiga, suatu korporasi tidak dapat mengelak untuk bertanggungjawab dengan
mengemukakan bahwa orang atau orang-orang yang melakukan tindak pidana itu telah
melakukan tindak pidana yang bersangkutan meskipun telah ada perintah tegas kepada
mereka agar hanya melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum. Pejabat dan
direktur korporasi memiliki kewajiban untuk memantau perbuatan-perbuatan daripada
pegawainya yang melanggar pedoman umum perusahaan yang melarang mereka
melakukan tindak pidana.
Keempat, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah karena telah melakukan
tindak pidana, orang tersebut harus memiliki kalbu yang salah atau niat yang jahat
(have a guilty mind and/or criminal intent), yaitu yang dikenal dalam hukum pidana
sebagai mens area. Pada umumnya directing mind dan kalbu yang salah ini berada
pada orang yang sama. Namun, menurut teori identifikasi (corporate criminal
liability), pejabat atau direktur korporasi yang merupakan directing mind dari
korporasi tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana apabila
tindak pidana tidak disadarinya.
Kelima, untuk menerapkan teori corporate liability harus dapat ditunjukkan
bahwa:
1. Perbuatan dari personel yang menjadi directing mind korporasi itu termasuk dalam
2. Tindak pidana tersebut bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi yang
bersangkutan; dan
3. Tindak pidana itu dimaksudkan untuk memperoleh atau menghasilkan manfaat
bagi korporasi.
Keenam, pertanggungjawaban pidana korporasi mensyaratkan adanya analisis
kontekstual (contextual analiysis). Dengan kata lain, penentuannya harus dilakukan
kasus per kasus (on a case by-case). Jabatan seseorang atau gelarnya (title) di dalam
perusahaan tidak dengan sendirinya membuat dia bertanggungjawab. Penilaian
terhadap kewenangan seseorang untuk dapat menentukan kebijakan-kebijakan
korporasi atau untuk dapat membuat keputusan-keputusan yang penting harus
dilengkapi di dalam melakukan analisis kontekstual tersebut.
4. Strict Liability
Strict liability diartikan sebagai suatu tindak pidana dengan tidak mensyaratkan
adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus.99 Strict
liability ini merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault).
Dengan substansi yang sama, konsep strict liability dirumuskan sebagai the nature of
strict liability offences is that they are crimes which do not require any mens rea with
regard to at least one element of their “actus reus” (konsep pertanggungjawaban
mutlak merupakan suatu bentuk pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak
mensyaratkan adanya unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu
perbuatan).100
99
Russel Heaton, Criminal Law Texbook, (London: Oxford University Press, 2006), hlm. 403. 100
Barda Nawawi Arief, Perbandingan…hlm. 28. C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal
Pendapat lain mengenai strict liability dikemukakan oleh Roeslan Saleh
sebagai berikut:101
Dalam praktik pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap, jika ada salah satu
keadaan yang memaafkan. Praktik pula melahirkan aneka macam tingkatan
keadaan-keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga
dalam perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk penanganan pidananya
cukup dengan strict liability.
Dalam tindak pidana yang bersifat strict liability yang dibutuhkan hanyalah
dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), dan hal itu sudah cukup menuntut
pertanggungjawaban pidana daripadanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea
karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang harus
dibuktikan adalah actus reus (perbuatan), bukan mens rea (kesalahan).102
L.B. Curzon mengemukakan tiga alasan mengapa di dalam strict liability aspek
kesalahan tidak perlu dibuktikan. Pertama adalah sangat ensensial untuk menjamin
dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan
masyarakat. Kedua, pembuktian adanya mens rea akan menjadi sulit untuk
pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, tingginya
tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.103
Sedangkan Lord Pearce sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie berpendapat bahwa
banyak faktor yang melatarbelakangi pembentukan undang-undang menetapkan
101
Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 21.
102
Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1997), hlm. 63-64.
103
penggunaan strict liability dalam hukum pidana yaitu karena: (1) karakteristik dari
suatu tindak pidana; (2) pemidanaan yang diancamkan; (3) ketiadaan sanksi sosial (the
absence of social obluqoy); (4) kerusakan tertentu yang ditimbulkan; (5) cakupan
aktivitas yang dilakukan; dan (6) perumusan ayat-ayat tertentu dan konteksnya dalam
suatu perundang-undangan.104
Keenam faktor tersebut menunjukkan bahwa betapa pentingnya perhatian
publik (public concern) terhadap perilaku-perilaku yang perlu dicegah dengan
penerapan strict liability agar keamanan masyarakat (public safety), lingkungan hidup
(environment), dan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat (the economic
ineterst of public), termasuk perlindungan konsumen terjaga.105
5. Vicarious Liability
Vicarious liability lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti,
diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah
yang dilakukan oleh orang lain.106 Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious
liability adalah suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang
dilakukan oleh orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam
ruang lingkup pekerjaannya (the legal responsibility of one person for wrongful acts of
another, as for example, when the acts are done within scope of employment).107
Dalam kamus Henry Black, vicarious liability diartikan sebagai berikut:The
liability of an employer fot the acts of an employee, of a principle for torts and
104
Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 363.
105 Barda Nawawi Arief, Perbandingan…
Op. Cit., hlm. 31-32. 106
Sue Titus Reid, Criminal Law, Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1995), hlm. 53. 107
contracts of an agent (pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari pekerja; atau
pertanggungjawaban principal terhadap tindakan agen dalam suatu kontrak).108
Vicarious Liability hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan
(korporasi) hanya bertanggungjawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam
ruang lingkup pekerjaannya.109 Rasionalitas penerapan teori ini adalah karena majikan
(korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka
peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).110
Prinsip hubungan kerja dalam vicarious liability disebut dengan prinsip
delegasi, yakni berkaitan dengan pemberian ijin kepada seseorang untuk mengelola
suatu usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung usaha tersebut, akan tetapi
ia memberikan kepercayaan (mendelegasikan) secara penuh kepada seorang manager
untuk mengelola korporasi tersebut. Jika manager itu melakukan perbuatan melawan
hukum, maka si pemegang izin (pemberi delegasi) bertanggungjawab atas perbuatan
manager itu. Sebaliknya, apabila tidak terdapat pendelegasian, maka pemberi delegasi
tidak bertanggungjawab atas tindak pidana manager tersebut.
Dalam hal direksi telah melaksanakan tindakannya sesuai dengan anggaran
dasar atau ketentuan perundangan-undangan (intra vires), menerapkan fiduciary duty
dan melaksanakan business judgment rule apalagi jika direksi telah mendapatkan
pernyataan Acquit et de charge dari RUPS, maka segala akibat dari tindakannya
merupakan tanggung jawab korporasi, kecuali dapat dibuktikan bahwa direksi telah
melakukan tindakan-tindakan yang tidak melalui prosedur dan tata cara yang
108
Henry Campbell Black, Op. Cit., hlm. 1404. 109
C.M.V. Clarkson, Op. Cit., hlm. 44. 110
diwajibkan oleh korporasi, dilakukan dengan curang (fraud), mempunyai benturan
kepentingan (conflict of interest), mengandung unsur perbuatan melanggar hukum
(illegal) dan merupakan kelalaian berat (gross negligence).111
Terkait dengan hal tersebut di atas, kiranya asas systematische specialiteit
diterapkan dalam menangani kasus-kasus yang bernuansa hukum perdata, sehingga
para penegak hukum dapat dengan tepat mempergunakan parameter apa yang akan
dipergunakan, apakah akan mempergunakan elemen pidana korupsi, pidana umum,
korporasi atau mengembalikan ke elemen perbuatan melanggar hukum perdata.
Dengan demikian untuk kasus-kasus hukum yang melibatkan korporasi, maka
prinsip-prinsip dasar korporasi harus diterapkan sebagai landasan utama untuk
mempertimbangkan kesalahan direksi atau korporasi sehingga prinsip keadilan
benar-benar dapat ditegakkan sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 D ayat (1)
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Alasan-alasan tersebut di atas menurut penulis, tidak dapat digunakan dalam
pertanggungjawaban pidana, kecuali untuk pidana perpajakan. Sebab, dalam korporasi
unsur kerugian negara tidak ada. Tetapi jika terdapat kerugian negara akibat dari
dilakukannya kesengajaan untuk menghindar membayar pajak kepada negara melalui
praktik transfer pricing, maka dapat digunakan pertanggungjawaban pidana.
111