Abstrak
Sejak televisi mengisi ruang tontonan di rumah, dokumenter mulai mengalami perkembangan yang sangat pesat. Media tontonan dokumenter menjadi tidak hanya menjadi tayangan alternatif, tetapi
sudah begitu menjadi identitas televisi semacam Kompas tv atau National geographic. Persoalan
muncul saat dokumenter yang berkembang ini, di dalam kontennya bersinggungan dengan pola-pola dramatik pada iksi, serta kemasannya yang dianggap sebagai atau semacam sebuah karya baru yang disebut dengan “Feature”. Penamaan yang sampai saat ini menjadi persoalan di masyarakat, terutama para akademisi dan praktisi dunia pertelevisian di Indonesia. Bagaimana feature sepertinya menjelma
sebagai sebuah mahluk yang identitasnya seperti abu-abu. Apakah feature merupakan sebuah karya
baru pada media audio-visual, atau hanya merupakan sebuah arbitrer, kesepakatan umum tentang kata di kalangan profesional dan praktisi televisi, terutama di Indonesia, yang pada kenyataannya para insan televisi ini, secara sejarah beranjak dari media cetak, yang mengenal tulisan feature sebelumnya.
Dokumenter atau
Feature
pada Program Televisi
Akbar Budiman
axbarock@yahoo.com
Latar Belakang
Sejak berdirinya televisi swasta di Indonesia, geliat masyarakat akan kebutuhan komunikasi, informasi dan hiburan yang ada pada media ini terus bergerak meningkat. Stasiun televisi publik nasional, stasiun televisi swasta nasional, lokal dan tv internet dan sebagainya –pribadi ataupun kelompok- membutuhkan program-program yang harus tayang dan menjadi isi dari televisi tersebut, untuk memenuhi jam tayangnya. Sehingga program-program televisi menjadi hal yang sangat penting.
Program televisi yang disiarkan oleh televisi ini merupakan kemasan hasil dari produksi acara tertentu, dengan orientasi produksi tentunya dapatlah ditinjau atas bentuk produksinya. Pendekatan isi di dalam produksi acara atau program televisi dapatlah terbagi atas adanya konstruksi cerita, mengingat kemunculan sebuah program pastilah memiliki cerita tertentu. Hanya saja kecenderungan orang –di Indonesia- mengasumsikan cerita hanya ada pada ilm, atau pola ilm yang terdapat dalam tayangan televisi –seperti sinetron atau sitkom dan semacamnya, di mana cerita memiliki peristiwa, tokoh, seting
dan sebab-akibat, baik yang cukup ketat ataupun sederhana seperti sinetron-.
Padahal cerita adalah kisah yang membungkus setiap program yang tayang di televisi, meskipun program tersebut bukanlah cerita seperti di dalam ilm, macam dokumenter, berita atau olahraga sekalipun. Namun itulah cerita yang dikisahkan yang menjadi isi program tertentu. Hanya saja tidak dibungkus dengan elemen sebab-akibat.
Jurnal IMAJI | 34 Jurnal IMAJI | 35
Edisi 6 No. 1 Juli 2013 Edisi 6 No. 1 Juli 2013
bersifat permanen. Katakanlah program sinetron dalam hal ini. Sedangkan program-program non-naratif, digemari penonton hanya berkala di saat-saat tertentu ataupun program-program tertentu, sehingga bersifat luktuatif, tidak konsisten.
Salah satu program televisi, yakni dokumenter, menjadi hal yang sangat menarik keberadaannya. Mengingat dokumenter sekarang ini bukan lagi hanya sebagai salah program yang ditayangkan, melainkan sudah menjadi identitas dari stasiun televisi tertentu, yang membedakan dengan stasiun televisi yang lainnya. Sebut saja
stasiun televisi National Geographic. Tayangan
dokumenter hampir menjadi isi keseluruhan dari program acara yang ditayangkan di National geographic.
Masalah
Begitu banyak bentuk dan jenis program televisi yang tayang, pada akhirnya memberikan peluang untuk menempatkan program tertentu pada nama tertentu, berdasarkan kriteria tertentu. Wajar apabila terjadi banyak penamaan pada bentuk dan jenis program. Namun menjadi sebuah polemik apabila di dalam penamaan tersebut tidak disertai dengan alasan-alasan berdasarkan data dan sumber yang ada, terutama pada sudut pandang sejarah.
Dokumenter menjadi bentuk hal yang menarik dalam program televisi, terutama pada jenis
dokumenternya. Program feature di televisi
sepertinya menjadi hal yang sangat sepele dalam hal ini. Tetapi pada kenyataannya tidak. Banyak yang berpendapat bahwa program
feature merupakan salah satu program televisi yang keberadaannya merupakan hal yang berdiri sendiri begitu saja, terutama hal ini dari kalangan yang dasar pemikirannya ilmu komunikasi.
Semarak berdirinya fakultas ataupun jurusan komunikasi di kampus-kampus, menambah
kekeliruan program feature yang dianggap ada
ini, menjadi hal yang perlu diluruskan. Karena sangatlah sempit bila ditanyakan kembali apa itu
program feature pada mereka yang menyebutkan
program feature merupakan program televisi
yang berdiri sendiri.
Adanya tayangan Dokumenter Televisi dianggap kalangan televisi di Indonesia, merupakan hal
yang tidak ada hubungannya dengan media Film Dokumenter, malah sangat erat kaitannya dengan jurnalistik media cetak. Hal yang perlu kiranya untuk ditinjau kembali.
Lebih dari sekedar Gambar Bergerak
Dengan menelusuri sejarah bagaimana gambar
dapat bergerak (motion picture), maka sebelum
televisi menjadi media komunikasi, informasi dan hiburan, ilm telah memulainya terlebih dahulu. Sehingga program-program yang terdapat pada media televisi, secara berkala, merupakan adaptasi dan pengembangan dari jenis dan bentuk ilm. Oleh karenanya membahas suatu gejala program yang ada di tv, alangkah baiknya memulai dari sudut pandang sejarah. Mengingat begitu menggeliatnya pendidikan dan pengajaran di bidang produksi ilm dan televisi, sehingga persoalan program televisi feature, yang menjadi topik pembahasan kali ini mungkin dapat menjadi lebih terang.
Film-ilm pertama sangat sederhana sekali baik dalam bentuk maupun gaya. Film biasanya
konsisten hanya menggunakan satu shot dan
juga diambil dari jarak yang tidak dekat dengan peristiwanya (long shot). Cinematographe, kamera
milik Lumière bersaudara ini lebih mudah
dibawa dan ditempatkan ke mana saja, di jalan-jalan, taman, pantai dan tempat-tempat umum lainnya untuk mengambil gambar kegiatan sehari-hari atau kejadian-kejadian aktual. Hal ini terlihat dari karya-karya mereka seperti, Workers Leaving the factory (1895), yang merupakan karya pertama mereka di mana mereka mengambil gambar di jalan, di depan pabrik mereka sendiri. Juga dalam Arrival of a Train at a Station (1895) juga mengambil gambar di stasiun kereta api dekat tempat tinggal mereka. Sedangkan dalam
Baby’s Lunch (1895), Louis mengambil gambar saudaranya, Auguste bersama istri dan anaknya di rumah mereka sendiri.
Kemudian selanjutnya seorang operator kamera Lumière, Eugene Premio, di tahun 1896 menghasilkan visual dari perekaman yang inovatif, dimana kamera diletakkan pada pada sebuah kapal yang bergerak. Sehingga gambar terlihat bergerak, seperti halnya gambar yang
dihasilkan atas perekaman gerak kamera pan
(panoramic).
Namun di tahun 1897, pendapatan atas hasil ilm yang terus menurun, membuat Lumière
menjual kamera cinemathographe-nya lebih
terbuka. Sedangkan di Inggris di tahun yang sama populer menggabungkan beberapa gambar dalam satu rol ilm (tehnik super impouse). Lalu Robert William Paul pun membuat ilm dengan tehnik seperti halnya perekaman gambar dalam warta berita, yakni ilm yang terdiri atas beberapa
shot-shot pendek. Operator kamera hanya akan memulai dan menghentikan perekaman gambar pada kamera hanya untuk merekam terhadap tindakan-tindakan yang diinginkannya, sehingga ilm berupa potongan atau cuplikan (highlight).
Sedangkan trik yang dilakukan oleh George
Méliès, seorang pesulap Prancis –mendapatkan
proyektor dari RW Paul-, pada ilmnya he
Vanishing Lady, 1897, yaitu menghentikan perekaman yang dilakukan kamera terhadap seorang perempuan, dan kemudian mengubah perempuan tersebut menjadi sebuah kerangka, lalu kamera merekam kerangka tersebut. Trik tersebut kemudian menjadi lebih popular saat
digunakan Méliès pada ilm fantasinya yang
berjudul Trip to he Moon.
Peristiwa-peristiwa di atas yang telah diuraikan tersebut, membuat ilm terbagi menjadi dua bentuk, yaitu Realitas (Dokumentasi dan Dokumenter) yang terlihat pada ilm karya
Lumière, dan ilm-ilm Ekspresionis (Fantasi dan imajinatif ) melalui ilm karya Méliès.
Sampai disini, keberadaan ilm telah melebihi dari apa yang dikehendaki orang sebagai
gambar bergerak -motion picture-. Film telah
menghadirkan dua sudut pandang yang berbeda dalam merekam suatu peristiwa tertentu,
Operator Lumière, Eugene Promio banyak mempengaruhi pembuat ilm di awal-awal sinema dengan menempatkan kamera di kapal bergerak untuk membuat merekam gambar sebagai kebutuhan ilm-ilmnya, termasuk Egypte: Panorama des Vusi du Nil (“Mesir: Panorama dari Bank Sungai Nil,” 1896).
bagaimana peristiwa tersebut hadir di dalam kamera. Meskipun sangat terlihat bahwa dominasi teater masih kentara pada cerita ilm,
seperti yang disinggung sebagai tableaux yang
sangat mendekatkan representasi ilm pada teater. Hal yang wajar mengingat teater pada saat itu dipandang sebagai seni kelas tinggi oleh masyarakat Barat, terutama di kalangan menengah ke atas, sedangkan ilm pada periode awal ini, mencoba untuk lebih memfungsikan peristiwanya dari ilm –“realitas” Lumière menuju pada ilm fantasinya Méliès.
Namun yang perlu dicatat pula, bahwa memfungsikan ilm untuk lebih sekedar sebuah perekaman peristiwa, juga dikembangkan secara teknis cara merekam peristiwanya. Popularnya
tehnik superimpose di Inggris, yang dilakukan
oleh George Albert Smith, dari Inggris, yang
terlihat dalam ilmnya he Corsican Brothers di
tahun 1898. Kemudian Ferdinand Zecca, yang melakukan perekaman seorang wanita dengan menciptakan trik seperti mengintip dari lubang sebuah teleskop (1901).
Salah satu trik yang dilakukan Zecca, di periode awal sinema dan ilm agak bersifat cabul, “Scenes from Balcony” memperlihatkan seorang pria yang melihat melalui teleskop, diikuti oleh shot seorang wanita membuka baju, yang memberikan kesan pria tersebut sedang melihat wanita.
terdapat di ilm, sehingga teknis tersebut terjadi karena didasari atas keinginan bahwa teknis tersebut dilakukan untuk pencapaian cerita sebagai sebuah kisah. Dengan kata lain eksplorasi teknis bertujuan untuk mempertunjukkan atraksiitas saja. Cerminan para pembuat ilm yang sebenarnya tetap berusaha agar ilm dapat diterima oleh masyarakat Barat di semua kalangan.
Sayangnya pertunjukkan ilm yang masih sebagai tontonan rakyat di pasar malam, menjadikan trik-trik tersebut, dan juga koherensi cerita dengan teknis pengambilan shot tersebut yang dianggap belum menemukan pandangan yang baik, menjadikan hal tersebut sebagai suatu alasan bahwa ilm belum menemukan cara bertutur dan berekspresi yang khas dari mediumnya dan dianggap masih sangat tergantung oleh teater.
Dari gambaran singkat tentang kemunculan bahasa ilm pada periode awal tersebut terdapat dua hal penting, yang pertama bahasa ilm telah muncul pada tahap-tahap awal dari sejarah perkembangan ilm di dunia, meskipun telah dilakukan tetap dianggap tidak lebih hanya untuk kepentingan sensasi semata. Kedua, bahasa ilm sangat dipengaruhi oleh medium-medium ekspresi lainnya, khususnya teater dalam menuturkan kisah-kisahnya. Namun demikian, di periode awal ini, sebenarnya ilm telah memperkaya dirinya menuju kesebuah ungkapan bahasa ilm yang khas, ilm lebih dari sekedar gambar bergerak.
Pada persoalan kisah cerita, periode awal ilm, melalui Lumière, hanya menghadirkan peristiwa keseharian yang sederhana, yang kemudian melalui Méliès, cerita menjadi sangat tereksploitasi dengan kreatif.
Bernama Dokumenter
Hadirnya ilm-ilm milik Méliès, membuka pintu
masuknya keinginan-keinginan dan tujuan-tujuan dalam ilm, yang ternyata membuat ilm mengembangkan potensinya. Perkembangan selanjutnya, cerita menjadi bagian penting dari ilm. Pembuatan cerita pun dilakukan. Selain itu juga memilmkan karya-karya sastra yang sudah dikenal mesyarakat umum. Hadirnya Hollywood sebagai industri ilm, menjadikan segala sesuatunya berorientasi pada nilai faktur,
termasuk cerita. Pola cerita pun pada akhirnya terbentuk. Teknis pengambilan gambar pun disiasati bukan hanya sekedar sensasi, melainkan suatu maksud eksplorasi dari tatanan bahasa. Film pun menjadi sebuah bahasa yang khas adan unik. Sinema Klasik Hollywood, menjadi struktur tontonan yang familiar di masyarakat Amerika dan Eropa, dan seterusnya berlanjut ke seluruh dunia. Sinema Klasik Hollywood telah membangun dan menenamkan naratifnya pada penonton di dalam ilm-ilmnya.
Sedangkan ilm-ilm yang berorientasi pada
Lumière, memunculkan nama Dziga Vertov
sebagai seorang yang membawa bentuk karya lebih mengedepankan “realita”, mengusung apa yang telah dilakukan Lumière Bersaudara (Auguste
dan Louis). Karya Vertov, dinilai banyak kalangan sebagai sebuah ilm reportase, yakni salah satu bentuk ilm yang dianggap kalangan sebagai jenis ilm warta berita, meskipun sebelumnya telah dijelaskan bahwa RW Paul telah memulainya di tahun 1897.
Kemudian di tahun 1922, Robert Flaherty dengan karyanya yang berjudul Nanook of he North, yang masa putarnya sangat panjang/lama –pada saat itu- sehingga disebut sebagai ilm dokumenter
feature pertama yang dibuat sineas (penggunaan
feature disini berhubungan dengan durasi tayang ilm, bukan bentuk ataupun jenis ilm).
Lalu di tahun 1926, John Grierson, seorang
akademisi muda yang sedang meneruskan minatnya pada ilmu komunikasi, bukan praktisi
pembuat ilm, menulis tinjauannya di New York
Sun, tentang pendapatnya terhadap ilm etnograi
Flaherty yang berjudul Moana, yang dalam tulisannya tersebut menggunakan dokumenter sebagai istilah.
Selanjutnya meskipun ilm-ilm dokumenter tetap diproduksi, akan tetapi ruang dokumenter untuk tayang di bioskop-bioskop, kiranya menjadi persoalan sendiri. Munculnya media tv dan evolusi terhadap kamera yang lebih portable, menyebabkan dokumenter seperti menemukan kehidupan keduanya. Dokumenterpun diproduksi dengan berbagai macam jenis, dengan sasaran tayangannya ada pada media tv. Kompas TV di
tanah air dan National Geographic di Amerika
dan dunia, merupakan stasiun televisi yang pada akhirnya mengusung dokumenter sebagai basis tayangan televisi.
Penayangan Awal Program TV Di Dunia (Amerika)
Pengaruh ilm tidak akan pernah terlepas dari penayangan program-program televisi di awal-awal berdirinya televisi. Pemahaman penonton akan naratif yang telah berlangsung beberapa tahun sebelumnya di ilm, menjadikan televisi mendapatkan dampak yang sangat signiikan. Pada akhirnya aliansi ilm dan tv pun terjadi. Padahal sebelumnya, di mana tahun-tahun setelah perang dunia II, studio ilm Amerika dan industri Televisi saling bertentangan yang disebabkan beberapa hal, diantaranya:
- TV telah mencuri pelanggan bioskop yang
telah menganut pelangggan bioskop yang telah menganut sistem studio dan telah mendominasi pasar naratif Amerika.
- Di tahun 50-an telah menjadi dekade terakhir
bagi pemirsa USA yang mengandalkan bioskop sebagai hiburan.
- Di tahun 60-an, tv telah menggantikan peran bioskop di Amerika sebagai bentuk hiburan, dan industri ilm pada saat itu telah mengalami hal yang sangat pahit.
- Situasi ini sebenarnya sama halnya dengan yang dirasakan oleh para eksekutif ilm tv yang membenci adanya kepentingan tertentu yang sangat berkuasa di tv yang dirasakan mengganggu.
- Begitu pula sebaliknya, rekan-rekan mereka yang ada di industri tv, ragu-ragu untuk berurusan dengan studio ilm.
- Produser tv ingin menciptakan materi mereka
sendiri dan tidak harus bergantung pada keinginan dari industri ilm bagi produk mereka.
Sehingga pada saat itu terlihat bahwa tv lapar akan naratif untuk produksinya; sedangkan studio ilm masih dikontrol oleh ribuan ilm. Kesadaran akan kebutuhan satu sama lainnya, menyebabkan situasi terbalik dari pertentangan menjadi aliansi.
Setelah awal-awal mereka berjalan, ilm-ilm
semacam warehoused, jarang terdengar lagi, dan
dengan demikian tidak menjadikannya aset
inansial. RKO, Monograme dan Republic –yakni
tiga studio yang lebih kecil- adalah yang pertama kali untuk memulai penyewaan ilm-ilm mereka, yakni ilm-ilm yang diproduksi beberapa waktu yang lalu/ilm lama/usang untuk tayang di tv.
Melihat peluang, dengan segera studio-studio besar pun mengikuti jejak mereka.
Tak lama setelah itu produksi ilm baru pun dilakukan, bahkan diproduksi dengan lebih cepat yang memang disajikan khusus untuk tayangan
tv. Keberhasilan rating pada program Saturday
Night at he Movie (1961) menyebabkan semua jaringan siaran mengikuti pola menampilkan “bioskop malam”. Pada akhir dekade ini, belakangan banyak muncul pula pertunjukkan bioskop yang mengacu pada ilm-ilm yang berjalan di tv hampir setiap malam minggunya.
Sejak saat itu pula hubungan antara ilm dan televisi telah menjadi hal yang sangat kompleks. Dengan demikian, tv yang pada awalnya diremehkan, pada kenyataannya, telah membuat sebagian besar studio ilm turut memiliki dan mengoperasikan produksi tv, dan mengaburkan perbedaan ekonomi diantara kedua media tersebut.
Standarisasi dengan sendirinya tercipta dari naratif yang digunakan pada ilm sebagai standar program tv, meskipun standar naratif tv tidaklah seketat dengan apa yang ada pada ilm. Ini dapat dilihat pada program-program semacam
Saturday Night, ilm teatrikal di WGN, WWOR
dan WTBS, tv model Ted Turner.
Tidaklah berbeda jauh dengan Amerika, di Indonesia hal yang sama pun terjadi. Dimana konsumen tv, telah akrab sebelumnya dengan naratif ilm bioskop. TVRI sebagai media tv pertama, juga mengandalkan tayangan yang bersifat naratif –bukan istilah drama atau non drama, tapi akan lebih tepat bila program di televisi itu terbagi atas naratif dan non naratif, karena kata drama dan non drama tersebut berasal dari kata dran yang berasal dari Yunani
yang memiliki arti tindakan (action), sehingga
kalau kata drama dan non drama yang dipakai, maka akan memiliki pengertian bahwa program di televisi terbagi atas program yang memiliki
tindakan (action) dan program yang tidak
Jurnal IMAJI | 38 Jurnal IMAJI | 39
Edisi 6 No. 1 Juli 2013 Edisi 6 No. 1 Juli 2013
Di Indonesia Para Jurnalis Media Cetak ke Industri TV
Di Indonesia sendiri, munculnya RCTI telah memberikan gambaran bahwa liberalisasi pertelevisian pada akhirnya telah dibuka oleh pemerintah, khususnya orde baru yang berkuasa pada saat itu. TVRI yang menjadi satu-satunya media layar kaca, tidak memberikan peluang terhadap obyektiitas informasi karena sikap preventif pemerintah. TVRI menjadi media propaganda terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Khususnya dalam hal ini pada tayangan jurnalistik televisi, siaran berita –news- atau siaran-siaran lainnya yang merupakan memang dikhususkan untuk menginformasikan dari program yang dianggap sebagai keberhasilan pemerintah.
Berdirinya RCTI sebagai televisi swasta, otomatis membutuhkan tenaga kerja untuk dapat menjalankan program-program televisi, yang pada saat itu sumber daya manusia sangatlah terbatas. Di mana keterbatasan di sini maksudnya adalah profesi yang bergelut di bidang pertelevisian ataupun audio-visual hanya didapat dari pelatihan-pelatihan TVRI ataupun karyawan TVRI itu sendiri serta dari kalangan perilman, baik pada karyawan PPFN ataupun pekerja lepas yang telah berpengalaman dalam produksi ilm. Selebihnya adalah mereka yang berpengalaman pada bidang media masa lainnya, seperti surat kabar dan radio. Kemudian beberapa kalangan akademisi yang berada pada jalur komunikasi ataupun produksi ilm di luar negeri –itupun dengan catatan masih minim sekali lulusannya-. Meskipun beberapa kalangan dari bidang diluar pertelevisian ataupun audio-visual dan komunikasi, juga direkrut dengan pertimbangan nantinya diadakan pelatihan-pelatihan khusus terhadap kalangan tersebut.
Dengan hal tersebut, dengan keterbatasan sumber daya manusia, serta hanya beranjak pada pengalaman kerja dibidangnya masing-masing, sangat memungkinkan sekali adanya sikap arogansi pengetahuan masing-masing dalam mencermati ataupun menciptakan karya program tertentu baik terhadap teknis ataupun konten dari program, terutama pada program dokumenter di televisi. Unsur dokumenter di televisi pada umumnya mengadopsi dari dokumenter yang telah ada –ilm dokumenter-
baik secara teknis ataupun cara bertuturnya. Ada beberapa gaya dan jenis dokumenter dengan beberapa pendekatan pada ilm dokumenter, yang kemudian dikembangkan didunia pertelevisian. Sehingga pencapaiannya pada saat ini dapat dilihat dengan apa yang dikenal dengan program-program reality show. Tetapi belakangan dengan sangat nyaring bahwa ada sebuah program televisi yang mengidentiikasikan dirinya dengan
istilah FEATURE. Dimana program sejenis
identik dengan dokumenter baik secara teknisnya maupun secara kontennya.
Sebenarnya persoalan seperti ini muncul karena dokumenter tidak ditempatkan secara bijaksana. Perekrutan sumber daya manusia yang dilakukan oleh stasiun-stasiun televisi, terutama dengan direkrutnya para jurnalis media cetak ke televisi, telah menyebabkan pergesekan ini sampai sekarang. Selain penyebab juga diamininya hal tersebut oleh para praktisi dan juga kalangan
akademisi terhadap adanya karya feature di
televisi ini. Entah kenapa hal ini seperti dibiarkan dan tetap dijaga kelestariannya. Padahal sudah sangat jelas bahwa karya feature itu sendiri sekali lagi ditegaskan merupakan karya dokumenter semata. Meskipun itu dalam media yang dianggap berbeda antara televisi dan ilm.
Mungkin ada baiknya kalau persoalan feature ini muncul karena beberapa faktor, seperti:
- Teknis perekrutan sumber daya manusia di televisi yang merekrut beberapa jurnalis media cetak ke industri televisi telah membawa pengetahuan jurnalistik media cetak ke televisi.
- Minimnya informasi pengetahuan pada
awal-awal stasiun televisi swasta berdiri, terutama menyangkut pengetahuan dokumenter.
- Masih membedakannya media tayang antara televisi dengan ilm pada karya dokumenter. Malahan dalam hal ini ada yang menyebutnya dokumenter yang sangat ilm terhadap beberapa karya dokumenter secara keseluruhannya apabila menampilkan shot yang memiliki konsep pencahayaan (lighting) low key dan banyak menampil shot extreme close up. Sekarang ini banyak ditayangkan Kompas tv.
- Sikap arogansi dan seniorisasi para pelaku industri kreatif televisi dalam menempatkan dokumenter itu sendiri.
- Tidak adanya penelitian, baik sebuah catatan
kecil di media ataupun penjelasan dalam bentuk lainnya yang memberikan solusi pada persoalan semacam ini oleh kalangan tertentu, baik akademisi ataupun praktisi.
Metode Informasi pada Film sebagai dasar Bercerita Feature
Banyak beranggapan bahwa plot yang dihadirkan
pada karya feature sangatlah berbeda dengan
yang terdapat pada dokumenter secara umumnya. Padahal plot yang ada pada dokumenter sebenarnya telah selesai dibahas pada ilm. Jadi bukanlah sebuah persoalan yang menjadi perbedaan. Mengingat ilm memiliki beberapa jenis, seperti ilm iksi, dokumenter animasi dan eksperimental.
Plot menghadirkan atau menyiratkan informasi cerita. Plot juga dapat mengatur isyarat dengan cara menahan informasi demi rasa ingin tahu atau kejutan. Atau plot dapat memberikan informasi sedemikian rupa untuk menciptakan harapan atau ketegangan agar dapat lebih meningkat. Semua proses ini merupakan narasi, bagaimana cara plot menyebarkan informasi cerita untuk mencapai efek tertentu. Narasi adalah proses dari peristiwa-per-peristiwa untuk membimbing penonton dalam membangun cerita dari plot. Banyak faktor yang masuk ke dalam narasi, tetapi yang paling penting adalah untuk tujuan para kreator ilm dalam melibatkan keluasan dan kedalaman informasi plot cerita yang dihadirkan.
Informasi yang ada didalam cerita ilm baik itu ilm iksi ataupun ilm dokumenter, memiliki nilai yang luas dan dalam. Plot, yang berisi peristiwa-peristiwa tertentu, dengan terstruktur memberikan rentang informasi tersebut yang berada pada batas keluasan dan kedalaman. Bagaimana informasi dapat memberikan pengertian rentangan yang luas pada informasinya bila saja peristiwa-peristiwa yang dimunculkan merunut pada hukum periode atau masa. Sebagai hal yang paling mudah dipahami dalam memberikan informasi yang luas, apabila peristiwa-peristiwa yang dihadirkan didalam cerita ilm, diurutkan berdasarkan nilai kronologis yang ada pada suatu peristiwa.
Lebih tepatnya untuk sebuah contoh, ilm-ilm dokumenter yang peristiwanya disusun berdasarkan alpabetikal, memiliki rentang
informasi yang luas. Dokumenter Biograi yang memiliki informasi tokoh yang disusun berdasarkan periode dari perkembangan kehidupan dirinya –anak-anak, remaja dan dewasa-, adalah contoh keluasan dalam memberikan informasi.
Sedangkan untuk menyimpulkan bahwa isi cerita ilm memiliki rentang informasi yang dalam adalah, apabila peristiwa-peristiwa yang dihadirkan didalam ilm bertujuan untuk mengupas tuntas suatu masalah tertentu. Lebih mudahnya dapat kita lihat pada ilm-ilm dokumenter investigasi.
Dokumenter TV lebih tepat untuk menyebut istilah Feature
Pada buku Teknik Produksi Program TV yang ditulis oleh Fred Wibowo, dijelaskan deinisi dari
feature, yaitu suatu program yang membahas suatu pokok bahasan satu tema, diungkapkan lewat berbagai pandangan yang saling melengkapi, mengurai, menyoroti secara kritis dan disajikan dengan berbagai format (bab 9 : 188).
Kemudian dijelaskan kembali pada paragraph berikutnya pengertian dari format tersebut adalah wawancara, show, vox-pop, puisi, musik, nyanyian, sandiwara pendek atau fragmen (9:188). Selanjutnya juga dijelaskan didalam buku tersebut
bahwa feature merupakan gabungan antara unsur
dokumenter, opini dan ekspresi (9:189).
Kemudian beberapa kalangan jurnalistik tv
yang menyebutkan program tv feature, sebagai
sebuah bentuk karya yang berbeda dengan karya dokumenter, dengan alibi yang tidak memiliki dasar yang pasti, mengungkapkan bahwa karya
feature ini adalah sebuah karya yang lebih menitik-beratkan pada kedalaman informasi, jelas-jelas hanya mencari-cari alasan yang tak pasti dan terkesan membela dirinya. Film dokumenter seperti yang telah dijelaskan telah mencakup kedua hal tersebut didalam melayani informasinya.
Dengan penjabaran diatas, jelas sudah bahwa karya program tv yang dimaksudkan dengan
hanyalah varian dari format awalnya, yakni dokumenter. Kata feature hanyalah diperuntukkan bagi durasi jam tayang atau masa putar sebuah ilm, yang lebih tepatnya ilm panjang, karena berdasarkan durasinya ilm terbagi atas ilm pendek –short ilm-, ilm menengah –middle ilm- dan ilm panjang –feature ilm-.
Maka dengan pendekatan yang telah dijabarkan
sebelumnya, karya feature pada televisi dapat
dikatakan TIDAK ADA, atau istilah ini tidak
dikenal pada karya-karya yang dimaksudkan oleh kalangan yang mengusung istilah ini, karena nama dari program ini sudah begitu identik dan sudah menemukan jati dirnya
sebagai DOKUMENTER, kalaupun untuk
membedakan karya dokumenter, hanyalah sebatas pada ruang media penayangannya saja, yaitu ilm dan tv, maka akan jauh lebih baik dan lebih bijak dengan memberikan istilah karya
feature ini sebagai karya DOKUMENTER TV.
Sedangkan untuk penegasan sekali lagi,
kata feature secara umumnya dikenal hanya
sebagai persamaan dari durasi atau masa putar tayangan sebuah ilm, baik itu ilm iksi dan ilm dokumenter.
Maka fakta yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut, bahwa:
- Sejak kemunculannya, ilm telah
mempertunjukkannya kedalam dokumenter, meskipun masih teramat sederhana.
- Film memiliki bahasanya yang unik dan khas,
tidak hanya pada unsur teknis, tetapi juga pada kisahnya. Dengan kata lain, ilm apapun akan memberikan kisah, meskipun itu sebuah ilm abstrak.
- Kehadiran TV telah memberikan ruang baru
terhadap dokumenter. Eksplorasi dokumenter pun semakin kaya.
- Di Indonesia, berdirinya stasiun TV Swasta menyebabkan masuknya para jurnalis media cetak dan membawa apa yang menjadi cirri media cetak kedalam media elektronik, tv. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya istilah feature di media tv.
- Deinisi feature yang tidak jelas dan serampangan bahkan tidak memiliki sumber yang pasti, menyebabkan kebingungan, bahkan diantara para jurnalis tv itu sendiri.
- Kekuatan senioritas dikalangan jurnalis
media cetak tetapi tidak diimbangi dengan pengetahuan media ilm dan tv.
- Unsur teknis dan penuturan naratif pada ilm (bioskop dan dokumenter) merupakan fakta bahwa karya feature bukanlah karya audio-visual, melainkan karya tulisan media cetak.
- Rentang informasi naratif yang diberikan baik pada ilm ataupun dokumenter, bukanlah sebuah standar deinisi dari isitilah yang dimaksud dengan karya feature.
- Feature hanyalah istilah yang digunakan sebagai durasi pada ilm (bioskop dan dokumenter) yang penayangannya lebih dari 1 jam/60 menit.
Dengan demikian dari uraian yang telah dijelaskan diatas sebelumnya, dapatlah menjadi tolok ukur kita dalam menggunakan istilah
feature pada karya dokumenter televisi. Untuk itu sebaiknya hanya ada satu pertanyaan yang harus dijawab dari pembahasan ini, yaitu:
Akankah para jurnalistik media cetak juga mau mengakui dan setuju untuk memberikan istilah pada karya tulis feature di suratkabar dengan istilah dokumenter?
Daftar Pustaka
Biran, Misbach Yusa, Tehnik Menulis Skenario, Pustaka Jaya
Buttler, Jeremy, Television Methods and Aplication,
Bordwell, David and Kristin hompson, Film
History an Introduction, New York-Americas, McGraw-Hill Higher Education, 2003
Bordwell, David and Kristin hompson. Film
Art an Introduction, eight edition, Mc Graw-Hill Higher Education – New York, 2008.
Wibowo, Fred, Teknik Produksi Program Televisi