• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan Rutin dan Pembangunan Perkotaa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kekerasan Rutin dan Pembangunan Perkotaa"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

PETA KEKERASAN DI INDONESIA (SEPTEMBER-DESEMBER 2014) DAN

KEKERASAN RUTIN DAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN DI INDONESIA

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN

THE HABIBIE CENTER

(2)

Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan

(SNPK)

Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center ini diterbitkan melalui program SNPK, yang bertujuan menyediakan data dan analisis kekerasan yang akurat dan cepat bagi pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia dalam mendukung penyusunan kebijakan dan program

dalam bidang konlik yang berbasis data. Program ini didanai oleh

The Korea Trust Fund for Economic and Peacebuilding Transiions

dan diimplementasikan sejak 2012 melalui kerjasama antara The Habibie Center, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan

Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), dan Bank Dunia.

Sebagai bagian dari program SNPK, saat ini telah dibangun

database untuk mencatat seluruh insiden kekerasan

yang terjadi di provinsi sasaran secara reguler. Database

SNPK adalah milik Kemenko PMK, yang bisa diakses pada

www.snpk-indonesia.com. Database ini mencakup 34 provinsi

di Indonesia.

Seperi ditunjukkan oleh peneliian-peneliian di bidang konlik

sebelumnya, surat kabar lokal di Indonesia merupakan sumber informasi yang paling tepat untuk mengumpulkan data kekerasan

secara sistemais dan koninu. Mengikui hal itu, SNPK membangun database menggunakan surat kabar lokal di 34 provinsi sasaran, meski sumber-sumber lain juga dipergunakan secara ruin untuk proses veriikasi. Agar analisis data dapat berjalan maksimal, database menggunakan deinisi kekerasan secara luas, yaitu: sebuah indakan yang mengakibatkan dampak isik secara langsung. Untuk seiap insiden kekerasan, sejumlah variabel kunci dicatat dalam database, termasuk: tanggal dan lokasi kejadian; dampak isik terhadap manusia dan harta benda; pemicu dan bentuk kekerasan; aktor yang terlibat dan senjata yang digunakan; serta upaya penghenian kekerasan dan hasilnya.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini dipublikasikan oleh

(3)

Ringkasan Eksekutif

Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan

(SNPK) mengamai secara sistemais dan koninu 34

provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari program

SNPK, Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center (THC) ini bertujuan menggambarkan tren

kekerasan yang dipantau dalam periode September-Desember 2014 dan membahas isu kekerasan ruin dan pembangunan perkotaan di Indonesia.

Pada periode September-Desember 2014, data SNPK •

mencatat 8.848 insiden kekerasan yang mengakibatkan 962 korban tewas, 7.340 korban cedera, 928 korban perkosaan, dan 785 kerusakan bangunan. Kekerasan

dalam periode ini didominasi oleh kriminalitas (58%),

konlik (27%), KDRT (8%), dan kekerasan aparat (7%). Beberapa konlik yang perlu diperhaikan selama periode •

ini adalah konlik terkait lahan yang terjadi di Sumba

Barat Daya, NTT, aksi demonstrasi anarkis di beberapa provinsi sebagai respon penolakan rencana pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak, kekerasan

antarkampung di Sulawesi Selatan dan NTB, konlik

pemilihan dan jabatan di DKI Jakarta, dan bentrokan

antar-warga di Lampung Tengah, Provinsi Lampung.

Pada periode ini tercatat sebanyak 278 insiden konlik •

sumber daya yang mengakibatkan 38 tewas, 247 cedera, dan 78 bangunan rusak. Konlik sumber daya mengalami

penurunan pada jumlah insiden sebesar 2,1%, dampak

kemaian 13,6%, dampak cedera 28% dan bangunan rusak 27% dibandingkan pada periode Mei-Agustus 2014. Insiden kekerasan terkait sengketa/konlik lahan masih mendominasi kategori ini. Beberapa konlik lahan yang pening terjadi adalah kekerasan antar-warga di NTT dan Riau yang masing-masing insidennya mengakibatkan iga orang tewas.

Konlik terkait tata kelola pemerintahan tercatat 210 •

insiden yang mengakibatkan 1 orang tewas, 254 orang cedera dan 68 bangunan rusak. Aksi demonstrasi anarkis

sebagai respon penolakan terhadap rencana pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak cukup mencuat

pada periode ini. Insiden demonstrasi anarkis terjadi di 22 provinsi yang mengakibatkan 1 orang tewas, 104 cedera dan 2 bangunan rusak. Hampir seluruh insiden tersebut dilakukan oleh kelompok mahasiwa.

Konlik terkait pemilihan dan jabatan tercatat sebanyak •

47 insiden dengan dampak cedera 110 orang dan 20 bangunan rusak. Beberapa insiden kekerasan terkait pemilihan dan jabatan di ingkat provinsi dan

kabupaten/kota terkait, baik secara langsung maupun

idak langsung dengan konlik terkait Pemilu legislaif dan Pemilu presiden di tahun 2014. Insiden pening lain

adalah aksi demonstrasi anarkis yang dilakukan oleh FPI dan organisasi kemasyarakatan lain di Jakarta terkait

pengangkatan Plt. Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok mengganikan Gubernur Joko Widodo.

Konlik idenitas tercatat sebanyak 327 insiden yang •

mengakibatkan 23 korban tewas, 384 cedera, dan 204 bangunan rusak. Data SNPK mencatat insiden dan

dampak kekerasan dalam kategori ini didominasi oleh

bentrokan antar-kampung (31%), perkelahian pelajar (29%), dan perkelahian antar kelompok geng (18%). Bentrokan antar-kampung dominan terjadi di Sulawesi Selatan dan NTB.

Insiden main hakim sendiri didominasi oleh kekerasan

terhadap pelaku pencurian (71%), kekerasan yang terkait harga diri/kertersingungan (16%), dan balas dendam

(8%). Untuk selanjutnya, insiden-insiden dalam kategori

tersebut akan dibahas lebih dalam dalam bagian kedua

kajian ini.

Bagian kedua Kajian Perdamaian dan Kebijakan The

Habibie Center kali ini membahas kekerasan ruin

dan pembangunan perkotaan di Indonesia. Dinamika

pembangunan perkotaan di Indonesia idak dapat dilepaskan dari beragam persoalan dan tantangan.

Persoalan kekerasan menjadi tantangan besar dalam

pembangunan perkotaan di Indonesia. Data SNPK 2005-2014 mencatat bahwa sebagian besar insiden kekerasan ruin (rouine violence) terjadi wilayah perkotaan,

khususnya di kota-kota besar di Indonesia.

Dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, yang •

dipublikasikan oleh BPS pada tahun 2013 disebutkan bahwa proyeksi ingkat urbanisasi di Indonesia mencapai 66,6% pada tahun 2035. Hal ini sejalan dengan studi Bank Dunia dalam East Asia’s Changing Urban Lanscape tahun

2015, yang menyebutkan bahwa 68% penduduk akan

memenuhi kota-kota di Indonesia. Proyeksi tersebut menggambarkan persoalan-persoalan perkotaan di

Indonesia akan semakin kompleks, termasuk fenomena

kekerasan ruin.

Fenomena kekerasan ruin yang marak diperkotaan •

kerap luput dari pengamatan ataupun analisis para

penelii maupun penggiat perdamaian. Kekerasan ruin dideisinikan sebagai kekerasan yang secara frekuensi sering terjadi (seperi aksi main hakim sendiri terhadap

pelaku pencurian) dan bukan merupakan bagian dari

(4)

Data SNPK tahun 2014 mencatat sebagian besar (21%) •

insiden kekerasan ruin yang terjadi adalah penghakiman massal terhadap para pelaku pencurian. Insiden-insiden kekerasan ruin juga dipicu oleh tersinggung atau harga diri. Di samping itu, data SNPK juga mencatat maraknya insiden-insiden kriminalitas dengan kekerasan (violent

crime) dan perkosaan.

Jika dilihat persebaran wilayah, insiden kekerasan ruin •

cukup menonojol di beberapa wilayah di Indonesia. Data SNPK tahun 2014 menunjukan bahwa insiden kekerasan ruin dominan terjadi di lima wilayah, yakni Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, dan Jabodetabek. Akan tetapi, Sulawesi Utara

merupakan wilayah yang paling rentan jika dilihat segi intensitas (insiden per populasi) dan fatalitas kekerasan

(tewas per populasi) kekerasan ini.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC kali ini akan

memfokuskan studi pada dua wilayah utama, yakni

Sulawesi Utara dan Jabodetabek. Terdapat dua alasan utama pemilihan dua wilayah tersebut. Pertama, data

SNPK menunjukan Sulawesi Utara merupakan wilayah yang intensitas dan fatalitas kekerasan paling inggi di Indonesia. Kedua, kondisi strategis suatau wilayah

dalam dinamika kekerasan ruin di Indonesia, seperi Jabodetabek. Insiden-insiden kekerasan ruin yang marak di Jabodetabek menjadi pening diperhaikan

karena wilayah ini merupakan pusat pemerintahan,

ekonomi, poliik, dan sosial.

Tim SNPK-THC melakukan iga langkah untuk menganalisa •

kekerasan ruin dan pembangunan perkotaan. Pertama;

mengolah dan menganalisa data SNPK sepanjang tahun

2014, kedua; melakukan studi pustaka terkait dengan

studi-studi tentang kekerasan ruin, baik di Indonesia

maupun di negara lain, dan keiga; melakukan studi

lapangan di wilayah Jabodetaek dan kota Manado,

Sulawesi Utara. Pihak-pihak yang diwawancarai adalah

perwakilan pemerintah, aparat keamanan, akademisi,

akivis LSM, pelaku dan korban kekerasan, dan masyarakat umum di dua wilayah tersebut.

Dari hasil temuan, im SNPK-THC mengideniikasi

faktor-faktor yang berpengaruh pada munculnya kekerasan di perkotaan, diantaranya; Pertama, laju pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan yang merupakan bagian integral dari laju pembangunan yang

sedang berjalan; Kedua, penegakan hukum yang belum

opimal sehingga mendorong terjadinya kekerasan ruin di tengah masyarakat; Keiga, keterbatasan infrastruktur, misalnya terkait kapasitas jalan dan kendaraan, sarana

transportasi umum, penerangan jalan dan pos-pos

keamanan yang turut mendorong maraknya insiden

kekerasan ruin; Keempat, minimnya ruang terbuka

publik yang memadai dan aman; Kelima, persoalan

kelompok pemuda yang frustasi atas kehidupan kota;

Keenam, perkembangan teknologi informasi secara

idak langsung memberikan kontribusi negaif terhadap maraknya fenomena kekerasan ruin, khususnya di perkotaan seperi Jakarta; Ketujuh, minuman keras

sebagai salah satu pemanik terjadinya insiden-insiden kekerasan, terutama di kota Manado.

Lebih lanjut, kekerasan ruin idak terlepas dari •

kompleksitas permasalahan di perkotaan. Permasalahan perkotaan harus dilihat secara menyeluruh. Interkoneksi

antar aspek dan juga daerah di sekitar perkotaan juga

pening untuk diperhaikan. Permasalahan kota bukan

permasalahan kota itu sendiri, namun turut disumbang dari berbagai permasalahan yang ada di sekitar

wilayah kota. Permasalahan pembangunan perkotaan

yang kompleks dan interkoneksitas harus menjadi dasar pemikiran bagi pengambil kebijakan, aparatur pemerintah kota dan masyarakat kota dalam merespon

permasalahan kekerasan perkotaan. Dengan demikian

respon terhadap permasalahan kekerasan perkotaan

memerlukan dukungan dan kerja kolaboraif dari

berbagai pihak, baik level nasional maupun lokal, juga

level pemerintah dan masyarakat.

Kebijakan pemerintah saat ini yang mulai mendorong

pembangunan di ingkat desa harus diapresiasi dan didukung. Akan tetapi, keberadaan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa harus diikui dengan kebijakan-kebijakan lain yang bisa menjadikan desa lebih kuat. Penguatan desa menjadi pening untuk menopang beban permasalahan kota. Di sisi lain, kebijakan dan regulasi yang lebih spesiik tentang permasalahan perkotaan sudah saatnya didorong, seperi wacana undang-undang khusus perkotaan untuk melengkapi undang-undang tentang desa.

---Deinisi

Mengingat luasnya cakupan insiden kekerasan maka

program SNPK menggunakan beberapa deinisi pening untuk membedakan jenis kekerasan, yaitu:

Konlik kekerasan adalah jenis kekerasan yang terjadi

karena adanya sengketa yang melatarbelakangi atau

diperselisihkan dan pihak tertentu yang menjadi sasaran. Deinisi konlik kekerasan tersebut mencakup

insiden-insiden berskala kecil yang hanya melibatkan beberapa

individu dan/atau insiden besar antarkelompok.

Kekerasan aparat adalah seluruh indakan kekerasan yang

dilakukan oleh aparat keamanan formal dalam merespon

indak kriminalitas. Tindakan tersebut termasuk kekerasan

yang dianggap sesuai dengan atau melebihi wewenang

mereka.

Kriminalitas dengan kekerasan adalah insiden kekerasan yang terjadi tanpa adanya sengketa yang diperselisihkan

sebelumnya dan target tertentu.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah seluruh

indakan kekerasan isik yang dilakukan oleh anggota

keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, di mana

anggota keluarga tersebut inggal satu atap/satu rumah,

termasuk di dalamnya kekerasan yang dilakukan anggota

(5)

Gambar 1. Insiden dan Dampak Kekerasan di 34 Provinsi (Januari-Desember 2014) Bagian 1. Pola dan Tren Kekerasan di Tigapuluh Empat

Provinsi

Kajian Perdamaian dan Kebjakan The Habibie Center kali

ini menampilkan data 34 provinsi periode September-Desember 2014 yang dicatat oleh program SNPK.1 Pada periode empat bulan terakhir tahun 2014 tersebut, SNPK mencatat 8.848 insiden kekerasan yang mengakibatkan 962 korban tewas, 7.340 korban cedera, 928 korban perkosaan, dan 785 kerusakan bangunan. Jika dilihat tren kekerasan per

bulan maka nampak bahwa insiden dan dampak kekerasan

cenderung menurun dari September hingga Desember 2014

(Gambar 1).

Salah satu insiden pening yang tercatat pada periode ini

adalah bentrokan antara warga dua dusun bertetangga di

Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Bentrokan yang terjadi pada 27 November 2014 tersebut dipicu oleh kabar dua

pemuda yang diduga mencurui, dikeroyok oleh warga hingga

tewas. Isu tersebut memancing emosi warga dan menyerang pemukiman pelaku pengeroyokan hingga terjadi bentrokan. Insiden bentrokan itu sendiri mengakibatkan 94 rumah hancur total, beberapa kendaraan rusak, dan iga warga cedera karena terkena peluru senjata api rakitan.

Insiden lain yang pening diperhaikan terkait dengan konlik tanah antar warga di Kecamatan Wewewa, Kabupaten Sumba Barat Dayat, Provinsi NTT. Data SNPK mencatat dua insiden yang mengakibatkan iga tewas dan satu cedera. Insiden pertama terjadi pada 5 Oktober 2014, dimana seorang

1 Sejak Januari 2014, pemantauan SNPK telah mencakup 34 provinsi di Indonesia. Pemantauan secara nasional ini telah diluncurkan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada 2 Desember 2014.

warga dibacok hingga mengalami luka di kepala. Keesokan harinya, iga orang keluarga korban bermaksud membalas kejadian tersebut. Akan tetapi mereka justru dikepung oleh 17 orang dan dikeroyok hingga tewas. Sengketa tanah juga

terjadi di Kecamatan Kadur, Kabupaten Pamekasan, Jawa

Timur, mengakibatkan 2 tewas. Insiden lainnya terjadi di Kecamatan Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rokan Hilir, Riau mengakibatkan 3 tewas dan 2 cedera.

Pada isu poliik dan jabatan, data SNPK mencatat insiden

demonstrasi terkait penolakan beberapa pihak dalam

pelanikan Gubernur DKI Jakarta pada 3 Oktober 2014.

Insiden demonstrasi tersebut mengakibatkan 20 orang

cedera. Kasus demonstrasi kekerasan ini bahkan dibawa sampai ke pengadilan.

Jika dibandingkan dengan periode empat bulan sebelumnya, secara umum tren insiden dan dampak kekerasan mengalami

penurunan (Gambar 2). Walaupun demikian, insiden dalam

kategori konlik terkait tata kelola pemerintah meningkat 72%, konlik idenitas meningkat 21%, dan kekerasan aparat dalam penegakan hukum meningkat 11%. Dari sisi dampak

kekerasan, data SNPK juga mencatat peningkatan dampak

tewas pada kekerasan aparat sebesar 13%. Disamping itu,

dampak cedera juga mengalami peningkatan, khususnya

(6)

Gambar 2. Perbandingan Insiden dan Dampak Kekerasan di 34 Provinsi (Mei-Agustus 2014 dan September-Desember 2014)

Data SNPK membagi insiden dan dampak menjadi empat

kategori jenis kekerasan, yaitu: konlik, kriminalitas, kekerasan Aprat dan KDRT. Pada periode September-Desember, kekerasan di dominasi oleh kriminalitas (58%), konlik (27%), KDRT (8%), dan kekerasan aparat (7%) (Tabel 1).

Tabel 1. Insiden dan Dampak Kekerasan Menurut Jenis

Kekerasan

34 Provinsi di Indonesia (September-Desember 2014)

Jenis

Kekerasan

Jumlah

Insiden

Dampak Kekerasan

Tewas Cedera Perkosaan Kerusakan

Bangunan

Konlik 2.417 181 2.930 0 523

Sumber Daya 278 38 247 0 78

Tata Kelola

Pemerintahan 210 1 254 0 68

Pemilihan

dan Jabatan 47 0 110 0 20

Idenitas 327 23 384 0 204

Main Hakim

Sendiri 1.448 109 1.826 0 141

Separaisme 8 5 5 0 0

Lainnya 99 5 104 0 12

Kekerasan

Aparat 658 71 765 0 0

Kriminalitas 5.088 564 3.209 827 257

KDRT 685 146 436 101 5

Total 8.848 962 7.340 928 785

1.a Konlik Kekerasan

Insiden konlik sumber daya pada empat bulan terakhir di tahun 2014 terjadi sebanyak 278 insiden dengan dampak memaikan 38 korban tewas, 247 orang cedera dan 78

bangunan mengalami kerusakan. Dibandingkan periode

Mei-Agustus 2014, pada periode ini konlik sumber daya mengalami penurunan pada jumlah insiden sebesar 2,%, dampak kemaian 14%, dampak cedera 29% dan bangunan

rusak 27%. InsidenKekerasan terkait sengketa/konlik lahan

masih mendominasi konlik sumber daya yaitu sebanyak

126 insiden, yang mengakibatkan 57% korban tewas dalam

kategori konlik sumber daya. Insiden paling banyak berikutnya

tercatat terkait dengan akses terhadap sumber daya yaitu

73 insiden dan kekerasan terhadap perebutan sumber daya alam 28 insiden, yang masing-masing mengakibatkan 18,4% dan 15,7% korban tewas.

Secara keseluruhan kekerasan terkait konlik sumber daya menyebar di provinsi seperi Sumatera Utara (45 insiden), Jawa Timur (23 insiden), Aceh (16 insiden), Jawa Barat (19

insiden) dan Sulawesi Selatan (15 insiden), Jabodetabek

(14 insiden), Maluku dan Sumatera Selatan (masing-masing 11 insiden) dan Sulawesi tenggara (10 insiden). Namun

bila melihat kekerasan sumber daya dengan dampak yang

memaikan maka wilayah yang mendominasi adalah Sulawesi

Selatan (7 tewas) NTT (5 tewas) serta Maluku, Sumatera

Selatan, Jambi dan Riau (masing-masing 3 tewas).

Aktor-aktor yang paling banyak terlibat di dalam kekerasan terkait sumber daya adalah warga (42.8%), Swasta (28%), pemerintah (6.1%) dan aktor lainnya (23%), sedangkan kekerasan antar aktor yang mengakibatkan kemaian paling

banyak terjadi diantara warga dengan warga dan swasta

dengan swasta (Gambar 3).

Konlik sumber daya yang menjadi perhaian Tim SNPK-THC pada periode September-Desember 2014 ini adalah konlik lahan antar warga di NTT dan Riau yang masing-masing insidennya mengakibatkan iga orang tewas. Selain itu

kekerasan akibat perebutan tambang di pulau Buru, Maluku

pening untuk dilihat karena terjadi dalam beberapa rentetan insiden.

Kekerasan antarwarga terutama di dalam konlik lahan telah menjadi perhaian Tim SNPK-THC khususnya di provinsi Nusa Tenggara Timur. Konlik lahan antar warga

dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama; konlik terkait

kepemilikan individu yaitu perebutan lahan di ingkat domesik (keluarga dan antar tetangga), warisan, lahan pertanian atau garapan. Kedua; dan konlik lahan terkait

kepemilikan komunal di antara kelompok suku, masyarakat

adat, atau desa. Konlik ini biasanya terkait dengan lahan kepemilikan bersama seperi tanah ulayat atau batas tanah di antara dua desa. Wilayah-wilayah di NTT yang seringkali mengalami insiden konlik lahan dengan dampak memaikan adalah Manggarai, Flores dan Sumba Barat Daya.2

2 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan, The Habibie Center edisi ke 05/ November 2013, halaman 10.

(7)

Pada periode September-Desember 2014 terdapat dua insiden konlik lahan antarwarga terjadi secara beruntun di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT yang mengakibatkan iga orang tewas dan satu orang cedera. Insiden pertama terjadi pada 5 Oktober 2014, dimana seorang warga dari Desa Tena Teke, Kecamatan Wewena Selatan, Kabupaten Sumba Barat

Daya pada hari Minggu, ditebas dengan senjata tajam oleh

oknum warga kampung Weeredapa sehingga mengalami luka pada kepala, tangan dan beberapa jari. Keesokan harinya iga orang warga Kampung Bondo Ende dari Desa Tena Teke hendak menyerang Kampung Weeredapa. Warga kampung Weeredapa telah menganisipasi serangan balik ini dan berhasil mengepung dan menyerang iga orang tersebut hingga mereka terbunuh. Ketua DPRD terpilih Sumba Barat Daya, Timotus Rina menyesalkan terjadinya perisiwa ini dan menilai polisi telah lalai dengan melakukan pembiaran. Sehari sebelumnya keluarga telah melaporkan penganiayaan yang dilakukan oleh warga Weeredepa namun polisi idak melakukan penahanan terhadap pelaku. Hal ini memicu aksi balas dendam yang berakhir pada kemaian iga warga Desa Tena Teke. Menurut Timor Express pada 7 Oktober 2014 pihak kepolisian sendiri rencananya hendak memanggil kedua belah pihak pada 6 Oktober 2014 untuk

menyelesaikan permasalahan sengekta lahan, namun pagi

harinya sudah terjadi penyerangan.

Di Provinsi Riau, kekerasan terkait Konlik lahan terjadi antara

seorang pensiunan TNI dengan pemilik ladang beserta para

pekerjanya di Desa Sungai Daun, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Pada 19 September 2014, pensiunan TNI tersebut bersama dua rekannya datang

ke perkebunan Sawit dan menembaki pemilik perkebunan

serta keiga pekerja yang sedang menggarap lahan sawit tersebut. Akibatnya iga orang tewas, satu orang mengalami

cedera dan istri salah satu pekerja yang menjadi korban

mengalami pelecehan seksual oleh pelaku. Salah seorang saksi berhasil melarikan diri dan luput dari penembakan.

Tindak kekerasan dipicu oleh saling klaim lahan antara pelaku

dengan Zulfahmi Sagala, pemilik lahan perkebunan sawit.

Sabaria, istri Zulfahmi Sagala mengatakan bahwa pelaku

sering mengancam mereka dengan mengatakan “inggalkan tempat ini kalau mau selamat”. Setelah dua hari diburu pihak

kepolisian, akhirnya pelaku berhasil ditangkap ditempat

persembunyiannya.

Kekerasan pening lainnya terkait konlik perebutan sumber daya di area pertambangan rakyat di Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku. Pada bulan November 2014, dalam

waktu dua hari telah terjadi lima insiden kekerasan yang

mengakibatkan iga orang tewas dan 1 orang mengalami cedera. Insiden-insiden kekerasan ini dipicu oleh perisiwa

penikaman yang dilakukan seorang penambang asal Palopo, Sulawesi terhadap seorang penambang asal desa Tawiri,

Maluku sehingga korban tewas. Penikaman ini terjadi pada Senin, 3 November 2014 di Cafe Jai-Jai kawasan Gunung Botak, Desa UPT Wamsait, Kecamatan Waepu, Kabupaten Buru, Maluku. Moif penikaman ini diduga merupakan masalah perebutan tambang emas di Gunung Botak, Kabupaten Buru.

Keluarga korban idak terima dan melakukan pembalasan

dengan melampiaskan dendam ke seluruh warga asal

Sulawesi. Aksi balas dendam ini dilakukan warga dengan

membakar seluruh tenda dan tempat usaha milik warga

Bugis, Makasar yang berada di Kebun Jai Jalur A dan Jalur B. Cafe Jai-Jai tempat terjadinya insiden penikaman sebelumnya dibakar bersama dengan dua Cafe lainnya. Pihak kepolisian idak dapat mengatasi indakan pengrusakan

dan pembakaran yang dilakukan warga karena sampai di

lokasi setelah aksi pembakaran sudah berakhir. Perisiwa

penikaman sebelumnya yang melibatkan warga pendatang Bugis dengan warga lokal membuat sejumlah warga Bugis

yang berada di sekitar Gunung Botak mengungsi ke Kota Namlea.

Aksi pembalasan dendam ini idak hanya dilampiaskan

dengan membakar Cafe milik warga Bugis tetapi juga dengan

melakukan sweeping warga pendatang dari Bugis. Pada

hari yang sama, di tempat lainnya terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh empat orang oknum terhadap

seorang penambang asal Bone, Sulawesi Selatan. Perisiwa

penganiayaan terjadi di saat setelah korban membeli

makanan dicegat oleh iga orang oknum dan iba-iba dari

belakangnya seorang lelaki tua membacok korban dengan

parang. Korban berhasil melarikan diri dan mendapatkan perawatan di RSUD Lala. Dua hari berikutnya setelah insiden

penikaman tersebut ditemukan dua mayat lainnya di tempat

yang berbeda. Pada hari Selasa malam (4 November 2014) di bendungan air Desa Waelo, Kecamatan Waelata, seorang kakek penjaga pintu air diikam iga kali oleh orang idak dikenal. Pagi harinya mayat korban ditemukan mengapung di saluran irigasi, bendungan pintu air. Seorang warga mengatakan agar masalah yang terjadi di Gunung Botak agar jangan dibawa dan memakan korban di desa lainnya. Mayat kedua ditemukan di Desa Wamsalit dengan luka bacok di leher dan sejumlah bagian tubuh oleh orang idak diketahui.

Korban merupakan pelaku penikaman dua hari sebelumnya

yang memicu kerusuhan di kawasan tambang, Gunung Botak.

Pembalasan dendam akhirnya telah berhasil menuntut balas

dengan membuhu pelaku.

Konlik perebutan tambang emas di antara para penambang di Gunung Botak, Kabupaten Buru seringkali terjadi. Permasalahan tambang emas di Gunung Botak ini kompleks karena terkait beberapa pihak berkepeningan. Ambon Express melaporkan bahwa rencana bupai Kapubaten Buru mengalami kesulitan dalam melakukan peneriban

penambang ilegal dan menutup tambang emas tersebut

karena idak didukung sepenuhnya oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan di daerah tersebut. Bupai

mengambil langkah lain dengan meminta bantuan dari

Gubernur Maluku untuk mengirim pasukan dari luar. Gubernur Maluku sendiri, Said Assagaf mengatakan bahwa

dirinya mendapatkan informasi adanya keterlibatan oknum

TNI/Polri yang mendukung akivitas ilegal di kawasan Gunung Botak. Permasalahan akivitas tambang ilegal ini

juga mengakibatkan terjadinya longsor yang berdampak dua

orang tewas dan dua orang lainnya kriis. Pada hari minggu malam, 9 November 2014, hujan membuat tanah disekitar

galian longsor menimpa 1 korban tewas sedangkan pada hari Jumat sebelumnya beberapa penambang terkubur dalam

(8)

untuk menghenikan operasi penambangan dan menutup Gunung Botak. Sedangkan Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Pembela Masyarakat Buru mendemo DPRD kabupaten Buru dengan tuntutan agar Gunuk Botak

ditutup dari penambangan ilegal dan pengelolaan tambang

diberikan kepada rakyat melalui IPR dan koperasi yang telah mendapatkan izin dari pemerintah. Koran Kompas pada 8 November 2014 melaporkan bahwa Komnas HAM Maluku melalui hasil invesigasinya menemukan dugaan pelanggaran HAM di lokasi penambangan Gunung Botak. Menurut

Benediktus Sarkol, Pelaksana Tugas Kepala Kantor Perwakilan

Komnas HAM, Ambon pemerintah melakukan pembiaran

terhadap penambangan yang telah berlangsung sejak tahun

2011 diareal 250 hektar, Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku. Akibatnya sejak 2011 di area Gunung Botak sering

terjadi perampokan, tanah longsor, pencemaran lingkungan

sungai oleh merkuri, dan pembunuhan.

Kekerasan terkait pemilihan dan jabatan pada periode

September-Desember 2014 tercatat oleh data SNPK sebanyak 47 insiden dengan dampak cedera 110 orang dan

20 bangunan rusak. Konlik terkait Pemilukada di ingkat

kabupaten/kota mendominasi pada periode ini sebanyak

34%, diikui oleh Pilkades di ingkat desa 17%, dan pemilihan/ jabatan di ingkat provinsi 12,7%. Beberapa insiden kekerasan terkait pemilihan dan jabatan di ingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait, baik secara langsung maupung idak langsung dengan tren kekerasan Pemilu legislaif dan Pemilu presiden di tahun 2014. Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center edisi ketujuh mencatat dari 13 provinsi pada periode Januari-April 2014 terdapat 162 insiden kekerasan terkait Pemilu legislaif yang mengakibatkan tujuh orang tewas, 68 orang cedera dan 54 bangunan rusak.3 Sedangkan pada periode Mei-Agustus 2014 di 13 provinsi, kekerasan terkait pemilu legislaif berada pada tahap penetapan suara yang hasilnya memicu kekecewaan hasil pemilu legislaif dan

kekerasan terkait pemilu presiden oleh pendukung pasangan

calon presiden Prabowo-Hata yang dipicu oleh putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi-JK sebagai pemenang.4 Pada periode September-Desember 2014 tren kekerasan dalam pemilu legislaif berlanjut dimana dari total 22 insiden kekerasan pemilihan/jabatan di ingkat provinsi dan kabupaten/kota sebanyak empat insiden di ingkat provinsi dan 11 insiden di ingkat kabupaten kota terkait demonstrasi mahasiswa dalam pelanikan DPRD dan perelisihan dalam proses pemilihan internal ketua komisi di DPRD.

Selain insiden kekerasan terkait pengangkatan anggota

DPRD pascaPemilu Legislaif, insiden kekerasan juga terjadi

pada pasca Pemilu Presiden terkait pengangkatan presiden

dan pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Jakarta mengganikan Joko Widodo, gubernur Jakarta yang terpilih sebagai presiden. Front Pembela Islam (FPI), organisasi

keagamaan di Ibukota melakukan aksi demonstrasi

menentang pengangkatan Plt. Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok mengganikan Gubernur Joko Widodo. FPI

menurunkan segenap anggotanya di beberapa penjuru

3 Lihat kajian Perdamaian dan Kebijakan, The Habibie Center, Edisi 07/Juli 2014.

4 Lihat kajian Perdamaian dan Kebijakan, The Habibie Center, Edisi 08/ No-vember 2014.

pusat Jakarta seperi jalan Medan Merdeka Selatan, di Gambir, Cideng, dan Kebon Sirih. Demonstrasi yang bermula lancar berakhir dengan indakan anarkis melibatkan baku hantam antara 150 anggota FPI dengan pihak kepolisian. Anggota FPI juga membawa senjata tajam dan melakukan perusakan terhadap 7 mobil yang melintas di depan mereka. Massa FPI yang berada di Gambir juga membakar sebuah halte bus di depan stasiun gambir. Aksi anarkis ini berheni

di saat kepolisian menembakan gas air mata dan menangkap

pelaku kekerasan. Insiden ini mengakibatkan 11 polisi dan 4 anggota FPI terluka. FPI sudah beberapa kali melakukan aksi penolakan terhadap Ahok dengan berdemonstrasi. (Tempo, 4 Oktober 2014) melaporkan bahwa alasan FPI menolak Ahok adalah karena alasan agama dan etnis yang

dinilai akan melakukan diskriminasi terhadap umat Islam

seperi pelarangan kegiatan tablig akbar di Monas, tablig keliling dan pemotongan korban. Selain itu Tempo juga memberitakan bahwa selain FPI, Forum Betawi Rempug menyatakan keberatannya terhadap Ahok terkait pernyataan dan sikap Ahok yang seringkali berkata kasar dan dianggap memprovokasi.

Data SNPK pada periode September-Desember 2014 mencatat 210 insiden dalam kategori tata kelola pemerintahan yang mengakibatkan 1 orang tewas, 254

orang cedera dan 68 bangunan rusak. Kekerasan terkait tata kelola pemerintahan pada periode ini paling banyak terjadi

akibat program pemerintah (30,4%), Harga Komoditas/Subsidi

(26%), pelayanan publik (15,7%), penegakan hukum (11,9%),

korupsi (9,5%), tender (3,8%) dan pemekaran wilayah (2,3%). Presiden Joko Widodo setelah dilanik sebagai presiden

menghadapi tantangan pertama dalam permasalahan

kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Demonstrasi terhadap

kebijakan kenaikan BBM ini tercatat di 22 provinsi dengan

55 insiden dan mengakibatkan 1 orang tewas, 104 cedera dan 2 bangunan rusak. Data SNPK mencatat hampir seluruh demonstrasi yang berujung pada indak kekerasan dilakukan oleh mahasiwa kepada pemerintah daerah dan DPRD. Lebih dari 50% korban cedera terjadi di iga provinsi yaitu Riau (34 korban cedera), Jawa Barat (14 korban) dan Sumatera Barat

(10 korban cedera), sedangkan insiden demonstrasi yang

mengakibatkan satu orang tewas terjadi Sulawesi Selatan.

Insiden kekerasan yang dipicu demonstrasi BBM paling banyak terjadi di provinsi Sulawesi Selatan (15 insiden)

dimana terdapat 14 korban cedera dan salah satu insidennya mengakibatkan satu mahasiswa tewas. Tiga belas insiden

kekerasan terjadi di Kota Makasar bermula dari tanggal

4 November sampai dengan tanggal 27 November 2014, sedangkan sisanya terjadi di Palopo dan Bone. Demonstrasi yang berlangsung 27 hari ini berakhir dengan kemaian

seorang mahasiswa yang diduga terhantam benda tumpul

di saat terjadi bentrokan. Bentrokan ini bermula di saat 50 orang mahasiswa berdemo di depan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, jalan Urip Sumoharjo, di Makasar. 11

insiden bentrokan dalam aksi menentang kebijakan BBM di kota Makasar ini melibatkan mahasiswa dengan pihak aparat

kepolisian. Dua insiden lainnya ditempat berbeda terjadi

antara mahasiswa dengan warga kampung pada tanggal

(9)

warga kesal terhadap aksi mahasiswa yang sering kali menutup

jalan keika melakukan demonstrasi. Kekesalan warga mencapai iik puncak sehingga bentrokan dan aksi saling lempar batu idak bisa dihindari. Warga juga melemparkan

bom molotov ke dalam kampus hingga membuat 15 motor

dan 1 ATM terbakar serta ratusan sepeda dan 2 mobil milik mahasiswa rusak. Pada saat yang sama, di depan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makasar, terjadi bentrokan antara mahasiswa Unismuh dengan warga. Bentrokan ini

juga dipicu oleh aksi demonstrasi mahasiswa yang menutup

jalan warga. Akibatnya dua mahasiswa mengalami cedera terkena anak panah dan 3 motor mengalami kerusakan.

Pada periode ini tercatat 327 insiden konlik idenitas yang mengakibatkan 23 korban tewas, 384 cedera, dan 204

bangunan rusak. Dalam ketogri ini, data SNPK mencatat

insiden kekerasan didominasi oleh bentrokan antar-kampung (31%), perkelahian pelajar (29%), perkelahian antar kelompok geng (19%), dan perkelahian antar-supporter olah raga (18%)

(Gambar 4).

Lebih dari separuh dari total konlik antar kampung tercatat di Provinsi Sulawesi Selatan (32%) dan NTB (20%). Di Sulawesi Selatan, konlik antar kampung ini terjadi di empat

kabupaten/kota, secara berurutan yaitu Kota Makassar,

Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Palopo, dan Kabupaten Luwu. Sedangkan di Provinsi NTB, konlik antar kampung ini

tercatat di Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Kota

Bima. Konlik antar kampung di kedua provinsi ini telah tercatat berulang kali terjadi.

Menurut catatan data SNPK, 60% insiden bentrokan antar kampung di Provinsi Sulawesi Selatan dipicu oleh persoalan

antar-pemuda, yang idak ditangani dengan tuntas sehingga terjadi berulang-ulang. Walikota Makassar mensinyalir bahwa persoalan antar-pemuda ini terjadi karena kalangan pemuda yang idak memiliki akiitas tetap, sehingga sangat mudah terpancing berbuat negaif (Liputan 6.com, 3 Januari 2014). Pengamat Hukum UMI Prof.DR. Hasbi Ali, SH (Rakyat Sulsel Online, 5 Februari 2013) mengatakan, fenomena bentrokan yang marak terjadi akhir-akhir ini di Makassar sudah masuk pada tahap memprihainkan. Hal ini dipicu

oleh keidakpercayaan masyarakat terhadap pihak kepolisian

dalam menangani berbagai masalah sosial masyarakat yang

idak menimbulkan efek jera.

Di Provinsi NTB, Gravitasi Mataram (Kajian Perdamaian dan Kebijakan Provinsi NTB, Edisi 1/Desember 2014),5 menyebutkan bahwa konlik antar kampung di Kabupaten

Bima cenderung lebih sering terjadi pada masa usai panen

hasil pertanian antara bulan September-November seiap tahun. Insiden bentrokan sering terjadi pada musim kemarau, dimana masyarakat idak memiliki akivitas pertanian. Konlik

tersebut dipicu antara lain oleh persoalan antar pemuda/ pelajar, pencurian, serta tersinggung atas kejadian di tempat

hiburan dan kejadian di tempat pentas musik. Insiden-insden tersebut memicu konlik antar kampung karena solidaritas antarwarga masing-masing kampung.

Temuan tersebut sejalan dengan temuan im SNPK-THC terkait konlik antar kampung di Kabupaten Lombok Tengah. Disamping itu, im SNPK-THC mencatat beberapa faktor yang mendorong terus berulangnya konlik antar kampung, misalnya: dendam mendalam antara warga kampung,

persoalan pembangunan yang hanya biasa diakses sebagian kelompok dalam masyarakat, dan pola penanganan kasus

yang idak efekif dan idak tuntas6

Sama seperi periode-periode sebelumnya, insiden main

hakim pada periode ini didominasi oleh kekerasan terhadap

pelaku pencurian (71%), kekerasan yang terkait dengan harga diri/kertersingungan (16%), dan kekerasan sebagai

balasan atas pelaku kekerasan sebelumnya (8%) (Gambar

5). Data ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung idak

membawa kasus kriminal tersebut kepada aparat kemanan tetapi berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan

langsung menghukum pelakunya.

5 Gravitasi Mataram adalah forum LSM yang mengkoordinir im ini dalam menganalisis konlik kekerasan di Provinsi NTB dengan menggunakan data SNPK. Tim ini ini telah mendapatkan pelaihan substansi data SNPK dan teknik dasar mengolah data SNPK. Tim juga memperkuat analisis tersebut dengan stu-di kualitaif. Selain stu-di Provinsi NTB, THC juga telah membetuk im ini stu-di Provinsi Kalimantan Barat dan Papua. Pada tahun 2013, THC juga telah melaih staf Kes-bangpol dan Linmas Provinsi Aceh dalam menggunakan data SNPK untuk men-ganalisa kolik kekerasan di Provinsi Aceh

6 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center Edisi 06/Maret 2014

Gambar 4. Lima Urutan Teratas Insiden dan Dampak Konlik Idenitas 34 Provinsi di Indonesia (Sept-Des 2014)

(10)

Insiden main hakim sendiri pening diperhaikan karena dapat menjadi pemicu insiden yang lebih besar. Salah satu insiden pening yang dicatat oleh data SNPK adalah bentrokan antar dua dusun bertetangga di Kabupaten Lampung, Provinsi Lampung pada 27 November 2014. Insiden yang mengakibatkan iga orang cedera dan 94 bangunan rusak

tersebut dipicu oleh kabar bahwa dua orang warga Dusun 1 hilang dan diduga tewas dikeroyok oleh warga Dusun 2

karena dituduh sebagai pencuri. Warga asal kedua warga

yang tewas tersebut melakukan penyerangan hingga terjadi

bentrokan. Insiden ini menunjukkan bahwa insiden main

hakim sendiri bisa menjadi pemicu insiden dan dampak

kekerasan yang lebih besar.

Insiden-insiden main hakim sendiri ini dapat digolongkan ke dalam kekerasan ruin/kekerasan yang terjadi sehari hari. Insiden-insiden semacam ini merebak karena beberapa faktor, misalnya: keidakteraturan sosial, kemiskinan dan budaya kekerasan, serta rendahnya ingkat kepercayaan

masyarakat terhadap aparat keamanan dalam menjaga

tatanan dan menciptakan rasa aman. Selain itu, masyarakat

merasa resah dan membalas pelaku kriminal yang sering

berindak kejam tersebut. Isu kekerasan ini akan dibahas

lebih lanjut dalam bagian kedua kajian perdamaian dan

kebijakan ini.

Insiden konlik separais menurun sebesar 56% pada periode September-Desember 2014, dari 18 insiden pada periode

lalu menjadi 8 insiden. Disamping itu, dampak tewas dan

cedera juga menurun, masing-masing sebesar 67% dan 76%. Walaupun demikian, beberapa insiden penembakan

atau baku tembak dan penganiayaan masih terus terjadi,

misalnya: penembakan di Pasar Kecamatan Ilaga, Kabupaten Puncak, pada 25 September 2014, yang mengakibatkan seorang anggota TNI tewas. Insiden pembakan lainnya terjadi pada 3 Desember 2014 di depan kantor Bupai

Kabupaten Puncak yang mengakibatkan dua anggota polisi

tewas. Data SNPK periode ini juga tercatat baku tembak di sekitar Bandara Kecamatan Pirime Kabupaten Lanny Jaya pada 17 September 2014, yang mengakibatkan satu anggota

kelompok bersenjata tewas dan seorang lainnya mengalami

luka serius. Tercatat juga insiden penganiayaan oleh lima

orang anggota kelompok bersenjata pada 1 Oktober

2014yang mengakibatkan seorang anggota polisi tewas.7 Berbagai pihak menyebut bahwa konlik separais di

Papua harus diselesaikan dengan dialog dan pendekatan

kesejahteraan sejak tahun 2010. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan Inpres no. 66 tahun 2011 tentang pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), diikui dengan pembentukan desk

Papua di seiap kementerian/lembaga pemerintah lainnya.8 Akan tetapi pembentukan unit dan desk Papua tersebut idak berjalan efekif. Salah satu indikasi kuat tentang hal tersebut

adalah munculnya usulan untuk menjalankan Otsus Plus dan

masih terjadinya kekerasan di Papua.

7 Selain insiden-insiden tersebut, pada bulan Januari 2015 aparat gabun-gan TNI-Polri menangkap 116 orang anggota kelompok West Papua Interest

Associaion (WPIA). Kelompok ini mengajak untuk menuntut referendum dan melakukan peninjauan ulang hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 (Liputan 6.com, 8 Januari 2015)

8 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center Edisi 07/Juli 2014

Presiden Joko Widodo, dalam sambutan perayaan natal nasional di Papua pada 27 Desember 2014, seperi yang dikuip oleh Neles Tebay (Kompas, 6 Januari 2015), menyatakan bahwa “Masalah yang ada di Papua idak hanya berkaitan dengan ekonomi, sosial, atau poliik...” Masalah utama adalah “idak adanya saling percaya antara rakyat dan pemimpinnya.” Priesiden berjanji akan mencurahkan lebih banyak waktu untuk berdialog dengan masyarakat Papua. Dialog ini sendiri memiliki dimensi yang sangat luas. Neles Tebay (Kompas.com, 27 Februari 2015) memandang bahwa kata “dialog damai” mengandung iga makna, yaitu:

Pertama, mengingatkan tujuan akhir yang ingin dicapai

melalui dialog Papua. Kedua, menunjuk pada suasana atau kondisi yang dibutuhkan demi dialog Papua. Keiga, kata ‘damai’ mengisyaratkan agenda. Dialog Papua disebut dialog

damai karena agenda utamanya adalah pembangunan

perdamaian di Tanah Papua. Disamping itu, Neles Tebay

juga menyebutkan bahwa dialog damai perlu mengadopsi

mekanisme yang inklusif. Dengan demikian, iap kelompok pemangku kepeningan diberikan ruang untuk berdiskusi

secara internal, serta merumuskan dan menyumbangkan

pandangan kolekifnya tentang pembangunan Papua menjadi Tanah Damai. Pastor Jhon Jonga (suarapapua.com, 5 Januari 2014), menegaskan, syarat utama dialog antar

Jakarta dengan orang Papua adalah menempatkan posisi

secara setara dan dilakukan secara terbuka.

Disamping dialog damai yang didengungkan lebih keras

oleh Pemerintahan Joko Widodo, kekerasan yang terjadi di Papua juga terus tercatat. Salah satu insiden pening pada 8 Desember 2014 adalah bentrokan antara aparat TNI dengan masyarakat di Kabupaten Paniai yang mengakibatkan 4 orang tewas dan 16 lainnya cedera. Bentrokan merupakan

kelanjutan dari insiden perkelahian antara aparat dengan warga sehari sebelumnya, yang mengakibatkan seorang

anak berusia 12 tahun terluka. Perkelahian itu sendiri terjadi karena sejumlah pemuda menegur aparat yang idak menyalakan lampu mobil keika melintasi kawasan. Teguran

tersebut berakhir dengan perkelahian yang bisa dilerai oleh

warga. Akan tetapi, beberapa aparat kembali ke kawasan itu dan menganiaya salah satu anak tersebut di atas.

Informasi lain menyebutkan bahwa bentrokan tersebut terjadi karena seorang pengendara sepeda motor ditegur

karena lampunya idak berfungsi keika melewai pos polisi. Teguran itu menyakii hai pengendara. Mereka lalu berteriak untuk memanggil teman-teman satu kampung. Tidak lama

kemudian, puluhan warga menyerang dan membakar

kantor kepolisian, Koramil, dan kantor KPUD yang letaknya berdekatan. Menurut Menkopulhukkam polisi berada dalam situasi mendesak, lalu melepaskan tembakan (Tempo.co, 17 Desember 2014)

Berbagai pihak menuntut penyelesaian secara tuntas kasus

di Paniai di atas. Natalius Pigai, Komisioner Komnas Ham (Republika Online, 11 Desember 2014) menyebut bahwa

insiden tersebut adalah kejahatan serius dan meminta

Menkopolhukkam memimpin Invesigasi. Akan tetapi, idak

ada informasi jelas mengenai perkembangan penanganan

kasus tersebut. Kriikan atas penanganan kasus ini telah

(11)

(The Jakarta Post, 23 Desember 2014), yang menyatakan

bahwa dengan mengabaikan insiden di Paniai tersebut dan

idak melakukan invesigasi secara serius terhadap aparat, presiden telah gagal membukikan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia.

Pesan yang disampaikan Jokowi tentang saling percaya

antara rakyak dan pemimpinnya harus diindaklanjui dengan komitmen nyata berbagai pihak terkait Papua. Seiap

pihak harus mulai merancang format dialog yang selama ini

didengung-dengungkan. Disamping itu, kesadaran bahwa

dialog merupakan proses panjang harus terus dijaga, dengan

memperimbangkan bahwa persoalan pragmais, poliis, dan ideologis harus mendapatkan perhaian yang sama.

1.b Kriminalitas, KDRT dan Kekerasan Aparat

Insiden kriminalitas dengan kekerasan pada periode

September-Desember 2014 tercatat sebanyak 5.088 insiden yang mengakibatkan 564 korban tewas, 3.209 orang

cedera, 827 korban pemerkosaan dan 257 bangunan rusak.

Jika dibandingkan dengan periode Mei-Agustus 2014, pada

periode ini terjadi penurunan insiden kekerasan (10,8%),

korban tewas (6,1%), korban cedera (4,2%), dan korban pemerkosaan (44,1%). Kenaikan hanya tercatat pada jumlah bangunan (10.3%).

Bentuk kekerasan yang tercatat paling sering terjadi dalam

kategori ini adalah penganiayaan 2.979 insiden yang mengakibatkan 384 tewas, 1935 cedera, dan 31 bangunan rusak. Insiden penganiayaan ini sering terjadi di Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Papua.

Berikutnya, bentuk insiden lain yang tercatat paling

banyak adalah perampokan yang tercatat 1.444 insiden dan mengakibatkan 96 tewas dan 917 cedera. Data SNPK

juga mencatat 827 korban pemerkosaan dalam insiden

kriminalitas ini. Bentuk insiden ini tercatat paling banyak terjadi di provinsi Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jabodetabek, dan Papua.

Kekerasan terkait kriminalitas ini bersama dengan kekerasan main hakim sendiri akan dibahas secara mendalam dalam

bagian kedua publikasi ini.

Data SNPK mencatat insiden KDRT pada periode

September-Desember 2014 sebanyak 685 insiden mengakibatkan 146

orang tewas, 436 cedera dan 101 korban perkosaan.

Insiden-insiden KDRT mengalami penurunan sebanyak 6% dan perkosaan sebanyak 37% dibanding dengan periode periode Mei-Agustus 2014 yang lalu. Hampir seluruh insiden KDRT terjadi dalam bentuk penganiayaan (99%). Dari data SNPK di 34 propinsi pada periode September-Desember 2014, 65.8% insiden-insiden KDRT terjadi di sepuluh provinsi yaitu Sumatera Utara (74 insiden), Sulawesi Utara (60 insiden),

Bengkulu (59 insiden), Jawa Timur (52 insiden), Sumatera

Selatan (42 insiden), Papua (35 insiden), Jawa Tengah (34 insiden), Jabodetabek (34 insiden), Kalimantan Timur (32 insiden), Sulawesi Selatan (29 insiden).

Data SNPK mencatat korban tewas terbesar dalam insiden

KDRT adalah bayi/balita, yaitu 95 orang atau 65% dari

total korban tewas dalam kategori ini. Dari data SNPK periode terlihat bahwa anak-anak dan balita menjadi sasaran kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri. Maraknya pembuangan anak dalam kasus KDRT menunjukan meningkatnya perilaku seksual bebas tetapi idak dibarengi dengan kesiapan perlaku untuk bertanggungjawab.

Pada periode empat bulan terakhir di tahun 2014 ini,

insiden kekerasan aparat terjadi dalam menegakkan hukum tercatat sebanyak 658 insiden, yang mengakibatkan 71 orang tewas dan 716 cedera. Insiden kekerasan di periode

ini mengalami kenaikan 11%, korban tewas naik 113%, serta

dampak cedera naik 109% dibandingkan dengan periode

empat bulan sebelumnya. Insiden dan dampak kekerasan

aparat tercatat paling banyak di Provinsi Sumatera Selatan

(90 insiden, 14 tewas dan 94 cedera), Jawa Timur (78 insiden,

12 tewas dan 97 cedera)9, Jabodetabek (75 insiden, 11 tewas

dan105 cedera), dan Sumatera Utara (46 insiden, 4 tewas dan 45 cedera).

Bentuk kekerasan yang terjadi di dalam insiden kekerasan aparat adalah penganiayaan (90%) yang yang mengakibatkan 51 orang tewas dan 716 orang cedera Dari total 71 orang tewas akibat kekerasan aparat diantaranya terjadi dalam

penegakan hukum seperi perisiwa perampokan (24 insiden

dan 29 tewas), pencurian (22 insiden dan 25 tewas), razia

lalu lintas (2 insiden dan 4 tewas), penggerebekan narkoba

(2 insiden dan 2 tewas), menengahi perkelahian (2 insiden)

dan lain-lain (9 insiden dan 9 tewas).

Bagian 2. Kekerasan Ruin dan Pembangunan Perkotaan

di Indonesia

Dinamika pembangunan perkotaan di Indonesia idak dapat dilepaskan dari beragam persoalan dan tantangan. Persoalan

urbanisasi, kemiskinan, kemacetan, kawasan pemukiman kumuh, dan kualitas lingkungan hidup merupakan tantangan

serius yang dihadapi hampir seluruh kota di Indonesia. Di

samping itu, persoalan kekerasan juga menjadi tantangan

besar dalam dinamika pembangunan perkotaan di Indonesia. Data SNPK 2005-2014 mencatat bahwa sebagian besar insiden kekerasan ruin (rouine violence) terjadi di wilayah

perkotaan, khususnya di kota-kota besar di Indonesia.

Hal ini sejalan dengan temuan Imbusch et al (2011) yang

menyebutkan bahwa persoalan kekerasan menjadi tantangan

yang seringkali dihadapi oleh kota-kota di hampir seluruh dunia.

Persoalan kekerasan ruin di perkotaan patut menjadi perhaian pening karena arah pembangunan akan cenderung terpusat di wilayah perkotaan di Indonesia. Dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 (BPS, 2013), disebutkan bahwa proyeksi ingkat urbanisasi di Indonesia akan mencapai 66,6% pada tahun 2035. Hal ini sejalan dengan

studi Bank Dunia dalam East Asia’s Changing Urban Lanscape

tahun 2015, yang menyebutkan bahwa 68% penduduk akan

memenuhi kota-kota di Indonesia. Proyeksi tersebut akan mendorong persoalan-persoalan perkotaan di Indonesia

menjadi semakin kompleks, termasuk fenomena kekerasan

(12)

insiden kekerasan ruin sangat potensial juga ikut meningkat.

Kekerasan terus meningkat akan menjadi ancaman bagi

pembangunan perkotaan di Indonesia. Kondisi tersebut

merupakan tantangan besar bagi pemerintah maupun para

pemangku kepeningan lain.

Kekerasan ruin yang marak di wilayah perkotaan merupakan potret yang tak terlepas dari persoalan-persoalan dasar perkotaan.10 Kondisi tersebut seakan menjadi gambaran umum di hampir seluruh dunia. Vanderschueren (2001)

menyebutkan bahwa hampir 60% penduduk di perkotaan

di dunia kerap menjadi korban kekerasan. Menurut Vanderschueren, insiden kekerasan di perkotaan kerap terjadi secara spontan, seperi kekerasan terhadap para pelaku pencurian. Fenomena kekerasan di perkotaan seringkali

di dorong beberapa faktor utama, yakni lemahnya hukum (lawlessness), pendapatan masyarakat yang rendah, idak

adanya kontrol sosial, banyaknya jumlah kelompok pemuda

yang frustasi, dan terbatasnya upaya-upaya proteksi terhadap warga. Selain faktor-faktor tersebut, Vanderschueren (2001)

melihat bahwa fenomena urbanisasi yang cukup pesat

sejalan dengan peningkatan kekerasan di perkotaan (urban

violence).

Lebih lanjut, fenomena kekerasan ruin yang marak

diperkotaan kerap luput dari pengamatan ataupun analisis

para penelii maupun penggiat perdamaian (Barron, et al.

2009). Barron et al mendeinisikan kekerasan ruin sebagai

kekerasan yang secara frekuensi sering terjadi (seperi aksi

main hakim sendiri terhadap pelaku pencurian) dan bukan

merupakan bagian dari konlik besar serta dampak per insiden yang relaif kecil. Umumnya, insiden-insiden kekerasan ruin dipicu oleh isu-isu keseharian di tengah masyarakat dan bukan kekerasan yang didorong oleh persoalan idenitas, seperi etnis, agama, atau wilayah. Barron et al menambahkan

bahwa karakterisik utama kekerasan ruin adalah: Pertama,

skala kekerasan relaif kecil, namun sering terjadi dan jika diakumalasi dampak tewas akibat kekerasan ruin cenderung

10 Persoalan-persoalan dasar perkotaan antara lain, kemiskinan, urbanisasi, dan kekerasan (Researching The Urban Dilemma: Urbanizaion, Poverty And Violence, 2012)

besar. Kedua, meskipun kekerasan ruin terjadi dalam skala

yang kecil, namun memiliki akibat yang cukup serius jika

terjadi secara terus-menerus. Keiga, terkadang kekerasan

ruin juga dapat memicu kekerasan yang berkepanjangan di suatu wilayah.

Tadjoeddin (2014) mendeinisikan kekerasan ruin ( rouine-everyday violence) sebagai fenomena kekerasan yang idak memiliki tujuan poliik yang ekspilisit, seperi separaisme atau upaya penggulingan rezim berkuasa.11 Akan tetapi, ia menekankan bahwa kekerasan ruin idak hanya sebagai suatu indak kriminal biasa, meskipun terdapat aspek kriminalitas di dalamnya. Tadjoeddin (2014) juga menyebutkan bahwa kekerasan ruin seringkali terjadi dalam bentuk main hakim sendiri terhadap para pelaku kriminal. Hal senada juga

disebutkan oleh Imbusch et al (2011) bahwa umumnya

kekerasan ruin (everyday violence) terjadi dipicu oleh

persoalan-persoalan interpersonal, bukan terkait perang atau konlik bersenjata.

Jika dilihat analisis terhadap data SNPK sepanjang tahun

1998-2004, kekerasan ruin telah mengemuka di kehidupan sehari-hari masyarakat. Akan tetapi, kekerasan ini luput dari perhaian karena berbagai pihak memusatkan perhaian pada konlik-konlik komunal berskala besar di beberapa provinsi di Indonesia. Pada periode 2005-2014, dinamika kekerasan mengalami perubahan, dimana kekerasan ruin

terlihat semakin marak, sedangkan tren kekerasan terkait

konlik idenitas dan separaisme mengalami penurunan yang sangat signiikan (Gambar 6).12 Kondisi tersebut

menunjukan secara gamblang bahwa fenomena kekerasan

ruin merupakan satu isu/persoalan yang dominan terjadi pada lebih dari satu dekade terakhir.

11 Tadjoeddin (2014) menyebutkan bahwa konlik kekerasan di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua, yakni episodik dan ruin. Kekerasan episodik terdiri dari separais dan kekerasan etnis. Karakter kekerasan episodik berkaitan dengan konsentrasi insiden baik menurut waktu dan lokasi. Tak hanya itu, in-siden-insiden kekerasan tersebut memuncak pada awal transisi demokrasi dan menunjukan pola yang jelas terkonsentrasi di beberapa daerah.

(13)

Untuk memahami persoalan tersebut, Kajian Perdamaian dan

Kebijakan THC kali akan membahas lebih dalam fenomena

kekerasan ruin sepanjang tahun 2014 di Indonesia. Terdapat dua alasan utama im SNPK-THC untuk mendalami kekerasan ruin sepanjang tahun 2014, yakni ketersedian data SNPK yang telah mencakup seluruh provinsi di Indonesia.13 Hal ini

akan memberikan gambaran menyeluruh tentang fenomena

kekerasan ruin. Alasan kedua adalah im SNPK-THC mencoba untuk memotret terkait fenomena kekerasan ruin terkini dengan beragam karakterisik. Lebih lanjut, kajian ini akan mencoba untuk melihat pola dan tren kekerasan ruin yang kerap terjadi di wilayah perkotaan Indonesia. Tak hanya itu, kajian ini juga akan membahas bagaimana insiden-insiden kekekerasan ruin dapat marak terjadi di suatu wilayah, sedangkan di wilayah lain idak terjadi. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap maraknya insiden-insiden kekerasan ruin di suatu wilayah juga menjadi pening untuk dilihat dalam kajian ini. Hal yang idak kalah pening dalam kajian ini

adalah perumusan kebijakan yang tepat untuk menangani

fenomena kekerasan ruin di Indonesia, khususnya di wilayah

perkotaan sehingga berbagai pihak dapat mengambil

pelajaran dari hasil kajian ini.

Tim SNPK-THC melakukan iga langkah untuk dan menganalisa fenomena kekerasan ruin ini. Pertama; mengolah dan

menganalisa data SNPK sepanjang tahun 2014, kedua;

melakukan studi pustaka terkait dengan studi-studi tentang kekerasan ruin, baik di Indonesia maupun di negara lain,

dan keiga; melakukan studi lapangan di wilayah Jabodetaek

dan kota Manado, Sulawesi Utara (alasan memilih kedua wilayah tersebut akan dijelaskan pada bagian selanjutnya). Di Jabodetabek, studi lapangan dilakukan pada 16-28 Februari 2015, sedangkan di kota Manado pada 20-28 Februari 2015. Tim berhasil mewawancari 24 informan di Jabodetabek 21 informan di kota Manado. Pihak-pihak yang diwawancarai

adalah perwakilan pemerintah, aparat keamanan, akademisi,

akivis LSM, pelaku dan korban kekerasan, dan masyarakat umum di kedua wilayah tersebut.

2.1. Potret Kekerasan Ruin di Indonesia

Data SNPK menunjukan sebanyak 16.418 insiden kekerasan ruin terjadi sepanjang 2014 yang mengakibatkan 1.720 tewas, 12.374 cedera, dan 1.012 bangunan rusak. Jika dilihat tren per bulan, fenomena kekerasan ruin cenderung terjadi secara dinamis sepanjang tahun 2014 (Gambar 7).

Pada gambar X1 terlihat bahwa intensitas kekerasan paling

besar terjadi pada bulan Mei dengan 1.622 insiden yang mengakibatkan 162 tewas, 1.089 cedera, dan 87 bangunan rusak. Di samping itu, intensitas dampak tewas dan bangunan rusak akibat kekerasan ruin paling banyak terjadi di bulan Oktober jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Sebanyak 1.433 insiden kekersan terjadi yang mengakibatkan 167 tewas, 1.126 cedera, dan 137 bangunan rusak.

Potret fenomena kekerasan ruin sepanjang tahun 2014

menunjukan bahwa mayoritas insiden (99%) terjadi dalam

13 Pada tanggal 2 Desember 2014, Puan Maharani selaku Menteri Pemban-gunan Manusia dan Kebudayaan telah meluncurkan data SNPK yang mencakup seluruh provinsi di Indonesia.

skala kecil.14 Salah satu insiden berskala kecil adalah insiden

penganiayaan terhadap satu karyawan swasta yang dilakukan oleh teman kerja korban di Kabupaten Merauke, Papua di

bulan November. Insiden tersebut dipicu kesalahpahaman

karena korban diduga berbicara dengan nada keras terhadap

pacar pelaku. Akibat insiden tersebut korban mengalami luka-luka karena dianiaya pelaku. Meskipun demikian, fenomena kekerasan ruin terkadang dapat juga terjadi dalam skala besar, walaupun dalam jumlah yang sangat kecil.

Salah satu contoh insiden yang terjadi dalam skala besar

adalah bentrokan antara mahasiswa Universitas Negeri Manado (UNIMA) asal Papua dan warga desa Tataaran Dua, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Insiden tersebut

dipicu oleh teguran warga terhadap para mahasiswa yang

diduga mabuk dan meresahkan pemukiman mereka. Teguran

tersebut mendorong aksi penyerangan mahasiswa terhadap

warga yang berujung bentrokan antara dua pihak tersebut.

Insiden tersebut mengakibatkan satu tewas, empat cedera,

dan 30 bangunan rusak. Berdasarkan data SNPK sepanjang tahun 2014, terdapat 21 insiden berskala besar yang mengakibatkan 38 tewas, 154 cedera, dan 143 bangunan rusak.

Insiden kekerasan ruin dilatarbelakangi oleh beragam persoalan. Data SNPK tahun 2014 mencatat sebagian besar

(21%) insiden kekerasan yang terjadi adalah penghakiman

massal terhadap para pelaku pencurian. Insiden-insiden kekerasan ruin juga dipicu oleh tersinggung atau harga diri. Di samping itu, data SNPK juga mencatat maraknya

insiden-insiden kriminalitas dengan kekerasan (violent crime) dan

perkosaan. Insiden kriminalitas dengan kekerasan tersebut

mengakibatkan 28% dari total korban tewas dalam kekerasan

ruin. Persoalan yang idak kalah pening dalam fenomena kekerasan ruin adalah maraknya warga-masyarakat

melakukan aksi balas dendam yang dipicu oleh kekerasan

yang terjadi sebelumnya. Berdasarkan data SNPK, insiden balas dendam tersebut idak hanya mengarah langsung

terhadap pihak yang diduga melakukan kekerasan, akan

tetapi juga mengarah pada bangunan/properi yang dianggap terkait. Ini dapat dilihat dengan 305 bangunan rusak yang terjadi dalam insiden-insiden balas dendam tersebut. Data SNPK menunjukkan bahwa kekerasan ruin dapat muncul dalam dua pola utama. Pertama, insiden-insiden kekerasan

14 Data SNPK mengkategorikan insiden menjadi dua, yakni insiden berskala besar dan kecil. Insiden berskala besar adalah insiden yang mengakibatkan seidaknya iga tewas dan/atau 10 cedera dan/atau 15 bangunan rusak.

(14)

ruin dapat terjadi secara spontan dan idak direncanakan sebelumnya. Insiden-insiden tersebut seringkali merupakan indakan reakif warga terhadap sesuatu penyimpangan atau kejahatan di lingkungan sekitar. Ini acapkali dapat dilihat, seperi dalam kasus-kasus main hakim sendiri terhadap

pencuri yang tertangkap, kekerasan terhadap para pelaku

kecelakan lalu lintas. Kedua, insiden-insiden kekerasan

ruin juga dapat terjadi secara spontan, namun melibatkan mobilisasi massa. Biasanya, insiden tersebut dipicu oleh persoalan-persoalan yang terus berulang di tengah masyarakat. Persoalan tersebut seringkali membuat resah masyarakat dan idak dapat ditangani oleh pihak pemerintah atau aparat keamanan, seperi insiden amuk massa terhadap terduga dukun santen. Tak hanya itu, pengalaman konlik di

antara kelompok warga juga kerap mendorong munculnya aksi mobilisasi massa yang spontan yang diawali dengan

insiden-insiden kekerasan ruin.

Tabel 2. Jenis Kekerasan Ruin di Indonesia Tahun 2014

Kekerasan Ruin Insiden

Dampak Kekerasan

Tewas Cedera Bangunan

Rusak

Kekerasan terhadap

Pelaku Pencurian 3.477 257 3.965 49

Kekerasan Akibat

Tersinggung 2.967 405 2.971 163

Kriminalitas dengan

Kekerasan 2.917 490 2.147 93

Perkosaan 2.799 38 234 26

Aksi Balas Dendam

atas Penganiayan 2.185 281 1.658 305

Kekerasan terkait

Kasus Perzinahan 573 95 473 34

Aksi Balas Dendam

atas Perusakan 482 5 77 236

Kekerasan Akibat

Mabuk 421 59 360 23

Kekerasan Terkait

Hutang-Piutang 246 62 177 11

Kekerasan terhadap

Pelaku Tabrak Lari 121 10 180 8

Kekerasan terkait

Penegakan Hukum 87 0 61 56

Penculikan 60 4 23 0

Kekerasan terkait

Kasus Perdukunan 37 8 15 8

Kekerasan terkait

Kasus Narkoba 27 4 9 0

Kekerasan terkait

Kasus Maksiat 19 2 24 0

Total 16.418 1.720 12.374 1.012

Lebih lanjut, insiden kekerasan ruin kerap terjadi dalam iga bentuk utama, yaitu: penganiayaan, pengeroyokan,

dan perusakan (Tabel 3). Data SNPK menunjukan bahwa

penganiayaan (61%) merupakan bentuk kekerasan yang dominan terjadi, yang umumnya terjadi antara individu

atau beberapa individu. Berdasarkan data SNPK tahun 2014, insiden penganiayaan biasanya dipicu oleh hal-hal sepele yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, seperi tersinggung akibat indakan atau ucapan pihak lain. Akan tetapi, insiden-insiden penganiayaan yang dipicu hal sepele tersebut secara kumulaif menyumbang dampak tewas yang sangat signiikan, yaitu 69% dari total dampak tewas dalam kekerasan ruin.

Selanjutnya, pengeroyokan tercatat sebanyak 24% dari total insiden kekerasan ruin, yang sebagian besar merupakan respon terhadap indakan kriminal kecil (pety crime).

Berdasarkan data SNPK, insiden pengeroyokan sering dilakukan oleh beberapa individu atau kelompok masyarakat

terhadap para pelaku pencurian yang tertangkap. Salah satu

contoh insiden tersebut adalah aksi pengeroyokan yang dilakukan sekelompok warga terhadap seorang yang diduga pencuri ayam di Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar,

Sulawesi Selatan pada Agustus 2014. Di samping itu,

insiden-insiden pengeroyokan juga marak terjadi sebagai upaya atau aksi balas dendam terhadap pelaku kekerasan yang

terjadi sebelumnya. Seperi pada insiden pengeroyokan

yang dilakukan oleh sekelompok warga desa Sepuh Kiriman terhadap seorang warga desa Tambak Oso di Kabupaten

Sidoarjo, Jawa Timur pada Mei 2014. Insiden pengeroyokan

tersebut merupakan aksi balasan atas penusukan terhadap

iga warga Sepuh Kiriman sehari sebelumnya.

Tabel 3. Bentuk-bentuk Kekerasan Ruin di Seluruh Provinsi di Indonesia Sepanjang Tahun 2014

Bentuk

Kekerasan Insiden

Dampak Kekerasan

Tewas Cedera Bangunan

Rusak

Penganiayaan 10.047 1.185 6.036 93

Pengeroyokan 4.016 276 4.853 21

Perusakan 1.074 7 94 614

Perkelahian 859 221 903 10

Bentrokan 231 23 389 115

Penculikan 115 7 36 0

Demonstrasi

Anarkis 26 0 37 5

Kerusuhan 17 0 12 146

Serangan Teror 17 0 2 7

Blokade 12 1 10 0

Sweeping 4 0 2 1

Total 16.418 1.720 12.374 1.012

Selain itu, perusakan juga menjadi bentuk kekerasan yang

menonjol dalam insiden-insiden kekerasan ruin. Berbeda dengan penganiayaan dan pengeroyokan, insiden-insiden perusakan dapat dalam iga kondisi, yakni (1) terjadi secara spontan tanpa ada persoalan yang terjadi sebelumnya; (2)

respon atau aksi balas dendam terhadap insiden kekerasan

sebelumnya; dan (3) kekecewaan terhadap proses-proses penegakan hukum. Insiden perusakan spontan biasanya terjadi keika warga atau kelompok warga yang sedang

dalam pengaruh alkohol melakukan perusakan terhadap

bangunan di sekitar mereka. Sedangkan, perusakan sebagai

aksi balas dendam kerap dilakukan oleh sekelompok warga

yang idak terima dengan indakan penganiayaan yang terjadi sebelumnya. Dari analisis data SNPK, aksi perusakan idak hanya menyasar bangunan milik warga yang melakukan

penganiayaan, namun kerap menjelar ke bangunan lainnya, bahkan dapat menyasar kepada seluruh bangunan di satu

wilayah komunitas. Seperi pada insiden pengrusakan yang dilakukan warga kampung Mata Air di kampung Tanah Puih, Kabupaten Manggarai, NTT pada Oktober 2014. Insiden

(15)

Mata Air yang diduga dilakukan warga kampung Tanah Air. Akibat insiden tersebut rumah terduga penganiayaan dan 13 rumah warga Tanah Air lainnya mengalami kerusakan. Kekerasan ruin merupakan fenomena yang kerap terjadi sehari-hari yang melibatkan warga-masyarakat. Jika dilihat lebih jauh, insiden-insiden kekerasan ruin sangat dominan

dengan keterlibatan warga (Gambar 8). Berdasarkan data

SNPK tahun 2014, sekitar 82% dari keseluruhan insiden kekerasan ruin melibatkan warga dengan warga. Biasanya, insiden-insiden antara warga dengan warga dapat terjadi antar-individu atau antara individu dengan kelompok warga. Di sisi lain, insiden-insiden kekerasan ruin juga kerap terjadi antar-siswa, yakni 8% dari total insiden. Data SNPK menunjukan bahwa sebagian besar insiden kekerasan antar-siswa terjadi dalam bentuk penganiayaan.

Jika dilihat persebaran wilayah, insiden kekerasan ruin cukup menonojol di beberapa wilayah di Indonesia. Data SNPK tahun 2014 menunjukan bahwa insiden kekerasan ruin dominan terjadi di lima wilayah, yakni Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, dan

Jabodetabek (Tabel 4). Sedangkan, lima wilayah yang paling

banyak terdapat korban tewas akibat kekerasan ruin adalah Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sumatera Utara, Jabodetabek, dan Jawa Timur. Jika dilihat lebih rinci, intensitas (insiden

per populasi) dan fatalitas kekerasan (tewas per populasi)

paling dominan terjadi di Sulawesi Utara.15 Hal pening yang patut diperhaikan dari data tersebut adalah kekerasan ruin banyak terjadi di wilayah yang selama ini relaif idak menjadi sorotan atau fokus penanganan konlik dan kekerasan di Indonesia, seperi Sulawesi Utara.16 Hal pening lainnya yang perlu untuk diperhaikan adalah fenomena kekerasan ruin sangat marak di ibukota-ibukota provinsi di Indonesia. Data SNPK sepanjang tahun 2014 menunjukan sekitar 40% insiden kekerasan ruin terjadi di 34 ibukota provinsi di Indonesia, sedangkan sisanya menyebar di 455 kabupaten/kota.

15 Umumnya untuk mendapatkan gambaran insiden dan dampak tewas yang lebih proposional dan berimbang antar-wilayah, maka diperlukan normalisasi dengan jumlah populasi (per 100.000 jiwa penduduk) sebagai upaya melihat intensitas suatu fenomena kekerasan (Insitute for Economic and Peace, 2012). 16 Kementerian Sosial mengindikasikan beberapa wilayah yang rawan konlik sosial pada tahun 2014 lalu, yakni Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah (htp://kesbangpol.kemendagri.go.id/, di-akses pada 27 Januari 2015).

Gambaran data tersebut memperlihatkan bahwa kondisi pusat-pusat kota di Indonesia cenderung rawan dengan insiden-insiden kekerasan ruin.

Tabel 4. Insiden dan Dampak Kekerasan Ruin di Seluruh Provinsi di Indonesia Tahun 2014

Wilayah Insiden Tewas Insiden Kekerasan (per 100,000 penduduk) (per 100,000 penduduk)Dampak Tewas

Sumatera

Utara 1.809 156 13.93 1.20

Jawa Timur 1.550 153 4.14 0.41

Sulawesi

Utara 1.207 81 53.16 3.57

Sumatera

Selatan 1.078 179 14.47 2.40

Jabodetabek 934 155 9.72 1.61

Jawa Barat 879 178 2.04 0.41

Papua 831 69 29.33 2.44

Sulawesi

Selatan 689 99 8.58 1.23

Jawa Tengah 656 73 2.03 0.23

Bengkulu 617 20 35.97 1.17

Kalimantan

Timur 548 30 15.42 0.84

Riau 508 56 9.17 1.01

Nusa Tenggara Timur

443 36 9.46 0.77

Kalimantan

Tengah 433 34 19.57 1.54

Kepulauan

Riau 390 33 23.23 1.97

Nusa Tenggara Barat

352 33 7.82 0.73

Bali 345 16 8.87 0.41

Lampung 338 59 4.44 0.78

Sumatera

Barat 338 18 6.97 0.37

Papua Barat 330 21 43.40 2.76

Aceh 289 30 6.43 0.67

Kalimantan

Selatan 258 56 7.11 1.54

D I

Yogyakarta 238 14 6.88 0.40

Jambi 223 29 7.21 0.94

Sulawesi

Tengah 220 24 8.35 0.91

Maluku

Utara 210 11 20.23 1.06

Banten 208 45 1.96 0.42

Kepulauan Bangka Belitung

188 17 15.37 1.39

Kalimantan

Barat 182 24 4.14 0.55

Maluku 165 13 10.76 0.85

Sulawesi

Tenggara 149 24 6.67 1.07

Gorontalo 104 11 10.00 1.06

Kalimantan

Utara 47 2 6.50 0.28

Sulawesi

Barat 22 3 1.90 0.26

Gambar

Gambar 1. Insiden dan Dampak Kekerasan di 34 Provinsi (Januari-Desember 2014)
Gambar 3. Dampak Kemaian Akibat Kekerasan Antar Aktor
Gambar 4. Lima Urutan Teratas Insiden dan Dampak Konlik
Gambar 6. Isu-isu Kekerasan Sepanjang 1998-2004 dan 2005-2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini menganalisa apakah faktor atribut produk, promosi, brand image dan harga terhadap keputusan pembelian kartu perdana internet Axis pada mahasiwa

POTENSI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO DAN PEMANFAATANNYA UNTUK MASYARAKAT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKURAI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Dalam penelitian ini, dibahas kestabilan model mangsa pemangsa tiga populasi dengan penyakit yang menyebar pada pemangsa super di mana fungsi predasi mengikuti

Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui tingkat dukungan sosial teman sebaya remaja pada siswa kelas X di SMKN 2 Malang (2) untuk mengetahui tingkat konsep

Dari hasil percobaan dengan skenario pengiriman pesan telegram saat ada absesensi pada masing-masing alat secara terpisah, pada kedua alat secara bersamaan, dan

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul:

Penguatan ( Reinforcement ) adalah segala bentuk respon, apakah bersifat verbal atau non verbal, yang merupakan bagian dan modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa yang

Pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur disaksikan oleh Saksi Pasangan Calon, serta diawasi oleh BAWASLU KOTA TANJUNGPINANG