• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN WAWASAN KE-NU-AN MELALUI PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL ASWAJA DI MA HASYIM ASY'ARI SUKODONO SIDOARJO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN WAWASAN KE-NU-AN MELALUI PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL ASWAJA DI MA HASYIM ASY'ARI SUKODONO SIDOARJO."

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN WAWASAN KE-NU-AN MELALUI PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL ASWAJA DI MA HASYIM ASY’ARI SUKODONO

SIDOARJO

SKRIPSI

Oleh:

RIF’ATUL KHORIYAH

NIM:D91213164

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SURABAYA

(2)

PENINGKATAN WAWASAN KE-NU-AN MELALUI PEMBELAJARAN

MUATAN LOKAL ASWAJA DI MA HASYIM ASY’ARI SUKODONO

SIDOARJO

Skripsi Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu Tarbiyah Dan Keguruan

Oleh:

Rif’atul Khoriyah

Nim:D91213164

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SURABAYA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Khoriyah,Rif’atul. 2017. Peningkatan Wawasan ke-NU-an melalui Pembelajaran

Muatan lokal Aswaja di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo. Skripsi, Pendidikan Agama Islam, Program Strata Satu Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Pembimbing : (1) Drs. H. M. Nawawi, (2) Dra. Ilun Muallifah, M.Pd.

Key word :Peningkatan wawasan ke-NU-an, Pembelajaran Muatan lokal Aswaja

Wawasan ke-NU-an yang rendah akan menimbulkan krisis Akhlak, Pembelajaran Mulok aswaja harus dilakukan dengan optimal agar siswa-siswi berakhlak yang baik sesuai dengan Haluan Ahlussunnah waljamaah. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan Implemenatsipembelajaran Mulok Aswaja, faktor pendukung dan penghambat, wawasan ke-NU-an siswa-siswi, peningkatan wawasan ke-NU-an siswa-siswi melalui pembelajaran Mulok Aswaja.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Kualitatif. Sedangkan pendekatannya menggunakan deskriptif-analisis dengan menggunakan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dokumentasi.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa, pertama,

Implementasi Pembelajaran Mulok Aswaja di MA Hasyim Asy’ari sesuai komponen yang ada, Guru Aswaja dapat menyusun perangkat pembelajaran, penggunakan media yang semestinya, penggunaan metode yang sesuai, pendekatan-pendekatan yang digunakan juga dapat memberi motivasi kepada

peserta didik, sumber belajar MA Hasyim Asy’ari menggunakan sumber belajar

LKS Aswaja dan Buku Paket Aswaja dan ditunjang dengan buku lain, materi

yang diberikan guru disesuaikan dengan kondisi siswa-siswi MA Hasyim Asy’ari.

Kedua, Faktor pendukung Pelaksanaan pembelajaran Mulok Aswaja di MA Hasyim Asy’ari, diantaranya karena memang seluruh pendidiknya mayoritas NU dan pelajarnya juga mayoritas NU sehingga dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan dapat menunjang pembelajaran Aswaja. Sedangkan faktor penghamabatnya karena kurangnya alokasi waktu dan kurangnya kreativitas guru dalam

menerapkan model pembelajaran. Ketiga, Wawasan ke-NU-an siswa siswi MA

Hasyim Asy’ari dianggap baik yang dibuktikan dengan siswa-siswi memahami

materi ke-NU-an dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Keempat,

(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Kegunaan Penelitian... 14

E. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah ... 15

F. Definisi Istilah atau Definisi Operasional ... 16

G. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II LANDASAN TEORI ... 22

A. TinjauanTentang Wawasan ke-NU-an ... 22

1. Pengertian Wawasan ke-NU-an ... 22

(9)

3. Ruang Lingkup ke-NU-an ... 38

4. Prinsip Dasar NU ... 47

B. TinjauanTentang Mulok Aswaja ... 55

1. Pengertian Kurikulum Muatan Lokal Aswaja... 55

2. Ruang Lingkup Muatan Lokal dalam KTSP ... 61

3. Landasan kurikulum Muatan Lokal ... 61

4. Tujuan Kurikulum dan pembelajaran Muatan Lokal Aswaja ... 65

5. Metode Pembelajaran Muatan Lokal Aswaja ... 68

BAB III METODE PENELITIAN ... 73

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian... 73

B. Subjek dan Objek Penelitian ... 74

C. Tahap-tahap Penelitian ... 75

D. Sumber dan Jenis Data ... 78

1. Sumber Data ... 78

2. Jenis Data ... 78

E. Teknik Pengumpulan Data ... 79

1. Observasi ... 80

2. wawancara ... 82

3. Dokumentasi ... 84

F. Teknik Analisis Data ... 86

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 93

A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 93

1. Sejarah Berdirinya MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo ... 93

2. Profil MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo ... 95

3. Visi, Misi dan Tujuan MA Hasyim Asy’ari sukodono Sidoarjo .... 100

B. Penyajian dan Analisis Data...105

(10)

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pembelajaran

Muatan lokal Aswaja... 122

3. Wawasan ke-NU-an Siswa-siswi MA Hasyim Asy’ari ... 125

4. Peningkatan Wawsan ke-NU-an melalui pembelajaran Muatan lokal Aswaja ... 127

C. Analisis Data ... 129

1. Analisis Data Tentang Implementasi Pembelajaran Muatan lokal Aswaja di MA Hasyim Asy’ari ... 129

2. Analisis Data Tentang Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pembelajaran Muatan lokal Aswaja ... 142

3. Analisis Data Tentang Wawasan ke-NU-an Siswa-siswi MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo ... 144

4. Analisis Data Tentang Peningkatan wawasan ke-NU-an melalui pembelajaran Muatan lokal Aswaja di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo ... 148

BAB V PENUTUP ... 151

A. Simpulan ... 151

B. Saran ... 153

DAFTAR PUSTAKA ... 154

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Pedoman Interview

Lampiran 2 : RPP dan Silabus Pembelajaran

Lampiran 3 : Hasil Pre test dan Post tes

Lampiran 4 : Data Guru dan Siswa

Lampiran 5 : Jadwal Pelajaran MA Hasyim Asy’ari

Lampiran6 : Surat Tugas Bimbingan Skripsi

Lampiran7 : Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran8 : Surat Keterangan Penelitian

Lampiran 9 : Kartu Konsultasi Bimbingan Skripsi

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

Negara.1

Pendidikan merupakan sarana terpenting dalam kehidupan

berbangsa, karena dengan pendidikan tujuan negara dalam mencerdaskan

bangsa yang tercantum dalam undang-undang 1945 dalam alinea ke 4 akan

dapat tercapai. Pendidikan pula yang dapat memberikan seseorang

wawasan yang luas mengenai hal-hal spesifik yang ingin

diketahuinya.Wawasan yang sangat luas sangat dibutuhkan dalam

menghadapi perkembangan zaman terlebih mengenai munculnya

aliran-alian baru yang dapat menggoyahkan Aqidah kita. Islam memang tidak

memandang seseorang dari alirannya, namun tidak lupa dengan Hadits

Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Rasulullah SAW bersabda: “Akan terpecah umatku sebanyak 73 firqoh, yang satu masuk

Surga dan yang lain masuk Neraka.” Bertanya Para Sahabat: “Siapakah

1

(13)

2

(yang tidak masuk Neraka) itu (ya Rasulullah)?” Nabi Menjawab:

“Ahlussunnnah wal Jama‟ah.”

Sehubungan dengan Hadits tersebut maka seseorang harus

memiliki wawasan yang luas terkait dengan aliran yang diikutinya terlebih

bagi pelajar Madrasah Aliyah sebagai bekal hidup di Masyarakat agar

seseorang dapat mengamalkan Amaliyah-Amaliyah yang diajarkan didalamnya.Salah satu Aliran terbesar adalah Nadhatul Ulama‟.Nadhatul

Ulama‟ dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan

bangsa dan Negara.Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islaman, juga

didasari nilai-nilai ke-Indonesiaan dan semangat Nasionalisme yang tinggi. Nadhatul Ulama‟ didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi

-pribadi muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya

dengan ajaran agama Islam serta mengembangkannya, sehingga

terwujudlah peranan agama islam dan para pemeluknya sebagai Rahmatan lil „Alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam). Sebagai organisasi

keagamaan, Nadhatul Ulama‟ merupakan bagian tak terpisahkan dari umat

islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip

persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), kebersamaan dan hidup

berdampingan antar sesama umat Islam maupun dengan sesama warga

negara yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama

mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan

(14)

3

Nadhatul Ulama‟ memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai

sebuah hak, melainkan juga kunci dalam memasuki kehidupan

baru.Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan harmonis antara

pemerintah, masyarakat dan keluarga.Ketiganya merupakan komponen

pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk melakukan

tanggung jawab dan harmonisasi.

Fungsi pendidikan bagi Nadhatul Ulama adalah Pertama, untuk

mencerdaskan manusia dan bangsa sehingga menjadi terhormat dalam

pergaulan bangsa di dunia.kedua, untuk memberikan wawasan yang plural

sehingga mampu menjadi penopang pembangunan bangsa.Organisasi ini

mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi mutu pendidikan

sekolah atau madrasah yang teratur. Dalam mengusahakan terciptanya pendidikan yang baik, maka Nadhatul Ulama‟ memandang perlunya

proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur. Sekolah atau madrasah menjadi salah satu program permanen Nadhatul Ulama‟,

disamping jalur non formal seperti pesantren.

Sekolah yang dimiliki oleh Nadhatul Ulama memiliki karakter

yang khusus, yaitu karakter masyarakat.Diakui oleh Masyarakat dan selalu

bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.Sejak

semula masyarakat mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi

oleh mental percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari

luar.Pada masa penjajahan, Nadhatul Ulama secara tegas menolak bantuan

(15)

4

kegiatannya. NU mungkin menjadi varian yang sangat pas untuk dikaitkan

dengan dinamika Aswaja diantara kelompok muslim Indonesia lainnya.

Pasalnya, disamping kesesuaian epistemologinya, juga NU-lah yang

nyata-nyata mencantumkan secara normatif dalam Anggaran Dasar

organisasinya sebagai pengikut dan pembela paham Ahlussunnah wal jama‟ah. Dicatat dalam pasal 3 perihal aqidah dan pasal 4 mengenai tujuan

sebagai berikut:2

Pasal 3. “Nadhatul Ulama‟ sebagai Jam‟iyah Diniyah Islamiyah

beraqidah Islam menurut Paham Ahlusunnah wal jama‟ah dan mengikuti

salah satu madzab empat: Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali”. Pasal

4.“Berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal jama‟ah dan

mengikuti salah satu madzab empat ditengah tengah kehidupan, didalam

wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasakan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945”.

Lembaga pendidikan pesantren yang dikembangkan para ulama‟

telah merintis arah perkembangan sosial kultural masyarakat dengan visi

keagamaan yang kuat.Jika mereka kemudian membentuk ikatan lembaga

sosial yang lebih formal, tujuan pokoknya seperti halnya lembaga

pesantren itu ialah untuk menegakkan kalimah Allah.Visi ini kemudian

dikembangkan dengan rumusan yang lebih operasional yang disebut jihad

fi sabilillah.Melalui media pesantren para ulama mengemban tugas

2

(16)

5

melaksanakan jihad untuk menegakkan kalimah Allah.Ketika dirasakan

perlunya mengembangkan kelembagaan tradisi sosial dan kultural yang

telah hidup di tengah masyarakat kearah bentuk yang lebih formal dengan

visi yang lebih luas maka didirikan organisasi sosial keagamaan sebagai

jembatan untuk mengantisipasi tugas tersebut.NU merupakan salah satu

wujud dari upaya itu, dimulai dari akar pesantren para ulama muda

pesantren merintis kegiatan-kegiatan jihad mereka.3

Motif utama yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU

ialah motif keagamaan sebagai jihad fi sabilillah.Aspek kedua yang

mendorong mereka ialah tanggung jawab pengembangan pemikiran

keagamaan yang ditandai upaya pelestarian ajaran madzhab ahlussunnah

waljamaah, aspek ketiga ialah dorongan untuk mengembangkan

masyarakat mellaui kegiatan pendidikan, sosial, dan ekonomi.Semua ini

ditandai dengan pembentukan Nahdatul Watan, Taswirul Afkar, Nahdatut Tujjar, dan Ta‟mirul Masajid. Aspek keempat ialah motid politik yang

ditandai semangat nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang

SI di Makkah serta obsesi mengenai hari depan negeri merdeka bagi umat

islam.4

Nadhatul Ulama‟ (NU) dan Ahlusunnah wal jama‟ah (Aswaja)

sebenarnya merupakan dua entitas yang saling terpaut, bagaikan 2 sisi

mata uang yang tak terpisahkan.Disatu sisi secara historis, berdirinya

3

M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia (Pendekatan Fikih dalam Politik),

(Sidoarjo: Al Maktabah, 2009), h. 357-358. 4

(17)

6

jam‟iyah keagamaan NU memang dilandasi oleh sebuah motivasi untuk

menyebarkan dan mempertahankan tegaknya ajaran Ahlussunnah wal jama‟ah.5Menurut Abu Fadhol Ahlussunnah wal jama‟ah adalah kelompok

yang senantiasa mengikuti jalan Nabi dan para sahabatnya dalam

kepercayaan atau pemahaman keagamaan, yakni mereka para

mutakallimin yang konsen kepada persoalan-persoalan teologi, fiqh dan

hadits serta mereka yang tekun dibidang tasawuf.6Nadhatul Ulama

bertujuan: Menegakkan syari‟at Islam menurut haluan Ahlussunnah wal

Jama‟ah, ialah Ahli Madzahibil Arba‟ah (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan

Hambali), mengusahakan berlakunya ajaran Ahlussunnah wal Jama‟ah

dalam Masyarakat.7

Dengan demikian dapat diperoleh pengertian bahwa aswaja dalam

NU diletakkan sebagai landasan, haluan, faham, atau akidah bagi NU.

Menilik relasi semantis kata Aswaja dalam berbagai rumusan NU tersebut

maka menurut Muhibbin Zuhri, kedudukan atau eksistensi aswaja dalam

NU dapat dikategorikan menjadi 2 makna/fungsi, yakni: sebagai kerangka

doktriner, atau dasar hukum bagi NU dalam menyelesaikan

masalah-masalah keagamaan secara qawlan. Sebagai Manhaj al-fikr atau pemberi

arahan metodologis dalam menjawab persoalan-persoalan

keagamaan.8Ahlussunnah wal jama‟ah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah

madzhab. Aswaja hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir) tertentu

5

Lukman, Perlawanan Islam, h. 17. 6

Ibid., h. 30. 7

Ibid., h. 33 8

(18)

7

yang digariskan oleh para sahabat dan para muridnya, yaitu generasi Tabi‟in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam

mensikapi situasi politik ketika itu. 9

Ahlussunnah wal jama‟ah identik dengan “ma‟ana “alaihi wa

ashabi” seperti apa yang dijelaskan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits

yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa “ Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan

terpecah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk neraka kecuali satu golongan”. Kemudian para sahabat bertanya, “siapakah mereka itu wahai

Rasulullah?”Lalu Rasulullah menjawab, “Mereka itu adalah maana‟alaihi

wa ashabi.”10

Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW menjelaskan bahwa

golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang

dilakukan oleh Rasulullah dan para Sahabat-nya. Dalam Ensiklopedia arab dita‟rifkan bahwa Ahlussunnah wal jama‟ah itu sebagai: “Al-sunnah

secara Lughatan bermakna al-thariqah (jalan atau aliran). Dan secara

istilahan semua yang berasal dari Nabi SAW baik dalam bentuk sabda, perbuatan maupun pengakuan.Dan Ahlussunnah wal jama‟ah adalah

mereka yang berpegang pada ajaran tersebut, sekaligus membela dan

mempertahankannya.

9

Imam Baehaqi, Kontroversi Aswaja (Aula Perdebatan dan Reinterpretasi), (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 4.

10

(19)

8

Kita tahu bahwa selama ini tradisi yang dilestarikan NU seperti

tahlil, ziarah kubur, maulidan, istigotsah sudah sangat mapan karena

langsung diinternalisasikan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti

lembaga majelis tahlil, perkumpulan seperti lailatul ijtima dan pengajian,

serta lembaga-lembaga kependidikan yang didirikan oleh NU seperti pesantren, madrasah ma‟arif dan lain sebagainya.

Satuan-satuan pendidikan yang ada didalam maupun diluar

pesantren yang dikembangkan oleh warga NU sudah demikian banyak

jumlahnya. Mereka mengembangkan pendidikan sebagai bentuk

komitmen dari apa yang sudah dicita-citakan oleh NU. Dalam konteks ini

tugas organisasi sesungguhnya lebih pada mengayomi,

mengkoordinasikan dan meningkatkan mutu pendidikan yang sudah

dikembangkan.11Satuan-satuan pendidikan ini idealnya berfungsi sebagai

pioner dan model percontohan bagi satuan-satuan pendidikan di

lingkungan NU lainnya.

Menurut Muhaimin jika dilihat dari sejarahnya setidak tidaknya

ada dua faktor penting yang melatar belakangi kemunculan madrasah,

yaitu: Pertama adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem

pendidikan tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan

pragmatis masyarakat; kedua, adanya kekhawatiran atas cepatnya

perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran

sekular di Masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan

11

(20)

9

sekularisme, maka masyarakat muslim terutama para reformis berusaha

melakukan reformasi melalui upaya pengembangan pendidikan dan

pemberdayaan madrasah.12

Jadi secara historis madrasah terutama Madrasah Ma‟arif

sebenarnya lembaga yang dijadikan sebagai alat modernisasi NU dan juga

sebagai wadah jamaah (Masyarakat NU) untuk ikut serta memikirkan pendidikan serta sebagai Jam‟iyah, madrasah NU merupakan wadah untuk

melestarikan tradisi nilai-nilai lokal “Melestarikan hal terdahulu yang baik

dan merupakan hal baru yang lebih baik).

Dan tradisi NU adalah tradisi Islam.Para ulama pendiri NU dan

pengemban amanah ke-NU-an adalah para ulama muslimin, pewaris ilmu

para nabi, pelanjut dakwah Rasulullah SAW.Agama NU diartikan rakyat kita sebagai agamanya orang NU, agamanya para ulama‟ NU, maka itu

berarti mereka mengikuti yang terbaik dari tradisi para ulama dan

orang-orang NU.Dari Uswah hasanah itu mereka merasa memiliki, menjadi

bagian dari tradisi Aswaja yang diamalkan kalangan Nahdliyin.Setelah

mengikuti yang terbaik itu, mereka memaknai tradisi itu sesuai dengan

kepentingan mereka sebagai orang-orang desa, sebagai bagian dari bangsa

Indonesia.Juga mereka butuhkan untuk menjawab tantangan hidup

ini.Disini tradisi Aswaja dan pesantren itu menjadi sebuah ideologi,

sebagai satu cara pandang dan bersikap. Nah, disitulah kemudian mereka

12

(21)

10

menyebutnya “agama NU”! karena ada “kekuatan lebih” yang ada pada

tradisi NU yang mereka tidak dapatkan di tempat lain. Yakni adanya

kekuatan pembelaan terhadap apa yang dikatakan Kiai Saifuddin Zuhri dalam kutipan diatas: “Tradisi kerakyatan dalam mengabdi kepada Allah

SWT, dan menyebar kebaikan ditengah-tengah masyarakat.13

Ikatan bathin antara orang-orang desa dengan orang-orang NU

akan terbentuk suatu ideologi rakyat. Itu yang kemudian diisi oleh para

ulama NU dan para kiai pesantren menjadi sebuah tradisi Aswaja-Ahlussunnah wal Jama‟ah.Dan orang-orang desa membaca ideologi

tersebut sebagai “Agama Nu”.Tradisi ziarah makam misalnya menjadi

energi baru untuk sebuah revolusi rakyat, seperti ditunjukkan dalam

revolusi sosial di Karasidenan Pekalongan tahun 1945. Demikian pula

peristiwa heroik 10 November 1945 yang dipuji-puji oleh Tan Malaka

dalam tiga risalah politiknya, juga dibangun dari kedekatan aktor-aktornya dengan tradisi keagamaan Nu dari kobaran “resolusi jihad”

Hadlratusysyekh Kiai Hasyim Asy‟ari.14

Pada tanggal 18 Agustus 2014 pelajaran aswaja dan ke-Nu-an

sudah siap untuk diterapkan.Kurikulum Aswaja dan Ke-Nu-an sudah bisa diterapkan diseluruh madrasah dan sekolah LP Ma‟arif NU yang

berjumlah kurang lebih 13 unit. Pendidikan Aswaja dan Ke-Nu-an

diharapkan akan berjalan semakin masif kedepannya. Apalagi gerakan

13

Ahmad Baso, Agama NU untuk NKRI, (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), h. 6. 14

(22)

11

faham keagamaan garis keras juga akhir-akhir ini semakin

terang-terangan.Hanya NU yang bisa menangkal gerakan tersebut.

Mata pelajaran Muatan Lokal pengembangannya sepenuhnya

ditangani oleh sekolah dan komite sekolah yang membutuhkan

penanganan secara profesional dalam merencanakan, mengelola, dan

melaksanakannya.Dengan demikian pelaksanaan muatan lokal

memperhatikan keseimbangan dengan kurikulum 2013.Penanganan secara

profesional muatan lokal merupakan tanggung jawab pemangku

kepentingan (stakeholders) yaitu sekolah dan komite sekolah.Muatan lokal

terdiri dari beberapa macam, salah satunya adalah Aswaja/ke-Nu-an.

Pembelajaran Muatan Lokal Aswaja dikemas sangat variatif dan

menyenangkan karena didalamnya siswa diajarkan untuk mengamalkan

amaliyah-amaliyah yang berhaluan Aswaja, seperti Sholat Shubuh dengan

memakai Qunut, wiridan, Ziarah Kubur, dll.Dalam hal berbusana

khususnya para Siswi diharapkan untuk selalu pakaian yang menutup aurat

dengan berjilbab yang sopan dan anggun, serta mengenalkan

organisasi-organisasi pelajar yang berhaluan Aswaja.

Di lembaga pendidikan tempat para siswa belajar sudah dibekali

dengan pengetahuan yang berhaluan Aswaja.Namun para siswa saat ini

hampir tidak mengenal tentang Ke-NU-an bahkan dalam hal pengetahuan

karakter ke-Nu-an dan ciri khas Aswaja Implementasinya baik dari segi

(23)

12

Pre-test siswa-siswi banyak yang kurang mengetahui apa itu ke-Nu-an dan

Aswaja, pengetahuan yang dimiliki masih sangatlah dangkal. Mereka

kurang memahami arti penting adanya pembelajaran Mulok Aswaja

sehingga wawasan tentang ke-NU-an sangat minim dan pembelajaran

Mulok Aswaja hanya dijadikan sebuah wacana bukan sebagai prioritas

untuk mempelajari dan menerapkannya.Keikut sertaan siswa di

lingkungan masyarakat dengan organisasi-organisasi yang berhaluan

aswaja sudah hampir punah, para siswa saat ini lebih bangga untuk

berdiam diri dirumah dan enggan menyalurkan bakatnya melalui

organisasi tersebut.Bahkan ketika ditanya tentang teori yang berbau NU,

mereka enggan menjawab dan dirasa kurang penting.Dari sini terlihat

bahwa wawasan ke-NU-an Siswa siswi kurang mendalam meskipun sudah

diterapkannya pembelajaran Mulok Aswaja.

Dari uraian latar belakang tersebut, penulis bermaksud mengetahui

lebih lanjut tentang Peningkatan wawasan ke-NU-an melalui Pembelajaran

Muatan lokal Aswaja dengan indikator siswa dapat menjawab soal-soal

terkait ke-Nu-an serta dapat mendiskripsikan terkait ke-NU-an dan

Aswaja, serta dapat mengamalkan amaliyah-amaliyah yang berhaluan

Aswaja dan siswa dapat terlibat dalam sebuah organisasi-organisasi yang

berhaluan Aswaja. Dengan itu penulis memberi judul penelitian ini: “Peningkatan wawasan ke-NU-an melalui Pembelajaran Muatan

(24)

13

Pembelajaran Muatan lokal Aswaja di MA Hasyim Asy‟ari Sukodono

Sidoarjo. Dengan diadakannya penelitian tentang wawasan ke-NU-an,

maka peneliti berharap agar siswa-siswi memiliki wawasan yang

mendalam terkait ajaran yang berhaluan Ahlussunnah wal jamaah terlebih

dalam mengamalkan sebuah tradisi dan amaliyah-amaliyah yang

ditetapkan oleh Ahlussunnah Wal Jamaah serta dapat mengubah

prilaku-prilaku siswa-siswi yang awalnya kurang baik menjadi lebih baik.

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas, peneliti menarik rumusan

masalah dalam penelitian yang akan dilaksanakan, adapun rumusan

masalahnya adalah sebagai berikut ini:

1. Bagaimana Implementasi Pembelajaran Muatan lokal Aswaja

(Ahlusunnah wal Jama‟ah) di MA Hasyim Asy‟ari Sukodono

Sidoarjo?

2. Apa Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pembelajaran

Muatan lokal Aswaja dalam meningkatkan wawasan ke-NU-an Siswa siswi MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo?

3. Bagaimana Wawasan ke-NU-an Siswa Siswi MA Hasyim Asy‟ari

Sukodono Sidoarjo?

4. Adakah Peningkatan wawasan ke-NU-an melalui Pembelajaran

(25)

14

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan Implementasi Pembelajaran Muatan lokal Aswaja

(Ahlusunnah wal Jama‟ah) di MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo

2. Mendeksripsikan Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan

Pembelajaran Muatan lokal Aswaja dalam meningkatkan wawasan

ke-NU-an Siswa siswi MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo

3. Mendiskripsikan wawasan ke-NU-an Siswa Siswi MA Hasyim Asy‟ari

Sukodono Sidoarjo

4. Mendeskripsikan adakah peningkatan wawasan ke-NU-an melalui

Pembelajaran Muatan lokal Aswaja (Ahlussunnah Wal Jamaah) di MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Sebagai khasanah bacaan tentang “Peningkatan wawasan ke-Nu-an

melalui pembelajaran Muatan lokal Aswaja di MA Hasyim Asy‟ari

Sukodono Sidoarjo

b. Sebagai bahan acuan dibidang penelitian yang sejenisnya dan

sebagai pengembangan penelitian lebih lanjut.

c. Untuk menjadi masukan dan bahan rujukan dalam meningkatkan

wawasan ke-NU-an melalui pembelajaran Muatan lokal Aswaja.

2. Kegunaan Paktis

a. Bagi penulis, Penilitian ini berguna sebagai salah satu tugas yang

(26)

15

strata satu pendidikan Islam, menambah wawasan dan pengetahuan

serta pengalaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan ke-NU-an

dan ke Aswajaan.

a. Bagi pengajar, bisa menjadi tambahan wawasan dan pengetahuan

tentang ke-NU-an dan menjadi tolak ukur dalam merealisasikan

Amaliyah-amaliyah ke Aswajaan.

b. Bagi pihak sekolah, hasil penelitian ini bisa menjadi bahan evaluasi

atau pertimbangan dalam meningkatkan wawasan ke-NU-an

melalui Muatan lokal Aswaja guna untuk mencetak siswa-siswi yang berhaluan Ahlussunnah wal jama‟ah.

E. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah

Dalam penelitian ini peneliti membatasi ruang lingkup penelitian

sebagai berikut:

1. Kawasan MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo, pada kelas X Ipa,

Ips, XI Ipa, Ips, dan XII Ipa, Ips karena seluruh siswa siswi MA Hasyim Asy‟ari menerima pelajaran Aswaja.

2. Wawasan yang dimaksud adalah Pengetahuan siswa-siswi di MA

Hasyim Asy‟ari Khususnya kelas X.Ipa, Ips dan kelas XI Ipa, Ips.dan

yang dikaji hanya terkait Aqidah dan ilmu Fiqihnya.

3. Pendidik yang mengampu mata pelajaran Mulok Aswaja berupaya

untuk membentuk Aqidah para siswa-siswinya yang berhaluan aswaja

dan membentuk pengetahuan ilmu fiqihnya melalui amaliyah yang

(27)

16

Amaliyah yang diimplementasikan oleh siswa-siswinya. Sehingga

yang dijadikan tolak ukur oleh pendidik adalah ketika siswa-siswinya

melakukan amaliyah yang berhaluan aswaja maka disitulah

siswa-siswinya juga memiliki pengetahuan yang cukup tentang ke-Nu-an.

3. Tahun ajaran 2016-2017.

Untuk memperoleh data yang relevan dan memberikan arah

pembahasan pada tujuan yang telah dirumuskan, maka ruang lingkup

penelitian akan diarahkan pada:

a. Pembahasan tentang Wawasan ke-NU-an

1) Pengertian wawasan ke-NU-an

2) Lahirnya Organisasi NU

3) Ruang Lingkup ke-NU-an

4) Prinsip dasar NU

b. Pembahasan tentang Pembelajaran Muatan lokal Aswaja

1) Pengertian Muatan Lokal Aswaja (Ahlussunnah wal jama‟ah)

2) Ruang Lingkup Muatan Lokal dalam KTSP

3) Landasan kurikulum Muatan Lokal

4) Tujuan Kurikulum dan Pembelajaran Muatan Lokal Aswaja

5) Metode Pembelajaran Muatan Lokal Aswaja

F. Definisi Operasional

Definisi operasional ini dimaksudkan untuk memperjelas dan

(28)

17

penelitian “Peningkatan Wawasan ke-NU-an Melalui Pembelajaran

Muatan Lokal Aswaja di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo”.

1. Peningkatan

Menurut epistimologi adalah menaikkan derajat taraf dan

sebagainya mempertinggi memperhebat produksi dan

sebagainya.15Menurut seorang ahli bernama Adi S, peningkatan berasal

dari kata tingkat artinya lapis atau lapisan dari sesuatu yang kemudian

membentuk susunan.Tingkat juga dapat berarti pangkat, taraf dan

kelas.Sedangkan peningkatan berarti kemajuan.Secara umum,

peningkatan merupakan upaya untuk menambah derajat, tingkat, dan

kualitas maupun kuantitas.Peningkatan juga berarti penambahan

ketrampilan dan kemampuan agar menjadi lebih baik.16

2. Wawasan ke-Nu-an (Nadhatul Ulama)

Wawasan ke-Nu-an adalah pengetahuan lebih terhadap apa - apa

yang ada didalam sebuah organisasi islam terbesar yang didirikan

sebagai perhimpunan atau perkumpulan para ulama dan jama‟ah

Ahlussunnah wal Jama‟ah yang pengaplikasiannya adalah dengan

mengamalkan amaliyah-amaliyah yang terkandung dalam ajaran Aswaja (Ahlusunnah wal Jama‟ah). Wawasan yang ingin diteliti adalah

wawasan tentang pengetahuan, pemahaman dan implementasi

amaliyah-amaliyah NU dalam kehidupan sehari-hari.

15

Peter salim dan yeni salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern press, 1995), h. 160.

16

(29)

18

3. Pembelajaran

Belajar adalah suatu aktivitas atau proses untuk memperoleh

pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap

dan mengokohkan kepribadian.17 Pembelajaran berasal dari kata “ajar”,

mendapat awalan “pe-“ dan akhiran “–an” menjadi “pembelajaran”,

yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan peserta

didik mau belajar. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik

dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta

didik agar dapat belajar dengan baik.18

4. Muatan Lokal

Muatan Lokal yang merupakan kegiatan kurikuler untuk

mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan

kesesuaian daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak

dapat dikelompokkan kedalam mata pelajaran yang ada.Substansi mata

pelajaran muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan dan tidak

terbatas pada mata pelajaran ketrampilan.19

5. Aswaja (ahlussunnah wal jama‟ah)

Aswaja adalah Ahlussunnah wal jama‟ah.Kalimat Ahlussunnah

wal jama‟ah tersusun dari tiga kata dasar. Pertama, kata ahl kata ini

mengandung dua makna, yakni disamping mempunyai arti „al „asyirah

17

Hariyanto Suyono, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2012), h. 9. 18

Tim Cosma E IAIN Sunan Ampel Surabaya, Model dan Strategi Pembelajaran, (Surabaya: 2011), h. 16.

19

(30)

19

wa dzawu al-qurba” (keluarga dan kerabat), ia juga bermakna pemeluk

aliran, pengikut madzab dan pengikut paham Sunni. Disamping itu,

kata al-sunnah dapat diartikan sebagai jalan para sahabat Nabi dan Tabi‟in.Ketiga, al-jama‟ah berarti segala sesuatu yang terdiri dari 3 atau

lebih.Dikatakan sekumpulan orang, sekawanan hewan dan

sebagainya.Sedangkan menurut Zuhri, kata jama‟ah diidentikkan

dengan penerimaan terhadap ijma‟ sahabat (Konsensus sahabat Nabi)

yang diakui sebagai salah satu sumber hukum.Sedangkan secara istilah,

makna buku ahlussunnah wal jama‟ah belum pernah ditemui.Namun

definisi yang sering digunakan untuk menyebut ahlussunnah wal jama‟ah adalah golongan yang mengikuti jalan Nabi dan para

sahabatnya.20

Dari definisi beberapa istilah diatas, maka yang dimaksud dengan

Peningkatan wawasan ke-Nu-an melalui pembelajaran Mulok Aswaja

adalah Upaya untuk menambah derajat kualitas dan kuantitas pengetahuan

peserta didik terhadap apa-apa yang ada didalam sebuah organisasi islam

terbesar melalui aktivitas memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan

memperbaiki perilaku dalam sebuah muatan lokal yang merupakan

kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi dalam haluan Ahlusunnah wal Jama‟ah yang merupakan sebuah golongan yang

mengikuti jalan Nabi dan Para Sahabatnya dan dibuktikan dengan

Keistiqomahan Siswa-siswi dalam Mengerjakan Amaliyah Aswaja dan

20

(31)

20

keikutsertaan Siswa-siswi dalam berbagai kegiatan yang berhaluan

Aswaja.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang tata urutan

penelitian ini, maka peneliti mencantumkan sistematika laporan penulisan

sebagai berikut:

Bab satu, Pendahuluan, bab ini menguraikan: Latar Belakang

Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian,

Ruang Lingkup dan Batasan Masalah, Tinjauan Pustaka, Definisi

Operasional, Metodologi Penelitian, Sistematika Pembahasan.

Bab dua, Landasan Teori, Bab ini menjelaskan tinjauan tentang

wawasan Ke-Nu-an yang meliputi: Pengertian wawasan ke-Nu-an,

Lahirnya Organisasi NU, Ruang Lingkup ke-NU-an, Prinsip dasar NU.

Muatan lokal Aswaja yang meliputi: Pengertian Muatan Lokal Aswaja (Ahlussunnah wal jama‟ah), Ruang Lingkup Muatan Lokal dalam KTSP,

Landasan kurikulum Muatan Lokal, Tujuan Kurikulum, Pembelajaran

Muatan Lokal Aswaja, Metode Pembelajaran Muatan Lokal Aswaja.

Bab tiga, Metode Penelitian, Bab ini berisi tentang: Pendekatan

dan Jenis Penelitian, Subjek dan Objek Penelitian, Tahap-tahap Penelitian,

Sumber dan Jenis data, Teknik pengumpulan data, Teknik analisis data.

Bab empat, Laporan Hasil Penelitian, Bab ini berisi tentang: Profil MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo, meliputi: sejarah berdirinya MA

(32)

21

susunan pengurus MA Hasyim Asy‟ari, program kegiatan MA Hasyim

Asy‟ari, keadaan sarana dan prasarana MA Hasyim Asy‟ari, keadaan para

guru serta keadaan siswa MA Hasyim Asy‟ari. Penyajian data, meliputi

data tentang wawasan Ke-NU-an dan sistem pembelajaran Mulok Aswaja

Siswa-siswi MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo. Analisis Data, Bab

ini berisi tentang Peningkatan wawasan ke-Nu-an melalui Pembelajaran

Muatan lokal Aswaja.

Bab lima, Penutup, Bab ini berisi tentang: kesimpulan dan

saran-saran yang berkenaan dengan penelitian, kemudian dilanjutkan dengan

(33)

22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Wawasan Ke-NU-an 1. Pengertian Wawasan Ke-NU-an

NU merupakan perpanjangan dari Nahdhatul Ulama, yang

berasal dari Kata Nahdlah dan Ulama.Nahdlah menurut bahasa berarti

“kemampuan dan potensi untuk mencapai kemajuan sosial lainnya”.

Sedangkan menurut istilah, nahdlah berarti qabul majmu’ al-nasyath

al-hadhari li ummah dzat hadharah aqdam min janib ummatin ahdats

ma’a al-qudrah fi al-tarkib wa al-tasykil”. Artinya, penerimaan bangsa

yang datang belakangan terhadap peradaban bangsa sebelumnya,

disertai kemampuan untuk meracik dan membentuk kembali

peradaban itu sesuai dengan kebutuhannya.1

Secara etimologis, al-Nahdlah berarti kemampuan, kekuatan,

loncatan, terobosan dalam upaya memajukan masyarakat atau yang

lain. Sementara secara epistemologis berarti menerima segala budaya

lama dari sisi kebudayaan yang lebih baru, dengan melakukan

rekonstruksi dan reformasi.2Secara lugas berarti kebangkitan atau

gerakan yang dipelopori para ulama.Secara teknis berarti organisasi

sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah) yang didirikan oleh para ulama

1

Lukmah Hakim Saifuddin, Islam Nusantara (Dari Ushul Fiqh hingga Konsep Historis,),

(Bandung: PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI, 2016), cet. Ke-3, h. 150. 2

(34)

23

tradisional dan usahawan Jawa Timur yang berfaham Ahlussunnah

Wal Jamaah pada tanggal 12 Rajab 1344/31 Januari 1926 M.3

Nahdlatul Ulama didirikan sebagai Jam’iyah Diniyah

Ijtima’iyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan) untuk menjadi

wadah perjuangan para ulama dan pengikutnya. Tujuan didirikannya

NU ini diantaranya adalah: Memelihara, Melestarikan,

Mengembangkan dan Mengamalkan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah Wal

Jama’ah yang manganut salah satu pola madzhab empat: Imam Hanafi,

Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, Mempersatukan

langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya, dan Melakukan

kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan

masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat

manusia.Pendiri resminya adalah Hadratus Syeikh K.H. Hasyim

Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa

Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak

adalah K.H. Abdul Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren

Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang. Kiai wahab adalah salah

seorang murid utama Kiai Hasyim.Ia lincah, enerjik dan banyak akal.

Bahkan dalam anggaran dasar yang pertama (1927) dinyatakan

bahwa organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat kesetiaan

3

(35)

24

kaum muslimin pada salah satu madzhab empat. Kegiatan-kegiatan

yang dilakukan kala itu antara lain:4

a. Memperkuat persatuan ulama yang masih setia kepada madzhab.

b. Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan

pada lembaga-lembaga pendidikan islam.

c. Penyebaran ajaran islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab

empat.

d. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organaisasinya.

e. Membantu pembangunan masjid-masjid, musholah dan pondok

pesantren.

f. Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.

Wawasan ke-Nu-an adalah pengetahuan lebih terhadap

apa-apa yang ada didalam sebuah organisasi islam terbesar yang didirikan

sebagai perhimpunan atau perkumpulan para ulama dan jama’ah

Ahlussunnah wal Jama’ah yang pengaplikasiannya adalah dengan

mengamalkan amaliyah-amaliyah yang terkandung dalam ajaran

Aswaja (Ahlusunnah wal Jama’ah).

2. Lahirnya Organisasi Nahdlatul Ulama

Jika kita membalik lembaran sejarah, segera terpampang bahwa

NU adalah sebuah organisasi islam yang telah banyak merasakan

garam pergolakan sejarah dan badai perubahan zaman, namun selalu

4

(36)

25

mampu berdiri tegak. Walau kadang agak terhuyung, ia tetap mampu

meneruskan perjalanannya. Tepatlah lukisan Dhofier tentang NU:

Perkumpulan Nahdlatul Ulama seperti yang kita kenal sekarang adalah pewaris dan penerus tradisi kiai.... NU telah mampu mengembangkan sesuatu yang stabilitasnya sangat mengagumkan, walaupun ia sering menghadapi tantangan-tantangan dari luar yang cukup berat. Modal utamanya adalah karena para kiai mempunyai sesuatu perasaan kemasyarakatan yang dalam dan tinggi dan selalu

menghormati tradisi. Rahasia keberhasilan kiai dalam

mengembangkan sistem organisasi yang kuat dan stabil itu terletak pada kebijaksanaan dan kesadaran mereka bahwa struktur sosial yang manapun haruslah mempercayai general consensus, bukannya mempercayakan atau menggantungkan persetujuan yang dipaksakan

atau sistem organisasi yang rumit.5

Komunitas islam tradisional telah terbentuk jauh sebelum

Nahdlatul Ulama didirikan. Nahdlatul Ulama sendiri didirikan oleh

para ulama (kyai) pengasuh pesantren pada tanggal 31 Januari 1926, di

Surabaya.Para Kyai pendiri NU adalah para pendukung, penyebar dan

pembela faham Islam Ahlussunnah wal Jamaah.Faham ini telah

mempersatukan secara organis antara ajaran tauhid, fiqih dan tasawuf.

Jadi doktrin ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana dipahami oleh NU

adalah: mengikuti paham Al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bertauhid,

mengikuti salah satu dari 4 Mahdzab (Hanafi, Maliki, Syafi’i atau

Hambali) dalam berfiqh dan mengikuti faham Al-junaidi, Al-baghdadi

dan Al-ghazali dalam bertasawuf.6

Sebelum NU berdiri, dikalangan para ulama (kyai) pesantren

sudah terbangun kesamaan faham dan wawasan keagamaan, cara

pengamalan dan ritual-ritual keagamaan. Diantara mereka juga sudah

5

Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang pandangan hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1983), h. 159-160.

6

(37)

26

terjalin saling hubungan yang kuat melalui pertemuan-pertemuan

dalam berbagai upacara seperti Khaul, selamatan, hubungan

perkawinan maupun ikatan-ikatan seperguruan. Tetapi hubungan yang

erat tersebut belum terorganisir beraturan dan belum melembaga.

Cukup lama waktu antara berdirinya organisasi pembaruan dan

berdirinya NU (1911-1926 atau 1905-1926) bahkan seorang tokoh

Ulama Abdul Wahab Chasbullah pernah bekerja sama dengan Mas

Mansur (Muhammadiyah) mendirikan Taswirul Afkar (grup berpikir)

sekitar 1914-1916 di Surabaya.7 Namun sementara itu rupanya

dikalangan umat islam telah terjadi perdebatan sengit yang kadang

sampai dilakukan di depan aparat keamanan. Achmad Fedyani

Saifuddin telah mengamati hal ini dalam penelitiannya yang dibukukan

dengan judul konflik dan integrasi: Perbedaan Paham dalam agama

Islam, yang didalamnya diuraikan tentang terjadinya konflik antar

pengikut NU dan Muhammadiyah dalam bidang praktik keagamaan.8

Sebelum NU berdiri, tampaknya umat islam telah berhasil

menggalang forum persatuan, yaitu berdirinya Kongres Umat Islam

Indonesia (yang pertama berhasil diselenggarakan di cirebon pada

1922) sebagai forum bersama kelompok pembaruan dan tradisi.

Dengan ikut sertanya kaum ulama dalam kongres, sebenarnya tampak

bahwa kaum ulama (golongan tradisional) bukanlah anti terhadap

gerakan pembaruan, melainkan menentang serangan kaum pembaruan

7

Aziz Masyuri, NU dari Masa ke Masa, (t.p: 1983), h. 127. 8

(38)

27

terhadap sendi-sendi keislaman yang mereka anut.Sementara itu,

kongres disamping memunculkan polarisasi tradisional dan

pembaruan, juga memunculkan konflik antar sesama golongan

pembaruan.Sejak kongres pertama di Cirebon sampai dengan sebelum

berdirinya NU, para ulama masih dapat menuntut penghargaan dari

kaum pembaruan.

Kongres berikutnya, berlangsung di Surabaya tanggal 24-26

Desember 1924, mengangkat masalah Ijtihad, kedudukan tafsir

Almanar dan ajaran Muhammadiyah dan Al-Irsyad sebagai topik

utamanya. Perdebatan yang sengit antara unsur “tradisi” dari Taswirul

afkar dan unsur pembaharu membawa kongres pada suatu kesimpulan

bahwa Ijtihad memang masih tetap terbuka, tapi tidak bisa dilakukan

kecuali dengan syarat-syarat mengetahui nash Qur’an dan Hadits,

memahami betul Ijma para Ulama terdahulu, mengetahui bahasa arab

asbabun Nuzul sebab turunnya ayat), asbabul wurud

(sebab-sebab lahirnya hadits), dan beberapa persyaratan lainnya. Sampai pada

tahap ini, ulama-ulama pesantren yang dicap tradisional itu memang

telah berhasil memberikan warna yang cukup mencolok pada

keputusan-keputusan kongres.Tapi tidak demikian pada tahapan

berikutnya.9

Memang para tokoh penting atau para pendiri NU sebenarnya

tidak merasa asing dengan gagasan pembaruan yang sedang hangat di

9

(39)

28

Timur Tengah.Tiga tokoh ulama penting adalah alumni Makkah awal

abad ke-20.Mereka adalah Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab Chasbullah

dan Bisri Sansuri.Mereka bertiga dan KH Ahmad Dahlan pernah

belajar kepada salah seorang ulama terkenal asal Indonesia di Tanah

Suci, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau.Ahmad khatib dianggap

tokoh kontroversial.Hasyim Asy’ari tokoh paling berpengaruh yang

digelari Hadratus Syaikh, guru besar, bagi ulama-ulama jawa, juga

menerima pengaruh dari Syaikh Mahfudz at-Tarmisi yang menerima

kehadiran tarekat. Perbedaan jalan yang ditempuh oleh kaum

tradisional dengan kaum pembaru mungkin sekali terletak pada latar

belakang ulama sendiri.Ulama pesantren tidak pernah menikmati

pendidikan modern ala Barat dan hubungan yang sangat erat antara

kiai dan pendahulunya (sering bersifat genealogis atau turun temurun),

menyebabkan penerimaan para ulama terhadap gerakan pembaruan

berbeda.Mereka menyambut baik gerakan pembaruan, tetapi

menyesuaikannya dengan tradisi yang mereka anut.10

Golongan tradisional cukup peka dengan perkembangan

internasional ini.Mungkin mereka sudah melihat perbedaan antara

Kairo dan Hijaz. Kairo akan cenderung hanya pada masalah politik

(pan Islam), tetapi dengan bangkitnya penguasa baru Raja Saud yang

menganut paham Wahabiah, maka masalahnya menjadi lain. Dengan

berkuasanya Raja Saud maka nasib Madzhab dan tradisi keislaman di

10

(40)

29

indonesia sedang dipertaruhkan masa depannya. Abdul Wahab

Chasbullah seorang Ulama muda yang sangat berbakat dalam bidang

organisasi membicarakan perkembangan di Hijaz dengan Hadratus

Syaikh Hasyim Asy’ari (Pimpinan Pesantren Tebuireng) yang lebih

Senior.Mereka merasa perkembangan itu sebagai masalah penting.

“persoalan tersebut adalah merupakan persoalan besar. karena itu tidak

mungkin hanya dibicarakan berdua saja, maka pembahasan persoalan

itu akan ditingkatkan dalam forum yang jauh lebih besar lagi. Dimata

ulama yang penting adalah kehidupan keagamaan dalam arti yang

seluas-luasnya dapat berlangsung berdasarkan tradisi yang dianutnya.11

Atas saran KH Hasyim Asy’ari, Abdul wahab Chasbullah dan

kawan-kawan keluar dari komite Khalifat.Rupanya unsur senioritas

merupakan unsur penting dalam hubungan antar ulama. Untuk

menjawab tantangan yang sedang terjadi maka berkumpullah para

ulama seluruh Jawa dan Madura di surabaya (dikediaman Abdul

Wahab Chasbullah) pada 31 januari 1926 tanggal yang kemudian

menjadi lahirnya perkumpulan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi

keagamaan (jam’iyah diniyah). Pertemuan para ulama itu

menghasilkan dua keputusan penting:12

1. Meresmikan dan mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz dengan

masa kerja sampai delegasi yang diutus menemui Raja Saud

kembali ke Tanah Air.

11

Ibid., h. 49. 12

(41)

30

2. Membentuk Jam’iyah (organisasi) untuk wadah persatuan para

ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya

cita-cita izzul Islam wal Muslimin (kejayaan Islam dan Umat Islam).

Atas usul Alwi Abdul Azizi, jam’iyah ini diberi nama “Nahdlatul

Ulama”, yang artinya kebangkitan ulama

Maksoem Machfoedz memberikan catatan menarik dari

pertemuan itu:

“...dalam menghadapi pertemuan ini beberapa yang sudah gandrung dengan adanya organisasi yang patut dijadikan tempat bernaung, bertingkah menurut selera masing-masing. Mas H. Alwi Abd. Aziz mengutak-atik nama apakah yang paling serasi dengan isi dan tujuannya. K.H. Abd.Wahab Chasbullah melakukan istikharah, memohon petunjuk langsung dari yang Maha Mencipta. Dalam Istikharah itu, ia bermimpi bertemu dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Oleh beliau K.H Abd.Wahab Chasbullah diberi blankon (semacam kopiah versi pakaian jawa asli) dan sebuah sapu bulu ayam bergagang panjang, yang biasanya dipakai membersihkan

langit-langit.”13

Dalam kelahirannya kita sering melihat ciri khas NU yang

membedakannya dengan organisasi-organisasi pendahulunya.NU

adalah wadah para Ulama sebagai pimpinan umat dan pengemban

tradisi.Ia bukan sesuatu yang baru karena sebelumnya para ulama

telah bergerak dengan cara masing-masing di dalam masyarakat

terutama di Pedesaan. Para ulama bangkit untuk membela

perikehidupan umat islam di Indonesia, khususnya yang menganut

madzhab tertentu akibat pergeseran yang terjadi di dunia islam. Ia

tidak menentang gerakan pembaruan tetapi tidak pula ingin larut

begitu saja. Yang dianutnya adalah pengakuan bahwa peranan ulama

13

(42)

31

dan tradisi tidak boleh diabaikan sekalipun itu dilakukan oleh

penguasa Tanah Suci.Dengan lahirnya NU maka para ulama

menunjukan wataknya yang kritis.

NU menetapkan jam’iyyah diniyah organisasi keagamaan

tradisional. Corak kelahirannya juga khas ia tidak ditentukan oleh

seseorang yang patut disebut pendiri atau pencetus gagasan dan tidak

pula ditentukan oleh cara-cara pendirian organisasi modern.

Kelahirannya ditentukan dengan istikharah dan dikonsultasikan

dengan ulama yang lebih tua. Tentang istikharah dijelaskan oleh

Shodiq dan Shalahuddin Chaery: Sholat yang sebaiknya dilakukan

oleh umat islam untuk menentukan pilihan dari beberapa pilihan yang

meragukannya (bimbingan memilih salah satu yang paling baik

baginya). Menurut Nurcholish Madjid dalam tulisannya, pesantren

dan tasawuf, istikharah menunjukkan kuatnya pengaruh sufisme

dalam kehidupan pesantren.14

Walaupun demikian, upaya keagamaan ini pada prinsipnya

dapat diterima oleh kaum ortodoks, hanya dalam cara-cara yang

dilakukan dapat terjadi perbedaan pendapat.Istilah Nahdlatul Ulama

diresmikan setelah disetujui oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.

Kelahirannya juga berkait erat dengan sejarah masuknya islam dan

perkembangannya yang khas, berbaur dengan kebudayaan pra islam.

Pada lambang NU yang juga diperoleh melalui istikharah KH.Ridwan

14

(43)

32

sembilan bintang melambangkan walisongo. Maka tepatlah apa yang

dikatakan oleh Kenji Tsuchiya dari Universitas Kyoto Jepang bahwa

watak keislaman para kiai bukan saja tradisional, meliankan juga

“mewarisi banyak dari agama pra islam.”Sumbangan Ulama (NU)

dalam pergerakan kemerdekaan tak bisa disangkal. Melalui para

ulama dengan basis pesantren aspirasi bangsa dapat disampaikan

kepada masyarakat pedesaan yang merupakan lapisan terbesar dalam

masyarakat Indonesia.Sebuah upaya yang telah gagal dilakukan oleh

kaum pembaru (yang memang lebih banyak memusatkan kegiatannya

di kota-kota).

Faktor-faktor yang mendorong dibentuknya organisasi NU

ialah: adanya serangan terbuka dari kelompok reformis (pengikut

ajaran wahabi) terhadap faham dan praktek-praktek keagamaan para

kyai dan pengikutnya. Ajaran para kyai yang menekankan pentingnya

sistem bermadzhab dalam memahami dan mengamalkan ajaran islam

dituduh sebagai penyebab kemunduran umat islam. Berbagai praktek

ritual keagamaan seperti: Tahlilan, selamatan, ziarah kubur dianggap

bid’ah dan syirik oleh kelompok reformis.15

Terlepas dari faktor mana yang dominan yang mendorong

dibentuknya organisasi NU yang nyata terjadi selama organisasi

berjalan ialah bahwa NU merupakan organisasi pembela ajaran islam

tradisional, ia menjadi sarana (wadah) perjuangan kepentingan

15

(44)

33

kelompok islam tradisional dan berperan sebagai sarana partisipasi

mereka dalam proses pembentukan bangsa Indonesia maupun dalam

proses pencarian prinsip-prinsip penataan masyarakat dan negara

Indonesia.

Pada awalnya nampak bahwa tujuan utama didirikannya NU

adalah untuk melakukan upaya pengembangan ajaran islam tradisional

dan melindunginya dari serangan kaum reformis yang dinilai

membahayakan sendi-sendi ajaran mereka. Disamping itu

pembentukan organisasi ini juga dimaksudkan untuk memajukan atau

meningkatkan pendidikan umat Islam, kepedulian terhadap anak-anak

miskin dan anak yatim dan usaha-usaha ekonomi rakyat.16

Kepedulian para Ulama NU terhadap politik lebih

dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang menjamin kebebasan

kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran Islam, dan penyebarannya

ditengah Masyarakat.Oleh karena itu para Ulama NU tidak

mempersoalkan bentuk tertentu sebuah negara dan

pemerintahannya.Mengenai persoalan negara dan sistem

pemerintahannya merupakan urusan bersama semua warga

masyarakat, yang harus mereka sepakati bersama.17 Secara teoritis

telah dirumuskan oleh para ulama NU kedalam prinsip-prinsip dasar

sosial Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah. Yaitu: prinsip I’tidal, prinsip

16

Ibid., h. 51. 17

(45)

34

tawassuth, prinsip tawazun, prinsip tasamuh, dan prinsip al-maslahah

al-„amah.18

Menurut madzhab Syafi’iyah politik adalah penegakan lima

pokok tujuan syari’at islam yaitu: menjamin kebebasan beragama,

menjamin keselamatan jiwa, menjamin kebebasan berfikir, menjamin

kehormatan keluarga, dan menjamin hak milik atas kekayaan.19 Jadi

hubungan islam dengan masyarakat juga bersifat fungsional yaitu

islam berfungsi penuh dalam kehidupan sebuah masyarakat dan

negara melalui pengembangan nilai-nilai dasarnya sebagai etika sosial

dan politik masyarakat yang bersangkutan yang akan memandu

jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat itu sesuai dengan

martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia, demi pencapaian

kesejahteraan hidup didunia dan diakhirat.

Nahdlatul Ulama berpendirian bahwa pada dasarnya kebenaran

dan kebaikan adalah bersumber dari Allah yang terealisasikan melalui

wahyu maupun rasio (nalar) serta hati nurani manusia.Kebenaran dan

kebaikan menurut wahyu Allah yang terbukukan dalam Al-Qur’an

memang bersifat mutlak dan universal.Sedangkan kebenaran dan

kebaikan menurut akal dan hati bersifat nisbi (relatif). Tetapi

kebenaran dan kebaikan menurut wahyu (al-qur’an) yang

terlembagakan dalam ajaran dan tradisi islam mengandaikan

18

Ibid., h. 54. 19

(46)

35

partisipasi rasio dan hati nurani manusia (hasil interpretasi terhadap

wahyu Allah) dalam konteks historisitasnya.20

Dengan demikian konsep penataan masyarakat yang

dicita-citakan oleh NU melalui penetapan hukum maupun penggunaan

otoritas dan kekuasaan dalam masyarakat maupun negara tidak

bertujuan merombak seluruh capaian peradaban dan kebudayaan

(tatanan masyarakat) yang telah melembaga dalam masyarakat,

dengan hukum dan ajaran islam. Upaya penataan masyarakat yang

dicita-citakan bagi NU dapat saja dimulai dari capaian peradaban dan

kebudayaan yang telah ada kemudian menempatkan al-Quran dan

as-sunnah sebagai sumber inspirasi dan orientasi etik menuju perbaikan

sistem dan pranata kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas dan

bermartabat, yang menjamin kemaslahatan (kesejahteraan) umum,

hak-hak azazi manusia dan kestabilan/keteraturan masyarakat.21Bagi

Nahdlatul Ulama metode yang tepat dalam rangka penataan

masyarakat dan negara (membangun sistem hukum maupun sistem

politik) ialah dengan berpijak pada prinsip-prinsip dasar yang

bersumber dari ajaran al-Quran yang telah dianut oleh para ulama

Ahlussunnah wal Jamaah.

Pada dasarnya pandangan dan sikap kritis NU terhadap

fenomena politik dan implementasi wewenang negara republik

indonesia adalah implementasi visi sosial dan moral politik NU

20

Ibid., h. 60. 21

(47)

36

sebagai etika politik. Etika politik NU dalam pengertian sebagai kode

etik telah dirumuskan dan menjadi keputusan Muktamar NU XXVIII

pada tahun 1989 di Yogyakarta. Isi keputusan tersebut ialah:22

a. Berpolitik bagi NU adalah keterlibatan warga negara dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan

pancasila dan UUD 1945.

b. Berpolitik bagi NU adalah Politik yang berwawasan kebangsaan

dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa

menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita

bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir

batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia

dan kehidupan di akhirat.

c. Politik bagi NU adalah pengembangan nilai-bilai kemerdekaan

yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk

menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai

kemaslahatan bersama.

d. Berpolitik bagi NU harus dilakukan dengan moral, etika dan

budaya yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, berperi kemanusiaan

yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia,

berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.

22

(48)

37

e. Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani

dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan

norma-norma yang disepakati.

f. Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh

konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah

sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.

g. Berpolitik bagi NU dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan

dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah

persatuan.

h. Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU

harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu dan saling

menghargai satu sama lain, sehingga dalam politik itu tetap dijaga

persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.

i. Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi masyarakat

timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim

yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang

lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana

masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi

dalam pembangunan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Politik menurut

NU adalah suatu hal sangat melekat yang tak dapat dihindari dari pola

kehidupan masyarakat NU, karena lahirnya organisasi NU sendiri

(49)

38

Indonesia.Tokoh-tokoh pendukung berdirinya NU sebagian besar juga

termasuk tokoh-tokoh yang terjun dalam dunia politik, sehingga

Eksistensi organisasi NU telah menjadi peran penting dalam dunia

Politik.

3. Ruang Lingkup Ke-NU-an (Ahlussunnah Wal Jamaah) a. Paham Keagamaan

NU didirikan dengan tujuan utama memelihara, melestarikan,

mengembangakan dan mengamalkan ajaran islam yang berhaluan

Ahlussunnah wal Jamaah dan menganut salah satu madzhab empat.

Berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah adalah dua pendirian sistem

bermadzhab para ulama pengasuh pesantren di Indonesia beserta para

pengikutnya, bahkan menjadi pendirian kaum muslimin di seluruh

dunia selama berabad-abad hingga sekarang.23

Dua pendirian itu merupakan jalan paling mantap untuk

memelihara dan mengembangkan ajaran Islam secara benar dan

lurus.Faham Ahlussunnah wal jamaah sebagai satu-satunya faham

yang lurus dan benar telah diberi definisi oleh Rasulullah SAW

sebagai faham yang berpijak pada ajaran Nabi dan praktek keagamaan

para sahabat beliau.24Karena para sahabatlah orang-orang yang

mendapatkan bimbingan langsung dari Rasulullah SAW dalam

menjalankan amaliyah keagamaan.Dengan demikian ulama-ulama

23KH. Mas’ud Yunus, dkk, Faham keagamaan dan Ideologi Kenegaraan Nahdlatul Ulama’,

(Mojokerto: PCNU Mojokerto, 2006), h. 9. 24

(50)

39

Ahlussunnah wal Jamaah (NU) menetapkan dasar-dasar ajaran Islam

yaitu Al-Quran, Hadits, Ijma’, Qiyas.Penetapan tersebut sebagai

penjabaran dari definisi Ma’ana „alaihi wa ashhabi. Untuk dapat selalu

berada pada garis Ma’ana „alaihi wa ashhabi, dan untuk menjamin

kesinambungan pemikiran dan sumber-sumbernya NU mengikuti pola

sistem bermadzhab, artinya mengikuti serangkaian tata cara tertentu

yang tertumpu kepada madzhab.25

Ahlussunnah Waljamaah, tidak lain adalah paham Islam secara

menyeluruh. Ruang lingkup paham Ahlussunnah Waljama’ahmeliputi

tiga lingkup, yakni lingkup Akidah, Ibadah, dan Akhlak.26Selanjutnya,

untuk membedakan lingkup-lingkup Ahlussunnah Waljama’ah

tersebut dengan lingkup-lingkup paham lain, perlu ditegaskan dengan

menyebutkan masing-masingnya menjadi Akidah Ahlussunnah

Waljama’ah, dan Akhlak Ahlussunnah Waljama’ah.

1) Akidah Ahlussunnah Waljamaah

Sebagaimana substansi paham Ahlussunnah Waljamaah

adalah mengikuti Sunnah Rasul dan Tariqah Sahabat (utamanya

Sahabat Empat) dengan berpegang teguh kepada petunjuk al-Quran

dan al-Sunnah (al-hadits).27

Adapun institusi akidah (kalam) yang sejalan dengan

paham Ahlussunnah Waljamaah ialah institusi Akidah yang

25

Ibid., h. 11-12. 26

Noer Iskandar Al-Barsany, Aktualisasi Paham Ahlussunnah Waljamaah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), h. 20.

27

(51)

40

dicetuskan oleh Al-Asy’ari dan al-Maturidzi.28Meskipun tidak

sama persis pemikiran kalam mereka berdua, tetapi pemikirannya

tetap committed terhadap petunjuk naql. Keduanya sama-sama

mempergunakan akal sebatas untuk memahami naql, tidak sampai

mensejajarkan apalagi memujanya.Bahkan secara terang-terangan

melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan

menentang logika Mu’tazilah yang perlu memuja Akal dan nyaris

mengabaikan petunjuk naql.Perbedaan Doktrinal Kalam Al-Asy’ari

dengan Al-Maturidi sebagai berikut: Menurut Keterangan Syekh

Abd al-Rahim bi „Ali, yang populer dengan nama Syekh Zadah,

antara pemikiran kalam al-Asy’ari dengan al-maturidi terdapat

beberapa perbedaan, dan perbedaan itu lebih bersifat lafdziyah

(redaksional) dan ma’nawiyah (makna) bukan perbedaan esensial

pemikiran yang bisa berakibat saling memusuhi dan saling

mengkafirkan satu sama lain.29

Dalam memahami Arti Qada’ dan Qadar kedua Imam

tersebut berbeda pendapat. Menurut al-Maturidi, qadar ialah

kepastian Tuhan pada zaman azali terhadap segala sesuatu dimana

akan ditemukan keuntungan dengan kapasitas itu, juga apa saja

dikuasai oleh waktu dan tempat. Sedangkan Qada’ menurutnya

ialah terjadinya perbuatan.30Pandangan tersebut mengacu pada

28

Soeleiman, Mohammad, Antologi NU, h. 12. 29

Noer Iskandar al-Barsany, Pemikiran Kalam Imam Abu Mansur Al-Maturidi (Perbandingan

dengan kalam Mu’tazilah dan al-Asy’ari), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 76.

30

(52)

41

keterangan ayat Al-qur’an Q.S Al-Furqan: 02 dan hadis yang

berbunyi:



























Artinya: “yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan

bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu

baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala

sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan

serapi-rapinya.”

Maksudnya: segala sesuatu yang dijadikan Tuhan

diberi-Nya perlengkapan-perlengkapan dan persiapan-persiapan, sesuai

dengan naluri, sifat-sifat dan fungsinya masing-masing dalam

hidup.Sementara itu menurut al-Asy’ari qada’ ialah kehendak

Tuhan pada zaman Azali yang menentukan susunan makhluk yang

ada menurut tertib khusus.Sedangkan qadar ialah ketergantungan

kehendak itu terhadap sesuatu pada waktu-waktu tertentu.

Pandangan tersebut antara lain mengacu pada sebuah hadits tentang

dua orang Muzainah yang bertanya kepada Rasul SAW: Ya Rasul

bagaimana menurut tuan tentang perbuatan yang dilakukan

(53)

42

sebelumnya dengan QadarNya ataukah masih akan dilaaminya?

Jawab Rasul: “Bukan

Gambar

        Tabel 01
  Tabel 02 Data siswa-siswi di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo.

Referensi

Dokumen terkait