• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI P"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN KEHAKIMAN

(Dalam Perspektif Perbandingan Indonesia dan Korea Selatan)

Sofyan Hadi, Tomy M Saragih

Abstrak

Berubahnya sistem pembagian kekuasaanmenjadi sistem pemisahan kekuasaan berimbas pada kekuasaan kehakiman. Perubahan ini menghasilkan Mahkamah Konstitusi sehingga keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sama halnya dengan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan yaitu berdiri sendiri. Hal ini menunjukkan konsekuensi dari pemerintahan otoriter menuju reformasi konstitusi.

Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, pembagian kekuasaan, pemisahan kekuasaan.

A. Pendahuluan

Dengan diubahnya Undang-Undang Dasar 1945 menyebabkan perubahan sistem pemerintahan di Negara Indonesia,

dari sistem pembagian kekuasaan

(distribution of power) menjadi sistem

pemisahan kekuasaan (separation of power). Suatu negara hanya akan hidup

dan bergerak dinamis jika dijalankan oleh

lembaga-lembaga negara sebagai

pemegang kekuasaan negara. Sedangkan kekuasaan negara itu dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pada tingkat pusat maupun oleh lembaga negara pada tingkat lokal atau daerah. Kekuasaan negara dibagi kepada lembaga-lembaga

negara yang menurut Miriam

Budiardjo(Hamdan Zoelfa, 2012)dapat dibagi dalam dua cara, yaitu secara vertikal (pembagian kekuasaan menurut tingkatannya dan dalam hal ini yang dimaksud adalah pembagian kekuasaan antara bebarapa tingkat pemerintahan). Pembagian kekuasaan ini nampak jelas dapat kita saksikan kalau kita bandingkan antara negara kesatuan, negara federal dan negara konfederasi. Secara horisontal

(pembagian kekuasaan menurut

fungsinya), dimana pembagian ini

menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif yang lebih dikenal dengan trias politica.

Kekuasaan kehakiman adalah

lembaga yang memiliki peranan yang

sangat penting dalam sistem

ketatanegaraan suatu negara. Kekuasaan kehakiman ditujukan untuk menciptakan

checks and balances diantara lembaga

negara lainnya terutama dalam penegakan hukum dan melindungi hak asasi warga negara yang berpotensi untuk dilanggar oleh perbuatan pemerintahan. Kekuasaan

kehakiman memegang peranan yang

penting untuk menjadikan hukum supaya

tidak menjadi alat pelanggengan

kekuasaan. Oleh karena itu, dibutuhkan kekuasaan kehakiman yang bersifat merdeka, mandiri dan independen.

Sebelum UUD 1945 diubah,

kekuasaan kehakiman hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi bagi peradilan di

bawahnya seperti peradilan umum,

peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. Sedangkan pasca perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh

Mahkamah Agung, tetapi dibentuk

lembaga baru yaitu Mahakamah

Konstitusi.

Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 pasca perubahan menentukan:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

(2)

peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Beradasarkan pasal tersebut, pasca perubahan UUD 1945 telah dibentuk dua badan peradilan tertinggi (bifurcation

system) yang merdeka dan independen.

Kedua peradilan tersebut adalah

Mahkamah Agung sebagai puncak

peradilan dalam perkara biasa dan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan ketatanegaraan. Kedua pengadilan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam penyelesaian kasus-kasus yang akan ditangani, karena keduanya juga memiliki kewenangan yang berbeda.

Tulisan ini ditulis dalam perspektif

perbandingan yakni dengan cara

membandingkan eksistensi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Korea Selatan dipilih karena adanya kesamaan sejarah atau latar belakang pembentukan Mahkamah Konsitusi di kedua negara baik di Indonesia maupun di Korea Selatan yakni sama-sama didasari oleh suatu reformasi konstitusi akibat pemerintahan sebelumnya yang sangat otoriter.

B. Pembahasan

Reformasi konstitusi yang terjadi pada tahun 1999 sampai tahun 2002 telah merubah sistem ketatanegaraan Indonesia

secara besar-besaran. Hal ini

dilatarbelakangi oleh keinginan bangsa Indonesia untuk menciptakan sistem berbangsa dan bernegara yang demokratis, berkeadilan, dan melindungi hak-hak asasi warganya yang didasari oleh konstitusi. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut maka lahirlah sebuah lembaga negara yang sangat baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu Mahkamah Konstitusi (constitutional court).

Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada hakikatnya didasari oleh

prinsip-prinsip negara hukum yaitu adanya pembatasan terhadap kekuasaan sehingga tidak menjadi absolut. Kekuasaan harus benar-benar dibatasi oleh hukum sehingga tidak menjadi sewenang-wenang. Hukum harus benar-benar memberikan jaminan bahwa kekuasaan itu dijalankan sesuai dengan hukum (rule of law). Dalam

konteks ini, Mahkamah Konstitusi

diharapkan untuk mampu menjadi

penyeimbang dan pengawas dari sudut

hukum sehingga pemerintah tidak

melanggar hukum dalam melaksanakan fungsinya, khususnya terhadap konstitusi sebagai hukum dasar (basic law of the

land).

Firmansyah Arifin, Lilis Mulyani, dan RM Mihradi (Kunthi Diaw Wardani, 2007:150), mengatakan:

“Pada umumnya latar belakang dibentuknya Mahkamah Konstitusi di beberapa negara dipengaruhi oleh perkembangan dinamika politik hukum dan dorongan kuat untuk menegaskan kontrol serta jaminan terhadap hak asasi manusia. Studi kasus di beberapa negara yang baru mengadopsi lembaga Mahkamah Konstitusi memperlihatkan bahwa Mahkamah Konstitusi dijadikan momentum membangun masyarakat demokratis dan negara hukum. Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan tujuan untuk

menegakkan konstitusi dan

mencegah penafsiran berdasarkan kepentingan penguasa sekaligus menjaga pelaksanaan mekanisme

checks and balances antar lembaga

negara.”

Keberadaan Mahkamah Konstitusi

merupakan fenomena ketatanegaraan

modern abad XXI. Biasanya, lembaga ini didirikan untuk merubah sistem politik

yang otoriter sehingga lebih

demokratis

(

Jimly Asshidiqqie, 2002). Hal

ini menandakan bahwa, Mahkamah

(3)

demokratis dengan berfungsi sebagai pengawas dan penyeimbang terhadap lembaga negara yang lain. Di samping itu

juga, Mahkamah Konstitusi sangat

berperan di dalam memberikan

perlindungan terhadap hak asasi warga negara yang berpotensi untuk dilanggar oleh negara melalui kebijakan yang

dikeluarkan. Ini berarti bahwa,

pembentukan Mahkamah Konstitusi sangat berkaitan erat dengan upaya untuk menegakkan kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat dan dijamin oleh konstitusi. Karena pada hakikatnya pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat adalah pengingkaran terhadap konstitusi.

Pembentukan Mahkamah

Konstitusi dalam konteks

ketatanegaraan Indonesia didasarkan pada alasan faktual, bahwa(Janedjri M. Gaffar, 2009:8):

1). Sebagai konsekuensi dari perwujudan dari negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum;

2). Pasca perubahan kedua dan ketiga UUD 1945 telah merubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of

power) dengan memakai prinsip checks and balances;

3). Kasus pemakzulan terhadap mantan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001 sehingga diperlukan jalur hukum yang sesuai.

Menurut Abdul Rasyid

Thalib(Abdul Rasyid Talib, 2006:167), secara filosofis, ide dasar pembentukan Mahakamah Konstitusi adalah untuk

menciptakan sebuah sisem

ketatanegaraan di Indonesia yang menganut asas pemisahan kekuasaan

(separation of power) secara fungsional

dan menerapkan “checks and balances” untuk menggantikan secara bertahap penggunaan asas pendistribusian kekuasaan “distribution of power” dan paham integralisme dari lembaga tinggi negara, dengan alasan bahwa:

1)Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan berbangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan; 2)Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan yang penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945.

Sedangkan menurut Firmansyah

Arifin(Nur Syamsiati, 2009:22-23), pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:

1)Alasan filosofis artinya bahwa Mahkamah Konstitusi dihadirkan untuk menegaskan bahwa tidak ada lagi supremasi parlemen atau eksekutif tanpa adanya kontrol dari hukum; 2)Alasan politis artinya dinamika

perkembangan politik telah

menimbulkan banyak persoalan yang sebagian tidak mampu ditampung oleh UUD 1945;

3)Alasan sosio-historis yakni kebutuhan

akan Mahkamah Konstitusi

sesungguhnya sudah lama ada.

Melihat latarbelakang pembentukan Mahkamah Konstitusi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, dapat

memberikan pembuktian bahwa

Mahkamah Konstitusi memegang peranan yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan demokrasi yang berkualitas. Peranan tersebut berkaitan dengan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the

constitution), penegak konstitusi, penafsir

konstitusi (the sole interpreter of constitution), dan sebagai penjaga hak

asasi manusia (the protector of human

right)(Nikmatul Huda, 2007:138).

Pasca perubahan UUD 1945,

(4)

dengan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 UUD 1945 pasca perubahan menentukan:

1) Kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; 2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi; 3) Badan-badan lain yang yang fungsinya

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Ketentuan di atas mempunyai arti bahwa pasca perubahan UUD 1945, ada

dua lembaga pelaksana kekuasaan

tertinggi dalam kekuasaan kehakiman yaitu selain Mahkamah Agung sebagai peradilan biasa juga terdapat Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tatanegara

(bifurcation system)(Nur Syamsiati, 2009:19). Ini artinya bahwa kedua lembaga tersebut mempunyai kedudukan yang setara dan sederajat sebagai lembaga negara. Dilihat dari teori kelembagaan negara, maka Mahkamah Konstitusi bisa

disebut sebagai main organ

(constitutional entrusted power)(Nikmatul

Huda, 2007:167) yang mempunyai

kedudukan yang penting dan mendapat kewenangan secara atributif karena kedudukanya diatur di dalam konstitusi.

Mahkamah Konstitusi setara dengan Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman(Abdul Latif, 2009:50). Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa dengan adanya perubahan UUD 1945, maka selain Mahkamah Agung puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dari lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional juga sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman, namun tidak

mempunyai hubungan struktural dengan

Mahkamah Agung. Kedua lembaga

tersebut adalah memiliki fungsi yang sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun dibedakan dalam yurisdiksinya atau kompetensinya.

Dari pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi

dan Mahkamah Agung merupakan

lembaga peradilan yang berbeda secara kompetensi dan yurisdiksi. Hal ini membuktikan di antara kedua lembaga negara tersebut, secara fungsional adalah

berbeda, dan Mahkamah Konstitusi

merupakan bukan bagian dari Mahkamah Agung (unity jurusdiction) tetapi keduanya terpisah satu dengan yang lain (duality of

jurisdiction).

Menurut Jimly Asshiddiqie, kedua

lembaga tersebut pada hakikatnya

memiliki karakteristik yang berbeda. Mahkamah Agung lebih pada pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum (court

of law) (Abdul Latif, 2009:49).

Pendapat ini tidak mutlak seratus persen, karena keduanya merupakan lembaga peradilan dimana masyarakat mencari keadilan. Namun, perlu juga disadari seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kedua peradilan memiliki karakter yang berbeda terhadap objek yang disengketakan di kedua peradilan ini. Mahkamah Konstitusi lebih ke kasus

pengujian norma-norma abstrak,

sedangkan Mahkamah Agung mengadili kasus–kasus konkrit. Akan tetapi keduanya bermuara pada terciptanya keadilan.

Sebagai lembaga pemegang

kekuasaan kehakiman yang diatur dalam konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam menciptakan keadilan melalui pelaksanaan kewenangannya.

Mahkamah Konstitusi menjalankan

wewenang tersebut untuk menegakkan konstitusi untuk mewujudkan negara

hukum yang demokratis, sekaligus

menjalankan fungsi dari Mahkamah

Konstitusi sebagai pelindung dan

(5)

legal juctice dan social justice (Abdul

Latif, 2009:125). Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, Pasal 24 huruf C UUD 1945 menentukan:

1) Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan tarakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu;

2) Mahkamah Konstitusi wajib

memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Secara terperinci, wewenang

Mahkamah Konstitusi diatur dalam

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24-2003). Pasal 10 UU No. 24-2003 menentukanMahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a) menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

b) memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c) memutus pembubaran parta politik; dan d) memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum.

Dari dua ketentuan pasal di atas, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) wewenang dan 1 (satu) kewajiban. Terkait dengan hal tersebut, wewenang Mahkamah Konstitusi pada intinya adalah untuk menjaga agar konstitusi dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat, cita-cita

rakyat, dan negara hukum serta

berdasarkan pada kedaulatan rakyat. Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi bisa dikatakan sangat vital dan penting untuk mewujudkan negara yang demokratis.

Dalam tataran teoritis khususnya

mengenai teori kewenangan, maka

Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang atributif. Wewenang atributif merupakan wewenang yang dimiliki oleh lembaga negara dengan bersumber langsung dalam konstitusi. Dengan konsep tersebut maka, dapat dikatakan Mahkamah Konstitusi

merupakan lembaga negara utama.

Kedudukannya berada setara dengan

Mahkamah Agung. Kedua-duanya

merupakan lembaga negara yang

menjalankan kekuasaan tertinggi dalam bidang kehakiman (yudisial).

Latar belakang sejarah yang

melatarbelakangi berdirinya Mahkamah Konstitusi Indonesia hampir sama dengan latar belakang terbentuknya Mahkamah Konstitusi Korea Selatan yakni sistem pemerintahan yang sangat absolut dan otoriter sehingga menimbulkan gelombang demonstrasi dimasyarakat yang menuntut diadakannya reformasi konstitusi. Pada tanggal 29 Oktober 1997 konstitusi bari disahkan melalui proses perubahan. Melalui perubahan konstitusi ini, maka

diadopsilah lembaga baru yakni

Mahkamah Konstitusi Korea Selatan.

Selain itu, secara kelembagaan,

Mahkamah Konstitusi Korea Selatan juga berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung

(bifurcation system). Sehingga kedudukan

Mahkamah Konstitusi Korea Selatan setara dengan Mahkamah Agung Korea Selatan.

Pengaturan tentang Mahkamah

Konstitusi Korea Selatan dapat ditemukan dalam Chapter VI Article 111 Section (1)

Constitution of the Republik of Korea dan Article 41 Contitutional Act, yang menentukan bahwa:

(1)The constitutional court shall have jurisdiction over the following matters: a. The contituonally of law upon the

(6)

b. Impeachment;

c. Dissolution of a political party; d. Competence dispute between state

agencies, between state agencies and local government , and between local government;

e. Contitutional complaint as prescribed by act.

Dari ketentuan di atas, bahwa

kewenangan yang dimiliki oleh

Mahkamah Konstitusi Korea Selatan tidak

jauh berbeda dengan kewenangan

Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Tapi terdapat juga perbedaan yang sangat penting dijadikan bahan kajian perubahan

UUD 1945 selanjutnya. Mahkamah

Konstitusi Korea Selatan memiliki wewenang antara lain:

a. Mengkaji konsstitutionalitas suatau peraturan perundang-undangan yang diajukan oleh pengadilan biasa atau tingkat pertama. Kewenangan ini sangat mirip dengan apa yang dikenal dengan istilah constitutional question. Artinya bahwa dalam sistem hukum Korea Selatan yang berhak untuk menanyakan konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan hanya terbatas oleh pengadilan biasa, sehingga sistem pengujian berasal dari kasus konkrit yang terkait hukum mana yang akan diterapkan oleh hakim biasa dalam suatu kasus. Hal ini berbeda dengan sistem yang dianut di Indonesia, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24/2003 yang berhak untuk mengajukan

judicial review yakni perorangan warga

masyarakat, kesatuan masyarakat hukum adat, dan badan hukum publik atau privat serta lembaga negara. Sehingga di Indonesia pengujian terhadap undang-undang lebih abstrak karena tidak didasarkan kasus konkrit

sehingga potensi kerugian

konstitusional sudah bisa dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pengujian suatu undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi.

b. Melakukan impeachment c. Pembubaran Partai Politik;

d. Sengketa lembaga negara, lembaga negara dengan pemerintahan daerah atau antara pemerintahan daerah

e. Kewenangan untuk mememrikasa

constitutional complaint. Kewenangan

ini tidak diatur dalam sistem hukum di

Indonesia. Sehingga Mahkamah

Konstitusi tidak berwenang untuk memeriksa constitutional complaint.

C. Kesimpulan

Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia merupakan konsekuensi dari dianutnya supremasi konstitusi dalam UUD 1945. Oleh karena itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan salah

satu upaya untuk tetap menjaga

pelaksanaan kekuasaan negara tetap berada dalam koridor hukum, demokrasi, dan konsitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung

(bifurcation system). Sehingga secara

teoritis, Mahkamah Konstitusi merupakan organ utamadalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 24 huruf C UUD 1945 jo Pasal 10 UU No. 24-2003 yakni a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c) memutus pembubaran parta politik; dan d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan wajib memberikan putusan DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan Pasal 7 huruf A UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi Korea Selatan juga lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung Korea Selatan. Hal ini sama seperti yang dianut oleh sistem hukum Indonesia. Chapter VI

(7)

yang dimiliki oleh Mahkamah Korea Selatan yaknia) The contituonally of law

upon the request of the court; b) Impeachment; c) Dissolution of a political party; d) Competence dispute between state agencies, between state agencies and local government , and between local government; e) Contitutional complaint as prescribed by act.

Daftar Bacaan

Asshidiqqie, Jimly, 2002, Prinsip

Umum Judicial Review, (Makalah

disampaikan pada Diskusi Terbatas Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta 28 Juni 2002).

Constitution of the Republic of Korea

Constitutional Court Act of the Republic of Korea.

Gaffar, Janedjri M, 2009,

Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,(Makalah disampaikan pada Diskusi Publik Universitas Sebelas Maret, Surakarta 17 Oktober 2009).

Talib, Abdul Rasyid, 2006,

Wewenang Mahkamah Konstitusi dan

Implikasinya Dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung, PT Citra Adtya Bakti.

Syamsiati, Nur, 2009, Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Jakarta,Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia.

Huda, Nikmatul, 2007,Lembaga

Negara Dalam Masa Transisi

Demokrasi,Yogyakarta, UII Press.

Latif, Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi,Yogyakarta, Kreasi Total Media.

Wardani, Kunthi Diah,

2007,Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, UII Press.

Zoelfa, Hamdan, Sistem Perwakilan Rakyat di Indonesia, www. google.com, diakses pada tanggal 12 Agustus 2013.

TERIMA KASIH BANYAK

KEPADA REDAKSI JURNAL

ILMIAH GALUH JUSTISI. KAMI BERHARAP KESUKSESAN TETAP

BERSAMA EDAKSI JURNAL

ILMIAH GALUH JUSTISI DAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GALUH.

Biodata Penulis

1. Sofyan Hadi lahir di Pepao Timur pada tanggal 7 Desember 1988.

Lulusan S1 FH Universitas

Mataram (2011) dan S2 FH Universitas Airlangga (2013). Bekerja sebagai dosen di FH Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Dapat dihubungi di sofianlaw@yahoo.com

2. Tomy M Saragih lahir di Surabaya pada tanggal 12 Januari 1987. Lulusan S1 FH Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (2008), S2 FH Universitas Brawijaya (2011),

Dan sedang studi S3 FH

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan hasil penelitian tentang Perbandingan Tingkat Kebugaran Jasmani Antara Siswa Kelas VIII Reguler dan Kelas Unggulan,

Metode yang digunakan dalam akuisisi data yaitu metode seismik refraksi dengan interpretasi data menggunakan Metode Hagiwara untuk menentukan kedalaman suatu lapisan tanah

Penelitian yang dilakukan oleh Hermi (2019) dan Herawaty (2019) menyatakan bahwa varia- bel profitabilitas tidak berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dikarenakan

Adapun materi dan objek komparatif yang dikorelasikan dengannya adalah berupa (a) Gambaran tentang Konsepsi Bunga Padma yang tersurat dalam naskah manuskrip

Kegiatan terkait sikap: menerima, menjalankan, menghargai, menghayati..

Rangkaian adalah merujuk pada kumpulan dan jaringan, oleh itu hasil kajian ini dapat menunjukkan bahawa pelajar yang menjadi ahli kepada kumpulan dan jaringan

Bisa kelompok tersebut dibilang sindikat penipuan, koran ia beli diwarung nanti ia serahkan ke narasumber mengaku bahwa yang mengetik berita tersebut temanya atau familinya

Sukamakmur Kabupaten Bogor, diperoleh hasil bahwa diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara Disiplin dan Motivasi Kerja secara bersama-sama terhadap Efektivitas