BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Selain UU MD3 yang telah disahkan pada 8 Juli 2014, saat ini ada RUU yang juga cukup menyita perhatian publik, yaitu RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah disahkan pada Paripurna DPR RI 25 September 2014. Perdebatan
sentralnya adalah Pilkada Langsung dan Pilkada Tidak Langsung via DPRD. Untuk membahasnya, kita akan membahasnya dari segi sejarah pembentukan, konstitusi, konfigurasi politik dan perkembangan demokrasi.
UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) ini, diketok palu untuk disepakati menjadi undang-undang satu hari menjelang Pilpres 2014, tepatnya hari Selasa 8 Juli 2014. Dapat dibayangkan waktu itu, energi publik sedang tersedot pada pelaksanaan Pilpres 2014. Akibatnya banyak hal yang luput dari
pengawasan publik terhadap revisi UU No. 27 Tahun 2009 tersebut. Karena itu, tidak heran ada berbagai masalah dalam UU MD3 yang baru ini.
Banyaknya pihak yang mengajukan judicial review terhadap UU MD3 yang baru ini, menjadi salah satu indikasi masih banyak permasalahan yang belum tuntas dalam pembahasan uu tersebut. Secara sosiologis-politis, hal ini dapat dipahami karena UU MD3 ini mengatur pembagian kekuasaan khususnya partai politik yang masuk ke parlemen. Karenanya benturan kepentingan akan sangat terasa. Konfigurasi politik yang ada yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Pendukung Jokowi-JK turut memberikan andil terhadap hasil pembahasan UU MD3 ini.
2. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud UU MD3?
b. Apakah latar belakang terbentuknnya UU No.17 Tahun 2014 (MD3)? c. Memuat tentang apakah UU No.17 Tahun 2014 (MD3)?
d. Apakah yang dimaksud UU Pilkada? e. Bagaimana sejarah lahirnya UU Pilkada? f. Bagaimana perspektif tentang UU Pilkada?
▸ Baca selengkapnya: contoh makalah kunjungan kampus
(2)1. Latar Belakang Pembentukan UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3
UU No. 27 Tahun 2009 ttg MD3 (UU MD3 Lama) didesain untuk
memposisikan parlemen (MPR, DPR, DPD dan DPRD) sebagai lembaga legislatif yang kokoh dan berwibawa. Namun pada taraf implementasinya, dipandang banyak mengandung kelemahan. Parlemen (khususnya DPR), selama 2009-2014 ini menjadi salah satu lembaga yang paling disorot dan diberi cap “buruk”. Baik dalam kinerjanya maupun dalam tingkah lakunya (banyak yang terjerat korupsi, ada pula yang
melakukan perbuatan tercela). Tak sedikit pula yang mengujinya di Mahkamah Konstitusi. Karena itu tak mengherankan, dari tahun 2010 (padahal usianya baru 2 tahun), telah dimasukkan RUU Revisi ttg UU 28 Tahun 2009 dalam Prolegnas 2011 (Prolegnas Nomor 26), tahun 2012 (Prolegnas Nomor 40 ) , tahun 2013 (Prolegnas Nomor 48), dan tahun 2014 (Prolegnas Nomor 37) untuk dilakukan perubahan.
Secara umum, kita bisa melihat nuansa kebatinan Anggota DPR yang merasa prihatin terhadap kondisi DPR yang “terinjak-injak” menjadi bahan pergunjingan dimedia massa dan masyarakat. Disebut sarang koruptor, tak aspiratif, dan
sebagainya. Karena sebagai pemilik kewenangan membentuk undang-undang, mereka pun bersepakat merubah UU MD3 agar mampu keluar dari gunjingan masyarakat tersebut.
Dalam pengantar pembahasan Revisi UU MD3 ini, Ketua Pansus, Beni K. Harman, misalnya menyebut “Ada keinginan dari Dewan untuk mereformasi parlemen, agar bisa kuat, akuntabel, dan kedap korupsi. Inilah desain besar dari parlemen ke depan”, Kemudian Wakil Ketua Pansus, Ahmad Yani menyebut
“latar belakang perubahan UU MD3 di antaranya belum tertatanya alat kelengkapan dewan di DPR. Selain itu relasi antarlembaga parlemen terutama DPR dan DPD belum tertata dengan baik. Kesekjenan DPR juga perlu diperkuat lewat perubahan UU MD3 ini. Argumentasi lainnya dari perubahan ini adalah MPR dan DPD selama ini dalam menjalankan kewenangannya masih terjebak pada seremonial kenegaraan saja. Lalu, kedudukan DPD juga masih lemah, karena menjadi bagian dari birokrasi Pemda.”
Isu Hak untuk Mengusulkan dan Memperjuangkan Program Aspirasi
Pembangunan Daerah Pemilihan Oleh Anggota DPR
Hak ini, terdapat dalam Pasal 80 huruf (j) bahwa Anggota DPR berhak
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihannya. Hak ini muncul dengan berbagai alasan, yaitu
Sistem pemilu legislatif yang memilih langsung Anggota DPR, membuat Caleg
banyak mengumbar janji, sehingga harus dibukakan kanal terhadap pelaksanaan janji tersebut. Sehingga hak ini sebagai respon Anggota DPR yang sering ditagih konstituennya di daerah dalam memperjuangkan progam pembangunan daerah.
Sebagai respon terhadap klaim eksekutif baik pusat maupun daerah terkait
program pembangunan daerah, sehingga Anggota DPR sering dianggap tidak dapat bekerja dan merealisasikan pembangunan daerah.
Karena itu, kita dapat melihat bahwa hak ini merupakan hak yang wajar muncul akibat sistem pemilu dan budaya masyarakat ketika bertemu pejabat akan menagih kemampuannya memperjuangkan pembangunan daerahnya. Apalagi, berdasarkan studi banding dengan parlemen di Amerika Serikat, Anggota Parlemennya memiliki anggaran khusus untuk program pembangunan.
Hak memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihan ini juga merupakan implikasi sumpah Anggota DPR yang tertuang dalam Pasal 78 UU 17 Tahun 2014 ttg MD3:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Hal memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili tersebut juga merupakan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 81 khususnya huruf (e)[11], (i)[12] dan (j) [13]. Karena itu, secara sistematis dengan keberadaan sumpah dan kewajiban
memperjuangkan aspirasi rakyat, maka juga diberikan hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
Selanjutnya, hal tersebut diatur dalam Tata Tertib DPR yang disahkan dalam Paripurna DPR Selasa, 16 September 2014. Dalam Pasal 195 disebutkan:
Anggota berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan ke dalam program pembangunan nasional dalam APBN.
Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari inisiatif sendiri, pemerintah daerah, atau aspirasi masyarakat di daerah pemilihan.
Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Anggota
diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dari tiap-tiap daerah
pemilihannya selama 1 (satu) menit atau setara 1 (satu) lembar kertas A4 pada setiap rapat paripurna DPR.
Paling lambat (1) hari sebelum rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilaksanakan, Anggota mendaftarkan usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Sekretariat Jenderal DPR.
Pimpinan DPR meneruskan usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) kepada komisi terkait untuk dibahas dengan mitra kerja.
Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada
Badan Anggaran untuk disinkronisasikan.
kepada Anggota yang mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihannya.
Anggota yang bersangkutan memberitahukan tindak lanjut usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Melihat hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah tersebut, beserta mekanismenya, maka ada sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya adalah terjalinnya hubungan yang erat antara wakil rakyat dengan rakyat di daerah pemilihannya, karena setiap aspirasi dapat diperjuangkan menjadi program
pemerintah. Namun sisi negatifnya adalah (1) tidak ada standar yang dipergunakan Anggota DPR untuk setiap program yang diusulkan, (2) sangat mungkin terjadi jual beli program termasuk pungli terhadap masyarakat yang mengajukan program. Ujung-ujungnya adalah hak ini bisa berujung pada tindakan koruptif yang tidak sehat bagi pembangunan bangsa.
Dari aspek hukum tata negara yaitu teori pemisahan kekuasaan dalam 3 cabang (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), telah dipisahkan masing-masing kewenangan. Maka kewenangan membentuk program pembangunan adalah kewenangan eksekutif bukan legislatif. Karena itu hak mengusulkan program ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kekuasaan legislatif mencampuri urusan kekuasaan eksekutif.
2. Mengenai Imunitas Hukum Bagi Anggota DPR
Terkait dengan Imunitas ini, dalam UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3, diatur dalam Bab II Paragraf 6, Pasal 224 yang terdiri dari 7 Ayat:
Pasal 224
(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.
Dengan melihat secara utuh Pasal 224 tentang Imunitas Anggota DPR ini, maka secara rasional kita akan mengatakan Pasal tersebut adalah benar. Karena, selaku anggota parlemen yang tugas utama berbicara (parle = bicara), maka selayaknya tugas berbicara tersebut dilindungi undang-undang. Titik tegasnya adalah berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan konstitusional, sehingga ketika membuat
pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat harus diberikan kebebasan, dan tidak boleh sembarangan untuk diproses hukum. Dapat dibayangkan apabila dalam hal
pengawasan, ada anggota DPR yang sangat keras mengkritik Presiden / Wakil Presiden, sebagai misal dalam Kasus Bank Century, kemudian dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan, lalu diproses secara hukum.
Berbeda halnya apabila kita melihat Bagian Keenam Belas tentang Penyidikan Pasal 245:
Pasal 245
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
1. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
2. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
tindak pidana. Ketika akan dipanggil dan dimintai keterangan dalam penyidikan harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Disini terdapat perlakuan istimewa yang dianggap bertentangan dengan prinsip hukum “equalitiy before the law”/ persamaan dihadapan hukum. Untuk memahami hal ini, maka perlu kiranya membedahnya dari aspek hukum konstitusi dan hukum pidana.
Asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle) merupakan salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut pula dalam UUD 1945. Asas ini mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat perlindungan yang sama dalam hukum – tidak boleh ada diskriminasi dalam perlindungan hukum ini”. Prof. Mardjono[15] mengatakan kata kuncinya adalah “perlindungan”. Pendapat yang berbeda adalah yang menafsirkan bahwa persamaan yang dimaksud adalah untuk “perlakuan”. Perbedaan kata kunci ini dapat membawa kepada penafsiran yang berbeda dari makna asas ini bagi HAM.
Dengan kata-kunci “perlindungan”, maka yang dituju adalah perintah kepada negara/pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada warganya. Dan dalam sebuah negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan dari kelompok mayoritas). Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman kelompok minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok tertentu.
Namun, kalau dipergunakan kata-kunci “perlakuan”, maka penafsiran yang berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah perintah kepada negara/pemerintah untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum antara warganya. Dan dalam masyarakat yang terstruktur dalam “kelas”, maka ini mengandung makna jangan memberi perlakuan istimewa kepada anggota kelas tertentu. Khususnya dalam beberapa kasus bahwa “kelas pejabat Negara” dan/atau “kelas orang kaya” mendapat perlakuan khusus/istimewa dalam proses peradilan pidana. Diskriminasi yang dilarang di sini adalah menguntungkan kelas tertentu.
Kehormatan Dewan(MKD). Ayat-ayat berikutnya merupakan “tata-cara” melaksanakan “hak-istimewa” anggota DPR itu.
Apakah ini bertentangan dengan asas persamaan dalam hukum? Dijawab “Ya”, kalau asas tersebut ditafsirkan sebagai “perlakuan”, dan pasal ini ditafsirkan sebagai diskriminasi yang “menguntungkan” anggota DPR. Tetapi dapat juga dijawab “Tidak”, kalau asas tersebut ditafsirkan “perlindungan”, karena tidak ada
diskriminasi yang“merugikan” kelompok non-anggota DPR.
Lebih lanjut, Prof Mardjono mengatakan: “Suara “protes” mengkaitkan ini juga dengan kemungkinan tersangka “menghilangkan barang-bukti”, menghalangi penyidikan, terlalu dicari-cari sebagai alasan. Pendapat yang mengatakan ini bertentangan dengan asas peradilan “cepat, sederhana, biaya ringan” juga, menurut saya, tidak tepat. Karena asas terakhir ini ditujukan untuk menguntungkan/melindungi seorang tersangka, agar penyidik jangan “mengulur-waktu” perkara.
Dengan Pasal 245, memang tersangka/anggota DPR lebih beruntung, karena kasusnya akan dinilai dahulu oleh MKD (apakah cukup ditangani secara internal, melalui Kode Etik, ataukah memang beralasan ditangani oleh Penyidik). Pada
dasarnya setiap Organisasi Profesi (Dokter, Advokat, Akuntan,Psikolog, dan lain-lain) mengatur demikian untuk anggota profesinya. Mengapa kita harus curiga untuk Anggota DPR?
Pertanyaan sekarang adalah apakah “hak istimewa” (prerogative right) ini perlu atau pantas diberikan kepada anggota DPR. Menurut saya, kalau kita mengakui bahwa anggota DPR adalah wakil-wakil rakyat yang “mempersonifikasikan”
kedaulatan rakyat, maka “perlakuan istimewa” ini, adalah sudah sepantasnya kita berikan. Kita menghormati lembaga DPR dan menurut saya kita juga tidak ingin anggota-anggotanya dapat begitu saja dipangil oleh Penyidik untuk pelangaran hukum yang tidak-serius. Dan bukankah ayat (3) sudah menyempitkan/membatasi hak
istimewa ini, dengan tiga perkecualian atas hak-istimewa dalam ayat (1)?
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, dengan Nomor Perkara 76 dan 83/PUU-XII/2014. Dalam pandangannya, Koalisi Masyarakat Sipil
mempermasalahkan keberadaan Pasal 245 ini, dengan mengatakan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Bahkan sudah ada Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011 yang menyebutkan keberadaan Pasal yang mengharuskan izin dari Presiden dalam Proses Penyidikan (Kepala Daerah), menghambat proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.
Dengan melihat analisis-analisis tersebut, maka kita dapat melihat dua
pemahaman yang berbeda dalam melihat prinsip persamaan dihadapan hukum. Secara psikologis, sebenarnya kita bisa melihat dan merasakan, mengapa Anggota DPR memberikan “perlindungan” atau “perlakuan” khusus untuk mereka, yaitu agar tidak mudah diproses pidana dalam berbagai kasus pidana. Dari aspek sikap, masih banyak anggota DPR yang bertindak sok berkuasa sehingga terkadang berlaku seenaknya. Doktrin “power tend to corrupt, absolutely power corrupt absolutely” dari Lord Acton, kiranya dapat menjadi pertimbangan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu secara pribadi saya melihat Pasal 245 ini potensial
disalahgunakan DPR dan Anggotanya untuk berlaku seenaknya, sehingga layak untuk didukung dihapuskan.
3. Penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN)
Pada UU No. 27 Tahun 2009 ttg MD3 (UU MD3 Lama), BAKN merupakan salah satu alat kelengkapan DPR (diatur dalam Pasal 110-116). BAKN bertugas:
1. Melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan DPR;
2. Menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi;
3. Menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemerikasaan BPK atas permintaan komisi; dan
4. Memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.
berdasarkan evaluasi Pansus MD3, dimana ada keinginan besar supaya komisi lebih berdaya,[16]sehingga BAKN dihapuskan dan memberikan kewenangan lebih kepada Komisi, yang tersebut dalam Pasal 98 Ayat (3) UU MD3 Baru:
(3) Tugas komisi di bidang pengawasan meliputi:
1. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
2. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
3. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja
pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
4. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan 5. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.
Dengan demikian, komisi diberikan tugas untuk memperdalam setiap laporan hasil pemeriksaan BPK, yang kemudian dijadikan bahan untuk melakukan evaluasi kinerja pemerintahan. Agar berdaya, maka hasil rapat kerja komisi atau rapat gabungan dengan pemerintah tersebut bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan pemerintah.[17] Apabila tidak dilaksanakan, maka komisi dapat mengusulkan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota mengajukan pertanyaan sesuai peraturan perundang-undangan.[18] Pejabat
pemerintah yang tidak menjalankan hasil rapat tersebut dapat direkomendasikan diberikan sanksi kepada presiden.[19]
dibawah DPR sebagai Pusat Pengkajian dan Analisis APBN serta Pengelolaan Akuntabilitas Keuangan Negara, sebagai contoh di Amerika Serikat mempunyai Congressional Budget Office (CBo).[20]
4. Turunnya Angka Kuorum Pengambilan Keputusan DPR Dalam Hal Hak Menyatakan Pendapat
Turunnya angka kuorum pengambilan keputusan DPR dalam hal Hak Menyatakan Pendapat (HMP) terdapat dalam Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru sebagai Perubahan Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama.
Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama
Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru
Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Latar belakang turunnya angka kuorum ini adalah pengalaman DPR Periode 2009-2014 yang kesulitan untuk melanjutkan Hasil Hak Angket Kasus Bail Out Bank Century (yang menyatakan Bail Out Bank Century tidak dibenarkan dan dinyatakan telah terjadi pelanggaran pidana) untuk dibawa Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Untuk itu diperlukan penurunan angka kuorum.
Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 inilah yang menjadi acuan, mengingat untuk proses “impeachment” saja syaratnya 2/3 hadir dan didukung 2/3 yang hadir, mengapa HMP harus dinaikkan menjadi ¾ hadir dan didukung ¾ yang hadir. Jadi keberadaan syarat HMP pada UU MD3 lama sebenarnya sudah menyalahi konstitusi, oleh karena itu juga sudah seharusnya dirubah.
Selain isu-isu tersebut, ada beberapa isu lain yang muncul, yaitu[21]:
Pertama, minimnya ruang pengawasan, transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan DPR dengan menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja anggotanya, dan melaporkan kepada publik. Tidak hanya itu. Kewajiban DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun 2009 pun turut dihapus. DPR juga masih akan mempertahankan berlangsungnya rapat-rapat tertutup apabila disetujui peserta rapat.
Kedua, soal Tren Penambahan Kewenangan MPR. Jika diamati sejak UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk) hingga UU MD3 yang baru (sebagaimana yang disahkan pada 8 Juli 2014), ada kecenderungan penambahan kewenangan MPR. Sebagian besar penambahan kewenangan praktis hanya untuk kepentingan sosialisasi dan ini tentu saja akan berdampak pada pembengkakan anggaran. Selain itu, potensi penganggaran ganda bisa ditemui pada pelaksanaan tugas MPR berupa penyerapan aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945. Mengingat anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang pada saat bersamaan mendapatkan pula alokasi anggaran untuk kegiatan menyerap aspirasi dari masyarakat.
latar belakang kenapa butuh UU MD3 yang baru, tidak pernah mencantumkan kebutuhan untuk mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR.
Keempat, soal Mahkamah Kehormatan. Dalam konteks tugas dan wewenang, keberadaan Mahkamah Kehormatan mengalami perluasan dibandingkan Badan Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada ranah kode etik, keberadaan Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan pemeriksaan.
5. Sejarah Lahirnya RUU Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebelumnya diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengingat ada banyak pasal yang diatur khusus mengenai mekanisme Pilkada yakni 63 Pasal (Pasal 56 – Pasal 119), maka dalam revisinya, Pilkada ini dipisahkan dari UU Pemda. Dalam Prolegnas sejak tahun 2011 sudah dimasukkan dengan No. 42, Prolegnas tahun 2012 No. 52, Prolegnas tahun 2013 No. 3, Prolegnas tahun 2014 No. 3. Ini artinya sudah 4 tahun RUU ini dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional dimana RUU disiapkan pemerintah selama 2 tahun, kemudian dibahas bersama di DPR selama 2 tahun. Sehingga dari sisi waktu memang sudah waktunya untuk disahkan.Pilkada secara langsung sejak 1 Juni 2005 telah melahirkan beberapa yang menyebabkan pemerintah mengusulkan Revisi RUU Pilkada, antara lain[22]:
Pilkada langsung dibeberapa tempat melahirkan konflik horizontal antara sesama
masyarakat. Benturan masyarakat ini tentu menjadi keprihatinan yang mendalam, karena ketidaksiapan menang atau kalah.
Pilkada langsung secara biaya cukup menyedot anggaran, baik pusat maupun daerah.
Berdasarkan data dari Mahkamah Konstitusi, disetiap Pilkada langsung, dipastikan akan gugatan sengketa Pemilukada ke MK, termasuk juga ketika sengketa Pilkada di Mahkamah Agung.[23]
Sering terjadinya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif khususnya dalam bentuk money politik dan vote buying, sehingga memberikan pelajaran demokrasi yang buruk pada masyarakat.
Penegakan hukum dank ode etik tidak berjalan.
Partisipasi pemilih yang rendah (rata-rata dibawah 70%).
Banyak kepala daerah terjerat korupsi.[24]
Kepala daerah tidak akur dengan wakil kepala daerah.
Kepemimpimpinan lemah, manajemen rendah, dan birokrasi amburadul, serta terjadi politik transaksional dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pemerintah tidak efektif.
Atas pertimbangan tersebut, maka Pemerintah sebagai pihak yang diberi tugas menyiapkan Drat RUU Pilkada melakukan langkah memberi usulan revoluioner berupa mengubah Pilkada langsung menjadi Pilkada tidak langsung via DPRD.
6. Perspektif Konstitusi terhadap Pemilihan Kepala Daerah.
Dalam UUD NRI Tahun 1945, Pasal 18 Ayat (4) disebutkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Untuk memahaminya, maka salah satu caranya adalah dengan membuka original intent Perubahan UUD NRI Tahun 1945. Untuk melihat hal tersebut, dapat dilihat dalam Risalah Pembahasan UUD 1945, yang dapat diunduh lewat www.mahkamahkonstitusi.go.id tentang Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 2. Dalam risalah tersebut khususnya Bab V (hlm. 1107-1432) diulas secara khusus pembahasan Perubahan UUD 1945 mengenai Pemerintahan Daerah.
Ketika itu, draft naskah perubahan dari Badan Pekerja adalah kepala daerah dipilih secara demokratis, namun Prof Bagir Manan mengusulkan pemerintahan daerah mengakomodir pemilihan kepala daerah secara langsung.[25] Atas draft tersebut, beberapa Fraksi memberikan klarifikasi dan komentar, seperti Soedijarto dari Fraksi Utusan Golongan mengklarifikasinya dengan mengatakan:[26]
“…mengenai pemilihan Gubernur, walikota yang langsung disarankan dipilih langsung sedangkan konsepnya kan sangat demokratis, dan masih tergantung
riskan karena budaya demokrasi kita belum tumbuh, karena itu saya ingin kembali kepada asalnya yaitu dipilih secara demokratis, …. Konstitusi tidak mendikte kepada daerah supaya dipilih langsung”.
Kemudian Pataniari Siahaan dari F-PDIP megusulkan agar kepala daerah “… dipilih secara demokratis sebagaimana diatur undang-undang. Jadi demokratisnya bukan oleh rakyat”.[27] Atas beberapa pendapat tersebut, Prof Bagir Manan
menyerahkan kepada anggota rapat, apakah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih secara demokratis.[28]Pada akhirnya draft yang disepakati dan dibawa ke Rapat Paripurna ke-9, 18 Agustus 2000 adalah Pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis.
Hamdan Zoelva, memberikan pandangan terdapat dua prinsip yang terkandung dalam rumusan “kepala daerah dipilih secara demokratis”, yaitu pertama: kepala daerah harus “dipilih”, tidak dimungkinkan untuk langsung
diangkat. Kedua, pemilihan dilakukan secara demokratis, maknanya tidak harus dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih oleh DPRD yang anggota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui Pemilu.[29]
Atas pertimbangan tersebut, maka klausul pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis memiliki makna harus adanya proses pemilihan yang dapat langsung oleh rakyat dan dapat juga melalui DPRD. Untuk itu, klausul ini disebut sebagai open legal policy secara konstitusi. Kedua opsi yang sedang diperdebatkan dalam draft RUU Pilkada saat ini sama-sama konstitusional.[30]
7. Perspektif Konfigurasi Politik
Konfigurasi Politik di DPR sangat berpengaruh dalam pembahasan RUU Pilkada. Pada tahun 2012 ketika draft RUU Pilkada dimasukkan Pemerintah ke DPR, klausulnya pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Klausul tersebut didukung mayoritas partai politik dengan jumlah kursi besar seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PKB. Sementara itu, PKS karena jumlah kursinya tidak besar menolak usulan Pilkada melalui DPRD.
Perdebatan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah sebenarnya hampir menemui titik temu, yaitu; pertama tetap dilakukan pemilihan
langsung; keduapelaksanaan dilakukan secara serentak antara Pilkada Gubernur dan Pilkada Bupati/Walikota dalam rangka penghematan anggaran dan memperjelas konfigurasi politik didaerah sehingga rakyat lebih rasional dalam memilihnya.
Namun, perhelatan Pemilu Presiden 2014 dengan 2 (dua) calon pasangan, berimbas pula pada konfigurasi politik setelah Pilpres. Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri Partai Gerindra, Partai Golkar, PPP, PAN dan PKS termasuk juga Partai Demokrat (6 partai dengan jumlah 421 kursi DPR) pada 9 September 2014 bersepakat mendukung Pilkada melalui DPRD. Sementara Koalisi penyokong Calon Presiden-Wakil Presiden Jokowi JK yang terdiri dari PDIP, PKB dan Partai Hanura (3 partai degan jumlah 139 kursi DPR) mendukug Pilkada langsung.
Polarisasi konfigurasi politik tersebut merupakan konsekuensi sistem multipartai yang dianut di Indonesia, dimana partai-partai politik sangat cair dalam ideologi dan dalam penentuan dukungan politik. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada dinamika RUU Pilkada, tetapi juga berpengaruh pada RUU MD3 yang telah dibahas sebelumnya.
Terakhir, 19 September 2014 kemarin, Fraksi Partai Demokrat balik badan mendukung Pilkada Langsung, sehingga mengubah konfigurasi politik yang pro Pilkada langsung menjadi 4 partai dengan 287 kursi di DPR, dan yang pro Pilkada melalui DPRD menjadi 5 partai dengan 273 kursi di DPR.
8. Perspektif Perkembangan Demokrasi
Apabila kita mempelajari mengenai demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat dari awal mula zaman Yunani Kuno sampai dengan zaman sekarang (modern dan postmodernisme), maka kita akan menemui uniknya perkembangan demokrasi.
Pemerintahan dalam polis merupakan hal yang tinggi, karena di atas polis tidak ada lagi suatu organisasi kekuasaan lain yang menguasai dan memerintah polis itu. Inilah letak keistimewaan dari polis. Organisasi yang mengatur hubungan antar orang se-polis itu tidaklah hanya mempersoalkan hubungan organisasinya saja
melainkan juga mempersoalkan mengenai hidup kepribadian orang-orang yang hidup disekitarnya. Oleh karena itu terdapat campur tangan organisasi yang mengatur polis. Karena polis disamakan (identik) dengan masyarakat negara atau negara, maka polis merupakan negara kota (standstaat atau citystate).
Sehubungan dengan itu, dikalangan pemerintahan lazimnya berwujud demokrasi langsung atau direct democracy, rakyat di dalam polis ikut serta secara langsung menentukan beleid kebijaksanaan pemerintah atau adanya direct
government by all the people.[32]
Dalam episode Yunani Kuno tersebut, dapat kita temui beberapa pemikir hebat yang sampai saat ini masih dipelajari, seperti Plato, Aristoteles, Polybios dan lain-lain. Misalnya yang menarik adalah pendapat Polybios,[33] yang menjelaskan bahwa sebagai bentuk negara yang tertua ialah monarki, pemerintahan dijalankan oleh seorang pemimpin negara, karena orang tersebut mempunyai bakat kepandaian dan keberanian dari yang lain-lainnya sehingga merupakan primus iner pares atau yang pertama diantara yang sama. Ia memerintah dengan tujuan baik dan ditujukan demi kepentingan umum berlandaskan keadilan. Akan tetapi para penggantinya kemudian bertindak menyeleweng, memerintah demi kepentingan diri pribadi dan bertindak sewenang-wenang. Karena itu timbulah tirani.
Dari bentuk negara tirani ini lama kelamaan para warganya memberontak karena tidak tahan akan penderitaan dan penindasan yang dilakukan oleh seorang tiran itu. Hasil perlawanan itu, para warga memilih beberapa orang dari golongan ningrat cerdik pandai, yang diberi kepercayaan memerintah, dengan demikian timbulah negara aristokrasi.
Kemudian aristokrasi mengalami proses kemunduran dan kemerosotan karena pimpinan negara bertindak demi kepentingan mereka yang memerintah, bertindak main hakim sendiri secara semena-mena, hal yang demikian mengakibatkan terbentuknya negara oligarkhi.
Dari bentuk negara oligarkhi pun mengalami nasib yang sama seperti tirani, akrena tindakan sewenang-wenang dan memperkosa hukum, menimbulkan
perjuangan itu para warganya mengambil alih kekuasaan pemimpin negara, maka mereka, yaitu para warga atau rakyat memegang pemerintahan, sehingga timbulah negara demokrasi.
Apabila bentuk negara demokrasi ini dalam prosesnya mengalami kemunduran, disebabkan warganya atau rakyat tidak tahu sedikitpun tentang pemerintahan dan tanpa pendidikan turut campur dalam pemerintahan, maka
timbullah pemerintahan secara liar dari rakyat gembel yang hina. Karena itu timbulah negara okhlokrasi.
Setelah pemerintahan okhlokrasi menimbulkan kebejatan dan kebobrokan dari demokrasi, maka para wargapun sadar dan menginginkan adanya pemerintahan yang baik dan adil. Karenanya muncul seorang warga yang berani maju kedepan dan mengambil alih pimpinan negara. Timbulah negara monarkhi.
Pemikiran tersebut kemudian sering disebut siklus Polybios. Pemikiran mengenai adanya bentuk-bentuk negara yang bertujuan untuk kepentingan umum, disertai pula bentuk pemerosotannya memberikan pelajaran berharga dalam perjalanan bernegara. Khususnya mengenai demokrasi, akan menjadi bentuk pemerosotan apabila rakyat tidak memiliki pendidikan dan kemampuan mengelola negara, sehingga negara akan roboh akibat salah atur.
Demokrasi langsung yang berlaku di Yunani Kuno dianggap salah satu bentuk pemerintahan yang baik. Namun, karena perkembangan negara yang meluas dan lintas polis, sehingga demokrasi langsung sulit diterapkan. Karenanya timbul demokrasi tidak langsung (indirect democracy) melalui pelembagaan badan perwakilan rakyat.
Perkembangan demokrasi berikutnya berlangsung di Romawi Kuno dengan keberhasilan rezimnya menetapkan konstitusi yang memadukan bentuk-bentuk pemerintahan antara monarkhi, aristokrasi dan demokrasi. Bentuk pemerintahan itu kemudian disebut dengan republic. Terminologi republik berasal dari Bahasa Latin yang terdiri dari dua suku kata yakni res yang berarti kejadian atau peristiwa dan publicus yang berarti publik. Jika kedua kata digabungkan secara peristilahan akan membentuk suatu pengertian yang menunjukkan kepemilikan rakyat.[34]
mundurnya demokrasi subtantif sebenarnya tidak diukur dari prosedur bentuk langsung atau tidak langsungnya saja.
Dalam perkembangan demokrasi modern ini, baik demokrasi langsung
maupun tidak langsung adalah sebuah keniscayaan. Karenanya, diperlukan perpaduan yang saling melengkapi agar pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat dapat berjalan dengan efektif.
Demokrasi subtantif saat ini sering disebut dengan istilah demokrasi
partisipatif sebagai bentuk perlawanan demokrasi elitis. Partisipasi masyarakat dalam hal ini merupakan cerminan demokrasi partisipatoris, sebagaimana disebutkan R.B. Gibson, bahwa:[35]
“… that the purpose of democracy is to ensure that decisions are made by individuals who will be affected. The requirements of this democracy are fully met only if all individuals are enables and encouraged to participate ini the decisions which will affect their lives. Thus, in participatory theory, the sphere of democracy encompasses all areas of collective action and decision, regardless of the arbitrary divisions of social, economic, and political concern. Participatory theory purposes democratic societies, not just democratic government.”
Bagaimanapun dengan terpilihnya wakil rakyat tidak menghilangkan peran masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat itu sendiri. Kalau dalam demokrasi elit, partisipasi masyarakat begitu dibatasi, dalam demokrasi partisipatoris keterlibatan masyarakat yang luas dan bermakna merupakan keniscayaan. Argumentasinya, makna hakiki dari demokrasi adalah memberi
dorongan bagi masyarakat berperan serta dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. R. B. Gibson menambahkan, demokrasi partisipatori tidak hanya berupaya mewujudkan pemerintahan yang demokratis (democratic government), tetapi juga masyarakat yang demokratis (democratic societies).[36]
Hal tersebut tentunya berbeda dengan demokrasi elit yang merupakan lawan dari demokrasi partisipatoris, sebagaimana disebutkan R.B. Gibson, yaitu[37]
requirements of democracy will be met if citizens are allowed to choose leaders freely from the ranks of competing elites.”
Demokrasi elit cenderung menisbikan peran masyarakat setelah proses pemilihan umum selesai, yaitu dengan terpilihnya wakil rakyat. Jika warga negara telah melaksanakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, maka seterusnya
penyelenggaraan pemerintahan diserahkan kepada mereka yang terpilih menjadi anggota lembaga legislatif. Hal ini berpotensi pada pengabaian atau juga upaya melupakan kepentingan masyarakat yang mengitari anggota legislatif tersebut. Gibson menambahkan, masyarakat lebih cenderung memikirkan diri sendiri sehingga sering terjadi perbedaan kepentingan yang dapat menimbulkan konflik.[38]
Uraian tersebut menunjukkan bahwa negara demokratis partisipatoris dan elit menunjukkan juga kualitas demokrasi perwakilan yang dibangun. Selain demokrasi partisipatif, dewasa ini berkembang juga demokrasi deliberatif yang dikembangkan Jurgen Habermas.[39] Bagi Habermas, perkembangan demokrasi saat ini berbeda dengan zaman Yunani Kuno yang masyarakatnya kecil berupa polis-polis, menjadi masyarakat yang besar (gigantis), dipenuhi dengan pluralitas masyarakat yang
kompleks yang juga terglobalisasi. Dalam demokrasi deliberatif yang memiliki peran besar adalah komunikasi antara pemimpin yang dipimpinnya.
Deliberatif atau bahasa Latinnya deliberation, bahasa
Inggrisnya deliberation, berarti “konsultasi”, mengacu pada prosedur formasi opini dan aspirasi masyarakat secara demokratis. Dalam demokrasi deliberatif bukanlah jumlah kehendak individual atau juga kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi. Yang menjadi sumber legitimasi adalah proses formasi deliberatif
(konsultasi), argumentative-diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang bersama-sama senantiasa bersifat sementara dan terbuka untuk direvisi.
Dengan ungkapan lain, legitimasi kebijakan publik bukan terletak pada hasil komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif proses, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, makin terlegitimasi pula hasilnya.[40]
Apabila dicermati mengenai pelaksanaan Pilkada Langsung sejak 1 Juni 2005, maka saat ini telah memasuki periode ke-3 Pilkada Langsung. Pada periode pertama, Pilkada Langsung masih banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin stok lama yang belum mampu memberikan perubahan dalam pemerintahan. Namun, dalam periode kedua, mulai terpilih Kepala Daerah yang mampu menjalankan fungsi
kepemimpinannya secara baik, termasuk juga membangun komunikasi yang intensif dengan masyarakat. Ditambah teknologi yang mendukung melalui social media, twitter, facebook, path, dan lain-lain, sehingga mendekatkan pemimpin dengan rakyat secara langsung. Periode kedua ini menghasilkan pemimpin-pemimpin yang menjadi idola publik, apakah itu Jokowi, Ridwan Kamil, Risma, Ahmad Heriawan, dan lain-lain. Model kepemimpinannya sudah lebih partisipatif bahkan deliberatif, dengan mengajak warga yang dipimpinnya untuk bersama membangun daerah. Dengan melihat fakta tersebut, maka Pilkada langsung adalah salah satu sarana memperoleh pemimpin yang partisipatif dan deliberatif.
Namun, tidak semua kepala daerah yang dipilih langsung berprestasi. Padahal anggaran untuk Pilkada langsung lebih besar dibandingkan dengan Pilkada tidak langsung. Sebagaimana disebut sebelumnya, banyak Kepala Daerah yang tersangkut korupsi pula, selain juga banyak ekses negatif akibat Pilkada langsung tersebut.
Karenanya model Pilkada melalui DPRD bisa dipertimbangkan, dengan syarat DPRD khususnya Partai Politik siap menjalankan partisipasi dan deliberasi dalam pemilihan kepala daerah. Mekanismenya, pertama, semua calon dapat terakomodir dalam Pilkada melalui DPRD, termasuk juga calon independen. Kedua, calon kepala daerah harus kapabel dan berintegritas. Ketiga, partai politik di DPRD melakukan proses konsultasi kepada masyarakat dengan cara membuka diskusi dan perdebatan bahkan melalui mekanisme konvensi. Keempat, partai politik di DPRD harus menjalankan hasil konsultasi tersebut untuk kemudian dijadikan dasar dalam pemilihan kepala daerah.
Sang wakil bertindak sebagai wali (truste), dimana wakil bebas bertindak
berdasarkan pertimbangannya sendiri tanpa harus berkonsultasi dengan yang diwakilinya;
Sang wakil bertindak sebagai utusan (delegate) yakni sang wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya sehingga sang wakil senantiasa mengikuti perintah atau instruksi serta petunjuk dari yang diwakili dalam melaksanakan tugas;
Sang wakil bertindak sebagai politico artinya kedudukan wakil terkadang bertindak sebagai wali (truste), dan kadang kala bertindak sebagai utusan (delegate). Hal itu tergantung pada issu dan pembahasan di tingkat lembaga perwakilan; dan
Sang wakil bertindak sebagai partisan. Posisi wakil dalam persoalan ini cenderung kepada kehendak atau aspirasi partainya, sedangkan hubungan dengan konstituen pemilihnya setelah pemilihan tidak terlalu nampak.
Selain itu juga, A. Hoogerwerf membagi lima model hubungan antara wakil dengan yang diwakili sebagai berikut:
Model utusan (delegate) yakni wakil bertindak sebagai diperintah atau kuasa usaha yang menjalankan perintah dari yang diwakili;
Model wali (truste) yakni sang wakil bertindak sebagai orang yang diberi kuasa penuh dari yang diwakili sehingga memiliki kebebasan bertindak berdasarkan pendiriannya;
Model politicos yakni model yang memungkinkan sang wakil bertindak kadang sebagai delegasi dan kadang sebagai kuasa penuh;
Model kesatuan yakni model yang mengonsepsi anggota parlemen sebagai wakil rakyat seluruhnya; dan
Model penggolongan (diversifikasi) yakni keanggotaan wakil di parlemen
dipandang sebagai wakil kelompok territorial, kelompok sosial atau kelompok politik tertentu.
demokrasi elitis. Karenanya, pilihan Pilkada melalui DPRD untuk saat ini kuranglah tepat.
BAB III
PENUTUP
1. Saran-saranTak banyak hal yang dapat dibanggakan dari Wakil Rakyat (baca DPR RI) Periode 2009-2014 ini. Ini dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi Wakil Rakyat. Dari tiga fungsi utama wakil rakyat yaitu fungsi legislasi[3], fungsi pengawasan[4] dan fungsi anggaran[5], semuanya bermasalah baik dari aspek kuantitas penyelesaian target maupun kualitasnya. Tak luput juga perilaku Anggota DPR yang buruk, seperti korupsi, arogan, dan lain-lain menjadikan DPR lembaga tak berwibawa. Inilah realitas ketatanegaraan dan politik Bangsa Indonesia, sebagai generasi muda kita harus tetap optimis dapat mengubahnya menjadi yang lebih baik.
Dari pembahasan mengenai berbagai macam isu dalam UU MD3 dan RUU Pilkada sebagai warisan sang wakil rakyat periode 2009-2014, maka kita bisa
memberikan penilaian positif dan negatif. Hal ini karena keran demokrasi partisipatif maupun deliberatif belum dilakukan secara baik oleh partai politik di lembaga
perwakilan rakyat.
2. Daftar Pustaka
[1] Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Publik “Warisan Wakil Rakyat” yang diselenggarakan oleh Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB, 19 September 2014 di Kampus ITB Bandung.
[2] Tenaga Ahli di DPR RI, Peneliti Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN), Wakil Presiden BEM Kema Unpad 2009-2010, Kordinator Isu Pemilu BEM Seluruh Indonesia Tahun 2008-2010.
[3] Fungsi Legislasi masih bermasalah, misal tahun 2010 dengan Prolegnas 70 RUU hanya 16 yang disahkan, pada tahun 2011 dengan Prolegnas 93 hanya 24 yang disahkan, pada 2012 dengan Prolegnas 69 RUU hanya 30 disahkan.
[4] Fungsi pengawasan dalam bentuk Hak Angket Century belum mampu
menyelesaikan kasus tersebut secara efektif, juga dalam masalah Mafia Pajak yang tidak terselesaikan.
[5] Fungsi Anggaran DPR belum optimal mendorong APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, misal pemborosan dalam hal Anggaran Perjalan Dinas yang terlalu besar dibandingkan Anggaran untuk Pengentasan Kemiskinan. Selain itu adanya Oknum Anggota DPR terlibat Mafia Anggaran semakin memperburuk kerja DPR.
[6] Permohonan Perkara No. 73/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.
[7] Permohonan Perkara No. 76/PUU-XII/2014 dan 83/PUU-XII/2014 lihat Risalah Sidang MK di www.mahkamahkonstitusi.go.id.
[8] Pemohonan Perkara No. 82/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.
[9] Sumber: Harian Kompas, Kamis 11 September 2014, hlm. 2.
[10] Permohonan Perkara No.79/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.
[13] Pasal 81 huruf (j) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat
[14] Mei Susanto, Hak Budget Parlemen Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. [15] Lihat Pendapat Prof. Mardjono, tentang Hak Imunitas dan Asas Persamaan Kedudukan Di Hadapan Hukum Dalam UU
MD3,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt540d7c056fc44/hak-imunitas-dan-
asas-persamaan-kedudukan-di-hadapan-hukum-dalam-uu-md3-broleh–prof-mardjono-reksodiputro–sh–ma.
[16] Disampaikan Ketua Pansus MD3, Beni K. Harman dalam pengantar Revisi UU No. 27 Tahun 2009.
[17] Pasal 96 Ayat (6) UU MD3 Baru: “Keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan
Pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh Pemerintah.”
[18] Pasal 96 Ayat (7) UU MD3 Baru. [19] Pasal 96 Ayat (8) UU MD3 Baru. [20] Mei Susanto, Ibid., hlm. 336.
[21] Beberapa hal tentang isu-isu dalam UU MD3 Baru diungkapkan Koalisi Masyarakat Sipil.
[22] Dielaborasi dari beberapa sumber media, dan Presentasi Parludem, Pemilukada yang Demokratis dan Efisien, Masalah Pemilukada dan Masalah Pasca Pemilukada, dalam Prosiding Seminar Nasional Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jakarta 24-26 Januari 2012, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi. [23] Pada Tahun 2008/2009 tercatat ada 30 gugatan sengketa Pilkada ke MK, tahun 2010 ada 230 gugatan. Dan tahun 2011 ada 137 gugatan.
[24] Data Kemendagri, terdapat 318 Kepala Daerah yang tersangkut korupsi sampai dengan tahun 2013.
[25] Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV
Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 2, Jakarta, 2010, hlm. 1360. [26] Ibid., hlm. 1365.
[28] Ibid. hlm. 1360.
[29] Hamdan Zoelva, Tinjauan Konstitusi Pemilihan Kepala Daerah.
[30] Sebagai catatan tambahan, pada pembahasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak terjadi perdebatan panjang mengenai makna dipilih secara demokratis, karena langsung diusulkan opsi dipilih secara langsung oleh rakyat, hal ini disebabkan pertama, hasil Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945 tahun 2001, Presiden dan Wakil Presiden sudah dipilih secara langsung oleh
rakyat, kedua, berbagai penyerapan aspirasi masyarakat diseluruh Indonesia diperoleh aspirasi dominan dari masyarakat menghendaki kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Hanya yang menjadi perdebatan adalah bagaimana mekanisme pemilihan langsung ini dilakukan disetiap daerah apakah disamakan atau bisa berbeda-beda dimasing-masing daerah disesuaikan dengan kondisi dan kekhususan masing-masing daerah. Lihat Hamda Zoelva, Ibid.
[31] Sjachran Basah, Ilmu Negara, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997, hlm. 92. [32] Ibid., hlm. 93.
[33] Ibid., hlm. 125-127.
[34] Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Yogyakarta, Liebe Book, 2004, hlm. 15. [35] R.B. Gibson, The Value of Participation, dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010., hlm. 283.
[36] Ibid., hlm. 284. [37] Ibid., hlm. 283. [38] Ibid.
[39] Lihat F. Budi Hadirman, Demokrasi Deliberatif, Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ daalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius, 2009. Hlm. 125.