• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN LINGKUNGAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

4.1. Analisis Sosial Sebagai Dampak Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya

Secara umum upaya-upaya yang dapat dilaksanakan terhadap aspek sosial pada Perencanaan,

Pelaksanaan dan Pasca Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya adalah:

1. Advokasi masyarakat untuk menimbulkan keyakinan bahwa pembangunan Bidang Cipta

Karya adalah sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum.

2. Sosialisasi program pengamanan kegiatan ekonomi atas dampak yang ditimbulkan oleh

pembangunan Bidang Cipta Karya yang membutuhkan lahan milik masyarakat, yaitu

program re-settlement (pemukiman kembali) atau konsolidasi lahan.

3. Kesepakatan pemukiman kembali atau konsolidasi lahan atas masyarakat yang lahannya digunakan oleh pembangunan bidang Cipta Karya.

4. Pengamanan kegiatan produktif masyarakat yang lahannya terkena pembangunan Bidang Cipta Karya.

5. Pengamanan sistem ekonomi lokal, pada wilayah yang terkena dampak pembangunan Bidang Cipta karya atau lahannya digunakan untuk pembangunan tersebut.

6. Kesepakatan kompensasi atas kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan ataupun biaya penggantian lahan atas lahan yang digunakan untuk

pembangunan kegiatan-kegiatan Bidang Cipta Karya.

7. Pemberdayaan ekonomi kelompok masyarakat yang terkena dampak pembangunan Bidang

Cipta Karya.

8. Sosialisasi program pengamanan sosial atas dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan

Bidang Cipta Karya yang membutuhkan lahan milik masyarakat

A . Safeguard Pengadaan Tanah dan Permukiman Kembali

Kegiatan Safeguard Pengadaan Pengadaan Tanah dan Permukiman Kembali biasanya terjadi jika

kegiatan investasi berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau ditempati oleh

ANALISIS SOSIAL,

EKONOMI DAN

LINGKUNGAN

(2)

swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan tanah adalah bahwa

semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk meningkatkan, memperbaiki pendapatan dan

standar kehidupan warga yang terkena dampak kegiatan pengadaan tanah.

Pengadaan tanah dan pemukiman kembali atau land acquisition and resettlement untuk kegiatan

RPIJM mengacu pada prinsip-prinsip berikut:

1. Transparan, kegiatan harus diinformasikan secara transparan kepada pihak yang terkena dampak, mencakup: daftar warga, aset (tanah, bangunan, tanaman, dll) yang terkena dampak; 2. Partisipatif, Warga yang berpotensi terkena dampak/dipindahkan (DP) harus terlibat dalam

seluruh tahap perencanaan proyek, seperti: penentuan lokasi proyek, jumlah dan bentuk

kompensasi/ganti rugi, serta lokasi tempat pemukiman kembali;

3. Adil, Pengadaan tanah tidak memperburuk kondisi kehidupan DP Warga tersebut memiliki

hak untuk mendapatkan ganti rugi yang memadai yang setara dengan harga pasar tanah dan

asetnya termasuk biaya pindah, pengurusan surat tanah, dan pajak, dan diberi kesempatan

untuk mengkaji rencana pengadaan tanah.

4. Warga yang terkena dampak harus sepakat atas ganti rugi yang ditetapkan.

5. Kontribusi/hibah tanah secara sukarela hanya dapat dilakukan bila :

 DP mendapatkan manfaat yang lebih besar dibanding harga tanah miliknya

 Tanah hibahkan nilainya ≤ 10% dari nilai tanah bangunan atau aset lain yang produktif

dan nilainya < 1 (satu) juta Rupiah.

Kesepakatan kontribusi sukarela tersebut harus ditandatangani kedua belah pihak setelah DP

melakukan diskusi secara terpisah. Safeguard Monitoring Team (SMT) harus dapat menjamin

bahwa tidak ada tekanan pada DP untuk melakukan kontribusi tanah secara sukarela. Persetujuan

tersebut harus didokumentasikan secara formal;

1. Kegiatan investasi harus sudah menentukan batas lahan yang diperlukan, jumlah warga yang

terkena dampak, pendapatan serta status pekerjaan DP, harga pasaran tanah yang diusulkan

oleh pemrakarsa kegiatan dan didukung oleh NJOP sebelum pembebasan tanah;

2. Kegiatan yang mengakibatkan dampak pada lebih dari 200 orang atau 40 KK, atau melibatkan pemindahan Iebih dari 100 orang atau 20 KK, harus didukung dengan Rencana

Tindak Pengadaan Tanah dan Pemukiman Kembali atau RTPTPK.

3. Jika kegiatan investasi mengakibatkan dampak pada kurang dari 200 orang atau 40 KK atau

kurang dari 10% asset produktif atau melakukan pemindahan penduduk secara temporer

selama konstruksi, harus didukung dengan RTPTPK sederhana.

4. RTPTPK menyeluruh atau RTPTPK sederhana dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pemrakarsa kegiatan, dimonitor oleh Tim Pemantauan Safeguard.

(3)

 Perhitungan ganti rugi tanah berdasarkan nilai pasar tanah di lokasi yang memiliki

karakteristik ekonomi serupa saat pembayaran ganti rugi dilakukan;

 Perhitungan kompensasi ganti rugi bangunan berdasarkan nilai pasar bangunan dengan

kondisi yang serupa di lokasi yang sama;

 Perhitungan ganti rugi tanaman berdasarkan nilai pasar tanaman ditambah biaya

kerugian non material lain,

 Perhitungan ganti rugi aset diganti dengan aset yang sama, atau ganti rugi uang tunai

setara dengan harga untuk memperoleh aset.

 Pihak yang dapat terkena dampak pembebasan tanah dan / atau pemukiman dipindahkan

dalam kegiatan sub proyek dapat berupa warga/individu, entitas, atau badan hukum.

Adapun bentuk dampak yang diakibatkan dapat berupa:

 Dampak fisik, seperti dampak pada tanah, bangunan, tanaman dan aset produktif,  Dampak non-fisik, seperti dampak lokasi, akses pada tempat kerja atau prasarana.

6. Berkenaan dengan hak hukum atas tanah, DP dapat dikelompokkan menjadi:  Warga yang memiliki hak atas tanah pada saat pendataan dilakukan,

 Warga yang tidak memiliki hak atas tanah tetapi menguasai/ menggarap lahan  Warga yang menguasai tanah berdasarkan perjanjian dengan pemilik tanah,

 Warga yang menguasai/menempati tanah/lahan tanpa landasan hukum ataupun

perjanjian dengan pemilik tanah, Warga yang mengelola tanah wakaf (tanah yang

dihibahkan untuk kepentingan agama).

B . Metode Pendugaan Dampak

Ada beberapa metode pendugaan dampak yang terjadi terhadap lingkungan, yakni melihat

dampak fisik dan dampak non fisik.

Dampak Fisik, yakni dampak pada individu, tanah, bangunan, tanaman dan asset produksi:  Pendugaan dampak melihat kerusakan langsung yang terjadi pada alam sekitar,  Pendugaan dampak melihat tingkat kesehatan masyarakat di sekitar lokasi,

 Pendugaan dampak melihat tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat sekitar

lokasi,

 Pendugaan dampak melihat tingkat partisipasi nyata dari masyarakat.

Dampak Non Fisik, yakni dampak terhadap lokasi, akses terhadap tempat kerja atau terhadap

prasarana dan sarana, dsb.

C . Pemilihan Alternatif

Proses Pemilihan Safeguard Lingkungan dan Safeguard Pengadaan Tanah dan Permukiman

Kembali direncanakan dilakukan melalui study dan Penelitian langsung ke lokasi yang

(4)

ditimbulkan. Proses Penyajian Pemilihan Safeguard alternative untuk safe guard lingkungan dan

safe guard pengadaan tanah dan permukiman kembali yaitu dengan memaparkan dan

membandingkan antara 2 (dua) atau lebih safe guard yang lebih bernilai ekonomis, lebih efektif,

potensial menimbulkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif.

8.2.1. Terhadap Sub Bidang Air Minum

Dari hasil analisa teknis, pembangunan sumber air baku, perpipaan baik transmisi maupun

distribusi tidak akan mengambil lahan masyarakat. Selain itu lahan yang digunakan untuk

pembuatan sumur bor sebagian merupakan hibah dari masyarakat, sehingga tidak perlu ada

penggantian lahan maupun re-settlment penduduk.

Disimpulkan bahwa investasi Sub Bidang Air Minum tidak akan menimbulkan dampak negatif,

baik dari segi lingkungan, sosial. Sehingga pengelolaan safeguard sosial dan lingkungan investasi

Sub Bidang Air Minum hanya dalam bentuk Program Pemberdayaan Masyarakat dan

kementerian/lembaga.

8.2.2. Terhadap Sub Bidang Air Limbah

Investasi sistem terpusat (off site) memerlukan studi AMDAL. Sedangkan penyediaan lahan bagi

pembangunan fisiknya pada lahan di luar kawasan permukiman hanya perlu dilakukan

pengelolaan safeguard sosial dan lingkungan dalam bentuk Program Pemberdayaan Masyarakat

dan anggaran dari kementerian/lembaga.

8.2.3. Terhadap Sub Bidang Persampahan

Dalam jangka panjang perluasan lahan TPA yang ada di Kec. Langkat Timur berupa kawasan

lahan kebun milik PT. Perkebunan Nusantara (BUMN) diupayakan dengan kompensasi dan

kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Medan dengan pihak terkait. Dengan demikian tidak

memerlukan re-settlement bagi masyarakat. Pengelolaan dan pemantauan dampak di seputar

lokasi TPA akan dilaksanakan berdasarkan hasil Studi AMDAL dan RKL dan RPL.

8.2.4. Terhadap Sub Bidang Drainase

Pembangunan saluran induk baru memerlukan lahan, untuk itu dilakukan pembelian lahan

sepanjang calon saluran induk baru.

Lahan yang dibebaskan sepanjang calon saluran induk baru. Berdasarkan hasil identifikasi didapat

bahwa tidak ada aktivitas ekonomi sepanjang calon saluran tersebut, sehingga tidak diperlukan

program pemberdayaan ekonomi sebagai kompensasi atas hilangnya mata pencaharian

masyarakat. Selain itu, pembebasan lahan tidak akan mengakibatkan hilangnya rumah tinggal

(5)

8.2.5. Terhadap Sub Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan

Khusus untuk investasi pada Sub Bidang Penataan Bangunan Lingkungan, tidak ada program

yang bersifat fisik yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sosial dan

ekonomi masyarakat. Secara lebih detail mengenai aspek sosial terhadap rencana lokasi

perencanaan selanjutnya akan dirincikan pada dokumen RTBL yang sedang dalam tahap

penyusunan.

8.2.6. Terhadap Sub Bidang Permukiman

Program Penataan dan Peremajaan Kawasan di Kawasan permukiman kumuh dan padat

penduduk, justru menghasilkan dampak positif. Jadi program ini sekaligus merupakan safeguard

lingkungan sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Guna meningkatkan efektivitas program

tersebut, kegiatan penataan dan peremajaan kawasan didukung oleh program pemberdayaan

masyarakat untuk pemeliharaan prasarana dasar yang akan dibangun.

Program Pematangan Tanah untuk KASIBA – LISIBA Kawasan permukiman baru Kabupaten

Langkat berada pada lokasi yang tersebar di lima BWK sesuai rencana RTRW Kabupaten

Langkat dan disesuaikan perkembangan wilayah pada masa sekarang. Kawasan ini dilengkapi

dengan fasilitas pelayanan umum dan jaringan jalan. Kawasan siap bangun (Kasiba) yaitu kawasan

permukiman yang dipersiapkan dan dikelola oleh pemerintah dalam penyediaan lahan matang.

Kawasan ini sudah dilengkapi dengan jaringan jalan arteri sekunder, fasilitas dan utilitas umum.

Kasiba direncanakan berlokasi di BWK B pada lahan HGU perkebunan tebu milik PTP II.

Penggunaan lahan terbangun di wilayah perencanaan didominasi oleh peruntukan perumahan

seluas 1.483,75 Ha sehingga tidak memerlukan re-settlement maupun konsolidasi lahan.

Akan tetapi juga memungkinkan dilakukan konsolidasi lahan, untuk konsolidasi tersebut

diperlukan:

1. Sosialisasi program konsolidasi lahan 2. Kesepakatan konsolidasi lahan

3. Program pemberdayaan ekonomi selama proses konsolidasi itu berlangsung.

8.1. RENCANA PENGELOLAAN

8.3.1. Rencana Sistem Pengelolaan Safeguard Sosial dan Lingkungan

Sistem Pengelolaan Safeguard Lingkungan dan Safeguard sosial di Kabupaten Langkat

direncanakan dikelola dengan sistem terpadu di bawah koordinasi Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Kabupaten Langkat dengan melibatkan Iangsung Satuan Perangkat Kerja

(6)

Pengelolaan Safeguard sosial direncanakan dikelola oleh Dinas-Dinas terkait pembangunan

infrastruktur khususnya bidang Cipta Karya di Kabupaten Langkat seperti untuk pengadaan

lahan dan permukiman kembali direncanakan dikelola oleh Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat

Pemerintah Kabupaten Langkat dan Dinas Pekerjaan Umum (PU).

8.3.2. Prosedur Pelaksanaan dan Pemantauan

Untuk memastikan bahwa safeguard Iingkungan dan safeguard pengadaan tanah dipantau dengan

baik, maka diperlukan tahapan prosedur sebagai berikut:  Identifikasi, Penyaringan dan Pengelompokan dampak,

 Study dan Penilaian mengenai tindakan yang perlu dan dapat dilakukan, berupa diskusi,

dan konsultasi,

 Perumusan dan perencanaan rencana pemantauan,  Pemantauan ulang terhadap proses diatas,

 Perumusan mekanisme pemantauan dan penanganan safeguard.

Pelaksanaan Pemantauan Safeguard Sosial dan Safeguard Pengadaan Tanah dan Permukiman

kembali dikoordinir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Langkat dengan

melibatkan Satuan Perangkat Kerja Daerah terkait sesuai tugas masing¬masing-masing SKPD

dengan melibatkan peran serta masyarakat.

4.1.1. Kemiskinan

Jumlah penduduk miskin Kabupaten Langkat tahun 2014 adalah sebanyak 104,310 jiwa atau

10,44% total penduduk, jumlah penduduk miskin tersebut menurun dibandingkan jumlah

penduduk miskin tahun 2010 yang mencapai 133.140 jiwa atau 12,75%.

Pada periode 2010-2014, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan

(P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 1,92 pada

tahun 2010 menjadi 1,54 pada tahun 2014. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan turun

dari 0,55 pada tahun 2010 menjadi 0,37 pada tahun 2013. Penurunan nilai kedua indeks ini

mengindikasikan bahwa ada peningkatan pengeluaran penduduk miskin yang semakin mendekati

garis kemiskinan. Selain itu ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga menjadi semakin

kecil. Jumlah dan prosentase penduduk miskin serta Indeks kedalamam kemiskinan dan Indeks

(7)

Tabel 4.1. Tingkat Kemiskinan Kabupaten Langkat

NO. INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

(1) (2) (4) (5) (6) (7) (8)

1 Jumlah Penduduk Miskin 133.140 104.800 100.800 99.273 104.310

2 Presentase penduduk miskin 12,75 10,85 10,32 10,02 10,44

3 Garis kemiskinan 221.625 247.090 270.518 296,167 284.853

4 Indeks kedalamam kemiskinan tt 1,92 1,84 1,54 1,54

5 Indeks keparahan kemiskinan tt 0,5 0,475 0,36 0,37

Sumber: Langkat Dalam Angka 2015

4.1.2. Pengarusutamaan Gender

Pengarusutamaan gender (PUG), atau dalam istilah Inggeris: Gender Mainstraiming, merupakan

suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program

yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki

ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan

program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

Tujuan pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki:

memperoleh

akses

yang sama kepada sumberdaya pembangunan,

berpartisipas

i yang sama dalam proses pembangunan. Termasuk proses

pengambilan keputusan,

mempunyai

kontrol

yang sama atas sumberdaya pembangunan, dan

memperoleh

manfaat

yang sama dari hasil pembangunan.

Penyelenggaan pangarusutamaan gender mencakup baik pemenuhan kebutuhan praktis gender

maupun pemenuhan kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis gender adalah

kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan berkaitan dengan perbaikan kondisi perempuan dan/atau laki-laki

guna menjalankan peran-peran sosial masing-masing, seperti perbaikan taraf kehidupan,

perbaikan pelayanan kesehatan, penyediaan lapangan kerja, penyediaan air bersih, dan

pemberantasan buta aksara. Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan perempuan dan/atau

laki-laki yang berkaitan dengan perubahan pola relasi gender dan perbaikan posisi perempuan

dan/atau laki-laki, seperti perubahan di dalam pola pembagian peran, pembagian kerja, kekuasaan

dan kontrol terhadap sumberdaya. Pemenuhan kebutuhan strategis ini bersifat jangka panjang,

seperti perubahan hak hukum, penghapusan kekerasan dan deskriminasi di berbagai bidang

kehidupan, persamaan upah untuk jenis pekerjaan yang sama, dan sebagainya.

Arah Pembangunan Jangka Panjang yang tercantum pada RPJPN 2005-2025 di bidang

pembangunan adalah pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak diarahkan pada

(8)

berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi

terhadap perempuan dan anak; serta penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan

gender dan anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender.

Sesuai dengan Buku II RPJMN 2015-2019 Pengarusutamaan gender (PUG) merupakan

strategi mengintegrasikan perspektif gender dalam pembangunan. Pengintegrasian perspektif

gender tersebut dimulai dari proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, serta pemantauan

dan evaluasi seluruh kebijakan, program dan kegiatan pembangunan. PUG ditujukan untuk

mewujudkan kesetaraan gender dalam pembangunan, yaitu pembangunan yang lebih adil dan

merata bagi seluruh penduduk Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan gender

dapat dicapai dengan mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan dalam

mengakses dan mengontrol sumber daya, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan proses

pembangunan, serta mendapatkan manfaat dari kebijakan dan program pembangunan.

Kesetaraan dan keadilan gender yang merupakan salah satu tujuan pembangunan yang ditetapkan

dalam RPJPN 2005-2025 dan dijabarkan di dalam RPJMN 2015-2019 dihadapkan pada tiga isu

strategis, yaitu:

1) meningkatnya kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan;

2) meningkatnya perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan,

termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO); dan

3) meningkatnya kapasitas kelembagaan PUG dan kelembagaan perlindungan perempuan

dari berbagai tindak kekerasan.

Gender adalah perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi dan status antara laki-laki dan

perempuan yang bukan berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan sosial budaya

yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang luas. Jadi, gender merupakan konstruksi sosial

budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.

 Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk

memperoleh, kesempatan serta hak-haknya, sebagai manusia agar mampu berperan, dan

berpartisipasi serta menikmati pembangunan.

 Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan ditandai

dengan tidak adanya pembekuan peran, beban ganda, sub ordinasi, marginalisasi maupun

kekerasan terhadap salah satu.

 Masalah Kesenjangan Gender Dalam Penyelenggaraan Infrastuktur PU Dan

Permukiman :

(9)

 Ada kebijakan, program, kegiatan pembangunan tertentu yang luput dari adanya

kebutuhan, aspirasi, hambatan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga

menyebabkan adanya kesejangan gender antara lain :

1. Kesenjangan bagi perempuan dalam memperoleh informasi tentang pentingnya menjaga kualitas sungai.

2. Adanya kesejangan bagi kelompok tertentu (perempuan, difable, lansia) dalam penyediaan

sarana jalan dan jembatan serta bangunan pelengkapnya (contoh: Rest Area, Jembatan

penyebarangan, trotoar).

3. Terabaikannya perempuan untuk memperoleh akses informasi dan pernyataan aspirasi

dalam penguasaan kepemilikan asset, lahan, rumah, terkait proses pengadaan tanah dan

rencana pembangunan infrastruktur PU dan Permukiman.

4. Adanya kesenjangan bagi laki-laki (pekerjaan konstruksi) untuk mendapatkan akses

informasi tentang pencegahan penyakit HIV/ AIDS, yang akan berdampak negatif bagi

keluarganya.

5. Adanya kesenjangan dalam peran dan partisipasi perempuan pada penyelenggaraan pembangunan prasarana dan sarana permukiman, antara lain : air minum dan

persampahan.

6. Kurangnya prasarana dan sarana yang memadai bagi kebutuhan perempuan, difable pada

bangunan, gedung dan lingkungan (antara lain : Ruang Asi, Taman Penitipan Anak

/TPA).

7. Kurang terakomodasinya aspirasi kebutuhan kelompok tertentu dalam penyusunan regulasi zona ( antara lain : zona aman sekolah, ruang publik, ruang terbuka hijau). 8. Adanya kesengajan bagi peserta perempuan yang sedang menyusui untuk berpartisipasi

secara maksimal dalam Pendidikan dan Pelatihan.

Pengarusutamaan Gender : Merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan

Gender, melalui kebijakan, program dan kegiatan yang memperhatikan pengalaman, aspirasi,

kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaaan,

pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program berbagai bidang pembangunan

sehungga diperoleh kesetaraan AKPM ( Akses, Kontrol, Partisipasi dan Manfaat) dalam

pembangunan.

Pengarusutamaan Gender bukan hanya konsep yang memprioritaskan pemberdayaan perempuan,

melainkan mengakomodasi dan memperhatikan kebutuhan semua jenis kelamin (baik laki-laki

(10)

Terintergrasinya perspektif gender ke dalam seluruh proses penyelengaraan pembangunan

infrastruktur PUPR dan Permukiman sehingga menghasilkan infrastruktur PUPR dan

Permukiman yang responsif gender :

1. Tahap perencanaan dan pemograman 2. Tahap pelaksanaan

3. Tahap pemantauan dan evaluasi

4.1. Analisis Ekonomi

4.2.1.PDRB Perkapita

PDRB per kapita menurut harga berlaku (ADHB) selama 5 tahun terakhir meningkat 70,31%

atau rata-rata per tahun 14,06% yaitu dari Rp 14.789,83 milyar pada tahun 2009 menjadi Rp

25.189,51 milyar pada tahun 2013. PDRB per kapita menurut harga konstan (ADHK tahun 2000)

dalam lima tahun terakhir meningkat 25,04% atau rata-rata per tahun 5% yaitu dari Rp 6.819,23

milyar pada tahun 2009 menjadi Rp 8.527,34 milyar pada tahun 2013.

Tabel 4.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Kabupaten Langkat Tahun 2010 – 2014

Tahun

Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan

2000

2010 14.789,83 15.329.540,05 6.819,23 7.068.079,55 2011 17.037,98 17.609.677,69 7.210.56 7.452.507,89 2012 19.565,25 20.034.354,59 7.626,99 7.809.865,32

2013 22.166,49 22.690.998,95 8.058,65 8 249 329,20

2014 25.189,51 25 264 321,76 8.527,34 8 552 668,71

Sumber : Kabupaten Langkat Dalam Angka, 2015

4.2.2.Indeks Gini/Koefisien Gini

Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dapat diukur salah satunya adalah dengan Indeks

Gini. Distribusi pendapatan makin merata jika nilai Koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya,

suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai Koefisien Gininya makin

mendekati satu. Kabupaten Langkat mempunyai tingkat ketimpangan pendapatan > 0,5 pada

tahun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Langkat berada pada tingkat ketimpangan

sedang dan berarti pula bahwa distribusi pendapatan kurang merata. menurut Todaro (2000:188)

untuk negara-negara sedang berkembang dapat dinyatakan bahwa distribusi pendapatan sangat

(11)

4.2.3.Indeks Ketimpangan Williamson (Indeks Ketimpangan Regional)

Untuk mengukur ketimpangan pembangunan wilayah digunakan indeks Williamson. Hasil

pengukuran dari nilai Indeks Williamson ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 < VW

< 1. Jika indeks Williamson semakin mendekati angka 0 maka semakin kecil ketimpangan

pembangunan ekomoni dan jika indeks Wlliamson semakin mendekati angka 1 maka semakin

melebar ketimpangan pembangunan ekonomi. Pada tahun 2012 hasil perhitungan indeks

Williamson sebesar 0.607. hal ini menunjukan adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah

kecamatan di Kabupaten Langkat. Terutama antara kecamatan penghasil Migas (Kecamatan

Pangkalan Susu) dengan kecamatan lainnya, serta antara Kabupaten-Kabupaten utama dengan

wilayah lainnya.

Tabel 4.3. Ketimpangan Pendapatan di Kabupaten Langkat Tahun 2009-2013

NO. INDIKATOR 2009 2010 2011 2012 2013

Sumber : PDRB Kabupaten Langkat, 2015 tt Data tidak tersedia

4.2.4.Kemiskinan

A. Jumlah dan Prosentase Penduduk Miskin

Konsep kemiskinan yang digunakan dalam data ini adalah konsep kemiskinan absolut dengan

memakai ukuran yang biasa digunakan oleh BPS (Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat tahun

2014). Jumlah penduduk miskin Kabupaten Langkat tahun 2013 adalah sebanyak 104,310 jiwa

atau 10,44% total penduduk, jumlah penduduk miskin tersebut menurun dibandingkan jumlah

penduduk miskin tahun 2009 yang mencapai 133.140 jiwa atau 12,75%.

B. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan

Pada periode 2009-2013, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan

(P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 1,92 pada

tahun 2010 menjadi 1,54 pada tahun 2013. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan turun

dari 0,55 pada tahun 2010 menjadi 0,37 pada tahun 2013. Penurunan nilai kedua indeks ini

mengindikasikan bahwa ada peningkatan pengeluaran penduduk miskin yang semakin mendekati

garis kemiskinan. Selain itu ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga menjadi semakin

kecil. Jumlah dan prosentase penduduk misik serta Indeks kedalamam kemiskinan dan Indeks

(12)

Tabel 4.4. Tingkat Kemiskinan Kabupaten Langkat Tahun 2009-2013

NO INDIKATOR 2009 2010 2011 2012 2013

(1) (2) (4) (5) (6) (7) (8)

1 Jumlah Penduduk Miskin 133.140 104.800 100.800 99.273 104.310

2 Presentase penduduk

miskin

12,75 10,85 10,32 10,02 10,44

3 Garis kemiskinan 221.625 247.090 270.518 296,167 284.853

4 Indeks kedalamam

Sumber : PDRB Kabupaten Langkat, 2015 tt Data tidak tersedia

4.3. Analisis Lingkungan

Kajian lingkungan dibutuhkan untuk memastikan bahwa dalam penyusunan RPIJM bidang Cipta

Karya oleh pemerintah kota Binjai telah mengakomodasi prinsip perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup. Adapun amanat perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah sebagai

berikut:

1. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

2. UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional;

3. Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional Tahun 2010-2014;

4. Permen LH No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup

Strategis;

5. Permen LH No. 16 Tahun 2012 tentang Penyusunan Dokumen Lingkungan.

Adapun tugas dan wewenang pemerintah kab/kota dalam aspek lingkungan terkait bidang Cipta

Karya mengacu pada UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup yaitu:

a. Menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota.

b. Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota.

c. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL. d. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup.

e. Melaksanakan standar pelayanan minimal.

4.3.1.Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian

(13)

pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan

suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:

a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah;

b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan

c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program

yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

KLHS memuat kajian antara lain:

a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;

b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;

c. kinerja layanan/jasa ekosistem;

d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;

e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi

b. terhadap perubahan iklim; dan

a. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan,

rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah.

KLHS disusun oleh Tim Satgas RPI2-JM Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh Badan Pengelola

Lingkungan Hidup Daerah sebagai instansi yang memiliki tugas dan fungsi terkait langsung

dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di kota/kabupaten. ordinasi penyusunan

KLHS antar instansi diharapkan dapat mendorong terjadinya transfer pemahaman mengenai

pentingnya penerapan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk

mendorong terjadinya pembangunan berkelanjutan.

Tahapan pelaksanaan KLHS diawali dengan penapisan usulan rencana/program dalam RPIJM

per sektor dengan mempertimbang kan isu-isu pokok seperti:

1) Perubahan iklim,

2) Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahankeanekaragaman hayati,

3) Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau

kebakaran hutan dan lahan,

4) Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam,

(14)

6) Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan

sekelompok masyarakat; dan/atau

7) Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. Isu-isu tersebut menjadi

kriteria apakah rencana/program yang disusun teridentifikasi menimbulkan resiko atau

Gambar

Tabel 4.1. Tingkat Kemiskinan Kabupaten Langkat
Tabel 4.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita  Kabupaten Langkat Tahun 2010 – 2014
Tabel 4.3. Ketimpangan Pendapatan di Kabupaten Langkat Tahun 2009-2013
Tabel 4.4. Tingkat Kemiskinan Kabupaten Langkat Tahun 2009-2013

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan metode analisis naratif model aktan oleh Algirdas Greimas untuk melihat bagaimana karakter autis ditampilkan dalam film Malaikat

Apabila Anda dapat sepenuhnya berada di sini dan sekarang tanpa berusaha menghakimi atau tanpa perlu menyingkirkan pengalaman-pengalaman (pikiran, perasaan, emosi, sensasi

31 Orangtua selalu mengingatkan untuk berhati-hati jika mengendarai sepeda motor. 32 Menurut pendapat saya orangtua selalu memantau prestasi saya

tingkat kemampuan kelompok tani yang bersangkutan, Hubungan yang bersifat melembaga itu mencerminkan perilaku pelayanan KUD oleh kelompok tani, Dalam pada itu Satuan Pengendali Bi-

Sales promotion kartu kredit yang memiliki cara pandang optimistis akan memandang suatu penolakkan yang diterima dari calon nasabahnya adalah karena calon nasabahnya

q. Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserah-terimakan oleh penyedia jasa kepada Pejabat Pembuat Komitmen menjadi tidak berfungsi, baik secara

Jika pencarian tidak berhasil menemukan data yang dicari, maka perlu menambahkan data tersebut ke dalam berkas yang sudah ada, dikenal dengan algoritma pencarian dan penyisipan

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa share growth , pergantian dewan direksi dan reputasi KAP berpengaruh signifikan terhadap pergantian KAP sedangkan proporsi public ownership ,