• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya."

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK BAGI

HASIL DENGAN PEMBAGIAN TETAP DARI PEMBIAYAAN

MUSYARAKAH DI KJKS KUM3 RAHMAT SURABAYA

SKRIPSI

Oleh

Subaida

NIM. C32213092

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field reseach) dalam bentuk studi kasus

dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik bagi Hasil dengan Pembagian Tetap dari Pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya”, yang bertujuan untuk menjawab bagaimana praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya? dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya ?

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deksriptif analitis, yaitu sebuah metode di mana prosedur pemecahan penelitian dengan menggambarkan dan menjelaskan data yang terkait dengan pembahasan, yaitu mengenai fakta dari praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya, kemudian dianalisis menggunakan konsep musyarakah hukum Islam.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa; pertama, pembiayaan musyarakah di KJKS (Koperasi Jasa keuangan Syariah) KUM3 (Komuntas Usaha Mikro Muamalah berbasis Masjid) Rahmat Surabaya dilakukan dengan cara penyertaan modal oleh KJKS KUM3 Rahmat Surabaya untuk pengembangan usaha nasabah. Penyertaan modal dari pihak KJKS KUM3 Rahmat Surabaya jelas nominalnya, sedangkan dari pihak nasabah modal yang disertakan tidak diketahui dengan jelas. Nisbah bagi hasil antara KJKS KUM3 Rahmat Surabaya dengan nasabah telah ditetapkan di awal kontrak, akan tetapi nasabah sering kali memberikan nisbah bagi hasil yang tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan pada setiap periode (minggu); kedua, praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya secara keseluruhan diperbolehkan menurut hukum Islam. Nisbah bagi hasil yang ditetapkan oleh KJKS KUM3 Rahmat adalah berdasarkan pekerjaan, bukan berdasarkan modal yang disertakan. Adapun jika terjadi ketidaksesuaian nisbah bagi hasil yang disetorkan oleh nasabah setiap periode (minggu), maka salah satu pihak boleh membatalkannya atau tetap melanjutkannya jika keduanya sama-sama rida dan tidak ada unsur paksaan.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ...v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Kegunaan Penelitian ... 14

G. Definisi Operasional ... 14

H. Metode Penelitian ... 15

I. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II MUSYARAKAH DALAM HUKUM ISLAM... 22

A. Pengertian Musyarakah ... 22

B. Dasar Hukum Musyarakah ... 24

C. Macam-macam Musyarakah ... 26

D. Hukum Shirkat al-‘Uqu>d ... 29

E. Rukun dan Syarat Musyarakah... 34

(8)

G. Berakhir dan Batalnya Akad Musyarakah... 42

H. Fatwa DSN MUI tentang Pembiayaan Musyarakah ... 45

BAB III PROFIL KJKS KUM3 RAHMAT SURABAYA DAN MEKANISME PEMBIAYAAN MUSYARAKAH KJKS KUM3 RAHMAT SURABAYA 48 A. Profil KJKS KUM3 Rahmat Surabaya... 48

B. Mekanisme Pembiayaan Musyarakah KJKS KUM3 Rahmat Surabaya 56 C. Faktor yang Melatarbelakangi Ketidaksamaan Bagi Hasil dalam Penerapan Praktik bagi Hasil Pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya ... 74

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK BAGI HASILDENGAN PEMBAGIAN TETAP DARI PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DI KJKS KUM3 RAHMAT SURABAYA... 78

A. Praktik Bagi Hasil dengan Pembagian Tetap dari Pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya ... 78

B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik bagi Hasil dengan Pembagian Tetap dari Pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya ...84

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat luas, yang mengatur semua

aspek, baik sosial, ekonomi, politik, serta kehidupan spritiual. Sebagaimana firman

Allah Swt. QS Almaidah ayat 3, sebagai berikut :

             

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.1

Ayat di atas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan

mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan. Oleh

karena itu, ekonomi sebagai salah satu aspek kehidupan tentu sudah diatur dalam

agama Islam.2

Aspek ekonomi merupakan salah satu objek pembahasan muamalah yang

mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain yang sasarannya adalah

harta atau benda.3 Dalam hal ini, Islam tidak membatasi hubungan antar sesama

muslim melainkan juga hubungan dengan nonmuslim. Oleh karena itu Islam adalah

agama yang bersifat Rah}matan lil ‘a>lami>n (menjadi rahmat bagi alam semesta).

1 Departemen Agama, Alquran Terjemah Indonesia (Jakarta: Sari Agung, 2001), 193.

2 Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2007) 1.

(10)

2

Kegiatan ekonomi tidak akan terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari.

Karena manusia merupakan makhluk ekonomi. Dalam perkembangan ekonomi di

Negara Indonesia, kegiatan perekonomian berjalan sangat pesat dengan adanya

lembaga keuangan. Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia

Nomor 792 Tahun 1990 lembaga keuangan adalah suatu badan yang kegiatannya

dalam bidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada

masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan.4 Lembaga keuangan

berperan sebagai lembaga intermediasi keuangan yang berperan aktif dalam

kelancaran kegiatan ekonomi.

Lembaga keuangan yang kita ketahui adalah tertuju kepada bank, karena bank

adalah tempat penghimpun dan penyaluran dana masyarakat. Lembaga keuangan

tidak hanya bank melainkan ada juga lembaga keuangan bukan bank. Menurut Surat

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor KEP-38/MK/IV/1972

Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) adalah lembaga keuangan yang dalam

kegiatannya tidak dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat

sebagaimana yang dilakukan oleh bank pada umumnya. Secara khusus, lembaga

keuangan bukan bank adalah semua badan yang melakukan kegiatan dibidang

keuangan yang langsung atau tidak langsung menghimpun dana, terutama dengan

mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkan kepada masyarakat terutama untuk

membiayai investasi perusahaan.5

4 Andri Soedirman, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Prenada Media, 2009), 26.

(11)

3

Lembaga keuangan bukan bank di antaranya adalah koperasi yang merupakan

organisasi bisnis yang dimiliki dan dioperasikan oleh orang-orang demi kepentingan

bersama. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip ekonomi rakyat yang

berdasarkan asas kekeluargaan. Terdapat banyak sekali definisi yang dikemukakan

oleh para ilmuan, yang pada umumnya koperasi merupakan wadah bagi golongan

ekonomi lemah, seperti definisi yang diberikan oleh Dr. Fay (1980) yang

menyatakan bahwa koperasi adalah suatu perserikatan dengan tujuan berusaha

bersama yang terdiri atas mereka yang lemah dan diusahakan selalu dengan

semangat tidak memikirkan diri sedemikian rupa, sehingga masing-masing sanggup

menjalankan kewajibannya sebagai anggota dan mendapat imbalan sebanding

dengan pemanfaatan mereka terhadap organisasi.6\\

Menurut pasal 1 Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil

Menengah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 menyatakan, bahwa yang

dimaksud dengan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang atau

seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan

prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas asa

kekeluargaan.7

Koperasi merupakan lembaga keuangan dan kredit yang mana sumber dana

koperasi simpan pinjam berasal dari simpanan pokok, wajib, dan simpanan sukarela.

Sumber dana lain berupa pinjaman LSD (lembaga sosial desa) setempat.

6 Muhammad Firduas, Agus Edhi Susanto, Perkoperasian Sejarah Teoro dan Praktek (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2002), 38.

7Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Republik Indonesia Nomor

(12)

4

koperasi umumnya memberi kredit untuk usaha pertanian, perdagangan, dan juga

untuk kebutuhan konsumsi. Dalam memberikan pinjaman, koperasi tidak memungut

biaya permohonan, tetapi ada juga yang memungut biaya materai dan biaya

administrasi sebesar sekitar 2 sampai 5 persen dari jumlah pinjaman. Kredit

diberikan dalam bentuk uang jangka waktu berkisar 10 minggu. Cara pembayaran

dilakukan dengan angsuran mingguan. Tingkat suku bunga pinjaman sekisar antara 1

sampai 8 persen dan diakhir transaksi. Mereka menetapkan ketentuan jumlah

maksimum dan minimum.8 Praktik yang menggunakan bunga di dalam pinjamannya

adalah merupakan koperasi dengan sistem konvensional. Pada praktiknya selain

terdapat koperasi dengan sistem konvensional, dikenal pula koperasi dengan

menggunakan prinsip syariah.

Koperasi Jasa Keuangan Syariah, selanjutnya disebut KJKS, adalah Koperasi

yang kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, investasi, dan simpanan

sesuai pola bagi hasil (syariah).9 Koperasi syariah menggunakan prinsip syariat

berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana

dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai

dengan syariat, antara lain pembiayaan prinsip bagi hasil (mud}a>rabah), pembiayaan

berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan

memperoleh keuntungan (mura>bah}ah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan

prinsip sewa murni tanpa pilihan (ija<rah), atau dengan adanya pilihan pemindahan

8 Faried Wijaya, et al., Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank, Edisi 2 (Yogyakarta : BPFE, 1999), 412.

9 Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia Nomor

(13)

5

kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ija>rah wa

iqtina).10

KJKS KUM3 Rahmat Surabaya adalah Koperasi Jasa Keuangan Syariah

Program Komunitas Usaha Mikro Muamalat berbasis Masjid (KUM3) yang

diprakarsai oleh Baitulmaal Muamalat (BMM) dan telah berjalan sejak tahun 2007.

Ada beberapa jenis pelayanan keuangan dan jasa di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya

Salah satu pelayanannya adalah dalam bentuk pembiayaan yang menggunakan akad

musyarakah. Akad musyarakah digunakan oleh KJKS KUM3 Rahmat Surabaya

untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan permodalan bagi nasabah guna

menjalankan usaha atau proyek dengan cara melakukan penyertaan modal bagi usaha

atau proyek yang bersangkutan. Dengan demikian, KJKS KUM3 Rahmat Surabaya

memberikan pembiayaan terhadap nasabah yang mengajukan permohonan

pembiayaan menggunakan akad musyarakah. Dana pembiayaan musyarakah (porsi

KJKS KUM3 Rahmat Surabaya) akan dicairkan setelah akad ditandatangani.

Keuntungan atau pendapatan musyarakah dibagi diantara nasabah musyarakah

berdasarkan kesepakatan awal sedangkan kerugian musyarakah dibagi antara

nasabah musyarakah secara proposional berdasarkan modal masing-masing.11\

Dalam pembiayaan musyarakah tersebut memiliki masalah dalam pembagian

nisbah bagi hasil yang telah ditetapkan di awal kontrak tanpa diperhitungkan dari

modal yang disertakan oleh masing-masing pihak. Mengenai penyertaan modal dari

kedua belah pihak antara KJKS KUM3 Rahmat Surabaya dan nasabah, hanya pihak

10 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta : UGM Press, 2007), 221.

(14)

6

KJKS KUM3 Rahmat Surabaya yang jelas nominal penyertaan modalnya.

Sedangkan dari pihak nasabah modal yang disertakan tidak diketahui dengan jelas.

Dari ketidakjelasan modal yang disertakan oleh nasabah, pihak KJKS KUM3

Rahmat Surabaya sudah menentukan dan menetapkan presentase bagi hasil dari

keuntungan dari musyarakah tersebut.

Selain dari masalah ketidakjelasan modal dan pembagian tetap nisbah bagi

hasil, pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya juga ada

permasalahan dalam perhitungan nisbah bagi hasil yang sudah ditetapkan oleh KJKS

KUM3 Rahmat Surabaya, yaitu banyaknya nasabah yang tidak jujur dalam

perhitungan bagi hasil dengan pihak KJKS KUM3 Rahmat Surabaya. Padahal di

awal perjanjian dalam bentuk kontrak telah ditetapkan bahwa perhitungan bagi hasil

antara Nasabah dan KJKS KUM3 Rahmat Surabaya adalah 70% (tujuh puluh

persen) dari pendapatan/keuntungan untuk anggota (nasabah) dan 30% (tiga puluh

persen) dari pendapatan/keuntungan untuk KJKS KUM3 Rahmat Surabaya. Akan

tetapi, dalam prakteknya perhitungan bagi hasil yang disetorkan oleh nasabah

kepada KJKS KUM3 Rahmat Surabaya tidak sesuai dengan akad yang telah

disepakati. Banyak nasabah yang memberikan bagi hasil mingguan dengan nominal

yang sama, padahal keuntungan mingguan yang didapat dari usaha yang dijalankan

oleh nasabah pasti berbeda-beda. Walaupun setoran mingguan yang dilakukan oleh

nasabah tidak sesuai dengan kontrak yang telah disepakati kedua belah pihak antara

nasabah dan KJKS KUM3 Rahmat Surabaya tetapi praktek seperti ini telah menjadi

(15)

7

Nasabah pembiayaan musyarakah pada KJKS KUM3 Rahmat Surabaya sering

kali menggunakan pembiayaan tersebut tidak sesuai dengan akad, di mana akad

musyarakah tersebut adalah pembiayaan untuk modal usaha, tetapi nasabah

menggunakan pembiayaan tersebut sebagai kebutuhan pribadi yang lain, seperti

menggunakan untuk biaya sekolah anaknya, menggunakan untuk membayar hutang

yang tidak semestinya digunakan sesuai akad. Musyarakah menurut ulama mazhab

Hanafi adalah :

ِحْبَرلاو ِلاَمْلا ِسْأَر ِِ َِْْكِراَشَتُمْلا ََْْ ب ٌدْقَع

Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.

Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih di atas

hanya berbeda secara redaksional. Sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya

adalah sama, yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam

serikat dagang, kongsi, perseroan, dan persekutuan. Dengan adanya akad

musyarakah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang mengikatkan diri

berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan berhak mendapatkan

keuntungan sesuai dengan persetujuan yang disepakati.12

Bagi hasil yang ditetapkan oleh KJKS KUM3 Rahmat Surabaya telah

ditetapkan dalam kontrak di awal. Akan tetapi, banyaknya nasabah yang melakukan

wanprestasi dengan menyetorkan bagi hasil mingguan dengan nominal yang sama

dan juga banyaknya nasabah yang menunda-nunda menyetorkan bagi hasil kepada

KJKS KUM3 Rahmat Surabaya. Penundaan atau kemacetan penyetoran bagi hasil

(16)

8

yang dilakukan oleh nasabah pihak KJKS KUM3 Rahmat Surabaya tidak

memberikan denda ataupun meminta jaminan kepada anggota nasabah. Padahal di

dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor

08/DSN-MUI/IV/2000 untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta

jaminan.13 Pihak KJKS KUM3 Rahmat Surabaya mengganggap bahwa niatnya

dalam pembiayaan musyarakah adalah tolong-menolong dan semata-mata karena

Allah Swt. sedangkan muamalah atau transaksi dalam bentuk tolong-menolong atau

hanya semata-mata karena Allah merupakan akad tabarru‘. Akad musyarakah bukan

merupakan akad tabarru’ melainkan akad tija>ri> yaitu, akad segala macam akad

perjanjian yang menyangkut transaksi yang mencari keuntungan (profit

orientation).14

Nasabah pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya banyak

yang belum memahami dengan benar tentang pembiayaan musyarakah menurut

hukum Islam. Dalam musyarakah tidak boleh mencampurkan modal usaha dengan

harta miliknya atau milik orang lain, yang dilakukan nasabah KJKS KUM3 Rahmat

Surabaya seringkali terjadi pencampuran modal usaha dengan harta milik pribadinya

sehingga sulit untuk menghitung keuntungan usaha yang dilakukan dengan KJKS

KUM3 Rahmat Surabaya menggunakan akad pembiayaan musyarakah.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penelitian ini digunakan untuk

menjawab latar belakang permasalahan yang menjanggal dengan judul “Tinjauan

13 Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000, tentang

Pembiayaan Musyarakah.

14 Adiwarman A Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006),

(17)

9

Hukum Islam terhadap Praktik bagi Hasil dengan Pembagian Tetap dari Pembiayaan

Musyarakah di KJKS Rahmat Surabaya”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat di

identifikasi dengan adanya beberapa masalah yang penting untuk dikaji melalui

penelitian sebagai berikut :

1. Mekanisme operasional terhadap pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3

Rahmat Surabaya.

2. Pembagian tetap nisbah bagi hasil tanpa mempertimbangan dari masing-masing

penyertaan modal kedua belah pihak.

3. Perhitungan bagi hasil yang ditetapkan KJKS KUM3 Rahmat Surabaya dalam

kontrak yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

4. Ketidakjelasan perhitungan bagi hasil yang sudah menjadi kebiasaan anggota

nasabah pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

5. Tidak adanya penarikan jaminan untuk menghindari penyimpangan yang

dilakukan oleh anngota nasabah.

6. Pencampuran modal usaha dengan harta milik pribadi atau milik orang lain.

Dari identifikasi masalah tersebut.

7. Nasabah menggukan dana dari pembiayaan musyarakah seringkali tidak

digunakan semestinya, melainkan menggunakan untuk kebutuhan pribadi

(18)

10

8. Pembagian nisbah bagi hasil dari Pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3

Rahmat Surabaya merupakan akad tija>ri> atau akad tabarru‘.

9. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari

sistem musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

Dari identifikasi yang telah dilakukan, maka penulis akan membatasi masalah

yang akan dikaji sebagai berikut :

1. Mekanisme operasional pembiayaan Musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat

Surabaya.

2. Pembagian tetap nisbah bagi hasil tanpa mempertimbangan dari masing-masing

penyertaan modal kedua belah pihak.

3. Perhitungan bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan Musyarakah di

KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

4. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari

sistem musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa permasalahan

yang perlu diungkapkan. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah :

1. Bagaimana praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan

musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya ?

2. Bagaiman tinjauan hukum Islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian

(19)

11

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah kajian untuk mendapatkan gambaran hubungan topik

yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya.15 Kajian pustaka ini diharapkan untuk tidak ada pengulangan materi

yang sama, setelah penulis melakuakn penelusuran kajian pustaka dari awal sampai

saat ini penulis menemukan dan membaca skripsi antara lain :

1. Afuadh Afgan (skripsi 2014) dengan judul “Pelaksanaan Akad Pembiayaan

Musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta”, Menyatakan bahwa BMT

Beringharjo merupakan salah satu BMT yang besar dan sudah memiliki cabang

di berbagai daerah. BMT Beringharjo Yogyakarta tersebut juga tidak terlepas

dari permasalahan. Masalahnya yaitu terletak pada beberapa klausul dalam akad

musyarakah. Klausual-klausul tersebut sudah dibuat terlebih dahulu oleh BMT

Beringharjo Yogyakarta, sehingga posisi tawar mitra dimungkinkan tidak

seimbang. Permasalahan tersebut terkait dengan tidak dipenuhinya kewajiban

mitra untuk mengembalikan pinjaman modal usaha sehingga muncul pembiayaan

bermasalah. Pada pelaksanaannya masih belum jelas penyelesaikan, karena

beberapa permasalahan setelah dimusyawarahkan masih belum menemui

penyelesaian.16

2. Kurniawati Ratna Wijaya (skripsi 2014) dengan judul “Analisi Hukum Islam

terhadap Mekanisme Akad Pembiayaan Musyarakah dengan Jaminan di KJKS

BMT Amanah Ummah Karah Surabaya”, Menyatakan bahwa pihak KJKS BMT

15 Zainal Arifin, Metode Penelitian Pendekatan (Surabaya : Lentera Cendelia, 2008), 42.

16Afuad Afgan, “Pelaksanaan Akad Pembiayaan Musyarakahdi BMT Beringharjo Yogyakarta” (Skripsi

(20)

12

Amanah Ummah Karah Surabaya menetapkan aturan kepada setiap nasabahnya

yang akan melakukan transaksi musyarakah dengan meminta jaminan sebagai

penjamin dalam melunasi hutangnya. Padahal menurut para fuqaha pada

dasarnya dalam pembiayaan musyarakah tidak perlu dan tidak boleh

mensyaratkan adanya jaminan. Hal ini dikarenakan pembiayaan musyarakah

bukanlah bersifat hutang, melainkan bersifat kerjasama dengan modal

kepercayaan. Mekanisme pembiayaan musyarakah dengan jaminan di KJKS

BMT Amanah Ummah Karah Surabaya menurut hukum dapar dibenarkan karena

penguasaan nasabah atas modal usaha dari kedua belah pihak mempunyai potensi

untuk merubah dari yad ama>nah ke yad d}ama>nah (dengan konsekuensi harus

mengganti) kalau ada kelalaian dan atau tindakan melampaui batas yang

merugikan pihak KJKS BMT Amanah Ummah Karah Surabaya. Disamping itu

adanya jaminan dalam akd pembiayaan musyarakah ini juga sesuai dengan

asas-asas ekonomi Islam yakni mencegah kerugian itu lebih diutamakan daripada

menciptakan kemaslahatan.17

3. Syaikhul Hadi (skripsi 2008) dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap

Penilaian Cash Flow pada Pembiayaan Musyarakah di Bank Muamalat

Indonesia cabang Surabaya”, Menyatakan bahwa cara Bank Muamalat Indonesia

cabang Surabaya dalam menganalisis pengajuan pembiayaan musyarakah pihak

bank harus menilai cash flow calon nasabah dengan menganalisa laporan

keuangan laba/rugi dua tahun terakhir, dan melihat netto kas atau sisa kas dari

17 Kurniawati Ratna Wijaya, “Analisi Hukum Islam terhadap Mekanisme Akad Pembiayaan Musyarakah

dengan Jaminan di KJKS BMT Amanah Ummah Karah Surabaya” (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya,

(21)

13

semua pengeluaran yang telah dibayarkan, untuk mengetahui naik turunnya sisa

kas yang tersedia pada proyeksi beberapa tahun kedepan, apakah surplus atau

deficit yang nantinya untuk membayar kembali pembiayaan yang telah

diberikan oleh pihak bank. Cara tersebut dibenarkan dalam hukum Islam karena

dalam mengajukan pembiayaan musyarakah seorang nasabah harus memiliki

pengetahuan serta kemampuan untuk mengelola usaha supaya pembiayaan yang

diberikan oleh bank bisa berjalan lancar dan berkembang serta mendapat

keuntungan, adapun adanya pembiayaan macet itu disebabkan oleh miss

management atau salah dalam mengatur makro, misalnya kenaikan BBM dll

yang mengakibatkan keuangan perusahaan defisit karena pengeluaran lebih

banyak dibandingkan dengan pemasukan.18

Dari beberapa skripsi yang telah dipaparkan diatas, bahwa sudah jelas tidak ada

pengulangan atau kesamaan pada skripsi-skripsi sebelumnya. Skripsi sebelumnya

tidak ada satupun yang membahas tentang pembagian tetap dari praktik bagi hasil

dari pembiayaan musyarakah.

E. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari permasalahan di atas, maka tujuan penelitian yang ingin

dicapai adalah:

1. Mengetahui aplikasi praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari sistem

musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

18Syaikhul Hadi, “Analisis hukum islam terhadap penilaian Cash Flow pada pembiayaan Musha>rakah di

(22)

14

2. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktek bagi hasil dengan pembagian

tetap dari sistem musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

F. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari segi teoritis dan segi praktis, yaitu :

1. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menjadi kajian

analisis yang berhubungan dengan ketidakjelasan modal dan nisbah bagi hasil

pada pembiayaan musyarakah yang ada di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

2. Dari segi praktis, bermanfaat bagi pelaku akad musyarakah di KJKS KUM3

Rahmat Surabaya maupun masyarakat umum dalam pelaksanaan transaksi yang

sesuai dengan tuntutan hukum Islam.

G. Definisi Operasional

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dalam konsep penelitian, maka perlu

dijelaskan terlebih dahulu beberapa istilah yang ada dalam judul di atas. Dalam

penelitian ini yang dimaksud dengan :

1. Hukum Islam

Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah Swt.

dan sunah Rasul saw tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan

diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.19 Dalam

19 Tim penyusun MKD Uin Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam (Surabaya: Uin Sunan Ampel

(23)

15

penelitian ini yang dimaksud hukum Islam adalah ketentuan atau peraturan

tentang musyarakah sesuai dengan hukum Islam berdasarkan Alquran dan sunah.

2. Bagi hasil

Bagi hasil merupakan kesepakatan pembagian keuntungan yang dilakukan

oleh kedua belah pihak antara anggota nasabah yang menerima pembiayaan

musyarakah dan pihak KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

3. Pembagian tetap

Pembagian tetap merupakan nisbah bagi hasil yang ditetapkan oleh pihak

KJKS KUM3 Rahmat Surabaya yang tercantum dalam kontrak kepada anggota

nasabah pembiayaan musyarakah.

4. Pembiayaan musyarakah

Pembiayaan musyarakah merupakan penyertaan modal dalam bentuk

pembiayaan yang dilakukan oleh KJKS KUM3 Surabaya Rahmat untuk

memfasilitasi anggota nasabah untuk memenuhi kebutuhan dalam kelancaran

usaha yang dijalaninya, yang kemudian menyertakan bagi hasil dari keuntungan

yang diperoleh dari usaha anggota nasabah yang melakukan pembiayaan

musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dalam bentuk studi

kasus, yaitu suatu penelitian yang dilakukan di lapangan atau di lokasi penelitian,

(24)

16

terjadi di lokasi tersebut.20 Dalam hal ini yang menjadi lapangan penelitian adalah

KJKS KUM3 Rahmat Surabaya. Dengan fokus penelitian adalah Praktek Bagi Hasil

dengan Pembagian Tetap dari Pembiayaan Musyarakah. Selanjutnya, serangkaian

langkah-langkah yang dibutuhkan agar penilitian ini memberikan deskriptif yang

baik, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka data

yang dikumpulkan untuk penelitian ini adalah :

a. Data tentang porsi penyertaan modal yang diberikan pihak KJKS KUM3

Rahmat Surabaya terhadap nasabah.

b. Data tentang porsi modal nasabah pengelola usaha.

c. Penetapan tentang bagi hasil yang telah disepakati oleh nasabah dan KJKS

KUM3 Rahmat Surabaya.

d. Laba mingguan yang diperoleh oleh nasabah dalam kegiatan usahanya.

e. Nominal bagi hasil mingguan yang disetorkan oleh nasabah kepada KJKS

KUM3 Rahmat Surabaya.

f. Cara perhitungan bagi hasil yang dilakukan oleh nasabah.

g. Pemahaman nasabah tentang akad musyarakah.

2. Sumber data

Sumber data mengenai praktik bagi hasil musyarakah dengan pembagian

tetap di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya digali dari sumber-sumber berikut :

20 Abdurrahman Fathoni, Metode Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi (Jakarta: PT. Rineka Cipta,

(25)

17

a. Sumber primer

Primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian

dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung

pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari.21 Sumber data primer

dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara. Adapun diantarnya yang

menjadi sumber penelitian ini meliputi :

1) Staff Keuangan KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

2) Nasabah pembiayaan musyarakah KJKS KUM3 Rahmat.

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak

langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya. Data sekunder

biasanya berwujud data dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia.22

Adapun sumber sekunder yang digunakan dari penelitian ini adalah :

1) Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti

mengenai praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan

musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

2) Alquran dan terjemahnya

3) Fiqih muamalah

4) Fatwa DSN MUI tentang pembiayaan musyarakah

5) Dan sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan bagi hasil dari

akad musyarakah.

21 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Edisi I Cet VII (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20.07), 91

(26)

18

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

a. Observasi

Data untuk menjawab masalah penelitian dapat dilakukan dengan cara

pengamatan (observasi), yakni mengamati gejala penelitian. Dalam hal ini

panca indera manusia (penglihatan dan pendengaran) diperlukan untuk

menangkap gejala yang diamati. Apa yang ditangkap tadi, dicatat dan

selanjutnya catatan tersebut dianalisis.23 Observasi dalam penelitian ini

dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang operasional pembiayaan

musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

b. Wawancara (interview)

Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan

jalan komunikasi, yakni melalui kontak antara pengumpul data

(pewawancara) dengan sumber data (responden).24 Wawancara dilakukan

dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung terhadap nasabah dan

staf keuangan KJKS KUM3 Rahmat Surabaya mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan pembiayaan musyarakah. Seperti prosedur permohonan

pembiayaan, praktek bagi hasil dalam pembiayaan musyarakah yang ada di

KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

23 Rianto Adi, Metodologi Sosisal dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004), 70.

(27)

19

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk menelusuri data

berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.25

Metode ini dimaksudkan untuk menggali data kepustakaan dan

konsep-konsep serta catatan-catatan yang berkaitan dengan pembiayaan musyarakah

baik yang berasal dari kitab fikih klasik maupun kontemporer.

4. Teknik pengelolahan data

Setelah data terkumpul dari segi lapangan maupun pustaka, maka

dilakukan teknik pengelolaan data sebagai berikut :

a. Editing adalah pemeriksaan kembali data-data yang diperoleh dengan

memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi

kesesuaian dan keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan,

serta relevansinya dengan permasalahan.26

b. Organizing adalah mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi

sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan

rumusan masalah, serta mengelompokkan data yang diperoleh.27 Melaui

teknik ini, data-data yang telah terkumpul dikelompokkan sesuai dengan

pembahasan yang telah direncanakan sebelumnya mengenai praktik bagi

hasil dengan pembagian tetap dari sistem musyarakah di KJKS KUM3

Rahmat Surabaya.

25 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), 240.

26 Chalid Narbuko, Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 153.

(28)

20

5. Teknik analisis data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data pada penelitian ini ialah

metode deskriptif analitis yaitu sebuah metode dimana prosedur pemecahan

penelitian yang diselidiki dengan mengambarkan dan melukiskan subyek atau

objek pada seseorang atau lembaga pada saat sekarang dengan berdasarkan fakta

yang tampak sebagaimana adanya.28

Metode ini digunakan untuk menganalisis data yang telah diperoleh dalam

penelitian, sehingga mendapat kesimpulan atau kejelasan hukum Islam terhadap

praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS

KUM3 Rahmat Surabaya apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak.

I. Sistematika Pembahasan

Penulisan skripsi disusun secara sistematis untuk memperoleh gambaran inti

dari permasalahan yang dibahas serta untuk mempermudah pembahasan dalam

penelitian. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan

sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan pembahasan mengenai musyarakah yang meliputi :

pengertian musyarakah, dasar hukum musyarakah, jenis-jenis musyarakah, rukun dan

(29)

21

syarat musyarakah, dan berakhirnya akad musyarakah, Fatwa DSN tentang

Pembiayaan musyarakah.

Bab ketiga merupakan praktik bagi hasil dengan pembagian tetap di KJKS

KUM3 Rahmat yang berisi tentang profil singkat KJKS KUM3 Rahmat Surabaya,

visi dan misi, produk-produk yang ada di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya serta

praktik pembiayaan musyarakah terhadap bagi hasil dengan pembagian tetap di

KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

Bab keempat merupakan analisis hukum Islam terhadap praktik bagi hasil

dengan pembagian tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat

Surabaya, yang meliputi Analisis terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian

tetap dari pembiayaan musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya dan analisis

hukum Islam terhadap praktik bagi hasil dengan pembagian tetap dari pembiayaan

musyarakah di KJKS KUM3 Rahmat Surabaya.

(30)

BAB II

MUSYARAKAH DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Musyarakah

Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara

suatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Asy-syirkah termasuk salah

satu bentuk kerjasama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum

positif disebut dengan perserikatan dagang.

Secara terminologi, ada beberapa definisi asy-syirkah yang dikemukakan oleh

para ulama fikih, yaitu :

Pertama, dikemukakan oleh ulama Malikiyah. Menurut mereka, asy-syirkah

adalah :

اَم ََ ٍلاَم ِِ اَمِهِس فْ نَأ َعَم اَم ََ ِفرَصتلا ِِ ٌنْذِإ

Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama

terhadap harta mereka.

Kedua, definisi yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah han Hanabilah.

Menurut mereka, asy-syirkah adalah :

(31)

Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka

sepakati.

Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah. Menurut mereka,

asy-syirkah adalah :

ِحْباَو ِلاَم ِشْأَر ِِ ِْيَكِراَشَت مْلا َْيَ ب ٌدْقَع

Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan

keuntungan.

Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan para ulama fikih di atas

hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya

adalah sama, yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam

perdagangan. Dengan adanya akad musyarakah yang disepakati kedua belah pihak,

semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat

itu, dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang

disepakati.1

B. Dasar Hukum Musyarakah

Akad musyarakah dibolehkan , menurut para ulama fikih, berdasarkan kepada

firman Allah Swt. dalam surat an-Nisa’, 4 : 12 yang berbunyi :

…







(32)

Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu. (QS. An-Nisa’ 4 : 12)2

Ayat ini, menurut mereka, berbicara tentang perserikatan harta dalam

pembagian warisan. Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman :

. . .                              . . .

Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini…. (QS. Shad, 38 : 24)3

Disamping ayat-ayat diatas, dijumpai pula sabda Rasulullah saw. yang

membolehkan akad musyarakah. Dalam sebuat hadist Qudsi Rasulullah saw.

mengatakan :

َمِهِْيَ ب ْنِم َتْجَرَخ َناَخ اَذِإَف َبِحاَص اَ ُ دَحَأ ْن ََ َْلاَم ِْيَكْيِرَش َثِلَث اَنَأ

نع مكاحاو دواد وبأ اور( .ا

)ةرير يأأ

Aku (Allah) merupakan orang ketiga dalam perserikatan antara dua orang, selama salah seorang diantara keduanya tidak melakukan penghianatan terhadap yang lain. Jika seseorang melakukan pengkhianatan terhadap yang lain, Aku keluar dari perserikatan antara dua orang itu. (HR. AbuDaud dan al-Hakim dari Abu Hurairah)

Dalam hadis lain Rasulullah saw. juga bersabda :

اَنَواَخَتَ ي َْلاَم ِْيَكِرشلا ىَلَع ِللا دَي

2 Departemen Agama, Alquran Terjemah Indonesia, (Jakarta : Sari Agung, 2001), 143.

(33)

Allah Swt. akan ikut membantu doa untuk orang yang berserikat, selama di antara mereka tidak saling mengkhianati. (HR al-Bukhari)

Atas dasar ayat dan hadis diatas para ulama fikih menyatakan bahwa akad

musyarakah mempunyai landasan yang kuat dalam agama Islam.4

C. Macam-macam Musyarakah

Para Ulama fikih membagi musyarakah ke dalam dua bentuk, yaitu :

musyarakah ‘amlak (perserikatan dalam kepemilikan) dan musyarakah ’uqud

(perserikatan berdasarkan suatu akad).

1. Musyarakah ‘amlak

Musyarakah dalam bentuk ini, menurut ulama fikih, adalah dua orang atau

lebih memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad

musyarakah. Musyarakah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau

kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset. Dalam musyarakah

ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan

berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.5

Musyarakah kepemilikan dibagi menjadi dua bentuk, yaitu : (a)

Musyarakah ‘ikhtiyar (perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat),

yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat,

seperti dua orang bersepakat membeli suatu barang, atau mereka menerima

harta hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain, lalu kedua orang itu menerima

4 Hasrun Haroen, Fiqh Muamalah, 176.

(34)

pemberian harta hibah, wasiat, atau wakaf itu dan menjadi milik mereka secara

berserikat. Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang

dihibahkan, diwakafkan, atau yang diwasiatkan orang itu menjadi harta serikat

nbagi mereka berdua. (b) Musyarakah jabar (perserikatan yang muncul secara

paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat), yaitu sesuatu yang

ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih, tanpa kehendak dari mereka,

seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat. Harta

warisan itu menjadi milik bersama orang-orang yang menerima warisan itu.6

Dalam kedua bentuk musyarakah kepemilikan ini, menurut para pakar

fikih, status harta masing-masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak

masing-masing, bersifat berdiri sendiri secara hukum. Apabila masing-masing

ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya,

karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang

menjadi mitra serikatnya. 7

2. Musyarakah ’uqud

Musyarakah dalam bentuk ini maksudnya dengan cara kesepakatan dimana

dua orang tau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal

musyarakah. Merekan pun juga sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.8

Ulama Hanabilah membagi Musyarakah ’uqud menjadi lima, yaitu : syirkah

al-‘inan, syirkah al-mufawad}ah, syirkah al-‘abdan, syirkah al-wujuh, dan

syirkah al-mud}orabah. Beberapa ulama berbeda pendapat tentang al-mud}orabah,

6 Nasrun Haroen, fiqh Muamalah…,167.

7 Ibid., 168.

(35)

apakah ia termasuk kategori musyarakah atau bukan. Beberapa ulama

menganggap al-mud}orabah termasuk kategori musyarakah karena memenuhi

syarat dan rukun sebuah akad (kontrak) musyarakah. Adapun ulama lain

menganggap al-mud}orabah tidak termasuk sebagai musyarakah.

Ulama kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah, membagi musyarakah ’uqud itu

menjadi empat, yaitu : syirkah ‘inan, syirkah mufawad}ah, syirkah

al-‘abdan, syirkah al-wujuh. Sedangkan syirkah al-mud}orabah, yang dikemukakan

oleh ulama Hanabilah, mereka tolak sebagai musyarakah.

Sedangkan ulama Hanafiyah membagi musyarakah menjadi 3, yaitu :

syirkah al-amwal (perserikatan dalam modal/harta), syirkah al-‘a‘mal

(perserikatan dalam kerja), dan syirkah al-wujuh (perserikatan tanpa modal).

Menurut mereka, ketiga musyarakah tersebut boleh masuk kategori al-‘inan dan

boleh juga al-mufawad}ah.9

Hukum masing-masing musyarakah ‘uqud

Hukum masing-masing perserikatan yang termasuk ke dalam kategori

musyarakah ‘uqud, menurut para ulama fikih adalah sebagai berikut:

a. syirkah al-‘inan ( ا علاةكرش)

syirkah al-‘inan, yairu perserikatan dalam modal (harta) dalam suatu

perdagangan yang dilakukan dua orang atau lebih dan keuntungan dibagi

bersama. Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa bentuk perserikatan

ini adalah boleh. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana

(36)

dan berpartisipasi dalam kerja. Dalam perserikatan ini, modal digabungkan

oleh masing-masing pihak tidak harus sama jumlahnya, tetapi boleh juga

sati pihak memiliki modal lebih besar dari pihak lainnya. Demikian juga

halnya dalam soal tanggungjawab dan kerja. Boleh saja satu pihak

bertanggungjawab penuh terhadap perserikatan itu, sedangkan pihak lain

tidak bertanggungjawab. Keuntungan dari perserikatan ini dibagi sesuai

dengan kesepakatan bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi

tanggungjawab orang-orang yang berserikat sesuai dengan prosentase

modal/saham masing-masing. Dalam hal ini ulama fikih membuat kaidah :

ِْيَلاَمِرْدَق ىَلَع ةَعْ يِضَولاَو اَطَرَش اَم ىَلَع حْبرلا

Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian sesuai dengan

modal masing-masing pihak.10

b. syirkah al-mufawad}ah (ةضواف لاةكرش(

syirkah al-mufawad}ah, yaitu perserikatan dua orang atau lebih pada

suatu obyek, dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal yang

sama jumlahnya, serta melakukan tindkan hukum (kerja) yang sama,

sehingga masing-masing pihak dapat bertindak hukum atas nama

orang-orang yang berserikat. Dalam perserikatan ini, menurut ulama Hanafiyah

dan Zaidiyah, tidak dibolehkan lebih besar dari pihak lain, dan keuntungan

untuk satu pihak lebih besar dari keuntungan yang diterima mitra

serikatnya. Demikian pula dalam masalah kerja. Masing-masing pihak harus

(37)

sama-sama bekerja, tidak boleh salah satu pihak bekerja dan pihak yang

lainnya tidak bekerja.11

Dengan demikian, syarat utama dari jenis musyarakah al-mufawad}ah ini

adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab, keuntungan

dan kerugian, masing-masing pihak yang mengikatkan diri dalam

perserikatan ini mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Ulama Hanafiyah dan Zaidiyah menyatakan bentuk perserikatan seperti

ini dibolehkan. Alasan yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah

saw. yang menyatakan :

) جام نبا اور( ِةَكَرَ بْلِل مَظْعَأ نِإَف او ضَواَف...َةَضَواَف مْلا او ِسْحَأَف ْم تْضَواَفَ ت اَذِإ

Jika kamu melaksanakan mufawadah, maka lakukanlah dengan cara yang baik . . . dan lakukanlah mufawadah, karena akad seperti ini membawa berkah. (HR Ibn Majah).

Dalam hadist lain dikatakan :

ا اور( .ِعْيَ بْلِل َاَو ِِْْعشلِب ِِِْلا طاخاو ِةَضَواَف مْلاَو ٍلَجَأ ََِإ عْيَ بلا : ةَكَرَ بْلا نِهْيِف ٌثَاَث

) جام نب

Tiga (bentuk usaha) yang mengandung berkat, yaitu jual beli yang pembayarannya boleh ditunda, mufawad}ah, dan mencampur gandum dengan jelai (untuk dimakan) bukan untuk diperjualbelikan. (HR Ibn Majah)

Selanjutnya, ulama Hanafiyah dan Zaidiyah menyatakan bahwa

perserikatan seperti ini telah memasyarakat diseluruh wilayah Islam dan

tidak seorang ulama pun yang mengingkarinya. Akan tetapi, ulama

Malikiyah tidak membolehkan bentuk perserikatan mufawad}ah seperti yang

dipahami oleh ulama Hanafiyah dan Zaidiyah di atas. Menurut mereka,

(38)

perserikatan mufawad}ah boleh dianggap sah, apabila masing-masing pihak

yang berserikat dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap

modal kerja, tanpa minta izin dan musyawarah dengan mitra serikatnya,

baik mitra serikat itu berada ditempat maupun sedang diluar kota.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menilai bahwa bentuk serikat

mufawad}ah seperti yang dikemukakan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah di

atas, menurut mereka, tidak boleh, karena sulit untuk menentukan prinsip

kesamaan modal, kerja, dankeuntungan dalam perserikatan itu, di samping

tidak satu dalil pun yang shahih yangmembolehkan bentuk perserikatan

seperti itu. Adapun hadist yang dijadikan dasar dijadikan dasar oleh ulama

Hanafiyah dan Zaidiyah untuk mendukung keabsahan perserikatan

mufawad}ah yangmereka kemukakan adalah hadist d}a‘if (lemah), karena

tidak ada indikasi yang mendukung bahwa hadist itu terkait dengan

musyarakah mufawad}ah yang mereka kemukakan. Akan tetapi, mereka

membolehkan musyarakah mufawad}ah dalam pengertian yang dikemukakan

ulama Malikiyah.12

c. syirkah al-wujuh (وجولاةكرش)

syirkah al-wujuh yaitu serikat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih

yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu

pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga tunai, sedangkan

keuntungan yang diperoleh dibagi bersama. dizaman sekarang, perserikatan

(39)

ini mirpi makelar dan banyak dilakukan orang. Dalam perserikatan seperti

ini, pihak yang berserikat membeli barang secara kredit, hanya atas dasar

suatu kepercayaan, kemudian barang yang mereka kredit itu mereka jual

dengan harga tunai, sehingga mereka meraih keuntungan.13

Hukum perserikatan seperti ini pun diperselisihkan para ulama fiqh.

Menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah musyarakah seperti ini

boleh dilakukan, karena ia adalah musyarakah ‘uqud yang mengandung

pemberian hak kuasa (wakalah) masing-masing pihak kepada mitranya

untuk membeli barang, dengan syarat orang yang hendak membeli barang

sah untuk melakukan hal itu, maka begitu juga musyarakah yang

mencakupnya. Ditambah lagi, masyarakat telah melaksanakan musyarakah

seperti ini sejak zaman dahuku tanpa adanya penolakan dari siapapun.

Kesimpulannya, kesepakatan yang dilakukan keduanya dapat dianggap

sebagai sebuah pekerjaan, sehingga bisa dijadikan sebagai modal.14

Sedangkan para ualama Malikiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan

Imamiyah, serta Laits, Abu Sulaiman dan Abu Tsaur berpendapat bahwa

musyarakah semacam ini adalah musyarakah yang tidak sah. Hal itu karena

musyarakah dikaitkan dengan harta atau pekerjaan, sementara keduanya

tidak ada dalam musyarakah ini. Ditambah lagi, musyarakah ini

mengandung penipuan (gharar), karena masing-masing pihak memberikan

kepada mitranya keuntungan yang tidak bisa ditentukan dengan

13 Ibid., 171.

14 Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, juz 5, (Jakarta : Gema Insani,

(40)

keterampilan, atau pekerjaan tertentu. Dengan begitu, keuntungan yang

didapat bukanlah hasil dari modal atau p[ekerjaan, sehingga dia tidak berhak

untuk mendapatkannya.15

d. syirkah al-‘a’mal (لا عأاةكرش)

syirkah al-’a’mal yaitu perserikatan yang dilaksanakan oleh dua untuk

menerima suatu pekerjaa, seperti pandai besi, service alat-alat eletronik,

laundry, dan tukang jahit. Hasil atau imbalan yang diterima dari pekerjaan

itu dibagi menjadi bersama sesuai dengan kesepakatan mereka berdua.16

Musyarakah ini menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan

Zaidiyahh adalah boleh, karena tujuan dari musyarakah ini adalah untuk

mendapatkan keuntungan, sementara hal itu bisa dilakukan dengan

mewakilkan. Masyarakat telah mempraktekkan musyarakah jenis ini. Selain

itu, karena sebuah musyarakah dapat dilakukan dengan modal harta atau

dengan modal pekerjaan, sebagaimana dalam mud}arabah. Dan dalam

musyarakah ini modal yang digunakan adalah pekerjaan.17

Para pengikut Syafi’I, Syi’ah Immamiyah dan Zufar dari kalangan

Hanafiyah berpendapat bahwa musyarakah ini adalah musyarakah yang

tidak sah. Karena menurut mereka, musyarakah hanya boleh dilakukan

dengan harta, bukan dengan pekerjaan. Alasannya, pekerjaan tidak bisa

diukur, sehingga mengakibatkan ketidajelasan. Pasalnya, salah satu pihak

15 Ibid.

16 Harun nasrun, fiqih Muamalah…, 171.

(41)

tidak tahu apakah mitranya mendazzpatkan keuntungan atau tidak. Dan bisa

jadi salah satu pihak mengerjakan seluruh pekzerjaan, sementara mitranya

tidak melakukan apa-apa. Oleh karena itu, akan terjadi penipuan jika kedua

orang yang menjalin kerjasama tersebut membagi keuntungan kerja.18

e. syirkah al-mud}orabah (ةبراض لاةكرش)

syirkah al-mud}orabah yaitu persetujuan antara pemilik modal dengan

seorang pekerja untuk mengelola uang dari pemilik modal dalam

perdagangan tertentu, yang keuntungannya dibagio sesuai dengan

kesepakatan bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi

tanggungan pemilik modal saja. Menurut ulama Hanabilah, yang

menganggap al-mud}orabah termasuk salah satu bentuk perserikatan, ada

beberapa syarat yang gharus dipenuhi dalam perserikatan ini. Syarat-syarat

itu adalah : (a) pihak-pihak yang berserikat cakap bertindak sebagai wakil;

(b) modalnya berbentuk uang tunai; (c) jumlah modal jelas; (d) diserahakan

langsung kepada pekerja (pengelola) dagang itu setelah akad dsetujui; (e)

pembagian keuntungan dinyatakan secara jelas pada waktu akad; (f)

pembagian keuntungan diambilkan dari hasil perserikatan itu, bukan dari harta lain.

Akan tetapi, jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah,

Zahiriyah, dan Syi’ah Imamiyah), tidak memasukkan transaksi

al-mud}orabah sebagai salah satu bentuk perserikatan, karena al-al-mud}orabah,

(42)

menurut mereka, merupakan akad tersendiri dalam bentuk kerja sama lain,

dan tidak dinamakan perserikaan.19

D. Rukun dan Syarat Musyarakah

Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa rukun musyarakah, baik musyarakah

amlak maupun musyarakah uqud dengan segala bentuknya adalah ijab (ungakapan

penawaran melakukan perserikatan) dan qabul (ungkapan penerimaan perserikatan).

Menurut jumhur ulama, rukun perserikatan itu ada tiga, yaitu : shigat (lafal) ijab dan

qabul, kedua orang yang berakad, obyek akad. Bagi Ulama Hanafiyah, orang yang

berakad dan obyeknya bukan termasuk rukun, tetapi termasuk syarat.20

Adapun syarat-syarat orang (pihak-pihak)nyang mengadakan perjanjian

serikat/kongsi itu diharuskan :

1. Orang yang berakal

2. Baligh

3. Dengan kehendaknya sendiri (tidak ada unsur paksaan)

Sedangkan mengenai barang modal yang disertakan dalam serikat, hendaklah

berupa :

1. Barang modal yang dapat dihargai (lazimnya selalu disebutkan dalam bentuk

uang)

19 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah…, 172.

(43)

2. Modal yang disertakan oleh masing-masing perseorangan dijadikan satu, yaitu

menjadi harta perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul modal

itu.21

Perserikatan dalam kedua bentuk, yaitu syirkah amlak dan syirkah uqud

mempunyai syarat-syarat umum, yaitu :

a. Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya, salah satu

pihak jika bertindak hukum terhadap obyek perserikatan itu, dengan izin pihak

lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.

b. Presentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat

dijelaskan ketika berlangsung akad.

c. Keuntungan itru diambil dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta

lain.22

Syarat-syarat khusus dalam musyarakah uqud

Disamping itu, setiap bentuk perserikatan yang termasuk ke dalam syirkah

uqud, mempunyai syarat-syarat khusus. Syarat khusus untuk syirkah amwal adalah :

modal perserikatan itu jelas dan tunai, bukan berbentuk utang bukan berbentuk

barang. Namun, apakah modal yang diberikan masing-masing pihak yang berserikat

harus distatukan ? jumhjur ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan

Hanabilah, berpendirian bahwa modal itu tidak harus disatukan, karena transaksi

perserikatan itu dinilai sah melalui akadnya, bukan hartanya, dan objek perserikatan

21 Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), 76.

(44)

itu adalah kerja. Di samping itu, menurt mereka, akad perserikatan mengandung

makna perwakilan dalam bertindak hukum dan dalam akad perwakilan dibolehkan

modal masing-masing pihak tidak disatukan. Oleh sebab itu, dalam akad musyarakah

dibolehkan juga tidak menyatukan/mencampurkan modal maisng-masing pihak yang

berserikat. Namun, ulama Malikiyah menyatakan bahwa pengertian tidak

menyatukan bukan berarti terpisah, tetapi harus ada suatu pernyataan secara hukum

terhadap penyatuan modal itu. Misalnya, dengan melalui suatu pernyataan yang

dituangkan dalam surat transaksi.

Ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Zaidiyah berpendapat bahwa dalam

musyarakah al-amwal, modal masing-masing pihak yang berserikat itu harus

disatukan sebelum akad dilaksanakan, sehingga tidak boleh dibedakan antara modal

kedua pihak, karena musyarakah, menurut mereka, berarti percampuran dua harta.

Ibnu Rusyd (520-595 H), pakar fikih Maliki, mengemukakan cara terbaik

dalam menyelesaikan perbedaan pendapat ulama mazhab di atas. Menurutnya, kedua

harta (modal) itu lebih baik dan lebih sempurna disatukan, karena semua pihak

punya hak dan kewajiban yang sama terhadap harta lain itu, sehingga unsur-unsur

keraguan dan kecurigaan masing-masing pihak tidak muncul.23

Syarat-syarat khusus syirkah al-amwal

Dalam musyarakah al-amwal disyaratkan syarat-syarat khusus, baik musyarakah

tersebut berupa musyarakah ‘inan maupun mufawadah. Syarat-syarat tersebut adalah

sebagai berikut :

(45)

a. Modal musyarakah hendaknya nyata, baik saat akad maupun saat membeli. Ini

adalah pendapat mayoritas ulama. Oleh karena itu, musyarakah menjadi tidak

sah jika modal yang digunakan berupa hutang atau harta yang tidak ada.

b. Modal musyarakah hendaknya berupa barang berharga secara mutlak, yaitu uang,

seperti dirham dnan dirham dimasa lalu, atau mata uang yang tersebar luas

sekarang di masa modern. Ini adalah syarat menurut jumhur ulama.24

E. Proporsi modal, keuntungan, kerugian, dan Perhitungan Bagi Hasil dalam

Musyarakah

Musyarakah merupakan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu

usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau

amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung

bersama sesuai dengan kesepakatan.

Dalam perbankan musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek

dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek

tersebut. setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama

bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.25

Dalam definisi lain disebutkan bahwa musyarakah adalah akad kerjasma yang

terjadi diantara pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan modal dan

melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah pembagian

hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proposional

24 Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamy…, 452.

(46)

sesuaidengan kontribusi modal. Adapun ketentuan dalam musyarakah menurut fatwa

tersebut adalah sebagai berikut :

1) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan

kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan

hal-hal sebagai berikut :

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan

kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan

menggunakan cara-cara komunikasi modern.

2) Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal

berikut :

a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.

b. Setiap mitra harus menyedihakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra

melaksanakan kerja sebagai wakil.

c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses

bisnis normal.

d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola

aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan

aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa

(47)

e. Seorang mitra tidak dizininkan untuk mencairkan atau menginvestasikan

dana untuk kepentingan sendiri.26

Modal yang diberikan hendaknya berupa barang berharga secara mutlak, yaitu

uang tunai seperti dirham dan dinar dimasa lalu, emas, perak atau mata uang yang

tersebar luas sekarang dimasa modern. Untuk itu, tidak sah hukumnya mengadakan

musyarakah dengan barang dagangan, seperti barang bergerak atau tidak bergerak.

Karena barang dagangan tidak termasuk barang mithliyat (barang memiliki varian

serupa), tapi termasuk barang qimiyat (yang dinilai dengan harga) yang harganya

berbeda sesuai dengan masing-masing barang. Oleh karena itu, musyarakah dengan

modal barang dagangan akan menyebabkan tidak jelasnya keuntungan saat

dilakukan pembagian kekayaan musyarakah.27

Para pihak yang berakad tidak boleh meminjam, meminjamkan,

menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali

atas dasar kesepakatan. Semua modal dalam musyarakah dicampur dan menjadi hak

proyek usaha dan bukan milik perseorangan pemilik modal. Percampuran modal

tersebut dan bentuk usaha yang akan dijalankan harus dituangkan dalam suatu akad

tertulis, dibawah tangan atau notaris.28

Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola

bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan

26 Muhamad Yazid, Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2014), 219.

27 Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamy…, 453.

28 Ahmad Ifham, ini Lho Bank Syariah Memahami Bank Syariah dengan Mudah, (Jakarta : PT Gramedia

(48)

usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk

menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindakan, seperti :

1) Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi

2) Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal

lain.

3) Setiap pemilik modal dapat mengalihakn penyertaannya atau digantikan oleh

pihak lain.

4) Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila menarik diri dari

perserikatan, meninggal dunia, dan menjadi tidak cakap hukum.

5) Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus

diketahui, keuntungan dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.

6) Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad, setelah selesai,

nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah

disepakati.29

Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun

untuk menghidari terjadinya penyimpangan, bank dapat meminta jaminan.30

Pembagian keuntungan yang diperoleh dalam akad musyarakah tersebut,

sebagian ahli hukum Islam berpendapat bahwa pembagian keuntungan haruslah

didasarkan kepada perbandingan penyertaan modal oleh masing-masing orang yang

berakad. Namun ada juga ahli hukum Islam yang berpendapat bahwa pembagian

keuntungan dalam akad musyarakah, maupun pembagian kerugiannya tidak mesti

29

Fatmah, Kontrak Bisnis Syraiah, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), 194.

(49)

sesuai dengan perbandingan penyertaan modal oleh masing-masing pihak yang

berakad. Asalkan pembagian modal tersebut terlebih dahulu diperjanjiakan pada

waktu akad. Pembagian proporsi keuntungan harus dipenuhi hal-hal berikut :

1) Keuntungan harus di kuantifikasikan dengan jelas untuk menghindarkan

perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian

musyarakah.31

2) Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada mitra usaha harus disepakati di awal

kontrak/akad. Dan harus tertuang dengan jelas dalam akad. Jika proporsi belum

ditetapkan, akad tidak sah menurut syariah.

3) Rasio/nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan

sesuai dengan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan berdasarkan

modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan untuk menetapkan lumsum untuk

mitra tertentu, atau tingkat keuntungan tertentu yang dikaitkan dengan modal

investasinya.

Contoh : jika A dan B bermitra dan sepakat bahwa A akan mendapatkan bagian

keuntungan setiap bulan sebesar Rp. 100 ribu, dan sisanya merupakan bagian

keuntungan dari B, maka kemitraan itu tidak sah. Demikian pula, jika disepakati

bahwa A akan memperoleh 15% dari nilai investasinya, kemitraan itu tidak sah.

Dasar yang benar untuk mendistribusikan keuntungan adalah presentase yang

disepakati dari keuntungan yang benar-benar diperoleh dalam usaha.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini data telepon seluler yang digunakan merupakan data berdasarkan jaringan yang berisi informasi lokasi Base Transceiver Station (BTS) yang

Menurut Matsumura (1985) dalam Nursal (1997) bahwa senyawa toksin yang terkandung dalam ekstrak biji pinang adalah senyawa arekolin dapat menyebabkan badan ulat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bapak S sebagai orangtua tunggal atau single parent menjalankan peran ganda atau dua peran yaitu peran domestik seperti mencuci,

Absorbansi pada suatu material luminisen sangat berpen- garuh terhadap intensitas emisi pada material ZnO, sedang- kan terlihat pada Gambar 4 yang menunjukkan transmitansi dari

Terjadinya sebuah virus sosial yang disebabkan oleh jaringan realitas sosial telah mencapai tahap hipperrealitas, yaitu realitas yang melampaui alamnya sendiri, sehingga

panjang) • Petani mendukung CU yang ditunjukkan dengan kesediaan menjadi anggota • Petani memanfaatkan CU untuk memperoleh modal usaha • Petani mengembangkan

Dalam undang-undang RI No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dijelaskan bahwa penyelenggaaan umah sakit betujuan membei pelindungan tehadap keselamatan

Diantaranya yaitu (1) mitra belum mendapat pengetahuan mengenai pola tanam padi terintegrasi dengan pemeliharaan itik, (2) mitra belum mempunyai tambahan penghasilan