TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK BAGI
HASIL DENGAN PEMBAGIAN TETAP DARI PEMBIAYAAN
MUSYARAKAH DI KJKS KUM3 RAHMAT SURABAYA
SKRIPSI
Oleh
Subaida
NIM. C32213092
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Surabaya
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field reseach) dalam bentuk studi kasus
dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik bagi Hasil dengan Pembagian Tetap dari Pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya”, yang bertujuan untuk menjawab bagaimana praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya? dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya ?
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deksriptif analitis, yaitu sebuah metode di mana prosedur pemecahan penelitian dengan menggambarkan dan menjelaskan data yang terkait dengan pembahasan, yaitu mengenai fakta dari praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya, kemudian dianalisis menggunakan konsep musyarakah hukum Islam.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa; pertama, pembiayaan musyarakah di KJKS (Koperasi Jasa keuangan Syariah) KUM3 (Komuntas Usaha Mikro Muamalah berbasis Masjid) Rahmat Surabaya dilakukan dengan cara penyertaan modal oleh KJKS KUM3 Rahmat Surabaya untuk pengembangan usaha nasabah. Penyertaan modal dari pihak KJKS KUM3 Rahmat Surabaya jelas nominalnya, sedangkan dari pihak nasabah modal yang disertakan tidak diketahui dengan jelas. Nisbah bagi hasil antara KJKS KUM3 Rahmat Surabaya dengan nasabah telah ditetapkan di awal kontrak, akan tetapi nasabah sering kali memberikan nisbah bagi hasil yang tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan pada setiap periode (minggu); kedua, praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya secara keseluruhan diperbolehkan menurut hukum Islam. Nisbah bagi hasil yang ditetapkan oleh KJKS KUM3 Rahmat adalah berdasarkan pekerjaan, bukan berdasarkan modal yang disertakan. Adapun jika terjadi ketidaksesuaian nisbah bagi hasil yang disetorkan oleh nasabah setiap periode (minggu), maka salah satu pihak boleh membatalkannya atau tetap melanjutkannya jika keduanya sama-sama rida dan tidak ada unsur paksaan.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ...v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 9
C. Rumusan Masalah ... 10
D. Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 13
F. Kegunaan Penelitian ... 14
G. Definisi Operasional ... 14
H. Metode Penelitian ... 15
I. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II MUSYARAKAH DALAM HUKUM ISLAM... 22
A. Pengertian Musyarakah ... 22
B. Dasar Hukum Musyarakah ... 24
C. Macam-macam Musyarakah ... 26
D. Hukum Shirkat al-‘Uqu>d ... 29
E. Rukun dan Syarat Musyarakah... 34
G. Berakhir dan Batalnya Akad Musyarakah... 42
H. Fatwa DSN MUI tentang Pembiayaan Musyarakah ... 45
BAB III PROFIL KJKS KUM3 RAHMAT SURABAYA DAN MEKANISME PEMBIAYAAN MUSYARAKAH KJKS KUM3 RAHMAT SURABAYA 48 A. Profil KJKS KUM3 Rahmat Surabaya... 48
B. Mekanisme Pembiayaan Musyarakah KJKS KUM3 Rahmat Surabaya 56 C. Faktor yang Melatarbelakangi Ketidaksamaan Bagi Hasil dalam Penerapan Praktik bagi Hasil Pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya ... 74
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK BAGI HASILDENGAN PEMBAGIAN TETAP DARI PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DI KJKS KUM3 RAHMAT SURABAYA... 78
A. Praktik Bagi Hasil dengan Pembagian Tetap dari Pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya ... 78
B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik bagi Hasil dengan Pembagian Tetap dari Pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya ...84
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 91
B. Saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 93
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat luas, yang mengatur semua
aspek, baik sosial, ekonomi, politik, serta kehidupan spritiual. Sebagaimana firman
Allah Swt. QS Almaidah ayat 3, sebagai berikut :
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.1
Ayat di atas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan
mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan. Oleh
karena itu, ekonomi sebagai salah satu aspek kehidupan tentu sudah diatur dalam
agama Islam.2
Aspek ekonomi merupakan salah satu objek pembahasan muamalah yang
mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain yang sasarannya adalah
harta atau benda.3 Dalam hal ini, Islam tidak membatasi hubungan antar sesama
muslim melainkan juga hubungan dengan nonmuslim. Oleh karena itu Islam adalah
agama yang bersifat Rah}matan lil ‘a>lami>n (menjadi rahmat bagi alam semesta).
1 Departemen Agama, Alquran Terjemah Indonesia (Jakarta: Sari Agung, 2001), 193.
2 Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2007) 1.
2
Kegiatan ekonomi tidak akan terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari.
Karena manusia merupakan makhluk ekonomi. Dalam perkembangan ekonomi di
Negara Indonesia, kegiatan perekonomian berjalan sangat pesat dengan adanya
lembaga keuangan. Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 792 Tahun 1990 lembaga keuangan adalah suatu badan yang kegiatannya
dalam bidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada
masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan.4 Lembaga keuangan
berperan sebagai lembaga intermediasi keuangan yang berperan aktif dalam
kelancaran kegiatan ekonomi.
Lembaga keuangan yang kita ketahui adalah tertuju kepada bank, karena bank
adalah tempat penghimpun dan penyaluran dana masyarakat. Lembaga keuangan
tidak hanya bank melainkan ada juga lembaga keuangan bukan bank. Menurut Surat
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor KEP-38/MK/IV/1972
Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) adalah lembaga keuangan yang dalam
kegiatannya tidak dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat
sebagaimana yang dilakukan oleh bank pada umumnya. Secara khusus, lembaga
keuangan bukan bank adalah semua badan yang melakukan kegiatan dibidang
keuangan yang langsung atau tidak langsung menghimpun dana, terutama dengan
mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkan kepada masyarakat terutama untuk
membiayai investasi perusahaan.5
4 Andri Soedirman, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Prenada Media, 2009), 26.
3
Lembaga keuangan bukan bank di antaranya adalah koperasi yang merupakan
organisasi bisnis yang dimiliki dan dioperasikan oleh orang-orang demi kepentingan
bersama. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip ekonomi rakyat yang
berdasarkan asas kekeluargaan. Terdapat banyak sekali definisi yang dikemukakan
oleh para ilmuan, yang pada umumnya koperasi merupakan wadah bagi golongan
ekonomi lemah, seperti definisi yang diberikan oleh Dr. Fay (1980) yang
menyatakan bahwa koperasi adalah suatu perserikatan dengan tujuan berusaha
bersama yang terdiri atas mereka yang lemah dan diusahakan selalu dengan
semangat tidak memikirkan diri sedemikian rupa, sehingga masing-masing sanggup
menjalankan kewajibannya sebagai anggota dan mendapat imbalan sebanding
dengan pemanfaatan mereka terhadap organisasi.6\\
Menurut pasal 1 Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 menyatakan, bahwa yang
dimaksud dengan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang atau
seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas asa
kekeluargaan.7
Koperasi merupakan lembaga keuangan dan kredit yang mana sumber dana
koperasi simpan pinjam berasal dari simpanan pokok, wajib, dan simpanan sukarela.
Sumber dana lain berupa pinjaman LSD (lembaga sosial desa) setempat.
6 Muhammad Firduas, Agus Edhi Susanto, Perkoperasian Sejarah Teoro dan Praktek (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), 38.
7Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Republik Indonesia Nomor
4
koperasi umumnya memberi kredit untuk usaha pertanian, perdagangan, dan juga
untuk kebutuhan konsumsi. Dalam memberikan pinjaman, koperasi tidak memungut
biaya permohonan, tetapi ada juga yang memungut biaya materai dan biaya
administrasi sebesar sekitar 2 sampai 5 persen dari jumlah pinjaman. Kredit
diberikan dalam bentuk uang jangka waktu berkisar 10 minggu. Cara pembayaran
dilakukan dengan angsuran mingguan. Tingkat suku bunga pinjaman sekisar antara 1
sampai 8 persen dan diakhir transaksi. Mereka menetapkan ketentuan jumlah
maksimum dan minimum.8 Praktik yang menggunakan bunga di dalam pinjamannya
adalah merupakan koperasi dengan sistem konvensional. Pada praktiknya selain
terdapat koperasi dengan sistem konvensional, dikenal pula koperasi dengan
menggunakan prinsip syariah.
Koperasi Jasa Keuangan Syariah, selanjutnya disebut KJKS, adalah Koperasi
yang kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, investasi, dan simpanan
sesuai pola bagi hasil (syariah).9 Koperasi syariah menggunakan prinsip syariat
berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana
dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariat, antara lain pembiayaan prinsip bagi hasil (mud}a>rabah), pembiayaan
berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan
memperoleh keuntungan (mura>bah}ah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan
prinsip sewa murni tanpa pilihan (ija<rah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
8 Faried Wijaya, et al., Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank, Edisi 2 (Yogyakarta : BPFE, 1999), 412.
9 Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia Nomor
5
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ija>rah wa
iqtina).10
KJKS KUM3 Rahmat Surabaya adalah Koperasi Jasa Keuangan Syariah
Program Komunitas Usaha Mikro Muamalat berbasis Masjid (KUM3) yang
diprakarsai oleh Baitulmaal Muamalat (BMM) dan telah berjalan sejak tahun 2007.
Ada beberapa jenis pelayanan keuangan dan jasa di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya
Salah satu pelayanannya adalah dalam bentuk pembiayaan yang menggunakan akad
musyarakah. Akad musyarakah digunakan oleh KJKS KUM3 Rahmat Surabaya
untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan permodalan bagi nasabah guna
menjalankan usaha atau proyek dengan cara melakukan penyertaan modal bagi usaha
atau proyek yang bersangkutan. Dengan demikian, KJKS KUM3 Rahmat Surabaya
memberikan pembiayaan terhadap nasabah yang mengajukan permohonan
pembiayaan menggunakan akad musyarakah. Dana pembiayaan musyarakah (porsi
KJKS KUM3 Rahmat Surabaya) akan dicairkan setelah akad ditandatangani.
Keuntungan atau pendapatan musyarakah dibagi diantara nasabah musyarakah
berdasarkan kesepakatan awal sedangkan kerugian musyarakah dibagi antara
nasabah musyarakah secara proposional berdasarkan modal masing-masing.11\
Dalam pembiayaan musyarakah tersebut memiliki masalah dalam pembagian
nisbah bagi hasil yang telah ditetapkan di awal kontrak tanpa diperhitungkan dari
modal yang disertakan oleh masing-masing pihak. Mengenai penyertaan modal dari
kedua belah pihak antara KJKS KUM3 Rahmat Surabaya dan nasabah, hanya pihak
10 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta : UGM Press, 2007), 221.
6
KJKS KUM3 Rahmat Surabaya yang jelas nominal penyertaan modalnya.
Sedangkan dari pihak nasabah modal yang disertakan tidak diketahui dengan jelas.
Dari ketidakjelasan modal yang disertakan oleh nasabah, pihak KJKS KUM3
Rahmat Surabaya sudah menentukan dan menetapkan presentase bagi hasil dari
keuntungan dari musyarakah tersebut.
Selain dari masalah ketidakjelasan modal dan pembagian tetap nisbah bagi
hasil, pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya juga ada
permasalahan dalam perhitungan nisbah bagi hasil yang sudah ditetapkan oleh KJKS
KUM3 Rahmat Surabaya, yaitu banyaknya nasabah yang tidak jujur dalam
perhitungan bagi hasil dengan pihak KJKS KUM3 Rahmat Surabaya. Padahal di
awal perjanjian dalam bentuk kontrak telah ditetapkan bahwa perhitungan bagi hasil
antara Nasabah dan KJKS KUM3 Rahmat Surabaya adalah 70% (tujuh puluh
persen) dari pendapatan/keuntungan untuk anggota (nasabah) dan 30% (tiga puluh
persen) dari pendapatan/keuntungan untuk KJKS KUM3 Rahmat Surabaya. Akan
tetapi, dalam prakteknya perhitungan bagi hasil yang disetorkan oleh nasabah
kepada KJKS KUM3 Rahmat Surabaya tidak sesuai dengan akad yang telah
disepakati. Banyak nasabah yang memberikan bagi hasil mingguan dengan nominal
yang sama, padahal keuntungan mingguan yang didapat dari usaha yang dijalankan
oleh nasabah pasti berbeda-beda. Walaupun setoran mingguan yang dilakukan oleh
nasabah tidak sesuai dengan kontrak yang telah disepakati kedua belah pihak antara
nasabah dan KJKS KUM3 Rahmat Surabaya tetapi praktek seperti ini telah menjadi
7
Nasabah pembiayaan musyarakah pada KJKS KUM3 Rahmat Surabaya sering
kali menggunakan pembiayaan tersebut tidak sesuai dengan akad, di mana akad
musyarakah tersebut adalah pembiayaan untuk modal usaha, tetapi nasabah
menggunakan pembiayaan tersebut sebagai kebutuhan pribadi yang lain, seperti
menggunakan untuk biaya sekolah anaknya, menggunakan untuk membayar hutang
yang tidak semestinya digunakan sesuai akad. Musyarakah menurut ulama mazhab
Hanafi adalah :
ِحْبَرلاو ِلاَمْلا ِسْأَر ِِ َِْْكِراَشَتُمْلا ََْْ ب ٌدْقَع
Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih di atas
hanya berbeda secara redaksional. Sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya
adalah sama, yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam
serikat dagang, kongsi, perseroan, dan persekutuan. Dengan adanya akad
musyarakah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang mengikatkan diri
berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan berhak mendapatkan
keuntungan sesuai dengan persetujuan yang disepakati.12
Bagi hasil yang ditetapkan oleh KJKS KUM3 Rahmat Surabaya telah
ditetapkan dalam kontrak di awal. Akan tetapi, banyaknya nasabah yang melakukan
wanprestasi dengan menyetorkan bagi hasil mingguan dengan nominal yang sama
dan juga banyaknya nasabah yang menunda-nunda menyetorkan bagi hasil kepada
KJKS KUM3 Rahmat Surabaya. Penundaan atau kemacetan penyetoran bagi hasil
8
yang dilakukan oleh nasabah pihak KJKS KUM3 Rahmat Surabaya tidak
memberikan denda ataupun meminta jaminan kepada anggota nasabah. Padahal di
dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor
08/DSN-MUI/IV/2000 untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta
jaminan.13 Pihak KJKS KUM3 Rahmat Surabaya mengganggap bahwa niatnya
dalam pembiayaan musyarakah adalah tolong-menolong dan semata-mata karena
Allah Swt. sedangkan muamalah atau transaksi dalam bentuk tolong-menolong atau
hanya semata-mata karena Allah merupakan akad tabarru‘. Akad musyarakah bukan
merupakan akad tabarru’ melainkan akad tija>ri> yaitu, akad segala macam akad
perjanjian yang menyangkut transaksi yang mencari keuntungan (profit
orientation).14
Nasabah pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya banyak
yang belum memahami dengan benar tentang pembiayaan musyarakah menurut
hukum Islam. Dalam musyarakah tidak boleh mencampurkan modal usaha dengan
harta miliknya atau milik orang lain, yang dilakukan nasabah KJKS KUM3 Rahmat
Surabaya seringkali terjadi pencampuran modal usaha dengan harta milik pribadinya
sehingga sulit untuk menghitung keuntungan usaha yang dilakukan dengan KJKS
KUM3 Rahmat Surabaya menggunakan akad pembiayaan musyarakah.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penelitian ini digunakan untuk
menjawab latar belakang permasalahan yang menjanggal dengan judul “Tinjauan
13 Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000, tentang
Pembiayaan Musyarakah.
14 Adiwarman A Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006),
9
Hukum Islam terhadap Praktik bagi Hasil dengan Pembagian Tetap dari Pembiayaan
Musyarakah di KJKS Rahmat Surabaya”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat di
identifikasi dengan adanya beberapa masalah yang penting untuk dikaji melalui
penelitian sebagai berikut :
1. Mekanisme operasional terhadap pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3
Rahmat Surabaya.
2. Pembagian tetap nisbah bagi hasil tanpa mempertimbangan dari masing-masing
penyertaan modal kedua belah pihak.
3. Perhitungan bagi hasil yang ditetapkan KJKS KUM3 Rahmat Surabaya dalam
kontrak yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
4. Ketidakjelasan perhitungan bagi hasil yang sudah menjadi kebiasaan anggota
nasabah pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
5. Tidak adanya penarikan jaminan untuk menghindari penyimpangan yang
dilakukan oleh anngota nasabah.
6. Pencampuran modal usaha dengan harta milik pribadi atau milik orang lain.
Dari identifikasi masalah tersebut.
7. Nasabah menggukan dana dari pembiayaan musyarakah seringkali tidak
digunakan semestinya, melainkan menggunakan untuk kebutuhan pribadi
10
8. Pembagian nisbah bagi hasil dari Pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3
Rahmat Surabaya merupakan akad tija>ri> atau akad tabarru‘.
9. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari
sistem musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
Dari identifikasi yang telah dilakukan, maka penulis akan membatasi masalah
yang akan dikaji sebagai berikut :
1. Mekanisme operasional pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat
Surabaya.
2. Pembagian tetap nisbah bagi hasil tanpa mempertimbangan dari masing-masing
penyertaan modal kedua belah pihak.
3. Perhitungan bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan Musyarakah di
KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
4. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari
sistem musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa permasalahan
yang perlu diungkapkan. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah :
1. Bagaimana praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan
musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya ?
2. Bagaiman tinjauan hukum Islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian
11
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah kajian untuk mendapatkan gambaran hubungan topik
yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya.15 Kajian pustaka ini diharapkan untuk tidak ada pengulangan materi
yang sama, setelah penulis melakuakn penelusuran kajian pustaka dari awal sampai
saat ini penulis menemukan dan membaca skripsi antara lain :
1. Afuadh Afgan (skripsi 2014) dengan judul “Pelaksanaan Akad Pembiayaan
Musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta”, Menyatakan bahwa BMT
Beringharjo merupakan salah satu BMT yang besar dan sudah memiliki cabang
di berbagai daerah. BMT Beringharjo Yogyakarta tersebut juga tidak terlepas
dari permasalahan. Masalahnya yaitu terletak pada beberapa klausul dalam akad
musyarakah. Klausual-klausul tersebut sudah dibuat terlebih dahulu oleh BMT
Beringharjo Yogyakarta, sehingga posisi tawar mitra dimungkinkan tidak
seimbang. Permasalahan tersebut terkait dengan tidak dipenuhinya kewajiban
mitra untuk mengembalikan pinjaman modal usaha sehingga muncul pembiayaan
bermasalah. Pada pelaksanaannya masih belum jelas penyelesaikan, karena
beberapa permasalahan setelah dimusyawarahkan masih belum menemui
penyelesaian.16
2. Kurniawati Ratna Wijaya (skripsi 2014) dengan judul “Analisi Hukum Islam
terhadap Mekanisme Akad Pembiayaan Musyarakah dengan Jaminan di KJKS
BMT Amanah Ummah Karah Surabaya”, Menyatakan bahwa pihak KJKS BMT
15 Zainal Arifin, Metode Penelitian Pendekatan (Surabaya : Lentera Cendelia, 2008), 42.
16Afuad Afgan, “Pelaksanaan Akad Pembiayaan Musyarakahdi BMT Beringharjo Yogyakarta” (Skripsi
12
Amanah Ummah Karah Surabaya menetapkan aturan kepada setiap nasabahnya
yang akan melakukan transaksi musyarakah dengan meminta jaminan sebagai
penjamin dalam melunasi hutangnya. Padahal menurut para fuqaha pada
dasarnya dalam pembiayaan musyarakah tidak perlu dan tidak boleh
mensyaratkan adanya jaminan. Hal ini dikarenakan pembiayaan musyarakah
bukanlah bersifat hutang, melainkan bersifat kerjasama dengan modal
kepercayaan. Mekanisme pembiayaan musyarakah dengan jaminan di KJKS
BMT Amanah Ummah Karah Surabaya menurut hukum dapar dibenarkan karena
penguasaan nasabah atas modal usaha dari kedua belah pihak mempunyai potensi
untuk merubah dari yad ama>nah ke yad d}ama>nah (dengan konsekuensi harus
mengganti) kalau ada kelalaian dan atau tindakan melampaui batas yang
merugikan pihak KJKS BMT Amanah Ummah Karah Surabaya. Disamping itu
adanya jaminan dalam akd pembiayaan musyarakah ini juga sesuai dengan
asas-asas ekonomi Islam yakni mencegah kerugian itu lebih diutamakan daripada
menciptakan kemaslahatan.17
3. Syaikhul Hadi (skripsi 2008) dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap
Penilaian Cash Flow pada Pembiayaan Musyarakah di Bank Muamalat
Indonesia cabang Surabaya”, Menyatakan bahwa cara Bank Muamalat Indonesia
cabang Surabaya dalam menganalisis pengajuan pembiayaan musyarakah pihak
bank harus menilai cash flow calon nasabah dengan menganalisa laporan
keuangan laba/rugi dua tahun terakhir, dan melihat netto kas atau sisa kas dari
17 Kurniawati Ratna Wijaya, “Analisi Hukum Islam terhadap Mekanisme Akad Pembiayaan Musyarakah
dengan Jaminan di KJKS BMT Amanah Ummah Karah Surabaya” (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya,
13
semua pengeluaran yang telah dibayarkan, untuk mengetahui naik turunnya sisa
kas yang tersedia pada proyeksi beberapa tahun kedepan, apakah surplus atau
deficit yang nantinya untuk membayar kembali pembiayaan yang telah
diberikan oleh pihak bank. Cara tersebut dibenarkan dalam hukum Islam karena
dalam mengajukan pembiayaan musyarakah seorang nasabah harus memiliki
pengetahuan serta kemampuan untuk mengelola usaha supaya pembiayaan yang
diberikan oleh bank bisa berjalan lancar dan berkembang serta mendapat
keuntungan, adapun adanya pembiayaan macet itu disebabkan oleh miss
management atau salah dalam mengatur makro, misalnya kenaikan BBM dll
yang mengakibatkan keuangan perusahaan defisit karena pengeluaran lebih
banyak dibandingkan dengan pemasukan.18
Dari beberapa skripsi yang telah dipaparkan diatas, bahwa sudah jelas tidak ada
pengulangan atau kesamaan pada skripsi-skripsi sebelumnya. Skripsi sebelumnya
tidak ada satupun yang membahas tentang pembagian tetap dari praktik bagi hasil
dari pembiayaan musyarakah.
E. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, maka tujuan penelitian yang ingin
dicapai adalah:
1. Mengetahui aplikasi praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari sistem
musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
18Syaikhul Hadi, “Analisis hukum islam terhadap penilaian Cash Flow pada pembiayaan Musha>rakah di
14
2. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktek bagi hasil dengan pembagian
tetap dari sistem musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
F. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terdiri dari segi teoritis dan segi praktis, yaitu :
1. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menjadi kajian
analisis yang berhubungan dengan ketidakjelasan modal dan nisbah bagi hasil
pada pembiayaan musyarakah yang ada di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
2. Dari segi praktis, bermanfaat bagi pelaku akad musyarakah di KJKS KUM3
Rahmat Surabaya maupun masyarakat umum dalam pelaksanaan transaksi yang
sesuai dengan tuntutan hukum Islam.
G. Definisi Operasional
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dalam konsep penelitian, maka perlu
dijelaskan terlebih dahulu beberapa istilah yang ada dalam judul di atas. Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan :
1. Hukum Islam
Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah Swt.
dan sunah Rasul saw tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan
diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.19 Dalam
19 Tim penyusun MKD Uin Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam (Surabaya: Uin Sunan Ampel
15
penelitian ini yang dimaksud hukum Islam adalah ketentuan atau peraturan
tentang musyarakah sesuai dengan hukum Islam berdasarkan Alquran dan sunah.
2. Bagi hasil
Bagi hasil merupakan kesepakatan pembagian keuntungan yang dilakukan
oleh kedua belah pihak antara anggota nasabah yang menerima pembiayaan
musyarakah dan pihak KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
3. Pembagian tetap
Pembagian tetap merupakan nisbah bagi hasil yang ditetapkan oleh pihak
KJKS KUM3 Rahmat Surabaya yang tercantum dalam kontrak kepada anggota
nasabah pembiayaan musyarakah.
4. Pembiayaan musyarakah
Pembiayaan musyarakah merupakan penyertaan modal dalam bentuk
pembiayaan yang dilakukan oleh KJKS KUM3 Surabaya Rahmat untuk
memfasilitasi anggota nasabah untuk memenuhi kebutuhan dalam kelancaran
usaha yang dijalaninya, yang kemudian menyertakan bagi hasil dari keuntungan
yang diperoleh dari usaha anggota nasabah yang melakukan pembiayaan
musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dalam bentuk studi
kasus, yaitu suatu penelitian yang dilakukan di lapangan atau di lokasi penelitian,
16
terjadi di lokasi tersebut.20 Dalam hal ini yang menjadi lapangan penelitian adalah
KJKS KUM3 Rahmat Surabaya. Dengan fokus penelitian adalah Praktek Bagi Hasil
dengan Pembagian Tetap dari Pembiayaan Musyarakah. Selanjutnya, serangkaian
langkah-langkah yang dibutuhkan agar penilitian ini memberikan deskriptif yang
baik, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka data
yang dikumpulkan untuk penelitian ini adalah :
a. Data tentang porsi penyertaan modal yang diberikan pihak KJKS KUM3
Rahmat Surabaya terhadap nasabah.
b. Data tentang porsi modal nasabah pengelola usaha.
c. Penetapan tentang bagi hasil yang telah disepakati oleh nasabah dan KJKS
KUM3 Rahmat Surabaya.
d. Laba mingguan yang diperoleh oleh nasabah dalam kegiatan usahanya.
e. Nominal bagi hasil mingguan yang disetorkan oleh nasabah kepada KJKS
KUM3 Rahmat Surabaya.
f. Cara perhitungan bagi hasil yang dilakukan oleh nasabah.
g. Pemahaman nasabah tentang akad musyarakah.
2. Sumber data
Sumber data mengenai praktik bagi hasil musyarakah dengan pembagian
tetap di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya digali dari sumber-sumber berikut :
20 Abdurrahman Fathoni, Metode Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
17
a. Sumber primer
Primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian
dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung
pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari.21 Sumber data primer
dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara. Adapun diantarnya yang
menjadi sumber penelitian ini meliputi :
1) Staff Keuangan KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
2) Nasabah pembiayaan musyarakah KJKS KUM3 Rahmat.
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak
langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya. Data sekunder
biasanya berwujud data dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia.22
Adapun sumber sekunder yang digunakan dari penelitian ini adalah :
1) Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti
mengenai praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan
musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
2) Alquran dan terjemahnya
3) Fiqih muamalah
4) Fatwa DSN MUI tentang pembiayaan musyarakah
5) Dan sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan bagi hasil dari
akad musyarakah.
21 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Edisi I Cet VII (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20.07), 91
18
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Observasi
Data untuk menjawab masalah penelitian dapat dilakukan dengan cara
pengamatan (observasi), yakni mengamati gejala penelitian. Dalam hal ini
panca indera manusia (penglihatan dan pendengaran) diperlukan untuk
menangkap gejala yang diamati. Apa yang ditangkap tadi, dicatat dan
selanjutnya catatan tersebut dianalisis.23 Observasi dalam penelitian ini
dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang operasional pembiayaan
musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
b. Wawancara (interview)
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan
jalan komunikasi, yakni melalui kontak antara pengumpul data
(pewawancara) dengan sumber data (responden).24 Wawancara dilakukan
dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung terhadap nasabah dan
staf keuangan KJKS KUM3 Rahmat Surabaya mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan pembiayaan musyarakah. Seperti prosedur permohonan
pembiayaan, praktek bagi hasil dalam pembiayaan musyarakah yang ada di
KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
23 Rianto Adi, Metodologi Sosisal dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004), 70.
19
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk menelusuri data
berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.25
Metode ini dimaksudkan untuk menggali data kepustakaan dan
konsep-konsep serta catatan-catatan yang berkaitan dengan pembiayaan musyarakah
baik yang berasal dari kitab fikih klasik maupun kontemporer.
4. Teknik pengelolahan data
Setelah data terkumpul dari segi lapangan maupun pustaka, maka
dilakukan teknik pengelolaan data sebagai berikut :
a. Editing adalah pemeriksaan kembali data-data yang diperoleh dengan
memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi
kesesuaian dan keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan,
serta relevansinya dengan permasalahan.26
b. Organizing adalah mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi
sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan
rumusan masalah, serta mengelompokkan data yang diperoleh.27 Melaui
teknik ini, data-data yang telah terkumpul dikelompokkan sesuai dengan
pembahasan yang telah direncanakan sebelumnya mengenai praktik bagi
hasil dengan pembagian tetap dari sistem musyarakah di KJKS KUM3
Rahmat Surabaya.
25 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), 240.
26 Chalid Narbuko, Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 153.
20
5. Teknik analisis data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data pada penelitian ini ialah
metode deskriptif analitis yaitu sebuah metode dimana prosedur pemecahan
penelitian yang diselidiki dengan mengambarkan dan melukiskan subyek atau
objek pada seseorang atau lembaga pada saat sekarang dengan berdasarkan fakta
yang tampak sebagaimana adanya.28
Metode ini digunakan untuk menganalisis data yang telah diperoleh dalam
penelitian, sehingga mendapat kesimpulan atau kejelasan hukum Islam terhadap
praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS
KUM3 Rahmat Surabaya apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak.
I. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi disusun secara sistematis untuk memperoleh gambaran inti
dari permasalahan yang dibahas serta untuk mempermudah pembahasan dalam
penelitian. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua merupakan pembahasan mengenai musyarakah yang meliputi :
pengertian musyarakah, dasar hukum musyarakah, jenis-jenis musyarakah, rukun dan
21
syarat musyarakah, dan berakhirnya akad musyarakah, Fatwa DSN tentang
Pembiayaan musyarakah.
Bab ketiga merupakan praktik bagi hasil dengan pembagian tetap di KJKS
KUM3 Rahmat yang berisi tentang profil singkat KJKS KUM3 Rahmat Surabaya,
visi dan misi, produk-produk yang ada di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya serta
praktik pembiayaan musyarakah terhadap bagi hasil dengan pembagian tetap di
KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
Bab keempat merupakan analisis hukum Islam terhadap praktik bagi hasil
dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat
Surabaya, yang meliputi Analisis terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian
tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya dan analisis
hukum Islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan
musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.
BAB II
MUSYARAKAH DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Musyarakah
Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara
suatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Asy-syirkah termasuk salah
satu bentuk kerjasama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum
positif disebut dengan perserikatan dagang.
Secara terminologi, ada beberapa definisi asy-syirkah yang dikemukakan oleh
para ulama fikih, yaitu :
Pertama, dikemukakan oleh ulama Malikiyah. Menurut mereka, asy-syirkah
adalah :
اَم ََ ٍلاَم ِِ اَمِهِس فْ نَأ َعَم اَم ََ ِفرَصتلا ِِ ٌنْذِإ
Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama
terhadap harta mereka.
Kedua, definisi yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah han Hanabilah.
Menurut mereka, asy-syirkah adalah :
Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka
sepakati.
Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah. Menurut mereka,
asy-syirkah adalah :
ِحْباَو ِلاَم ِشْأَر ِِ ِْيَكِراَشَت مْلا َْيَ ب ٌدْقَع
Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan
keuntungan.
Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan para ulama fikih di atas
hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya
adalah sama, yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam
perdagangan. Dengan adanya akad musyarakah yang disepakati kedua belah pihak,
semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat
itu, dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang
disepakati.1
B. Dasar Hukum Musyarakah
Akad musyarakah dibolehkan , menurut para ulama fikih, berdasarkan kepada
firman Allah Swt. dalam surat an-Nisa’, 4 : 12 yang berbunyi :
…
…
Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu. (QS. An-Nisa’ 4 : 12)2
Ayat ini, menurut mereka, berbicara tentang perserikatan harta dalam
pembagian warisan. Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman :
. . . . . .
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini…. (QS. Shad, 38 : 24)3
Disamping ayat-ayat diatas, dijumpai pula sabda Rasulullah saw. yang
membolehkan akad musyarakah. Dalam sebuat hadist Qudsi Rasulullah saw.
mengatakan :
َمِهِْيَ ب ْنِم َتْجَرَخ َناَخ اَذِإَف َبِحاَص اَ ُ دَحَأ ْن ََ َْلاَم ِْيَكْيِرَش َثِلَث اَنَأ
نع مكاحاو دواد وبأ اور( .ا
)ةرير يأأ
Aku (Allah) merupakan orang ketiga dalam perserikatan antara dua orang, selama salah seorang diantara keduanya tidak melakukan penghianatan terhadap yang lain. Jika seseorang melakukan pengkhianatan terhadap yang lain, Aku keluar dari perserikatan antara dua orang itu. (HR. AbuDaud dan al-Hakim dari Abu Hurairah)
Dalam hadis lain Rasulullah saw. juga bersabda :
اَنَواَخَتَ ي َْلاَم ِْيَكِرشلا ىَلَع ِللا دَي
2 Departemen Agama, Alquran Terjemah Indonesia, (Jakarta : Sari Agung, 2001), 143.
Allah Swt. akan ikut membantu doa untuk orang yang berserikat, selama di antara mereka tidak saling mengkhianati. (HR al-Bukhari)
Atas dasar ayat dan hadis diatas para ulama fikih menyatakan bahwa akad
musyarakah mempunyai landasan yang kuat dalam agama Islam.4
C. Macam-macam Musyarakah
Para Ulama fikih membagi musyarakah ke dalam dua bentuk, yaitu :
musyarakah ‘amlak (perserikatan dalam kepemilikan) dan musyarakah ’uqud
(perserikatan berdasarkan suatu akad).
1. Musyarakah ‘amlak
Musyarakah dalam bentuk ini, menurut ulama fikih, adalah dua orang atau
lebih memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad
musyarakah. Musyarakah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau
kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset. Dalam musyarakah
ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan
berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.5
Musyarakah kepemilikan dibagi menjadi dua bentuk, yaitu : (a)
Musyarakah ‘ikhtiyar (perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat),
yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat,
seperti dua orang bersepakat membeli suatu barang, atau mereka menerima
harta hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain, lalu kedua orang itu menerima
4 Hasrun Haroen, Fiqh Muamalah…, 176.
pemberian harta hibah, wasiat, atau wakaf itu dan menjadi milik mereka secara
berserikat. Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang
dihibahkan, diwakafkan, atau yang diwasiatkan orang itu menjadi harta serikat
nbagi mereka berdua. (b) Musyarakah jabar (perserikatan yang muncul secara
paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat), yaitu sesuatu yang
ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih, tanpa kehendak dari mereka,
seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat. Harta
warisan itu menjadi milik bersama orang-orang yang menerima warisan itu.6
Dalam kedua bentuk musyarakah kepemilikan ini, menurut para pakar
fikih, status harta masing-masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak
masing-masing, bersifat berdiri sendiri secara hukum. Apabila masing-masing
ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya,
karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang
menjadi mitra serikatnya. 7
2. Musyarakah ’uqud
Musyarakah dalam bentuk ini maksudnya dengan cara kesepakatan dimana
dua orang tau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal
musyarakah. Merekan pun juga sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.8
Ulama Hanabilah membagi Musyarakah ’uqud menjadi lima, yaitu : syirkah
al-‘inan, syirkah al-mufawad}ah, syirkah al-‘abdan, syirkah al-wujuh, dan
syirkah al-mud}orabah. Beberapa ulama berbeda pendapat tentang al-mud}orabah,
6 Nasrun Haroen, fiqh Muamalah…,167.
7 Ibid., 168.
apakah ia termasuk kategori musyarakah atau bukan. Beberapa ulama
menganggap al-mud}orabah termasuk kategori musyarakah karena memenuhi
syarat dan rukun sebuah akad (kontrak) musyarakah. Adapun ulama lain
menganggap al-mud}orabah tidak termasuk sebagai musyarakah.
Ulama kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah, membagi musyarakah ’uqud itu
menjadi empat, yaitu : syirkah ‘inan, syirkah mufawad}ah, syirkah
al-‘abdan, syirkah al-wujuh. Sedangkan syirkah al-mud}orabah, yang dikemukakan
oleh ulama Hanabilah, mereka tolak sebagai musyarakah.
Sedangkan ulama Hanafiyah membagi musyarakah menjadi 3, yaitu :
syirkah al-amwal (perserikatan dalam modal/harta), syirkah al-‘a‘mal
(perserikatan dalam kerja), dan syirkah al-wujuh (perserikatan tanpa modal).
Menurut mereka, ketiga musyarakah tersebut boleh masuk kategori al-‘inan dan
boleh juga al-mufawad}ah.9
Hukum masing-masing musyarakah ‘uqud
Hukum masing-masing perserikatan yang termasuk ke dalam kategori
musyarakah ‘uqud, menurut para ulama fikih adalah sebagai berikut:
a. syirkah al-‘inan ( ا علاةكرش)
syirkah al-‘inan, yairu perserikatan dalam modal (harta) dalam suatu
perdagangan yang dilakukan dua orang atau lebih dan keuntungan dibagi
bersama. Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa bentuk perserikatan
ini adalah boleh. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana
dan berpartisipasi dalam kerja. Dalam perserikatan ini, modal digabungkan
oleh masing-masing pihak tidak harus sama jumlahnya, tetapi boleh juga
sati pihak memiliki modal lebih besar dari pihak lainnya. Demikian juga
halnya dalam soal tanggungjawab dan kerja. Boleh saja satu pihak
bertanggungjawab penuh terhadap perserikatan itu, sedangkan pihak lain
tidak bertanggungjawab. Keuntungan dari perserikatan ini dibagi sesuai
dengan kesepakatan bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi
tanggungjawab orang-orang yang berserikat sesuai dengan prosentase
modal/saham masing-masing. Dalam hal ini ulama fikih membuat kaidah :
ِْيَلاَمِرْدَق ىَلَع ةَعْ يِضَولاَو اَطَرَش اَم ىَلَع حْبرلا
Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian sesuai dengan
modal masing-masing pihak.10
b. syirkah al-mufawad}ah (ةضواف لاةكرش(
syirkah al-mufawad}ah, yaitu perserikatan dua orang atau lebih pada
suatu obyek, dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal yang
sama jumlahnya, serta melakukan tindkan hukum (kerja) yang sama,
sehingga masing-masing pihak dapat bertindak hukum atas nama
orang-orang yang berserikat. Dalam perserikatan ini, menurut ulama Hanafiyah
dan Zaidiyah, tidak dibolehkan lebih besar dari pihak lain, dan keuntungan
untuk satu pihak lebih besar dari keuntungan yang diterima mitra
serikatnya. Demikian pula dalam masalah kerja. Masing-masing pihak harus
sama-sama bekerja, tidak boleh salah satu pihak bekerja dan pihak yang
lainnya tidak bekerja.11
Dengan demikian, syarat utama dari jenis musyarakah al-mufawad}ah ini
adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab, keuntungan
dan kerugian, masing-masing pihak yang mengikatkan diri dalam
perserikatan ini mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Ulama Hanafiyah dan Zaidiyah menyatakan bentuk perserikatan seperti
ini dibolehkan. Alasan yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah
saw. yang menyatakan :
) جام نبا اور( ِةَكَرَ بْلِل مَظْعَأ نِإَف او ضَواَف...َةَضَواَف مْلا او ِسْحَأَف ْم تْضَواَفَ ت اَذِإ
Jika kamu melaksanakan mufawadah, maka lakukanlah dengan cara yang baik . . . dan lakukanlah mufawadah, karena akad seperti ini membawa berkah. (HR Ibn Majah).
Dalam hadist lain dikatakan :
ا اور( .ِعْيَ بْلِل َاَو ِِْْعشلِب ِِِْلا طاخاو ِةَضَواَف مْلاَو ٍلَجَأ ََِإ عْيَ بلا : ةَكَرَ بْلا نِهْيِف ٌثَاَث
) جام نب
Tiga (bentuk usaha) yang mengandung berkat, yaitu jual beli yang pembayarannya boleh ditunda, mufawad}ah, dan mencampur gandum dengan jelai (untuk dimakan) bukan untuk diperjualbelikan. (HR Ibn Majah)
Selanjutnya, ulama Hanafiyah dan Zaidiyah menyatakan bahwa
perserikatan seperti ini telah memasyarakat diseluruh wilayah Islam dan
tidak seorang ulama pun yang mengingkarinya. Akan tetapi, ulama
Malikiyah tidak membolehkan bentuk perserikatan mufawad}ah seperti yang
dipahami oleh ulama Hanafiyah dan Zaidiyah di atas. Menurut mereka,
perserikatan mufawad}ah boleh dianggap sah, apabila masing-masing pihak
yang berserikat dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap
modal kerja, tanpa minta izin dan musyawarah dengan mitra serikatnya,
baik mitra serikat itu berada ditempat maupun sedang diluar kota.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menilai bahwa bentuk serikat
mufawad}ah seperti yang dikemukakan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah di
atas, menurut mereka, tidak boleh, karena sulit untuk menentukan prinsip
kesamaan modal, kerja, dankeuntungan dalam perserikatan itu, di samping
tidak satu dalil pun yang shahih yangmembolehkan bentuk perserikatan
seperti itu. Adapun hadist yang dijadikan dasar dijadikan dasar oleh ulama
Hanafiyah dan Zaidiyah untuk mendukung keabsahan perserikatan
mufawad}ah yangmereka kemukakan adalah hadist d}a‘if (lemah), karena
tidak ada indikasi yang mendukung bahwa hadist itu terkait dengan
musyarakah mufawad}ah yang mereka kemukakan. Akan tetapi, mereka
membolehkan musyarakah mufawad}ah dalam pengertian yang dikemukakan
ulama Malikiyah.12
c. syirkah al-wujuh (وجولاةكرش)
syirkah al-wujuh yaitu serikat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu
pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga tunai, sedangkan
keuntungan yang diperoleh dibagi bersama. dizaman sekarang, perserikatan
ini mirpi makelar dan banyak dilakukan orang. Dalam perserikatan seperti
ini, pihak yang berserikat membeli barang secara kredit, hanya atas dasar
suatu kepercayaan, kemudian barang yang mereka kredit itu mereka jual
dengan harga tunai, sehingga mereka meraih keuntungan.13
Hukum perserikatan seperti ini pun diperselisihkan para ulama fiqh.
Menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah musyarakah seperti ini
boleh dilakukan, karena ia adalah musyarakah ‘uqud yang mengandung
pemberian hak kuasa (wakalah) masing-masing pihak kepada mitranya
untuk membeli barang, dengan syarat orang yang hendak membeli barang
sah untuk melakukan hal itu, maka begitu juga musyarakah yang
mencakupnya. Ditambah lagi, masyarakat telah melaksanakan musyarakah
seperti ini sejak zaman dahuku tanpa adanya penolakan dari siapapun.
Kesimpulannya, kesepakatan yang dilakukan keduanya dapat dianggap
sebagai sebuah pekerjaan, sehingga bisa dijadikan sebagai modal.14
Sedangkan para ualama Malikiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan
Imamiyah, serta Laits, Abu Sulaiman dan Abu Tsaur berpendapat bahwa
musyarakah semacam ini adalah musyarakah yang tidak sah. Hal itu karena
musyarakah dikaitkan dengan harta atau pekerjaan, sementara keduanya
tidak ada dalam musyarakah ini. Ditambah lagi, musyarakah ini
mengandung penipuan (gharar), karena masing-masing pihak memberikan
kepada mitranya keuntungan yang tidak bisa ditentukan dengan
13 Ibid., 171.
14 Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, juz 5, (Jakarta : Gema Insani,
keterampilan, atau pekerjaan tertentu. Dengan begitu, keuntungan yang
didapat bukanlah hasil dari modal atau p[ekerjaan, sehingga dia tidak berhak
untuk mendapatkannya.15
d. syirkah al-‘a’mal (لا عأاةكرش)
syirkah al-’a’mal yaitu perserikatan yang dilaksanakan oleh dua untuk
menerima suatu pekerjaa, seperti pandai besi, service alat-alat eletronik,
laundry, dan tukang jahit. Hasil atau imbalan yang diterima dari pekerjaan
itu dibagi menjadi bersama sesuai dengan kesepakatan mereka berdua.16
Musyarakah ini menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan
Zaidiyahh adalah boleh, karena tujuan dari musyarakah ini adalah untuk
mendapatkan keuntungan, sementara hal itu bisa dilakukan dengan
mewakilkan. Masyarakat telah mempraktekkan musyarakah jenis ini. Selain
itu, karena sebuah musyarakah dapat dilakukan dengan modal harta atau
dengan modal pekerjaan, sebagaimana dalam mud}arabah. Dan dalam
musyarakah ini modal yang digunakan adalah pekerjaan.17
Para pengikut Syafi’I, Syi’ah Immamiyah dan Zufar dari kalangan
Hanafiyah berpendapat bahwa musyarakah ini adalah musyarakah yang
tidak sah. Karena menurut mereka, musyarakah hanya boleh dilakukan
dengan harta, bukan dengan pekerjaan. Alasannya, pekerjaan tidak bisa
diukur, sehingga mengakibatkan ketidajelasan. Pasalnya, salah satu pihak
15 Ibid.
16 Harun nasrun, fiqih Muamalah…, 171.
tidak tahu apakah mitranya mendazzpatkan keuntungan atau tidak. Dan bisa
jadi salah satu pihak mengerjakan seluruh pekzerjaan, sementara mitranya
tidak melakukan apa-apa. Oleh karena itu, akan terjadi penipuan jika kedua
orang yang menjalin kerjasama tersebut membagi keuntungan kerja.18
e. syirkah al-mud}orabah (ةبراض لاةكرش)
syirkah al-mud}orabah yaitu persetujuan antara pemilik modal dengan
seorang pekerja untuk mengelola uang dari pemilik modal dalam
perdagangan tertentu, yang keuntungannya dibagio sesuai dengan
kesepakatan bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi
tanggungan pemilik modal saja. Menurut ulama Hanabilah, yang
menganggap al-mud}orabah termasuk salah satu bentuk perserikatan, ada
beberapa syarat yang gharus dipenuhi dalam perserikatan ini. Syarat-syarat
itu adalah : (a) pihak-pihak yang berserikat cakap bertindak sebagai wakil;
(b) modalnya berbentuk uang tunai; (c) jumlah modal jelas; (d) diserahakan
langsung kepada pekerja (pengelola) dagang itu setelah akad dsetujui; (e)
pembagian keuntungan dinyatakan secara jelas pada waktu akad; (f)
pembagian keuntungan diambilkan dari hasil perserikatan itu, bukan dari harta lain.
Akan tetapi, jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah,
Zahiriyah, dan Syi’ah Imamiyah), tidak memasukkan transaksi
al-mud}orabah sebagai salah satu bentuk perserikatan, karena al-al-mud}orabah,
menurut mereka, merupakan akad tersendiri dalam bentuk kerja sama lain,
dan tidak dinamakan perserikaan.19
D. Rukun dan Syarat Musyarakah
Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa rukun musyarakah, baik musyarakah
amlak maupun musyarakah uqud dengan segala bentuknya adalah ijab (ungakapan
penawaran melakukan perserikatan) dan qabul (ungkapan penerimaan perserikatan).
Menurut jumhur ulama, rukun perserikatan itu ada tiga, yaitu : shigat (lafal) ijab dan
qabul, kedua orang yang berakad, obyek akad. Bagi Ulama Hanafiyah, orang yang
berakad dan obyeknya bukan termasuk rukun, tetapi termasuk syarat.20
Adapun syarat-syarat orang (pihak-pihak)nyang mengadakan perjanjian
serikat/kongsi itu diharuskan :
1. Orang yang berakal
2. Baligh
3. Dengan kehendaknya sendiri (tidak ada unsur paksaan)
Sedangkan mengenai barang modal yang disertakan dalam serikat, hendaklah
berupa :
1. Barang modal yang dapat dihargai (lazimnya selalu disebutkan dalam bentuk
uang)
19 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah…, 172.
2. Modal yang disertakan oleh masing-masing perseorangan dijadikan satu, yaitu
menjadi harta perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul modal
itu.21
Perserikatan dalam kedua bentuk, yaitu syirkah amlak dan syirkah uqud
mempunyai syarat-syarat umum, yaitu :
a. Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya, salah satu
pihak jika bertindak hukum terhadap obyek perserikatan itu, dengan izin pihak
lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.
b. Presentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat
dijelaskan ketika berlangsung akad.
c. Keuntungan itru diambil dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta
lain.22
Syarat-syarat khusus dalam musyarakah uqud
Disamping itu, setiap bentuk perserikatan yang termasuk ke dalam syirkah
uqud, mempunyai syarat-syarat khusus. Syarat khusus untuk syirkah amwal adalah :
modal perserikatan itu jelas dan tunai, bukan berbentuk utang bukan berbentuk
barang. Namun, apakah modal yang diberikan masing-masing pihak yang berserikat
harus distatukan ? jumhjur ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah, berpendirian bahwa modal itu tidak harus disatukan, karena transaksi
perserikatan itu dinilai sah melalui akadnya, bukan hartanya, dan objek perserikatan
21 Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), 76.
itu adalah kerja. Di samping itu, menurt mereka, akad perserikatan mengandung
makna perwakilan dalam bertindak hukum dan dalam akad perwakilan dibolehkan
modal masing-masing pihak tidak disatukan. Oleh sebab itu, dalam akad musyarakah
dibolehkan juga tidak menyatukan/mencampurkan modal maisng-masing pihak yang
berserikat. Namun, ulama Malikiyah menyatakan bahwa pengertian tidak
menyatukan bukan berarti terpisah, tetapi harus ada suatu pernyataan secara hukum
terhadap penyatuan modal itu. Misalnya, dengan melalui suatu pernyataan yang
dituangkan dalam surat transaksi.
Ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Zaidiyah berpendapat bahwa dalam
musyarakah al-amwal, modal masing-masing pihak yang berserikat itu harus
disatukan sebelum akad dilaksanakan, sehingga tidak boleh dibedakan antara modal
kedua pihak, karena musyarakah, menurut mereka, berarti percampuran dua harta.
Ibnu Rusyd (520-595 H), pakar fikih Maliki, mengemukakan cara terbaik
dalam menyelesaikan perbedaan pendapat ulama mazhab di atas. Menurutnya, kedua
harta (modal) itu lebih baik dan lebih sempurna disatukan, karena semua pihak
punya hak dan kewajiban yang sama terhadap harta lain itu, sehingga unsur-unsur
keraguan dan kecurigaan masing-masing pihak tidak muncul.23
Syarat-syarat khusus syirkah al-amwal
Dalam musyarakah al-amwal disyaratkan syarat-syarat khusus, baik musyarakah
tersebut berupa musyarakah ‘inan maupun mufawadah. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Modal musyarakah hendaknya nyata, baik saat akad maupun saat membeli. Ini
adalah pendapat mayoritas ulama. Oleh karena itu, musyarakah menjadi tidak
sah jika modal yang digunakan berupa hutang atau harta yang tidak ada.
b. Modal musyarakah hendaknya berupa barang berharga secara mutlak, yaitu uang,
seperti dirham dnan dirham dimasa lalu, atau mata uang yang tersebar luas
sekarang di masa modern. Ini adalah syarat menurut jumhur ulama.24
E. Proporsi modal, keuntungan, kerugian, dan Perhitungan Bagi Hasil dalam
Musyarakah
Musyarakah merupakan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau
amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.
Dalam perbankan musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek
dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek
tersebut. setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama
bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.25
Dalam definisi lain disebutkan bahwa musyarakah adalah akad kerjasma yang
terjadi diantara pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan modal dan
melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah pembagian
hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proposional
24 Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamy…, 452.
sesuaidengan kontribusi modal. Adapun ketentuan dalam musyarakah menurut fatwa
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut :
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2) Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal
berikut :
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyedihakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra
melaksanakan kerja sebagai wakil.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses
bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola
aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan
aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa
e. Seorang mitra tidak dizininkan untuk mencairkan atau menginvestasikan
dana untuk kepentingan sendiri.26
Modal yang diberikan hendaknya berupa barang berharga secara mutlak, yaitu
uang tunai seperti dirham dan dinar dimasa lalu, emas, perak atau mata uang yang
tersebar luas sekarang dimasa modern. Untuk itu, tidak sah hukumnya mengadakan
musyarakah dengan barang dagangan, seperti barang bergerak atau tidak bergerak.
Karena barang dagangan tidak termasuk barang mithliyat (barang memiliki varian
serupa), tapi termasuk barang qimiyat (yang dinilai dengan harga) yang harganya
berbeda sesuai dengan masing-masing barang. Oleh karena itu, musyarakah dengan
modal barang dagangan akan menyebabkan tidak jelasnya keuntungan saat
dilakukan pembagian kekayaan musyarakah.27
Para pihak yang berakad tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali
atas dasar kesepakatan. Semua modal dalam musyarakah dicampur dan menjadi hak
proyek usaha dan bukan milik perseorangan pemilik modal. Percampuran modal
tersebut dan bentuk usaha yang akan dijalankan harus dituangkan dalam suatu akad
tertulis, dibawah tangan atau notaris.28
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola
bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan
26 Muhamad Yazid, Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2014), 219.
27 Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamy…, 453.
28 Ahmad Ifham, ini Lho Bank Syariah Memahami Bank Syariah dengan Mudah, (Jakarta : PT Gramedia
usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk
menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindakan, seperti :
1) Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi
2) Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal
lain.
3) Setiap pemilik modal dapat mengalihakn penyertaannya atau digantikan oleh
pihak lain.
4) Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila menarik diri dari
perserikatan, meninggal dunia, dan menjadi tidak cakap hukum.
5) Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus
diketahui, keuntungan dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
6) Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad, setelah selesai,
nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah
disepakati.29
Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun
untuk menghidari terjadinya penyimpangan, bank dapat meminta jaminan.30
Pembagian keuntungan yang diperoleh dalam akad musyarakah tersebut,
sebagian ahli hukum Islam berpendapat bahwa pembagian keuntungan haruslah
didasarkan kepada perbandingan penyertaan modal oleh masing-masing orang yang
berakad. Namun ada juga ahli hukum Islam yang berpendapat bahwa pembagian
keuntungan dalam akad musyarakah, maupun pembagian kerugiannya tidak mesti
29
Fatmah, Kontrak Bisnis Syraiah, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), 194.
sesuai dengan perbandingan penyertaan modal oleh masing-masing pihak yang
berakad. Asalkan pembagian modal tersebut terlebih dahulu diperjanjiakan pada
waktu akad. Pembagian proporsi keuntungan harus dipenuhi hal-hal berikut :
1) Keuntungan harus di kuantifikasikan dengan jelas untuk menghindarkan
perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian
musyarakah.31
2) Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada mitra usaha harus disepakati di awal
kontrak/akad. Dan harus tertuang dengan jelas dalam akad. Jika proporsi belum
ditetapkan, akad tidak sah menurut syariah.
3) Rasio/nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan
sesuai dengan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan berdasarkan
modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan untuk menetapkan lumsum untuk
mitra tertentu, atau tingkat keuntungan tertentu yang dikaitkan dengan modal
investasinya.
Contoh : jika A dan B bermitra dan sepakat bahwa A akan mendapatkan bagian
keuntungan setiap bulan sebesar Rp. 100 ribu, dan sisanya merupakan bagian
keuntungan dari B, maka kemitraan itu tidak sah. Demikian pula, jika disepakati
bahwa A akan memperoleh 15% dari nilai investasinya, kemitraan itu tidak sah.
Dasar yang benar untuk mendistribusikan keuntungan adalah presentase yang
disepakati dari keuntungan yang benar-benar diperoleh dalam usaha.