• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Perbandingan Terhadap Model Pembelajaran Sekolah Minggu di GPIB Tamansari dengan GSJA Bukit Horeb Salatiga T1 712007020 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Perbandingan Terhadap Model Pembelajaran Sekolah Minggu di GPIB Tamansari dengan GSJA Bukit Horeb Salatiga T1 712007020 BAB IV"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

64

BAB IV

Perbandingan dan Tinjauan Kritis terhadap Model Pembelajaran Sekolah Minggu Di

GPIB Tamansari dan GSJA Bukit Horeb dari Persepktif Paradigma Pembelajaran

Pendahuluan

Pada bab ini penulis akan menguraikan perbandingan model pembelajaran Sekolah Minggu

yang diterapkan masing-masing Sekolah Minggu serta tinjauan kritis terhadap model

pembelajaran Sekolah Minggu baik di GPIB maupun di GSJA dari perspektif paradigma

pembelajaran khususnya dari segi metode yang digunakan.

4.1 Perbandingan Model Pembelajaran Sekolah Minggu di GPIB Tamansari dengan

Model Pembelajaran Sekolah Minggu di GSJA Bukit Horeb

4.1.1 Persamaan model pembelajaran yang digunakan

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dalam penelitian yang ada dalam bab

III, maka penulis menemukan persamaan dan perbedaan model pembelajaran yang

diterapkan di Sekolah Minggu GPIB dan Sekolah Minggu GSJA.

Persamaan yang ada adalah terlihat dari pendekatan yang ditetapkan. Apabila

dilihat dari jenis pendekatan yang dikemukakan oleh Roy Killen yaitu pendekatan yang

berpusat pada anak dan pendekatan yang berpusat pada pengajar maka pendekatan yang

diterapkan oleh GPIB dan GSJA termasuk dalam pendekatan yang berpusat pada anak1.

Anak menjadi titik tolak diadakannya kebaktian SM dengan kata lain anak merupakan

subjek dalam kebaktian selain pengajar. Dalam hal ini para pengajar menyakini bahwa

pendekatan tersebut akan sangat membantu anak untuk dapat lebih aktif dalam proses

pembelajaran sehingga kebaktian anak tidak monoton, dalam arti hanya pengajar saja yang

1

(2)

65

aktif. Hal itu pula di dukung oleh teori menurut Coughlin (2002;6) yang mengatakan bahwa

pendekatan yang berpusat pada anak merupakan sebuah program tahap demi tahap yang

didasarkan pada keyakinan bahwa anak akan bertumbuh dengan baik jika mereka dilibatkan

secara alamiah.2 Dengan demikian, kebaktian SM seharusnya dapat melibatkan anak secara

aktif didalamnya.

4.1.2 Perbedaan Model Pembelajaran

Selain adanya persamaan dalam menerapkan model pembelajaran, terdapat pula

perbedaan. Perbedaan tersebut meliputi : (1) perbedaan tahap-tahap/strategi dalam proses

pembelajaran, (2) perbedaan metode yang digunakan.

1. Strategi Pembelajaran

Untuk mendukung pendekatan yang berpusat pada anak, maka Sekolah Minggu

harusnya memiliki pola pendidikan yang terencana. Menurut Wina Senjaya (2008) yang

menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan.3 Itu

berarti suatu tindakan terencana (yang dipersiapkan sebelumnya). Jika kita kaitkan

pendapat Wina Senjaya dengan hasil wawancara yang penulis lakukan, maka dapat kita

katakan bahwa para pengajar baik di GPIB maupun di GSJA sudah melakukan

perencanaan sebelum masuk dalam proses pembelajaran di kelas. Perencanaan itu disusun

dalam persiapan baik persiapan bersama-sama maupun persiapan individu.

Perencanaan yang dilakukan bersama-sama tentunya lebih mempermudah pengajar

dalam mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam acara Sekolah Minggu

dibanding dengan persiapan individu. Karena dalam persiapan bersama, pengajar dapat

saling share atau membagi pengalaman dan pengetahuan untuk menciptakan suatu suasana

2

Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,203-204.

3

(3)

66

pembelajaran yang lebih efektif. Dari hasil wawancara dan observasi partisipan, penulis

melihat bahwa para pengajar di SM GPIB Tamansari diwajibkan mengikuti persiapan

bersama meskipun tidak didampingi oleh majelis ataupun Pendeta. Menurut I. H. Enklaar

dan E.G. Homrighausen, Tiap-tiap rencana memerlukan persiapan yang baik. Pekerjaan

menyusun dan mengarang rencana itu tidak gampang, sehingga dibutuhkan kerja sama

dari beberapa orang yang ahli dibidangnya, misalnya dalam hal ini pendeta atau majelis

jemaat. Pendeta ataupun Majelis dalam hal ini akan sangat membantu para pengajar dalam

mendampingi para pengajar agar dapat mempersiapkan segala sesuatunya sesuai dengan

pemahaman dan ajaran Gereja. Jika kita mengkaitkan pendapat I. H. Enklaar dan E.G.

Homrighausen dengan kenyataan yang ditemukan dalam penelitian, maka kita dapat

mengatakan bahwa para pengajar di GPIB Tamansari secara umum telah melakukan

persiapan mengajar yang melibatkan kerja sama. Namun hal ini tentunya belum cukup,

kerja sama yang dimaksud I. H. Enklaar dan E.G. Homrighausen, kerja sama yang

melibatkan salah satunya ahli teologi atau pendeta/majelis yang benar-benar memahami

ajaran Gereja. Sehingga persiapan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Apalagi

jika kita cermati para pengajar di GPIB Tamansari lebih banyak mahasiswa yang mengajar

hanya karena tuntutan praktek (PPL). Hal inilah yang seharusnya lebih diperhatikan oleh

Gereja, agar kualitas pendidikan untuk anak dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Usaha untuk pengadaan pembinaan bagi para calon maupun pengajar serta

pendampingan dalam persiapan tentunya sangat dibutuhkan agar para pengajar memiliki

bekal serta arahan yang mampu menumbuhkan sikap kepedulian serta ketulusan dalam

melayani anak-anak yang dipercayakan kepadanya, tanpa ada unsur kewajiban yang

berasal dari luar pribadi pengajar.

(4)

67

Berbeda dengan strategi yang dirancang oleh para pengajar di GSJA. Dimana

kesibukan lain seperti pekerjaan dan tugas sebagai mahasiswa yang dijalani oleh pengajar

membuat para pengajar tidak mengadakan perencanaan secara bersama-sama. Padahal hal itu

akan sangat membantu para pengajar untuk dapat saling share atau berbagi pengalaman

untuk menciptakan suatu ide-ide baru dalam merancang suatu rencana pembelajaran yang

menarik. Seperti yang dikemukakan oleh I. H. Enklaar bahwa pekerjaan menyusun dan

mengarang rencana itu tidak gampang, sehingga dibutuhkan kerja sama dari beberapa orang

yang ahli dibidangnya, misalnya dalam hal ini pendeta atau majelis.4 Hal itu dilakukan karena

majelis maupun pendeta memiliki pemahaman yang mendalam mengenai doktrin atau ajaran

Gereja. Untuk itu, kerja sama yang dimaksudkan oleh Enklaar semata-mata bertujuan agar

para pengajar mendapat arahan dan pendampingan untuk mempersiapkan segala sesuatunya

sesuai dengan ajaran Gereja, sehingga melalui SM anak dapat mengenal Gereja yang ia

tempati serta kualitas pembelajaran akan Firman dapat disampaikan lebih diperdalam lagi.

Namun persiapan individu tetap harus dilakukan agar pengajar dapat mempersiapkan

Firman akan disampaikan serta aktivitas apa yang sesuai dengan usia anak pada kelas-kelas

tertentu.

Menurut Dien Sumiyatiningsih, ada lima tahap dalam rencana (strategi)

pembelajaran yaitu memulai pelajaran, presentasi materi, pendalaman materi, tanggapan

kreatif (respon kreatif) dan penutup.5 Kelima tahap ini tentunya harus ada dalam proses

pembelajaran, meskipun kelima tahap ini secara logis dilakukan berurutan, namun pada

kenyataannya ada juga yang sering kali mengkombinasikan tahap ini dengan berbagai

versi. Seperti yang dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran di GSJA Bukit Horeb.

Jika pada umumnya, memulai Sekolah Minggu diawali dengan pujian atau doa

bersama seperti yang dilakukan oleh pengajar di SM GPIB Tamansari. Hal yang berbeda

4

I. H. Enklaar,Pendidikan Agama Kristen,92-93.

5

(5)

68

dilakukan di Sekolah Minggu GSJA Bukit Horeb, dimana memulai Sekolah Minggu tidak

dengan nyanyian ataupun doa namun dimulai memberikan lembar kegiatan/aktivitas. Hal

ini dilakukan agar anak setidaknya memiliki gambaran tentang apa yang hendak

disampaikan dalam proses pembelajaran. Berbeda dengan di GPIB yang memberikan

aktivitas setelah penyampaian Firman, hal ini dilakukan lewat aktivitas tersebut anak akan

semakin mengerti akan isi Firman Tuhan yang telah disampaikan.

2. Metode Pembelajaran

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang penulis lakukan maka

ditemukan bahwa metode pembelajaran di Sekolah Minggu di GPIB Tamansari antara lain

metode bercerita dengan gambar (menggunakan media audiovisual seperti menonton, dan

alat peraga lainnya), bermain, ceramah, tanya jawab dan drama. Sedangkan metode

pembelajaran yang dipakai di Sekolah Minggu di GSJA Bukit Horeb adalah metode

bercerita dengan gambar yang ditempel dipapan flanel, drama, ceramah, menghafal dan

tanya jawab.

Dalam menentukan metode yang diterapkan para pengajar memperhatikan

kecerdasan serta usia anak. Berbicara mengenai kecerdasan anak, maka kita akan

menemukan beraneka ragam kecerdasaan. Howard Gardner menemukan bahwa

kecerdasan tidak hanya terbatas pada satu kecerdasan yang bisa dinilai dari instrumen

psikologi standar. Dari hasil penelitiannya, Gardner menemukan ada delapan macam

kecerdasan antara lain, kecerdasan liguistik, kecerdasan logis/matematis, kecerdasan

kinestetika, kecerdasan visual/spansial, kecerdasan musikal, kecerdasan naturalis,

kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal.6 Kedelapan kecerdasan tersebut

bisa saja dimiliki oleh masing-masing anak dengan taraf yang berbeda. Sehingga hal ini

tentunya perlu mendapat perhatian yang lebih dari para pengajar.

6

(6)

69

Menurut Bandler dan Grinder dalam De Potter (1999:39) kecerdasan merupakan

ungkapan dari cara berfikir seseorang yang dapat dijadikan modalitas belajar.7

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, maka kita dapat mengkaitkan

antara pendapat Bandler dan Grinder dengan kenyataan yang ditemui dalam penelitian,

dimana dalam kelas tertentu setiap anak memiliki kecerdasan yang beragam. Kecerdasan

tersebut menjadi modal tersendiri bagi sang anak untuk menonjolkan dirinya atau terlibat

dalam acara/kegiatan Sekolah Minggu. Pengajar Sekolah Minggu, baik di GPIB

Tamansari maupun di GSJA Bukit Horeb dalam melihat kenyataan ini berusaha untuk

membantu anak-anak dalam mengembangkan potensi atau kecerdasan yang dimiliki oleh

anak khususnya dalam penggunaan metode pembelajaran.

Anak yang senang berbicara dan aktif berbicara dikelas, biasanya diminta untuk

menjawab pertanyaan atau menceritakan kembali isi dari cerita yang telah disampaikan

dengan bahasanya sendiri. Menurut Yuliani Nurani Sujiono, anak ini termasuk dalam

kategori anak yang memiliki kecerdasan linguistik, selain memberikan kesempatan kepada

anak tersebut untuk dapat memberikan pendapatnya didalam kelas, hal lain yang dapat

dilakukan oleh pengajar adalah mengajak anak tersebut berbicara serta memperdengarkan

lagu-lagu anak secara berulang-ulang.8 Hal ini akan menambah kosakata bagi anak

tersebut. dalam hal ini pengajar dapat menggunakan metode tanya jawab atau diskusi.

Selain itu, untuk anak yang memiliki ciri-ciri lebih menyukai musik dan

menyanyi pada umumnya akan lebih antusias dalam menyanyikan lagu-lagu. Menurut

Lucy, gaya belajar anak yang memiliki kecerdasan musikal akan menyukai pelajaran

musik dan bernyanyi.9 Untuk itu, dalam mengembangkan kecerdasaan musikal yang

dimiliki oleh anak tersebut pengajar dapat memberi kesempatan kepada anak untuk dapat

7

Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,(Jakarta:PT Indeks,2009),176-177.

8

Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,185-188.

9

(7)

70

menunjukkan kebolehannya dalam bernyanyi, atau setidak-tidaknya pengajar dapat

menanyakan kepada anak lagu-lagu Sekolah Minggu yang mana yang mereka senangi.

Dari sini kita bisa melihat bahwa pada dasarnya pengajar memiliki peranan yang

sangat besar dalam membantu anak dalam mengembangkan kecerdasaan yang dimiliki

oleh setiap anak. Bahkan tidak menutup kemungkinan lewat pertolongan para pengajar

dalam kegiatan Sekolah Minggu akan membuat anak dengan sendirinya menyadari talenta

yang dimilikinya sehingga mereka dapat menggunakan segala talenta yang dimilki untuk

melakukan pelayanan, misalnya dalam lingkup Gereja mereka yang memiliki talenta untuk

bernyanyi dapat mempersembahkan pujian dalam ibadah-ibadah minggu.

Selain kecerdasaan anak, usia anak juga menjadi salah satu penentu para pengajar

menerapkan metode pembelajaran. Untuk metode mendongeng atau bercerita dengan

gambar dipakai dikelas inri/balita dan batita, sedangkan metode tanya jawab, diskusi dan

ceramah dikelas kecil/pratama dan tanggung/madya. Metode drama, bermain dan

menggunakan media audiovisual (menonton film) dipakai untuk semua kategori usia

namun sangat jarang digunakan.

Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa para pengajar di GPIB

Tamansari khususnya untuk kelas inri lebih sering menggunakan metode bercerita dengan

gambar atau alat peraga seperti tumbuh-tumbuhan, hewan yang sesuai dengan tema.

Sedangkan pengajar di SM GSJA khususnya yang mengajar batita/balita menggunakan

metode bercerita dengan gambar yang ditempel dipapan flanel dan metode drama.

Menurut Andar Ismail, metode dengan menggunakan gambar atau alat peraga lainnya

akan menjangkau tidak hanya dimensi kognitif saja tetapi dimensi afektif

(penghayatan-perasaan) juga. Dengan demikian, metode yang diterapkan oleh kedua Gereja ini sangat

cocok untuk anak usia inri (balita dan batita) dimana mereka belum bisa memahami apa

(8)

71

mendengarkan cerita yang disampaikan. Sedangkan untuk metode drama yang digunakan

akan sangat membantu dalam menarik perhatian anak-anak untuk bisa mendengarkan apa

yang disampaikan.

Untuk pengajar di kelas kecil dan tanggung di GPIB, pengajar memakai metode

ceramah yang diakhiri dengan serangkaian pertanyaan guna mengetahui apakah anak

menyimak apa yang telah disampaikan. Menurut ahli pendidikan Joyce dan Weil dalam

menyusun model pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan dari metode pembelajaran,

salah satu pertimbangan dalam memilih model pembelajaran adalah model dapat

memberikan tekanan yang seimbang dari sisi pendidik dan nara didik.10 Jika kita kaitkan

pendapat yang dikemukakan oleh Joyce dan Weil dengan hasil penemuan dalam penelitian

maka kita dapat melihat bahwa metode ceramah yang digunakan dapat memberikan

tekanan yang seimbang, dimana dalam metode ini tidak hanya pengajar yang aktif namun

anak juga dilibatkan dengan memberikan pertanyaan seputar Firman yang disampaikan.

Selain melibatkan anak dengan pertanyaan dalam metode ceramah, pengajar juga perlu

memiliki keterampilan dalam menggunakan suara yang nyaring dan bahasa yang menarik

hal ini didukung oleh pendapat yang disampaikan oleh menurut I. H. Enklaar, metode

ceramah akan efektif jika pengajar mempunyai bakat membawakan Firman dengan suara

nyaring dan dengan bahasa yang menarik.11 Pengajar di GPIB Tamansari jarang

menggunakan metode drama. Metode drama sering digunakan dalam acara-acara besar

seperti Natal, Paskah, atau ulang tahun Pelkat PA.

Sedangkan di SM GSJA pengajar pratama dan madya memakai metode tanya

jawab, ceramah, drama dan menghafal. Metode tanya jawab dan ceramah biasanya

digabung menjadi satu sehingga para pengajar dalam hal ini dapat melibatkan anak juga

secara aktif, salah satunya dengan memberikan pertanyaan. Selain itu, pengajar juga

10

Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif & Menarik,70-71.

11

(9)

72

memakai metode drama. Para pengajar menggunakan metode ini agar anak tidak merasa

bosan dalam mendengarkan Firman yang hendak disampaikan. Metode ini dapat menarik

perhatian anak-anak. Menurut Kadarmanto Ruth S, metode drama merupakan metode

yang baik penonton maupun anak-anak yang memerankan peranannya dapat menghayati

cerita yang dibawakan.12 Sehingga pengajar tidak perlu susah-susah untuk bercerita

panjang lebar di depan anak-anak. Karena anak akan menghayati dengan sendirinya apa

yang ia perankan atau orang lain perankan yang tersirat dari isi drama tersebut.

Sedangkan untuk metode menghafal, metode ini akan membuat naradidik mengulang apa

saja yang disuruh pengajar. Cara ini tidak masuk ke dalam kepala dan akal mereka

melainkan melekat saja pada otaknya disebelah luar. Oleh karena itu pengajar

menggunakan metode ini hanya untuk menghafal ayat-ayat/nats-nats dalam pembacaan

yang disampaikan. Tetapi dari sisi lain, metode ini sebenarnya cukup berguna untuk hidup

anak dalam memecahkan masalah kini dan yang akan datang. Artinya bahwa anak mampu

mengaplikasikan Firman Tuhan yang ia hafal/ingat kedalam kehidupannya. Sama seperti

ketika menghadapi serangan iblis yang ingin menjebak Yesus setelah ia selesai berpuasa

di padang gurun, Yesus menggunakan Firman Tuhan yang selalu diingatNya.

Jika kita para pengajar menyadari, pada umumnya dunia anak-anak adalah dunia

bermain. Anak-anak paling senang dengan segala macam permainan. Mereka belajar lewat

bermain. Oleh karena itu, pengajar yang kreatif seharusnya melihat metode ini sebagai

cara yang dapat digunakan untuk menarik perhatian anak-anak. Selain itu, kita dapat

melihat bahwa metode ini akan melibatkan anak dan pengajar, namun dalam hal ini

pengajar hanya sebagai pembimbing dan pengarah saja sedangkan anak yang aktif dalam

melakukan permainan tersebut.

12

(10)

73

Sehubungan dengan metode pembelajaran, ada sekitar enam belas model

mengajar yang diselidiki, dipelajari dan diusulkan oleh Bruce Joyce dan Marsha Weil

dalam sebuah karya tulis mereka yang terkenal yaitu ”Models of Teaching”. Akan tetapi

ke enam belas model tersebut dikelompokkan dalam empat rumpun saja yaitu rumpun

information models, interaktive model, personal models, dan behavioral models.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan dalam penelitian, maka bisa dikatakan

bahwa model yang diterapkan oleh SM di GPIB Tamansari adalah information

models,sedangkan SM di GSJA Bukit Horeb menerapkan model information models,

interaktive model dan personal models.

Rumpun information model (model pemprosesan informasi), fokus utama model

ini adalah aktivitas pengembangan keterampilan dan isi pembelajaran yang akan

disampaikan kepada naradidik. Metode yang termasuk dalam model ini adalah metode

ceramah, metode dengan menggunakan gambar/audiovisual, dan metode mendongeng.

Model ini lebih menekankan dimensi kognitif anak dalam menemukan makna dari apa

yang disampaikan. Hal inilah yang sadar ataupun tidak sadar lebih ditekankan oleh para

pengajar di GIPB Tamansari. Mereka lebih menekankan rasio atau intelektual anak akan

Firman Tuhan. Sedangkan interaktive models dan personal models (model pribadi) lebih

kepada dimensi afektif dan psikomotorik anak. Karena kedua model ini mengutamakan

pengembangan kepribadian dan hubungan antar pribadi yang dihasilkan melalui aktivitas

mengajar serta penggunaan energi kelompok dan proses interaksi yang terjadi dalam

kelompok. Individu dihadapkan kepada situasi yang cukup demokratis dan dapat bekerja

lebih produktif. Dengan demikian, model-model tersebut sangat membantu pengajar

dalam mengaktifkan atau melibatkan anak-anak di dalam kelas. Anak tidak hanya cukup

dengan pengetahuan akan Allah dan cerita-cerita dalam Alkitab, tidak cukup anak terampil

(11)

74

harus sampai pada penghayatan (afektif) dan kesadaran untuk benar-benar mengasihi

Allah dan memiliki hidup yang sesuai dengan ajaran Yesus Kristus.

4.2 Tinjauan Kritis dari Perspektif Paradigma Pembelajaran

Kehadiran Sekolah Minggu ditengah-tengah pelayanan Gereja bukan sekedar

aktivitas untuk anak-anak pada hari minggu, tetapi kehadiran Sekolah Minggu adalah

sebagai wadah pembinaan iman dan pendidikan rohani yang bersifat melaksanakan misi

yang telah ditetapkan oleh Yesus Kristus kepada GerejaNya, dimana Gereja membawa

anak-anak kepada iman yang dewasa di dalam Tuhan.13 Untuk itu para pengajar tentunya

perlu memperhatikan model pembelajaran yang dapat menyajikan suatu kebaktian yang

menyenangkan dan selalu dirindukan oleh anak, mulai dari nyanyian, doa, serta Firman

Tuhan.

Sebagai kebaktian anak, suasana pendidikan anak di gereja adalah suasana beribadah

dan berbakti.14 Beribadah berarti anak diajak untuk memuji Tuhan, bersyukur, memberikan

persembahan, membaca Alkitab serta berdoa. Lewat ibadah ini anak diajak untuk mengenal

Allah dan merasakan kasih kuasa Allah lewat persekutuan yang mereka lakukan.

Dalam kebaktian SM, yang disajikan untuk anak-anak bukanlah sesuatu yang

abstrak atau mengawang-awang, tetapi sesuatu yang lebih sederhana. Kepada anak-anak

berikanlah susu, dan jangan makanan keras, begitu jika kita mau mengikuti nasihat Paulus

(bdk. I Kor.3).15 Perubahan paradigma pembelajaran dari paradigma mengajar ke paradigma

belajar akan sangat membantu dalam kebaktian SM dimana pengajar dapat lebih kreatif

baik dalam tahap-tahap dalam acara SM mulai dari memulai hingga penutup serta pengajar

dapat menggunakan metode yang lebih bervariasi dalam menyampaikan Firman Tuhan. Hal

13

Robert R. Boehlke,Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristeni,(Jakarta:BPK GM,2009),378.

14Lihat Tabita Kartika Christia i, ”Pe didika A ak: Pe ti g tetapi Disepeleka ? Dala

Andar Ismail,Ajarlah Mereka Melakukan,(Jakarta;GM,2003),134-135.

15

(12)

75

ini tentunya akan berdampak pada sikap anak yang hadir dalam kebaktian SM bukan

sebagai kewajiban atau aktivitas rutin yang mereka lakukan tiap minggu tetapi lebih

daripada itu kebaktian SM menjadi sesuatu yang mereka rindukan.

Paradigma belajar menuntut keatifan anak dalam kebaktian SM. Keaktifan yang

diarahkan oleh para pengajar. Dalam hal ini pengajar dapat membantu anak untuk terlibat

secara langsung baik dalam memimpin doa, pujian, membawa persembahan dan lain

sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang penulis lakukan, terlihat

bahwa tiap minggu pengajar di SM GSJA mengajak anak untuk terlibat secara langsung

dalam unsur-unsur liturgi seperti memimpin pujian, memimpin doa serta membawa

persembahan. Sedangkan para pengajar di SM GPIB juga melibatkan anak untuk terlibat

langsung dalam unsur-unsur liturgi. Namun terkadang pengajar mendominasi liturgi SM.

Hal ini dikarenakan pemimpin liturgi anak dipimpin oleh pengajar (mahasiswa PPL) yang

belum mengenal anak. Menurut Pdt. Paulis Lie, Sekolah Minggu yang berpusat pada anak

(student centered) merupakan pembinaan anak yang dimulai dari pemahaman yang

mendalam tentang siapa anak yang diajar, kemudian di desain suatu model pembinaan yang

secara khusus tepat untuk sekelompok anak di sebuah kelas tertentu.16 Jika kita kaitkan

pendapat Paulus Lie dengan hasil penelitian yang ditemukan dilapangan maka kita dapat

mengatakan bahwa pengajar SM GSJA lebih mengenal karakter anak dibanding dengan

pengajar SM GPIB. Selain itu, pengajar baik di GSJA maupun di GPIB juga menekankan

pengalaman anak. Pengalaman yang didapat anak tentunya akan berpengaruh pada iman

anak, karena pada dasarnya iman anak terbentuk dari kepercayaan dan harga diri anak. Hal

ini didukung oleh pendapat Westerhoff yang mengemukakan bahwa pengalaman yang

didapat anak akan membantu anak dalam imannya, karena iman anak adalah “iman karena

16

(13)

76

pengalaman” (will our children have faith).17 Dengan demikian, semakin banyak

pengalaman yang didapat sendiri oleh anak, akan sangat membantu anak dalam merasakan

kasih Allah dalam hidupnya.

Selain itu, paradigma belajar tentunya tidak terpisah dari metode yang digunakan

dalam menyampaikan Firman Tuhan. Disini paradigma belajar menekankan bahwa pada

penggunaan metode pembelajaran dalam model pembelajaran tidak hanya menggunakan

komunikasi satu arah tetapi juga metode yang menekankan komukasi dua arah.

Menurut K.O Gangel, metode mengajar berdasarkan jenis dan bentuk komunikasi

interaksi pengajar dengan anak terbagi atas dua jenis, yaitu metode yang hanya menekakan

komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah.18 Jika kita kaitkan teori yang dikemukakan

oleh Gangel dengan hasil penemuan di lapangan maka kita dapat mengatakan bahwa para

pengajar di GPIB Tamansari lebih menekankan metode satu arah yang lebih menekankan

rasio atau intelektual. Berbeda dengan metode yang diterapkan oleh para pengajar di GSJA

Bukit Horeb yang menekankan komunikasi dua arah.

Jika kita cermati, metode yang menekankan komunikasi satu arah seperti ceramah

atau hanya bercerita secara datar, mendongeng mengenai inti dari Firman Tuhan tentunya

membuat anak hanya sebagai objek pendengar (pasif). Hal ini akan berdampak pada

pengetahuan anak yang lebih mudah melupakan apa yang ia dengar. Pada dasarnya anak

belajar dari apa yang mereka alami. Sehingga tidak heran jika pada minggu berikutnya

ketika anak ditanya mengenai cerita atau Firman Tuhan diminggu sebelumnya, mereka

tidak bisa menjawab.

Dalam PB, kita dapat menemukan bahwa sewaktu Tuhan Yesus berada di dunia, Ia

disebut sebagai Guru karena kemanapun Ia pergi, Ia selalu mengajar orang-orang yang ingin

17

Anne Neufeld Rupp, Tumbuh Kembang Bersama Anak,(Jakarta:BPK GM, 2009), 71-72.

18

(14)

77

mendengarkan apa yang Ia sampaikan. Dari keempat Injil, kita bisa lihat bahwa Yesus

dalam pengajaranNya juga memakai metode yang bervariasi. Yesus memakai metode

dengan menggunakan alat peraga seperti burung-burung di udara (Mat 6:25-34). Selain itu

Yesus juga memakai metode bercerita, ceramah (Matius 5:1-12), berdoa serta menggunakan

perumpamaan dalam pengajaranNya. Bukan dengan perkataanNya saja Tuhan Yesus

mengajar, tetapi juga Ia juga mempraktekkan apa yang dimaksudkanNya, seperti ketika Ia

memeluk anak-anak dan memberkati mereka, ini menjadi teguran bagi murid-muridNya.

Dengan demikian, sebagai pengajar yang merupakan kelanjutan pekerjaan Kristus di

dunia, sudah seharusnyalah kita pun dapat menerapkan metode-metode yang bervariasi

dalam proses pembelajaran agar anak tidak hanya mengetahui siapa Allah yang ia sembah

tetapi lebih daripada itu, mereka dapat menghayati pengorbanan dan kasih Yesus dalam

hidupnya sehingga hal ini akan berdampak pada perilakunya yang sesuai dengan kehendak

dan teladan Kristus.

Melihat kenyataan yang ditemukan dalam penelitian maka bisa dikatakan bahwa

para pengajar baik di GPIB Tamansari maupun di GSJA Bukit Horeb sudah mengarah

kepada paradigma belajar. hal ini dapat dilihat dari metode yang diterapkan sudah

bervariasi. Hal dapat terlihat dari komunikasi yang diarahkan tidak hanya satu arah tetapi

juga membangun komunikasi dua arah yang dapat memacu kreativitas pada anak dimana

anak diharapkan mampu berpendapat, berdiskusi, mengeluarkan pikiran dan gagasannya

atau pengalamannya, dan menemukan “pesan firman Tuhan” yang dibicarakan dalam

kelas.19

19

(15)

78

Kesimpulan

Persamaan yang nyata dari model pembelajaran yang diterapkan oleh SM GPIB dan

SM GSJA terlihat pendekatan yang ditetapkan oleh para pengajar. Dimana pengajar

menetapkan pendekatan yang berpusat pada anak, dengan memandang bahwa anak

merupakan titik tolak dari kebaktian SM yang hadir untuk anak-anak. Selain terdapat

persamaan, ada pula perbedaan yang terlihat dari model pembelajaran yang diterapkan oleh

pengajar yaitu strategi serta metode pembelajaran.

Pada dasarnya baik pendekatan, strategi, serta metode pembelajaran yang digunakan

oleh kedua SM ini sudah mengarah kepada paradigma belajar hanya perlu lebih diperhatikan

Referensi

Dokumen terkait

Panitia Pengadaan Barang/Jasa pada Satuan Kerja Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Humbang Hasundutan akan melaksanakan Peseleksian Umum dengan prakualifikasi untuk

Sesuai dengan hasil Klarifikasi Teknis dan Negosiasi Harga Pengadaan Langsung dan Surat Penetapan Pemenang Nomor 07/PP-AKTR/KPE/IX/2012 peserta Pengadaan Langsung

Adapun repeater adalah alat yang digunakan untuk memperkuat sinyal dengan cara menerima sinyal dari satu segmen kabel LAN lalu memancarkan kembali dengan kekuatan yang sama

Von Neumann mendesain Electronic Discrete Variable Automatic Computer(EDVAC) pada tahun 1945 dengan sebuah memori untuk menampung baik program ataupun data.Teknik

Erosi adalah tidak sama dengan pelapukan karena pengaruh dari cuaca dan ikim di sekitarnya, yang merupakan proses penghancuran mineral batuan dengan proses kimia dan fisik,

Hasil penelitian menunjukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model role play pada kelompok eksperimen menunjukan prestasi hasil belajar muhadatsah

Belanja Jasa Penaksir Harga Tanah Tim lndependen Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Akademi Komunitas Lebong. 3,5

6.1 Express the meaning and rhetoric steps in the simple short essays using variety or written language accurately, fluently, and acceptably to interact with the nearest environment