• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS WACANA KRITIS TEKS BERITA KRIMINAL DI HARIAN GORONTALO POST (Pendekatan Critical Linguistic Model Theo Van Leewen) ARTIKEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS WACANA KRITIS TEKS BERITA KRIMINAL DI HARIAN GORONTALO POST (Pendekatan Critical Linguistic Model Theo Van Leewen) ARTIKEL"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 ANALISIS WACANA KRITIS TEKS BERITA KRIMINAL

DI HARIAN GORONTALO POST

(Pendekatan Critical Linguistic Model Theo Van Leewen)

ARTIKEL Oleh Ali Hamdin

Asna Ntelu Fatmah AR. Umar

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2015

Abstrak

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis wacana teks berita kriminal yang direpresentasikan di harian Gorontalo Post dengan dua teknik, yaitu: (1) teknik eksklusi guna melihat apakah ada aktor di dalam peristiwa yang dikeluarkan dari teks berita; dan (2) teknik inklusi, untuk mendeskripsikan bagaimanakah aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa tersebut direpresentasikan sebagai bahan pemberitaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif kualitatif. Analisis data mengikuti model analisis wacana kritis dari Theo Van Leewen.

Setelah dilakukan analisis data pemberitaan peristiwa “Dugaan Pelecehan Seksual Terhadap Salah Seorang Mahasiswi UNG”, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Pihak media GP menerapkan teknik eksklusi untuk menghilangkan/ menyembunyikan beberapa aktor yang terlibat di dalam peristiwa sehingga melindungi tindakan mereka dalam pemberitaan; dan (2) Teknik inklusi digunakan untuk lebih mengedepankan oknum dosen yang menjadi pelaku pelecehan. Ia justru digambarkan sebagai korban karena jabatannya sebagai dosen di UNG dipecat oleh pihak Rektorat. Pemberitaan lebih bersifat membujuk pembaca untuk menaruh rasa iba dan memaafkan tindakan oknum dosen. Ia juga direpresentasikan sebagai bahan pembicaraan buruk bagi masyarakat Gorontalo, sehingga kemudian ia membuat pengakuan dalam satu pemberitaan bahwa dirinya dijebak dalam peristiwa tersebut. Sementara itu, mahasiswi yang menjadi korban pelecehan justru digambarkan secara buruk sebagai orang lemah dan malas. Tergambar bahwa peristiwa pelecehan tersebut berawal dari atau disebabkan oleh mahasiswi. Pengakuan oknum dosen yang hadir secara sepihak sebagai pemberitaan, juga merepresentasikan mahasiswi yang dapat di-cap mau melakukan keinginan asusila dosennya.

Kata Kunci: Analisis Wacana, Kriminal, Representasi.

Pendahuluan

Untuk memahami wacana harus selalu dikaitkan dengan konteksnya. Konteks tersebut menjadi ciri-ciri alam di luar bahasa yang akan menumbuhkan makna pada ujaran maupun tulisan. Menurut Van Dijk (dalam Sobur, 2009:71) sebuah wacana dapat berpotensi mendiskriminasi atau digunakan untuk mengajak orang lain melakukan

▸ Baca selengkapnya: teks berita dapat dianalisis menggunakan kriteria konteks opini perspektif dan sumber. apa maksudny

(2)

2 diskriminasi. Hal ini dapat dilihat dalam praktik wacana pemberitaan peristiwa kriminal di media massa. Menurut Nugroho (2008:102) peristiwa kriminal banyak digunakan sebagai bahan pemberitaan karena dianggap dapat menarik perhatian dari banyak pembaca. Berita-berita kriminal dalam surat kabar disusun sedemikian rupa dengan alur yang mengalir, layaknya sebuah cerita fiktif yang dramatis. Di dalamnya diandaikan ada tokoh protagonis dan antagonis yang saling bermusuhan. Selain itu, gaya pemberitaannya banyak dibumbui dengan kata-kata yang bombastis dan sensasional, sehingga tidak jarang ditemukan monopoli bahasa yang dilakukan oleh wartawan atau medianya bertentangan dengan kode etik jurnalistik.

Sehubungan dengan proses pemberitaan, Lipmann (dalam Eriyanto, 2009:45) berpendapat bahwa wartawan cenderung akan memilih apa yang ingin dia lihat dan menulis apa yang ingin ditulis. Dalam hal ini, seorang wartawan akan menulis berdasarkan pendapatnya sendiri, perihal mana yang baik dan menarik dari sebuah peristiwa untuk diberitakan. Dalam konteks ini, sebuah berita tidak dapat dianggap sebagai fakta, melainkan hanya sebagai bentuk representasi atas peristiwa yang dijumpai wartawan dalam proses peliputannya. Hal-hal lain yang berkaitan dengan peristiwa dapat saja dikesampingkan oleh seorang wartawan. Akan tampak bentuk pemilihan dan penilaian wartawan atas pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa,

apakah digambarkan sebagaimana mestinya di dalam teks berita? Ataukah ada yang digambarkan secara baik, sementara pihak lainnya justru digambarkan secara buruk.

Penelitian ini merupakan aplikasi studi analisis wacana dengan formulasi judul “Analisis Wacana Kritis Teks Berita Kriminal di Harian Gorontalo Post (Pendekatan Critical Linguistic Model Theo Van Leewen)”. Dua pusat perhatian utama pada model analisis wacana kritis dari Theo Van Leween yang sekaligus menjadi tujuan penelitian ini, yaitu: pertama, menganalisis wacana teks berita kriminal yang direpresentasikan di Harian GP dengan teknik exclusion, dan kedua, menganalisis wacana teks berita kriminal yang direpresentasikan di Harian GP dengan teknik inclusion.

Tinjauan tentang Berita

Kelayakan sebuah berita untuk dimuat, diuraikan dalam BAB II pasal 5 Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia tentang cara pemberitaan bahwa “Wartawan

(3)

3 kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini. Tulisan yang berisi interpretasi dan opini, disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya”.

Penafsiran pasal di atas, yaitu: (1) berita secara berimbang dan adil ialah penyajian berita yang bersumber dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan, penilaian atau sudut pandang masing-masing kasus secara proporsional; (2) mengutamakan kecermatan dari kecepatan, artinya setiap penulisan, penyiaran atau penayangan berita hendaknya selalu memastikan kebenaran dan ketepatan sesuatu peristiwa dan atau masalah yang diberitakan; (3) tidak mencapuradukkan fakta dan opini, artinya wartawan tidak menyajikan pendapatnya sebagai berita atau fakta. Apabila suatu berita ditulis atau disiarkan dengan opini, maka berita tersebut wajib disajikan dengan menyebutkan nama penulisnya (Kusumaningrat, 2009:307).

Bahasa dan Teks Berita dalam Paradigma Kritis

Dalam pemikiran kritis, tidaklah mungkin bahasa yang digunakan oleh seseorang atau masyarakat tanpa memiliki tujuan atau hanya memiliki satu tujuan. Akan tetapi, ketika bahasa digunakan pasti memiliki lebih dari satu tujuan. Ludwig Wittgenstein (dalam Wibowo, 2001: 37) mengungkapkan bahwa “bahasa adalah bagaimana ia digunakan dalam konteks-konteks kehidupan”. Dengan demikian, dari satu ungkapan bahasa apabila dihubungkan dengan konteks yang berbeda maka akan memiliki makna yang berbeda pula. Apabila di dalam pemberitaan ditemukan ungkapan yang dilakukan dengan gaya atau sekadar bermain-main dengan kata untuk menarik perhatian pembaca, hal ini tidak mendapat tempat dalam pandangan kritis jika pilihan kata atau kalimat dalam teks berita tersebut dapat mengaburkan makna atau menghina pihak-pihak yang terlibat di dalam peristiwa (Eriyanto, 2009: 350-356).

Representasi dalam Wacana

Dalam pandangan kritis, isi berita tidaklah bisa diterima serta-merta sebagai kebenaran karena berita bukanlah fakta sesungguhnya. Ras Siregar (dalam Chaer, 2010:11) menyatakan bahwa berita hanyalah kejadian yang diulang dengan mengunakan kata-kata, biasa ditambah dengan gambar atau hanya berupa gambar-gambar saja. Berita hanyalah bentuk representasi untuk mengungkapkan kembali suatu peristiwa. Eriyanto (2009:6) mengungkapkan bahwa representasi dapat dipahami sebagai bentuk penggambaran yang dilakukan oleh wartawan atau pihak medianya atas sebuah peristiwa dan pendapat serta orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa

(4)

4

tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Mills (dalam Eryanto, 2008: 200-203) berpendapat bahwa setiap tokoh dalam pemberitaan mempunyai kemungkinan untuk menjadi subjek atau objek pemberitaan. Akan tetapi, setiap orang tidak mempunyai akses yang sama terhadap media karena berbagai sebab. Akibatnya ada pihak yang berposisi sebagai subjek untuk menceritakan dirinya sendiri sedangkan pihak lain hanya berposisi sebagai objek dan menjadi bahan penceritaan.

Analisis Wacana Kritis (AWK)

Untuk memahami sebuah teks wacana, Hidayat (dalam Sobur, 2009:55) mengungkapkan bahwa seorang pembaca diharapkan dapat melakukan dialog imajinatif dengan pengarang teks yang dibacanya. Teks haruslah diteliti dan diinterogasi secara kritis agar kesadaran pembaca tidak terjajah. Dengan demikian, penelitian wacana kritis bertujuan untuk mengoreksi ketidakadilan dalam praktik wacana dalam masyarakat. Menurut Jorgensen dan Phillips (2010:120), atas nama emansipasi, pendekatan analisis wacana kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial yang tertindas.

Fairclough dan Wodak (dalam Eriyanto, 2009:14-20) membagi lima pendekatan utama yang digunakan dalam analisis wacana kritis, yaitu: (1). Analisis Bahasa Kritis (critical linguistic); (2) Analisis Wacana Pendekatan Prancis (French discourse analysis); (3) Pendekatan Kognisi Sosial (sosio cognitive approach); (4) Pendekatan Perubahan Sosial (sosiocultural change approach); dan (5) Pendekatan Wacana Sejarah (discourse historical approach). Dari kelima pendekatan ini, peneliti menyimpulkan bahwa semua model analisis wacana memusatkan perhatiannya pada bahasa yang membawa makna tertentu dalam pengunaannya di masyarakat. Isu sentral dalam semua model analisis mereka antara lain ialah ideologi, kekuasaan dan marginalisasi.

Model Analisis Wacana Kritis Theo Van Leewen

Theo van Leewen memperkenalkan sebuah model analisis wacana untuk mendeteksi apakah ada suatu kelompok atau seseorang yang dimarginalkan posisinya dalam suatu wacana. Ia mengungkapkan bahwa “representations include or exclude social actors to suit their interests and purposes in relation to the readers for whom they are intended, “representasi inklusi atau eksklusi aktor sosial disesuaikan dengan

ketertarikan penulis dan tujuannya berhubungan dengan pembaca yang diinginkan oleh penulis” (Van Leewen, 2008:28). Berdasarkan hal ini, maka setiap pernyataan orang

(5)

5

yang menjadi narasumber dalam pemberitaan merupakan pilihan seorang wartawan berdasarkan tujuan yang diinginkannya.

Ada dua pusat perhatian dalam model analisis wacana ini, yaitu proses exclusion dan inclusion. Proses exclusion berarti proses pengeluaran, berhubungan dengan pertanyaan, apakah ada aktor (bisa berupa kelompok atau seseorang) yang dikeluarkan dari pemberitaan. Beberapa strategi untuk mengeluarkan aktor dalam pemberitaan, yaitu: (1) Pasivasi, proses pengubahan bentuk kata atau kalimat aktif menjadi pasi. Secara umum, proses ini tidak menggambarkan secara jelas tentang subjek atau pelaku di dalam peristiwa; (2) Nominalisasi, proses pengubahan kata kerja (verba) menjadi bentuk kata benda (nomina). Hal ini umumnya dapat dilakukan dengan pemberian imbuhan “pe-an” sehingga tidak membutuhkan subjek atas suatu tindakan; dan (3) Penggantian Anak Kalimat, proses penambahan keterangan pada kalimat untuk menggantikan posisi subjek.

Proses yang kedua ialah inclusion, digunakan untuk mendeteksi penggambaran peristiwa/aktor sosial yang terlibat di dalam pemberitaan. Apakah digambarkan apa adanya dengan baik ataukah sebaliknya digambarkan secara buruk. Ada beberapa strategi wacana yang digunakan dalam proses ini, yaitu: (1) Diferensiasi-Indiferensiasi, untuk melihat apakah suatu peristiwa/aktor sosial ditampilkan secara mandiri di dalam teks sebagai peristiwa yang unik dan khas atau dikontraskan dengan aktor/peristiwa lain; (2) Objektivasi-Abstraksi, untuk melihat informasi mengenai suatu peristiwa/aktor sosial ditampilkan secara konkrit ataukah abstrak; (3) Nominasi-Kategorisasi, untuk melihat penggambaran peristiwa/aktor sosial dengan apa adanya ataukah menunjuk ciri pentingnya, misalnya: status sosial atau ciri fisik dan sebagainya; (4) Nominasi– Identifikasi, untuk melihat penggambaran peristiwa/aktor sosial dengan apa adanya ataukah dengan penetapan berupa identitas seseorang, identifikasi peristiwa, benda dan sebagainya; (5) Determinasi-Indeterminasi, untuk melihat apakah wartawan membuat batasan dan menentukan secara jelas atau tidak mengenai peristiwa atau aktor yang terlibat dalam peristiwa; (6) Asimilasi-Individualisasi, untuk melihat apakah aktor sosial (pelaku atau korban) digambarkan secara individual ataukah dileburkan dalam komunitas atau kelompok sosialnya; dan (7) Asosiasi-Disosiasi, untuk melihat penggambaran suatu peristiwa apakah ditampilkan secara mandiri ataukah dihubungkan dengan peristiwa lain yang lebih besar.

(6)

6 Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan paradigma kritis. Populasi bahan analisisnya ialah teks-teks berita kriminal yang diterbitkan oleh Harian Gorontalo Pos pada bulan Februari tahun 2012. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Peneliti memilih 4 buah teks berita berdasarkan karakteristik teks yang memiliki relevansi tekstual sebagaimana yang tampak setelah analisis data awal. Dalam penetapan sampel, peneliti membuat empat kriteria teks berita untuk dianalisis, yaitu: (1) menggambarkan peristiwa kriminal yang terjadi di Gorontalo; (2) menggambarkan kekuasaan top-down; (3) menggambarkan adanya aktor yang dihilangkan; dan (4) adanya permainan bahasa dalam teks berita sebagai gaya.

Wacana pemberitaan dalam penelitian ini ialah “dugaan pelecehan seksual terhadap salah seorang mahasiswi UNG”, yang disingkat dengan DPS. Sementara itu, empat buah teks berita sebagai sampel, masing-masing dikodekan dengan TB1, TB2, TB3 dan TB4. Secara terurut berdasarkan tanggal terbitnya, judul masing-masing teks berita tersebut yaitu: (1) Oknum Dosen UNG Dipecat, Kamis, 2 Februari 2012; (2)

Kasus Dosen, Jum’at, 3 Februari 2012; (3) Dosen Juga Manusia, Senin, 6 Februari 2012; dan (4) Dugaan Cabul Mahasiswi, Senin, 6 Februari 2012. Prosedur analisis data mengacu pada pendapat Miles dan Hubermen (dalam Tuloli, dkk.2012:37-38), yaitu: (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3) penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Analisis Data dan Pembahasan

Berikut ini disajikan contoh-contoh hasil analisis data berdasarkan strategi-strategi wacana yang diterapkan dalam pemberitaan peristiwa DPS.

Representasi Peristiwa DPS dengan Strategi “Pasivasi”

Dugaan Cabul Mahasiswi (Judul Berita) RL Ngaku Dijebak (Lead Berita).

Setelah sempat menjadi buah bibir sebagian masyarakat, RL oknum dosen UNG yang dituduh mencoba melakukan perbuatan asusila terhadap seorang mahasiswi akhirnya angkat bicara. Kepada Gorontalo Post kemarin (5/2), RL mengaku dijebak dalam kasus tersebut. Kasus yang dituduhkan kepada dirinya itu seakan-akan sudah disetting (diatur, red). (TB4, Paragraf 1).

Dalam teks ini, tampak ungkapan berbentuk pasif “dijebak”. Penjebakan ini mungkin benar adanya. Akan tetapi, siapa yang menjebak RL tidak digambarkan secara jelas di dalam teks berita. Tampak pula bahwa pihak media GP memandang oknum dosen RL menjadi korban dalam peristiwa DPS dengan idiom “buah bibir”. Ungkapan ini dapat memberi makna bahwa akibat dari jebakan dalam peristiwa DPS, akhirnya RL menjadi pergunjingan masyarakat. Gaya bahasa eufemisme ini dapat memperkuat

(7)

7

makna penderitaan yang dialami oleh RL. Sebab itulah ia perlu membuat pengakuan pada media agar diketahui oleh masyarakat.

Kemudian, tampak pula pola pasivasi “dituduhkan” yang juga dapat menggambarkan bahwa RL begitu malang nasibnya. Hal ini dapat memperkuat makna penderitaannya sehingga dapat menggugah hati pembaca untuk lebih bersimpatik padanya. Ditambah lagi dengan keterangan bahwa penjebakan dan tuduhan pada dirinya tersebut telah “diatur” sebelumnya. Akan tetapi, masih dalam efek yang sama bahwa siapa orang yang menuduh dan siapa orang yang mengatur penjebakan terhadap RL tidak digambarkan secara jelas dalam teks berita.

Selain itu, tampak pula kata “ngaku” pada lead berita. Kata ini bentuk dasarnya adalah kata benda (nomina) “aku”, yang akan berubah menjadi bentuk kata kerja aktif dengan imbuhan “me-“ menjadi “mengaku”. Akan tetapi, pihak media hanya menuliskannnya dengan “ngaku”. Kata ini sebenarnya telah melewati proses afiksasi yang disebut dengan “simulfiks”. Proses ini dihasilkan dengan nasalisasi, yaitu penghasilan bunyi lewat hidung. Perubahan katanya termasuk dalam ragam non-standar dan berkecenderungan menjadi kata kerja pasif (Kridalaksana, 2007: 29-43). Salah satu dari muatan makna dengan bentuk ini ialah perbuatan tersebut dilakukan dengan penuh kenikmatan, seperti halnya makna yang termuat dalam kata “ngopi”, “ngelamun”, atau “nyantai”. Dengan demikian, penjebakan terhadap RL dalam teks di atas dapat bermakna sungguh sangat dirasakan sebagai derita. Hal ini tentulah dapat mempengaruhi kesadaran pembaca untuk lebih bersimpatik kepada nasib RL daripada nasib mahasiswi yang statusnya adalah korban pelecehan.

Representasi Peristiwa DPS dengan Strategi “Nominalisasi”

Oknum Dosen UNG Dipecat (Judul Berita).

Terkait Dugaan Pelecehan Seksual Terhadap Salah Seorang Mahasiswi (Lead Berita). ………

Pemecatan terhadap RL ini dilakukan setelah terkuaknya kasus dugaan pelecehan seksual terhadap salah seorang mahasiswi, Selasa (31/1) malam di salah satu hotel yang ada di Kota Gorontalo (TB1, Paragraf 2).

Strategi nominalisasi yang tampak pada lead berita ditampilkan dengan frasa nominal “dugaan pelecehan”. Kata “dugaan” berasal dari bentuk dasar “duga” ditambah akhiran “-an” yang berarti “hasil menduga”. Kata ini tidak membutuhkan subjek/pelaku untuk menjelaskan secara khusus tentang orang yang membuat dugaan. Apakah dari pihak media, pihak kepolisian ataukah narasumber lainnya? Dengan demikian, ungkapan tersebut lebih bermakna sebagai sebuah “peristiwa” saja. Penyajian peristiwa

(8)

8

ini terasa dramatik karena pemahaman pembaca diarahkan pada sesuatu yang tak menentu. Ungkapan ini menyebar sebanyak 14 kali dalam 4 buah teks berita yang diteliti. Dalam pandangan peneliti, hal ini dapat memberi pengaruh yang kuat pada kesadaran publik. Dengan ungkapan kata ini, pembaca akan tergiring bersama-sama dengan pihak media GP selaku produser wacana untuk menduga-duga bahwa tindakan yang telah dilakukan oleh oknum dosen merupakan tindak pelecehan seksual.

Kemudian, kata “pelecehan” berasal dari bentuk dasar “leceh”. Dalam KBBI, kata ini berarti remeh, tidak berharga, rendah sekali, buruk kelakuan, dan hina. Setelah memperoleh imbuhan “pe-an”, kata tersebut menjadi berarti “proses, perbuatan atau cara melecehkan”. Bentuk nominalisasi ini juga menghilangkan subjek/pelaku dalam peristiwa tersebut, yakni siapa sebenarnya orang yang bertindak melecehkan tidak tergambar jelas dalam teks berita. Tampak bahwa pihak media GP seolah-olah memandang secara terpisah antara peristiwa pemecatan RL dengan peristiwa pelecehan seksual terhadap mahasiswi. Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan frasa nominal yang tidak menuntut hadirnya subjek/pelaku di dalam teks. Kalimat pada paragraf 2 akan memberikan makna yang lebih jelas tentang orang yang melakukan pelecehan terhadap mahasiswi, apabila ditulis dengan kalimat aktif berikut ini: “Pemecatan terhadap RL dilakukan karena diduga melecehkan salah seorang mahasiswinya, Selasa (31/1) malam di salah satu hotel yang ada di Kota Gorontalo”. Dengan kalimat ini, kedua peristiwa tampak lebih berhubungan sebagai sebab akibat. Akhirnya, tampak bahwa pihak media GP lebih mengedepankan penggambaran pemecatan RL daripada peristiwa DPS.

Representasi Peristiwa DPS dengan Strategi “Diferensiasi”

Akan tetapi, kita juga sadar bahwa sebenarnya fenomena mesum seperti ini bukanlah hal yang baru dan tidak hanya terjadi di UNG. Beberapa tahun lalu kasus serupa pun pernah muncul di beberapa universitas tersohor di negeri ini. Meskipun demikian, ini sama sekali bukanlah dalih untuk melegitimasi bahwa skandal pelecehan seksual di ruang dan ranah akademik adalah kasus sepele dan ringan, yang sama saja ringannya dengan kasus yang lazim terjadi di ruang publik lain. Di sinilah letak perbedaan kampus dan kampung, antara universitas dengan terminal atau stasiun. (TB3, Paragraf 3).

Dalam teks ini, tampak bahwa peristiwa DPS dipertentangkan dengan fenomena mesum yang terjadi di luar UNG. Penulisnya berasumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh oknum dosen merupakan hal lama yang “sering dan biasa” terjadi, bahkan di luar UNG “pernah, sering, biasa atau banyak” terjadi. Hal ini dapat mereduksi makna tindakan oknum dosen yang melecehkan mahasiswi karena tindakan seperti itu tampak biasa terjadi. Selain itu, penulisnya juga menyajikan persamaan peristiwa pelecehan

(9)

9

seksual secara konkret yang sekaligus membedakan tempat terjadinya, yaitu antara ruang akademik dengan ruang publik lain; antara kampus dan kampung; serta antara universitas dan terminal atau stasiun. Dalam pandangan peneliti, analogi ini dapat mempengaruhi dan menyesatkan kesadaran pembaca. Dari pernyataan ini tersirat makna bahwa penulisnya menganggap ringan dan sepele apabila peristiwa pelecehan seksual terjadi di kampung, terminal atau juga stasiun. Semestinya, dimanapun tempat terjadinya peristiwa pelecehan seksual tentulah tak bisa dipandang remeh, biasa atau sepele, melainkan harus dihindari adanya.

Representasi Peristiwa DPS dengan Strategi “Abstraksi”

Dari pertemuan itu akhirnya berlanjut terus, hingga kejadian pada malam di hotel itu. Menurut RL, ia berulang-ulang kali bertanya kepada Melati tentang apapun yang akan dilakukan termasuk menyangkut urusan intim. “Jawabannya, apapun yang Bapak mau lakukan saya akan lakukan. Apapun itu katanya”, ujar RL…. (TB4, Paragraf 4).

Bentuk numeralia abstrak “berulang-ulang kali” dalam teks ini tidak memberikan keterangan yang pasti seberapa persis RL bertanya kepada mahasiswi. Apakah dua kali, tiga kali, atau mungkin lebih. Kata ini dapat menggambarkan frekuensi yang sangat banyak atau bahkan tak terhingga jumlahnya. Semakin banyak frekuensi bertanya, maka pemahaman khalayak akan diarahkan pada kesimpulan berikut: Pertama, dapat memberikan pembelaan terhadap dosen karena ia banyak kali meyakinkan mahasiswa atas permintaanya; dan Kedua, dapat memburukkan penggambaran mahasiswa yang bisa dicap mau menuruti keinginan asusila dosennya. Simpulan yang kedua ini bahkan telah diungkapkan sendiri oleh RL bahwa jawaban mahaisiswi ialah “apapun yang Bapak mau lakukan saya akan lakukan, apapun itu”.

Akan tetapi, penggambaran ini hadir secara sepihak dari oknum dosen RL sehingga tidak memberi ruang bagi mahasiswi untuk mendeskripsikan dirinya di dalam teks.

Representasi Peristiwa DPS dengan Strategi “Kategorisasi”

Dosen Juga Manusia-Catatan Kecil Atas Skandal seks di UNG (Judul dan Lead Teks Berita 3) Oleh: Sukardi Gau-Warga Gorontalo

………

Jika kemudian kasus ini sah dan terbukti bersalah di pengadilan, rela atau tidak rela, peristiwa ini telah menorehkan catatan hitam historis akademik kampus tercinta ini. Walaupun demikian, kata orang bijak, kita memang tidak dapat mengubah masa lalu yang buruk, tetapi kita boleh mempersiapkan masa depan agar menjadi lebih baik. Apapun alasannya, dosen juga manusia. Wallahu alam.*** (TB3, Paragraf 10).

Keseluruhan dari penggalan teks ini ialah sebuah berita berbentuk esai, ditulis sebagai bentuk representasi dari pandangan akademik. Dapat dipastikan bahwa esai ini dimuat untuk mempengaruhi publik. Rivers (2008: 232) mengungkapkan bahwa kolom opini merupakan salah satu dari tiga bentuk persuasi dalam media massa, dua lainnya

(10)

10

ialah iklan dan artikel informasi hiburan. Ungkapan pada judul tentulah tidak hanya sekadar mengkategorikan “dosen” sebagai kelompok manusia, akan tetapi lebih dari itu bahwa judul ini akan dipahami sebagai bentuk eufemisme untuk memperhalus tindakan oknum dosen yang telah melecehkan mahasiswi. Daya pengaruhnya ialah mengajak pembaca untuk memaklumi atau memaafkan tindakan oknum dosen karena tindakan tersebut masih dalam naluri manusiawi. Kemudian, tampak bahwa diulang kembali pada bagian penutup. Untuk memperkuat daya pengaruhnya, penulisnya mengutipkan kata-kata bijak. Ungkapan pada judul maupun pada bagian penutup ini kurang relevan dengan materi pembahasan pada isi berita. Dalam pandangan peneliti, ungkapan tersebut tidak pas bila digunakan untuk melegitimasi perbuatan asusila, kecuali konteksnya adalah isi berita memuat tentang permohonan maaf dari oknum dosen yang mengaku bahwa dirinya telah khilaf dalam tindakan melecehkan seks mahasiswinya. Permohonan maaf itu harus ditampilkan dalam teks guna memenuhi “prinsip kerjasama” dalam berbahasa sebgaimana dikemukakan oleh Grice (dalam Nadar, 2009: 24-25), berikut ini: “hindari ungkapan yang tidak jelas dan membingungkan, harap relevan dan jangan memberikan informasi yang berlebihan”.

Representasi Peristiwa Dengan Strategi “Indentifikasi”

Kasat Reserse Polres Gorontalo AKP Lesman Katili menjelaskan, kasus tersebut bukan tindakan percobaan pemerkosaan, karena tidak ditemukan adanya kekerasan terhadap korban. “Ketika mereka duduk di dalam kamar hotel, mahasiswa sudah mendobrak pintu. Pada saat itu terlapor dan korban masih sebatas pegangan tangan. Jadi, tidak ada tindakan pemaksaan yang dilakukan terlapor, dan itu hal yang dikatakan oleh korban yakni pelapor. (TB1, Paragraf 9).

Dalam teks ini tampak bahwa saat kejadian pelecehan di kamar hotel diidentifikasi dengan keterangan dari pihak kepolisian bahwa teman-teman mahasiswi “mendobrak pintu”. Hal ini tidak bersesuaian dengan pengakuan RL dalam TB4 bahwa ia “membuka pintu” tersebut. Kedua bentuk ungkapan ini memuat makna yang berbeda, bahwa “mendobrak pintu” dapat bermakna dibuka secara paksa, sedangkan “membuka pintu” lebih berarti bahwa pintu dibuka secara suka rela oleh RL tanpa tendensi adanya kekerasan atau paksaan. Dalam hal ini, tampak bentuk pembelaan diri yang dilakukan oleh RL di dalam TB4 yang terbit kemudian.

Tampak pula bahwa pihak media GP mengutip langsung keterangan dari AKP Lesman Katili yang mengidentifikasi peristiwa dengan ungkapan “masih sebatas pegangan tangan”. Ungkapan ini dapat mereduksi makna tindakan RL dan DN yang telah dituliskan pada kalimat-kalimat sebelumnya. Pada kalimat 2 paragraf 2, teks menggambarkan niat jahat dari oknum dosen bahwa “RL mengiming-imingi salah

(11)

11 seorang mahasiswi (Melati-samaran) bisa mendapatkan nilai baik asalkan mau berhubungan intim dengannya”. Sementara itu, pada kalimat 3 paragraf 5 tertulis bahwa “Meski ditolak, DN sempat memeluk dan mencium melati”. Keterangan dari Arifin Tahir ini menggambarkan indikasi tindak pemaksaan dilakukan oleh oknum dosen DN.

Representasi Peristiwa Dengan Strategi “Indeterminasi”

“Saya rasa saya dijebak, karena baru beberapa menit dan saat itu saya tidak melakukan apapun sudah ada yang ketuk pintu kamar. Karena saya kira itu petugas hotel saya buka, tetapi ternyata itu teman-temannya dan langsung menghajar saya,” beber RL. (TB4, Paragraf 5).

Dalam teks ini, strategi indeterminasi digunakan oleh RL untuk meng-gambarkan pelaku yang menghajar dirinya. Strategi itu diungkapkan dengan frasa “teman-temannya”, yang bermakna “sekelompok orang” teman mahasiswi. Referensi dari deiksis (kata tunjuk) “nya” pada frasa tersebut adalah mahasiswi. Frasa “teman-temannya” ini tidak memberikan informasi yang jelas tentang siapa teman mahasiswi tersebut. Dengan frasa ini, teman mahasiswi digambarkan dalam jumlah banyak. Semua orang yang menjadi teman mahasiswi kemudian bisa dianggap atau diduga telah menghajar RL. Pihak media GP tampaknya tidak cermat untuk menanggapi bentuk indeterminasi yang diungkapkan oleh RL ini. Dengan penyajian frasa tersebut, maka tergambar bahwa pelaku yang menghajar RL digeneralisasi menjadi begitu banyak.

Representasi Peristiwa Dengan Strategi “Asimilasi”

1) Oknum Dosen UNG Dipecat (Judul TB1)

Terkait Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Terhadap Salah Seorang Mahasiswi (Lead TB1)

Perjalanan Karir RL sebagai staf dosen di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) berakhir sudah. Kemarin (1/2), Rektorat UNG secara resmi memecat RL sebagai dosen di salah satu fakultas. (TB1, Paragraf 1, Kalimat 2).

2) Kasus itu sendiri bermula ketika RL mengiming-imingi salah seorang mahasiswi (Melati-samaran)

bisa mendapatkan nilai baik asalkan mau berhubungan intim dengannya. (TB1, Paragraf 2, Kalimat 2).

Penyebutan profesi dapat berdampak pada penggambaran pelaku pelecehan seksual dalam peristiwa yang bersifat luar biasa, yakni seorang “dosen” yang berarti “tenaga pengajar pada perguruan tinggi” melecehkan mahasiswinya. Hal ini dapat mempengaruhi kesadaran publik bahwa peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa besar yang dilakukan oleh “seseorang yang berpendidikan tinggi”, “seseorang yang mendidik calon guru”, “seseorang yang mendidik calon teknisi”, atau beberapa asumsi lain yang akan muncul dari interpretasi pembaca.

Pada teks 1 tampak bahwa status sosial RL dilebur dalam kelompok prosfesinya, yaitu “staf dosen UNG”. Begitu pula dengan DN digambarkan dalam kelompok profesi dosen dan diidentifikasi sebagai “ketua program studi”. Penggambaran dalam kelompok

(12)

12

prosfesi ini dapat merangsang reaksi besar dari banyak pembaca berita. Perhatian tersebut antara lain terbukti dengan diterbitkannya esay dari Sukardi Gau yang berjudul “dosen juga manusia”. Demikian pula dengan korban pelecehan, ia juga ditampilkan dalam kelompok sosialnya, yaitu mahasiswi. Pada kalimat yang telah digarisbawahi dalam teks 2, tampak dapat memancing respon dari banyak mahasiswi, baik dari UNG maupun mahasiswi di daerah Gorontalo seluruhnya. Teks tersebut menggambarkan bahwa bila nantinya ada mahasiswi yang akan memperoleh nilai buruk dari RL, maka nilai itu dapat diperbaiki dengan cara berhubungan intim. Kemungkinan ini tentulah tidak akan terjadi apabila pihak media GP tidak meleburkan korban dalam kelompok mahasiswi, melainkan ia digambarkan secara individual..

Representasi Peristiwa Dengan Strategi “Asosiasi”

Kasus Dosen (Judul).

Arif Muliyanto Klarifikasi Foto (Lead Berita).

Salah seorang dosen UNG bernama Arif Mulyanto mengklarifikasi penayangan foto yang dimuat Gorontalo Post, edisi baru lalu terkait dugaan asusila yang dilakukan oknum dosen UNG berinisial RL dan DN. Arif mengatakan, orang yang terpampang dalam foto tersebut salah satu adalah dirinya, namun dengan tegas dikatakannya kalau ia bukanlah terduga pelaku dalam kasus tersebut. “

…………

Sementara itu, kejadian yang mencoreng citra kampus berlabel perjuangan peradaban itu mengundang perhatian serius dari kalangan internal UNG, salah satunya datang dari unsur mahasiswa. “ Semua yang berbau dengan akademik harus diurus di kampus, dan itu lebih baik dari pada mengurus akademik diluar kampus, ” kata Chandra Setiawan, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial saat mendatangi kantor Gorontalo Post, Kamis (2/2). …. (TB2, Paragraf 1- 4).

Pembahasan yang hendak disampaikan oleh keseluruhan teks ini ialah delik aduan berupa klarifikasi foto yang dilakukan oleh Arif Muliyanto kepada pihak media GP. Hal itu tergambar jelas pada judul dan teras berita. Akan tetapi, topik ini dibahas hanya sampai pada paragraf 3. Selanjutnya, pada paragraf 4 pembahasan masalah menyimpang jauh dari topik utama. Paragraf 1 sampai 3 menggambarkan kelalaian dan kekurangtelitian wartawan dalam meliput berita. Sementara pada paragraf 4, tampak bahwa pihak media GP telah beralih dari materi sebelumnya.

Pihak media GP menghubungkan peristiwa pelecehan seksual dengan protes dan tuntutan-tuntutan yang diungkapkan oleh Chandra Setiawan. Candra mempermasalah-kan pelayanan akademik di UNG yang dapat memperburuk dan membesar-besarmempermasalah-kan peristiwa DPS. Lebih dari itu, detail-detail keterangan dari Candra Setiawan, menggambarkan peristiwa DPS tampak lebih dramatis. Candra Setiawan dalam teks ini tampaka dihadirkan sebagai tokoh HERO yang menuntut keadilan untuk mahasiswa. Akan tetapi, peristiwa tentang pelayanan akademik di UNG sebenarnya merupakan masalah lain dari kasus pelecehan. Kendatipun kedua peristiwa tersebut bisa

(13)

13

dihubungkan, masalah pelayanan akademik di UNG tidaklah menjadi alasan untuk melecehkan mahasiswi.

Pembahasan

Ada beberapa efek representasi dari keseluruhan teks berita yang telah dianalisis yaitu: (1) Berorientasi pada ketertarikan pembaca untuk membeli dan membaca teks berita karena disajikan dengan ungkapan yang dapat mendramatisasi peristiwa; (2) Meredusi makna tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen; (3) Memperburuk peristiwa DPS dengan penggunakan beberapa ungkapan yang tidak konsisten mengenai peristiwa; (3) Memperluas lingkup dan pelaku dalam peristiwa; (4) Membujuk untu mamaafkan tindakan oknum dosen; (5) Memberi ruang pembelaan pada oknum dosen dengan pengakuan yang sepihak; dan (6) Menyesatkan kesadaran pembaca dengan ungkapan ungkapan-ungkapan yang bias maknanya.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil analisis data pada uraian di atas, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Dalam pemberitaan peristiwa DPS diterapkan teknik eksklusi

untuk menghilangkan/menyembunyikan pihak-pihak yang terlibat dalam peritiwa dengan strategi pasivasi dan nominalisasi; dan (2) Dalam pemberitaan peristiwa DPS diterapkan teknik inklusi untuk mengedepankan beberapa aktor yang terlibat dalam peristiwa dan menggambarkan secara buruk pihak lainnya dengan strategi diferensiasi, abstraksi, kategorisasi, identifikasi, indeterminasi, asimilasi dan asosiasi.

Memperhatikan kemungkinan kekurangan dan keterbatasan dalam penelitian ini, demi perbaikannya ke depan peneliti mengemukakan beberapa saran sebagai berikut: (1) Penelitian wacana dengan paradigma kritis perlu terus dilakukan untuk memahami kompleksitas makna teks secara universal; (2) Penelitian ini dapat dikembangkan dengan metode intertekstual, yakni membandingkan pemberitaan DPS di harian GP dengan harian lainnya; (3) Pihak media Gorontalo Post diharapkan untuk menyajikan pemberitaan secara berimbang dan tidak menggeneralisasi peristiwa; dan (4) Pembelajarana dan pemahaman struktur teks wacana bagi siswa di sekolah, diharapkan dapat dilakukan dengan paradigma kritis agar siswa bisa berpikir secara terstruktur untuk dipraktekkan dalam memahami struktur kehidupan di masyarakat.

(14)

14 Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2010. Bahasa Jurnalistik. Jakarta: Rineka Cipta.

Eriyanto. 2009. Analisis Wacana (Pengantar Analisis Teks Media). Yogyakarta: LKiS. Jorgensen, Marianne W. dan Phillips, Louise J. 2010. Analisis Wacana, Teori &

Metode. Ditermeahkan oleh Imam Suyitno, Lilik Wahyuni, dan Suwarna. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline. Versi 1.4. Freeware ©2010-2012 by Ebta Setiawan.

Kridalaksana, Harimurti. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Kusumaningrat, Hikmat. 2009. Jurnalistik (Teori dan Praktik).Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nugroho, Anwar Riksono Dian. 2008. Ketidakadilan dalam Informasi Kriminal (Wacana Pembandingan Aktor Berita Kriminal di Headline Surat Kabar Koran Merapi). Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 5 Nomor 1, Juni 2008.

Rivers, William L., Jensen Jay W. dan Peterson, Theodore. Dialihbahasakan oleh Haris Munandar & Dudy Priatna (Edisi Kedua). 2008. Komunikasi Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media (Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing). Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tuloli, Nani, dkk. 2012. Materi Perkuliahan Metodologi Penelitian Bahasa Indonesia. Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo.

Van Leeuwen, Theo. 2008. Discourse And Practice (New Tools For Critical Doscourse Analysis. New York: Oxford University Press. (Buku Elektronik).

Wibowo, Wahyu. Menuju Jurnalisme Beretika (Peran Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era Mondial). Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Referensi

Dokumen terkait

Pada desain A-B-A dalam penelitian ini kondisi baseline (A1) peneliti mengumpulkan data sebanyak empat sesi, dengan durasi yang disesuaikan dengan kebutuhan,pada

Pada paper ini dideskripsikan perancangan kompas digital yang dilengkapi output suara, sehingga para penyandang tuna netra pun dapat menggunakannya. Kompas digital pada penelitian

memberikan bimbingan teknis dalam penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi sosial, serta pembinaan lanjut bagi balita terlantar, anak terlantar, anak yang berhadapan

Dalam pengaturan pengelolaan selanjutnya, Belanja Hibah dan Bansos yang berasal dari APBD harus dapat dipertangungjawabkan baik oleh Penerima Hibah dan Bansos maupun

Bila tidak melakukan pengukuran asupan dan haluaran cairan akan mengakibatkan edema, hipertensi, edema paru, gagal jantung, dan distensi vena jugularis, kecuali

Alkaloid contents (sparteine accounted for more than 80%) of four subspecies of Chamaecytisus proliferus (tagasaste) were higher in spring cuts than in autumn cuts, and they were (g

pembangunan tahun berikutnya. e) Menyepakati daftar kegiatan prioritas pembangunan Provinsi dan sumber pendanaannya. f) Membagi peserta ke dalam beberapa kelompok berdasarkan

Bahwa yang dimaksud anak luar perkawinan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 13 Pebruari 2012, hasil uji materi atas Pasal 43 Ayat