• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Kasus Hukum Administrasi Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Contoh Kasus Hukum Administrasi Negara"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Contoh Kasus Hukum Administrasi Negara

Pemerintah Kota Jakarta Barat membongkar 80 rumah yang dibangun di bantaran sungai di 8 kecamatan yang ada di Jakarta Barat. Dalam kasus ini pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang yakni terdapat pelanggaran mengenai garis sempadan sungai.

Sanksi administrasi yang diberikan yang pertama adalah surat peringatan secara berjenjang namun apabila tidak ditanggapi maka dilakukan pembongkaran bangunan Keberadaan bangunan tersebut juga dinilai sebagi salah satu faktor penyebab banjir

Bentuk Sanksi Administratif

Pelanggaran tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 62 UU 26 tahun 2007 yakni Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif. Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan yang dilarang. Disamping itu, sanksi administrasi terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut (Siti Sundari Rangkuti, 2005:217)

Bentuk sanksi tersebut dapat berupa: · peringatan tertulis;

· penghentian sementara kegiatan;

· penghentian sementara pelayanan umum; · penutupan lokasi;

· pencabutan izin; · pembatalan izin

· pembongkaran bangunan

Bentuk pelanggaran yang bersifat administrasi tersebut juga dapat dikenakan saksi pidana melalui kebijakan kriminalisasi, yaitu upaya untuk menjadikan suatu perbuatan tertentu (dalam hukum administrasi) sebagai perbuatan yang dapat dipidana/dijatuhi/dikenakan sanksi pidana. Proses kriminalisasi ini dapat diakhiri dengan terbentuknya atau lahirnya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Kebijakan kriminalisasi juga dapat dilihat sebagai asas pengendalian (principle of restrain) pada pendekatan pergeseran peran atau fungsi pidana dari ultimum menjadi premium remedium yang menyatakan sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila instrumen hukum lain tidak efektif (asas subsidaritas) serta pendekatan apabila terdapat perluasan dalam berlakunya hukum pidana. Victor Situmorang berpendapat bahwa “apabila ada kaidah hukum administrasi negara yang diulang kembali menjadi kaidah hukum pidana, atau dengan perkataan lain apabila ada pelanggaran kaidah hukum administrasi negara, maka sanksinya terdapat dalam hukum pidana”

SIDOARJO- Massa pendukung calon bupati Pamekasan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari, mendatangi kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, di jalan Letjen Sutoyo, Medaeng, Waru Sidoarjo. Mereka memberikan dukungan kasus sengketa Pilkada 2013 yang ada di Kabupaten Pamekasan.

Massa yang menamakan Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Pamekasan (KOMPAS), menuding KPUD Pamekasan diduga berkonspirasi dengan pasangan incumbent Bupati Pamekasan Kholilurahman dengan pasangannya.

"Panwas merekomendasikan pasangan incumbent. Tapi mendiskualifisikan Achmad Syafii berpasangan dengan Khalil Asy'ari, yang mencalonkan diri sebagai Bupati Pamekasan periode 2013-2018," kata Hanafi, salah seorang pendukung Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari, kepada detiksurabaya.com, Selasa (27/11/2012).

(2)

(ASRI) dari partai Demokrat, PPP, PKS dan Hanura cukup menyesalkan sikap Panwaslu Pamekasan.

Dinilai tidak fair dalam pendaftaran calon bupati pamekasan saat ini karena, pasangan Kholilurahman dengan pasangannya saat ini Masduki yang tidak mempunyai ijazah bisa meloloskannya jadi calon incumbent.

"Pasangan incumbent tidak mempunyai ijazah, justru diloloskan untuk maju kembali mencalonkan bupati pamekasan periode 2013-2018. Tapi yang mempunyai ijazah yakni Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari, justru didiskualifikasi. Lantaran nama Khalil tidak sesuai dengan yang ada di ijazah mulai tingkat MI, MTS dan MA bernama Halil," terang koordinator KOMPAS.

Namun, nama tersebut sudah diganti, masih kata Hanafi, setelah Halil maju mencalonkan diri sebagai legislative jadi Khalil Asy’ari yang kini jadi ketua DPRD kabupaten Pamekasan. Dan sudah dinonaktifkan untuk maju mencalonkan diri sebagai wakil bupati berpasangan dengan Achmad Syafi’i.

"Makanya dengan ketidak fairnya dalam pemilihan kepala daerah Pamekasan, masyarakat dari pendukung Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN

Surabaya," tandasnya.

Secara terpisah, M. Sholeh kuasa hukum dari pasangan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari yang sudah mengajukan gugatan terhadap KPUD Pamekasan di PTUN Surabaya, meminta agar bersikap adil. Karena, kliennya itu mempunyai ijazah yang asli dan dikeluarkan oleh Kanwil Departemen Agama Jatim waktu itu.

"Makanya kita menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN dengan nomor 144/G/2012/PTUN.Sby. yang isinya dan intinya agar PTUN Surabaya meloloskan pasangan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari," kata M. Sholeh singkat kepada detiksurabaya.com. (bdh/bdh) Selasa, 27/11/2012 13:55 WIB

ANALISIS

Keberadaan pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) masih sering memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal ini merumuskan “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini adalah: (g) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil

pemilihan umum”.

Artinya, pasal ini menjelaskan bahwa salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat diselesaikan dan diputus melalui mekanisme PTUN adalah Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dalam tafsir yang paling sederhana, bahwa selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam PTUN.

Namun ternyata Mahkamah Agung memberikan makna lain. Lewat Surat Edaran No 8 Tahun 2005, Mahkamah Agung memberikan tafsir bahwa semua SK KPU yang terbit pada semua tahapan pemilu tidak dapat diproses di PTUN, termasuk SK yang tidak terkait dengan hasil Pemilihan Umum. Pada butir 2 SEMA disebutkan bahwa dihubungkan dengan pasal 2 huruf g UU PTUN, maka keputusan atau penetapan (KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili. Menurut SEMA ini, sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut mengenai hasil pemilihan umum, haruslah diartikan meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan pemilihan umum.

(3)

perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan. Bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA juga menunjuk putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18 Agustus 2004 sebagai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.

Namun sikap Mahkamah Agung tidak bertahan lama. Tahun 2010, Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Surat Edaran terkait dengan Pasal 2 huruf g UU PTUN. Secara substansi, materi SEMA No. 7 Tahun 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA No. 8 Tahun 2005. Bahkan materi SEMA No. 7 Tahun 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi SEMA No. 8 Tahun 2005.

Namun SEMA membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan keputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum. Dengan demikian SEMA No. 7 Tahun 2010 mengatur bahwa keputusan-keputusan yang belum atau tidak merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat

digolongkan sebagai keputusan di bidang urusan pemerintahan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 maka tetap menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.

Munculnya SEMA No. 07 Tahun 2010 memicu dinamika dalam berperkara di PTUN. Beberapa PTUN kemudian mengalami lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan Pemilukada di daerah berlangsung secara intens. Dalam tahapan pemilukada itulah muncul persoalan-persoalan hukum, termasuk persoalan-persoalan hukum administratif terkait terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh KPUD. Dalam pengamatan penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek gugatan di PTUN dalam perkara Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon menjadi Calon Tetap. Beberapa pihak atau pasangan tertentu yang merasa tidak diloloskan KPUD dalam verifikasi Bakal Calon berusaha menggugat Keputusan KPUD tentang Penetapan Calon melalui PTUN. Harapannya, PTUN membatalkan SK Penetapan tersebut dan KPUD dapat mengakomodir pasangan untuk ikut berkompetisi dalam Pilkada.

(4)

telah terjadwal dan terus berjalan dengan munculnya gugatan PTUN setiap saat mengingat durasi tenggang waktu dalam gugatan PTUN cukup lama, yakni 90 hari.

Pada umumnya jangka waktu 90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima tahapan, yakni pendaftaran dan penetapan calon pasangan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan pasangan pemenang. Seperti dalam kasus Pilkada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD melalui Surat KPUD Gowa No. 01/SK/KPUGW/PKWK/X/2009 tanggal 21 Oktober 2009 menetapkan jadwal tahapan pilkada, yakni tahapan pendaftaran dan

penetapan calon berakhir 21 April 2010 dan penetapan pasangan pemenang pada 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya, tenggang 90 hari menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak ketiga baru merasakan kepentingannya dirugikan pada awal Juli atau tepatnya memasuki tahapan pasangan pemenang.

Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam PTUN menjadi penting untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui peradilan tata usaha negara (Marbun, 2003: 189).

Secara konseptual, tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara PTUN menurut pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 termasuk sangat singkat. Disebut singkat apabila dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUH Perdata. Tenggang waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30 tahun. Demikian pula menurut putusan Mahkamah Agung No.26/K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972. Dalam hukum adat lewat waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tangal 19 Desember 1973 (Marbun: 171).

Berdasarkan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju dengan sebuah KTUN (pihak II), makan tenggang waktunya 90 hari sejak saat KTUN itu diterima. Sedangkan bagi pihak ke III yang berkepentingan, maka tenggang waktunya sejak 90 KTUN itu

diumumkan. Yang menjadi masalah, dalam praktek pemerintahan, belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara pengumuman suatu KTUN. Hal ini berpotensi merugikan pihak ketiga yang sesungguhnya punya kepentingan terhadap terbitnya KTUN, namun tidak mengetahui secara langsung. Berdasarkan kondisi demikian, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang pada pokoknya mengatur bahwa bagi pihak ketiga yang tidak dituju KTUN, penghitungan 90 hari adalah sejak bersangkutan mengetahui keputusan dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN tersebut.

Poin SEMA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang waktu menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa “merasa kepentingannya dirugikan” tidak hanya dibatasi oleh 90 hari, tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi merasa

kepentingannya dirugikan. Dengan SEMA tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun silam. Dalam konteks perkara PTUN yang terkait dengan Pilkada, maka substansi SEMA No. 12 Tahun 1991 inilah yang berpotensi memicu lahirnya ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada. Berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ketiga dapat saja mengajukan gugatan selama 90 hari sejak kepentingannya dirugikan meskipun pada faktanya tahapan pilkada sudah akan berakhir atau bahkan sudah selesai.

(5)

dirugikan. Padahal informasi bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan pilkada sudah selesai.

Modus tentang kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan yang muncul dalam rentang waktu yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang waktu 90 hari nampaknya akan semakin banyak ditemui dalam kasus pemilukada. Harus dingat bahwa pemilukada adalah peristiwa politik. Faktor kekecewaan dari pihak yang kalah cukup potensial. Kondisi ini

kemudian berhadapan dengan kinerja KPUD mengelola penerbitan KTUN yang terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah ada pihak berusaha menggugat KTUN yang

merugikan.

Sesungguhnya, proses gugatan adalah sesuatu yang normatif dan biasa-biasa saja. Adalah hak setiap orang untuk melayangkan gugatan. Yang menjadi persoalan, dalam peristiwa politik seperti pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam pasal 55 merupakan rentang waktu yang cukup lama. Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi KTUN serta mengganggu proses pemilihan. Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum diatur proses hukum yang berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat.

Jangka waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut pasal 55 adalah 90 hari. Jangka waktu ini jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa pemilukada ke

Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3 hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus dilaporkan paling lambat 7 hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan jangka waktu gugatan sengketa pemilukada dimaksudkan agar proses pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi kevakuman, ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan tenggang waktu gugatan baik di PTUN, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga pengajuan gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima Dengan demikian diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan tenggang waktu yang proporsional dalam perkara pilkada. Dalam pandangan penulis, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Asas ini diterapkan apabila terjadi

konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku.

Dalam konteks ini, ketentuan tenggang waktu pasal 55 dalam UU PTUN harus dimaknai secara hukum berlaku pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara secara umum. Namun ketika ketentuan hukum acara PTUN berhadapan dengan kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa Pemilukada --yang mana tahapan Pemilukada menghendaki proses

penyelesaian hukum yang cepat-- ketentuan tenggang waktu UU PTUN harus ditentukan secara khusus dalam sengketa pemilukada. Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU PTUN harus mencantumkan materi eksepsional dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau Pemilukada, maka tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 hari sejak keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan .

Pilihan eksepsional dalam pasal 55 UU PTUN merupakan salah satu upaya untuk tetap memberikan hak hukum bagi para pencari keadilan dan tetap menjaga agar proses

(6)

Selain itu, muncul obyek gugatan baru berupa penetapan hasil pemilukada yang bukan menjadi wewenang PTUN karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya dengan mengacu pada ketentuan SEMA No. 07 Tahun 2010, dalam hal ada sengketa tata usaha negara yang terjadi pada tahap persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara: pencontrengan atau pencoblosan), tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih berdasarkan hasil penghitungan suara.

Logika rasionalitas seperti itu akan tetap menjadi dilema dan problem yang tak berkesudahan apabila pasal 55 UU PTUN masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk tenggang waktu menggugat tanpa memberikan pilihak spesialis atau eksepsional dalam kasus Pemilukada. Dengan adanya peluang menggugat, maka secara hukum pada para pencari keadilan tetap melekat hak untuk menggugat. Dalam posisi itu secara hukum juga terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang mungkin juga keluar dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila pasal 55 UU PTUN tidak memberikan pilihan eksepsional, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada.

D. Kesimpulan

m Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, lahirnya SEMA no 7 tahun 2010 tentang pemilukada menimbulkan dinamika dan beberapa persoalan baru dalam

penerapan hukum acara, khususnya yang terkait dengan Pemilukada. Salah satu persoalan yang muncul adalah penerapan pasal 55 UU PTUN tentang tenggang waktu dalam kasus pemilukad.

Kedua, pasal 55 dalam UU PTUN berpotensi memberikan ketidakpastian hukum bagi tahapan pilkada, terutama tahapan pilkada yang tidak terkait dengan hasil pemilihan. Hal tersebut dapat terjadi karena rentang waktu 90 hari yang diatur dalam pasal 55 terhitung cukup lama apabila dihubungkan dengan tahapan pemilukada yang harus berlangsung cepat dan memerlukan kepastian hukum.

Ketiga, terlepas secara rasionalitas eksekusi atau penerapan hukum yang tidak mudah dilakukan akibat adanya tenggang waktu menggugat yang cukup lama dalam pemilukada (90 hari), namun apabila ketentuan 90 hari masih berlaku, maka hak menggugat bagi pencari keadilan juga masih berlaku.

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti menyarankan agar dalam Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Labuhanbatu Utara harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang

Namun, berkaitan dengan anak yang telah lahir dari perkawinan yang dibatalkan tersebut, maka sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ketentuan Pasal 28 ayat 2 UU Perkawinan bahwa