• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP BAGI HASIL SISTEM BOWON DI DESA KREMBANGAN KECAMATAN TAMAN KABUPATEN SIDOARJO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP BAGI HASIL SISTEM BOWON DI DESA KREMBANGAN KECAMATAN TAMAN KABUPATEN SIDOARJO."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh: Lilis Syafarotin NIM. C02212022

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH) SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vii

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Bagi Hasil Sistem Bawon Di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo adalah hasil penelitian lapangan (field research) untuk menjawab pertanyaan tentang Bagaimana praktik bagi hasil sistem bawon pada perbandingan hasil panen persawahan di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo?, dan bagaimana tinjauan hukum positif terhadap bagi hasil sistem bawon di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo? serta bagaimana tinjauan hukum islam terhadap bagi hasil sistem bawon di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo?.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik wawancara (interview) dan observasi. Setelah data terkumpul, data diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif verifikatif dengan pola pikir deduktif yaitu penyimpulan data yang bertitik tolak dari segi hukum Islam kemudian ditarik menuju fakta-fakta di lapangan yang sifatnya khusus yaitu mengenai pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh pemberi utang.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, praktik bagi hasil sistem bawon pada perbandingan hasil panen persawahan di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo, dengan studi kasus pihak I sebagai pemilik tanah, pihak II sebagai pengelola (pembiaya) dan bagi hasil yg diperoleh ½:½. Ditinjau dari hukum Islam kejadian tersebut termasuk akad mukha>barah. Sedangkan antara pihak II (pengelola) dan pihak III sebagai buruh panen, dalam tinjauan hukum islam termasuk akad ujrah (upah), dengan bagi hasil sistem bawon itu sah, karena rukun dan syaratnya terpenuhi, dalam praktik pengupahannya tidak ada unsur-unsur dalam transaksi tersebut yang bertolak belakang dengan kaidah hukum Islam. Sedangkan ditinjau dari hukum positif Undang-Undang No. 2 tahun 1960 menyimpulkan bahwa sudah sejalan dengan undang-undang tersebut terutama pada konsep bagi hasil dan tujuannya, hanya saja dalam sistem bawon akadnya tak tertulis sedangkan dalam undang-undang akadnya harus tertulis.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... vi

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK... ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TRANSLITERASI ... xvi

BAB I PENDAHULUAN……… ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 6

C.Batasan Masalah ... 7

D.Rumusan Masalah ... 8

E. Kajian Pustaka ... 8

F. Tujuan Penelitian ... 11

(8)

xii

H.Definisi Operasional ... 12

I. Metode Penelitian ... 13

J. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II KONSEP SISTEM BAWON DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUK POSITIF ... 19

A.Tinjauan Hukum Islam (mukha>barah dan ujrah)... 19

1.Definisi dan Hukum mukha>barah... 19

2.Rukun dan syarat mukha>barah ... 23

3.Bentuk-bentuk mukha>barah ... 24

4.Akibat akad mukha>barah... 27

5.Berakhirnya akad mukha>barah ... 28

6.Zakat muza>ra’ah dan mukho>barah ... 29

7.Hikmah muza>ra’ah dan mukha>barah ... 31

8.Rekayasa legalitas ... 31

9.Pengertian dan hukum ujrah ... 32

10.Rukun dan syarat ujrah ... 34

11.Upah yang dihalalkan dan yang diharamkan ... 36

B.Tinjauan bagi hasil dalam hukum positif ... 38

BABIII PRAKTIK BAGI HASIL SISTEM BAWON DI DESA KREMBANGAN KECAMATAN TAMAN KABUPATEN SIDOARJO A. Deskripsi Tentang Lokasi Penelitian ... ... 47

1. Keadaan Geografis... ... 47

2. Kependudukan dan Sosial Ekonomi... ... 48

(9)

4. Struktur Pemerintahan ... 54

B. Peraktik bagi hasil sistem bawon di Desa Krembangan ... 55

1. Pelaksanaan bagi hasil sistem bawon ... 55

2. Biaya operasional persawahan ... 64

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP BAGI HASIL SISTEM BAWON DI DSA KREMBANGAN KECAMATAN TAMAN KABUPATEN SIDOARJO A. Tinjauan Hukum Islam ... ... 66

B. Tinjauan Hukum Positif ... 77

BABV PENUTUP……… 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ……… 86

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan bumi dan seisinya merupakan salah satu

kekuasaan manusia yang dianugerahkan sebagai makhluk sosial, dimana

mereka hidup saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya.

Allah SWT juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT

dalam rangka menegakkan hablunminAlla>h dan hubungan antara sesama

manusia dalam rangka menegakkan hablumminan-na>s yang keduanya

merupakan misi kehidupan manusia yang diciptakan sebagai kholifah di atas

bumi. Hubungan antara sesama manusia itu bernilai ibadah bila dilaksanakan

sesuai dengan petunjuk Allah SWT sebagaimana telah diuraikan dalam kajian

fiqih.1

Dalam kajian fiqih hubungan antara sesama manusia diantaranya

meliputi jual beli, hutang piutang, jasa penitipan, sewa menyewa, gadai,

kerjasama dan lain sebagainya. Tak ada seorangpun yang bisa memenuhi

kebutuhannya tanpa bantuan orang lain dan untuk bisa memenuhi kebutuhan

itulah mereka bekerja sama dengan cara bermuamalah.2 Muamalah pada

awalnya mencakup segala macam aktifitas manusia, sehingga ruang

1 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 175.

2 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),

(11)

lingkupnya sangat luas. Meskipun aktifitas manusia terus berkembang, Islam

tidak mendapatkan kesulitan membimbing umatnya bidang muamalah.3

Jenis dan bentuk muamalah yang dilaksanakan oleh manusia sejak

dahulu sampai sekarang berkembang sesuai dengan kebutuhan dan

pengetahuan manusia itu sendiri. Atas dasar itu dijumpai dalam berbagai

suku bangsa jenis dan bentuk muamalah yang beragam, yang esensinya

adalah saling melakukan interaksi sosial dalam upaya memenuhi kebutuhan

masing-masing sesuaia dengan firman Allah SWT dalam surat Al- Isra>’ ayat

84:

َُ فُِِتَلِكاَشُىَلَعُُلَمْعَ يٌُلُكُْلُق

ًُليِبَسُىَدَْأَُوُُْنَمِبُُمَلْعَأُْمُكبَر

-٤٨

-Artinya: Katakanlah (Muhammad), ‚Setiap orang berbuat sesuai dengan

pembawaannya masing-masing.‛ Maka Tuhan-mu lebih Mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.(QS. Al-Isra>’).4

Salah satu bentuk hukum muamalah yang sering terjadi adalah

kerjasama antara manusia, di satu pihak sebagai penyedia jasa manfaat atau

tenaga yang lazim disebut sebagai buruh atau pekerja dengan orang lain

yang menyediakan pekerjaan yang lazim pula disebut sebagai majikan. Dalam

rangka saling memenuhi kebutuhannya pihak buruh mendapatkan kompensasi

berupa upah. Dalam hal ini kerjasama dalam kehidupan sehari-hari

mempunyai banyak macam, namun lebih rincinya dalam hal ini akan dibahas

mengenai kerjasama di persawahan suatu desa. Dalam literatur fiqih sering

disebut dengan istilah muza>ra’ah atau mukha>barah, yakni pemilik sawah

3 Qurais Shihab, Fatwa-atwa Qurais Shihab, (Bandung: Mizan, 1990), xvii.

(12)

3

menyerahkan tanahnya untuk dikelola atau untuk ditanami sehingga bisa

menghasilkan sesuatu.

Dasar hukum yang digunakan para ulama’ mengenai transaksi

muza>ra’ah dan mukha>barah yakni sebuah hadist yang diriwayatkan oleh

Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a :

ُْعَ بَُقُفْرَ يُْنَاَرَمَاُْنِكَلَوُُةَعَراَزُمْلاُِمِرَحُيُْمَلُمُصُىِب لاُنِإ

َُُلُْتَنَاكُْنَمُِِلْوَقِبٍُضْعَ بِبُْمُهُض

ُْك ِسْمُيْلَ فُىَبَأُْنِاَفُُاَخَاُاَهْحَْمَيِلْوَأُاَهْعَرْزَ يْلَ فُ ضْرَأ

ُ

َىراخبلاُ اورَُُُضْرَا

ُ

Artinya: Sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan, tidak mengharamkan bermuza>ra’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebgaian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, berang siapa yan memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Nasa’I dari Rafi’ r.a. dari Nabi

SAW., beliau bersabda:

ُُعَرْزَ يَُوُهَ فُ ضْرَأَُُلُ لُجَرُ ةَثَلَثُُعَرْزَ يُاَمنِإ

ُىَرْكَتْسِاُ لُجَرَوُاَهُعَرْزَ يَُوُهَ فُاًضْرَاَُحُِمُ لُجَرَوُاَه

َىئاس لاُودوادوبأُ اورٍُُةضِفْوَاُ ٍبَ َذِبُأًضْرَأ

Artinya: Yang boleh bercocok tanam hanya tiga macam orang: laki-laki yang

ada tanah, maka dialah yang berhak menanamnya dan laki-laki yang diserahi manfaat tanah, maka dialah yang menanaminya dan laki-laki yang menyewa tanah dengan mas atau perak. 5

Kerjasama mengenai pengelolaan sawah dalam beberapa literature

fiqih sering dibahasakan dengan muza>ra’ah atau mukha>barah yaitu

ketentuannya telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi

keadilan dan tidak merugikan salah satu pihak baik pemilik tanah maupun

(13)

buruh itu sendiri. Konsekuensi dari adanya ketentuan ini adalah bahwa sistem

kerjasama bagi pekerja dan pemilik tanah harus sesuai dengan ketentuan

norma yang telah ditetapkan. Menurut pengertian syara’, muza>ra’ah atau

mukha>barah berarti akad kerjasama dalam pemindahan hak guna dari barang

atau jasa yang diikuti dengan pembayaran upah atau biaya sewa tanpa

disertai dengan perpindahan hak milik.6 Adapun perbedaan antara muza>ra’ah

dan mukha>barah tersebut yakni

Muza>ra’ah Mukha>barah

Kerjasama antara pemilik tanah

dan pekerja dengan benih dari

pemilik tanah.

Akad syirka>h

Kerjasama antara pemilik tanah

dan pekerja dengan benih dari

pekerja.

Akad Ij>arah

Adapun bagi hasil atau kerjasama dalam persawahan ditinjau dari segi

hukum positif yang terdapat dalam Undang – Undang No. 2 Tahun 1960 yang

terdapat 17 pasal. Setiap pasal tersebut menjelaskan mengenai beberapa hal

diantaranya persyaratan menjadi penggarap yang tidak melebihi dari 3 hektar

tanah, macam-macam tanag garapan, bentuk perjanjian antara pemilik tanah

dan penggarap dalam bentuk tertulis dan diketahui oleh kepala desa dan

camat setempat. Adapun jangka waktu yang diatur dalam Undang - Undang

ini yakni selama 5 tahun dengan berbagai ketentuan, serta syarat pembatalan

dalam perjanjian ini. Mengenai bagi hasil persawahan akan dibagi kedua

(14)

5

belah pihak sesuai dengan kesepakatan tetapi mengenai pembagian hasil

tanah akan dibagi sesuai dengan Undang-Undang ini akan ditentukan oleh

Bupati setempat.

Perbedaan yang terjadi di dalam kebiasaan lokal Desa Krembangan

Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo, pada waktu panen padi seolah-olah

sudah menjadi suatu kebenaran dalam sistem bagi hasil buruh tani ketika

panen padi. Wilayah Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten

Sidoarjo adalah sebuah Desa yang sebagian wilayahnya merupakan lahan

pertanian yang berupa sawah yang dialiri dengan air irigasi teknis dan sawah

tadah hujan, yang terkadang bisa mengalami gagal panen, terutama pada

musim kering. Dengan demikian hampir mayoritas masyarakatnya selain

sebagai karyawan pabrik yakni sebagai petani dan buruh tani yang masih

minim dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.7

Pelaksanaan bagi hasil kerjasama terhadap buruh tani ketika panen

padi di wilayah Desa Krembangan ini dari masa ke masa masih tetap

menggunakan cara yang sama yakni dengan sistem bagi hasil yang disebut

dengan bawon. Sistem bawon ini merupakan sistem bagi hasil dari buruh tani

(buruh panen) sebagai pekerja dengan pemilik sawah atau tanah yang sudah

dikelola pekerja. Bagi hasil tersebut apabila sudah panen maka berupa padi

dengan perbandingan lima banding satu (5 : 1) maksut dari perbandingan bagi

hasil ini yakni apabila pekerja atau buruh tani dalam mengelola sawah

pemiliknya bisa menghasilkan panen 5 kwintal maka pekerja atau buruh tani

(15)

akan mendapatkan 1 kwintal berupa padi (gabah), sedangkan antara pemilik

sawah dengan pengelola (penggarap dan pembiaya bibit) maka bagi hasil

perbandingannya ½ : ½. Dalam sistem bagi hasil buruh tani tersebut

merupakan sebuah tradisi masyarakat desa setempat yang sudah menjadi

acuan dalam pengupahan ketika masa tanam padi.

Sebenarnya di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten

Sidoarjo ini memiliki dua macam sistem bawon yang pertama perbandingan 1

: 5 seperti yang dijelaskan diatas (perbandingan tersebut jika pemilik sawah

yang memberikan bibitnya). Sistem bawon yang kedua yakni ada 3 pihak

yang saling berhubungan dalam sistem ini yaitu pihak yang pertama adalah

pemilik tanah, pihak yang kedua adalah pengelola tanah yang bersedia

memberikan bibit dan ikut serta mengelola sawah dan pihak yang ketiga

yakni pekerja yang membantu pihak kedua dalam mengelola sawah. Bagi

hasil sistem bawon yang kedua memiliki kesamaan seperti sistem bawon

yang pertama tapi untuk bagian pemilik tanah juga mendapatkan

½ : ½

antara pemilik tanah dengan pihak kedua.

Jadi dalam hal sistem bawon ini penulis ingin meneliti mengenai

kerjasama bagi hasil persawahan dalam tinjauan hukum islam dan hukum

positif pada undang-undang No. 2 Tahun 1960 mengenai perjanjian bagi hasil

persawahan.

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan

(16)

7

melakukan identifikasi, maka masalah yang dapat di identifikasi dari

latar-belakang diatas adalah:

1. Latar belakang terjadinya sistem bawon pada bagi hasi kerjasama dalam

persawahan

2. Praktik sistem bawon pada bagi hasil kerjasama dalam persawahan

3. Terjadinya akad bagi hasil

4. Pelaksanaan pejanjian sistem bawon pada bagi hasil kerjasama dalam

persawahan

5. Tinjauan hukum islam terhadap sistem bawon pada bagi hasil kerjasama

dalam persawahan

6. Tinjauan hukum positif terhadap sistem bawon pada bagi hasil kerjasama

dalam persawahan

7. Persamaan dan perbedaan pada sistem bawon dalam tinjauan hokum islam

dan dalam tinjauan hokum positif

C. Batasan Masalah

Agar dalam pembahasan karya ilmiah ini sesuai dengan sasaran yang

diinginkan, maka peneliti memberi batasan masalah, adapun batasan masalah

dalam penelitian ini, mencakup beberapa materi yang akan disajikan,

meliputi:

1. Masalah pelaksanaan sistem bawon pada bagi hasil kerjasama dalam

persawahan

2. Tinjauan dari segi hukum positif mengenai pelaksanaan sistem bawon

(17)

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana praktik bagi hasil sistem bawon pada perbandingan hasil

panen persawahan di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten

Sidoarjo?

2. Bagaimana tinjauan hukum positif terhadap bagi hasil sistem bawon di

Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo?

3. Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap bagi hasil sistem bawon di

Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau

penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti

sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.8

Sejauh pengamatan penulis, kajian tentang sistem bawon pada upah

persawahan belum ada yang meneliti. Dalam konteks muamalah Islam, kajian

mengenai system kerjasama ini penyusun belum menemukan pembahasan

yang secara eksplisit menjelaskan tentang pelaksanaan sistem ini, namun

secara teoritis pelaksanaan bawon ini sama dengan kerjasama antara pemilik

sawah dengan pekerjanya (petani) atau dalam istilah hukum Islam disebut

dengan Musaqah, mukha>barah atau Muza>ra’ah dan ujro>h.

8 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk

Teknis Penulisan Skripsi (Surabaya: Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel

(18)

9

Setelah penulis menelusuri kajian sebelumnya, penulis menemukan

skripsi dan penelitian lain yang membahas kajian yang berkaitan dengan

pemberian upah yakni:

1. Soni, Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya Jurusan Muamalah,

lulusan tahun 2014. Judul skripsi ‛Analisis Hukum Islam Terhadap

Tradisi Upah Bebasan Dan Borongan Buruh Tani Di Desa Brudu

Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang‛ dan skripsi ini ditulis untuk

menjawab pertanyaan pertama. Bagaimana praktik radisi pemberian upah

bebasan dan borongan buruh tani di Desa Brudu Kecamatan Sumobito

Kabupaten Jombang. Kedua. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap

praktik tradisi peberian upah bebasan dan borongan buruh tani di Desa

Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang. Hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa, praktik terhadap tradisi upah bebasan dan

borongan buruh tani di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten

Jombang. Ditinjau dari hukum Islam, bahwa ujrah dengan sistem bebasan

dan borongan itu sah, karena rukun dan syaratnya terpenuhi, dalam

praktik pengupahannya tidak ada unsur-unsur dalam transaksi tersebut

yang bertolak belakang dengan kaidah hukum Islam. Sejalan dengan

kesimpulan di atas, maka pemilik sawah dan buruh tani agar lebih

(19)

sistem pengupahan yang selanjutnya bisa memberikan keseimbangan

antara buruh tani dengan hasil kerjanya.9

2. Hofiyah, Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya Jurusan

Muamalah, lulusan tahun 2000. Judul Skripsi ‚Pelaksanaan bagi hasil

tanaman padi di Desa Banjar Kecamatan Kedundung Sampang Madura‛

dengan permasalahan bagaimana praktik bagi hasil tanaman padi. Dengan

permasalahan bagaimana diskripsi pelaksanaan bagi hasil tanaman padi

yang dilakukan oleh masyarakat yang beragama islam di Desa Banjar

Kecamatan Kedundung Kabupaten Sampang pada tahun 1999 dan

bagaimana hokum islam dalam undang – undang Nomor 2 tahun 1960

terhadap pelaksanaan bagi hasil padi tersebut. Hasil dari skripsi ini dapat

disimpulkan bahwa bagi hasil tanaman di Desa Banjar Kecamatan

Kedundung Kabupaten Sampang ini sudah dilaksanakan secara turun

temurun dan silakukan secara lisan oleh petani penggarap dan pemilik

tanah. Dalam kerjasama bagi hasil tersebut penggarap menanggung segala

biaya yang diperlukan dan hasilnya dibagi sama rata dengan perbandingan

½ : ½. Dengan perbandingan tersebut sehingga bagi hasil tanaman padi

ini tidak bertentangan dengan hukum islam meskipun belum sepenuhnya

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960.10

9 Soni, ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Upah Bebasan Dan Borongan Buruh Tani Di

Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang‛ (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014), v.

10 Hofiyah, ‚Pelaksanaan bagi hasil tanaman padi di Desa Banjar Kecamatan Kedundung

(20)

11

Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Soni dan Hofiyah

berbeda dengan penelitian yang saya lakukan. Sedangkan dalam penelitian ini

penulis membahas tentang sistem bagi hasil kerjasama yang menggunakan

sistem bawon tanpa menggunakan bagi hasil dengan uang ataupun upah

pekerja dengan uang namun bagi hasil dalam sistem ini hanya menggunakan

padi (gabah) menurut tradisi kebiasaan di Desa Krembangan Kecamatan

Taman Kabupaten Sidoarjo seperti yang terangkum dalam judul ‚Tinjauan

Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap bagi hasil sistem bawon di Desa

Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo‛ di mana letak

permasalahannya adalah bagaimana sistem pelaksanaan bagi hasil kerjasama

ini tanpa menggunakan upah dalam pembagiannya dan bagaimana analisa

hukum Islamnya.

F. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendiskripsikan sistem bawon pada bagi hasil kerjasama

persawahan di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo.

2. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan system

bawon pada bagi hasil kerjasama persawahan bagi petani.

3. Untuk menjelaskan pandangan dari segi hukum positif terhadap

(21)

G. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian di atas semoga dapat bermanfaat dan berguna

untuk:

1. Secara teoritis, untuk menambah khazanah pengetahuan yang berkaitan

dengan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, sehingga dapat

dijadikan informasi atau input bagi para pembaca dalam menambah

pengetahuan tentang hukum Islam dan hukum positif yang dipakai di

Indonesia. Serta untuk memberikan informasi tentang bagaimana tinjauan

hukum Islam terhadap ketentuan sistem bawon pada bagi hasil kerjasama

dalam hukum positif, sehingga dapat dijadikan landasan hukum oleh para

pihak yang memerlukannya.

2. Secara praktis, diharapkan hasil dari skripsi ini sebagai bahan masukan

sekaligus sumbangsih kepada para pemikir Islam, untuk dijadikan sebagai

salah satu metode ijtihad terhadap peristiwa yang muncul ke permukaan

yang belum ada status hukumnya.

H. Definisi Operasional

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian

dalam judul skipsi ini, maka penulis tegaskan beberapa istilah-istilah sebagai

berikut:

1. Hukum Islam : Hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist yang

berkaitan berkaitan dengan bagi hasil kerjasama dalam hal persawahan.

Bagi hasil tersebut dalam hukum Islam disebut muza>ra’ah dan

(22)

13

tanah dengan pekerja untuk bercocok tanam dengan benih berasal dari

pihak pemilik tanah, sedangkan mukha>barah merupakan kontrak

kerjasama sebagaimana muza>ra’ah, hanya saja benih berasal dari pihak

pekerja.

2. Hukum Positif : suatu hukum tertulis yang berlaku pada suatu masyarakat

saat ini dalam suatu daerah atau Negara tertentu. Dalam pembahasan di

skripsi ini hukum positif yang dibahas adalah Undang-Undang No. 2

Tahuin 1960 yang menjelaskan mengenai bagi hasil dalam kerjasama

persawahan dan mengenai batasan-batasan kerjasama maupun persyaratan

kerjasama serta persyaratan bagi hasil panen tersebut.

3. Bagi Hasil: pembagian laba atau keuntungan yang diperoleh dari hasil

panen padi setelah diketahui hasil kotor padi saat panen dalam

persawahan.

4. Sistem Bawon : suatu sistem pelaksanaan bagi hasil antara pemilik tanah

atau sawah dengan pengelola atau pekerja mendapatkan bagi hasil 5 : 1

(lima banding satu) dengan bibit dari pemilik tanah dan jika bibit sawah

dari pengelola atau pekerja maka bagi hasilnya ½ : ½ (setengah banding

setengah) jika panen. Sistem ini hanyalah sistem bagi hasil dengan padi

(gabah) tanpa mendapatkan uang atau upah sepeserpun.

I. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang menggunakan metode

deskriptif analisis.

(23)

Berdasarkan kajian yang dibahas mengenai tinjauan hukum

islam dan hukum positif terhadap sistem bawon pada bagi hasil

kerjasama dalam persawahan, maka jenis penelitian ini adalah

kualitatif dengan pendekatan deduktif.

2. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ini di Desa Krembangan Kecamatan Taman

Kabupaten Sidoarjo.

3. Data yang akan dikumpulkan

Berdasarkan rumusan seperti yang telah dikemukakan di atas,

maka data yang akan dikumpulkan adalah sebagai berikut :

a. Latar belakang terjadinya bagi hasil sistem bawon

b. Pelaksanaan perjanjian bagi hasil sistem bawon

c. Praktik Bagi hasil sistem bawon pada saat panen persawahan.

4. Sumber data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber pada:

a. Pemilik sawah

b. Penggarap (pengelola dan pembiaya sawah)

c. Pemilik sawah dan pengelola sawah (pembiaya)

d. Penggarap (buruh panen)

e. Al-Quran atau kitab-kitab tafsir yang menjelaskan tentang bagi

hasil dalam persawahan.

(24)

15

5. Teknik pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai

berikut:

a. Observasi

Observasi dilakukan terhadap obyek dan lapangan yang akan

diteliti, yaitu praktik bagi hasil dalam system bawon buruh tani

menurut kebiasaan kerjasama persawahan di Desa Krembangan

Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo. 11

b. Wawancara

Metode wawancara atau interview yaitu metode ilmiah yang

dalam pengumpulan datanya dengan jalan berbicara atau berdialog

langsung dengan sumber obyek penelitian. Wawancara sebagai alat

pengumpul data dengan cara tanya jawab sepihak yang dikerjakan

dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian.12 Teknik

pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengadakan wawancara

atau tanya jawab dengan pihak yang bersangkutan tentang masalah

yang diteliti. Wawancara ini diambil 10 orang yang bersangkutan

sebagai pelaksana bagi hasil sistem bawon diantaranya yaitu Bapak

Hariyadi dan Bapak Suparman sebagai pemilik sawah di Desa

Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo. Selain dari

bapak Hariyadi ada beberapa orang diantranya yang melaksanakan

bagi hasil yaitu Bapak Sukadi, Bapak Suud, Bapak Mandar, Bapak

11 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis..., 9.

(25)

Soleh, Bapak Supardi, Bapak Ngatari, Bapak Kirom, Bapak Paedi,

Bapak Saderi, dan Bapak Sai’un dan lain-lain.

c. Dokumentasi

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data secara

tertulis, berupa catatan, transkip, arsip, dokumen, buku tentang

pendapat (doktrin), teori, dalil, atau hukum, dan lain-lain yang

berhubungan dengan masalah penelitian.13

d. Studi pustaka, yaitu data yang dikumpulkan bersumber pada

buku-buku, artikel, jurnal.

6. Tehnik pengolahan data

Tahapan pengolahan data dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Editing, yaitu data yang telah terkumpul diedit dan diklarifikasi untuk

mendapatkan data halus. Dalam proses ini dilakukan konfirmasi data

kepada narasumber bila mana diperlukan. Dalam reduksi data,

dilakukan pula klarifikasi data. Hasil reduksi data dimasukkan ke

dalam kelas dan sub kelas dengan merujuk kepada pertanyaan

penelitian.14

b. Organizing, adalah menyusun dan mensistematiskan data yang

diperoleh dalam rangka uraian yang telah dirumuskan untuk

13 Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 191.

14 Wahyu Purhantara, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif untuk Bisnis, (Yogyakarta: Graha

(26)

17

memperoleh bukti-bukti dan gambaran secara jelas tentang bagi hasil

kerjasama persawahan dengan menggunakan system bawon.15

7. Tehnik analisis data

Setelah penulis mengumpulkan data yang dihimpun, kemudian

menganalisisnya dengan menggunakan metode deskriptif komparasi yaitu

menggambarkan status sekelompok manusia, kondisi sosial, suatu sistem

pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang, terutama

yang berkaitan dengan objek penelitian.16 Penulis menggunakan metode

ini karena ingin memaparkan, menjelaskan dan menguraikan data yang

terkumpul kemudian disusun dan dianalisa untuk diambil kesimpulan.

Pola pikir yang digunakan adalah menjelaskan dan mendeskripsikan

fakta-fakta atau kenyataan dari hasil observasi, kemudian ditinjau secara

umum menurut hukum Islam dan dituinjau dari segi hukum positif.

J. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan penulis, maka skripsi ini nanti akan dibagi dalam

beberapa bab, tiap-tiap bab dibagi dalam beberapa sub bab. Adapun susunan

sistematikanya adalah sebagai berikut :

Bab pertama merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang

masalah, perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan

hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian yang meliputi : jenis

penelitian, data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data,

(27)

tehnik pengelolaan data, tehnik analisis data lalu dirangkai dengan

sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan kajian pustaka yakni mendiskripsikan

mengenai teori bagi hasil kerjasama persawahan dengan menggunakan sistem

bawon dan teori dalam islam dalam akad muza>ra’ah dan mukha>barah

mengenai bagi hasil persawahan tersebut serta mendekripsikan dari tinjauan

hukum positif yakni pada Undang – Undang No. 2 Tahun 1960.

Bab ketiga mengemukakan hasil penelitian tentang pelaksanaan bagi

hasil sistem bawon di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten

Sidoarjo meliputi: profil Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten

sidoarjo dan aplikasi bagi hasil sistem bawon meliputi latar belakang bagi

hasil sistem bawon, akad yang digunakan pada bagi hasil serta aplikasi akad

yang digunakan.

Bab keempat mengemukakan hasil analisis penelitian yaitu : pertama

Analisis hukum islam meliputi akad mukha>barah dan ujrah, kedua Analisis

Undang – Undang No. 2 Tahun 1960 mengenai persayaratan bagi hasil dan

pelaksanaan bagi hasil dalam persawahan, serta yang ketiga menganalisis

persamaan dan perbedaan bagi hasil sistem bawon dari segi tinjauan hukum

isam dan hokum positif.

Bab kelima ini akan diakhiri dengan penutup yang berisi kesimpulan

dan saran. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah dan untuk

mengetahui sejauh mana penelitian telah dilakukan serta saran apa yang bisa

(28)

19

BAB II

KONSEP SISTEM BAWON

DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN DALAM HUKUM POSITIF

A. TINJAUAN HUKUM ISLAM (Mukha>barah dan Ujra>h)

1. Definisi dan Hukum Mukha>barah

Mukha>barah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah

atau tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan

dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan

bersama, sedangkan biaya, dan benihnya dari penggarap tanah.

Perbedaan antara pemilik muzara>’ah dan mukha>barah hanya terletak

dari benih tanamannya. Dalam muzara>’ah, benih tanaman berasal

dari pihak penggarap.

Pada umumnya, kerjasama mukha>barah ini dilakukan pada

perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti jagung, padi, dan

kacang. Namun, tidak menutupi kemungkinan pada tanaman yang

benihnya relatif murahpun dilakukan kerjasama muzara>’ah. Hukum

mukha>barah sama dengan muzara>’ah, yaitu mubah (boleh).

Landasan hukum mukha>barah adalah sabda Nabi SAW.:

ق ,رباخي ناك هن س اط ْنع

نم ْحرلا دْبع اب اي هل ْ ف رْمع لا

س هي ع ه ى ص ىبنلا ن ن ْ مع ْزي ْ ن ف ةرباخمْلا هذه ْكرت ْ ل

نْبا ىنْعي لاذب ْ م ْع ىن ْرب ْخ : رْمع ْى لا ف ةرباخمْلا نع ى ن

سابع

حنْمي لاق امنإ ا ْنع هْني ْ ل س هي ع ه ى ص يبنلا ن

سم ها ر( ام ْ ْعم اج ْرخ ا ْي ع ذخْ ي ْن ْنم هل رْيخ هاخ ْ كدح

(

(29)

bahwa Nabi Saw. telah melarang mukha>barah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. Tidak melarang mukha>barah itu, hanya beliau berkata: Seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik dari pada

ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu.‛

(HR. Muslim).

Ulama’ Malikiyah mendefinisikannya dengan persekutuan

atau kerjasama dalam mengolah dan menanam lahan.24

لا ىف ك ْرشل

ع ْرز

Artinya : ‚Perserikatan dalam pertanian.‛

Ulama’ Hanabilah mendefinisikannya sebagai berikut yakni

penyerahan suatu lahan kepada orang (buruh tani) yang mengolah

dan menanaminya, sedangkan hasil tanamannya dibagi antara

mereka berdua (pemilik lahan dan pengolah)25

ْنم ىلا ض ْرأْا عْفد

ام نْيب ع ْرزلا ا ْي ع لمْعي ْ ا عر ْزي

Artinya: ‚Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk

digarap dan hasilnya dibagi berdua.‛

Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indonesia disebut

sebagai ‚paruhan sawah‛. Penduduk Irak menyebutnya ‚

al-mukhaba>rah‛, tetapi dalam al-mukhaba>rah, bibit yang akan ditanam

berasal dari pemilik tanah.

Sementara itu, Imam Syafi’I mendefinisikan:26

لماعْلا نم رْذبْلا ا ْنم خر ْخي ام ضْعبب ض ْر ْأا لمع

24

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 275.

25

Ibid., 275.

26

(30)

21

Artinya: ‚Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan oleh penggarap.‛

Dalam mukhaba>rah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh

penggarap tanah, sedangkan dalam al-muzara>’ah, bibit yang akan

ditanam boleh dari pemilik. Jadi muzara>’ah itu yaitu kerjasama

antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi

hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan

benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam

kerjasama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus

kerjasama ini disebut al-mukhaba>rah.

Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair Ibn Huzail adalah

sebuah hadis berikut:

سم ها ر( .ةرباخمْلا نع ى ن س هي ع ه ى ص ه ل سر ن

)ه دبع نب رباج نع

Artinya: ‚Rasulullah SAW yang melarang melakukan mukha>bara>h.

(HR. Muslim dari Jabir Ibn Abdillah)

Al-Mukhabara>h dalam sabda Rasulullah itu adalah

al-muzara>’ah, sekalipun dalam al-mukhabara>h bibit yang akan ditanam

berasal dari pemilik tanah.

Menurut mereka, obyek akad dalam muza>ra’ah belum ada

dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk

petani adalah hasil pertanian yang belum ada dan tidak jelas

ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagi, sejak semula

tidak jelas. Boleh saja pertanian itu tidak menghasilkan, sehingga

(31)

yang bersifat belum ada dan belum jelas ukurannya inilah yang

membuat akad ini tidak sah. Adapun perbuatan Rasulullah dengan

penduduk Khaibar dalam hadis yang diriwayatkan al-jama’ah,

menurut mereka bukan merupakan akad al-muza>ra’ah, adalah

berbentuk al-kharaj al-muqasamah yaitu, ketentuan pajak yang

harus dibayarkan petani kepada Rasulullah setiap kali panen dalam

prosentase tertentu.

Kerjasama dalam bentuk muzara>’ah menurut kebanyakan

ulama fiqih hukumnya mubah (boleh). Dasar kebolehannya itu,

disamping dapat dipa hami dari keumuman firman Allah SWT yang

menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadis Nabi dari Ibnu

Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan:

لماع س هي ع ه ى ص ه ل ْ سر ن

جر ْخي ام رْطشب ربْيخ لْه

م ىراخبلا ها ر( .رمث ْ ع ْرز ْنم ا ْنم

.) سنلا د اد ب س

Artinya: ‚Bahwasannya Rasulullah SAW memperkerjakan

penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan.‛

(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, at-Tarmizi, dan Imam ahmas ibn Hanbal dari Abdullah ibn Umar)

2. Rukun dan Syarat Mukha>barah

Jumhur ulama yang membolehkan akad mukha>barah

mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga

akad dianggap sah.

Rukun mukha>barah menurut mereka sebagai berikut:

a. Pemilik tanah

(32)

23

c. Objek mukha>barah, yaitu antara manfaat tanag dan hasil kerja

petani

d. Ijab dan kabul. Contoh: ‚saya serahkan tanah pertanian saya ini

kepada engkau untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi

berdua.‛ Petani penggarap menjawab: ‚Saya terima tanah

pertanian ini untuk digarap dengan imbalan hasil dibagi dua.‛

Jika hal ini telah terlaksana, maka akad ini telah sah dan

mengikat. Namun, ulama Hanabilah mengatakan bahwa

penerimaan (Kabul) akad muzara>’ah tidak perlu dengan

ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani

langsung menggarap tanah itu.27

Adapun syarat-syarat mukha>barah, menurut jumhur

ulama sebagai berikut:

a. Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus

sudah baligh dan berakal.

b. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas,

sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan

menghasilkan.

c. Syarat alat pertanian yang digunakan, syarat yang digunakan

dalam mengolah lahan seperti binatang untuk membajak

tanah, dan berbagai peralatan yang biasa digunakan dalam

menggarap lahan pertanian, statusnya adalah sudah ikut

masuk kedalam akad dengan sendirinya, bukan merupakan

27

(33)

suatu yang dimaksudkan dan dikehendaki dalam akad. Jika

tidak, maka akad mukha>barah tidak sah.

d. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:

1) Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh

digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan

kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan

tanah pertanian, maka akad mukha>barah tidak sah.

2) Batas-batas tanah itu jelas

3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk

digarap.28

3. Bentuk – Bentuk Al-Mukha>barah

Menurut Muhammad dan Abu Yusuf, al-mukha>barah

memiliki empat bentuk, tiga diantaranya adalah sah, sedangkan

yang satunya lagi tidak sah. Bentuk-bentuk al-mukha>barah yang

dimaksud sebagai berikut:29

a. Modal lahan dan benih dari salah satu pihak, sedangkan

pekerjaan penggarapan lahan dan binatang untuk mengolah

lahan dari pihak yang lain. Bentuk al-mukha>barah ini adalah

boleh, sehingga disini pemilik lahan dan benih statusnya berarti

mempekerjakan pihak penggarap, sedangkan binatang yang

digunakan untuk membajak lahan itu memang menjadi

tanggungan pihka penggarap sebagai konsekuensidirinya

28

Ibid., 278-279.

29

(34)

25

dipekerjakan untuk menggarap lahan, sebab binatang tersebut

adalah alat untuk melakukan pekerjaannya.

b. Modal lahan dari salah satu pihak, sedangkan binatang, benih

dan penggarap lahan dari pihak lain. Bentuk al-mukha>barah ini

juga boleh, dan status pihak penggarapdisini berarti adalah

menyewa lahan dengan biaya sewa sebagian dari hasil panen

lahan yang digarap.

c. Modal lahan, binatang dan benih dari salah satu pihak,

sedangkan penggarapan dan pengolahan lahan dari pihak yang

lain. bentul al-mukha>barah ini juga boleh, dan status pemilik

lahan disini berarti adalah mempekerjakan pihak penggarap

dengan upah sebagian dari hasil panen lahan yang digarap.

d. Modal lahan dan binatang dari salah satu pihak, sedangkan

modal benih dan penggarap lahan dari pihak yang lain. Ini

adalah bentuk al-mukha>barah yang tidak sah menurut zhahir

riwayat. Karena seandainya diasumsikan bahwa akad tersebut

adalah penyewaan lahan, maka persyaratan binatang yang

dibutuhkan untuk membajak dan mengolah lahan menjadi

tanggungan pihak pemilik lahan, adalah merupakan akad sewa

tersebutdan menjadikannya tidak sah. Karena tidak mungkin

menjadikan posisi binatang tersebut mengikuti lahan, atau

dengan kata lain tidak mungkin menjadikan penyediaan

fasilitas berupa binatang pembajak sebagai konsekuensi atau

(35)

fungsi dan kemanfaatan (kegunaan) antara lahan dan binatang

yakni fungsi dan kegunaan lahan adalah untuk menumbuhkan,

sementara binatang fungsi dan kegunaannya adalah bekerja dan

membajak lahan, dan seandainya diasumsikan bahwa akad

tersebut adalah akad yang mempekerjakan pihak penggarap,

maka adanya ketentuan modal benih menjadi tanggungannya

adalah merusak akad tersebut, karena tidak dimungkinkannya

menjadikan penyediaan benih oleh pihak yang dipekerjakan

untuk menggarap lahan sebagai konsekuensi atau prasyarat

dirinya dipekerjakan. Berdasarkan hal ini, maka suatu akad

al-muza>ra’ah tidak sah jika ada ketentuan fasilitas peralatan untuk

menggarap lahan, atau binatang pembajak, atau

pekerjaanmenggarap lahan menjadi tanggungjawab pihak

pemilik lahan. Begitu juga, akad akad al-mukha>barah tidak sah

jika ada ketentuan bahwa semua hasil panennya adalah untuk

salah satu pihak saja, atau ada ketentuan bahwa pemanenan dan

penebahan, atau mengangkut, merawat dan menjaga hasil panen

adalah menjadi tanggungjawab pihak penggarap karena semua

itu tidak memiliki kaitan dengan kepentingan tanaman atau

dengan kata lain tidak termasuk hal-hal yang dibutuhkan dalam

pengolahan dan penggarapan lahan.

(36)

27

Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad

al-mukha>barah, apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya,

maka akibat hukumnya sebagai berikut:30

a. Petani bertanggungjawab mengeluarkan niaya benih dan niaya

pemeliharaan pertanian itu

b. Biaya pertanian, seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya

pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanah

sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.

c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

d. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah

pihak. Apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan

ditempat masing-masing. Apabila kebiasaan tanah itu diairi

dengan air hujan, maka masing-masing tidak boleh dipaksa untuk

mengairi tanah itu dengan irigasi. Apabila tanah pertanian itu

biasanya diairi melalui irigasi, sedangkan dalam akad disepakati

menjadi tanggungjawab petani, maka petani bertanggungjawab

mengairi pertanian itu dengan irigasi.

e. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, akad

tetap berlaku sampai panen, dan yang meninggal diwakili oleh

ahli warisnya, karena jumhur ulama berpendapat bahwa akad

upah mengupah bersifat mengikat kedua belah pihak dan boleh

diwariskan. Oleh sebab itu, menurut mereka kematian salah satu

pihak yang berakad tidak membatalkan akad ini.

30Ibnu ‘Abidin,

(37)

5. Berakhirnya Akad Al-Mukha>barah

Para ulama fiqh yang membolehkan akad al-mukha>barah

mengatakan bahwa akad ini akan berakhir apabila: 31

a. Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi, apabila

jangka waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu

belum layak panen, maka akad itu tidak dibatalkan sampai panen

dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama diwaktu

akad. Oleh sebab itu, dalam menunggu panen itu, menurut

jumhur ulama, petani berhak mendapatkan upah sesuai dengan

upah minimal yang berlaku bagi petanisetempat. Selanjutnya,

dalam menunggu masa panen itu biaya tanaman, seperti pupuk,

biaya pemeliharaan, dan pengairan merupakan tanggungjawab

bersama pemilik tanah dan petani, sesuai dengan prosentase

pembagian masing-masing.

b. Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah seorang

yang berakad wafat, maka akad al-mukha>barah berakhir, karena

mereka berpendapat bahwa akad al-ij>arah tidak boleh diwariskan.

Akan tetapi ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat

bahwa akad al-mukha>barah itu dapat diwariskan. Oleh sebab itu,

akad tidak berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang

berakad.

c. Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pemilik tanah maupun

dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak boleh

31

(38)

29

melanjutkan akad al-mukha>barah itu. Uzur dimaksud antara lain

adalah:32

1) Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu

harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang dapat melunasi

utang itu. Pembatalan ini harus dilaksanakan melalui campur

tangan hakim. Akan tetapi, apabila tumbuh-tumbuhan itu telah

berbuah, tetapi belum layak panen maka tanah itu tidak boleh

dijual sampai panen.

2) Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu

perjalanan keluar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakan

pekerjaannya.

6. Zakat Muzara>’ah dan Mukha>barah

Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu dibebankan

kepada orang mampu. Dalam arti telah mempunyai harta hasil

pertanian yang wajib dizakati (jika telah sampai batas nisab). Maka

dalam kerja sama seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik

sawah/ladang dan penggarap)membayar zakat bila telah nisab.

Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam

muzara>’ah yang wajib zakat ialah pemilik tanah, karena dialah

yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.

Dalam mukha>barah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani),

kerena dialah hakikatnyayang menanam, sedangkan pemilik tanah

seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari

32

(39)

keduanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah

senisab, sebelum pendapatan dibagi dua.

Menurut Yusuf Qardawi, bila pemilik itu menyerahkan

penggarapan yanahnya kepada orang lain dengan imbalan

seperempat, sepertiga, atau setengah hasil sesuai dengan perjanjian,

maka zakat dikenakan atas kedua bagian pendapatan

masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup

senisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib atas

yang memiliki bagian yang cukup senisab, sedangkan yang tidak

cukup senisab tidak wajib zakat. Tetapi Imam Syafi’i, berpendapat

bahwa keduanya dipandang satu orang, yang oleh karena itu wajib

secara bersama-sama menanggung zakatnya bila jumlah hasil

sampai lima wasaq: masing-masing mengeluarkan 10% dari

bagiannya.33

7. Hikmah Muzara>’ah dan Mukha>barah

Sebagian orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia

mampu untuk menggarap sawah dan dapat mengembangkannya,

tetapi tidak memiliki tanah. Adapula orang yang memiliki tanah

subur untuk ditanami tapi tidak punya binatang ternak dan tidak

mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerjasama antara

mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan

yang lain menggarap dan bekerja menggunakan binatangnya

dengan tetap mendapatkan bagiannya masing-masing, maka yang

33

Yusuf Qardawi, Fiqh al-zakat (Hukum Zakat), penerjemah: Salman Harun (et al),

(40)

31

terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah

pertanian yang merupakan sumber kekayaan terbesar.34

8. Rekayasa Legalitas

Rekayasa legalitas (hi>lah) disini adalah menyiasati agar

kebuntuan hukum akad muza>ra’ah dan mukha>barah bisa

terpecahkan, sehingga memiliki legalitas hukum dan bisa menjadi

solusi dari desakan hajat aktivitas komersial.

Dalam akad mukha>barah, dimana benih, tenaga, dan alat

kerja dari pihak ‘a>mil, dan pihak ma>lik hanya bermodal lahan, maka

ada dua rekayasa untuk menyiasati akad mukha>barah menjadi sah

dan panen bisa dibagi hasil.

1) Pertama, ‘a>mil menyewa sebagian lahan ma>lik, 50%

misalnya, dengan upah berupa 50% dari benihnya, untuk

digunakan menanam sebagian benih miliknya. Kemudian

‘a>mil memberikan 50% jasanya untuk menanam dan

merawat benih milik ma>lik secara gratis.

2) Kedua, ‘a>mil menyewa sebagian lahan ma>lik, 50%

misalnya, dengan upah berupa 50% dari benihnya untuk

digunakan menanam sebagian benih miliknya, dan dengan

50% dari jasanya untuk menanam dan merawat benih milik

ma>lik.

Dengan siasat di atas, maka ma>lik dan ‘a>mil telah berkongsi

(syirkah) pada tanaman dan manfaat lahan dengan nisbah 50:50.

34

(41)

Sebab, dari seluruh benih yang ditanam, 50% adalah milik ‘a>mil

dan 50% adalah milik ma>lik, demikian juga dari seluruh

manfaat lahan, 50% adalah milik ‘a>mil dan 50% adalah milik

ma>lik. Sehingga ketika panen, masing-masing memiliki hak

dengan margin profit 50:50.35

9. Pengertian dan Dasar Hukum Ujrah

Ujrah adalah upah yang diberikan kepada pekerja dari

pengusaha atau majikan atas jasa yang dilakukan oleh pekerja atau

buruh. Upah dalam bahasa arab disebut Ujrah yang berasal dari

kata ajrun yang berarti Al-‘iwadu (ganti). Sedangkan menurut

istilah yang dimaksud upah atau ujrah adalah mengambil ganti

atas pengambilan manfaat tenaga orang lain dengan syarat

tertentu.36

Menurut terminologi syara’, ujrah adalah keharusan melakkan

sesuatu secara mutlak sebagai bayara tertetu atas satu pekerjan

tertentu.37

Istilah upah dalam sehari-hari diartikan leh fukaha yaitu yaitu

member upa kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya

yang hilang atau mengobati oaring yang sakit atau menggali

sumur ampai memancarkan mata air. Jadi ujrah bukan hanya

35

Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 323.

36Ibnu Mas’ud dan Zainul Abidin, Fiqh Madzab Syafi‟I

Buku 2 Edisi lengkap,( Bandung: CV Pustaka Setia,2007), 138.

37

(42)

33

terbatas pada barang yang hilang namun dapat diartikan setiap

pekerjaan yang dapat menguntungkan seseoarang.38

Sementara al-Maghribiy39 mendefinisikannya sebagai berikut:

ْي ْمت

م ْ ْعم

انمز

ام ْ ْعم

ض عب

ْ ْعم

‚Pemilikan terhadap sesuatu yang jelas untuk waktu yang jelas

dengan imbalan yang jelas‛

Di dalam surat al-Baqarah ayat 233 disebutkan tentang izin

terhadap seorang suami memberikan imbalan materi terhadap

perempuan yang menyusui anaknya. Lengkapnya ayat tersebut

berbunyi:

ْنإ

ْتْدر

ْن

ا ْ عض ْرتْست

ْكدَ ْ

لف

حانج

ع

ْكْي

اذإ

ْتْم س

ام

ْتْيتآ

ف ْ رْعملاب

.

.

Artinya : ‚Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan

pembayaran menurut yang patut…. (QS. Al-Baqarah : 233)40

Dalam riwayat Ibnu Majah, Nabi Saw bersabda:

نع

دْبع

ه

رمع

لاق

ل ْ سر

ه

هر ْج رْيجأْاا طْع

لْبق

ْنا

فجي

هقرع

‚Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering‛.41

10.Rukun dan Syarat Ujrah (upah)

38

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalat, Cet 1, (Jakarta: Kencana, 2010), 141

39

Muhammad bin 'Abd al-Rahman al-Maghribiy, Mawahib al-Jalil Juz V, 389.

40

Depertemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya (Surabaya:CV. Karya Utama, 2002), 47.

41

(43)

Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk suatu sehingga

sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang

membentuknya.42 Menurut ulama kontemporer rukun yang

membentuk akad ada empat:

a. Para pihak yang membentuk akad (balig dan berakal)

b. Ijab dan qabul

c. Objek Pekeraan

d. Tujuan akad

Hukum yang disebut di atas harus ada untuk terjadinya

akad.43

a. Syarat Ujrah (Upah)

1) Adanya kerelaan di antara kedua belah pihak yang berakad

untuk melakukan ujrah apabila salah seorang diantra keduanya

terpaksa melakukan akad maka akadnya tidak sah (batal).

2) Objek ujrah suatu yang dihalalkan oleh syara’, ini berarti

agama tidak memperbolehkan mengupah seseorang untuk

disuruh melakukan maksiat ataupun membunuh orang.44

Penjelasan objek kerja dalam penyewaan tenaga kerja adalah

sebuah tuntutan untuk menghindari ketidak jelasan. Hal ini

karena ketidak jelasan dapat menyebabkan perselisihan dan

42

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (jakarta: PT Raja grafindo persada: 2007),95-96

43

Musthafa Ahmad az-Zarqa’, al-Fiqh al-Islami Fi Saubihi al-Jadid;al-Madkhol al-Fiqhi al-Amm.(Damaskus: Matabi’ Alifba’ al-Adib, 1967), 312.

44

(44)

35

mengakibatkan rusaknya suatu akad. Jika ada seorang

menyewa orang pekerja atau buruh tanpa menyebutkan objek

kerjanya, seperti menjahid, mengembala, mencangkul, dan

sebagainya, maka akadnya tidak sah. Perlunya penjelasan

objek kerja bagi para tenaga kerja kolektif dengan

menunjukan atau menentukan, atau dapat pula dengan

penjelasan jenis, tipe, dan sifat. Apabila seseorang menyewa

pekerja untuk menggali sumur, maka harus dijelaskan kepada

mengenai lokasi, kedalaman, dan lebar sumur tersebut, karena

penggalian sumur berbeda-beda sesuai kondisi itu.

3) Tidak boleh dan dilarang ujrah itu dilakukan pada sesuatu

yang sifatnya fardhu ‘ain. Seperti menyewa seseorang untuk

berperang atau atau mengerjakan sholat lima waktu, sebab

manfaat (pahala) tidak jatuh untuk si mustajir tetapi untuk

orang yang mengerjakannya.

4) Upah dalam akad ujrah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang

bernilai harta, penegasan upah sewa dalam akad merupakan

sesuatu yang harus diketahui, hal ini untuk mencegah

terjadinya perselisihan dikemudian hari. Kedua belah pihak

(45)

antra keduabelah pihak untuk menghindari adanya

perselisihan dan guna mempertegas akad.45

11.Upah yang Dihalalkan dan Diharamkan

a. Upah yang Dihalalkan

1) Upah Jasa Menyusui

Membayar orang lain untuk menyusui hukumnya

boleh dengan upah yang jelas atau berupa makanan dan

pakain. Selain itu syaratnya juga jelas mengenai masa

waktu menyusui, mengetahui anak yang disusui dan

mengetahui tempat melakukan jasa tersebut.46

2) Upah tukang bekam

Berbekam artinya mengeluarkan darah dari kepala

seseorang dengan cara menghirupnya dengan bantan

semacam alat.

3) Upah bekerja sebagai buruh tani

Diperbolehkan seorang muslim bekerja sebagai buruh

tani, seperti bekerja dalam pembuatan batu bara, bercocok

tanam

4) Upah bekerja sebagai pegawai

45

Dmayuddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 157.

46

(46)

37

Seoarng muslim diperbolehkan bekeja sebagai

pegawai, baik pegawai negeri atau swata selam dia

mampu memikul pekerjaannya dan menunaikan

kewajibannya. Tetapi seorang muslim tidak boleh

mencalonkan dirinya untuk suatu pekerjaan yang bukn

ahlinya, lebih-lebih menduduki jabatan hakim.47

b. Upah yang Diharamkan

1) Upah dari hasil mentato

Yang dimaksud upah dari hasil mentato adalah

menusuk-nusuk jarum atau sebangsanya dipunggung

telapak tangan atau anggota tubh wanita atau pria

kemudian memberikan celak atau kapur pada bekas

tusukan tersebut sehingga kulitnya berubah menjadi

warna hijau

2) Upah tarian dari seni tubuh

Islam tidak dapat menerima apa yang disebut dengan

pekerjaan tarian dan semua pekerjaan yang dapat

menimbulkan ghairah seperti nyanyian porno dan

lain-lain.

3) Upah dri hasil minuman keras dan narkotika

47

(47)

Islam mengharamkan setiap persekutuan dalam hal

arak, baik yang membuat, membagikannya, dan

meminumnya.48

B. TINJAUAN BAGI HASIL DALAM HUKUM POSITIF

(Undang-Undang No. 2 Tahun 1960)

Pengertian perjanjian bagi hasil menurut seorang penulis

bernama Jenny yang dikutip oleh A.M.P.A Scheltema (1982:1)

mengemukakan sebagai berikut ‚Bagi Hasil dalam pertanian

merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil

terhadap dua unsur produksi yaitu modal kerja, dilaksanakan menurut

perbandingan tertentu dari hasil bruto tanah tersebut dan pula dalam

bentuk natural dengan perkembangan usaha tani.‛

Perjanjian Bagi Hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara

seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dari orang lain

yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap

diperkenankan mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan

pembagian hasilnya antara penggarap dan yang berhak atas tanah

tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama.

Perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil semula diatur

didalam hukum Adat yang didasarkan pada kesepakatan antara pemilik

tanah dan petani penggarap dengan mendapat imbalan hasil yang telah

disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak.

48

(48)

39

Perjanjian bagi hasil itu merupakan suatu perjanjian yang sudah

tidak asing lagi bagi masyarakat pedesaan, yang sebagian besar dari

mereka umumnya adalah petani. Namun pengusahaan tanah dengan

bagi hasil di setiap daerah di Indonesia itu berbeda-beda nama dan

pengaturanya.

Sementara aturan yang mengikat khususnya di Indonesia, pada

tanggal 7 Januari 1960 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Adapun yang menjadi tujuan

utama lahirnya undang-undang ini sebagaimana dikemukakan dalam

memori penjelasan undang-undang itu, khususnya dalam penjelasan

umum poin (3) disebutkan:

‚Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang

ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang sangat merugikan

mereka, dari golongan yang kuat sebagaimana halnya dengan

perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang agraria

diadakanlah undang-undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian

bagi hasil tersebut dengan maksud‛:

1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya

dilakukan atas dasar yang adil.

2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik

dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak

bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu

(49)

tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang

ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.

3. Dengan terselenggaranya maka akan bertambah bergembiralah para

petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada

produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju

dalam melaksanakan program akan melengkapi ‚sandang pangan‛

rakyat.

Kemudian dalam rangka perimbangan bagi hasil yang

sebaik-baiknya antara kepentingan masing-masing pihak pemilik tanah dan

penggarap telah dikeluarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri

dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor

714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak antara

pemilik tanah dan penggarap, yang mana dalam keputusan tersebut di

atas dikemukakan pada poin kedua menetapkan sebagai berikut:

Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap

dan pemilik.

Menurut Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 tentang

Pedoman Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang

Perjanjian Bagi Hasil, cara pembagian imbangan bagi hasil adalah

sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang mengatur mengenai

besarnya bagian hasil tanah sebagai berikut :

1. 1 (satu) bagian untuk penggarap dan 1 (satu) bagian untuk pemilik

(50)

41

2. 2/3 (dua pertiga) bagian untuk penggarap serta 1/3 (satu pertiga)

bagian untuk pemilik bagi tanaman palawija di sawah dan padi yang

ditanam di ladang kering.

Sedangkan dalam ayat (2) pasal tersebut mengatur Hasil yang

dibagi adalah hasil bersih, yaitu hasil kotor sesudah dikurangi

biaya-biaya yang harus dipikul bersama seperti benih, pupuk, tenaga ternak,

biaya menanam, biaya panen dan zakat.

Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak

penggarap dan pemilik diatur dalam Keputusan Bersama Menteri

Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211 Tahun 1980 Nomor

714/Kpts/Um/9/1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Instruksi Presiden

Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1980 adalah sebagai berikut:

1. Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga

tanam dan panen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 dinyatakan dalam bentuk

hasil natura padi gabah, sebesar maksimum 25 persen dari hasil

kotor yang besarnya dibawah atau sama dengan hasil produksi

rata-rata dalam Daerah kabupaten atau kecamatan yang bersangkutan

dalam bentuk rumus seperti berikut:

Z = 1/4X

Dalam mana :

Z = biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga

tanam dan panen.

(51)

1. Jika hasil yang diperoleh penggarap tidak melebihi hasil produksi

rata-rata Daerah Kabupaten/ kecamatan, maka hasil kotor setelah

dikurangi biaya yang dihitung dengan rumus, dibagi dua sama

besarnya antara penggarap dan pemilik tanah dalam bentuk rumus

1 : Hak penggarap = Hak pemilik = X-Z = X-1/4X

2. Jika hasil yang dicapai oleh penggarap diatas hasil produksi

rata-rata Daerah Kabupaten/ kecamatan, maka besarnya bagian yang

menjadi hak penggarap dan pemilik sebagai berikut:

Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi

menurut rumus diatas.

Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara

penggarap dan pemilik dengan imbangan 4 bagian penggarap dan 1

bagian pemilik atau dalam bentuk rumus II:

Hak penggarap =Y-Z + 4(X-Y) = Y-1/4Y + 4(X-Y)

Hak pemilik = Y-Z + 1(X-Y) = Y-1/4Y +X-Y

Dimana Y = hasil produksi rata – rata daerah Kabupaten/

Kecamatan yang bersangkutan.

1. Jika di suatu daerah bagian yang menjadi hak penggarap pada

kenyataanya lebih besar dari apa yang ditentukan dalam rumus 1

dan rumus 11 di atas, maka tetap diperlukan imbangan yang lebih

menguntungkan penggarap.

2. Ketetapan Bupati /walikota mengenai besarnya imbangan bagi hasil

tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik, serta hasil produksi

(52)

43

bersangkutan diberitahukan kepada DPRD Kabupaten/kota

setempat.

3. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No.2 tahun 1960 Pasal 7

zakat sisihkan dari hasil kotor yang mencapai nisob, untuk padi

ditetapkan sebesar 14 kwintal.

4. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Pasal 8

pemberi ‘srama’ oleh calon penggarap kepada pemilik tanah

dilarang.

5. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Pasal 9,

pajak tanah sepenuhnya menjadi beban pemilik tanah dan dilarang

untuk dibebankan kepada penggarap.49

Contoh rumus I :

Disuatu daerah tingkat II, Oleh Bupati/Walikotamadya tetapkan

bahwa hasil produksi rata-rata 1 Ha sawah adalah sebesar 2000 Kg

Gabah, dan dari hasil oengolahan ternyata hasil yang diperoleh

hanya sebesar 1800 Kg. Maka pembagiannya adalah sebagai

berikut:

Hak Penggarap = Hak Pemilik = X – Z / 2 = X-1/4X / 2

1800-Z / 2 = 1800-450 / 2 = 1350/2 = 675 Kg

Hasil akhir :

1. Untuk penggarap = 450+675 = 1125 Kg

2. Untuk pemilik = 675 Kg

Contoh Rumus II :

49

(53)

Disuatu Daerah Tingkat II, oleh Bupati/Walikotamadya Kepala

Daerah ditetapkan hasil produksi rata-rata 1 Ha sawah adalah

sebesar 1800 Kg Gabah, ternyata setelah diolah, hasil produksi

mencapai 3000 Kg Gabah. Maka pembagiannya adalah sebagai

berikut ;

Langkah pertama, yaitu sampai hasil produksi rata-rata diselesaikan

dengan rumus I, yang mana masing-masing pihak memperoleh

bagian sebagai berikut :

Untuk penggarap = 1125 Kg

Untuk pemilik = 675 Kg

Langkah kedua, adalah pembagian sisa dari hasil produksi rata-rata,

yaitu 3000 – 1800 = 1200 Kg. sisanya ini dibagi dengan rumus II.

Rumus :

Hak Penggarap = Y-Z/2 + 4(X-Y)/5 = Y-1/4X / 2 + 4(X-Y) / 5

Hak Pemilik = Y-Z/2 + 1(X-Y)/5 = Y-1/4X / 5 + X-Y/5

Hak Penggarap = 1125 + 4(1200)/5 = 1125 + 960 = 2085 Kg

Hak Pemilik = 675 + 1(1200)/5 = 675 + 240 = 915 Kg

Hasil Akhir:

Hak Penggarap = 1125 Kg + 960 Kg = 2085 Kg

Hak Pemilik = 675 + 240 Kg = 915 Kg

Dalam perkembangannya, perjanjian bagi hasil kemudian

mendapat pengaturan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960

(54)

45

di Indonesia. Berdasarkan peng

Gambar

Tabel 3.1 Luas Tanah di Desa Krembangan
Tabel 3.3 Profesi Penduduk Desa Krembangan
Tabel 3.4 Pendidikan Masyarakat Desa Krembangan
Tabel 3.5 Sarana Peribadatan Desa Krembangan 2015
+3

Referensi

Dokumen terkait

A 2050-ig látható előrejelzés és a CEF által meghatározott célok is abba az irányba mutatnak, hogy a domináns közúti közlekedés mellé a vasúti kapcsolatok

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun urang aring memiliki efektivitas dalam menghambat pertumbuhan E.coli, diameter zona hambat menunjukkan seiring dengan

Ia memang berwatak keras, tetapi ia sangat bertanggung jawab, maafkan atas kecerobohan anakku." Demikian pesan Raja Kuripan kepada adik- nya Raja Daha ketika

Pencahayaan alami yang diterapkan dalam bangunan ini berasal dari sinar terang langit, dengan tujuan untuk menghemat energi listrik pada lampu. Hal ini

Groups with only one case are ignored in computing the test of homogeneity of variance for X1_PELIBATAN. Groups with only one case are ignored in computing the test of homogeneity

Hal terebut juga dapat mengubah kebiasaan dan gaya hidup para konsumen, menurut Lina dan Rosyid (dalam E. Sonia, 2008:1) kebiasaan dan gaya hidup orang juga berubah dalam waktu

Bentuk dari penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rahma Nurvidiana dkk (2015) “Pengaruh Word Of Mouth Terhadap Minat Beli Serta Dampaknya Pada

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pembelajaran tipe TPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa Kelas XI MIA.2 SMA Negeri 3 Model Takalar yang