PENINGKATAN WAWASAN KE-NU-AN MELALUI PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL ASWAJA DI MA HASYIM ASY’ARI SUKODONO
SIDOARJO
SKRIPSI
Oleh:
RIF’ATUL KHORIYAH
NIM:D91213164
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SURABAYA
PENINGKATAN WAWASAN KE-NU-AN MELALUI PEMBELAJARAN
MUATAN LOKAL ASWAJA DI MA HASYIM ASY’ARI SUKODONO
SIDOARJO
Skripsi Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu Tarbiyah Dan Keguruan
Oleh:
Rif’atul Khoriyah
Nim:D91213164
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SURABAYA
ABSTRAK
Khoriyah,Rif’atul. 2017. Peningkatan Wawasan ke-NU-an melalui Pembelajaran
Muatan lokal Aswaja di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo. Skripsi, Pendidikan Agama Islam, Program Strata Satu Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Pembimbing : (1) Drs. H. M. Nawawi, (2) Dra. Ilun Muallifah, M.Pd.
Key word :Peningkatan wawasan ke-NU-an, Pembelajaran Muatan lokal Aswaja
Wawasan ke-NU-an yang rendah akan menimbulkan krisis Akhlak, Pembelajaran Mulok aswaja harus dilakukan dengan optimal agar siswa-siswi berakhlak yang baik sesuai dengan Haluan Ahlussunnah waljamaah. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan Implemenatsipembelajaran Mulok Aswaja, faktor pendukung dan penghambat, wawasan ke-NU-an siswa-siswi, peningkatan wawasan ke-NU-an siswa-siswi melalui pembelajaran Mulok Aswaja.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Kualitatif. Sedangkan pendekatannya menggunakan deskriptif-analisis dengan menggunakan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dokumentasi.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa, pertama,
Implementasi Pembelajaran Mulok Aswaja di MA Hasyim Asy’ari sesuai komponen yang ada, Guru Aswaja dapat menyusun perangkat pembelajaran, penggunakan media yang semestinya, penggunaan metode yang sesuai, pendekatan-pendekatan yang digunakan juga dapat memberi motivasi kepada
peserta didik, sumber belajar MA Hasyim Asy’ari menggunakan sumber belajar
LKS Aswaja dan Buku Paket Aswaja dan ditunjang dengan buku lain, materi
yang diberikan guru disesuaikan dengan kondisi siswa-siswi MA Hasyim Asy’ari.
Kedua, Faktor pendukung Pelaksanaan pembelajaran Mulok Aswaja di MA Hasyim Asy’ari, diantaranya karena memang seluruh pendidiknya mayoritas NU dan pelajarnya juga mayoritas NU sehingga dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan dapat menunjang pembelajaran Aswaja. Sedangkan faktor penghamabatnya karena kurangnya alokasi waktu dan kurangnya kreativitas guru dalam
menerapkan model pembelajaran. Ketiga, Wawasan ke-NU-an siswa siswi MA
Hasyim Asy’ari dianggap baik yang dibuktikan dengan siswa-siswi memahami
materi ke-NU-an dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Keempat,
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Kegunaan Penelitian... 14
E. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah ... 15
F. Definisi Istilah atau Definisi Operasional ... 16
G. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II LANDASAN TEORI ... 22
A. TinjauanTentang Wawasan ke-NU-an ... 22
1. Pengertian Wawasan ke-NU-an ... 22
3. Ruang Lingkup ke-NU-an ... 38
4. Prinsip Dasar NU ... 47
B. TinjauanTentang Mulok Aswaja ... 55
1. Pengertian Kurikulum Muatan Lokal Aswaja... 55
2. Ruang Lingkup Muatan Lokal dalam KTSP ... 61
3. Landasan kurikulum Muatan Lokal ... 61
4. Tujuan Kurikulum dan pembelajaran Muatan Lokal Aswaja ... 65
5. Metode Pembelajaran Muatan Lokal Aswaja ... 68
BAB III METODE PENELITIAN ... 73
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian... 73
B. Subjek dan Objek Penelitian ... 74
C. Tahap-tahap Penelitian ... 75
D. Sumber dan Jenis Data ... 78
1. Sumber Data ... 78
2. Jenis Data ... 78
E. Teknik Pengumpulan Data ... 79
1. Observasi ... 80
2. wawancara ... 82
3. Dokumentasi ... 84
F. Teknik Analisis Data ... 86
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 93
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 93
1. Sejarah Berdirinya MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo ... 93
2. Profil MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo ... 95
3. Visi, Misi dan Tujuan MA Hasyim Asy’ari sukodono Sidoarjo .... 100
B. Penyajian dan Analisis Data...105
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pembelajaran
Muatan lokal Aswaja... 122
3. Wawasan ke-NU-an Siswa-siswi MA Hasyim Asy’ari ... 125
4. Peningkatan Wawsan ke-NU-an melalui pembelajaran Muatan lokal Aswaja ... 127
C. Analisis Data ... 129
1. Analisis Data Tentang Implementasi Pembelajaran Muatan lokal Aswaja di MA Hasyim Asy’ari ... 129
2. Analisis Data Tentang Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pembelajaran Muatan lokal Aswaja ... 142
3. Analisis Data Tentang Wawasan ke-NU-an Siswa-siswi MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo ... 144
4. Analisis Data Tentang Peningkatan wawasan ke-NU-an melalui pembelajaran Muatan lokal Aswaja di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo ... 148
BAB V PENUTUP ... 151
A. Simpulan ... 151
B. Saran ... 153
DAFTAR PUSTAKA ... 154
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Pedoman Interview
Lampiran 2 : RPP dan Silabus Pembelajaran
Lampiran 3 : Hasil Pre test dan Post tes
Lampiran 4 : Data Guru dan Siswa
Lampiran 5 : Jadwal Pelajaran MA Hasyim Asy’ari
Lampiran6 : Surat Tugas Bimbingan Skripsi
Lampiran7 : Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran8 : Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 9 : Kartu Konsultasi Bimbingan Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.1
Pendidikan merupakan sarana terpenting dalam kehidupan
berbangsa, karena dengan pendidikan tujuan negara dalam mencerdaskan
bangsa yang tercantum dalam undang-undang 1945 dalam alinea ke 4 akan
dapat tercapai. Pendidikan pula yang dapat memberikan seseorang
wawasan yang luas mengenai hal-hal spesifik yang ingin
diketahuinya.Wawasan yang sangat luas sangat dibutuhkan dalam
menghadapi perkembangan zaman terlebih mengenai munculnya
aliran-alian baru yang dapat menggoyahkan Aqidah kita. Islam memang tidak
memandang seseorang dari alirannya, namun tidak lupa dengan Hadits
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Rasulullah SAW bersabda: “Akan terpecah umatku sebanyak 73 firqoh, yang satu masuk
Surga dan yang lain masuk Neraka.” Bertanya Para Sahabat: “Siapakah
1
2
(yang tidak masuk Neraka) itu (ya Rasulullah)?” Nabi Menjawab:
“Ahlussunnnah wal Jama‟ah.”
Sehubungan dengan Hadits tersebut maka seseorang harus
memiliki wawasan yang luas terkait dengan aliran yang diikutinya terlebih
bagi pelajar Madrasah Aliyah sebagai bekal hidup di Masyarakat agar
seseorang dapat mengamalkan Amaliyah-Amaliyah yang diajarkan didalamnya.Salah satu Aliran terbesar adalah Nadhatul Ulama‟.Nadhatul
Ulama‟ dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan
bangsa dan Negara.Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islaman, juga
didasari nilai-nilai ke-Indonesiaan dan semangat Nasionalisme yang tinggi. Nadhatul Ulama‟ didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi
-pribadi muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya
dengan ajaran agama Islam serta mengembangkannya, sehingga
terwujudlah peranan agama islam dan para pemeluknya sebagai Rahmatan lil „Alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam). Sebagai organisasi
keagamaan, Nadhatul Ulama‟ merupakan bagian tak terpisahkan dari umat
islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip
persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), kebersamaan dan hidup
berdampingan antar sesama umat Islam maupun dengan sesama warga
negara yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama
mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan
3
Nadhatul Ulama‟ memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai
sebuah hak, melainkan juga kunci dalam memasuki kehidupan
baru.Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan harmonis antara
pemerintah, masyarakat dan keluarga.Ketiganya merupakan komponen
pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk melakukan
tanggung jawab dan harmonisasi.
Fungsi pendidikan bagi Nadhatul Ulama adalah Pertama, untuk
mencerdaskan manusia dan bangsa sehingga menjadi terhormat dalam
pergaulan bangsa di dunia.kedua, untuk memberikan wawasan yang plural
sehingga mampu menjadi penopang pembangunan bangsa.Organisasi ini
mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi mutu pendidikan
sekolah atau madrasah yang teratur. Dalam mengusahakan terciptanya pendidikan yang baik, maka Nadhatul Ulama‟ memandang perlunya
proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur. Sekolah atau madrasah menjadi salah satu program permanen Nadhatul Ulama‟,
disamping jalur non formal seperti pesantren.
Sekolah yang dimiliki oleh Nadhatul Ulama memiliki karakter
yang khusus, yaitu karakter masyarakat.Diakui oleh Masyarakat dan selalu
bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.Sejak
semula masyarakat mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi
oleh mental percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari
luar.Pada masa penjajahan, Nadhatul Ulama secara tegas menolak bantuan
4
kegiatannya. NU mungkin menjadi varian yang sangat pas untuk dikaitkan
dengan dinamika Aswaja diantara kelompok muslim Indonesia lainnya.
Pasalnya, disamping kesesuaian epistemologinya, juga NU-lah yang
nyata-nyata mencantumkan secara normatif dalam Anggaran Dasar
organisasinya sebagai pengikut dan pembela paham Ahlussunnah wal jama‟ah. Dicatat dalam pasal 3 perihal aqidah dan pasal 4 mengenai tujuan
sebagai berikut:2
Pasal 3. “Nadhatul Ulama‟ sebagai Jam‟iyah Diniyah Islamiyah
beraqidah Islam menurut Paham Ahlusunnah wal jama‟ah dan mengikuti
salah satu madzab empat: Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali”. Pasal
4.“Berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal jama‟ah dan
mengikuti salah satu madzab empat ditengah tengah kehidupan, didalam
wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasakan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945”.
Lembaga pendidikan pesantren yang dikembangkan para ulama‟
telah merintis arah perkembangan sosial kultural masyarakat dengan visi
keagamaan yang kuat.Jika mereka kemudian membentuk ikatan lembaga
sosial yang lebih formal, tujuan pokoknya seperti halnya lembaga
pesantren itu ialah untuk menegakkan kalimah Allah.Visi ini kemudian
dikembangkan dengan rumusan yang lebih operasional yang disebut jihad
fi sabilillah.Melalui media pesantren para ulama mengemban tugas
2
5
melaksanakan jihad untuk menegakkan kalimah Allah.Ketika dirasakan
perlunya mengembangkan kelembagaan tradisi sosial dan kultural yang
telah hidup di tengah masyarakat kearah bentuk yang lebih formal dengan
visi yang lebih luas maka didirikan organisasi sosial keagamaan sebagai
jembatan untuk mengantisipasi tugas tersebut.NU merupakan salah satu
wujud dari upaya itu, dimulai dari akar pesantren para ulama muda
pesantren merintis kegiatan-kegiatan jihad mereka.3
Motif utama yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU
ialah motif keagamaan sebagai jihad fi sabilillah.Aspek kedua yang
mendorong mereka ialah tanggung jawab pengembangan pemikiran
keagamaan yang ditandai upaya pelestarian ajaran madzhab ahlussunnah
waljamaah, aspek ketiga ialah dorongan untuk mengembangkan
masyarakat mellaui kegiatan pendidikan, sosial, dan ekonomi.Semua ini
ditandai dengan pembentukan Nahdatul Watan, Taswirul Afkar, Nahdatut Tujjar, dan Ta‟mirul Masajid. Aspek keempat ialah motid politik yang
ditandai semangat nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang
SI di Makkah serta obsesi mengenai hari depan negeri merdeka bagi umat
islam.4
Nadhatul Ulama‟ (NU) dan Ahlusunnah wal jama‟ah (Aswaja)
sebenarnya merupakan dua entitas yang saling terpaut, bagaikan 2 sisi
mata uang yang tak terpisahkan.Disatu sisi secara historis, berdirinya
3
M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia (Pendekatan Fikih dalam Politik),
(Sidoarjo: Al Maktabah, 2009), h. 357-358. 4
6
jam‟iyah keagamaan NU memang dilandasi oleh sebuah motivasi untuk
menyebarkan dan mempertahankan tegaknya ajaran Ahlussunnah wal jama‟ah.5Menurut Abu Fadhol Ahlussunnah wal jama‟ah adalah kelompok
yang senantiasa mengikuti jalan Nabi dan para sahabatnya dalam
kepercayaan atau pemahaman keagamaan, yakni mereka para
mutakallimin yang konsen kepada persoalan-persoalan teologi, fiqh dan
hadits serta mereka yang tekun dibidang tasawuf.6Nadhatul Ulama
bertujuan: Menegakkan syari‟at Islam menurut haluan Ahlussunnah wal
Jama‟ah, ialah Ahli Madzahibil Arba‟ah (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan
Hambali), mengusahakan berlakunya ajaran Ahlussunnah wal Jama‟ah
dalam Masyarakat.7
Dengan demikian dapat diperoleh pengertian bahwa aswaja dalam
NU diletakkan sebagai landasan, haluan, faham, atau akidah bagi NU.
Menilik relasi semantis kata Aswaja dalam berbagai rumusan NU tersebut
maka menurut Muhibbin Zuhri, kedudukan atau eksistensi aswaja dalam
NU dapat dikategorikan menjadi 2 makna/fungsi, yakni: sebagai kerangka
doktriner, atau dasar hukum bagi NU dalam menyelesaikan
masalah-masalah keagamaan secara qawlan. Sebagai Manhaj al-fikr atau pemberi
arahan metodologis dalam menjawab persoalan-persoalan
keagamaan.8Ahlussunnah wal jama‟ah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah
madzhab. Aswaja hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir) tertentu
5
Lukman, Perlawanan Islam, h. 17. 6
Ibid., h. 30. 7
Ibid., h. 33 8
7
yang digariskan oleh para sahabat dan para muridnya, yaitu generasi Tabi‟in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam
mensikapi situasi politik ketika itu. 9
Ahlussunnah wal jama‟ah identik dengan “ma‟ana “alaihi wa
ashabi” seperti apa yang dijelaskan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa “ Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk neraka kecuali satu golongan”. Kemudian para sahabat bertanya, “siapakah mereka itu wahai
Rasulullah?”Lalu Rasulullah menjawab, “Mereka itu adalah maana‟alaihi
wa ashabi.”10
Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW menjelaskan bahwa
golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang
dilakukan oleh Rasulullah dan para Sahabat-nya. Dalam Ensiklopedia arab dita‟rifkan bahwa Ahlussunnah wal jama‟ah itu sebagai: “Al-sunnah
secara Lughatan bermakna al-thariqah (jalan atau aliran). Dan secara
istilahan semua yang berasal dari Nabi SAW baik dalam bentuk sabda, perbuatan maupun pengakuan.Dan Ahlussunnah wal jama‟ah adalah
mereka yang berpegang pada ajaran tersebut, sekaligus membela dan
mempertahankannya.
9
Imam Baehaqi, Kontroversi Aswaja (Aula Perdebatan dan Reinterpretasi), (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 4.
10
8
Kita tahu bahwa selama ini tradisi yang dilestarikan NU seperti
tahlil, ziarah kubur, maulidan, istigotsah sudah sangat mapan karena
langsung diinternalisasikan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti
lembaga majelis tahlil, perkumpulan seperti lailatul ijtima dan pengajian,
serta lembaga-lembaga kependidikan yang didirikan oleh NU seperti pesantren, madrasah ma‟arif dan lain sebagainya.
Satuan-satuan pendidikan yang ada didalam maupun diluar
pesantren yang dikembangkan oleh warga NU sudah demikian banyak
jumlahnya. Mereka mengembangkan pendidikan sebagai bentuk
komitmen dari apa yang sudah dicita-citakan oleh NU. Dalam konteks ini
tugas organisasi sesungguhnya lebih pada mengayomi,
mengkoordinasikan dan meningkatkan mutu pendidikan yang sudah
dikembangkan.11Satuan-satuan pendidikan ini idealnya berfungsi sebagai
pioner dan model percontohan bagi satuan-satuan pendidikan di
lingkungan NU lainnya.
Menurut Muhaimin jika dilihat dari sejarahnya setidak tidaknya
ada dua faktor penting yang melatar belakangi kemunculan madrasah,
yaitu: Pertama adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem
pendidikan tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan
pragmatis masyarakat; kedua, adanya kekhawatiran atas cepatnya
perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran
sekular di Masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan
11
9
sekularisme, maka masyarakat muslim terutama para reformis berusaha
melakukan reformasi melalui upaya pengembangan pendidikan dan
pemberdayaan madrasah.12
Jadi secara historis madrasah terutama Madrasah Ma‟arif
sebenarnya lembaga yang dijadikan sebagai alat modernisasi NU dan juga
sebagai wadah jamaah (Masyarakat NU) untuk ikut serta memikirkan pendidikan serta sebagai Jam‟iyah, madrasah NU merupakan wadah untuk
melestarikan tradisi nilai-nilai lokal “Melestarikan hal terdahulu yang baik
dan merupakan hal baru yang lebih baik).
Dan tradisi NU adalah tradisi Islam.Para ulama pendiri NU dan
pengemban amanah ke-NU-an adalah para ulama muslimin, pewaris ilmu
para nabi, pelanjut dakwah Rasulullah SAW.Agama NU diartikan rakyat kita sebagai agamanya orang NU, agamanya para ulama‟ NU, maka itu
berarti mereka mengikuti yang terbaik dari tradisi para ulama dan
orang-orang NU.Dari Uswah hasanah itu mereka merasa memiliki, menjadi
bagian dari tradisi Aswaja yang diamalkan kalangan Nahdliyin.Setelah
mengikuti yang terbaik itu, mereka memaknai tradisi itu sesuai dengan
kepentingan mereka sebagai orang-orang desa, sebagai bagian dari bangsa
Indonesia.Juga mereka butuhkan untuk menjawab tantangan hidup
ini.Disini tradisi Aswaja dan pesantren itu menjadi sebuah ideologi,
sebagai satu cara pandang dan bersikap. Nah, disitulah kemudian mereka
12
10
menyebutnya “agama NU”! karena ada “kekuatan lebih” yang ada pada
tradisi NU yang mereka tidak dapatkan di tempat lain. Yakni adanya
kekuatan pembelaan terhadap apa yang dikatakan Kiai Saifuddin Zuhri dalam kutipan diatas: “Tradisi kerakyatan dalam mengabdi kepada Allah
SWT, dan menyebar kebaikan ditengah-tengah masyarakat.13
Ikatan bathin antara orang-orang desa dengan orang-orang NU
akan terbentuk suatu ideologi rakyat. Itu yang kemudian diisi oleh para
ulama NU dan para kiai pesantren menjadi sebuah tradisi Aswaja-Ahlussunnah wal Jama‟ah.Dan orang-orang desa membaca ideologi
tersebut sebagai “Agama Nu”.Tradisi ziarah makam misalnya menjadi
energi baru untuk sebuah revolusi rakyat, seperti ditunjukkan dalam
revolusi sosial di Karasidenan Pekalongan tahun 1945. Demikian pula
peristiwa heroik 10 November 1945 yang dipuji-puji oleh Tan Malaka
dalam tiga risalah politiknya, juga dibangun dari kedekatan aktor-aktornya dengan tradisi keagamaan Nu dari kobaran “resolusi jihad”
Hadlratusysyekh Kiai Hasyim Asy‟ari.14
Pada tanggal 18 Agustus 2014 pelajaran aswaja dan ke-Nu-an
sudah siap untuk diterapkan.Kurikulum Aswaja dan Ke-Nu-an sudah bisa diterapkan diseluruh madrasah dan sekolah LP Ma‟arif NU yang
berjumlah kurang lebih 13 unit. Pendidikan Aswaja dan Ke-Nu-an
diharapkan akan berjalan semakin masif kedepannya. Apalagi gerakan
13
Ahmad Baso, Agama NU untuk NKRI, (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), h. 6. 14
11
faham keagamaan garis keras juga akhir-akhir ini semakin
terang-terangan.Hanya NU yang bisa menangkal gerakan tersebut.
Mata pelajaran Muatan Lokal pengembangannya sepenuhnya
ditangani oleh sekolah dan komite sekolah yang membutuhkan
penanganan secara profesional dalam merencanakan, mengelola, dan
melaksanakannya.Dengan demikian pelaksanaan muatan lokal
memperhatikan keseimbangan dengan kurikulum 2013.Penanganan secara
profesional muatan lokal merupakan tanggung jawab pemangku
kepentingan (stakeholders) yaitu sekolah dan komite sekolah.Muatan lokal
terdiri dari beberapa macam, salah satunya adalah Aswaja/ke-Nu-an.
Pembelajaran Muatan Lokal Aswaja dikemas sangat variatif dan
menyenangkan karena didalamnya siswa diajarkan untuk mengamalkan
amaliyah-amaliyah yang berhaluan Aswaja, seperti Sholat Shubuh dengan
memakai Qunut, wiridan, Ziarah Kubur, dll.Dalam hal berbusana
khususnya para Siswi diharapkan untuk selalu pakaian yang menutup aurat
dengan berjilbab yang sopan dan anggun, serta mengenalkan
organisasi-organisasi pelajar yang berhaluan Aswaja.
Di lembaga pendidikan tempat para siswa belajar sudah dibekali
dengan pengetahuan yang berhaluan Aswaja.Namun para siswa saat ini
hampir tidak mengenal tentang Ke-NU-an bahkan dalam hal pengetahuan
karakter ke-Nu-an dan ciri khas Aswaja Implementasinya baik dari segi
12
Pre-test siswa-siswi banyak yang kurang mengetahui apa itu ke-Nu-an dan
Aswaja, pengetahuan yang dimiliki masih sangatlah dangkal. Mereka
kurang memahami arti penting adanya pembelajaran Mulok Aswaja
sehingga wawasan tentang ke-NU-an sangat minim dan pembelajaran
Mulok Aswaja hanya dijadikan sebuah wacana bukan sebagai prioritas
untuk mempelajari dan menerapkannya.Keikut sertaan siswa di
lingkungan masyarakat dengan organisasi-organisasi yang berhaluan
aswaja sudah hampir punah, para siswa saat ini lebih bangga untuk
berdiam diri dirumah dan enggan menyalurkan bakatnya melalui
organisasi tersebut.Bahkan ketika ditanya tentang teori yang berbau NU,
mereka enggan menjawab dan dirasa kurang penting.Dari sini terlihat
bahwa wawasan ke-NU-an Siswa siswi kurang mendalam meskipun sudah
diterapkannya pembelajaran Mulok Aswaja.
Dari uraian latar belakang tersebut, penulis bermaksud mengetahui
lebih lanjut tentang Peningkatan wawasan ke-NU-an melalui Pembelajaran
Muatan lokal Aswaja dengan indikator siswa dapat menjawab soal-soal
terkait ke-Nu-an serta dapat mendiskripsikan terkait ke-NU-an dan
Aswaja, serta dapat mengamalkan amaliyah-amaliyah yang berhaluan
Aswaja dan siswa dapat terlibat dalam sebuah organisasi-organisasi yang
berhaluan Aswaja. Dengan itu penulis memberi judul penelitian ini: “Peningkatan wawasan ke-NU-an melalui Pembelajaran Muatan
13
Pembelajaran Muatan lokal Aswaja di MA Hasyim Asy‟ari Sukodono
Sidoarjo. Dengan diadakannya penelitian tentang wawasan ke-NU-an,
maka peneliti berharap agar siswa-siswi memiliki wawasan yang
mendalam terkait ajaran yang berhaluan Ahlussunnah wal jamaah terlebih
dalam mengamalkan sebuah tradisi dan amaliyah-amaliyah yang
ditetapkan oleh Ahlussunnah Wal Jamaah serta dapat mengubah
prilaku-prilaku siswa-siswi yang awalnya kurang baik menjadi lebih baik.
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas, peneliti menarik rumusan
masalah dalam penelitian yang akan dilaksanakan, adapun rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut ini:
1. Bagaimana Implementasi Pembelajaran Muatan lokal Aswaja
(Ahlusunnah wal Jama‟ah) di MA Hasyim Asy‟ari Sukodono
Sidoarjo?
2. Apa Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pembelajaran
Muatan lokal Aswaja dalam meningkatkan wawasan ke-NU-an Siswa siswi MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo?
3. Bagaimana Wawasan ke-NU-an Siswa Siswi MA Hasyim Asy‟ari
Sukodono Sidoarjo?
4. Adakah Peningkatan wawasan ke-NU-an melalui Pembelajaran
14
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan Implementasi Pembelajaran Muatan lokal Aswaja
(Ahlusunnah wal Jama‟ah) di MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo
2. Mendeksripsikan Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan
Pembelajaran Muatan lokal Aswaja dalam meningkatkan wawasan
ke-NU-an Siswa siswi MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo
3. Mendiskripsikan wawasan ke-NU-an Siswa Siswi MA Hasyim Asy‟ari
Sukodono Sidoarjo
4. Mendeskripsikan adakah peningkatan wawasan ke-NU-an melalui
Pembelajaran Muatan lokal Aswaja (Ahlussunnah Wal Jamaah) di MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Sebagai khasanah bacaan tentang “Peningkatan wawasan ke-Nu-an
melalui pembelajaran Muatan lokal Aswaja di MA Hasyim Asy‟ari
Sukodono Sidoarjo
b. Sebagai bahan acuan dibidang penelitian yang sejenisnya dan
sebagai pengembangan penelitian lebih lanjut.
c. Untuk menjadi masukan dan bahan rujukan dalam meningkatkan
wawasan ke-NU-an melalui pembelajaran Muatan lokal Aswaja.
2. Kegunaan Paktis
a. Bagi penulis, Penilitian ini berguna sebagai salah satu tugas yang
15
strata satu pendidikan Islam, menambah wawasan dan pengetahuan
serta pengalaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan ke-NU-an
dan ke Aswajaan.
a. Bagi pengajar, bisa menjadi tambahan wawasan dan pengetahuan
tentang ke-NU-an dan menjadi tolak ukur dalam merealisasikan
Amaliyah-amaliyah ke Aswajaan.
b. Bagi pihak sekolah, hasil penelitian ini bisa menjadi bahan evaluasi
atau pertimbangan dalam meningkatkan wawasan ke-NU-an
melalui Muatan lokal Aswaja guna untuk mencetak siswa-siswi yang berhaluan Ahlussunnah wal jama‟ah.
E. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah
Dalam penelitian ini peneliti membatasi ruang lingkup penelitian
sebagai berikut:
1. Kawasan MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo, pada kelas X Ipa,
Ips, XI Ipa, Ips, dan XII Ipa, Ips karena seluruh siswa siswi MA Hasyim Asy‟ari menerima pelajaran Aswaja.
2. Wawasan yang dimaksud adalah Pengetahuan siswa-siswi di MA
Hasyim Asy‟ari Khususnya kelas X.Ipa, Ips dan kelas XI Ipa, Ips.dan
yang dikaji hanya terkait Aqidah dan ilmu Fiqihnya.
3. Pendidik yang mengampu mata pelajaran Mulok Aswaja berupaya
untuk membentuk Aqidah para siswa-siswinya yang berhaluan aswaja
dan membentuk pengetahuan ilmu fiqihnya melalui amaliyah yang
16
Amaliyah yang diimplementasikan oleh siswa-siswinya. Sehingga
yang dijadikan tolak ukur oleh pendidik adalah ketika siswa-siswinya
melakukan amaliyah yang berhaluan aswaja maka disitulah
siswa-siswinya juga memiliki pengetahuan yang cukup tentang ke-Nu-an.
3. Tahun ajaran 2016-2017.
Untuk memperoleh data yang relevan dan memberikan arah
pembahasan pada tujuan yang telah dirumuskan, maka ruang lingkup
penelitian akan diarahkan pada:
a. Pembahasan tentang Wawasan ke-NU-an
1) Pengertian wawasan ke-NU-an
2) Lahirnya Organisasi NU
3) Ruang Lingkup ke-NU-an
4) Prinsip dasar NU
b. Pembahasan tentang Pembelajaran Muatan lokal Aswaja
1) Pengertian Muatan Lokal Aswaja (Ahlussunnah wal jama‟ah)
2) Ruang Lingkup Muatan Lokal dalam KTSP
3) Landasan kurikulum Muatan Lokal
4) Tujuan Kurikulum dan Pembelajaran Muatan Lokal Aswaja
5) Metode Pembelajaran Muatan Lokal Aswaja
F. Definisi Operasional
Definisi operasional ini dimaksudkan untuk memperjelas dan
17
penelitian “Peningkatan Wawasan ke-NU-an Melalui Pembelajaran
Muatan Lokal Aswaja di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo”.
1. Peningkatan
Menurut epistimologi adalah menaikkan derajat taraf dan
sebagainya mempertinggi memperhebat produksi dan
sebagainya.15Menurut seorang ahli bernama Adi S, peningkatan berasal
dari kata tingkat artinya lapis atau lapisan dari sesuatu yang kemudian
membentuk susunan.Tingkat juga dapat berarti pangkat, taraf dan
kelas.Sedangkan peningkatan berarti kemajuan.Secara umum,
peningkatan merupakan upaya untuk menambah derajat, tingkat, dan
kualitas maupun kuantitas.Peningkatan juga berarti penambahan
ketrampilan dan kemampuan agar menjadi lebih baik.16
2. Wawasan ke-Nu-an (Nadhatul Ulama)
Wawasan ke-Nu-an adalah pengetahuan lebih terhadap apa - apa
yang ada didalam sebuah organisasi islam terbesar yang didirikan
sebagai perhimpunan atau perkumpulan para ulama dan jama‟ah
Ahlussunnah wal Jama‟ah yang pengaplikasiannya adalah dengan
mengamalkan amaliyah-amaliyah yang terkandung dalam ajaran Aswaja (Ahlusunnah wal Jama‟ah). Wawasan yang ingin diteliti adalah
wawasan tentang pengetahuan, pemahaman dan implementasi
amaliyah-amaliyah NU dalam kehidupan sehari-hari.
15
Peter salim dan yeni salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern press, 1995), h. 160.
16
18
3. Pembelajaran
Belajar adalah suatu aktivitas atau proses untuk memperoleh
pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap
dan mengokohkan kepribadian.17 Pembelajaran berasal dari kata “ajar”,
mendapat awalan “pe-“ dan akhiran “–an” menjadi “pembelajaran”,
yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan peserta
didik mau belajar. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta
didik agar dapat belajar dengan baik.18
4. Muatan Lokal
Muatan Lokal yang merupakan kegiatan kurikuler untuk
mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan
kesesuaian daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak
dapat dikelompokkan kedalam mata pelajaran yang ada.Substansi mata
pelajaran muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan dan tidak
terbatas pada mata pelajaran ketrampilan.19
5. Aswaja (ahlussunnah wal jama‟ah)
Aswaja adalah Ahlussunnah wal jama‟ah.Kalimat Ahlussunnah
wal jama‟ah tersusun dari tiga kata dasar. Pertama, kata ahl kata ini
mengandung dua makna, yakni disamping mempunyai arti „al „asyirah
17
Hariyanto Suyono, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2012), h. 9. 18
Tim Cosma E IAIN Sunan Ampel Surabaya, Model dan Strategi Pembelajaran, (Surabaya: 2011), h. 16.
19
19
wa dzawu al-qurba” (keluarga dan kerabat), ia juga bermakna pemeluk
aliran, pengikut madzab dan pengikut paham Sunni. Disamping itu,
kata al-sunnah dapat diartikan sebagai jalan para sahabat Nabi dan Tabi‟in.Ketiga, al-jama‟ah berarti segala sesuatu yang terdiri dari 3 atau
lebih.Dikatakan sekumpulan orang, sekawanan hewan dan
sebagainya.Sedangkan menurut Zuhri, kata jama‟ah diidentikkan
dengan penerimaan terhadap ijma‟ sahabat (Konsensus sahabat Nabi)
yang diakui sebagai salah satu sumber hukum.Sedangkan secara istilah,
makna buku ahlussunnah wal jama‟ah belum pernah ditemui.Namun
definisi yang sering digunakan untuk menyebut ahlussunnah wal jama‟ah adalah golongan yang mengikuti jalan Nabi dan para
sahabatnya.20
Dari definisi beberapa istilah diatas, maka yang dimaksud dengan
Peningkatan wawasan ke-Nu-an melalui pembelajaran Mulok Aswaja
adalah Upaya untuk menambah derajat kualitas dan kuantitas pengetahuan
peserta didik terhadap apa-apa yang ada didalam sebuah organisasi islam
terbesar melalui aktivitas memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan
memperbaiki perilaku dalam sebuah muatan lokal yang merupakan
kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi dalam haluan Ahlusunnah wal Jama‟ah yang merupakan sebuah golongan yang
mengikuti jalan Nabi dan Para Sahabatnya dan dibuktikan dengan
Keistiqomahan Siswa-siswi dalam Mengerjakan Amaliyah Aswaja dan
20
20
keikutsertaan Siswa-siswi dalam berbagai kegiatan yang berhaluan
Aswaja.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang tata urutan
penelitian ini, maka peneliti mencantumkan sistematika laporan penulisan
sebagai berikut:
Bab satu, Pendahuluan, bab ini menguraikan: Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian,
Ruang Lingkup dan Batasan Masalah, Tinjauan Pustaka, Definisi
Operasional, Metodologi Penelitian, Sistematika Pembahasan.
Bab dua, Landasan Teori, Bab ini menjelaskan tinjauan tentang
wawasan Ke-Nu-an yang meliputi: Pengertian wawasan ke-Nu-an,
Lahirnya Organisasi NU, Ruang Lingkup ke-NU-an, Prinsip dasar NU.
Muatan lokal Aswaja yang meliputi: Pengertian Muatan Lokal Aswaja (Ahlussunnah wal jama‟ah), Ruang Lingkup Muatan Lokal dalam KTSP,
Landasan kurikulum Muatan Lokal, Tujuan Kurikulum, Pembelajaran
Muatan Lokal Aswaja, Metode Pembelajaran Muatan Lokal Aswaja.
Bab tiga, Metode Penelitian, Bab ini berisi tentang: Pendekatan
dan Jenis Penelitian, Subjek dan Objek Penelitian, Tahap-tahap Penelitian,
Sumber dan Jenis data, Teknik pengumpulan data, Teknik analisis data.
Bab empat, Laporan Hasil Penelitian, Bab ini berisi tentang: Profil MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo, meliputi: sejarah berdirinya MA
21
susunan pengurus MA Hasyim Asy‟ari, program kegiatan MA Hasyim
Asy‟ari, keadaan sarana dan prasarana MA Hasyim Asy‟ari, keadaan para
guru serta keadaan siswa MA Hasyim Asy‟ari. Penyajian data, meliputi
data tentang wawasan Ke-NU-an dan sistem pembelajaran Mulok Aswaja
Siswa-siswi MA Hasyim Asy‟ari Sukodono Sidoarjo. Analisis Data, Bab
ini berisi tentang Peningkatan wawasan ke-Nu-an melalui Pembelajaran
Muatan lokal Aswaja.
Bab lima, Penutup, Bab ini berisi tentang: kesimpulan dan
saran-saran yang berkenaan dengan penelitian, kemudian dilanjutkan dengan
22
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Wawasan Ke-NU-an 1. Pengertian Wawasan Ke-NU-an
NU merupakan perpanjangan dari Nahdhatul Ulama, yang
berasal dari Kata Nahdlah dan Ulama.Nahdlah menurut bahasa berarti
“kemampuan dan potensi untuk mencapai kemajuan sosial lainnya”.
Sedangkan menurut istilah, nahdlah berarti qabul majmu’ al-nasyath
al-hadhari li ummah dzat hadharah aqdam min janib ummatin ahdats
ma’a al-qudrah fi al-tarkib wa al-tasykil”. Artinya, penerimaan bangsa
yang datang belakangan terhadap peradaban bangsa sebelumnya,
disertai kemampuan untuk meracik dan membentuk kembali
peradaban itu sesuai dengan kebutuhannya.1
Secara etimologis, al-Nahdlah berarti kemampuan, kekuatan,
loncatan, terobosan dalam upaya memajukan masyarakat atau yang
lain. Sementara secara epistemologis berarti menerima segala budaya
lama dari sisi kebudayaan yang lebih baru, dengan melakukan
rekonstruksi dan reformasi.2Secara lugas berarti kebangkitan atau
gerakan yang dipelopori para ulama.Secara teknis berarti organisasi
sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah) yang didirikan oleh para ulama
1
Lukmah Hakim Saifuddin, Islam Nusantara (Dari Ushul Fiqh hingga Konsep Historis,),
(Bandung: PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI, 2016), cet. Ke-3, h. 150. 2
23
tradisional dan usahawan Jawa Timur yang berfaham Ahlussunnah
Wal Jamaah pada tanggal 12 Rajab 1344/31 Januari 1926 M.3
Nahdlatul Ulama didirikan sebagai Jam’iyah Diniyah
Ijtima’iyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan) untuk menjadi
wadah perjuangan para ulama dan pengikutnya. Tujuan didirikannya
NU ini diantaranya adalah: Memelihara, Melestarikan,
Mengembangkan dan Mengamalkan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah Wal
Jama’ah yang manganut salah satu pola madzhab empat: Imam Hanafi,
Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, Mempersatukan
langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya, dan Melakukan
kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan
masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat
manusia.Pendiri resminya adalah Hadratus Syeikh K.H. Hasyim
Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa
Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak
adalah K.H. Abdul Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren
Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang. Kiai wahab adalah salah
seorang murid utama Kiai Hasyim.Ia lincah, enerjik dan banyak akal.
Bahkan dalam anggaran dasar yang pertama (1927) dinyatakan
bahwa organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat kesetiaan
3
24
kaum muslimin pada salah satu madzhab empat. Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan kala itu antara lain:4
a. Memperkuat persatuan ulama yang masih setia kepada madzhab.
b. Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan
pada lembaga-lembaga pendidikan islam.
c. Penyebaran ajaran islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab
empat.
d. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organaisasinya.
e. Membantu pembangunan masjid-masjid, musholah dan pondok
pesantren.
f. Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
Wawasan ke-Nu-an adalah pengetahuan lebih terhadap
apa-apa yang ada didalam sebuah organisasi islam terbesar yang didirikan
sebagai perhimpunan atau perkumpulan para ulama dan jama’ah
Ahlussunnah wal Jama’ah yang pengaplikasiannya adalah dengan
mengamalkan amaliyah-amaliyah yang terkandung dalam ajaran
Aswaja (Ahlusunnah wal Jama’ah).
2. Lahirnya Organisasi Nahdlatul Ulama
Jika kita membalik lembaran sejarah, segera terpampang bahwa
NU adalah sebuah organisasi islam yang telah banyak merasakan
garam pergolakan sejarah dan badai perubahan zaman, namun selalu
4
25
mampu berdiri tegak. Walau kadang agak terhuyung, ia tetap mampu
meneruskan perjalanannya. Tepatlah lukisan Dhofier tentang NU:
Perkumpulan Nahdlatul Ulama seperti yang kita kenal sekarang adalah pewaris dan penerus tradisi kiai.... NU telah mampu mengembangkan sesuatu yang stabilitasnya sangat mengagumkan, walaupun ia sering menghadapi tantangan-tantangan dari luar yang cukup berat. Modal utamanya adalah karena para kiai mempunyai sesuatu perasaan kemasyarakatan yang dalam dan tinggi dan selalu
menghormati tradisi. Rahasia keberhasilan kiai dalam
mengembangkan sistem organisasi yang kuat dan stabil itu terletak pada kebijaksanaan dan kesadaran mereka bahwa struktur sosial yang manapun haruslah mempercayai general consensus, bukannya mempercayakan atau menggantungkan persetujuan yang dipaksakan
atau sistem organisasi yang rumit.5
Komunitas islam tradisional telah terbentuk jauh sebelum
Nahdlatul Ulama didirikan. Nahdlatul Ulama sendiri didirikan oleh
para ulama (kyai) pengasuh pesantren pada tanggal 31 Januari 1926, di
Surabaya.Para Kyai pendiri NU adalah para pendukung, penyebar dan
pembela faham Islam Ahlussunnah wal Jamaah.Faham ini telah
mempersatukan secara organis antara ajaran tauhid, fiqih dan tasawuf.
Jadi doktrin ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana dipahami oleh NU
adalah: mengikuti paham Al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bertauhid,
mengikuti salah satu dari 4 Mahdzab (Hanafi, Maliki, Syafi’i atau
Hambali) dalam berfiqh dan mengikuti faham Al-junaidi, Al-baghdadi
dan Al-ghazali dalam bertasawuf.6
Sebelum NU berdiri, dikalangan para ulama (kyai) pesantren
sudah terbangun kesamaan faham dan wawasan keagamaan, cara
pengamalan dan ritual-ritual keagamaan. Diantara mereka juga sudah
5
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang pandangan hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1983), h. 159-160.
6
26
terjalin saling hubungan yang kuat melalui pertemuan-pertemuan
dalam berbagai upacara seperti Khaul, selamatan, hubungan
perkawinan maupun ikatan-ikatan seperguruan. Tetapi hubungan yang
erat tersebut belum terorganisir beraturan dan belum melembaga.
Cukup lama waktu antara berdirinya organisasi pembaruan dan
berdirinya NU (1911-1926 atau 1905-1926) bahkan seorang tokoh
Ulama Abdul Wahab Chasbullah pernah bekerja sama dengan Mas
Mansur (Muhammadiyah) mendirikan Taswirul Afkar (grup berpikir)
sekitar 1914-1916 di Surabaya.7 Namun sementara itu rupanya
dikalangan umat islam telah terjadi perdebatan sengit yang kadang
sampai dilakukan di depan aparat keamanan. Achmad Fedyani
Saifuddin telah mengamati hal ini dalam penelitiannya yang dibukukan
dengan judul konflik dan integrasi: Perbedaan Paham dalam agama
Islam, yang didalamnya diuraikan tentang terjadinya konflik antar
pengikut NU dan Muhammadiyah dalam bidang praktik keagamaan.8
Sebelum NU berdiri, tampaknya umat islam telah berhasil
menggalang forum persatuan, yaitu berdirinya Kongres Umat Islam
Indonesia (yang pertama berhasil diselenggarakan di cirebon pada
1922) sebagai forum bersama kelompok pembaruan dan tradisi.
Dengan ikut sertanya kaum ulama dalam kongres, sebenarnya tampak
bahwa kaum ulama (golongan tradisional) bukanlah anti terhadap
gerakan pembaruan, melainkan menentang serangan kaum pembaruan
7
Aziz Masyuri, NU dari Masa ke Masa, (t.p: 1983), h. 127. 8
27
terhadap sendi-sendi keislaman yang mereka anut.Sementara itu,
kongres disamping memunculkan polarisasi tradisional dan
pembaruan, juga memunculkan konflik antar sesama golongan
pembaruan.Sejak kongres pertama di Cirebon sampai dengan sebelum
berdirinya NU, para ulama masih dapat menuntut penghargaan dari
kaum pembaruan.
Kongres berikutnya, berlangsung di Surabaya tanggal 24-26
Desember 1924, mengangkat masalah Ijtihad, kedudukan tafsir
Almanar dan ajaran Muhammadiyah dan Al-Irsyad sebagai topik
utamanya. Perdebatan yang sengit antara unsur “tradisi” dari Taswirul
afkar dan unsur pembaharu membawa kongres pada suatu kesimpulan
bahwa Ijtihad memang masih tetap terbuka, tapi tidak bisa dilakukan
kecuali dengan syarat-syarat mengetahui nash Qur’an dan Hadits,
memahami betul Ijma para Ulama terdahulu, mengetahui bahasa arab
asbabun Nuzul sebab turunnya ayat), asbabul wurud
(sebab-sebab lahirnya hadits), dan beberapa persyaratan lainnya. Sampai pada
tahap ini, ulama-ulama pesantren yang dicap tradisional itu memang
telah berhasil memberikan warna yang cukup mencolok pada
keputusan-keputusan kongres.Tapi tidak demikian pada tahapan
berikutnya.9
Memang para tokoh penting atau para pendiri NU sebenarnya
tidak merasa asing dengan gagasan pembaruan yang sedang hangat di
9
28
Timur Tengah.Tiga tokoh ulama penting adalah alumni Makkah awal
abad ke-20.Mereka adalah Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab Chasbullah
dan Bisri Sansuri.Mereka bertiga dan KH Ahmad Dahlan pernah
belajar kepada salah seorang ulama terkenal asal Indonesia di Tanah
Suci, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau.Ahmad khatib dianggap
tokoh kontroversial.Hasyim Asy’ari tokoh paling berpengaruh yang
digelari Hadratus Syaikh, guru besar, bagi ulama-ulama jawa, juga
menerima pengaruh dari Syaikh Mahfudz at-Tarmisi yang menerima
kehadiran tarekat. Perbedaan jalan yang ditempuh oleh kaum
tradisional dengan kaum pembaru mungkin sekali terletak pada latar
belakang ulama sendiri.Ulama pesantren tidak pernah menikmati
pendidikan modern ala Barat dan hubungan yang sangat erat antara
kiai dan pendahulunya (sering bersifat genealogis atau turun temurun),
menyebabkan penerimaan para ulama terhadap gerakan pembaruan
berbeda.Mereka menyambut baik gerakan pembaruan, tetapi
menyesuaikannya dengan tradisi yang mereka anut.10
Golongan tradisional cukup peka dengan perkembangan
internasional ini.Mungkin mereka sudah melihat perbedaan antara
Kairo dan Hijaz. Kairo akan cenderung hanya pada masalah politik
(pan Islam), tetapi dengan bangkitnya penguasa baru Raja Saud yang
menganut paham Wahabiah, maka masalahnya menjadi lain. Dengan
berkuasanya Raja Saud maka nasib Madzhab dan tradisi keislaman di
10
29
indonesia sedang dipertaruhkan masa depannya. Abdul Wahab
Chasbullah seorang Ulama muda yang sangat berbakat dalam bidang
organisasi membicarakan perkembangan di Hijaz dengan Hadratus
Syaikh Hasyim Asy’ari (Pimpinan Pesantren Tebuireng) yang lebih
Senior.Mereka merasa perkembangan itu sebagai masalah penting.
“persoalan tersebut adalah merupakan persoalan besar. karena itu tidak
mungkin hanya dibicarakan berdua saja, maka pembahasan persoalan
itu akan ditingkatkan dalam forum yang jauh lebih besar lagi. Dimata
ulama yang penting adalah kehidupan keagamaan dalam arti yang
seluas-luasnya dapat berlangsung berdasarkan tradisi yang dianutnya.11
Atas saran KH Hasyim Asy’ari, Abdul wahab Chasbullah dan
kawan-kawan keluar dari komite Khalifat.Rupanya unsur senioritas
merupakan unsur penting dalam hubungan antar ulama. Untuk
menjawab tantangan yang sedang terjadi maka berkumpullah para
ulama seluruh Jawa dan Madura di surabaya (dikediaman Abdul
Wahab Chasbullah) pada 31 januari 1926 tanggal yang kemudian
menjadi lahirnya perkumpulan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi
keagamaan (jam’iyah diniyah). Pertemuan para ulama itu
menghasilkan dua keputusan penting:12
1. Meresmikan dan mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz dengan
masa kerja sampai delegasi yang diutus menemui Raja Saud
kembali ke Tanah Air.
11
Ibid., h. 49. 12
30
2. Membentuk Jam’iyah (organisasi) untuk wadah persatuan para
ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya
cita-cita izzul Islam wal Muslimin (kejayaan Islam dan Umat Islam).
Atas usul Alwi Abdul Azizi, jam’iyah ini diberi nama “Nahdlatul
Ulama”, yang artinya kebangkitan ulama
Maksoem Machfoedz memberikan catatan menarik dari
pertemuan itu:
“...dalam menghadapi pertemuan ini beberapa yang sudah gandrung dengan adanya organisasi yang patut dijadikan tempat bernaung, bertingkah menurut selera masing-masing. Mas H. Alwi Abd. Aziz mengutak-atik nama apakah yang paling serasi dengan isi dan tujuannya. K.H. Abd.Wahab Chasbullah melakukan istikharah, memohon petunjuk langsung dari yang Maha Mencipta. Dalam Istikharah itu, ia bermimpi bertemu dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Oleh beliau K.H Abd.Wahab Chasbullah diberi blankon (semacam kopiah versi pakaian jawa asli) dan sebuah sapu bulu ayam bergagang panjang, yang biasanya dipakai membersihkan
langit-langit.”13
Dalam kelahirannya kita sering melihat ciri khas NU yang
membedakannya dengan organisasi-organisasi pendahulunya.NU
adalah wadah para Ulama sebagai pimpinan umat dan pengemban
tradisi.Ia bukan sesuatu yang baru karena sebelumnya para ulama
telah bergerak dengan cara masing-masing di dalam masyarakat
terutama di Pedesaan. Para ulama bangkit untuk membela
perikehidupan umat islam di Indonesia, khususnya yang menganut
madzhab tertentu akibat pergeseran yang terjadi di dunia islam. Ia
tidak menentang gerakan pembaruan tetapi tidak pula ingin larut
begitu saja. Yang dianutnya adalah pengakuan bahwa peranan ulama
13
31
dan tradisi tidak boleh diabaikan sekalipun itu dilakukan oleh
penguasa Tanah Suci.Dengan lahirnya NU maka para ulama
menunjukan wataknya yang kritis.
NU menetapkan jam’iyyah diniyah organisasi keagamaan
tradisional. Corak kelahirannya juga khas ia tidak ditentukan oleh
seseorang yang patut disebut pendiri atau pencetus gagasan dan tidak
pula ditentukan oleh cara-cara pendirian organisasi modern.
Kelahirannya ditentukan dengan istikharah dan dikonsultasikan
dengan ulama yang lebih tua. Tentang istikharah dijelaskan oleh
Shodiq dan Shalahuddin Chaery: Sholat yang sebaiknya dilakukan
oleh umat islam untuk menentukan pilihan dari beberapa pilihan yang
meragukannya (bimbingan memilih salah satu yang paling baik
baginya). Menurut Nurcholish Madjid dalam tulisannya, pesantren
dan tasawuf, istikharah menunjukkan kuatnya pengaruh sufisme
dalam kehidupan pesantren.14
Walaupun demikian, upaya keagamaan ini pada prinsipnya
dapat diterima oleh kaum ortodoks, hanya dalam cara-cara yang
dilakukan dapat terjadi perbedaan pendapat.Istilah Nahdlatul Ulama
diresmikan setelah disetujui oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.
Kelahirannya juga berkait erat dengan sejarah masuknya islam dan
perkembangannya yang khas, berbaur dengan kebudayaan pra islam.
Pada lambang NU yang juga diperoleh melalui istikharah KH.Ridwan
14
32
sembilan bintang melambangkan walisongo. Maka tepatlah apa yang
dikatakan oleh Kenji Tsuchiya dari Universitas Kyoto Jepang bahwa
watak keislaman para kiai bukan saja tradisional, meliankan juga
“mewarisi banyak dari agama pra islam.”Sumbangan Ulama (NU)
dalam pergerakan kemerdekaan tak bisa disangkal. Melalui para
ulama dengan basis pesantren aspirasi bangsa dapat disampaikan
kepada masyarakat pedesaan yang merupakan lapisan terbesar dalam
masyarakat Indonesia.Sebuah upaya yang telah gagal dilakukan oleh
kaum pembaru (yang memang lebih banyak memusatkan kegiatannya
di kota-kota).
Faktor-faktor yang mendorong dibentuknya organisasi NU
ialah: adanya serangan terbuka dari kelompok reformis (pengikut
ajaran wahabi) terhadap faham dan praktek-praktek keagamaan para
kyai dan pengikutnya. Ajaran para kyai yang menekankan pentingnya
sistem bermadzhab dalam memahami dan mengamalkan ajaran islam
dituduh sebagai penyebab kemunduran umat islam. Berbagai praktek
ritual keagamaan seperti: Tahlilan, selamatan, ziarah kubur dianggap
bid’ah dan syirik oleh kelompok reformis.15
Terlepas dari faktor mana yang dominan yang mendorong
dibentuknya organisasi NU yang nyata terjadi selama organisasi
berjalan ialah bahwa NU merupakan organisasi pembela ajaran islam
tradisional, ia menjadi sarana (wadah) perjuangan kepentingan
15
33
kelompok islam tradisional dan berperan sebagai sarana partisipasi
mereka dalam proses pembentukan bangsa Indonesia maupun dalam
proses pencarian prinsip-prinsip penataan masyarakat dan negara
Indonesia.
Pada awalnya nampak bahwa tujuan utama didirikannya NU
adalah untuk melakukan upaya pengembangan ajaran islam tradisional
dan melindunginya dari serangan kaum reformis yang dinilai
membahayakan sendi-sendi ajaran mereka. Disamping itu
pembentukan organisasi ini juga dimaksudkan untuk memajukan atau
meningkatkan pendidikan umat Islam, kepedulian terhadap anak-anak
miskin dan anak yatim dan usaha-usaha ekonomi rakyat.16
Kepedulian para Ulama NU terhadap politik lebih
dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang menjamin kebebasan
kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran Islam, dan penyebarannya
ditengah Masyarakat.Oleh karena itu para Ulama NU tidak
mempersoalkan bentuk tertentu sebuah negara dan
pemerintahannya.Mengenai persoalan negara dan sistem
pemerintahannya merupakan urusan bersama semua warga
masyarakat, yang harus mereka sepakati bersama.17 Secara teoritis
telah dirumuskan oleh para ulama NU kedalam prinsip-prinsip dasar
sosial Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah. Yaitu: prinsip I’tidal, prinsip
16
Ibid., h. 51. 17
34
tawassuth, prinsip tawazun, prinsip tasamuh, dan prinsip al-maslahah
al-„amah.18
Menurut madzhab Syafi’iyah politik adalah penegakan lima
pokok tujuan syari’at islam yaitu: menjamin kebebasan beragama,
menjamin keselamatan jiwa, menjamin kebebasan berfikir, menjamin
kehormatan keluarga, dan menjamin hak milik atas kekayaan.19 Jadi
hubungan islam dengan masyarakat juga bersifat fungsional yaitu
islam berfungsi penuh dalam kehidupan sebuah masyarakat dan
negara melalui pengembangan nilai-nilai dasarnya sebagai etika sosial
dan politik masyarakat yang bersangkutan yang akan memandu
jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat itu sesuai dengan
martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia, demi pencapaian
kesejahteraan hidup didunia dan diakhirat.
Nahdlatul Ulama berpendirian bahwa pada dasarnya kebenaran
dan kebaikan adalah bersumber dari Allah yang terealisasikan melalui
wahyu maupun rasio (nalar) serta hati nurani manusia.Kebenaran dan
kebaikan menurut wahyu Allah yang terbukukan dalam Al-Qur’an
memang bersifat mutlak dan universal.Sedangkan kebenaran dan
kebaikan menurut akal dan hati bersifat nisbi (relatif). Tetapi
kebenaran dan kebaikan menurut wahyu (al-qur’an) yang
terlembagakan dalam ajaran dan tradisi islam mengandaikan
18
Ibid., h. 54. 19
35
partisipasi rasio dan hati nurani manusia (hasil interpretasi terhadap
wahyu Allah) dalam konteks historisitasnya.20
Dengan demikian konsep penataan masyarakat yang
dicita-citakan oleh NU melalui penetapan hukum maupun penggunaan
otoritas dan kekuasaan dalam masyarakat maupun negara tidak
bertujuan merombak seluruh capaian peradaban dan kebudayaan
(tatanan masyarakat) yang telah melembaga dalam masyarakat,
dengan hukum dan ajaran islam. Upaya penataan masyarakat yang
dicita-citakan bagi NU dapat saja dimulai dari capaian peradaban dan
kebudayaan yang telah ada kemudian menempatkan al-Quran dan
as-sunnah sebagai sumber inspirasi dan orientasi etik menuju perbaikan
sistem dan pranata kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas dan
bermartabat, yang menjamin kemaslahatan (kesejahteraan) umum,
hak-hak azazi manusia dan kestabilan/keteraturan masyarakat.21Bagi
Nahdlatul Ulama metode yang tepat dalam rangka penataan
masyarakat dan negara (membangun sistem hukum maupun sistem
politik) ialah dengan berpijak pada prinsip-prinsip dasar yang
bersumber dari ajaran al-Quran yang telah dianut oleh para ulama
Ahlussunnah wal Jamaah.
Pada dasarnya pandangan dan sikap kritis NU terhadap
fenomena politik dan implementasi wewenang negara republik
indonesia adalah implementasi visi sosial dan moral politik NU
20
Ibid., h. 60. 21
36
sebagai etika politik. Etika politik NU dalam pengertian sebagai kode
etik telah dirumuskan dan menjadi keputusan Muktamar NU XXVIII
pada tahun 1989 di Yogyakarta. Isi keputusan tersebut ialah:22
a. Berpolitik bagi NU adalah keterlibatan warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan
pancasila dan UUD 1945.
b. Berpolitik bagi NU adalah Politik yang berwawasan kebangsaan
dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita
bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir
batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia
dan kehidupan di akhirat.
c. Politik bagi NU adalah pengembangan nilai-bilai kemerdekaan
yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk
menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai
kemaslahatan bersama.
d. Berpolitik bagi NU harus dilakukan dengan moral, etika dan
budaya yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, berperi kemanusiaan
yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia,
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
22
37
e. Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani
dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan
norma-norma yang disepakati.
f. Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh
konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah
sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
g. Berpolitik bagi NU dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan
dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah
persatuan.
h. Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU
harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu dan saling
menghargai satu sama lain, sehingga dalam politik itu tetap dijaga
persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.
i. Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi masyarakat
timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim
yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang
lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana
masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi
dalam pembangunan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Politik menurut
NU adalah suatu hal sangat melekat yang tak dapat dihindari dari pola
kehidupan masyarakat NU, karena lahirnya organisasi NU sendiri
38
Indonesia.Tokoh-tokoh pendukung berdirinya NU sebagian besar juga
termasuk tokoh-tokoh yang terjun dalam dunia politik, sehingga
Eksistensi organisasi NU telah menjadi peran penting dalam dunia
Politik.
3. Ruang Lingkup Ke-NU-an (Ahlussunnah Wal Jamaah) a. Paham Keagamaan
NU didirikan dengan tujuan utama memelihara, melestarikan,
mengembangakan dan mengamalkan ajaran islam yang berhaluan
Ahlussunnah wal Jamaah dan menganut salah satu madzhab empat.
Berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah adalah dua pendirian sistem
bermadzhab para ulama pengasuh pesantren di Indonesia beserta para
pengikutnya, bahkan menjadi pendirian kaum muslimin di seluruh
dunia selama berabad-abad hingga sekarang.23
Dua pendirian itu merupakan jalan paling mantap untuk
memelihara dan mengembangkan ajaran Islam secara benar dan
lurus.Faham Ahlussunnah wal jamaah sebagai satu-satunya faham
yang lurus dan benar telah diberi definisi oleh Rasulullah SAW
sebagai faham yang berpijak pada ajaran Nabi dan praktek keagamaan
para sahabat beliau.24Karena para sahabatlah orang-orang yang
mendapatkan bimbingan langsung dari Rasulullah SAW dalam
menjalankan amaliyah keagamaan.Dengan demikian ulama-ulama
23KH. Mas’ud Yunus, dkk, Faham keagamaan dan Ideologi Kenegaraan Nahdlatul Ulama’,
(Mojokerto: PCNU Mojokerto, 2006), h. 9. 24
39
Ahlussunnah wal Jamaah (NU) menetapkan dasar-dasar ajaran Islam
yaitu Al-Quran, Hadits, Ijma’, Qiyas.Penetapan tersebut sebagai
penjabaran dari definisi Ma’ana „alaihi wa ashhabi. Untuk dapat selalu
berada pada garis Ma’ana „alaihi wa ashhabi, dan untuk menjamin
kesinambungan pemikiran dan sumber-sumbernya NU mengikuti pola
sistem bermadzhab, artinya mengikuti serangkaian tata cara tertentu
yang tertumpu kepada madzhab.25
Ahlussunnah Waljamaah, tidak lain adalah paham Islam secara
menyeluruh. Ruang lingkup paham Ahlussunnah Waljama’ahmeliputi
tiga lingkup, yakni lingkup Akidah, Ibadah, dan Akhlak.26Selanjutnya,
untuk membedakan lingkup-lingkup Ahlussunnah Waljama’ah
tersebut dengan lingkup-lingkup paham lain, perlu ditegaskan dengan
menyebutkan masing-masingnya menjadi Akidah Ahlussunnah
Waljama’ah, dan Akhlak Ahlussunnah Waljama’ah.
1) Akidah Ahlussunnah Waljamaah
Sebagaimana substansi paham Ahlussunnah Waljamaah
adalah mengikuti Sunnah Rasul dan Tariqah Sahabat (utamanya
Sahabat Empat) dengan berpegang teguh kepada petunjuk al-Quran
dan al-Sunnah (al-hadits).27
Adapun institusi akidah (kalam) yang sejalan dengan
paham Ahlussunnah Waljamaah ialah institusi Akidah yang
25
Ibid., h. 11-12. 26
Noer Iskandar Al-Barsany, Aktualisasi Paham Ahlussunnah Waljamaah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), h. 20.
27
40
dicetuskan oleh Al-Asy’ari dan al-Maturidzi.28Meskipun tidak
sama persis pemikiran kalam mereka berdua, tetapi pemikirannya
tetap committed terhadap petunjuk naql. Keduanya sama-sama
mempergunakan akal sebatas untuk memahami naql, tidak sampai
mensejajarkan apalagi memujanya.Bahkan secara terang-terangan
melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan
menentang logika Mu’tazilah yang perlu memuja Akal dan nyaris
mengabaikan petunjuk naql.Perbedaan Doktrinal Kalam Al-Asy’ari
dengan Al-Maturidi sebagai berikut: Menurut Keterangan Syekh
Abd al-Rahim bi „Ali, yang populer dengan nama Syekh Zadah,
antara pemikiran kalam al-Asy’ari dengan al-maturidi terdapat
beberapa perbedaan, dan perbedaan itu lebih bersifat lafdziyah
(redaksional) dan ma’nawiyah (makna) bukan perbedaan esensial
pemikiran yang bisa berakibat saling memusuhi dan saling
mengkafirkan satu sama lain.29
Dalam memahami Arti Qada’ dan Qadar kedua Imam
tersebut berbeda pendapat. Menurut al-Maturidi, qadar ialah
kepastian Tuhan pada zaman azali terhadap segala sesuatu dimana
akan ditemukan keuntungan dengan kapasitas itu, juga apa saja
dikuasai oleh waktu dan tempat. Sedangkan Qada’ menurutnya
ialah terjadinya perbuatan.30Pandangan tersebut mengacu pada
28
Soeleiman, Mohammad, Antologi NU, h. 12. 29
Noer Iskandar al-Barsany, Pemikiran Kalam Imam Abu Mansur Al-Maturidi (Perbandingan
dengan kalam Mu’tazilah dan al-Asy’ari), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 76.
30
41
keterangan ayat Al-qur’an Q.S Al-Furqan: 02 dan hadis yang
berbunyi:
Artinya: “yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan
bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu
baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala
sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya.”
Maksudnya: segala sesuatu yang dijadikan Tuhan
diberi-Nya perlengkapan-perlengkapan dan persiapan-persiapan, sesuai
dengan naluri, sifat-sifat dan fungsinya masing-masing dalam
hidup.Sementara itu menurut al-Asy’ari qada’ ialah kehendak
Tuhan pada zaman Azali yang menentukan susunan makhluk yang
ada menurut tertib khusus.Sedangkan qadar ialah ketergantungan
kehendak itu terhadap sesuatu pada waktu-waktu tertentu.
Pandangan tersebut antara lain mengacu pada sebuah hadits tentang
dua orang Muzainah yang bertanya kepada Rasul SAW: Ya Rasul
bagaimana menurut tuan tentang perbuatan yang dilakukan
42
sebelumnya dengan QadarNya ataukah masih akan dilaaminya?
Jawab Rasul: “Bukan