BHINEKA TUNGGAL IKA
(Studi Tentang Pemahaman dan Sikap Santri Terhadap Semboyan
Negara Kesatuan Republik Indonesia di Pesantren Luhur Al-Husna
Surabaya)
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S-1) Dalam Bidang Ilmu Ushuludin Dan Filsafat
Oleh:
Muhammad Khoirudin
E02212025
PROGAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemhaman dan sikap santri pesantren luhur al-Husna Surabaya terhadap semboyan NKRI (Negara Kesatuan Repblik Indonesia) yaitu Bhineka tunggal ika serta unsur-unsur yang mengkonstruk pemahaman dan sikap santri tersebut. metode yang digunakan dalama penelitian ini adalah penelitian lapangan. Sumber data yang dipakai mengacu pada wawancara, observasi serta dokumen dokumen yang ada pada pesantren tersebut. hasil penelitian ini menggambarkan bahwa santri dalam pesantren luhur al-Husna ini memiliki kemampuan untuk memahami dan bersikap sewajarnya terhadap perbedaan yang ada. Santri dalam pesantren ini melihat perbedaan sebagai hal yang harus dijaga keharmonisannya, dengan cara saling menghargai antarsuku satu dengan suku yang lainnya, antara satu budaya dengan budaya lainnya. Adanya sebuah keharmonisan yang terjadi antara satu dengan yang lainnya ini merupakan realitas sosial yang terjadi. Realitas sosial dalam kaitanya dengan hal ini ada beberapa hal yang mengkonstruk pola fikir masyarakat. Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman konstruksi sosial terbagi menjadi tiga macam dalam dialektikanya membaca realitas sosial, eksternalisasi, dalam hal ini santri memakai bahasa yang dipakai oleh santri yang lainnya meskipun beda suku dan bahasa. obyektifasi, kaitannya dengan ini santri memahami bhineka tunggal ika ini dari sekolah umum yang kemudian ketika sudah di pesantren luhur al-Husna ini mereka mendapatkan ilmu tentang kebhinekaan dari pengasuh dan ustadz. Dan yang terakhir Internalisasi proses ini dilakukan santri ketika mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk berhubungan dengan santri yang satu dengan yang lainnya.
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iv
PENGESAHAN ... v
PERYATAAN KEASLIAN ... vi
MOTTO ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABLE ... xiv
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian... 4
D. Manfaat Penelitian... 5
E. Kerangka Teori ... 6
F. Telaah Pustaka... 8
G. Metode Penelitian ... 12
H. Sistematika Penulisan ... 21
BAB II: BHINEKA TUNGGAL IKA DAN TEORI KONSTRUKSI SOSIAL A. Bhineka Tunggal Ika ... 23
B. Eksistensi Bhineka Tunggal Ika dalam Kehidupan Sosial ... 26
C. Teori Konstruksi Sosial ... 35
BAB III: PENYAJIAN DATA PENELITIAN A.Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya ... 40
B.Keadaan Sosial Santri ... 46
C.Pemahaman Serta Sikap Santri Terhadap Semboyan Bhineka Tunggal Ika ... 50
BAB IV: ANALISIS DATA A. Temuan Hasil Penelitian ... 59
BAB V: Penutup
A. Kesimpulan ... 68 B. Saran ... 67
Daftar Pustaka ... 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bhinneka Tunggal Ika yang kita kenal sebagai semboyan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah cita-cita dari para pembangun bangsa
ini. Sempalan kata-kata yang dikarang oleh Mpu Tantular ini seakan-akan sudah
menajadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari Republik ini. Hal ini terjadi
karena semboyan Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi 4 pilar kehidupan berbangsa
dan bernegara. 4 pilar ini terdiri dari Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhineka
Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.1
Kita sebagai bangsa yang memiliki kemajemukan Suku, Agama, dan Ras bisa
lebih mengoptimalkan adanya semboyan Bhinneka Tunggal Ika, “berbeda-beda tapi
tetap satu jua” itu sendiri. Karena perlu pembaca ketahui, meskipun mempunyai
semboyan tersebut, tingkah laku beberapa rakyat Indonesia masih ada yang bersikap
intoleran terhadap hal-hal yang tidak sependapat, tidak sefikiran dan tidak sewilayah
dengan mereka. Jika menarik kembali ke belakang, dimana asal dan usulnya
semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri merupakan sebuah cita-cita leluhur
pembangun bangsa ini.
1
2
Indonesia adalah Negeri yang kaya keberagaman budaya. Kemajemukan
budaya tersebut merupakan suatu keniscayaan yang pasti kita jumpai dalam setiap
masyarakat di manapun. Namun demikian, meskipun secara fisik manusia telah
mampu untuk tinggal bersama dalam masyarakat majemuk, secara sosial- spiritual
mereka belum memahami arti sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang
memiliki perbedaan kultur. 2
Dari berbagi macam perang dan konflik, maka konflik yang paling
mengerikan dan merugikan adalah konflik antar-sukubangsa. Konflik antar suku
bangsa lebih banyak terjadi dan lebih mengerikan dari pada berbagai perang antar
negara dalam perang antar Negara. ada Konvensi Jenewa yang melindungi hak-hak
kemanusiaan dari prajurit, sedangkan dalam konflik antar sukubangsa intinya adalah
penghancuran suku bangsa pihak lawan dan segala atribut-atributnya. Seperti yang
kita ketahui, kasus yang terjadi di Ambon dan Maluku yang menelan ribuan korban
tewas yang menggambarkan konflik agama dan suku secara berdempetan. Kekerasan
demi kekerasan berlanjut, bermula dari konflik kecil merembet menjadi konflik yang
besar, seperti konflik antar etnis dan antar agama. Kasus yang lain yang
mencerminkan kasus antar suku, seperti pembantaian oleh suku dayak terhadap suku
Madura di Sampit, Kalimantan Tengah yang telah menewaskan ratusan warga
Madura. Di poso Sulawesi tengah dimulai dari perkelahian antar warga berubah
menjadi konflik agama islam dan Kristen. Hal ini sangat mencoreng nama Indonesia.
2
Zakiyuddin Baidhawy, Reinvensi Islam Multikultural,(Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, 2005), ix
3
Sebagai Negara yang sangat menjunjung tinggi akan loyalitasnya dengan persatuan
bangsa, dengan semboyan bangsa ini yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Konflik-konflik
besar yang terjadi kebanyakan memiliki kesamaan yaitu dimulai daripada
konflik-koncil yang dianggap kecil.
Melihat dari Fenomena-fenomena yang telah disebutkan sebelumnya di atas,
yang sangat merisaukan masa depan bangsa ini, penulis merasa perlu melakukan
penelitian mendalam terhadap masalah sikap Santri terhadap Kemajemukan Suku dan
Ras di pesantren Luhur Alhusna. Meskipun pesantren ini semua santri memeluk
agama islam, akan tetapi pesantren ini memiliki santri yang berbeda suku, dan ras
dari berbagai pulau di Indonesia.
Di dalam kehidupan sehari-hari, sangat mungkin terjadi Gesekan-gesekan
antar santri. Akan tetapi gesekan yang terjadi kemungkian tidak sampai pada
kerusuhan antar kelompok suku, karena sekala masih kecil dan masih wajar. Akan
tetapi, bukankah ada peribahasa, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit? Bisa
saja di pesantren tidak terjadi apa-apa, karena mungkin kalah jumlah, dan kelompok
tertentu merasa menjadi minoritas, tetapi waktu diluar menjadi beringas dan kejam
akibat sakit hati yang terpendam cukup lama. Hal seperti itu bisa saja terjadi, dan ada
peluang untuk kejadian seperti pembantaian, perusakan bahkan kerusuhan antar
kelompok. Maka dari itu, bagaimana kita sebagai akademisi bisa menyadarkan
masyarakat yang ada, persatuan itu penting adanya, melalui semboyan Bhinneka
4
Selain pemaparan yang penulis kemukakan diparagraf di atas, hal yang
menarik untuk melakukan penelitian di pesantren luhur Alhusna ini yaitu gaya
pengasuh yang lebih menekankan pada nasionalisme para santri. pemikiran pengasuh
pesantren luhur alhusna, yang menekankan bahwa nasiaonalisme tidak dibangun
dengan sentiment ke imanan. Akan tetapi dibangun atas nama pluralitas (al-ummah),
rasa persaudaraan (al-qauniyah), solidaritas dalam keragaman (al-syu’ubiyah),
kesederajatan (al-musawah), dan cinta tanah air (al-wathaniyah). semua hal tentang
nasionalisme ini dapat ditemui pada saat pengasuh pesantren menyampaikan
pengajian, baik di dalam pesantren maupun di tempat undangan pengajian umum
serta dalam buku-buku pengasuh Pesantren Luhur Al-husna yang bertemakan
Nasionalisme. Dari pemaparan yang disampaikan oleh pengasuh dalam sebuah kajian
kitab ini banyak mengkonstruk pola fikir santri terhadap kesadaran tentang adanya
berbedaan. Tetapi berbedaan yang ada harus mewujudkan sikap menghargai
perbedaan itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa sangat perlu
merumuskan masalah agar pembahasan mengarah pada satu titik konkrit dan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Adapun perumusan masalah tersebut adalah :
1. Bagaimana pemahaman Santri Pesantren Luhur Al-Husna tentang makna
5
2. Bagaimana sikap santri pesantren luhur Al-husna dalam mengamalkan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari?
3. Bagaimana konstruksi sosial dalam membentuk sikap kebhinekaan santri
Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mencapai hasil yang optimal dalam melakukan apapun, seorang harus
memeiliki tujuan yang akan dicapai. Begitu pula dengan penulisan penelitian ini.
Tujuan yang hendak penulis jelaskan, yaitu :
1. Untuk mengetahui pehaman santri pesantren Luhur al-husna tentang makna yang
terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika
2. Untuk mengetahui pengamalan semboyan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
3. Untuk mengetahui konstruksi sosial yang membetuk sikap kebhinekaan santri
Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya?
D. Manfaat Penelitian
Dalam kerangka penelitian ini paling tidak terdapat beberapa manfaat yang
dapat di ambil, di antaranya:
1. Secara Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai semboyan Bhinneka
6
b. Memberikan wawasan kepada Masyarakat mengenai Bhinneka Tunggal Ika
sebagai Semboyan Bangsa Indonesia yang nantinya bisa diharapkan sebagai
wadah untuk kehidupan yang rukun, adil, dan makmur.
c. Untuk menambah khasanah keilmuan pada mata kuliah Civic Education.
Secara Praktis
a. Menjawab adanya keraguan yang ada di tengah-tengah masyarakat terhadap
semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya dipahami sebagai kata-kata tanpa
makna karena masih banyaknya sikap intoleran terhadap perbedaan yang
ada.
b. Masyarakat Indonesia Umumnya dan Umat Islam Indonesia lebih
menghargai adanya perbedaan dan keragaman yang terdapat di Indonesia
c. Memberikan kesadaran kepada masyarakat Indonesia khususnya umat islam
bahwa perbedaan itu bukan suatu penghalang untuk menjalin suatu kerja
sama walau berbeda suku, agama, dan ras.
E. Kerangka Teori
Permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini benar-benar nyata
terjadi di dalam masyarakat Pesantren Luhur Al-husna Surabaya, Oleh karena itu
penulis mencoba melihat masalah yang ada di masyarakat tersebut dengan
menggunakan teori konstruksi sosial. Karena dalam teori ini Berger dan Lucman
menjelaskan proses kehidupan manusia terjadi proses dialektis. Proses dialektis
7
Eksternalisasi. Eksternalisasi merupakan usaha mengekspresikan diri manusia
ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan
bentuk pencurahan diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat.
Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia.3
Objektifikasi, objektifikasi merupakan hasil yang telah dicapai, baik mental
maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Produk manusia
kemudian berada di luar dari manusia. Dunia manusia yang terjadi dalam
eksternalisasi, menurut mereka (Berger dan Luckman) dapat mengalami proses
pembiasaan yang kemudian mengalami pelembagaan.4 Kelembagaan berasal dari
proses atas aktivitas manusia. Setiap tindakan yang sering di ulangi, akan menjadi
pola. Pembiasaan yang berupa pola, dapat dilakukan kembali di masa mendatang
dengan cara yang sama dan juga dapat dilakukan dimana saja. Dibalik pembiasaan ini
sangat mungkin terjadi inovasi.
Internalisasi, internalisasi merupakan suatu pemahaman individu secara
langsung atas peristiwa objek sebagai ungkapan makna. Dalam internalisasi, individu
mengidentifikasi diri dengan berbagai lembaga sosial atau organissasi sosial dimana
individu menjadi anggotanya.5
Etnis merupakan konstruksi sosial dan budaya yang mempeoleh arti dalam
serangkaian interkasi. Etnis yang telah bercampur dengan etnis lain yang antar
mereka bersinggungan bahkan berhimpitan tidak lagi berada pada situasi fisik yang
3
Berger, Petter L. & Thomas Lucman, Tafsir Sosial Atas Kenyataanm, (Jakarta; LP3S, 1990), 75
4
Peter L. Berger and Thomas Lucman, Tafsir Sosial, 75-76
5
8
tegas. Dalam suasana yang multi etnis budaya, dan suku seperti yang tergambarkan
pada Pesantren Luhur Al-husna itu, kesuku bangsaan menjadi sesuatu yang tegas
dalam serangkaian interkasi. Di satu sisi ia merupakan potensi yang membentuk
identitas, dan ciri-ciri pembeda satu dengan lainnya, seperti warna kulit, ostur tubuh,
bahasa dan sebagainya. Di sisi lain kesukubangsaan merupakan faktor yang bisa
menimbulkan konflik sosial karena identitas tadi digunakan sebagai pembeda yang
eksklusif dan menjadi pemisah.
F. Telaah Pustaka
Kajian mengenai Semboyan Bhinneka Tunggal Ika akan banyak mengaitkan
antara keberagaman kultur, budaya, agama dan ras masyarakat Indonesia, dan akan
banyak memakai istilah-istilah Pluralisme serta multikulturalisme karena Bhineka
Tunggal Ika, mempunyai latar dari kemajemukan bangsa Indonesia. Hal semacam ini
banyak ditulis, di soroti dan di teliti oleh para pakar di bidangnya, diantaranya adalah
Yudi Latif6, Zuli Qodir7 dan I Nyoman Pursika8. Dalam Tulisan Yudi yang berjudul
“Bhinneka Tunggal Ika, Suatu Konsepsi Dialog Keragaman Budaya” yang ditulisnya
di dalam buku Fiqih Kebhinekaan ini lebih mengerucut pada sisi Bhinneka Tunggal
Ika sebagai wadah untuk berdialog antar budaya. Masyarakat yang multi keragaman
seperti Indonesia ini harusnya memanfaatkannya sebagai langkah yang revolusioner
6
Yudi Latif, “Bhinneka Tunggal Ika, Suatu Konsepsi Dialog Keragaman Budaya”, dalam Fikih Kebinekaan (Bandung; PT. Mizan Store, 2015), 279
7 Zuli Qodir, “Kebhinekaan, Kewargaan, dan Multikulturalisme”,
Jurnal Unisia, Vol 31, No 68 (2008), 1
8 I Nyoman Pursika, “kajian analitik terhadap semboyan bhinneka tunggal ika”,
9
untuk mengembangkan serta memajukan bangsa dalam sektor kebudayaan, dimana
masyarakat bergotong royong dengan penuh semangat membangun Indonesia sebagai
Negara yang mempunyai karakter yang beragam. Karakter itulah nantinya bisa di
arahkan sebagai dasar kehidupan yang damai. Yudi juga menambahkan memberi isi
pada kehidupan kebangsaaan berarti memberi prasyarat budaya untuk bagkit. Seperti
mitos lama yang mempercayai bahwa kemenangan suatu kelompok etnis-keagamaan
harus dibayar oleh kekalahan kelompok lain harus diakhiri, kepercayaan baru harus
dimunculkan dengan ejembaran untuk berbagi kebahagiaan dengan merayakan
kemenangan secara bersama-sama. Lebih jauh lagi yudi juga meneulis bahwa
kekayaan Indonesia sebagai negeri multicultural tidak boleh dibiarkan terus berjalan
dalam situasi “Plural Monokulturalisme” yang berjalan sendiri-sendiri tanpa
berinteraksi.
Berbeda dengan Yudi, Zuli dalam artikel tulisannya di dalam jurnal Unisia
yang berjudul “Kebhinekaan, Kewargaan, dan Multikulturalisme” menegaskan
bahwa pada adanya silang sengkarut perdebatan tentang kebhinekaan yang terdapat di
Indonesia. Tulisan Zuli ini mengkritisi adanya kegagalan dalam mengelola
Multikultural yang ada di Indonesia pada zaman orde baru. Negara gagal dalam
mengelola kebhinekaan karena hanya mengakomodir apa yang menjadi imajinasi
kekuasaan tentang kebhinekaan, bukan hakikat kebhinekaan yang menjadi ruh dan
nyawa keindonesiaan. Pendekatan kebudayaan tidak pernah dilakukan oleh para
penguasa negeri ini dalam melihat kebhinekaan. Kebhinekaan dilihat dalam kaca
10
menguntungkan secara ekonomi dan politik maka kebhinekaan yang merupakan ibu
kandung nusantara tidak menjadi prioritas dalam praktek politik kekuasaan.
Kolonel “Asbun” Sudomo adalah arsitek yang mengharamkan pembahasan
SARA di Indonesia, sehingga siapa saja dituduh subversive untuk yang
membahasanya. Dengan demikian banyak akibat yang akan diderita bagi mereka
yang membahasnya. Sebagai alternative ke depan, Indonesia harus memikirkan
kembali rekonsiliasi atas pergolakan-pergolakan yang pernah terjadi seperti dalam
konflik kekerasan sosial yang memakan banyak korban jiwa dan material, sehingga
Indonesia menjadi juara dunia dalam konflik. Tawarannya adalah negosiasi Negara
dengan masyarakat yang multi SARA, sebagai basis Indonesia dipertimbangkan.
Bernada yang sama dengan tulisan dari zuli tentang alternative pemahaman
Bhineka Tunggal Ika menjadi suatu keharusan yang untuk dipahami dan dijalankan
oleh masyarakat Indonesia karena menjadi semboyan Negara, maka dari itu I
Nyoman Pursika dalam tulisannya yang berhjudul “Kajian Analitik Terhadap
Semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”” berusaha menjelaskan akan pentingnya menjaga
kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia dengan menekankan pentingnya
pemahaman terhadap Bhineka Tunggal ika.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan jiwa dan semangat bangsa
Indonesia yang mengakui realitas bangsa yang majemuk, namun tetap menjunjung
tinggi kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika merumuskan dengan tegas adanya harmoni
antara Kebhinnekaan dan ketunggalikaan, antara keanekaan dan keekaan, antara
11
monisme. Bhinneka Tunggal Ika adalah cerminan keseimbangan antara unsur
perbedaan yang menjadi ciri keanekaan dengan unsur kesamaan yang menjadi ciri
kesatuan. Mensinergikan perbedaan dalam kebhinekaan perlu dilakukan untuk
mengantisipasi terjadinya bahaya disintegrasi, sekaligus untuk mewujudkan cita-cita
integrasi. Kuncinya, harus ada kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk melihat
kesamaan pada sesuatu yang berbeda.
Perbedaan dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia merupakan suatu
kenyataan. Karena itu janganlah membeda-bedakan kenyataan yang memang sudah
berbeda. Membeda-bedakan sesuatu yang berbeda hanya akan menimbulkan bahaya
disintegrasi. Perbedaan dalam kebhinnekaan perlu disinergikan atau dikelola dengan
cara mendayagunakan aneka perbedaan menjadi modal sosial untuk membangun
kebersamaan. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran, kemauan, dan kemampuan
untuk melihat kesamaan pada sesuatu yang berbeda.
Melihat tulisan dari beberapa penulis yang terdapat di atas dapat dikatakan
bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian terdahulu. Jika
penelitian terdahulu berbicara masalah kbhinekaan untuk tataran wilayah umum,
seperti menggunakan atau mensinergikan keberagaman yang ada untuk
mengembangkan sector kebudayaan yang ada, sedangkan pada penelitian yang
dilakukan penulis ini lebih condong pada mensinergikan kebhinekaan untuk
keharmonisan hidup dalam keberagaman pada santri di dalam sebuah lingkup yang
12
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara menurut aturan system tertentu mengarahkan suatu
kegiatan praktis agar terlaksana secara rasional guna untuk mencapai hasil yang
optimal. dengan demikia agar penelitian tentang Kebhinekaan dalam perspektif santri
ini dapat terarah dan sistematis, maka dalam hal menulis ini menggunakan metode
penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (Field Research), berpacu
pada pengertian lapangan sendiri adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data baik dengan cara wawancara, observasi dan pemeriksaan
dokumen.
Penggunan metode penelitian dalam sebuah penelitian akan memudahkan
peneliti untuk mengungkap masalah yang ada dalam masyarakat. Metodologi adalah
suatu proses yang kita gunakan untuk mendekati permasalahan dalam mencari
jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum yang
digunakan untuk mengkaji topik penelitian. 9
Sedangkan dalam melaksanakan penelitian skripsi ini penulis mengunakan jenis
penelitian kualitatif dengan metode diskriptif kualitatif. Alasan penulis memilih
metode dekriptif kualitatif adalah:
9
13
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi atau gambaran mengenai
pemahaman dan sikap santri Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya Terhadap
Semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Untuk memperoleh data akurat, peneliti merasa perlu untuk terjun langsung ke
lapangan dan memposisikan dirinya sebagai instrument penelitian, sebagai salah
satu ciri penelitian kualitatif.
Menurut Lexy J. Moleong yang mengutip pendapat bagdan dan taylor bahwa
penelitian kualitatif adalah prosedur yang menghasilkan data diskriptif berupa kata–
kata tertulis atau tulisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan
menurut Kurt dan Miller Mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi
tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
penelitian manusia dan wawasannya sendiri serta berhubungan dengan orang-orang
tersebut dalam bahasannya dan istilahnya.10
Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian jenis deskriptif adalah pendekatan
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau jenis fenomena.
Dalam pendekatan ini peneliti hanya ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan
dengan suatu penelitian deskriptif sehingga dalam penelitiannya tidak perlu
merumuskan hipotesis.11
Dengan demikian penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan deskriptif
adalah penelitian yang berdasarkan atas pandangan fenomenologis. Dalam suatu
10
Lexy J. moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya 2001), 3
11
14
setting holistic atau secara utuh berusaha memahami suatu kejadian dalam kaitannya
dengan individu dalam situasi yang sedang terjadi saat itu. Lokasi penelitian
dilakukan di Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya. Secara Geografis Pesantren ini
terletak di kelurahan Jemursari, Kecamatan Wonocolo kota Surabaya.
Sebagai usaha untuk memperoleh kevalidan data dalam penelitian ini
digunakan sumber data. Sumber data ini diperoleh dari santri, dan pengurus pesantren
Luhur Al-Husna Surabaya, yang diharapkan dapat memberikan informasi terkait
penulisan penelitian ini.
2. Jenis & Sumber Data
Validitas merupakan sesuatu yang sangat penting dan mutlak sifatnya
dalam setiap penelitian. Dalam studi kasus di mana peneliti merupakan instrumen
utama dalam mengumpulkan dan menginterpretasikan data, maka validitas hasil
penelitian merupakan sesuatu yang sangat riskan sifatnya.
Sumber data pertama adalah Dokumen. Informasi dokumenter sangat relevan
untuk setiap topik dalam penelitian studi kasus. Proses pengumpulan dokumen
(bahan-bahan tertulis) sebagai dasar penelitian dapat dilakukan dengan
pengumpulan data.
Sumber data selanjutnya adalah Wawancara. Wawancara bisa dilakukan secara
formal dan direncanakan sebelumnya. Bisa juga bersifat informal. Wawancara
bertujuan untuk memperoleh informasi dengan menyelidiki pengalaman masal lalu
15
mereka. Dalam pengumpulan data kualitatif, tanggapan orang-orang yang
diwawancarai terhadap pertanyaan anda menentukan bagaimana wawancara
berkembang, serta menindak lanjuti jawaban mereka dengan pertanyaan-pertanyaan
selanjutnya.12
Memperoleh data dalam bentuk yang sudah jadi (tersedia) melalui publikasi
dan informasi yang dikeluarkan diberbagai organisasi atau perusahaan.13 Peneliti
menggunakan data pada studi pustaka yang berkaitan dengan materi yang
mendukung penelitian ini. Data ini bisa diperoleh dari berbagai sumber seperti;
buku-buku, surat kabar, majalah, jurnal, artikel dan lain-lain. Kedua data ini
akan saling melengkapi dan menguatkan satu sama lain.
Selain jenis di atas, penulis juga memerlukan sumber data yang dapat
mendukung judul skripsi. sumber data merupakan subyek dari mana data diperoleh.
sumber data tersebut salah satuya ialah meliputi peneliti, subyek penelitian (Informan
inti dan informan pendukung).14
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian, maka metode pengumpulan data sangat berfungsi
demi keberhasilan penelitian guna untuk mendapatkan data yang valid dan obyektif.
12
Christine Daymon, Immy Holloway., Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relations & Marketing Communications, Yogyakarta: Penerbit Bentang Anggota IKAPI, 2008, hlm 262.
13 Rosady Ruslan., Metode Penelitian (Public Relations dan Komunikasi)…. hlm 30. 14
16
untuk itu, penulis menggunakan metode pengumpulan data bisa dengan
menggunakan teknik dari dokumen-dokumen yang telah ada.15
Metode pengumpulan data ini yakni melalui pencarian dan penemuan
bukti-bukti berupa teks. teks yang dimaksud adalah data yang berupa buku, soft field,
jurnal, catatan, arsip-arsip resmi, rekaman, serta berita dan sebagainya yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti. selain itu sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yaitu dengan cara mengabadikan suatu data
untuk diarsipkan sebagai dokumen yang berasal dari buku-buku lain yang
mendukung pengalaman dan ketajaman analisis penelitian.16
Dalam proses pengumpulan data terdapat beberapa metode untuk dapat
mendapatkan data yang valid dan obyektif, maka dibutuhkan cara dan teknik dalam
proses pengumpulan data dalm penelitian ini. adapaun beberapa metode yang
diguakan dalam pengumpulan data dari penelitian ini diantaranya ialah.
a. Observasi
secara umum dalam penggunaaanya metode observasi adalah serangkaian
catatan dan pengamatan terhadapa gejala-gejala yang menjadi obyek peneliti
secara struktural, yang sesuai dengan tujuan dari penelitian ini sperti
menggunakan dan memanfaatkan melalui panca indra (mata, lidah, kulit,
telinga & Hidung).
15 Moleong J Lexy, Metode Penelitian Kualitatif …. Hlm 19 16
17
Penulis menggunakan metode ini sebagai alat untuk mengamati perilaku
Kebhinekaan didalam diri Santri Pesantren Luhur Al-husna. Alasan penulis
menggunakan metode ini adalah untuk memberikan penyajian secara jelas
bagaiamana proses kejadiannya.
b. Wawancara
metode yang penulis gunakan selanjutnya adalah dengan melakukan
proses wawancara. wawancara adalah proses penggalian data dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka maupun tidak antara peneliti dengan
informan. adapun teknik bertanya dalam wawancara terbagai menjadi dua
kelompok yaitu wawancara berstruktur, dimana pewawancara menyiapkan
serta menyusun pertanyaan sebelum melakukan wawancara. tehnik
wawancara yang kedua adalah wawancara tidak terstruktur. artinya
pertanyaan yang ditanyakan ke informan adalah pertanyaan tanpa penyusuan
atau persiapan. biasanya hal ini dilakukan mengikuti dan melihat situai dan
kondisi selama proses wawancara.
c. Dokumentasi
Dalam proses penggunaannya sebagai metode pengumpulan data yang di
peroleh dari dokumen-dokumn, yakni data yang berupa catatan, gambar,
buku, koran, jurnal dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pembahasan
penelitan. adapun buku-buku yang digunakan ialah segala yang berhubungan
18
4. Keabsahan Data
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid maka dalam penulisan
penelitian ini, penulis menggunakan cara menyesuaikan antara teori dengan data yang
diperoleh dari lapangan.
data yang diperoleh dari lapangan merupakan proses yang terjadi dengan cara
terjun langsung kelapangan untuk melakukan serangkaian penelitian, yang mengacu
pada metode pengumpulan data, proses ini berupa, wawancara, observasi atau
pengamatan, dan dokumentasi sehingga mendapatkan data yang akurat.
5. Metode Analisa Data
Analisis data adalah proses dimana mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan atau observasi, dan
dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan
kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari. Kemudian membuat kesimpulan sehingga mudah
untuk dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Analisis data sendiri disusun oleh ppenulis dengan tujuan agar data yang telah
didapatkan dapat menjadi sebuah informasi sehingga data tersebut dengan mudah
dipahami dan bermanfaat dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang terdapat
dalam konteks penelitian khususnya fokus masalah.
Dalam penulisan ini penulis menganalisa pemahaman dan sikap santri
19
menggunakan pendekatan Sosiologi kemudian dibandingkan dengan sumber data
lainnya, yang telah diperoleh untuk dapat ditemukan hasil. Tahapan yang dilakuakn
pada pendekatan sosiologi ini adalah dengan cara mengetahui pemahaman dan sikap
santri yang terkandung dalam teks, kemudian disesuaikan dengan sumber data
lainnya yang masih terkait dengan judul yang dikaji.17
Dalam penelitian ini untuk mendiskripsikan secara tepat dan jelas maka penulis
menarik kesimpulan yang berdasar pada rumusan masalah yang sudah penulis
tetapkan. Hasil analisi merupakan jawaban dari persoalan yang sudah ditetapkan. 18
Untuk menajdi sebuah jawaban tentunya akan dibutuhkan proses. Berikut
penjelasan proses dalam menganalisa sebuah data.
a. Tahap Reduksi Data
Tahap ini berupa observasi dan wawancara pada santri. Sehingga tahap ini
diperoleh dari lapangan secara langsung, kemudian didiskripsikan melalui
tulisan lebih rinci dan sistematis. seterusnya data dipisah sesui pokok
pembahasan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan dalam fokus
penulisan penelitian. pada reduksi data ini akan memberikan gambaran
secara sistematis dan siap diproses lebih lanjut tentang hasil penelitian dan
pengamatan di lapangan, yang berguna untuk menarik kesimpulan akhir.
b. Penyajian data
17
Moleong J. Lexy. Metode penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 35
18
20
Pada tahap ini penulis menyajikan data yang sudah diperoleh dari proses
reduksi data. Penyajian data ini disajikan dengan bentuk deskripsi dan
gambaran tentang pemahaman dan sikap santri terhadap Semboyan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. hal ini bertujuan untuk
mendapatkan sebuah pemahaman yang jelas. kemudain data dikorelasikan
dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini, hal ini berguna untuk
mendapatkan pengertian dan pemahaman tentang Bhineka Tunggal Ika
sejalan dan sesui dengan teori yang sudah digunakan, serta untuk mencari
penemuan-penemuan baru dalam penelitian.19
c. Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan tahap akhir pada sebuah penelitian.
Analisis merupakan tahap yang paling menentukan pada bagian ini,
karena hasil dari tahap analisis merupakan jawaban dari persoalan yang
telah ditetapkan dan digunakan pada penelitian ini. selanjutnya adalah
mendiskripsikan pemahaman dan sikap santri terhadap Semboyan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan jelas dan rinci. kemudian menarik
kesimpulan berdasarkan pada bagian rumusan masalah, dimana
kesimpulan ini jawaban dari pertanyaan yang sudah diajukan di dalam
rumusan masalah.
19
21
d. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini penulis pertama kali menjelaskan latar belakang penulisan
penelitian ini. Dalam Bab satu ini, pembahasan yang ditulis oleh penulis terfokus
pada argument penulisa dalam pemilihan topik penelitian ini. Setelah itu penulis
membatasi penulisan penelitian dengan memberikan rumusan masalah dan
menjelaskan tujuan dari rumusan tersebut. Kemudian penyebutan manfaat secara
teoritis maupun praktis daripada penulisan penelitian ini juga tidak lepas dari
pembahasan dalam bab ini. Sistematika penulisan sebagai acuhan penulisan secara
sistematis memberikan efek bagus tidaknya penulisan penelitian ini. penelitian bisa
dikatakan sistematis jika ada metodologinya. Oleh sebab itu pemaparan metodologi
dalam penelitian ini menjadi suau keharusan agar tidak terjadi kesalah pahaman
terhadap pembaca nantinya. Untuk memperkuat penelitian, penulis juga menyajika
beberapa teori yang terkait dalam pembahasan ini.
Bab selanjutnya yaitu bab dua menjelaskan tentang kajian pustaka yang pernah
ditulis atau dibahas oleh seorang peneliti baik dari kalangan akademik, mahasiswa
ataupun dosen. tentunya tulisan yang di ambil memiliki tema yang sama dengan apa
yang ditulis oleh penulis. Kemudian dalam pembahasan di bab kedua ini penulis juga
mencantumkan teori-teori yang sesuai dengan penelitian ini. karena apapun yang
dilakukan oleh seorang peneliti, tanpa ada teori yang mendasari, penelitian tersebut
hanya akan menjadi sebuah cerita.
Bab ketiga membahas tentang sejarah berdirinya Pesantren Luhur Al-Husna
22
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam Pesantren tersebut. Pada Bab
keempat membahas tentang analisa tentang hasil pengamatan, yang menggunakan
teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Lucman, Eksternalisasi,
Obyektifasi dan Internalisasi.
Setelah penulis memaparkan sedemikian rupa tentang hasil penelitian
Kebhinekaan santri di dalam Pesantren Luhur Al-husna, tibalah penulis untuk
memberikan kesimpulan mengenai hal tersebut. Selain itu penulis juga memberikan
saran demi kelayakan karya tulis selanjutnya yang memiliki tema yang sama dengan
penulis tulis, Terutama dalam hal kebhinnekaan. Bagian bagian tersebut penulis
23
BAB II
BHINEKA TUNGGAL IKA DAN TEORI KONSTRUKSI
SOSIAL
A. Bhineka Tunggal ika
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis di dalam pita berwarna dasar
putih yang dicengkram oleh cakar Elang Garuda Pancasila adalah semboyan yang
berasal bahasa Jawa Kuno. Frase ini sangat dalam maknanya, karena
menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, walaupun keluar
memperlihatkan perbedaan atau keragaman.
Bhinneka Tunggal Ika yang kita kenal sebagai semboyan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah cita-cita dari para pembangun
bangsa ini. Sempalan kata-kata yang dikarang oleh Mpu Tantular ini seakan-akan
sudah menajadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari Republik ini. Hal
ini terjadi karena semboyan Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi 4 pilar
kehidupan berbangsa dan bernegara. 4 pilar ini terdiri dari Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia.1Bait yang dijadikan
semboyan resmi Negara Indonesia ini sangat panjang, yaitu Bhineka Tunggal Ika
Tan Hana Dharmma Mangrwa. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dikenal untuk
pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana.
Perumusan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular
1
24
dalam kitab Sutasoma. Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan
pernyataan kreatif dalam usaha mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan
keagamaan.
Dalam kata utuhnya semboyan Bhineka Tunggal Ika Kutipan tersebut
berasal dari pupuh2 139, bait 5, kekawin Sutasoma yang lengkapnya sebagai
berikut:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, (Konon Buddha dan Siwa merupakan
dua zat yang berbeda), Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen (Mereka
memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?), Mangkang Jinatwa
kalawan Śiwatatwa tunggal (sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa
adalah tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (Terpecah
belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran).3
Sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal ika
ini tidak semena-mena langsung dipilih, akan tetapi melalui proses yang cukup
panjang. semboyan itu menempuh proses kristalisasi mulai pergerakan nasional
1928 sampai berdirinya negara Republik Indonesia 1945, yang kemudian dilanjut
pembentukan panitia teknis Lencana Negara dibawah koordinator Sultan Hamid
II, dengan susunan M. Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara, M A
Pellaupessy, Moh Natsir dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota4 pada Tanggal
10 Januari 1950, pembentukan panitia ini bertujuan untuk membuat rancangan
lambang negara dan pada akhirnya diajukan kepada pemerintah. Selanjutnya,
dipilihlah satu rancangan dari dua yang diajukan kepada pemerintah, yaitu karya
2
Menurut Wikipedia puhuh adalah bentuk puisi tradisional jawa yang memiliki jumlah suku kata dan rima tertentu di setiap baitnya. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/pupuh (Rabu, 20 Desember 2015, 20.03 WIB)
3
Skretariat Jendral MPR RI, 4 Pilar Kehidupan Berbangsa, 70
4 Tempo, “ Lambang Garuda Pancasila Dirancang Oleh Sultan”,
25
Sultan Hamid II. Setelah terpilih, rancangan tersebut terus dilakukan
penyempurnaan setelah terjadi dialog antara Sultan Hamid II (Perancang), Ir.
Soekarno (Presiden RIS) dan Moh. Hatta. Hasilnya merupakan kesepakatan,
untuk mengganti pita yang dicengkram oleh burung garuda. Semula Burung
tersebut mencengkram pita merah putih dan seterusnya diganti dengan pita putih
bertuliskan Bhineka Tunggal ika. Tanggal 8 Februari kemudian, diajukan kepada
Presiden RIS Soekarno, kemudian mendapat masukan kembali dari beberapa
kalangan dan partai. Pada akhirnya diresmikanlah serta dikenalkan ke masyarakat
Indonesia di Jakarta pada tanggal 15 Februari 1950.
Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian terurai dalam prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika yang dijadikan acuan bagi bangsa
Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Semboyan ini mengandung adanya
Unsur pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan yang terikat pada suatu
kesatuan yaitu Republik Indonesia.
Semboyan BhinekaTunggal Ika sebagaimana diungkapkan Suhandi Sigit
Dalam buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara mengemukakan
bahwa ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dapat ditemukan dalam Kitab Sutasoma
yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad XIV (empat belas) di masa Kerajaan
Majapahit. Dalam kitab tersebut Mpu Tantular menulis “Rwaneka dhatu winuwus
Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa
kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”
(Bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda, tetapi
26
tetapi satu jua, artinya tak ada dharma yang mendua).5 Dengan demikian,
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang merupakan kesepakatan
bangsa, yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Oleh
karena itu untuk dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan
bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara tepat dan benar
untuk selanjutnya difahami bagaimana cara untuk mengimplementasikan secara
tepat dan benar pula.
B. Eksistensi Bhineka Tunggal Ika dalam Kehidupan Sosial
Dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air seperti Indonesia ini,
merupakan suatu hal yang wajar terdapat kemajemukan ras, suku, dan agama.
Pancasila dengan sila-sila yang terdapat didalamnya mencita-citakan kehidupan
yang harmonis, tentram, adil, bijaksana dalam kehidupan yang layak.
Semboyan nasional Bhinneka Tunggal Ika yang dipakai oleh bangsa
Indonesia jelas mempertegas pengakuan adanya “kesatuan dalam keberagaman
atau keragaman dalam kesatuan” dalam seluruh spektrum kehidupan kebangsaan
kita. Pluralitas kehidupan bangsa Indonesia sudah sejak lama menjadi bahan
kajian para ahli antropologi, sosiologi, histori dan para pakar lainnya. Hildred
Geertz menggambarkan keberagaman kehidupan bangsa Indonesia sebagai
berikut:
Terdapat lebih dari tiga ratus kelompok etnis yang benbeda-beda di Indonesia, masing-masing kelompok mempunyai identitas budayanya sendiri- sendiri, dan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa kelompok dari umat beragama itu. Setiap kelompok umat beragama (termasuk agama yang tidak dikelola secara resmi oleh
5
27
pemerintah) juga ikut bertanggung jawab atas terciptanya toleransi dan
terwujudnya kerukunan hidup antarumat beragama di Tanah Air.6
Dengan masyarakat yang majemuk atau beragam tersebut tentulah untuk
menciptakan cita-cita pancasila merupakan hal yang sulit, akan tetapi bisa
dilakukan. Dengan syarat masyarakat mau bekerja sama, menyisihkan ego diri
masing-masing dan mau mengutamakan kepentingan bersama. Semangat
Kebhinekaan merupakan hal yang dapat merubah sesuatu yang awalnya tidak
mungkin dijalankan, menjadi mungkin dijalankan.
Bhineka tunggal ika melambangkan suatu masayrakat yang terdiri atas
macam-macam unsur Budaya, suku, ras, dan agama. Yusri FM dalam tulisannya
disebuah jurnal pendidikan menyatakan bahwa ada tiga istilah untuk
menggambarkan masyarakat yang memiliki macam-macam unsur Budaya, suku,
ras, dan agama, yaitu pluralitas, keragaman, dan multikultural.7 Lebih lanjut Yusri
menjelaskan bahwa keragaman itu berpengaruh terhadap tingkah laku, sikap, dan
pola pikir manusia, sehingga manusia memiliki cara-cara, kebiasaan,
aturan-aturan bahkan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Bilamana keadaan di atas
tidak dapat dipahami dengan baik oleh pihak satu dan lainnya, maka akan sangat
rawan terjadi persinggungan-persinggungan yang kemudian berbuah pada adanya
konflik.
Beragamnya kultur dan budaya mengakibatkan rentan bagi timbulnya
konflik antar budaya dan kultur yang berbeda. Persoalan tersebut menjadi salah
satu penyebab utama dari terjadinya konflik sosial. Multikulturalisme sebagai
6 Heldred Geertz, ”Indonesian Cultures and Communities”, dalam Ruth T. (peny.), Indonesia
(New Haven: Yale University Press, 1963), 24.
7 Muhammad Yusri FM “Prinsip Pendidikan Multikulturalisme Ajaran Agama-Agamadi
28
penghormatan dan penghargaan terhadap bentuk keberagamaan dan perbedaan
baik etnis, suku, agama maupun simbol-simbol perbedaan lainnya menjadi
penting untuk ditanamkan dalam dkehidupan sehari-hari.8
Konflik atau perselisishan di dalam agama manapun sangat tidak
dianjurkan. Seperti di dalam kitab suci umat Islam di singgung pada surat Annisa
ayat 1,
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.9
Pada ayat ini garis besar yang perlu dihiraukan adalah sebuah penggalan
ayat dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Seolah-olah Tuhan menekankan Keanekaragaman yang ada hendaknya tidak
menjadikan manusia saling memperoloknya dan mencela satu sama lain, sehingga
mengakibatkan terjadinya pertengkaran dan permusuhan. Justru islam
8
M. Atho Mudzar, Merajut Kerukunan Umat Beragama Melalui Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural,(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2008), ix
29
mengajarkan dalam surat ini untuk bersilaturahim, hal seperti ini juga bisa
ditemukan dalam surat Al-Hujurat,
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.10
Ayat ini dan ayat sebelumnya mempunyai esensi yang sama, yaitu
keaneragaman ada untuk saling kenal mengenal, antara satu suku deengan suku
lainnya, anatara ras satu dengan ras yang lainnya, dan antara antara agama yang
satu dengan agama yang lainnya.
Di sinilah perlu kiranya nilai-nilai multikultural perlu di bangun. Dengan
semangat menegakkan dan menghargai pluralisme, demokrasi, dan humanisme,
kemudian dengan ketiga hal tersebut masyarakat diharapkan menjadi generasi
yang selalu menjunjung tinggi moralitas, kepedulian sosial, Humanitas serta
kejujuran di dalam berperilaku sehari-hari. Untuk menjelaskan nilai-nilai
multikultural yang ada, diperlukan beberpa indicator. Pertama adalah belajar
hidup dalam perbedaan, kedua, membangun saling percaya, ketiga memelihara
saling pengertian, keempat menjunjung sikap saling menghargai, kelima terbuka
dalam berpikir, keenam apresiasi dan interdepedensi (hubungan yang saling
30
ketergantungan), kelima resolusi konflik dan yang terakhir adalah rekonsiliasi nir
kekerasan (memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula). 11
Kajian mengenai Semboyan Bhinneka Tunggal Ika akan banyak mengaitkan
antara keberagaman kultur, budaya, agama dan ras masyarakat Indonesia, dan
akan banyak memakai istilah-istilah Pluralisme serta multikulturalisme karena
Bhineka Tunggal Ika, mempunyai latar dari kemajemukan bangsa Indonesia. Hal
semacam ini banyak ditulis, di soroti dan di teliti oleh para pakar di bidangnya,
diantaranya adalah Yudi Latif12. Tulisan Yudi ini lebih mengerucut pada sisi
Bhinneka Tunggal Ika sebagai wadah untuk berdialog antar budaya. Masyarakat
yang multi keragaman seperti Indonesia ini harusnya memanfaatkannya sebagai
langkah yang revolusioner untuk mengembangkan serta memajukan bangsa dalam
sector kebudyaan, dimana masyarakat bergotong royong dengan penuh semangat
membangun Indonesia sebagai Negara yang mempunyai karakter yang beragam.
Karakter itulah nantinya bisa di arahkan sebagai dasar kehidupan yang damai.
Yudi juga menambahkan memberi isi pada kehidupan kebangsaaan berarti
memberi prasyarat budaya untuk bagkit. Seperti mitos lama yang mempercayai
bahwa kemenangan suatu kelompok etnis-keagamaan harus dibayar oleh
kekalahan kelompok lain harus diakhiri, kepercayaan baru harus dimunculkan
dengan ejembaran untuk berbagi kebahagiaan dengan merayakan kemenangan
secara bersama-sama. Lebih jauh lagi yudi juga meneulis bahwa kekayaan
11
H.A.R. Tilaar, MULTIKULTURALISME tantangan-tantangan Global masa depan dalam transformasi Pendidikan Nasional,( Jakarta; Grasindo, 2007), 77-78
12
31
Indonesia sebagai negeri multicultural tidak boleh dibiarkan terus berjalan dalam
situasi “Plural Monokulturalisme” yang berjalan sendiri-sendiri tanpa berinteraksi.
Konflik memang tidak bisa di hindari dari kehidupan ini, akan tetapi dapat
diminimalisir dengan adanya musyawarah bersama dan sadar akan adanya
perbedaan yang ada. Seperti kegigihan dalam penulisan tentang masalah-masalah
sosial multi etnik di Indonesia. Yoseph Yapi Taum adalah seorang dosen sastra
dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam makalah yang dibawakan
dalam acara di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dia
menyebutkan bahwa Keberagaman di Indonesia harus diakui sebagai kebenaran
obyektif yang nyata di dalam masyarakat. Perbedaan tidak perlu dieksploitasi
guna memenangkan kepentingan. Tekanan berpotensi mengakumulasi
ketidakpuasan dari kelompok tertekan karena ekspresi dan identitas baik agama
atau etnik tidak bisa dimunculkan.13 Pada penyampaian makalah Tersebut Yosep
menawarkan beberpa isu Strategis Kebangsaan.
Pertama masalah membangun Hubungan Kekuatan Dalam masyarakat yang
multietnik, pola dan model pergaulan yang etnosentrik dapat berakibat
kontraproduktif. Kedua, masalah membangun budaya toleransi, menurutnya nilai
toleransi, kasih dan persahabatan yang tulus antar kelompok komunitas orang
yang berbeda latar belakang SARA sebetulnya sudah membudaya. nilai toleransi
bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber
dari adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati setiap
13
32
manusia. Ketiga, masalah pendidikan. Menurtunya Pendidikan adalah proses
membuat orang berbudaya dan beradab. Pendidikan adalah kunci bagi pemecahan
masalah-masalah sosial dan melalui pendidikan masyarakat dapat direkonstruksi.
Rekonstruksi berarti reformasi budaya, dengan melalui pendidikan reformasi
dapat dijalankan, terutama reformasi budi pekerti, reformasi kebudayaan
(keindonesiaan), dan reformasi nasionalisme (NKRI). Sekolah dapat dijadikan
sarana pembauran multietnik.
Sedangkan untuk memahami nilai-nilai multicultural, Tilaar menyebutkan.
secara umum terdapat empat nilai inti antara lain: Pertama, apresiasi terhadap
adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat. Kedua, pengakuan
terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia. Ketiga, pengembangan tanggung
jawab masyarakat dunia. Keempat, pengembangan tanggung jawab manusia
terhadap planet bumi.14 Selain itu perlunya Memahami pentingnya keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan, Mendeskripsikan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, menjelaskan pentingnya keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Menunjukkan contoh-contoh perilaku dalam menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian juga standar
Menghargai keputusan bersama dengan kompetensi dasar mengenal
bentuk-bentuk keputusan bersama, mematuhi keputusan bersama.
Dari kedua pemaparan tentang cara memahami dan menjelaskan niali-nilai
multikultural yang ada, penulis menyimpulkan bahwa indikator terlaksanakannya
nilai-nilai multikultural meliputi insklusif (keterbukaan), mendahulukan dialog,
14
33
humanis, toleransi, tolong menolong, keadilan, persamaan dan persaudaraan
sebangsa maupun antar bangsa, berbaik sangka, cinta tanah air.
1) Insklusif, merupakan nilai yang memandang bahwa kebenaran yang
dianut oleh suatu kelompok, dianut juga oleh kelompok lain. Nilai ini
mengakui pluralisme dalam suatu komunitas atau kelompok sosial,
menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusifitas yang bermuara pada
tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang ada.
2) Mendahulukan dialog, pemahaman yang berbeda tentang suatu hal yang
dimiliki masing-masing kelompok yang berbeda dapat saling diperdalam
tanpa merugikan masing-masing pihak. Hasil dari mendahulukan dialog
adalah hubungan erat, sikap saling memahami, menghargai, percaya, dan
tolong menolong.
3) Humanis, merupakan suatu kondisi yang mendambakan dan
memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik,
berdasarkan asas perikemanusiaan, pengabdian demi kepentingan sesame
umat manusia.15 kehidupan humanis merupakan kehidupan yang ideal
bagi manusia dewasa ini. lebih jauh, humanis harus dijadikan pedoman
hidup.
4) Toleransi, Dalam hidup bermasyarakat, toleransi dipahami sebagai
perwujudan mengakui dan menghormati hak-hak asasi manusia.
Kebebasan berkeyakinan dalam arti tidak adanya paksaan dalam hal
15
34
agama, kebebasan berpikir atau berpendapat, kebebasan berkumpul, dan
lain sebagainya.
5) Tolong menolong, Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa hidup
sendirian meski segalanya ia miliki. Harta benda berlimpah sehingga
setiap saat apa yang ia mau dengan mudah dapat terpenuhi, tetapi ia tidak
bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang lain dan kebahagiaan pun
mungkin tak akan pernah ia rasakan.
6) Keadilan, Keadilan merupakan sebuah istilah yang menyeluruh dalam
segala bentuk, baik keadilan budaya, politik, maupun sosial. Keadilan
sendiri merupakan bentuk bahwa setiap insan mendapatkan apa yang ia
butuhkan, bukan apa yang ia inginkan.
7) Persamaan dan persaudaraan sebangsa maupun antar bangsa, Dalam
Islam, istilah persamaan dan persaudaraan itu dikenal dengan nama
ukhuwah. Ada tiga jenis ukhuwah dalam kehidupan manusia, yaitu:
Ukhuwah Islamiah (persaudaraan seagama), ukhuwah wathaniyyah
(persaudaraan sebangsa), ukhuwah bashariyah (persaudaraan sesama
manusia). Dari konsep ukhuwah itu, dapat disimpulkan bahwa setiap
manusia baik yang berbeda suku, agama, bangsa, dan keyakinan adalah
saudara. Karena antarmanusia adalah saudara, setiap manusia memiliki
hak yang sama.
8) Berbaik sangka, Memandang seseorang atau kelompok lain dengan
35
ada antar satu kelompok dengan kelompok lain akan saling menyalahkan.
Sehingga kerukunan dan kedamaian pun akan tercipta.
9) Cinta Tanah Air, Cinta tanah air dalam hal ini tidak bermakna sempit,
bukan chauvanisme yang membangga-banggakan negerinya sendiri dan
menghina orang lain, bukan pula memusuhi negara lain. Akan tetapi rasa
kebangsaan yang lapang dan berperikemanusiaan yang mendorong untuk
hidup rukun dan damai dengan bangsa-bangsa lain.
C. Konstruksi Sosial Masyarakat
Membahas tentang konstruksi pada sebuah elemen masyarakat tentu rtidak
akan jauh dari teori yang sudah dikemukakan oleh pakar sosiologi dari New
School For Social Research , New York, Petter Ludwig Berger atau yang biasa
dikenal dengan Petter L. Berger, dan juga pakar sosiologi dari Univercity Of
Frankfurt Thomas Luckman.
Istilah konstruksi sosial ini mulai diperkenalkan oleh Petter L. Berger dan
Thomas Luckman di dalam buku yang ditulis oleh mereka berjudul The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge pada tahun
1966. Menurut kedua akademisi ini konstruksi sosial dimulai sejak adanya proses
sosial melalui interaksi dan tindakan dimana individu atau masyarakat yang ada
tersebut menciptakan secara terus menerus suatu realitas dan kenyataan yang
dimiliki dan dialaminya. Manusia adalah homo spiens16 dan sekaligus pula
16
36
sekaligus homo socius17. Masyarakat tidak mempunyai bentuk lain kecuali bentuk
yang telah diberikan kepadanya oleh aktivitas dan kesadaran manusia. Kedua
pernyataan tersebut bahwa masyarakat adalah produk manusia dan manusia
adalah produk dari masyarakat, sebaliknya keduanya menggambarkan sifat
dialektik inheren dari fenomena masyarakat.
Pada awalnya konstruksi sosial ini merupakan suatu teori yang digunakan
untuk melakukan kajian terhadap sosiologi pengetahuan secara teoritis dan
sistematis. Salah satu tugas sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan adanya
dialektika antara diri (the self) dengan dunia sosiokultural. Dialektika itu
berlangsung dalam satu proses dengan tiga momen simultan, yakni eksternalisasi,
obyektivasi dan internalisasi.18 Dalam hal ini, berger mengajukan pandangan
tentang pentingnya pemikiran yang tidak memisahkan antara perilaku sosial
(dunia sosial Objektif) dari inti kepribadian manusia yaitu kesadaran dan
kebebasan yang bersifat subjektif.19 Kesadaran dan kebebasan individu berkaitan
erat dengan lingkungan sosial masyarakat. Jika suatu saat manusia bertindak sama
dengan khalayk umum maka dia juga akan menyadari bahwa akan ada saat-sat
untuk bertindak tidak sama dengan khalayak umum lainnya. Tindakan yang sama
atau tidak sama ini diputuskan secara langsung saat sesudah terjadi interkasi dan
dipengaruhi oleh masyarakat yang ada; dan itulah yang disebut dengan Realitas
konstruksi sosial.
17
Petter L. Berger & Thomas Lucman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan (Jakarta; LP3S, 1990), 73
18
Bagong Suyanto & M. Khusna Amal. Anatomi dan Perkembangan Teori sosial (Malang: Aditya Media 2010),156.
19
37
Teori konstruksionis sebagaimana dimunculkan oleh berger dan luckman
dalam penelitian ini diyakini akan mampu memberi panduan secara luas,
terstruktur dan mudah dipahami dalam melihat suatu realitas sosial dari fenomena
yang tampak. Dalam usaha memahami konstruksi sosial, bagi Mereka diperlukan
langkah-langkah sebagai berikut;
Pertama, memaknai realitas sosial dan pengetahuan tentang realitas sosial
tersebut. Realitas sosial merupakan apa yang tersirat dalam pergaulan sosial
tersebut, yang diungkapkan melalui komunikasi lewat bahasa, bekerja sama dalam
bentuk-bentuk organisasi sosial, atau lewat cara-cara lainnya. Sedangkan
pengetahuan mengenai realitas sosial terkait dengan penghayatan kehidupan
bermasyarakat dengan segal aspeknya ynag meliputi kognisi, psikomotoris, emosi
dan intuisi. Kedua. Untuk meneliti suatu yng intersubyektif tersebut, berger
menggunakan cara berfikir Durkheim mengenai obyektifitas dan menggunakan
cara berfikir Weber mengenai subyektifitas. Jika Durkheim melihat keterpilahan
antara subyektifitas dan objektifitas dengan menempatkan subjektifitas di atas
objektifitas maka weber melakukan langkah sebaliknya, ia menempatkan
objektifitas di atas subjektifitas. Dengan kata lain, individu di atas masyarakat
(weber) dan masyarakat diatas individu (Durkheim). Akan tetapi dalam hal ini
berger melihat keduanya sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Artinya,
Berger melihat subjektifitas dan objektifitas selalu adal dalam kehidupan manusia
dan masyarakat.20
20
38
Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar
batas kontrol struktur dan pranata sosialnya, dimana individu itu sendiri berasal.
Manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui resont-respon
terhadap stimulus atau dorongan dalam dunia kognitifnya. Manusia merupakan
instrument dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses
eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi
(yang menciptakan realitas subyektif). Dalam sejarah umat manusia, obyektivitas,
internalisasi, dan eksternalisasi marupakan tiga proses yang berjalan secara
terus-menerus. Dengan adanya dunia sosial obyektif yang membentuk
individu-individu dalam arti manusia adalah produk dari masyarakatnya. Beberapa dari
dunia ini eksis dalam bentuk hukum-hukum yang mencerminkan norma-norma
sosial. Aspek lain dari realitas obyektif bukan sebagai realitas yang langsung
dapat diketahui, tetapi bisa mempengaruhi segala-galanya, mulai dari cara
berpakaian, cara berbicara.
Realitas sosial yang obyektif ini di pantulkan oleh orang lain yang cukup
berarti bagi individu itu sendiri (walaupun realitas yang diterima tidak selalu sama
antara individu satu dengan yang lainnya). Pada dasarnya manusia tidak
seluruhnya di tentukan oleh lingkungan, dengan kata lain proses sosialisasi bukan
suatu keberhasilan yang tuntas, manusia memiliki peluang untuk
mengeksternalisir atau secara kolektif membentuk dunia sosial mereka.
Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya suatu perubahan sosial.
Teori ini mencoba membuat sintesa antara fenomena-fenomena sosial
39
dalam konstruksi sosial. Dengan demikian terjadilah dialog antara eksistensi
kenyataan sosial objektif yang ditemukan dalam hubungan antara individu dengan
lembaga-lembaga sosial yang di dalamnya terdapat aturan-aturan sosial yang
bersifat memaksa secara dialektis dan tujuannya adalah untuk memelihara
struktur-struktur sosial yang sudah berlaku.
Menurut Berger, Proses eksternalisasi yakni proses penyesuaian diri
dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Hal ini adalah suatu
pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam
aktifitas fisis ataupun mentalnya. Objektivasi adalah disandangnya produk-produk
aktifitas itu dalam interaksi sosial dengan intersubjektif yang dilembagakan atau
mengalami proses institusional. Tahap ini merupakan konsekuensi logis dari tahap
eksternalisasi. Jika dalam tahap eksternalisasi manusia sibuk melakukan kegiatan
fisik dan mental, maka dalam tahap objektivasi, kegiatan tersebut adalah
menghasilkan produk-produk tertentu. Kemudian momen yang terakhir
merupakan internalisasi adalah peresapan kembali realitas-realitas manusia dan
mentransformasikannya dari struktur dunia objektif ke dalam struktur kesadaran
dunia subjektif. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk
manusia. Melalui objektivasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas Sui Generis
40
BAB III
PENYAJIAN DATA
A. Pesantren Luhur Al-Husna
1. Profil Pesantren Luhur Al-Husna
Pesantren Luhur Al-husna berkedudukan di surabaya, tepatnya di Jl.
Jemurwonosari, Gg Masjid. No 42 Surabaya. Pesantren yang berada di kecamatan
Wonocolo ini memilliki Luas 1000 Meter Persegi. Didirikan oleh seorang Kyai
mantan Ketua PWNU Jawa Timur yaitu KH. Ali Maschan Moesa. Beliau menjadi
pengasuh sejak berdirinya pesantren Luhur Al-husna Sampai sekarang.
Nama pesantren ini langsung diberikan lan