• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gagasan Inti and Kritik Teori teori Sosi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gagasan Inti and Kritik Teori teori Sosi"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

GAGASAN INTI DAN KRITIK DARI TEORI-TEORI: FUNGSIONALISME-STRUKTURAL, INTERAKSI-SIMBOLIK, DAN PERTUKARAN SOSIAL

Disusun untuk memenuhi tugas Sejarah Pemikiran Sosiologi II

Reyhan Aznar 13/347808/SP/25685

JURUSAN SOSIOLOGI

(2)

A. TEORI FUNGSIONALISME-STRUKTURAL A.1. Gagasan Inti

Tokoh sentral teori ini bernama Talcott Parsons. Teori ini dikemukakan pula oleh para sosiolog lainnya seperti Robert K. Merton (murid Talcott Parsons), Kingsley Davis dan Moore. Teori yang muncul pada tahun 1940-an ini mempunyai gagasan bahwa masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem kompleks yang terdiri dari berbagai sub sistem dan mereka saling berhubungan, ketergantungan, dan kerjasama satu sama lain demi terciptanya suatu keseimbangan dan kebutuhannya terpenuhi serta memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah disepakati oleh masyarakat agar tercipta ketertiban dan keteraturan sosial. Masyarakat cenderung menuju kepada suatu keadaan seimbang atau equilibrium. Bila terjadi perubahan dalam sistem tersebut, maka akan terjadi keguncangan dan dapat mengganggu keseimbangan tapi itu berlangsung sementara saja dan selanjutnya akan muncul keseimbangan baru. Banyak aliran teori struktural fungsional dari para ahli Sosiologi dan berikut sedikit dipaparkan:

A.1.I. Talcott Parsons dan AGIL

Parsons mengemukakan persyaratan mutlak dalam seluruh sistem, yaitu empat imperatif fungsional bagi sistem tindakan dengan skema AGIL-nya yang terkenal: Adaptasi [A (Adaptation)], pencapaian tujuan [G (Goal Attainment)], integrasi [I (Integration)], dan pemeliharaan pola [L (Latency)]. Agar dapat bertahan hidup, sistem harus menjalankan keempat fungsi ini:

1. Adaptasi: Sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhannya jika mereka ingin bertahan hidup.

2. Pencapaian tujuan: Sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya.

3. Integrasi: Sistem harus mengoordinasi antar bagian yang menjadi komponennya. Ia pun harus mengatur hubungan antar ketiga imperatif fungsional tersebut (A, G, L).

(3)

Parsons membuat skema AGIL agar dapat digunakan pada semua level sistem teoretisnya. Cara Parsons menggunakan AGIL adalah:

Organisme behavioral adalah sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan dan mengubah dunia luar dan juga merupakan sumber energi bagi seluruh sistem untuk adaptasi dan transfomasi dari sistem dalam hubungan ke lingkungannya. Sistem kepribadian menjalankan fungsi pencapaian tujuan dengan mendefinisikan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang digunakan untuk mencapainya. Komponen dasar kepribadian adalah “kebutuhan-disposisi”, merupakan dorongan yang terbentuk dalam setting sosial. Kebutuhan-disposisi memaksa aktor menerima atau menolak objek yang ada di dalam lingkungan atau berupaya menemukan objek-objek baru jika objek yang ada tidak cukup memenuhi kebutuhan-disposisi. Sistem sosial menangani fungsi integrasi dengan mengontrol bagian-bagian yang menjadi komponennya. Ia menempatkan kompleks status-peran sebagai suatu unit terdasar dari sistem yang merupakan komponen struktural sistem sosial. Status merujuk pada posisi struktural dalam sistem sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam suatu posisi. Akhirnya, sub kebudayaan menjalankan fungsi latensi dengan membekali norma dan nilai-nilai yang memotivasi kepada aktor untuk bertindak. Kebudayaan sebagai kekuatan utama mengikat berbagai elemen dunia sosial, dalam hal ini, sistem tindakan.

L I

A G

Struktur Sistem Tindakan Umum

A.1.II. Robert Merton dan Tiga Postulat Dasar Fungsional

Robert K. Merton terkenal dengan tiga postulat dasar analisis fungsional. Yang pertama adalah postulat kesatuan fungsional masyarakat. Postulat ini menyatakan bahwa seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standar bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat.

Sistem Kultural Sistem Sosial

(4)

Postulat kedua adalah postulat fungsionalisme universal. Semua bentuk dan struktur sosial kultural memiliki fungsi positif. Merton berpendapat bahwa ini bertentangan dengan apa yang kita temukan di dunia nyata. Tidak setiap struktur, adat istiadat, gagasan, keyakinan, dan lain sebagainya memiliki fungsi positif.

Yang ketiga adalah postulat indispensabilitas. Argumennya adalah bahwa seluruh aspek standar masyarakat tidak hanya memiliki fungsi positif namun juga merepresentasikan bagian-bagian tak terpisahkan dari keseluruhan. Postulat ini mengarah pada gagasan bahwa seluruh struktur dan fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat.

Dari sudut pandang tersebut, Merton menjelaskan bahwa analisis struktural-fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan kebudayaan. Ia menyatakan bahwa objek apa pun yang dapat dianlisis secara struktural-fungsional harus “merepresentasikan unsur-unsur standar (yaitu yang terpola dan berulang).” (Merton, 1949/1968: 104).

Untuk memperbaiki kelemahan serius pada fungsionalisme struktural awal ini, Merton mengembangkan gagasan tentang disfungsi. Ketika struktur atau institusi dapat memberikan kontribusi pada terpeliharanya bagian lain sistem sosial, mereka pun dapat mengandung konsekuensi negatif bagi bagian-bagian lain tersebut.

Merton juga mengembangkan gagasan tentang nonfungsi, yang ia definisikan sebagai konsekuensi yang tidak relevan bagi sistem tersebut. Termasuk di dalamnya adalah bentuk-bentuk sosial yang “masih bertahan” sejak masa awal sejarah. Meskipun bentuk-bentuk tersebut mungkin mengandung konsekuensi negatif atau positif di masa lalu, tidak ada efek signifikan yang mereka berikan pada masyarakat sekarang.

A.2. Kritik

(5)

dan masyarakat itu sendiri berjalan dinamis di mana pasti memerlukan suatu perubahan yang akan membawa ke arah positif atau negatif.

Ketiga, dengan terlalu melebih-lebihkan harmonisasi dan meremehkan konflik sosial, fungsionalis cenderung mengarah kepada bias konservatif dalam mengkaji kehidupan sosial; yakni mereka cenderung perlunya mempertahankan segala pengaturan yang ada dalam sebuah masyarakat. Mereka menerima perubahan sebagai sesuatu yang konstan dan tidak

memerlukan ‘penjelasan’. Perubahan dianggap mengacaukan keseimbangan masyarakat.

Perubahan yang bermanfaat bagi sistem diterima dan perubahan lain yang tidak berguna ditolak mentah-mentah.

(6)

B. TEORI INTERAKSI SIMBOLIK B.1. Gagasan Inti

Interaksi simbolik merupakan salah satu teori yang penting dalam pemahaman interpretatif. Gagasan perspektif ini adalah kenyataan sosial muncul melalui proses interaksi dan berkaitan erat dengan kemampuan manusia untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol. Interaksi simbolik memusatkan perhatiannya pada perundingan terbuka mengenai definisi situasi (the definition of situation) bersamaan mengenai arti-arti bersama. Teori yang sudah masuk ke dalam teori sosiologi modern ini dikemukakan oleh George Herbert Mead mengenai perbuatan dan diri serta Erving Goffman tentang dramaturginya yang terkenal.

B.1.I. George H. Mead: Perbuatan dan Diri

Mead memandang perbuatan sebagai “unit paling inti” dalam teorinya (1982:27). Dalam menganalisis perbuatan, Mead memusatkan perhatiannya pada stimulus dan respons. Mead mengidentifikai empat tahap dasar yang terkait satu sama lain dalam setiap perbuatan. Impuls, melibatkan stimulus individu langsung dan reaksi aktor terhadap stimulasi tersebut untuk berbuat sesuatu serta lingkungan sekitar aktor. Contohnya adalah rasa lapar. Aktor dapat merespons secara langsung dan tanpa perlu berpikir terhadap impuls namun aktor cenderung berpikir tentang respons yang sesuai (misal, makan sekarang atau nanti). Dalam memikirkan respons tersebut, aktor tidak hanya mempertimbangkan situasi sekarang, namun juga pengalaman masa lalu dan antisipasi terhadap akibat-akibat dari perbuatan tersebut di masa depan.

Rasa lapar bisa datang dari kondisi batin aktor atau kehadiran makanan di dalam lingkungan. Orang yang lapar harus menemukan cara untuk memuaskan impuls dalam lingkungan tempat makanan tidak dapat langsung tersedia ataupun tidak dalam jumlah cukup. Impuls bisa terkait dengan masalah di dalam lingkungan (yaitu makanan yang tidak langsung tersedia) yang harus diatasi oleh aktor. Walaupun rasa lapar bisa datang dari individu namun biasanya terkait dengan keberadaan masalah di dalam lingkungan (misalnya, kurangnya bahan makanan).

(7)

tidak sekedar merespons secara langsung stimulus eksternal, namun berpikir melalui bayangan secara mental (mental imagery). Biasanya orang berhadapan dengan beragam stimulus berbeda, dan mereka memiliki kemampuan untuk memilih mana yang akan diambil dan mana yang akan diabaikan.

Manipulasi. Begitu impuls mewujudkan dirinya dan objek telah dipersepsi, tahap selanjutnya adalah manipulasi objek atau mengambil tindakan dalam kaitannya dengan objek tersebut. Selain keunggulan mentalnya, orang memiliki keunggulan lain di atas binatang yang lebih rendah. Orang memiliki tangan yang memungkinkan melakukan manipulasi terhadap objek jauh lebih baik daripada yang dapat dilakukan oleh binatang-binatang yang lebih rendah. Manusia yang lapar melihat jamur, namun sebelum memakannya, ia cenderung memetik dulu, mencicipinya, dan mungkin mengeceknya di buku panduan untuk mengetahui apakah jamur tersebut dapat dimakan atau tidak. Sebaliknya, binatang yang lebih rendah, cenderung memakan jamur tersebut tanpa menimbang-nimbang dan mencicipinya. Jeda yang diperoleh dari menimbang-nimbang objek objek tersebut memungkinkan manusia merenungkan berbagai respons. Ketika berpikir apakah akan memakan jamur tersebut atau tidak, masa lalu dan masa depan dilibatkan. Orang dapat berpikir tentang pengalaman di masa lalu, yaitu ketika mereka makan jamur kemudian jatuh sakit, dan mungkin mereka berpikir tentang sakit yang mungkin muncul di masa-masa yang akan datanf atau bahkan kematian. Manipulasi jamur menjadi semacam metode eksperimental di mana aktor mencoba berpikir dengan cara menguji beberapa hipotesis tentang apa yang akan terjadi jika jamur itu dikonsumsi.

Konsumasi. Merupakan pengambilan tindakan yang akan memuaskan impuls awal. Berdasarkan pertimbangan sadar ini, aktor dapat memutuskan untuk makan jamur (atau tidak) Manusia dan binatang cenderung tidak memakan jamur yang buruk karena kemampuannya memanipulasi jamur dan berpikir (serta membaca) dampak dari makan jamur tersebut. Binatang pasti melakukan coba-coba, namun ini adalah metode yang tidak efisien dibandingkan kemampuan manusia berpikir melalui tindakan-tindakan mereka. Dalam situasi ini, coba-coba adalah cara berbahaya dan binatang lebih rentan terhadap kematian karena makan jamur beracun ketimbang manusia.

(8)

meletakkan diri kita secara bawah sadar di tempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka bertindak). Akibatnya, orang mampu mengkaji dirinya sendiri sebagaimana orang lain mengkaji dia. Diri juga membiarkan orang mengambil bagian dalam percakapan mereka dengan orang lain. Jadi, orang sadar akan apa yang dikatakan orang lain dan mampu memantau apa yang tengah dikatakan dan menentukan apa yang akan dikatakan selanjutnya.

Agar memiliki diri, individu harus mampu “berada di luar dirinya” sehingga mereka dapat mengevaluasi diri mereka sendiri, dan menjadikannya sebagai objek bagi diri mereka sendiri. Caranya, orang meletakkan dirinya pada arena pengalaman yang sama sebagimana mereka meletakkan orang lain. Setiap orang adalah bagian dari situasi tersebut dan orang harus mempertimbangkan apakah mereka mampu bertindak secara rasional pada situasi tertentu. Setelah dilakukan, mereka berusaha mengkaji dirinya secara objektif, dan tanpa emosi. Namun, orang tidak dapat mengalami dirinya secara langsung. Mereka hanya dapat melakukannya secara tidak langsung dengan meletakkan diri mereka pada posisi orang lain dan melihat diri mereka dari sudut pandang tersebut. Sudut pandang orang dalam melihat dirinya bisa dari perspektif individu atau kelompok sosial secara keseluruhan.

Mead melacak asal usul diri melalui dua tahap dalam perkembangan masa kanak-kanak.

1.Tahap Bermain (Play Stage). Pada tahap ini, anak-anak belajar memikirkan sikap orang lain terhadap dirinya. Hasilnya adalah anak belajar menjadi subjek sekaligus objek dan mulai mampu membangun diri. Namun, ini adalah diri yang terbatas karena anak hanya dapat memainkan peran orang lain yang jelas. Ana-anak bisa saja memainkan peran sebagai “mama” dan “papa” dan dalam proses ini mereka mengembangkan kemampuan untuk mengevaluasi diri mereka sendiri sebagaimana orang tua mereka dan orang lain. Namun, mereka tidak memiliki pemahaman-diri yang lebih umum dan tertata dan tidak memiliki kepribadian kokoh.

(9)

3.Orang lain pada umumnya (Generalized Others) adalah sikap seluruh komunitas, Kemampuan untuk memikirkan peran orang lain pada umumnya sangat mendasar bagi diri: “baru ketika seseorang memasang sikap sebagaimana yang ada dalam kelompok sosial tempat ia berada guna menyikapi aktivitas sosial yang terorganisasi secara kooperatif atau serangkaian aktivitas yang dijalankan oleh kelompok tersebut, barulah ia berkembang menjadi diri seutuhnya “ (Mead, 1934/1962: 155)

“I” dan “Me” merupakan konsep Mead yang juga mempunyai arti penting dalam interaksi-simbolik. “I” adalah respons langsung individu terhadap individu yang lain. Dia tidak dapat dikalkulasi dan merupakan aspek kreatif diri. Orang tidak tahu dengan baik tindakan yang akan dilakukan “I”: “Baik dirinya maupun orang lain sama-sama tidak mengetahui apa respons yang akan diberikan. Dia bisa memberikan respons tepat maupun keliru. Orang-orang tidak pernah sepenuhnya menyadari “I”, dan melaluinya mereka mengejutkan diri dengan tindakan aktor sendiri. Orang-orang baru mengenal “I” setelah ada tindakan yang dilakukan. Jadi, orang-orang hanya mengenal “I” di dalam ingatan. Mead lebih menekankan “I” karena empat alasan. Pertama, “I” adalah sumber utama kebaruan dalam proses sosial. Kedua, Mead percaya bahwa di dalam “”I”-lah nilai terpenting kita berada. Ketiga, “I” membentuk hal yang dicari-cari setiap manusia – realisasi diri. “I’” memungkinkan individu mengembangkan “kepribadian yang ajeg”. Akhirnya Mead melihat proses evolusi dalam sejarah di mana orang yang berada di dalam masyarakat primitif lebih didominasi oleh “me” sementara pada masyarakat modern terdapat komponen yang leih besar.

“Me” adalah pengadopsian orang lain pada umumnya. Berbeda dengan “I”, orang sadar akan “me”; “me” melibatkan tanggung jawab secara sadar. Mead juga melihat “I” dan “me” secara pragmatis. Me memungkinkan individu hidup nyaman dengan dunia sosial, sementara “I” membuka kemungkinan bagi perubahan dalam masyarakat. “I” dan “me” adalah bagian dari seluruh proses sosial yang memungkinkan individu dan masyarakat berfungsi lebih efektif.

B.1.II. Teori Interaksi Simbolik Erving Goffman

(10)

hambatan sosial di dalam diri. Untuk menjaga citra-diri yang stabil, orang tampil untuk audien sosial mereka. Akibat dari minatnya pada pertunjukan ini, Goffman memusatkan perhatiannya pada dramaturgi, atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan dramatis yang serupa dengan yang ditampilkan di atas panggung.

Goffman memahami diri bukan sebagai milik aktor namun sebagai produk interaksi dramatis antara aktor dengan audien. Diri “adalah efek dramatis yang muncul . . . dari skenario yang ditampilkan” (Goffman, 1959: 253). “Karena diri adalah produk interaksi dramatis, ia rentan mengalami gangguan selama pertunjukan” (Misztal, 2001). Goffman menunjukkan bahwa kebanyakan pertunjukan sukses dilakukan dan hasilnya adalah bahwa dalam situasi biasa, diri yang utuh ditentukan oleh pementas, dan diri “terlihat” memancar dari pementas.

Goffman berpendapat bahwa ketika individu berinteraksi, mereka ingin memberikan pemahaman tertentu tentang diri yang akan diterima oleh orang lain. Namun, bahkan ketika menampilkan diri mereka, para aktor sadar bahwa audien dapat mengganggu pertunjukan mereka. Oleh karena itu aktor menyesuaikan diri dengan kontrol audien dengan harapan agar pemahaman tentang diri yang mereka sajikan di hadapan audien akan cukup kuat bagi audien untuk mendefinisikan aktor sesuai yang dikehendaki sang aktor. Aktor pun berharap ini akan menyebabkan audien bertindak sukarela sebagaimana yang dikehendaki sang aktor. Goffman menyebut ini sebagai “manajemen kesan”. Manajemen kesan diarahkan untuk melindungi diri dari tindakan-tindakan yang tidak terduga, seperti gerak yang tidak sengaja dilakukan, tindakan memalukan, maupun tindakan-tindakan yang sengaja dilakukan, seperti membuat skenario.

Mengikuti analogi teatrikal ini, Goffman berbicara tentang panggung depan. Depan adalah bagian dari pertunjukan yang secara umum berfungsi untuk mendefinisikan situasi bagi mereka yang memerhatikan pertunjukan tersebut. Di panggung depan, Goffman membedakan antara setting dengan muka personal. Setting berupa tampilan fisik yang biasanya harus ada jika aktor tampil. Tanpa itu, aktor biasanya tidak dapat tampil. Sebagai contoh, ahli bedah biasanya memerlukan ruang operasi. Muka personal terdiri dari berbagai perlengkapan ekspresi yang diidentikkan audien dengan pementas dan diharapakan agar dibawa serta dalam setting tersebut. Contohnya ahli bedah akan memakai pakaian dokter.

(11)

Pandangan menarik Goffman ada pada ranah interaksinya. Ia berargumen bahwa karena orang mencoba menyajikan gambaran ideal atas dirinya sendiri dalam panggung depan, mereka merasa harus menyembunyikan berbagai hal dalam pertunjukan yang mereka lakukan. Pertama, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan rahasia (misal minum alkohol) yang telah jadi kebiasaan sejak sebelum pertunjukan atau di masa lalu (misal kecanduan narkoba) yang tidak cocok dengan pertunjukan mereka. Kedua, aktor mungkin ingin menyembunyikan kekeliruan yang mereka lakukan dalam persiapan pertunjukan maupun langkah yang telah mereka ambil untuk membetulkan kesalahan-kesalahan tersebut. Ketiga, aktor mungkin menganggap hanya perlu menunjukkan produk akhir dan menyembunyikan proses produksinya. Keempat, pada pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus membiarkan turunnya standar-standar lain. Akhirnya, mungkin aktor menganggap perlu menyembunyikan cercaan, hinaan, atau perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa agar pertunjukan terus berlangsung, Pada umumnya, aktor berkepentingan untuk menyembunyikan fakta-fakta tersebut dari audien mereka.

Unit analisis dasar Goffman bukanlah individu, namun tim. Tim adalah sekumpulan individu yang bekerja sama dalam mementaskan satu rutinitas yang sama. Setiap anggota bergantung pada anggota yang lain, karena semuanya dapat mengganggu pertunjukan dan semua sadar bahwa mereka tengah berakting. Goffman menyimpulkan bahwa tim adalah semacam “masyarakat rahasia”.

Goffman juga mendiskusikan panggung belakang. Belakang adalah tempat fakta yang tertekan di panggung depan atau di berbagai tindakan informal dapat terlihat. Pementas sepenuhnya berharap agar tidak ada anggota audien mereka yang hadir di belakang panggung. Lebih jauh, mereka terlibat dalam berbagai macam manajemen kesan untuk memastikannya. Pertunjukan cenderung sulit dilakukan ketika aktor tidak mampu mencegah audien masuk ke panggung belakang. Juga terdapat wilayah ketiga, wilayah sisa, yaitu sisi luar, yang bukan depan atau belakang.

Tidak ada wilayah yang selalu berada di salah satu ketiga ranah tersebut. Namun, wilayah tertentu dapat mencakup ketiga ranah pada waktu yang berlainan. Kantor profesor adalah panggung depan ketika mahasiswa berkunjung, dan menjadi panggung belakang ketika mahasiswa pergi, dan sisi luar ketika perofesor tersebut tengah berada pada pertandingan basket di universitas.

(12)

peran yang mereka mainkan dan juga merupakan fungsi dari status sosial seseorang. Orang-orang pada status sosial yang tinggi sering kali mewujudkan jarak peran dengan alasan berbeda dengan orang-orang yang berada pada posisi status rendah. Contoh, tingginya status ahli bedah dapat mewujudkan jarak peran dalam ruang operasi untuk meredakan ketegangan antar anggota tim operasi. Orang-orang yang berada pada posisi status rendah biasanya memasang sikap yang lebih defensif dalam memamerkan jarak peran.

B.2. Kritik

Interaksi-Simbolik mempunyai kelemahan-kelemahan. Pertama, interaksionis terlalu memperhatikan pada kehidupan sehari-hari dan pembentukan sosial dari diri, namun mereka hampir (atau bahkan) mengabaikan struktur sosial sama sekali. Padahal, struktur sosial mempunyai arti penting bagi hadirnya individu yang ada beserta tim. Kedua, interaksi simbolik mengabaikan faktor-faktor psikologis seperti kebutuhan, motif, dan niat. Interaksionis malah hanya memusatkan pada simbol, tindakan, dan interaksi semata sehingga tidak bisa terlalu mendalam perhatian para penganut ini terhadap segala tindakan yang dilakukan oleh aktor.

(13)

C. TEORI PERTUKARAN SOSIAL C.1. Gagasan Inti

Teori pertukaran sosial, di mana akarnya berupa behaviorisme yang lebih dikenal dalam ilmu psikologi, muncul pada tahun 1960-an sebagai teori sosial untuk menantang teori fungsionalisme. Para ahli yang memfokuskan pada pandangan ini di antaranya George Homans dan Peter Blau. Mereka mencurahkan perhatian pada hubungan antara efek perilaku aktor pada lingkungan dan dampaknya pada perilaku aktor selanjutnya. Mereka juga melihat bahwa individu akan bertindak untuk mendapat imbalan dan menghindari hukuman. Ketika tindakan mereka dihargai, individu akan mengulanginya dalam situasi yang sama. Namun, bila tindakan mereka menimbulkan reaksi negatif maka mereka tidak akan mengulanginya. Ini mendorong kepada pandangan dari tingkah laku manusia dengan istilah biaya dan manfaat dan indvidu rasional yang dapat menghitung konsekuensi dari aksi mereka sebelum mengambilnya.

C.1.I Teori Pertukaran George Homans

Menurut Homans, teori ini “memandang perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas, termilai ataupun tidak, dan kurang lebih menguntungkan atau mahal, bagi sekurang-kurangnya dua orang” (1961: 13). Homans mencontohkan perkembangan mesin berbahan bakar dalam industri tekstil, dan selanjutnya Revolusi Industri, melalui prinsip-prinsip psikologi bahwa orang cenderung bertindak sedemikian rupa untuk meningkatkan imbalan mereka. Dalam teori ini, ia berusaha menjelaskan perilaku sosial dasar berdasarkan imbalan dan biaya.

Dalam karya teoretisnya, Homans membatasi dirinya pada interaksi sosial sehari-hari. Berikut adalah contoh yang digunakan Homans untuk memaparkan jenis hubungan pertukaran yang menarik perhatiannya:

Bayangkanlah bila ada dua orang melakukan kerja administrasi di suatu

kantor. Menurut aturan kantor, setiap orang harus melakukan kerjanya

sendiri, jika perlu bantuan, ia harus mengonsultasikannya dengan penyelia.

Salah seorang dari mereka, sebut saja si Anu, tidak begitu terampil

mengerjakan tugasnya dan mungkin akan bekerja lebih baik dan lebih cepat

jika ia terus dibantu. Terlepas dari itu semua ia enggan berbicara dengan

penyekia, karena mengakui ketidakmampuannya bisa jadi akan

(14)

yang akan kita sebut dengan si Lain, dan meminta bantuan darinya. Si Lain

lebih berpengalaman bekerja daripada si Anu; ia dapat melakukan kerjanya

dengan baik dan cepat dan tidak meluangkan waktu sedikit pun, dan ia

punya alasan untuk berandai-andai bahwa penyelia tidak akan menuju ke

tempatnya untuk mencari-cari pelanggaran aturan. Si Lain membantu si

Anu dan sebagai imbalannya si Anu mengucapkan terima kasih dan memuji

si Lain. Kedua orang tersebut bertukar bantuan dan pujian.

(Homans, 1961: 31-32) Memusatkan perhatiannya pada situasi semacam ini, Homans mengembangkan beberapa proposisi.

Proposisi Sukses

Jika makin sering tindakan apa pun yang dilakukan orang memperoleh

imbalan, makin besar pula kecenderungan orang itu mengulangi tindakan

tersebut.

(Homans, 1974: 16) Menurut contoh si Anu-si Lain dalam situasi kerja di kantor, proposisi ini berarti bahwa orang lebih cenderung meminta nasihat orang lain jika di masa lalu ia diberi imbalan berupa nasihat berguna. Selain itu, semakin sering seseorang menerima nasihat berguna di masa lalu, semakin sering ia akan meminta nasihat. Serupa dengan itu, orang lain akan lebih berniat memberi nasihat dan memberikannya lebih sering lagi jika di masa sebelumnya ia sering diberi imbalan pujian.

(15)

Proposisi Stimulus

Jika di masa lalu terjadinya stimulus tertentu, atau serangkaian stimulus,

adalah situasi di mana tindakan seseorang diberikan imbalan, maka

semakin mirip stimulus saat ini dengan stimulus masa lalu itu, semakin

besar kecenderungan orang tersebut mengulangi tindakan yang sama, atau

yang serupa.

(Homans, 1974: 23) Jika di masa lalu, si Anu dan si Lalu menganggap memberi dan menerima nasihat adalah sesuatu yang menyenangkan, mereka cenderung melakukan tindakan sama dalam situasi yang sama di masa yang akan datang. Homans tertarik pada proses generalisasi, yaitu kecenderungan untuk memperbanyak perilaku pada situasi serupa. Jika stimulus krusial terjadi terlalu lama sebelum perilaku dijalankan, stimulus itu tidak benar-benar merangsang perilaku tersebut. Bisa jadi seorang aktor menjadi terlalu sensitif terhadap rangsangan, khususnya jika itu semua sangat bernilai bagi mereka. Sebaliknya, aktor dapat merespons rangsangan2 yang tidak relevan, paling tidak sampai situasinya dibenahi oleh kegagalan-kegagalan berulang. Semua itu dipengaruhi oleh kewaspadaan individu atau perhatian mereka terhadap rangsangan.

Proposisi Nilai

Semakin bernilai hasil tindakan bagi seseorang, semakin cenderung ia

melakukan tindakan serupa.

(16)

Proposisi Kelebihan-kekurangan

Jika menjelang saat tertentu, orang makin sering menerima imbalan

tertentu, maka makin kurang bernilai imbalan yang selanjutnya diberikan

kepadanya.

(Homans, 1974: 29) Di kantor si Anu dan si Lain mungkin saling memberi imbalan begitu seringnya karena telah memberi dan menerima nasihat, sehingga imbalan mulai tidak bernilai baginya. Dalam hal ini waktu adalah sesuatu yang krusial; orang cenderung kurang puas jika imbalan-imbalan tertentu diterima setelah berselang begitu lama.

Dalam hal ini, Homans mendefinisikan 2 konsep lainnya: ongkos dan keuntungan. Ongkos perilaku didefinisikan sebagai imbalan yang hilang dalam alur tindakan alternatif yang tengah berlangsung. Keuntungan dalam pertukaran sosial dipandang sebagai jumlah imbalan yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.

Proposisi Agresi-pujian

Proposisi A: Ketika tindakan seseorang tidak mendapatkan imbalan yang

diharapkan, atau menerima hukuman yang tidak ia harapakan, ia akan

marah; ia menjadi cenderung berperilaku agresif ,dan akibat perilaku

tersebut menjadi lebih bernilai untuknya.

(Homans, 1974: 37) Pada kasus di atas, jika si Anu tidak memperoleh nasihat yang ia harpkan dan si Lain tidak mendapatkan pujian yang diharapkannya, keduanya cenderung marah. Proposisi A tentang agresi-pujian hanya merujuk pada emosi negatif, sementara proposisi B lebih banyak berbicara tentang emosi positif:

Proposisi B: ketika tindakan seseorang menerima imbalan yang

diharapkannya, khususnya imbalan yang lebih besar dari yang

diharapkannyam atau tidak mendapatkan hukuman yang diharapkannya, ia

akan senang; ia lebih cenderung berperilaku menyenangkan, dan hasil dari

tindakan ini lebih bernilai baginya.

(17)

Proporsi Rasionalitas

Ketika memilih tindakan alternatif, seseorang akan memilih tindakan,

sebagaimana dipersepsikannya kala itu, yang jika nilai hasilnya (V)

dikalikan probabilitas keberhasilan (p) adalah lebih besar.

(Homans, 1974: 43) Proposisi ini menunjukkan pengaruh teori pilihan rasional pendekatan Homans. Dalam bahasa ekonomi, aktor yang bertindak menurut proposisi rasionalitas tentang memaksimalkan keuntungannya.

Pada dasarnya, orang mempelajari dan melakukan kalkulasi atas berbagai tindakan alternatif yang tersedia baginya. Mereka membandingkan jumlah imbalan yang dihubungkan dengan setiap tindakan. Mereka pun mengalkulasikan kecenderungan bahwa mereka benar-benar akan menerima imbalan. Imbalan yang bernilai tinggi akan hilang nilainya jika aktor menganggap bahwa itu semua cenderung tidak akan mereka peroleh. Sebaliknya, imbalan yang bernilai lebih rendah akan mengalami pertambahan nilai jika semua itu dipandang sangat mungkin diperoleh. Jadi, timbul interaksi antara nilai imbalan dengan kecenderungan diperolehnya imbalan. Imbalan yang paling diinginkan adalah imbalan yang sangat bernilai dan sangat mungkin tercapai. Imbalan yang paling tidak diinginkan adalah imbalan yang paling tidak bernilai dan cenderung tidak mungkin diperoleh.

C.1.II. Teori Pertukaran Peter Blau

Blau memusatkan perhatiannya pada proses pertukaran yang mengarahkan perilaku manusia dan mendasari hubungan antar individu maupun antar kelompok. Blau ingin melampaui pokok bahasan Homans tentang bentuk-bentuk dasar kehidupan sosial dan masuk ke dalam analisis struktur kompleks. Hasilnya, Blau memaparkan urutan empat tahap mulai dari pertukaran antar pribadi, struktur sosial sampai dengan perubahan sosial:

Tahap 1: Transaksi pertukaran pribadi antar orang melahirkan.. Tahap 2: Diferensiasi status dan kekuasaan, yang menyebabkan ... Tahap 3: Legitimasi dan organisasi, yang menumbuhkan benih-benih... Tahap 4: Oposisi dan perubahan

(18)

diberikan menurut Blau: imbalan intrinsik berupa hal-hal yang tak berwujud (cinta, kasih sayang) dan imbalan ekstrinsik berupa hal-hal yang berwujud (uang, kerja fisik).

Blau akhirnya melampaui bentuk perilaku dasar Homans dengan membahas struktur sosial kompleks, dimulai dengan memperluas teorinya pada level fakta sosial. Ia mencatat bahwa interaksi sosial mula-mula hadir dalam kelompok sosial. Orang tertarik pada suatu kelompok ketika mereka mereasa bahwa hubungan tersebut menawarkan lebih banyak imbalan dibandingkan dengan kelompok lain. Karena mereka tertarik pada kelompok tersebut, mereka ingin diterima. Agar diterima, mereka harus menawarkan imbalan kepada anggota kelompok. Hal ini antara lain memberikan kesan pada anggota kelompok dengan menunjukkan pada mereka bahwa berasosiasi dengan orang-orang baru akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Hubungan dengan anggota kelompok akan semakin solid ketika pendatang baru mendapatkan kesan yang baik dari kelompok tersebut-yaitu jika anggotanya menerima imbalan sebagaimana yang diharapkannya. Upaya para pendatang baru untuk memberikan kesan pada anggota kelompok umumnya menyebabkan kohesi kelompok, namun kompetisi dan, akhirnya, diferensiasi sosial dapat terjadi ketika semakin banyak orang yang secara aktif berusaha memberikan kesan satu sama lain dengan kemampuan mereka untuk memberikan imbalan.

Bagi Blau, mekanisme yang memerantarai struktur sosial kompleks adalah norma dan nilai yang terdapat di dalam masyarakat. Awalnya memandang pada norma sosial, Blau berargumen bahwa mereka mengganti pertukaran tidak langsung dengan pertukaran langsung. Satu anggota menerima norma kelompok dan mendapatkan pujian atas sikap menerima tersebut dan mendapatkan pujian karena fakta bahwa sikap menerima tersebut memberikan sumbangsih bagi terpeliharanya serta stabilitas kelompok. Dengan kata lain, kelompok terlibat dalam hubungan pertukaran dengan individu. Ini bertolak belakang dengan pandangan Homans yang lebih sederhana, yang memusatkan perhatian pada pertukaran antar pribadi. Blau memberikan contoh pertukaran antara individu dengan kelompok yang menggantikan pertukaran antar individu:

Staf rendah tidak membantu pegawai yang lebih tinggi dalam kerja mereka

demi imbalan yang akan diterima dari mereka, namun memberikan bantuan

tersebut adalah kewajiban resmi anggota staf, dan atas dijalankannya

kewajiban-kewajiban tersebut mereka mendapatkan imbalan finansial dari

perusahaan.

(19)

C.2. Kritik

Teori pertukaran sosial tidak terlepas dari kritik-kritik. Pertama, teori ini hanya mendasarkan perilaku manusia pada hal-hal ekonomi saja. Teori ini mengabaikan faktor-faktor dari dalam manusianya, seperti biaya, keinginan, dan minat. Kedua, teori ini hanya seperti menekankan bahwa tujuan manusia berinteraksi semata-mata hanya untuk mendapatkan keuntungan satu sama lain.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Blau, Peter, 1964, Exchange and Power in Social Life, New York: Wiley.

Davis, Kingsley, dan Wilbert Moore, 1945, Some Principles of Stratification, American Sociological Review 10, pp. 242-249.

Farganis, James, 2000, Readings In Social Theory: The Classic Tradition to Post-Modernism, Third Edition, The McGraw-Hill Higher Education.

Goffman, Erving, 1959, Presentation of Self in Everyday Life, New York: Anchor.

Homans, George C., 1961, Social Behavior: Its Elementary Forms, New York: Harcourt, Brace and World.

_________________, 1974, Social Behavior: Its Elementary Forms, Edisi Revisi, New York: Harcourt Brace Jovanovich.

Horton, Paul B dan Chester L. Hunt, 1992, Sosiologi, edisi 6, Jakarta: Penerbit Erlangga. Mead, George Herbert, 1934/1962, Mind, Self, and Society: From the Standpoint of A

Social Behaviorist, Chicago: University of Chicago Press.

__________________, 1982, The Individual and the Social Self: Unpublished Work of George Herbert Mead, Chicago: University of Chicago Press.

Merton, Robert K., 1949/1968, Manifest and Latent Function, New York: Free Press. Misztal, B., 2001, Normality and Trust in Goffman’s Theory of Interaction Order,

Sociological Theory 19, pp. 312-324.

Poloma, Margaret M, 1979, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Penerbit CV. Rajawali. Purwanto, 2007, Sosiologi untuk Pemula, Yogyakarta: Media Wacana.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2013, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Referensi

Dokumen terkait

Kriteria penilaian yang digunakan dalam sistem pendukung keputusan pengadaan buku perpustakaan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang menggunakan metode MOORA

Kedua, jika ulama ushul fiqh cenderung menganggap asbab al-nuzul tidak bersifat waqtiyyah (temporal) dan tidak terbatas sebagai suatu sebab sehingga mereka berpijak pada kaidah

Pada hasil pemeriksaan hemoglobin didapatkan nilai d 2,2%, yang berarti bahwa hasil pemeriksaan sampel yang diperoleh memiliki ketidak tepatan sebesar 2,2% dan batas

Sifat penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri selain dipengaruhi oleh muatan positif dari logam Ag juga dipengaruhi oleh gugus amonium kuarterner dari kitosan yang

Berdasarkan bagan pada Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1) Tahap pertama : analisis dan pengumpulan data, di mana pihak

Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui informasi apa yang diperlukan mahasiswa Departemen Pendidikan Bahsa Asing (DPBA), (2) untuk mengetahui asal sumber

Dalam rangka untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dikeluarkan regulasi yang mengatur mengenai perubahan pengelolaan keuangan daerah untuk lebih

Pendidikan karakter merupakan bentuk kegiatan manunsia yang mendidik untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus menerus dan melatih kemampuan diri