SKRIPSI
Oleh: Lilis Syafarotin NIM. C02212022
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH) SURABAYA
vii
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Bagi Hasil Sistem Bawon Di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo adalah hasil penelitian lapangan (field research) untuk menjawab pertanyaan tentang Bagaimana praktik bagi hasil sistem bawon pada perbandingan hasil panen persawahan di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo?, dan bagaimana tinjauan hukum positif terhadap bagi hasil sistem bawon di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo? serta bagaimana tinjauan hukum islam terhadap bagi hasil sistem bawon di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo?.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik wawancara (interview) dan observasi. Setelah data terkumpul, data diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif verifikatif dengan pola pikir deduktif yaitu penyimpulan data yang bertitik tolak dari segi hukum Islam kemudian ditarik menuju fakta-fakta di lapangan yang sifatnya khusus yaitu mengenai pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh pemberi utang.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, praktik bagi hasil sistem bawon pada perbandingan hasil panen persawahan di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo, dengan studi kasus pihak I sebagai pemilik tanah, pihak II sebagai pengelola (pembiaya) dan bagi hasil yg diperoleh ½:½. Ditinjau dari hukum Islam kejadian tersebut termasuk akad mukha>barah. Sedangkan antara pihak II (pengelola) dan pihak III sebagai buruh panen, dalam tinjauan hukum islam termasuk akad ujrah (upah), dengan bagi hasil sistem bawon itu sah, karena rukun dan syaratnya terpenuhi, dalam praktik pengupahannya tidak ada unsur-unsur dalam transaksi tersebut yang bertolak belakang dengan kaidah hukum Islam. Sedangkan ditinjau dari hukum positif Undang-Undang No. 2 tahun 1960 menyimpulkan bahwa sudah sejalan dengan undang-undang tersebut terutama pada konsep bagi hasil dan tujuannya, hanya saja dalam sistem bawon akadnya tak tertulis sedangkan dalam undang-undang akadnya harus tertulis.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... vi
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK... ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR TRANSLITERASI ... xvi
BAB I PENDAHULUAN……… ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi Masalah ... 6
C.Batasan Masalah ... 7
D.Rumusan Masalah ... 8
E. Kajian Pustaka ... 8
F. Tujuan Penelitian ... 11
xii
H.Definisi Operasional ... 12
I. Metode Penelitian ... 13
J. Sistematika Pembahasan ... 17
BAB II KONSEP SISTEM BAWON DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUK POSITIF ... 19
A.Tinjauan Hukum Islam (mukha>barah dan ujrah)... 19
1.Definisi dan Hukum mukha>barah... 19
2.Rukun dan syarat mukha>barah ... 23
3.Bentuk-bentuk mukha>barah ... 24
4.Akibat akad mukha>barah... 27
5.Berakhirnya akad mukha>barah ... 28
6.Zakat muza>ra’ah dan mukho>barah ... 29
7.Hikmah muza>ra’ah dan mukha>barah ... 31
8.Rekayasa legalitas ... 31
9.Pengertian dan hukum ujrah ... 32
10.Rukun dan syarat ujrah ... 34
11.Upah yang dihalalkan dan yang diharamkan ... 36
B.Tinjauan bagi hasil dalam hukum positif ... 38
BABIII PRAKTIK BAGI HASIL SISTEM BAWON DI DESA KREMBANGAN KECAMATAN TAMAN KABUPATEN SIDOARJO A. Deskripsi Tentang Lokasi Penelitian ... ... 47
1. Keadaan Geografis... ... 47
2. Kependudukan dan Sosial Ekonomi... ... 48
4. Struktur Pemerintahan ... 54
B. Peraktik bagi hasil sistem bawon di Desa Krembangan ... 55
1. Pelaksanaan bagi hasil sistem bawon ... 55
2. Biaya operasional persawahan ... 64
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP BAGI HASIL SISTEM BAWON DI DSA KREMBANGAN KECAMATAN TAMAN KABUPATEN SIDOARJO A. Tinjauan Hukum Islam ... ... 66
B. Tinjauan Hukum Positif ... 77
BABV PENUTUP……… 83
A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA ……… 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan bumi dan seisinya merupakan salah satu
kekuasaan manusia yang dianugerahkan sebagai makhluk sosial, dimana
mereka hidup saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Allah SWT juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT
dalam rangka menegakkan hablunminAlla>h dan hubungan antara sesama
manusia dalam rangka menegakkan hablumminan-na>s yang keduanya
merupakan misi kehidupan manusia yang diciptakan sebagai kholifah di atas
bumi. Hubungan antara sesama manusia itu bernilai ibadah bila dilaksanakan
sesuai dengan petunjuk Allah SWT sebagaimana telah diuraikan dalam kajian
fiqih.1
Dalam kajian fiqih hubungan antara sesama manusia diantaranya
meliputi jual beli, hutang piutang, jasa penitipan, sewa menyewa, gadai,
kerjasama dan lain sebagainya. Tak ada seorangpun yang bisa memenuhi
kebutuhannya tanpa bantuan orang lain dan untuk bisa memenuhi kebutuhan
itulah mereka bekerja sama dengan cara bermuamalah.2 Muamalah pada
awalnya mencakup segala macam aktifitas manusia, sehingga ruang
1 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 175.
2 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
lingkupnya sangat luas. Meskipun aktifitas manusia terus berkembang, Islam
tidak mendapatkan kesulitan membimbing umatnya bidang muamalah.3
Jenis dan bentuk muamalah yang dilaksanakan oleh manusia sejak
dahulu sampai sekarang berkembang sesuai dengan kebutuhan dan
pengetahuan manusia itu sendiri. Atas dasar itu dijumpai dalam berbagai
suku bangsa jenis dan bentuk muamalah yang beragam, yang esensinya
adalah saling melakukan interaksi sosial dalam upaya memenuhi kebutuhan
masing-masing sesuaia dengan firman Allah SWT dalam surat Al- Isra>’ ayat
84:
َُ فُِِتَلِكاَشُىَلَعُُلَمْعَ يٌُلُكُْلُق
ًُليِبَسُىَدَْأَُوُُْنَمِبُُمَلْعَأُْمُكبَر
-٤٨
-Artinya: Katakanlah (Muhammad), ‚Setiap orang berbuat sesuai dengan
pembawaannya masing-masing.‛ Maka Tuhan-mu lebih Mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.(QS. Al-Isra>’).4
Salah satu bentuk hukum muamalah yang sering terjadi adalah
kerjasama antara manusia, di satu pihak sebagai penyedia jasa manfaat atau
tenaga yang lazim disebut sebagai buruh atau pekerja dengan orang lain
yang menyediakan pekerjaan yang lazim pula disebut sebagai majikan. Dalam
rangka saling memenuhi kebutuhannya pihak buruh mendapatkan kompensasi
berupa upah. Dalam hal ini kerjasama dalam kehidupan sehari-hari
mempunyai banyak macam, namun lebih rincinya dalam hal ini akan dibahas
mengenai kerjasama di persawahan suatu desa. Dalam literatur fiqih sering
disebut dengan istilah muza>ra’ah atau mukha>barah, yakni pemilik sawah
3 Qurais Shihab, Fatwa-atwa Qurais Shihab, (Bandung: Mizan, 1990), xvii.
3
menyerahkan tanahnya untuk dikelola atau untuk ditanami sehingga bisa
menghasilkan sesuatu.
Dasar hukum yang digunakan para ulama’ mengenai transaksi
muza>ra’ah dan mukha>barah yakni sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a :
ُْعَ بَُقُفْرَ يُْنَاَرَمَاُْنِكَلَوُُةَعَراَزُمْلاُِمِرَحُيُْمَلُمُصُىِب لاُنِإ
َُُلُْتَنَاكُْنَمُِِلْوَقِبٍُضْعَ بِبُْمُهُض
ُْك ِسْمُيْلَ فُىَبَأُْنِاَفُُاَخَاُاَهْحَْمَيِلْوَأُاَهْعَرْزَ يْلَ فُ ضْرَأ
ُ
َىراخبلاُ اورَُُُضْرَا
ُ
Artinya: Sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan, tidak mengharamkan bermuza>ra’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebgaian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, berang siapa yan memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Nasa’I dari Rafi’ r.a. dari Nabi
SAW., beliau bersabda:
ُُعَرْزَ يَُوُهَ فُ ضْرَأَُُلُ لُجَرُ ةَثَلَثُُعَرْزَ يُاَمنِإ
ُىَرْكَتْسِاُ لُجَرَوُاَهُعَرْزَ يَُوُهَ فُاًضْرَاَُحُِمُ لُجَرَوُاَه
َىئاس لاُودوادوبأُ اورٍُُةضِفْوَاُ ٍبَ َذِبُأًضْرَأ
Artinya: Yang boleh bercocok tanam hanya tiga macam orang: laki-laki yangada tanah, maka dialah yang berhak menanamnya dan laki-laki yang diserahi manfaat tanah, maka dialah yang menanaminya dan laki-laki yang menyewa tanah dengan mas atau perak. 5
Kerjasama mengenai pengelolaan sawah dalam beberapa literature
fiqih sering dibahasakan dengan muza>ra’ah atau mukha>barah yaitu
ketentuannya telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi
keadilan dan tidak merugikan salah satu pihak baik pemilik tanah maupun
buruh itu sendiri. Konsekuensi dari adanya ketentuan ini adalah bahwa sistem
kerjasama bagi pekerja dan pemilik tanah harus sesuai dengan ketentuan
norma yang telah ditetapkan. Menurut pengertian syara’, muza>ra’ah atau
mukha>barah berarti akad kerjasama dalam pemindahan hak guna dari barang
atau jasa yang diikuti dengan pembayaran upah atau biaya sewa tanpa
disertai dengan perpindahan hak milik.6 Adapun perbedaan antara muza>ra’ah
dan mukha>barah tersebut yakni
Muza>ra’ah Mukha>barah
Kerjasama antara pemilik tanah
dan pekerja dengan benih dari
pemilik tanah.
Akad syirka>h
Kerjasama antara pemilik tanah
dan pekerja dengan benih dari
pekerja.
Akad Ij>arah
Adapun bagi hasil atau kerjasama dalam persawahan ditinjau dari segi
hukum positif yang terdapat dalam Undang – Undang No. 2 Tahun 1960 yang
terdapat 17 pasal. Setiap pasal tersebut menjelaskan mengenai beberapa hal
diantaranya persyaratan menjadi penggarap yang tidak melebihi dari 3 hektar
tanah, macam-macam tanag garapan, bentuk perjanjian antara pemilik tanah
dan penggarap dalam bentuk tertulis dan diketahui oleh kepala desa dan
camat setempat. Adapun jangka waktu yang diatur dalam Undang - Undang
ini yakni selama 5 tahun dengan berbagai ketentuan, serta syarat pembatalan
dalam perjanjian ini. Mengenai bagi hasil persawahan akan dibagi kedua
5
belah pihak sesuai dengan kesepakatan tetapi mengenai pembagian hasil
tanah akan dibagi sesuai dengan Undang-Undang ini akan ditentukan oleh
Bupati setempat.
Perbedaan yang terjadi di dalam kebiasaan lokal Desa Krembangan
Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo, pada waktu panen padi seolah-olah
sudah menjadi suatu kebenaran dalam sistem bagi hasil buruh tani ketika
panen padi. Wilayah Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten
Sidoarjo adalah sebuah Desa yang sebagian wilayahnya merupakan lahan
pertanian yang berupa sawah yang dialiri dengan air irigasi teknis dan sawah
tadah hujan, yang terkadang bisa mengalami gagal panen, terutama pada
musim kering. Dengan demikian hampir mayoritas masyarakatnya selain
sebagai karyawan pabrik yakni sebagai petani dan buruh tani yang masih
minim dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.7
Pelaksanaan bagi hasil kerjasama terhadap buruh tani ketika panen
padi di wilayah Desa Krembangan ini dari masa ke masa masih tetap
menggunakan cara yang sama yakni dengan sistem bagi hasil yang disebut
dengan bawon. Sistem bawon ini merupakan sistem bagi hasil dari buruh tani
(buruh panen) sebagai pekerja dengan pemilik sawah atau tanah yang sudah
dikelola pekerja. Bagi hasil tersebut apabila sudah panen maka berupa padi
dengan perbandingan lima banding satu (5 : 1) maksut dari perbandingan bagi
hasil ini yakni apabila pekerja atau buruh tani dalam mengelola sawah
pemiliknya bisa menghasilkan panen 5 kwintal maka pekerja atau buruh tani
akan mendapatkan 1 kwintal berupa padi (gabah), sedangkan antara pemilik
sawah dengan pengelola (penggarap dan pembiaya bibit) maka bagi hasil
perbandingannya ½ : ½. Dalam sistem bagi hasil buruh tani tersebut
merupakan sebuah tradisi masyarakat desa setempat yang sudah menjadi
acuan dalam pengupahan ketika masa tanam padi.
Sebenarnya di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten
Sidoarjo ini memiliki dua macam sistem bawon yang pertama perbandingan 1
: 5 seperti yang dijelaskan diatas (perbandingan tersebut jika pemilik sawah
yang memberikan bibitnya). Sistem bawon yang kedua yakni ada 3 pihak
yang saling berhubungan dalam sistem ini yaitu pihak yang pertama adalah
pemilik tanah, pihak yang kedua adalah pengelola tanah yang bersedia
memberikan bibit dan ikut serta mengelola sawah dan pihak yang ketiga
yakni pekerja yang membantu pihak kedua dalam mengelola sawah. Bagi
hasil sistem bawon yang kedua memiliki kesamaan seperti sistem bawon
yang pertama tapi untuk bagian pemilik tanah juga mendapatkan
½ : ½
antara pemilik tanah dengan pihak kedua.
Jadi dalam hal sistem bawon ini penulis ingin meneliti mengenai
kerjasama bagi hasil persawahan dalam tinjauan hukum islam dan hukum
positif pada undang-undang No. 2 Tahun 1960 mengenai perjanjian bagi hasil
persawahan.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan
7
melakukan identifikasi, maka masalah yang dapat di identifikasi dari
latar-belakang diatas adalah:
1. Latar belakang terjadinya sistem bawon pada bagi hasi kerjasama dalam
persawahan
2. Praktik sistem bawon pada bagi hasil kerjasama dalam persawahan
3. Terjadinya akad bagi hasil
4. Pelaksanaan pejanjian sistem bawon pada bagi hasil kerjasama dalam
persawahan
5. Tinjauan hukum islam terhadap sistem bawon pada bagi hasil kerjasama
dalam persawahan
6. Tinjauan hukum positif terhadap sistem bawon pada bagi hasil kerjasama
dalam persawahan
7. Persamaan dan perbedaan pada sistem bawon dalam tinjauan hokum islam
dan dalam tinjauan hokum positif
C. Batasan Masalah
Agar dalam pembahasan karya ilmiah ini sesuai dengan sasaran yang
diinginkan, maka peneliti memberi batasan masalah, adapun batasan masalah
dalam penelitian ini, mencakup beberapa materi yang akan disajikan,
meliputi:
1. Masalah pelaksanaan sistem bawon pada bagi hasil kerjasama dalam
persawahan
2. Tinjauan dari segi hukum positif mengenai pelaksanaan sistem bawon
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana praktik bagi hasil sistem bawon pada perbandingan hasil
panen persawahan di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten
Sidoarjo?
2. Bagaimana tinjauan hukum positif terhadap bagi hasil sistem bawon di
Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo?
3. Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap bagi hasil sistem bawon di
Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo?
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti
sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.8
Sejauh pengamatan penulis, kajian tentang sistem bawon pada upah
persawahan belum ada yang meneliti. Dalam konteks muamalah Islam, kajian
mengenai system kerjasama ini penyusun belum menemukan pembahasan
yang secara eksplisit menjelaskan tentang pelaksanaan sistem ini, namun
secara teoritis pelaksanaan bawon ini sama dengan kerjasama antara pemilik
sawah dengan pekerjanya (petani) atau dalam istilah hukum Islam disebut
dengan Musaqah, mukha>barah atau Muza>ra’ah dan ujro>h.
8 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk
Teknis Penulisan Skripsi (Surabaya: Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel
9
Setelah penulis menelusuri kajian sebelumnya, penulis menemukan
skripsi dan penelitian lain yang membahas kajian yang berkaitan dengan
pemberian upah yakni:
1. Soni, Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya Jurusan Muamalah,
lulusan tahun 2014. Judul skripsi ‛Analisis Hukum Islam Terhadap
Tradisi Upah Bebasan Dan Borongan Buruh Tani Di Desa Brudu
Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang‛ dan skripsi ini ditulis untuk
menjawab pertanyaan pertama. Bagaimana praktik radisi pemberian upah
bebasan dan borongan buruh tani di Desa Brudu Kecamatan Sumobito
Kabupaten Jombang. Kedua. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap
praktik tradisi peberian upah bebasan dan borongan buruh tani di Desa
Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa, praktik terhadap tradisi upah bebasan dan
borongan buruh tani di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten
Jombang. Ditinjau dari hukum Islam, bahwa ujrah dengan sistem bebasan
dan borongan itu sah, karena rukun dan syaratnya terpenuhi, dalam
praktik pengupahannya tidak ada unsur-unsur dalam transaksi tersebut
yang bertolak belakang dengan kaidah hukum Islam. Sejalan dengan
kesimpulan di atas, maka pemilik sawah dan buruh tani agar lebih
sistem pengupahan yang selanjutnya bisa memberikan keseimbangan
antara buruh tani dengan hasil kerjanya.9
2. Hofiyah, Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya Jurusan
Muamalah, lulusan tahun 2000. Judul Skripsi ‚Pelaksanaan bagi hasil
tanaman padi di Desa Banjar Kecamatan Kedundung Sampang Madura‛
dengan permasalahan bagaimana praktik bagi hasil tanaman padi. Dengan
permasalahan bagaimana diskripsi pelaksanaan bagi hasil tanaman padi
yang dilakukan oleh masyarakat yang beragama islam di Desa Banjar
Kecamatan Kedundung Kabupaten Sampang pada tahun 1999 dan
bagaimana hokum islam dalam undang – undang Nomor 2 tahun 1960
terhadap pelaksanaan bagi hasil padi tersebut. Hasil dari skripsi ini dapat
disimpulkan bahwa bagi hasil tanaman di Desa Banjar Kecamatan
Kedundung Kabupaten Sampang ini sudah dilaksanakan secara turun
temurun dan silakukan secara lisan oleh petani penggarap dan pemilik
tanah. Dalam kerjasama bagi hasil tersebut penggarap menanggung segala
biaya yang diperlukan dan hasilnya dibagi sama rata dengan perbandingan
½ : ½. Dengan perbandingan tersebut sehingga bagi hasil tanaman padi
ini tidak bertentangan dengan hukum islam meskipun belum sepenuhnya
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960.10
9 Soni, ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Upah Bebasan Dan Borongan Buruh Tani Di
Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang‛ (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014), v.
10 Hofiyah, ‚Pelaksanaan bagi hasil tanaman padi di Desa Banjar Kecamatan Kedundung
11
Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Soni dan Hofiyah
berbeda dengan penelitian yang saya lakukan. Sedangkan dalam penelitian ini
penulis membahas tentang sistem bagi hasil kerjasama yang menggunakan
sistem bawon tanpa menggunakan bagi hasil dengan uang ataupun upah
pekerja dengan uang namun bagi hasil dalam sistem ini hanya menggunakan
padi (gabah) menurut tradisi kebiasaan di Desa Krembangan Kecamatan
Taman Kabupaten Sidoarjo seperti yang terangkum dalam judul ‚Tinjauan
Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap bagi hasil sistem bawon di Desa
Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo‛ di mana letak
permasalahannya adalah bagaimana sistem pelaksanaan bagi hasil kerjasama
ini tanpa menggunakan upah dalam pembagiannya dan bagaimana analisa
hukum Islamnya.
F. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendiskripsikan sistem bawon pada bagi hasil kerjasama
persawahan di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo.
2. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan system
bawon pada bagi hasil kerjasama persawahan bagi petani.
3. Untuk menjelaskan pandangan dari segi hukum positif terhadap
G. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian di atas semoga dapat bermanfaat dan berguna
untuk:
1. Secara teoritis, untuk menambah khazanah pengetahuan yang berkaitan
dengan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, sehingga dapat
dijadikan informasi atau input bagi para pembaca dalam menambah
pengetahuan tentang hukum Islam dan hukum positif yang dipakai di
Indonesia. Serta untuk memberikan informasi tentang bagaimana tinjauan
hukum Islam terhadap ketentuan sistem bawon pada bagi hasil kerjasama
dalam hukum positif, sehingga dapat dijadikan landasan hukum oleh para
pihak yang memerlukannya.
2. Secara praktis, diharapkan hasil dari skripsi ini sebagai bahan masukan
sekaligus sumbangsih kepada para pemikir Islam, untuk dijadikan sebagai
salah satu metode ijtihad terhadap peristiwa yang muncul ke permukaan
yang belum ada status hukumnya.
H. Definisi Operasional
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian
dalam judul skipsi ini, maka penulis tegaskan beberapa istilah-istilah sebagai
berikut:
1. Hukum Islam : Hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist yang
berkaitan berkaitan dengan bagi hasil kerjasama dalam hal persawahan.
Bagi hasil tersebut dalam hukum Islam disebut muza>ra’ah dan
13
tanah dengan pekerja untuk bercocok tanam dengan benih berasal dari
pihak pemilik tanah, sedangkan mukha>barah merupakan kontrak
kerjasama sebagaimana muza>ra’ah, hanya saja benih berasal dari pihak
pekerja.
2. Hukum Positif : suatu hukum tertulis yang berlaku pada suatu masyarakat
saat ini dalam suatu daerah atau Negara tertentu. Dalam pembahasan di
skripsi ini hukum positif yang dibahas adalah Undang-Undang No. 2
Tahuin 1960 yang menjelaskan mengenai bagi hasil dalam kerjasama
persawahan dan mengenai batasan-batasan kerjasama maupun persyaratan
kerjasama serta persyaratan bagi hasil panen tersebut.
3. Bagi Hasil: pembagian laba atau keuntungan yang diperoleh dari hasil
panen padi setelah diketahui hasil kotor padi saat panen dalam
persawahan.
4. Sistem Bawon : suatu sistem pelaksanaan bagi hasil antara pemilik tanah
atau sawah dengan pengelola atau pekerja mendapatkan bagi hasil 5 : 1
(lima banding satu) dengan bibit dari pemilik tanah dan jika bibit sawah
dari pengelola atau pekerja maka bagi hasilnya ½ : ½ (setengah banding
setengah) jika panen. Sistem ini hanyalah sistem bagi hasil dengan padi
(gabah) tanpa mendapatkan uang atau upah sepeserpun.
I. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang menggunakan metode
deskriptif analisis.
Berdasarkan kajian yang dibahas mengenai tinjauan hukum
islam dan hukum positif terhadap sistem bawon pada bagi hasil
kerjasama dalam persawahan, maka jenis penelitian ini adalah
kualitatif dengan pendekatan deduktif.
2. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini di Desa Krembangan Kecamatan Taman
Kabupaten Sidoarjo.
3. Data yang akan dikumpulkan
Berdasarkan rumusan seperti yang telah dikemukakan di atas,
maka data yang akan dikumpulkan adalah sebagai berikut :
a. Latar belakang terjadinya bagi hasil sistem bawon
b. Pelaksanaan perjanjian bagi hasil sistem bawon
c. Praktik Bagi hasil sistem bawon pada saat panen persawahan.
4. Sumber data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber pada:
a. Pemilik sawah
b. Penggarap (pengelola dan pembiaya sawah)
c. Pemilik sawah dan pengelola sawah (pembiaya)
d. Penggarap (buruh panen)
e. Al-Quran atau kitab-kitab tafsir yang menjelaskan tentang bagi
hasil dalam persawahan.
15
5. Teknik pengumpulan data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
a. Observasi
Observasi dilakukan terhadap obyek dan lapangan yang akan
diteliti, yaitu praktik bagi hasil dalam system bawon buruh tani
menurut kebiasaan kerjasama persawahan di Desa Krembangan
Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo. 11
b. Wawancara
Metode wawancara atau interview yaitu metode ilmiah yang
dalam pengumpulan datanya dengan jalan berbicara atau berdialog
langsung dengan sumber obyek penelitian. Wawancara sebagai alat
pengumpul data dengan cara tanya jawab sepihak yang dikerjakan
dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian.12 Teknik
pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengadakan wawancara
atau tanya jawab dengan pihak yang bersangkutan tentang masalah
yang diteliti. Wawancara ini diambil 10 orang yang bersangkutan
sebagai pelaksana bagi hasil sistem bawon diantaranya yaitu Bapak
Hariyadi dan Bapak Suparman sebagai pemilik sawah di Desa
Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo. Selain dari
bapak Hariyadi ada beberapa orang diantranya yang melaksanakan
bagi hasil yaitu Bapak Sukadi, Bapak Suud, Bapak Mandar, Bapak
11 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis..., 9.
Soleh, Bapak Supardi, Bapak Ngatari, Bapak Kirom, Bapak Paedi,
Bapak Saderi, dan Bapak Sai’un dan lain-lain.
c. Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data secara
tertulis, berupa catatan, transkip, arsip, dokumen, buku tentang
pendapat (doktrin), teori, dalil, atau hukum, dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah penelitian.13
d. Studi pustaka, yaitu data yang dikumpulkan bersumber pada
buku-buku, artikel, jurnal.
6. Tehnik pengolahan data
Tahapan pengolahan data dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Editing, yaitu data yang telah terkumpul diedit dan diklarifikasi untuk
mendapatkan data halus. Dalam proses ini dilakukan konfirmasi data
kepada narasumber bila mana diperlukan. Dalam reduksi data,
dilakukan pula klarifikasi data. Hasil reduksi data dimasukkan ke
dalam kelas dan sub kelas dengan merujuk kepada pertanyaan
penelitian.14
b. Organizing, adalah menyusun dan mensistematiskan data yang
diperoleh dalam rangka uraian yang telah dirumuskan untuk
13 Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 191.
14 Wahyu Purhantara, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif untuk Bisnis, (Yogyakarta: Graha
17
memperoleh bukti-bukti dan gambaran secara jelas tentang bagi hasil
kerjasama persawahan dengan menggunakan system bawon.15
7. Tehnik analisis data
Setelah penulis mengumpulkan data yang dihimpun, kemudian
menganalisisnya dengan menggunakan metode deskriptif komparasi yaitu
menggambarkan status sekelompok manusia, kondisi sosial, suatu sistem
pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang, terutama
yang berkaitan dengan objek penelitian.16 Penulis menggunakan metode
ini karena ingin memaparkan, menjelaskan dan menguraikan data yang
terkumpul kemudian disusun dan dianalisa untuk diambil kesimpulan.
Pola pikir yang digunakan adalah menjelaskan dan mendeskripsikan
fakta-fakta atau kenyataan dari hasil observasi, kemudian ditinjau secara
umum menurut hukum Islam dan dituinjau dari segi hukum positif.
J. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan penulis, maka skripsi ini nanti akan dibagi dalam
beberapa bab, tiap-tiap bab dibagi dalam beberapa sub bab. Adapun susunan
sistematikanya adalah sebagai berikut :
Bab pertama merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang
masalah, perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan
hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian yang meliputi : jenis
penelitian, data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data,
tehnik pengelolaan data, tehnik analisis data lalu dirangkai dengan
sistematika pembahasan.
Bab kedua merupakan kajian pustaka yakni mendiskripsikan
mengenai teori bagi hasil kerjasama persawahan dengan menggunakan sistem
bawon dan teori dalam islam dalam akad muza>ra’ah dan mukha>barah
mengenai bagi hasil persawahan tersebut serta mendekripsikan dari tinjauan
hukum positif yakni pada Undang – Undang No. 2 Tahun 1960.
Bab ketiga mengemukakan hasil penelitian tentang pelaksanaan bagi
hasil sistem bawon di Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten
Sidoarjo meliputi: profil Desa Krembangan Kecamatan Taman Kabupaten
sidoarjo dan aplikasi bagi hasil sistem bawon meliputi latar belakang bagi
hasil sistem bawon, akad yang digunakan pada bagi hasil serta aplikasi akad
yang digunakan.
Bab keempat mengemukakan hasil analisis penelitian yaitu : pertama
Analisis hukum islam meliputi akad mukha>barah dan ujrah, kedua Analisis
Undang – Undang No. 2 Tahun 1960 mengenai persayaratan bagi hasil dan
pelaksanaan bagi hasil dalam persawahan, serta yang ketiga menganalisis
persamaan dan perbedaan bagi hasil sistem bawon dari segi tinjauan hukum
isam dan hokum positif.
Bab kelima ini akan diakhiri dengan penutup yang berisi kesimpulan
dan saran. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah dan untuk
mengetahui sejauh mana penelitian telah dilakukan serta saran apa yang bisa
19
BAB II
KONSEP SISTEM BAWON
DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN DALAM HUKUM POSITIF
A. TINJAUAN HUKUM ISLAM (Mukha>barah dan Ujra>h)
1. Definisi dan Hukum Mukha>barah
Mukha>barah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah
atau tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan
dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan
bersama, sedangkan biaya, dan benihnya dari penggarap tanah.
Perbedaan antara pemilik muzara>’ah dan mukha>barah hanya terletak
dari benih tanamannya. Dalam muzara>’ah, benih tanaman berasal
dari pihak penggarap.
Pada umumnya, kerjasama mukha>barah ini dilakukan pada
perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti jagung, padi, dan
kacang. Namun, tidak menutupi kemungkinan pada tanaman yang
benihnya relatif murahpun dilakukan kerjasama muzara>’ah. Hukum
mukha>barah sama dengan muzara>’ah, yaitu mubah (boleh).
Landasan hukum mukha>barah adalah sabda Nabi SAW.:
ق ,رباخي ناك هن س اط ْنع
نم ْحرلا دْبع اب اي هل ْ ف رْمع لا
س هي ع ه ى ص ىبنلا ن ن ْ مع ْزي ْ ن ف ةرباخمْلا هذه ْكرت ْ ل
نْبا ىنْعي لاذب ْ م ْع ىن ْرب ْخ : رْمع ْى لا ف ةرباخمْلا نع ى ن
سابع
حنْمي لاق امنإ ا ْنع هْني ْ ل س هي ع ه ى ص يبنلا ن
سم ها ر( ام ْ ْعم اج ْرخ ا ْي ع ذخْ ي ْن ْنم هل رْيخ هاخ ْ كدح
(
bahwa Nabi Saw. telah melarang mukha>barah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. Tidak melarang mukha>barah itu, hanya beliau berkata: Seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik dari pada
ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu.‛
(HR. Muslim).
Ulama’ Malikiyah mendefinisikannya dengan persekutuan
atau kerjasama dalam mengolah dan menanam lahan.24
لا ىف ك ْرشل
ع ْرز
Artinya : ‚Perserikatan dalam pertanian.‛
Ulama’ Hanabilah mendefinisikannya sebagai berikut yakni
penyerahan suatu lahan kepada orang (buruh tani) yang mengolah
dan menanaminya, sedangkan hasil tanamannya dibagi antara
mereka berdua (pemilik lahan dan pengolah)25
ْنم ىلا ض ْرأْا عْفد
ام نْيب ع ْرزلا ا ْي ع لمْعي ْ ا عر ْزي
Artinya: ‚Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk
digarap dan hasilnya dibagi berdua.‛
Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indonesia disebut
sebagai ‚paruhan sawah‛. Penduduk Irak menyebutnya ‚
al-mukhaba>rah‛, tetapi dalam al-mukhaba>rah, bibit yang akan ditanam
berasal dari pemilik tanah.
Sementara itu, Imam Syafi’I mendefinisikan:26
لماعْلا نم رْذبْلا ا ْنم خر ْخي ام ضْعبب ض ْر ْأا لمع
24
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 275.
25
Ibid., 275.
26
21
Artinya: ‚Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan oleh penggarap.‛
Dalam mukhaba>rah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh
penggarap tanah, sedangkan dalam al-muzara>’ah, bibit yang akan
ditanam boleh dari pemilik. Jadi muzara>’ah itu yaitu kerjasama
antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi
hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan
benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam
kerjasama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus
kerjasama ini disebut al-mukhaba>rah.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair Ibn Huzail adalah
sebuah hadis berikut:
سم ها ر( .ةرباخمْلا نع ى ن س هي ع ه ى ص ه ل سر ن
)ه دبع نب رباج نع
Artinya: ‚Rasulullah SAW yang melarang melakukan mukha>bara>h.(HR. Muslim dari Jabir Ibn Abdillah)
Al-Mukhabara>h dalam sabda Rasulullah itu adalah
al-muzara>’ah, sekalipun dalam al-mukhabara>h bibit yang akan ditanam
berasal dari pemilik tanah.
Menurut mereka, obyek akad dalam muza>ra’ah belum ada
dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk
petani adalah hasil pertanian yang belum ada dan tidak jelas
ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagi, sejak semula
tidak jelas. Boleh saja pertanian itu tidak menghasilkan, sehingga
yang bersifat belum ada dan belum jelas ukurannya inilah yang
membuat akad ini tidak sah. Adapun perbuatan Rasulullah dengan
penduduk Khaibar dalam hadis yang diriwayatkan al-jama’ah,
menurut mereka bukan merupakan akad al-muza>ra’ah, adalah
berbentuk al-kharaj al-muqasamah yaitu, ketentuan pajak yang
harus dibayarkan petani kepada Rasulullah setiap kali panen dalam
prosentase tertentu.
Kerjasama dalam bentuk muzara>’ah menurut kebanyakan
ulama fiqih hukumnya mubah (boleh). Dasar kebolehannya itu,
disamping dapat dipa hami dari keumuman firman Allah SWT yang
menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadis Nabi dari Ibnu
Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan:
لماع س هي ع ه ى ص ه ل ْ سر ن
جر ْخي ام رْطشب ربْيخ لْه
م ىراخبلا ها ر( .رمث ْ ع ْرز ْنم ا ْنم
.) سنلا د اد ب س
Artinya: ‚Bahwasannya Rasulullah SAW memperkerjakan
penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan.‛
(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, at-Tarmizi, dan Imam ahmas ibn Hanbal dari Abdullah ibn Umar)
2. Rukun dan Syarat Mukha>barah
Jumhur ulama yang membolehkan akad mukha>barah
mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga
akad dianggap sah.
Rukun mukha>barah menurut mereka sebagai berikut:
a. Pemilik tanah
23
c. Objek mukha>barah, yaitu antara manfaat tanag dan hasil kerja
petani
d. Ijab dan kabul. Contoh: ‚saya serahkan tanah pertanian saya ini
kepada engkau untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi
berdua.‛ Petani penggarap menjawab: ‚Saya terima tanah
pertanian ini untuk digarap dengan imbalan hasil dibagi dua.‛
Jika hal ini telah terlaksana, maka akad ini telah sah dan
mengikat. Namun, ulama Hanabilah mengatakan bahwa
penerimaan (Kabul) akad muzara>’ah tidak perlu dengan
ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani
langsung menggarap tanah itu.27
Adapun syarat-syarat mukha>barah, menurut jumhur
ulama sebagai berikut:
a. Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus
sudah baligh dan berakal.
b. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas,
sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan
menghasilkan.
c. Syarat alat pertanian yang digunakan, syarat yang digunakan
dalam mengolah lahan seperti binatang untuk membajak
tanah, dan berbagai peralatan yang biasa digunakan dalam
menggarap lahan pertanian, statusnya adalah sudah ikut
masuk kedalam akad dengan sendirinya, bukan merupakan
27
suatu yang dimaksudkan dan dikehendaki dalam akad. Jika
tidak, maka akad mukha>barah tidak sah.
d. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:
1) Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh
digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan
kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan
tanah pertanian, maka akad mukha>barah tidak sah.
2) Batas-batas tanah itu jelas
3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk
digarap.28
3. Bentuk – Bentuk Al-Mukha>barah
Menurut Muhammad dan Abu Yusuf, al-mukha>barah
memiliki empat bentuk, tiga diantaranya adalah sah, sedangkan
yang satunya lagi tidak sah. Bentuk-bentuk al-mukha>barah yang
dimaksud sebagai berikut:29
a. Modal lahan dan benih dari salah satu pihak, sedangkan
pekerjaan penggarapan lahan dan binatang untuk mengolah
lahan dari pihak yang lain. Bentuk al-mukha>barah ini adalah
boleh, sehingga disini pemilik lahan dan benih statusnya berarti
mempekerjakan pihak penggarap, sedangkan binatang yang
digunakan untuk membajak lahan itu memang menjadi
tanggungan pihka penggarap sebagai konsekuensidirinya
28
Ibid., 278-279.
29
25
dipekerjakan untuk menggarap lahan, sebab binatang tersebut
adalah alat untuk melakukan pekerjaannya.
b. Modal lahan dari salah satu pihak, sedangkan binatang, benih
dan penggarap lahan dari pihak lain. Bentuk al-mukha>barah ini
juga boleh, dan status pihak penggarapdisini berarti adalah
menyewa lahan dengan biaya sewa sebagian dari hasil panen
lahan yang digarap.
c. Modal lahan, binatang dan benih dari salah satu pihak,
sedangkan penggarapan dan pengolahan lahan dari pihak yang
lain. bentul al-mukha>barah ini juga boleh, dan status pemilik
lahan disini berarti adalah mempekerjakan pihak penggarap
dengan upah sebagian dari hasil panen lahan yang digarap.
d. Modal lahan dan binatang dari salah satu pihak, sedangkan
modal benih dan penggarap lahan dari pihak yang lain. Ini
adalah bentuk al-mukha>barah yang tidak sah menurut zhahir
riwayat. Karena seandainya diasumsikan bahwa akad tersebut
adalah penyewaan lahan, maka persyaratan binatang yang
dibutuhkan untuk membajak dan mengolah lahan menjadi
tanggungan pihak pemilik lahan, adalah merupakan akad sewa
tersebutdan menjadikannya tidak sah. Karena tidak mungkin
menjadikan posisi binatang tersebut mengikuti lahan, atau
dengan kata lain tidak mungkin menjadikan penyediaan
fasilitas berupa binatang pembajak sebagai konsekuensi atau
fungsi dan kemanfaatan (kegunaan) antara lahan dan binatang
yakni fungsi dan kegunaan lahan adalah untuk menumbuhkan,
sementara binatang fungsi dan kegunaannya adalah bekerja dan
membajak lahan, dan seandainya diasumsikan bahwa akad
tersebut adalah akad yang mempekerjakan pihak penggarap,
maka adanya ketentuan modal benih menjadi tanggungannya
adalah merusak akad tersebut, karena tidak dimungkinkannya
menjadikan penyediaan benih oleh pihak yang dipekerjakan
untuk menggarap lahan sebagai konsekuensi atau prasyarat
dirinya dipekerjakan. Berdasarkan hal ini, maka suatu akad
al-muza>ra’ah tidak sah jika ada ketentuan fasilitas peralatan untuk
menggarap lahan, atau binatang pembajak, atau
pekerjaanmenggarap lahan menjadi tanggungjawab pihak
pemilik lahan. Begitu juga, akad akad al-mukha>barah tidak sah
jika ada ketentuan bahwa semua hasil panennya adalah untuk
salah satu pihak saja, atau ada ketentuan bahwa pemanenan dan
penebahan, atau mengangkut, merawat dan menjaga hasil panen
adalah menjadi tanggungjawab pihak penggarap karena semua
itu tidak memiliki kaitan dengan kepentingan tanaman atau
dengan kata lain tidak termasuk hal-hal yang dibutuhkan dalam
pengolahan dan penggarapan lahan.
27
Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad
al-mukha>barah, apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya,
maka akibat hukumnya sebagai berikut:30
a. Petani bertanggungjawab mengeluarkan niaya benih dan niaya
pemeliharaan pertanian itu
b. Biaya pertanian, seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya
pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanah
sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.
c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
d. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak. Apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan
ditempat masing-masing. Apabila kebiasaan tanah itu diairi
dengan air hujan, maka masing-masing tidak boleh dipaksa untuk
mengairi tanah itu dengan irigasi. Apabila tanah pertanian itu
biasanya diairi melalui irigasi, sedangkan dalam akad disepakati
menjadi tanggungjawab petani, maka petani bertanggungjawab
mengairi pertanian itu dengan irigasi.
e. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, akad
tetap berlaku sampai panen, dan yang meninggal diwakili oleh
ahli warisnya, karena jumhur ulama berpendapat bahwa akad
upah mengupah bersifat mengikat kedua belah pihak dan boleh
diwariskan. Oleh sebab itu, menurut mereka kematian salah satu
pihak yang berakad tidak membatalkan akad ini.
30Ibnu ‘Abidin,
5. Berakhirnya Akad Al-Mukha>barah
Para ulama fiqh yang membolehkan akad al-mukha>barah
mengatakan bahwa akad ini akan berakhir apabila: 31
a. Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi, apabila
jangka waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu
belum layak panen, maka akad itu tidak dibatalkan sampai panen
dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama diwaktu
akad. Oleh sebab itu, dalam menunggu panen itu, menurut
jumhur ulama, petani berhak mendapatkan upah sesuai dengan
upah minimal yang berlaku bagi petanisetempat. Selanjutnya,
dalam menunggu masa panen itu biaya tanaman, seperti pupuk,
biaya pemeliharaan, dan pengairan merupakan tanggungjawab
bersama pemilik tanah dan petani, sesuai dengan prosentase
pembagian masing-masing.
b. Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah seorang
yang berakad wafat, maka akad al-mukha>barah berakhir, karena
mereka berpendapat bahwa akad al-ij>arah tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa akad al-mukha>barah itu dapat diwariskan. Oleh sebab itu,
akad tidak berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang
berakad.
c. Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pemilik tanah maupun
dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak boleh
31
29
melanjutkan akad al-mukha>barah itu. Uzur dimaksud antara lain
adalah:32
1) Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu
harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang dapat melunasi
utang itu. Pembatalan ini harus dilaksanakan melalui campur
tangan hakim. Akan tetapi, apabila tumbuh-tumbuhan itu telah
berbuah, tetapi belum layak panen maka tanah itu tidak boleh
dijual sampai panen.
2) Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu
perjalanan keluar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakan
pekerjaannya.
6. Zakat Muzara>’ah dan Mukha>barah
Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu dibebankan
kepada orang mampu. Dalam arti telah mempunyai harta hasil
pertanian yang wajib dizakati (jika telah sampai batas nisab). Maka
dalam kerja sama seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik
sawah/ladang dan penggarap)membayar zakat bila telah nisab.
Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam
muzara>’ah yang wajib zakat ialah pemilik tanah, karena dialah
yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.
Dalam mukha>barah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani),
kerena dialah hakikatnyayang menanam, sedangkan pemilik tanah
seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari
32
keduanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah
senisab, sebelum pendapatan dibagi dua.
Menurut Yusuf Qardawi, bila pemilik itu menyerahkan
penggarapan yanahnya kepada orang lain dengan imbalan
seperempat, sepertiga, atau setengah hasil sesuai dengan perjanjian,
maka zakat dikenakan atas kedua bagian pendapatan
masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup
senisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib atas
yang memiliki bagian yang cukup senisab, sedangkan yang tidak
cukup senisab tidak wajib zakat. Tetapi Imam Syafi’i, berpendapat
bahwa keduanya dipandang satu orang, yang oleh karena itu wajib
secara bersama-sama menanggung zakatnya bila jumlah hasil
sampai lima wasaq: masing-masing mengeluarkan 10% dari
bagiannya.33
7. Hikmah Muzara>’ah dan Mukha>barah
Sebagian orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia
mampu untuk menggarap sawah dan dapat mengembangkannya,
tetapi tidak memiliki tanah. Adapula orang yang memiliki tanah
subur untuk ditanami tapi tidak punya binatang ternak dan tidak
mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerjasama antara
mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan
yang lain menggarap dan bekerja menggunakan binatangnya
dengan tetap mendapatkan bagiannya masing-masing, maka yang
33
Yusuf Qardawi, Fiqh al-zakat (Hukum Zakat), penerjemah: Salman Harun (et al),
31
terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah
pertanian yang merupakan sumber kekayaan terbesar.34
8. Rekayasa Legalitas
Rekayasa legalitas (hi>lah) disini adalah menyiasati agar
kebuntuan hukum akad muza>ra’ah dan mukha>barah bisa
terpecahkan, sehingga memiliki legalitas hukum dan bisa menjadi
solusi dari desakan hajat aktivitas komersial.
Dalam akad mukha>barah, dimana benih, tenaga, dan alat
kerja dari pihak ‘a>mil, dan pihak ma>lik hanya bermodal lahan, maka
ada dua rekayasa untuk menyiasati akad mukha>barah menjadi sah
dan panen bisa dibagi hasil.
1) Pertama, ‘a>mil menyewa sebagian lahan ma>lik, 50%
misalnya, dengan upah berupa 50% dari benihnya, untuk
digunakan menanam sebagian benih miliknya. Kemudian
‘a>mil memberikan 50% jasanya untuk menanam dan
merawat benih milik ma>lik secara gratis.
2) Kedua, ‘a>mil menyewa sebagian lahan ma>lik, 50%
misalnya, dengan upah berupa 50% dari benihnya untuk
digunakan menanam sebagian benih miliknya, dan dengan
50% dari jasanya untuk menanam dan merawat benih milik
ma>lik.
Dengan siasat di atas, maka ma>lik dan ‘a>mil telah berkongsi
(syirkah) pada tanaman dan manfaat lahan dengan nisbah 50:50.
34
Sebab, dari seluruh benih yang ditanam, 50% adalah milik ‘a>mil
dan 50% adalah milik ma>lik, demikian juga dari seluruh
manfaat lahan, 50% adalah milik ‘a>mil dan 50% adalah milik
ma>lik. Sehingga ketika panen, masing-masing memiliki hak
dengan margin profit 50:50.35
9. Pengertian dan Dasar Hukum Ujrah
Ujrah adalah upah yang diberikan kepada pekerja dari
pengusaha atau majikan atas jasa yang dilakukan oleh pekerja atau
buruh. Upah dalam bahasa arab disebut Ujrah yang berasal dari
kata ajrun yang berarti Al-‘iwadu (ganti). Sedangkan menurut
istilah yang dimaksud upah atau ujrah adalah mengambil ganti
atas pengambilan manfaat tenaga orang lain dengan syarat
tertentu.36
Menurut terminologi syara’, ujrah adalah keharusan melakkan
sesuatu secara mutlak sebagai bayara tertetu atas satu pekerjan
tertentu.37
Istilah upah dalam sehari-hari diartikan leh fukaha yaitu yaitu
member upa kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya
yang hilang atau mengobati oaring yang sakit atau menggali
sumur ampai memancarkan mata air. Jadi ujrah bukan hanya
35
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 323.
36Ibnu Mas’ud dan Zainul Abidin, Fiqh Madzab Syafi‟I
Buku 2 Edisi lengkap,( Bandung: CV Pustaka Setia,2007), 138.
37
33
terbatas pada barang yang hilang namun dapat diartikan setiap
pekerjaan yang dapat menguntungkan seseoarang.38
Sementara al-Maghribiy39 mendefinisikannya sebagai berikut:
ْي ْمت
م ْ ْعم
انمز
ام ْ ْعم
ض عب
ْ ْعم
‚Pemilikan terhadap sesuatu yang jelas untuk waktu yang jelas
dengan imbalan yang jelas‛
Di dalam surat al-Baqarah ayat 233 disebutkan tentang izin
terhadap seorang suami memberikan imbalan materi terhadap
perempuan yang menyusui anaknya. Lengkapnya ayat tersebut
berbunyi:
ْنإ
ْتْدر
ْن
ا ْ عض ْرتْست
ْكدَ ْ
لف
حانج
ع
ْكْي
اذإ
ْتْم س
ام
ْتْيتآ
ف ْ رْعملاب
.
.Artinya : ‚Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut…. (QS. Al-Baqarah : 233)40
Dalam riwayat Ibnu Majah, Nabi Saw bersabda:
نع
دْبع
ه
رمع
لاق
ل ْ سر
ه
هر ْج رْيجأْاا طْع
لْبق
ْنا
فجي
هقرع
‚Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering‛.41
10.Rukun dan Syarat Ujrah (upah)
38
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalat, Cet 1, (Jakarta: Kencana, 2010), 141
39
Muhammad bin 'Abd al-Rahman al-Maghribiy, Mawahib al-Jalil Juz V, 389.
40
Depertemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya (Surabaya:CV. Karya Utama, 2002), 47.
41
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk suatu sehingga
sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang
membentuknya.42 Menurut ulama kontemporer rukun yang
membentuk akad ada empat:
a. Para pihak yang membentuk akad (balig dan berakal)
b. Ijab dan qabul
c. Objek Pekeraan
d. Tujuan akad
Hukum yang disebut di atas harus ada untuk terjadinya
akad.43
a. Syarat Ujrah (Upah)
1) Adanya kerelaan di antara kedua belah pihak yang berakad
untuk melakukan ujrah apabila salah seorang diantra keduanya
terpaksa melakukan akad maka akadnya tidak sah (batal).
2) Objek ujrah suatu yang dihalalkan oleh syara’, ini berarti
agama tidak memperbolehkan mengupah seseorang untuk
disuruh melakukan maksiat ataupun membunuh orang.44
Penjelasan objek kerja dalam penyewaan tenaga kerja adalah
sebuah tuntutan untuk menghindari ketidak jelasan. Hal ini
karena ketidak jelasan dapat menyebabkan perselisihan dan
42
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (jakarta: PT Raja grafindo persada: 2007),95-96
43
Musthafa Ahmad az-Zarqa’, al-Fiqh al-Islami Fi Saubihi al-Jadid;al-Madkhol al-Fiqhi al-Amm.(Damaskus: Matabi’ Alifba’ al-Adib, 1967), 312.
44
35
mengakibatkan rusaknya suatu akad. Jika ada seorang
menyewa orang pekerja atau buruh tanpa menyebutkan objek
kerjanya, seperti menjahid, mengembala, mencangkul, dan
sebagainya, maka akadnya tidak sah. Perlunya penjelasan
objek kerja bagi para tenaga kerja kolektif dengan
menunjukan atau menentukan, atau dapat pula dengan
penjelasan jenis, tipe, dan sifat. Apabila seseorang menyewa
pekerja untuk menggali sumur, maka harus dijelaskan kepada
mengenai lokasi, kedalaman, dan lebar sumur tersebut, karena
penggalian sumur berbeda-beda sesuai kondisi itu.
3) Tidak boleh dan dilarang ujrah itu dilakukan pada sesuatu
yang sifatnya fardhu ‘ain. Seperti menyewa seseorang untuk
berperang atau atau mengerjakan sholat lima waktu, sebab
manfaat (pahala) tidak jatuh untuk si mustajir tetapi untuk
orang yang mengerjakannya.
4) Upah dalam akad ujrah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang
bernilai harta, penegasan upah sewa dalam akad merupakan
sesuatu yang harus diketahui, hal ini untuk mencegah
terjadinya perselisihan dikemudian hari. Kedua belah pihak
antra keduabelah pihak untuk menghindari adanya
perselisihan dan guna mempertegas akad.45
11.Upah yang Dihalalkan dan Diharamkan
a. Upah yang Dihalalkan
1) Upah Jasa Menyusui
Membayar orang lain untuk menyusui hukumnya
boleh dengan upah yang jelas atau berupa makanan dan
pakain. Selain itu syaratnya juga jelas mengenai masa
waktu menyusui, mengetahui anak yang disusui dan
mengetahui tempat melakukan jasa tersebut.46
2) Upah tukang bekam
Berbekam artinya mengeluarkan darah dari kepala
seseorang dengan cara menghirupnya dengan bantan
semacam alat.
3) Upah bekerja sebagai buruh tani
Diperbolehkan seorang muslim bekerja sebagai buruh
tani, seperti bekerja dalam pembuatan batu bara, bercocok
tanam
4) Upah bekerja sebagai pegawai
45
Dmayuddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 157.
46
37
Seoarng muslim diperbolehkan bekeja sebagai
pegawai, baik pegawai negeri atau swata selam dia
mampu memikul pekerjaannya dan menunaikan
kewajibannya. Tetapi seorang muslim tidak boleh
mencalonkan dirinya untuk suatu pekerjaan yang bukn
ahlinya, lebih-lebih menduduki jabatan hakim.47
b. Upah yang Diharamkan
1) Upah dari hasil mentato
Yang dimaksud upah dari hasil mentato adalah
menusuk-nusuk jarum atau sebangsanya dipunggung
telapak tangan atau anggota tubh wanita atau pria
kemudian memberikan celak atau kapur pada bekas
tusukan tersebut sehingga kulitnya berubah menjadi
warna hijau
2) Upah tarian dari seni tubuh
Islam tidak dapat menerima apa yang disebut dengan
pekerjaan tarian dan semua pekerjaan yang dapat
menimbulkan ghairah seperti nyanyian porno dan
lain-lain.
3) Upah dri hasil minuman keras dan narkotika
47
Islam mengharamkan setiap persekutuan dalam hal
arak, baik yang membuat, membagikannya, dan
meminumnya.48
B. TINJAUAN BAGI HASIL DALAM HUKUM POSITIF
(Undang-Undang No. 2 Tahun 1960)
Pengertian perjanjian bagi hasil menurut seorang penulis
bernama Jenny yang dikutip oleh A.M.P.A Scheltema (1982:1)
mengemukakan sebagai berikut ‚Bagi Hasil dalam pertanian
merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil
terhadap dua unsur produksi yaitu modal kerja, dilaksanakan menurut
perbandingan tertentu dari hasil bruto tanah tersebut dan pula dalam
bentuk natural dengan perkembangan usaha tani.‛
Perjanjian Bagi Hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara
seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dari orang lain
yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap
diperkenankan mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan
pembagian hasilnya antara penggarap dan yang berhak atas tanah
tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama.
Perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil semula diatur
didalam hukum Adat yang didasarkan pada kesepakatan antara pemilik
tanah dan petani penggarap dengan mendapat imbalan hasil yang telah
disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak.
48
39
Perjanjian bagi hasil itu merupakan suatu perjanjian yang sudah
tidak asing lagi bagi masyarakat pedesaan, yang sebagian besar dari
mereka umumnya adalah petani. Namun pengusahaan tanah dengan
bagi hasil di setiap daerah di Indonesia itu berbeda-beda nama dan
pengaturanya.
Sementara aturan yang mengikat khususnya di Indonesia, pada
tanggal 7 Januari 1960 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Adapun yang menjadi tujuan
utama lahirnya undang-undang ini sebagaimana dikemukakan dalam
memori penjelasan undang-undang itu, khususnya dalam penjelasan
umum poin (3) disebutkan:
‚Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang
ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang sangat merugikan
mereka, dari golongan yang kuat sebagaimana halnya dengan
perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang agraria
diadakanlah undang-undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian
bagi hasil tersebut dengan maksud‛:
1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya
dilakukan atas dasar yang adil.
2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik
dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak
bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu
tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang
ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
3. Dengan terselenggaranya maka akan bertambah bergembiralah para
petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada
produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju
dalam melaksanakan program akan melengkapi ‚sandang pangan‛
rakyat.
Kemudian dalam rangka perimbangan bagi hasil yang
sebaik-baiknya antara kepentingan masing-masing pihak pemilik tanah dan
penggarap telah dikeluarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor
714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak antara
pemilik tanah dan penggarap, yang mana dalam keputusan tersebut di
atas dikemukakan pada poin kedua menetapkan sebagai berikut:
Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap
dan pemilik.
Menurut Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 tentang
Pedoman Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil, cara pembagian imbangan bagi hasil adalah
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang mengatur mengenai
besarnya bagian hasil tanah sebagai berikut :
1. 1 (satu) bagian untuk penggarap dan 1 (satu) bagian untuk pemilik
41
2. 2/3 (dua pertiga) bagian untuk penggarap serta 1/3 (satu pertiga)
bagian untuk pemilik bagi tanaman palawija di sawah dan padi yang
ditanam di ladang kering.
Sedangkan dalam ayat (2) pasal tersebut mengatur Hasil yang
dibagi adalah hasil bersih, yaitu hasil kotor sesudah dikurangi
biaya-biaya yang harus dipikul bersama seperti benih, pupuk, tenaga ternak,
biaya menanam, biaya panen dan zakat.
Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak
penggarap dan pemilik diatur dalam Keputusan Bersama Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211 Tahun 1980 Nomor
714/Kpts/Um/9/1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1980 adalah sebagai berikut:
1. Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga
tanam dan panen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 dinyatakan dalam bentuk
hasil natura padi gabah, sebesar maksimum 25 persen dari hasil
kotor yang besarnya dibawah atau sama dengan hasil produksi
rata-rata dalam Daerah kabupaten atau kecamatan yang bersangkutan
dalam bentuk rumus seperti berikut:
Z = 1/4X
Dalam mana :
Z = biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga
tanam dan panen.
1. Jika hasil yang diperoleh penggarap tidak melebihi hasil produksi
rata-rata Daerah Kabupaten/ kecamatan, maka hasil kotor setelah
dikurangi biaya yang dihitung dengan rumus, dibagi dua sama
besarnya antara penggarap dan pemilik tanah dalam bentuk rumus
1 : Hak penggarap = Hak pemilik = X-Z = X-1/4X
2. Jika hasil yang dicapai oleh penggarap diatas hasil produksi
rata-rata Daerah Kabupaten/ kecamatan, maka besarnya bagian yang
menjadi hak penggarap dan pemilik sebagai berikut:
Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi
menurut rumus diatas.
Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara
penggarap dan pemilik dengan imbangan 4 bagian penggarap dan 1
bagian pemilik atau dalam bentuk rumus II:
Hak penggarap =Y-Z + 4(X-Y) = Y-1/4Y + 4(X-Y)
Hak pemilik = Y-Z + 1(X-Y) = Y-1/4Y +X-Y
Dimana Y = hasil produksi rata – rata daerah Kabupaten/
Kecamatan yang bersangkutan.
1. Jika di suatu daerah bagian yang menjadi hak penggarap pada
kenyataanya lebih besar dari apa yang ditentukan dalam rumus 1
dan rumus 11 di atas, maka tetap diperlukan imbangan yang lebih
menguntungkan penggarap.
2. Ketetapan Bupati /walikota mengenai besarnya imbangan bagi hasil
tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik, serta hasil produksi
43
bersangkutan diberitahukan kepada DPRD Kabupaten/kota
setempat.
3. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No.2 tahun 1960 Pasal 7
zakat sisihkan dari hasil kotor yang mencapai nisob, untuk padi
ditetapkan sebesar 14 kwintal.
4. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Pasal 8
pemberi ‘srama’ oleh calon penggarap kepada pemilik tanah
dilarang.
5. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Pasal 9,
pajak tanah sepenuhnya menjadi beban pemilik tanah dan dilarang
untuk dibebankan kepada penggarap.49
Contoh rumus I :
Disuatu daerah tingkat II, Oleh Bupati/Walikotamadya tetapkan
bahwa hasil produksi rata-rata 1 Ha sawah adalah sebesar 2000 Kg
Gabah, dan dari hasil oengolahan ternyata hasil yang diperoleh
hanya sebesar 1800 Kg. Maka pembagiannya adalah sebagai
berikut:
Hak Penggarap = Hak Pemilik = X – Z / 2 = X-1/4X / 2
1800-Z / 2 = 1800-450 / 2 = 1350/2 = 675 Kg
Hasil akhir :
1. Untuk penggarap = 450+675 = 1125 Kg
2. Untuk pemilik = 675 Kg
Contoh Rumus II :
49
Disuatu Daerah Tingkat II, oleh Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah ditetapkan hasil produksi rata-rata 1 Ha sawah adalah
sebesar 1800 Kg Gabah, ternyata setelah diolah, hasil produksi
mencapai 3000 Kg Gabah. Maka pembagiannya adalah sebagai
berikut ;
Langkah pertama, yaitu sampai hasil produksi rata-rata diselesaikan
dengan rumus I, yang mana masing-masing pihak memperoleh
bagian sebagai berikut :
Untuk penggarap = 1125 Kg
Untuk pemilik = 675 Kg
Langkah kedua, adalah pembagian sisa dari hasil produksi rata-rata,
yaitu 3000 – 1800 = 1200 Kg. sisanya ini dibagi dengan rumus II.
Rumus :
Hak Penggarap = Y-Z/2 + 4(X-Y)/5 = Y-1/4X / 2 + 4(X-Y) / 5
Hak Pemilik = Y-Z/2 + 1(X-Y)/5 = Y-1/4X / 5 + X-Y/5
Hak Penggarap = 1125 + 4(1200)/5 = 1125 + 960 = 2085 Kg
Hak Pemilik = 675 + 1(1200)/5 = 675 + 240 = 915 Kg
Hasil Akhir:
Hak Penggarap = 1125 Kg + 960 Kg = 2085 Kg
Hak Pemilik = 675 + 240 Kg = 915 Kg
Dalam perkembangannya, perjanjian bagi hasil kemudian
mendapat pengaturan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960
45
di Indonesia. Berdasarkan peng