• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompetensi interpersonal siswa sekolah rumah dan siswa sekolah umum - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kompetensi interpersonal siswa sekolah rumah dan siswa sekolah umum - USD Repository"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Yetti Erika Sibarani

NIM : 049114040

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Aku akan menjadi belukar yang indah di tepi parit.

Bila aku tidak bisa menjadi belukar,

Aku akan menjadi rumput yang membuat jalan-jalan semarak.

Bila aku tidak bisa menjadi gurami.

Aku akan menjadi teri yang terindah di tambak.

Bila aku tidak bisa menjadi komandan,

Aku akan menjadi prajurit yang tangguh.

Bagiku bukan hanya kebesaran yang disebut sebagai keberhasilan,

Tetapi yang terpenting adalah menjadi terbaik

sesuai kemampuanku dan menjadi wajar seperti apa adanya aku.

Ada perbedaan antara manusia yang mendapat cobaan lalu menyerah dan putus asa, dengan manusia yang menyikapinya secara positif dan kemudian bangun serta mulai memperbaiki hidup. Bukalah mata hati untuk melayani

perubahan, menuju ke arah yang lebih baik.

Yang melandasi langkahku menuju suatu impian adalah dengan

(6)

vi

Tuhan Yang Maha Esa, penuntun jalan hidupkuPapa dan Mama terkasih atas cinta dan kasih sayangnya

My Husband, Andri Kusworo

My Little Angel, Nabil Andika SyahputraBang Rio, Anto, Iska, dan Hilman

(7)

vii

Siswa Sekolah Rumah dan Siswa Sekolah Umum

Yetti Erika Sibarani Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi interpersonal siswa ditinjau dari model pendidikan. Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif dengan dua variabel yaitu model pendidikan sebagai variabel bebas dan kompetensi interpersonal sebagai variabel tergantung.

Kompetensi interpersonal adalah kemampuan dalam menjalin hubungan dengan penuh penghargaan terhadap orang lain secara akrab dan efektif menyangkut bagaimana seseorang berpikir, merasakan, memandang orang lain, melakukan sesuatu untuk orang lain yang di dalamnya terdapat kemampuan berinisiatif, bersikap terbuka, bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional dan kemampuan untuk mengatasi konflik interpersonal.

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi sekolah menengah pertama kelas 8 dan 9 di Jakarta. Sampel yang digunakan berjumlah 90 orang. Mereka dikelompokkan menjadi dua kelompok subjek berdasarkan model pendidikan mereka yaitu 45 orang pada kelompok sekolah rumah dan 45 orang pada kelompok sekolah. Sampel diperoleh dengan menggunakan teknik sampel purposif.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan skala kompetensi interpersonal secara langsung kepada responden. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kompetensi interpersonal yang disusun oleh peneliti sendiri. Daya diskriminasi dalam penelitian ini menggunakan batasan nilai rix ≥ 0.3. Koefisien reliabilitas skala kompetensi

interpersonal sebesar 0.950.

Teknik analisis yang digunakan adalah teknik independent sample t-test. Hasil yang diperoleh adalah bahwa tidak ada perbedaan antara siswa sekolah rumah dengan siswa sekolah umum. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis uji-t sebesar 1.373 (df = 88) dengan probabilitas (p) sebesar 0.173.

(8)

viii

The Homeschooling and School Student’s

Yetti Erika Sibarani Faculty of Psychology

Sanata Dharma University Yogyakarta

The purpose of this research is to know the interpersonal competence of the student’s according to their education model. This is a comparative research with two variables : education model as the independent variable and interpersonal competence as the dependent variable.

Interpersonal competence is an ability in braiding relation fully appreciation to others chummily and effective, concerning how somebody think, feeling, looking into others, doing something for the others of which in it there are ability have initiative, behaving openly, behaving assertive, ability to give the emotional support and ability to overcome the interpersonal conflict.

This research’s subjects were junior high school at the 8thand the 9th grade in Jakarta. There were 90 respondents taken as the samples. They were differentiated in two groups as follow : 45 respondents at homeschooling and 45 respondents at school group. Research samples were obtained by the means of purposive sampling.

In term of data gathering method, the researcher distributed a set of interpersonal competence scale directly to the respondents. This research measuring instrument was a set of self-made scale of interpersonal competence. Data in this research was analyze using independent sample t-test. The discrimination control in this research used a value limit of rix ≥0.30. Reliability

coefficient of the interpersonal competence scale was 0.950.

This research found that there’s not difference about the student’s interpersonal competence of homeschooling student and school student. It’s shown by the result of observation t-test analysis value 1.373 (df = 88) with probability (p) value 0.173.

(9)
(10)

x

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Kompetensi Interpersonal Siswa Sekolah Rumah dan Siswa Sekolah Umum. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Semua yang tertuang dalam skripsi ini diperoleh dengan kerja keras dan tidak lain karena peran, bimbingan, bantuan, motivasi, dukungan, dan doa dari beberapa pihak, dan karenanya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya, tumpuan hidupku saat

aku mengalami pergolakan dalam badai hidup, ketakutan, menangis, dan tertawa. Usaha, keberanian membuat keputusan, kesabaran, dan kepasrahan ternyata membuat semuanya jadi indah.

2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. Selaku Dekan Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian.

(11)

xi ujian skripsi dan proses revisi.

5. Ibu Aquilina Tanti Arini, S.Psi., M.Si. selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu, perhatian, serta membagi ilmu kepada penulis selama ujian skripsi dan proses revisi

6. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas bimbingan dan semangat yang diberikan kepada penulis sejak semester awal berada di Fakultas Psikologi.

7. Bapak Y. Agung Santoso, M.A. yang telah meluangkan waktu untuk membagi ilmu dan pengalaman kepada penulis.

8. Seluruh dosen Fakultas Psikologi. Terima kasih karena telah memberikan ilmu, wawasan, pengetahuan, dan berbagi pengalaman sehingga penulis bisa mendapat banyak pelajaran berharga yang menjadikanku lebih dewasa dan menjadi seseorang yang lebih baik.

9. Pak Giyanto, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, dan Mas Doni. Terima kasih atas semua bantuannya di Sekretariat, Laboratorium, dan Ruang Baca Psikologi selama penulis kuliah. Maaf yah kalau sering merepotkan…

(12)

xii

Dinda kalo sering marah-marah dan cerewet. Sama-sama kita jaga dan pupuk cinta kita yah… Hmm… makasih juga dah menjaga dan mengangkatku dari keterpurukan dan rasa takut selama ini. Love you so much deh pokoknya,,, Dedek Nabil cepet gede yah sayang… Dedek gak boleh bandel lho… Bunda sayang banget ma Dedek. Muach…

12. Bang Rio, Anto, Siska, dan Hilman. Terima kasih wat canda tawa selama kita hidup bersama. Walaupun kita jauh kita akan selalu tetap satu keluarga. Bang… cepet-cepet nikah yar cepet punya momongan kayak aku dan cucu mama jadi nambah. Anto dan Siska, Dek… kalian belajar yang benar yah yar nilainya bagus dan cepat lulus. Hilman… semangat yah sekolahnya, jangan main terus…

13. Vero, Tinul, dan Siska. Thanks sobat wat keceriaan, perhatian, dan kebersamaannya selama kuliah. Makasih dah mau berbagi cerita, pengalaman, dan ide-ide gila. Tanpa kalian mungkin hidupku gak berwarna di Psikologi. Ve… makasih yah sudah memberiku semangat dan kekuatan di saat aku sempat down. Tinul… Siska… semangat yah kerjain skripsinya… ayo nyusul… jangan males dunk... Huehehehe… semangat yah neng melewati hidup ini. Kalian akan selalu jadi sahabatku walaupun nanti jarak dan waktu memisahkan kita. Aku sayang kalian…

(13)

Ipar-xiii

Bintang jangan nakal yah sayang… Budhe sayang sama kalian.

15. Nicey… Makasih yah dah membantuku mengolah data. Maaf dah merepotkanmu… Caiyo semangat jeng wat kulaih S2-nya…

16. Teman-teman SMP N 172 Cakung dan SUN Sekolah rumah Jakarta Timur. Terima kasih atas waktu luang dan kesediannya untuk mengisi kuesioner dengan ikhas hati. Tanpa bantuan dan kesediaan teman-teman skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik.

17. Guru-guru SMP N 172 Cakung dan para Tutor SUN Sekolah Rumah Jakarta Timur. Terima kasih atas bantuannya selama saya melakukan penelitian di Jakarta. Maaf dah merepotkan dan menyita waktu mengajarnya…

18. Keluarga Besar Parhusip di Jakarta. Makasih yah Tulang dah anterin dan bantuin aku melakukan try out dan penelitian. Pon… makasih yah dah mau jadi supirku sampai loe harus bolos kerja… Hehehe…

19. Anak-anak Psikologi semua angkatan khususnya angkatan 2003 dan 2004. Makasih buat dukungan dan kebersamaannya selama kuliah.

(14)

xiv

penulisan, dan untuk itu penulis menerima semua kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan semua orang yang membaca skripsi ini pada khususnya.

Tuhan memberkati.

(15)

xv

HALAMAN JUDUL………..….i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….……iv

HALAMAN MOTTO………. v

HALAMAN PERSEMBAHAN……….……… vi

ABSTRAK……….……... vii

ABSTRACT………,……...viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………... ix

KATA PENGANTAR……… x

DAFTAR ISI………..…….xv

DAFTAR TABEL………...xix

DAFTAR GAMBAR...xx

DAFTAR LAMPIRAN………...….xxi

BAB I. PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Rumusan Masalah………..…….7

C. Tujuan Penelitian………..…..8

(16)

xvi

1. Pengertian Kompetensi Interpersonal………..9

2. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal………..10

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kompetensi Interpersonal………... 17

B. Remaja………...18

1. Usia Remaja………..……….. 18

2. Perkembangan Sosial Remaja…………...………..….19

3. Tugas Perkembangan Remaja………...………..…… 21

C. Sekolah Rumah dan Sekolah Umum ………22

1. Sekolah Rumah………..…………. 22

2. Sekolah Umum………..…………..27

D. Kompetensi Interpersonal Siswa Sekolah Rumah dan Siswa Sekolah Umum………..……….. 31

E. Hipotesis………....33

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN………...35

A. Jenis Penelitian……….……….…………35

B. Identifikasi Variabel Penelitian………..………...35

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian……….….………35

(17)

xvii

E. Metode Pengumpulan Data……….……….. 38

F. Prosedur Penelitian………...… 41

G. Pertanggungjawaban Mutu………...……….……...… 42

a. Uji Validitas Isi………... 42

b. Uji Daya Diskriminasi Item………..…...43

c. Uji Reliabilitas……….………47

H. Metode Analisis Data……….….………..48

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………49

A. Orientasi Kancah………...…….…49

B. Pelaksanaan Penelitian………...……….……….. 51

C. Hasil Penelitian……….………...…. 52

1. Uji Asumsi Penelitian...52

a. Uji Normalitas Sebaran...52

b. Uji Homogenitas Varian...53

2. Uji Hipotesis...54

D. Pembahasan...55

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………..……...60

A. Kesimpulan……….……….……. 60

(18)
(19)

xix

Tabel 1 Distribusi Item-item Skala Kompetensi Interpersonal Remaja

Sebelum Uji Coba……….….……….…38 Tabel 2 Skor Jawaban Skala Kompetensi Interpersonal……….……….39 Tabel 3 Hasil Korelasi Item Total Kompetensi Interpersonal……….……… 43 Tabel 4 Distribusi Item-item Sahih dan Item-item Gugur……….…………. 44 Tabel 5 Distribusi Item-item Skala Kompetensi Interpersonal

(20)

xx

Skema Kompetensi Interpersonal Siswa Sekolah Rumah dan

(21)

xxi

Lampiran I SkalaTry OutKompetensi Interpersonal

Lampiran II Koefisien Reliabilitas SkalaTry Out Kompetensi Interpersonal Lampiran III Skala Penelitian Kompetensi Interpersonal

Lampiran IV Koefisien Reliabilitas Skala Penelitian Kompetensi Interpersonal Lampiran V Hasil Uji Normalitas dan Hasil Uji Homogenitas

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja adalah masa penyesuaian atau adaptasi sosial bagi setiap individu dari tugas perkembangan untuk menjalin relasi sosial yang lebih luas dimana pada masa ini individu mulai mengembangkan lingkungan pergaulannya dari yang semula berpusat pada lingkungan keluarga kemudian menuju ke lingkungan masyarakat terutama teman sebaya. Remaja pada umumnya lebih banyak bersosialisasi dengan teman sebaya dan teman sebaya ini dipakai sebagai alat ukur untuk melihat apakah mereka diterima atau ditolak oleh masyarakat. Dalam berhubungan dengan teman sebaya dan masyarakat, seorang remaja sangat memerlukan keterampilan-keterampilan interpersonal agar mampu melalui tugas perkembangannya dengan baik (Hurlock, 1997). Salah satu bentuk keterampilan ini adalah kompetensi interpersonal.

Menurut Spitzberg dan Cupach (dalam DeVito, 1996), kompetensi interpersonal merupakan kemampuan individu untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain. Dalam kompetensi interpersonal terdapat lima aspek yaitu kemampuan berinisiatif dalam memulai suatu hubungan interpersonal, kemampuan membuka diri, kemampuan untuk bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, kemampuan untuk mengelola dan mengatasi konflik (Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis ; 1988). Kemampuan menjalin hubungan interpersonal ini harus dimiliki oleh seorang individu jika

(23)

ingin berhasil dan memiliki relasi yang memuaskan dengan orang lain. Seseorang yang dapat mengembangkan kompetensi interpersonal dalam pergaulannya akan dapat mempertajam hubungan antarpribadi dan mampu menjadi individu yang menarik dalam pergaulan (Goleman, 2000).

Ditengarai bahwa kompetensi interpersonal di kalangan masyarakat Indonesia saat ini pada umumnya dan remaja pada khususnya dalam kondisi yang memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan semakin menurunnya kesediaan menyapa dan memperkenalkan diri kepada orang lain, kecenderungan untuk mengungkapkan perasaan secara agresif dan bukan asertif, adanya kecenderungan menyalahkan orang lain bila terjadi konflik, dan meningkatnya upaya penyelesaian konflik dengan kekerasan, dan sebagainya (Nashori, 2000).

Dalam realitas kehidupan sosial sehari-hari masih banyak ditemukan remaja yang mengalami permasalahan rendahnya kompetensi interpersonal mereka. Remaja-remaja yang mengalami permasalahan di bidang interpersonal sering mengeluhkan kesulitan dalam mengungkapkan diri, menyatakan pendapat, perasaan, cita-cita, rasa marah, jengkel, dan keengganan berbagi informasi kepada orang lain jika diminta atau ditanya (www.e-psikologi.com, 18 April 2008).

(24)

lebih baik daripada yang lainnya. Kemampuan-kemampuan ini dapat dipelajari dan dikembangkan dalam kehidupan sosial sehari-hari dan tentunya hal ini sangat berguna dalam menjalin relasi dengan orang lain.

Remaja yang memiliki kompetensi interpersonal yang tinggi akan memiliki ciri-ciri yang dapat terlihat dari tingkah lakunya, seperti pada saat berinteraksi dengan orang lain ia akan mampu memunculkan perilaku seperti berbagi rasa, saling bercerita tentang pengalaman baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan serta saling bertoleransi (Mulyati, 1993). Individu yang berhasil melakukan kompetensi interpersonal akan diterima dan dihargai oleh lingkungan sosialnya. Di sisi lain Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa individu yang tidak menguasai kompetensi interpersonal akan membawanya pada ketidakcakapan dalam hubungan antar pribadi yang berdampak dalam kesulitan untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosial.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penguasaan atas kompetensi interpersonal akan membantu remaja merespon secara tepat stimulus lingkungan. Hal ini tentu saja dapat mempermudah remaja beradaptasi dan mendapat penerimaan dalam suatu lingkungan sosial, sehingga akan muncul perasaan dihargai oleh lingkungan yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian remaja.

(25)

Menurut Sistem Pendidikan Nasional (dalam Sumardiono, 2007), pengertian pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Saat ini model pendidikan paling umum dan dikenal di masyarakat adalah sistem sekolah umum. Sekolah umum adalah sistem pendidikan formal yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan, tetapi sesungguhnya ruang lingkup pendidikan jauh lebih luas daripada sistem sekolah umum.

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia mengakui ada tiga jalur pendidikan, yaitu pendidikan formal, non formal, dan informal. Ketiga jalur pendidikan tersebut saling melengkapi dan memperkaya (Undang-undang Sisdiknas pasal 13).

(26)

sekolah umum bukanlah satu-satunya cara bagi seorang anak untuk memperoleh pendidikannya. Sekolah umum hanyalah salah satu cara yang dapat digunakan seorang anak untuk belajar dan memperoleh pendidikannya.

Setiap siswa mempunyai kemampuan untuk melakukan penyesuaian yang berbeda-beda. Salah satu ciri keberhasilan penyesuaian sosial di sekolah umum adalah kemampuan untuk menjalin hubungan yang baik dengan teman-teman sebaya. Keberhasilan dalam pergaulan dengan teman-teman sebaya sangat berarti bagi siswa. Oleh karena itu, siswa berusaha untuk diterima dan dihargai sebagai anggota kelas. Apabila siswa tersebut berhasil memenuhi tuntutan pergaulan dengan lancar, maka siswa akan merasa tenang dan mencurahkan pada tugas akademis (Asyanti, 1991).

Sebagaimana sebuah sistem di dunia nyata, tak ada sebuah sistem yang sempurna. Demikian pula, sekolah umum tentunya memiliki kekuatan-kekuatan dan kekurangan. Itulah sebabnya, selalu ada peluang pembaharuan untuk memperbaiki sistem pendidikan dan sekolah umum : baik di level filosofi, institusi,approach, dan sebagainya (Sumardiono, 2007).

(27)

lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2 UU Sisdiknas No. 20/2003, dalam Mulyadi, 2007).

Dalam bahasa Indonesia, terjemahan yang biasa digunakan untuk sekolah rumah adalah “homeschooling”. Istilah ini dipakai secara resmi oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk menyebutkan sekolah rumah. Selain itu, sekolah rumah juga diterjemahkan dengan istilah sekolah mandiri, home education, atauhome-based learning.

Menurut Direktorat Pendidikan Kesetaraan (dalam Komariah, 2007), sekolah rumah adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur, dan terarah dilakukan oleh orang tua, keluarga di rumah, atau tempat-tempat lain dimana proses belajar mengajar dapat berlangsung dalam suasana yang kondusif dengan tujuan agar setiap potensi anak dapat berkembang secara maksimal. Hal ini sejalan dengan pendapat Pawlas (dalam Boyer, 2002) yang menjelaskan bahwa sekolah rumah merupakan suatu situasi belajar mengajar dimana anak-anak, remaja, dewasa muda yang sebagian besar waktu belajar di sekolahnya dihabiskan di dalam atau sekitar rumah sebagai ganti dari menghadiri sekolah konvensional. Preiss (dalam Barbara, 1997) menyatakan bahwa sekolah rumah merupakan pendidikan alternatif dimana orang tua atau pengasuh diasumsikan sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan anak-anak mereka.

(28)

belajar dan tinggal di rumah bersama keluarganya saja. Namun pada kenyataannya, pengertian sekolah rumah tidak berarti hanya melakukan aktivitas siswa di rumah. Selain belajar di rumah, siswa sekolah rumah tetap bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Contohnya siswa sekolah rumah melakukan kegiatan outbound, fieldtrip, dan kegiatan olahraga seperti futsal, bulutangkis. Selain itu, siswa sekolah rumah biasanya juga terlibat dalam kegiatan bersama komunitas sekolah rumah. Hal ini memungkinkan siswa sekolah rumah tetap dapat menjalin kompetensi interpersonal (Sumardiono, 2007).

Bertolak dari berbagai uraian di atas dan dengan adanya dinamika dalam masa perkembangan remaja tersebut, peneliti ingin membuktikan bahwa siswa sekolah rumah mempunyai kompetensi interpersonal sama seperti siswa sekolah umum. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian mengenai sekolah rumah. Pertimbangan peneliti untuk lebih menitikberatkan pada kompetensi interpersonal adalah karena hal tersebut merupakan isu yang paling banyak mendapat sorotan di masa perkembangan remaja sehingga peneliti ingin mengangkat permasalahan tersebut pada remaja yang melaksanakan pendidikan di sekolah rumah dan di sekolah umum.

B. Rumusan Masalah

(29)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji apakah tidak ada perbedaan kompetensi interpersonal antara siswa sekolah rumah dengan siswa sekolah umum.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritik, hasil penelitian ini dapat menambah kajian-kajian ilmiah bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya ilmu sosial, psikologi, dan pendidikan mengenai perbedaan kompetensi interpersonal antara siswa sekolah rumah dengan siswa sekolah umum.

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kompetensi Interpersonal

1. Pengertian Kompetensi Interpersonal

Spitzberg dan Cupach (dalam DeVito, 1992) mengungkapkan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan seorang individu untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain. Kompetensi interpersonal ini terdiri atas kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk membentuk suatu interaksi yang efektif. Kemampuan ini ditandai dengan adanya karakteristik-karakteristik psikologis yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Di dalamnya termasuk pengetahuan tentang konteks yang ada dalam interaksi, perilaku non verbal orang lain, kemampuan menyesuaikan komunikasi dengan konteks dari interaksi yang sedang berlangsung, serta menyesuaikan dengan orang lain karakteristik yang ada dalam karakteristik tersebut.

Reardon (dalam Gouran dkk, 1994) mengatakan individu yang kompeten secara interpersonal mampu mencapai tujuan-tujuan yang diinginkannya dalam sebuah relasi dan berperilaku secara tepat dalam menghadapi situasi tersebut. Hal serupa juga ditekankan oleh Trenholm & Jensen (dalam Gouran dkk, 1994) yang menyatakan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan diri secara efektif dan bergaul dengan cara yang tepat.

(31)

Selanjutnya Buhrmester, dkk (1988) menemukan adanya hal-hal seperti, kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan untuk membentuk persahabatan, mengatasi permasalahan yang timbul dalam berhubungan dengan orang lain, yang semuanya merupakan gambaran dari kompetensi interpersonal. Secara lebih rinci Buhrmester, dkk mengemukakan lima dimensi kompetensi interpersonal, yaitu : kemampuan berinisiatif dalam memulai suatu hubungan interpersonal, kemampuan membuka diri, kemampuan untuk bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, kemampuan untuk mengelola dan mengatasi konflik.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kompetensi interpersonal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kemampuan seorang individu untuk berinisiatif, bersikap terbuka, bersikap asertif, memberikan dukungan emosional, dan mampu mengatasi konflik untuk melakukan komunikasi atau menjalin interaksi secara efektif dengan orang lain.

2. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal

a. Kemampuan untuk Berinisiatif

(32)

menjalin relasi dengan orang lain adalah dengan memperkenalkan diri atau menyapa orang lain.

Smart & Smart (1972) mengemukakan tiga hal tentang inisiatif, yaitu : 1) Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru untuk

memperkaya diri,

2) Pencarian pengalaman baru dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui dengan tujuan untuk dapat lebih memahaminya,

3) Dorongan yang penuh semangat dalam rangka mencari informasi yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar dan tentang dirinya sendiri. Ekspresi dari adanya inisiatif diantaranya adalah penjelajahan, memulai suatu hubungan dan bergerak secara aktif serta mandiri (Smart & Smart, 1972).

Perilaku-perilaku yang menunjukkan adanya inisiatif menurut Buhrmester, dkk (1988), yaitu :

a) Mengenalkan diri pada seseorang baru yang ingin dikenal,

b) Menjadi individu yang menarik dan menyenangkan ketika berkenalan dengan orang lain,

c) Menawarkan sesuatu pada kenalan baru yang terlihat menarik dan atraktif,

d) Meminta atau mengusulkan pada kenalan baru untuk melakukan aktivitas bersama, misalnya : pergi bersama, bermain bersama,

(33)

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berinisiatif adalah usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui dengan tujuan untuk dapat lebih memahami dunia luar dan dirinya sendiri.

b. Kemampuan untuk Bersikap Terbuka(Self Disclosure)

Jourard (dalam Calhoun dan Acoccella, 1990) mengemukakan bahwa self disclosureadalah suatu kemampuan untuk membicarakan diri sendiri dan kemampuan ini sangat penting artinya dalam membentuk suatu persahabatan. Ia juga menyebutkan bahwa keterbukaan sama maknanya dengan keintiman atau kedekatan yang mana hal tersebut membedakan antara hubungan persahabatan dengan hubungan formal. Perbedaannya adalah bahwa pada hubungan persahabatan individu terlihat di dalamnya berusaha saling mengenal satu sama lain. Seseorang yang mampu bersikap terbuka pada kesempatan atau situasi tertentu akan menurunkan pertahanan dirinya secara lebih dalam.

(34)

Keterbukaan dalam suatu interaksi dengan orang lain tercermin dalam perilaku individu tersebut. Buhrmester, dkk (1988) menunjukkan contoh-contoh perilaku adanya keterbukaan diri, yakni :

a) Memberi kesempatan pada kenalan baru untuk lebih mengenal diri kita yang sebenarnya,

b) Mengungkapkan pada sahabat bahwa kita menghargai dan menyayanginya,

c) Mengungkapkan pada sahabat hal-hal yang mencemaskan, menakutkan, dan membuat kita merasa malu,

d) Mengetahui cara mengemukakan percakapan dengan kenalan baru untuk lebih mengenal masing-masing pihak,

e) Melepaskan pertahanan diri kita dan mempercayai seorang sahabat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self disclosure merupakan kemampuan untuk membuka diri, menyampaikan informasi yang bersifat pribadi, dan penghargaan terhadap orang lain.

c. Kemampuan untuk Bersikap Asertif

(35)

Calhoun dan Acoccella (1990) mengatakan bahwa kemampuan bersikap asertif merupakan kemampuan untuk meminta orang lain melakukan sesuatu yang diinginkan atau menolak untuk melakukan hal yang tidak diinginkan.

Grasha (1987) menyebutkan bahwa perilaku asertif adalah membatasi kontrol orang lain yang dalam prosesnya dilakukan penghargaan terhadap orang lain dan tidak berusaha mengendalikan orang lain.

Perilaku-perilaku asertif menurut Buhrmester, dkk (1988) dapat diekspresikan dalam bentuk :

a) Mengatakan kepada teman bahwa kita tidak berkenan dengan cara dia memperlakukan kita,

b) Mengatakan “tidak” ketika teman menyuruh kita melakukan sesuatu yang tidak ingin kita lakukan,

c) Menolak permintaan yang tidak masuk akal, d) Menegur sahabat yang ingkar janji,

e) Mengatakan pada teman bahwa dia telah melukai perasaan, mempermalukan, dan membuat kita marah.

(36)

d. Kemampuan Memberikan Dukungan Emosional(Emotional Support)

Memberikan dukungan atas apa yang dirasakan orang lain akan menumbuhkan sebuah relasi yang lebih hangat dan akrab. Cohen & Wills (dalam Hill, 1991) menyebutkan dukungan emosional (emotional support) adalah kemampuan untuk mengekspresikan perhatian, kesabaran, dan simpati kepada orang lain. Barker dan Lemle (dalam Buhrmester, 1988) menjelaskan, dukungan emosional mencakup kemampuan untuk memberikan perasaan nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut sedang mengalami kesusahan dan ditimpa masalah. Penguasaan atas aspek ini memudahkan individu untuk masuk ke dalam lingkup pergaulan atau untuk mengenali dan merespons dengan tepat perasaan dan keprihatinan orang lain (Goleman, 2000).

Secara khusus Buhrmester, dkk (1988) menyebutkan beberapa bentuk perilaku-perilaku yang menunjukkan adanya dukungan emosional, yakni :

a) Mendengarkan dengan sabar ketika sahabat menceritakan masalahnya, b) Membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi teman dekat

berkaitan dengan keluarga atau teman lain,

c) Mengatakan atau melakukan sesuatu dalam rangka memberi dukungan emosional pada saat sahabat kita yang mengalami kesusahan,

d) Menunjukkan sikap penuh empati,

e) Memberikan nasehat yang baik ketika seorang teman membutuhkannya.

(37)

menenangkan dan memberikan rasa nyaman serta mampu memberikan empati dan bersikap hangat terhadap orang lain.

e. Kemampuan dalam Mengatasi Konflik

Setiap individu memiliki tujuan dan kebutuhan yang berbeda-beda dalam menjalin hubungan interpersonal. Perbedaan-perbedaan ini tentunya memiliki peluang bagi timbulnya konflik. Grasha (1987) mengatakan bahwa konflik akan selalu ada dalam setiap hubungan antar manusia dan bisa disebabkan oleh berbagai hal. Kemampuan mengatasi konflik diperlukan agar tidak merugikan suatu hubungan yang terjalin karena akan memberikan dampak yang negatif. Kemampuan mengatasi konflik ini meliputi sikap-sikap untuk menyusun suatu penyelesaian masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baik. Konflik akan memberi makna positif bila konflik dikomunikasikan secara terbuka untuk memperoleh penanganan secara efektif. Menurut Buhrmester, dkk (1988), perilaku-perilaku yang menunjukkan adanya kemampuan dalam mengatasi konflik, adalah sebagai berikut :

a) Pada saat memiliki masalah dengan sahabat, kita benar-benar mendengarkan keluhannya dan tidak berusaha menebak apa yang dipikirkannya,

b) Tidak mengulang ucapan atau perbuatan yang dapat memperparah konflik,

(38)

Aspek-aspek kompetensi interpersonal yang telah dijabarkan di atas, nantinya akan dipergunakan sebagai komponen dalam pembuatan skala kompetensi interpersonal untuk mengambil data penelitian.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kompetensi

Interpersonal

Berbagai penelitian menemukan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : kontak dengan orang tua, interaksi dengan teman sebaya, dan partisipasi sosial.

Berikut ini akan dijelaskan faktor-faktor tersebut di atas, yaitu :

a. Kontak dengan orang tua

Menurut Hetherington dan Parke (1979), kontak anak dengan orang tua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak di antara mereka menjadikan anak belajar dengan lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosialnya.

b. Interaksi dengan teman sebaya

(39)

dan perkembangan emosinya, serta lebih mudah dalam membina hubungan interpersonal.

c. Partisipasi sosial

Hurlock (1997) menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh partisipasi sosial dari individu. Individu yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial akan lebih berpeluang untuk mengasah keterampilan-keterampilan sosial yang dimiliki termasuk kompetensi interpersonalnya. Dengan kata lain, semakin besar partisipasi sosial seorang individu maka semakin besar pula kompetensi interpersonal yang dimilikinya.

B. Remaja

Istilah adolescence atau remaja sebenarnya berasal dari kata kerja Latin “adolescere”, yang memiliki arti “tumbuh” (to grow) dan ”tumbuh menjadi dewasa “(to grow to maturity). Saat ini istilah tersebut mempunyai arti yang lebih luas yakni mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja menurut Monks (1998) merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Hurlock (1997) juga mengatakan hal yang senada dengan Monks bahwa remaja merupakan periode transisi saat individu mengalami perubahan baik secara fisik maupun psikologis dari seorang anak menjadi seorang yang dewasa.

1. Usia Remaja

(40)

usia remaja antara 12-22 tahun. Hurlock (1997) mengatakan usia remaja memiliki batasan antara 13-18 tahun. Monks (1998) membagi aspek perkembangan dalam masa remaja secara global yang berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun, dengan pembagian masa remaja awal yaitu usia 12-15 tahun; masa remaja pertengahan antara usia 15-18 tahun; dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun.

2. Perkembangan Sosial Remaja

(41)

Selain itu Mappiare (1982) berpendapat bahwa pola emosi yang belum stabil membuat remaja sangat peka terhadap ejekan-ejekan dari teman-temannya sehingga remaja yang kurang berhasil dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan kelompoknya akan merasa sedih akibat perilaku teman-temannya tersebut. Sebaliknya remaja yang mampu melakukan adaptasi sosial baik terhadap lingkungan sosialnya terutama teman sepermainan atau sepergaulan akan memberikan rasa berharga terhadap diri yang memegang peranan penting dalam menumbuhkan rasa percaya diri mereka.

(42)

3. Tugas Perkembangan Remaja

Pada masa remaja individu dihadapkan pada pelbagai permasalahan khususnya yang berhubungan dengan masalah-masalah penyesuaian diri remaja terhadap lingkungan sosialnya sebagai bagian dari tugas perkembangan. Remaja harus mulai bertanggungjawab sendiri dalam mengatasi kesulitan-kesulitannya terutama dalam berhubungan sosial.

Havighurst (dalam Hurlock, 1997) menjelaskan bahwa tugas perkembangan remaja adalah suatu tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dari kehidupan seseorang, dimana jika individu tersebut berhasil menghadapi tugas-tugasnya maka akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya, tetapi jika individu tersebut mengalami kegagalan maka akan timbul rasa tidak bahagia dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.

Havighurst (dalam Gunarsa, 1986) juga menambahkan penyesuaian yang harus dilakukan remaja dalam tugas perkembangannya adalah :

1. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan teman sebaya, baik laki-laki maupun perempuan, 2. Memperoleh peranan sosial,

3. Menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuhnya secara efektif, 4. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa

lainnya,

(43)

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga,

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku.

Tugas-tugas perkembangan ini harus dilalui remaja secara bertahap agar dapat belajar berdiri sendiri baik secara fisik maupun psikologis. Apabila remaja mampu menguasai tugas-tugas perkembangannya dengan baik maka ketika terlepas dari orang tuanya, mereka mempunyai kemandirian dalam menjalankan peranan sosial dalam lingkungannya.

C. Sekolah Rumah dan Sekolah Umum

1. Sekolah Rumah

a. Pengertian

(44)

kurikulum dan materi pembelajaran hingga metode belajar serta praktek belajar keseharian anak-anak.

b. Alasan Memilih Sekolah Rumah

Menurut Ella Yulaelawati (http://www.republika.com, 28 Agustus 2006) ada beberapa alasan orang tua di Indonesia memilih sekolah rumah. Antara lain, dapat menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, memberikan lingkungan sosial dan suasana belajar yang baik, dan dapat memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, nonskolastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

c. Kelebihan dan Kekurangan Sekolah Rumah

(45)

Sementara itu, kekurangan sekolah rumah yaitu orang tua butuh komitmen dan keterlibatan tinggi, memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orang tua bertanggungjawab atas semua proses pendidikan anak, ada risiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim, organisasi, dan kepemimpinan.

d. Persepsi Salah Mengenai Sekolah Rumah

Persepsi salah mengenai sekolah rumah adalah penilaian bahwa siswa sekolah rumah tidak memiliki sosialisasi. Hal ini lahir dari persepsi bahwa siswa sekolah rumah hanya belajar dan tinggal di rumah bersama keluarganya saja. Namun pada kenyataannya, belajar di rumah hanyalah salah satu aktivitas siswa sekolah rumah. Selain belajar di rumah, siswa sekolah rumah tetap bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Selain itu, siswa sekolah rumah biasanya juga terlibat dalam kegiatan bersama komunitas sekolah rumah.

(46)

e. Jenis Sekolah Rumah

Kegiatan atau format sekolah rumah ada tiga jenis, yaitu sekolah rumah tunggal, majemuk, dan komunitas. Sekolah rumah tunggal merupakan sekolah rumah yang dilaksanakan orang tua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya. Biasanya sekolah rumah jenis ini diterapkan karena adanya tujuan atau alasan khusus yang tidak dapat diketahui atau dikompromikan dengan komunitas sekolah rumah lain. Alasan lainnya adalah karena lokasi atau tempat tinggalhomeschooler(peserta sekolah rumah) yang tidak memungkinkan berhubungan dengan komunitas lain atau karena orang tua sering berpindah tempat tinggal.

Sekolah rumah majemuk adalah sekolah rumah yang dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga yang untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orang tua masing-masing. Alasan adanya sekolah rumah jenis ini adalah karena terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Misalnya, kurikulum dari konsorsium, kegiatan olahraga (misalnya keluarga atlet tenis), keahlian musik atau seni, kegiatan sosial, dan kegiatan keagamaan.

(47)

pembangunan akhlak mulia, dan pencapaian hasil belajar; (b) tersedianya fasilitas pembelajaran yang baik, misalnya bengkel kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium IPA atau Bahasa, auditorium, fasilitas olahraga dan kesenian; (c) ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas tetapi dapat dikendalikan; (d) dukungan lebih besar karena masing-masing bertanggungjawab untuk mengajar sesuai keahlian masing-masing; (e) sesuai untuk anak di atas usia sepuluh tahun; (f) menggabungkan keluarga yang tinggal berjauhan melalui internet dan alat informasi atau komunikasi lainnya untuk tolak banding sebagai standarisasi (Mulyadi, 2007).

Penelitian ini nantinya akan memilih subjek dari sekolah rumah komunitas dimana kegiatan belajarnya lebih banyak bertemu dengan orang lain daripada sekolah rumah tunggal dan majemuk.

f. Interaksi Sosial di Sekolah Rumah

(48)

(Komariah, 2007). Berkaitan dengan menumbuhkan rasa sosial, kita bisa melatihnya dengan mengajaknya ke panti asuhan, atau menyantuni fakir miskin.

Berbeda dengan siswa sekolah umum yang lebih sering melakukan sosialisasi dengan sebayanya, siswa sekolah rumah lebih diberi kesempatan untuk memiliki pergaulan lintas usia. Komunitas ragam usia adalah kondisi yang ada di dunia nyata, seperti keluarga, kantor, organisasi, dan masyarakat (Sumardiono, 2007). Siswa sekolah rumah biasanya lebih matang secara sosial karena mereka terbiasa berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang beragam usia.

2. Sekolah Umum

a. Pengertian

Seperti di Indonesia, masa remaja merupakan masa belajar di sekolah. Sekolah merupakan model lingkungan pendidikan sekunder (Sarwono, 2001). Bagi anak yang sudah bersekolah, maka lingkungan yang setiap hari dimasukinya selain rumah adalah sekolah. Remaja yang duduk di bangku sekolah menegah umumnya menghabiskan waktu sekitar tujuh jam sehari di sekolahnya. Ini berarti hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan remaja di sekolah. Tidak mengherankan pengaruh sekolah terhadap perkembangan remaja cukup besar.

(49)

meningkatkan perubahan tingkah laku yang selaras dengan perkembangan individu sebagai anggota masyarakat dan sekolah yang merupakan suatu lingkungan yang menciptakan perubahan tingkah laku yang tampak dalam perkembangan kepribadian anak didiknya.

Sekolah umum selain sebagai lembaga pendidikan, juga merupakan salah satu lembaga sosialisasi yang mampu mengembangkan diri siswanya baik secara fisik maupun psikologis. Fungsi sekolah (Nawawi, 1981) adalah meneruskan, mempertahankan, dan mengembangkan kebudayaan suatu masyarakat melalui kegiatan ikut membentuk kepribadian anak-anaknya agar menjadi manusia dewasa yang mampu berdiri sendiri di dalam masyarakat sekitarnya. Sekolah memang bertujuan untuk melatih kemandirian anak dan selanjutnya menjadi arena berlatih bagi anak untuk mengembangkan relasi sosial mereka.

(50)

b. Interaksi Sosial Remaja di Lingkungan Sekolah

Sekolah selain sebagai tempat bagi para siswa menuntut ilmu dan mengembangkan kemampuan serta kreativitasnya, juga merupakan tempat bagi para remaja bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya sehingga secara tidak langsung lingkungan sekolah juga mempengaruhi perkembangan dan interaksi para remaja atau siswa-siswa yang bersekolah.

Interaksi sosial bagi remaja belum tentu dapat berjalan dengan lancar. Hal tersebut disebabkan pada masa remaja terdapat kegoncangan, terutama dalam melepaskan nilai-nilai yang lama dan memperoleh nilai-nilai baru untuk mencapai kedewasaan. Bertambah luasnya lingkup sosial remaja membawa konsekuensi tertentu pula yaitu remaja diharapkan mampu bertingkah laku sosial yang bertanggungjawab. Remaja mulai berinteraksi dengan teman sebaya dengan harapan memperoleh sahabat yang sesuai dengan diri remaja. Namun terkadang kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapan remaja. Hal inilah yang mengganggu remaja untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan terutama lingkungan sekolah (Hurlock, 1997).

(51)

tidak dapat memenuhi tuntutan sosial untuk menjalin hubungan dengan kelompoknya, untuk berinteraksi dengan guru, dan berpartisipasi dalam kegiatan kelas.

Pemberian label “kuper” sebagai ungkapan penilaian negatif dari teman sangat ditakuti, lebih-lebih bagi siswa sekolah menengah. Hurlock (1997) mengemukakan bahwa siswa yang mengalami kegagalan penyesuaian di sekolah akan berakibat tidak baik seperti merasa tidak bahagia, tidak menyukai diri sendiri. Akibatnya siswa akan mengembangkan sikap egois, tertutup, bahkan anti sosial.

Ada faktor lain yang sebenarnya dapat dikaitkan sebagai permasalahan pendidikan formal di negara Indonesia yang dirasa kurang efektif yakni guru dipandang sebagai subjek pembelajaran, dimana semua tanggung jawab pendidikan anak didik baik pengawasan maupun kurikulum belajar mengajar di sekolah berada di tangan guru.

(52)

hal ini berarti faktor guru juga sangat menentukan kualitas siswa dalam mengembangkan perkembangan sosialnya.

D. Kompetensi Interpersonal Siswa Sekolah Rumah Komunitas dan Siswa

Sekolah Umum

Pada masa remaja individu dihadapkan pada pelbagai permasalahan yang berhubungan dengan tugas perkembangan, khususnya masalah-masalah dalam tugas perkembangan remaja dengan lingkungan sosialnya. Pada masa ini remaja akan lebih sering menghabiskan waktunya bersama dengan teman-temannya. Teman-teman (peer)menjadi figur contoh yang penting dan merupakan hal yang menjadi penekanan sosial bagi remaja.

Model pendidikan baik sekolah umum maupun sekolah rumah diharapkan dapat menjadi lingkungan sosial yang baik bagi siswa untuk menjalin relasi dengan orang lain. Kompetensi interpersonal mulai terasah sejak seorang anak mulai sekolah dan mengenyam pendidikan. Anak memperoleh teman baru dan belajar berinteraksi dengan teman sebayanya.

(53)

masalah yang dihadapi sendiri. Hal ini menjadikan siswa memiliki hubungan interpersonal yang kompeten.

Jika dibandingkan dengan siswa sekolah umum, lingkup pergaulan siswa sekolah rumah komunitas juga luas dan bervariasi. Siswa sekolah rumah dapat bertemu dan berinteraksi dengan orang yang berbeda setiap harinya sesuai dengan materi apa yang hendak siswa sekolah rumah tersebut pelajari. Misalnya, ingin mengetahui tentang olahraga bulutangkis mereka dapat mendatangi Pelatnas dan bertemu dengan para atlit bulutangkis.

Siswa sekolah rumah pada prinsipnya belajar dimana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Siswa sekolah rumah diajarkan untuk dapat menempatkan diri di lingkungan manapun dengan siapapun dan menjalin hubungan atau interaksi bukan karena diharuskan atau dipaksakan, tetapi karena kesadaran bahwa hubungan antar manusia memiliki makna (Komariah, 2007).

Pada jenjang sekolah menengah, biasanya anak-anak sekolah rumah semakin mandiri karena terbiasa berinisiatif dan aktif dalam proses pendidikannya. Siswa sekolah rumah biasanya terlatih mencari penyelesaian sendiri untuk mendapatkan jawaban atas keinginan dan kebutuhannya. Apabila siswa sekolah rumah tidak menemukan jawaban atas apa yang ingin diketahuinya, ia akan mencari jawabannya dari internet, perpustakaan umum, laboratorium, museum, dan lain sebagainya.

(54)

terbiasa menyelesaikan masalah yang dihadapi sendiri dengan kemandirian yang mereka miliki karena siswa tersebut tidak hanya berinteraksi dengan teman sebaya saja, tetapi siswa sekolah rumah juga berinteraksi dengan orang yang lebih tua darinya.

Fenomena saat ini, baik siswa sekolah rumah komunitas maupun siswa sekolah umum memiliki banyak aktivitas di luar kegiatan belajarnya. Fenomena tersebut memunculkan hubungan interpersonal yang timbul dari seringnya siswa melakukan partisipasi atau aktivitas sosial. Berdasarkan hasil observasi peneliti, ditemukan bahwa siswa sekolah rumah yang memiliki kesempatan berpartisipasi secara sosial juga memiliki hubungan interpersonal yang baik seperti siswa sekolah umum. Hal ini muncul karena kesempatan aktivitas sosial siswa sekolah rumah banyak dan cakupannya luas.

Sosialisasi atau hubungan ini nantinya akan memunculkan kompetensi interpersonal. Oleh karena itu, penelitian ini ingin membuktikan bahwa siswa sekolah rumah juga memiliki kompetensi interpersonal sama baiknya dengan siswa sekolah umum.

E. Hipotesis

(55)

Sekolah Rumah Sekolah Umum

1. Siswa memiliki interaksi yang baik dengan teman sebaya.

2. Siswa memiliki aktivitas atau partisipasi sosial dengan teman sebaya seperti ikut futsal, ke museum, Pelatnas.

1. Siswa memiliki interaksi dengan teman sebaya.

2. Siswa melakukan aktivitas sosial di sekolah dengan mengikuti ekstrakurikuler atau kegiatan OSIS.

Tidak Ada Perbedaan Kompetensi Interpersonal antara Siswa Sekolah Rumah dengan Siswa Sekolah Umum - Siswa memiliki inisiatif.

- Siswa mampu membuka diri dengan orang lain. - Memiliki kemampuan asertif.

- Dukungan emosional tinggi.

- Mampu memecahkan dan menyelesaikan masalah yang dialaminya.

- Siswa memiliki inisiatif.

- Siswa mampu membuka diri dengan orang lain. - Memiliki kemampuan asertif.

- Dukungan emosional tinggi.

- Mampu memecahkan dan menyelesaikan masalah yang dialaminya.

Remaja

(56)

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah komparasional yang merupakan tipe penelitian yang berbentuk perbandingan dua sampel atau lebih.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek penelitian atau faktor-faktor yang berperan atau gejala-gejala yang diteliti. Pada penelitian ini variabel yang akan diteliti adalah :

1. Variabel bebas : Model pendidikan (sekolah rumah dan sekolah umum) 2. Variabel tergantung : Kompetensi interpersonal

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional merupakan penerjemahan suatu konsep teoritik ke dalam bentuk yang bisa diukur. Tujuan penerjemahan ini adalah untuk membantu usaha pengukuran konsep tersebut dalam pengumpulan data. Selain itu, untuk membatasi arti variabel penelitian sehingga tidak terjadi salah pengertian atau kesalahan penafsiran mengenai istilah yang digunakan dalam menginterpretasikan data dan hasil yang diperoleh.

(57)

Definisi operasional variabel-variabel penelitian adalah sebagai berikut :

1) Model Pendidikan

Model pendidikan adalah status tempat subjek belajar, dibedakan menjadi dua, yaitu sekolah rumah komunitas dan sekolah umum.

a. Sekolah rumah komunitas

Sekolah rumah komunitas merupakan gabungan beberapa sekolah rumah majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olahraga, musik atau seni, dan bahasa), sarana atau prasarana, dan jadwal pembelajaran. Sekolah rumah komunitas ini masuk dalam lembaga yang telah terdaftar di Departemen Pendidikan Nasional. Siswa komunitas SUN Homeschooling Jakarta berusia antara 12-15 tahun dianggap sebagai remaja. Model pendidikan diketahui dari pengisian lembar data diri dan ditandai dengan kepemilikan kartu pelajar.

b. Sekolah umum

(58)

2) Kompetensi Interpersonal

Kompetensi interpersonal diartikan sebagai kemampuan seorang individu untuk menjalin interaksi secara efektif dalam suatu situasi sosial. Kompetensi interpersonal ini meliputi aspek-aspek, yaitu : (a) kemampuan untuk berinisiatif ; (b) kemampuan dalam membuka diri (keterbukaan) ; (c) kemampuan untuk bersikap asertif ; (d) kemampuan memberikan dukungan emosional ; (e) kemampuan untuk mengelola dan mengatasi konflik yang timbul dalam hubungan interpersonal.

Tingkat kompetensi interpersonal remaja dilihat melalui sebuah alat ukur, yaitu skala kompetensi interpersonal. Semakin banyak respon mendukung pernyataan favorable dan semakin banyak respon tidak mendukung pernyataan unfavorable, maka skor total subjek akan tinggi. Semakin tinggi nilai skor total yang diperoleh dari skala tersebut, maka semakin tinggi pula tingkat kompetensi interpersonalnya. Begitu juga sebaliknya, semakin sedikit respon mendukung pernyataan favorable dan semakin sedikit respon tidak mendukung pernyataan unfavorable, maka skor total subjek akan rendah. Semakin rendah nilai skor total yang diperoleh dari skala tersebut, maka semakin rendah pula tingkat kompetensi interpersonalnya.

D. Subjek Penelitian

(59)

karakteristiknya sudah ditentukan dan diketahui lebih dulu berdasarkan ciri dan sifat populasinya populasi yang telah diketahui sebelumnya (Winarsunu, 2004). Ciri-ciri tersebut adalah :

1. Subjek penelitian adalah remaja awal yang berusia 12-15 tahun yakni siswa-siswi yang berada di tingkat SMP, baik yang menjalani pendidikan di sekolah rumah maupun di sekolah. Penelitian ini menggunakan subjek remaja awal yang berusia antara 12-15 tahun, karena pada rentang usia ini individu berada dalam masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa serta transisi dari metode belajar SD ke SMP. Masa transisi ini merupakan masa yang cukup sulit.

2. Subjek penelitian sekolah adalah siswa-siswi kelas 8 dan kelas 9 Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP N) 172 Cakung, sedangkan siswa komunitas sekolah rumah yang diteliti adalah SUN Homeschooling Komunitas.

3. Bagi subjek yang belajar di sekolah umum, subjek sudah bersekolah di sekolah tersebut selama dua tahun dan bukan merupakan siswa pindahan atau transisi dari sekolah rumah.

4. Bagi subjek yang belajar di sekolah rumah komunitas sekurang-kurangnya sudah dua tahun bersekolahrumah dengan pertimbangan bahwa subjek tersebut telah menerima perlakuan dari sistem pendidikan sekolah rumah.

E. Metode Pengumpulan Data

(60)

ini disusun dengan menggunakan metode rating yang dijumlahkan (summated rating) yaitu metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Gable dalam Azwar, 2000).

Di bawah ini disajikan penyusunan skala dan pemberian skor kompetensi interpersonal.

1. Penyusunan Butir Pernyataan (Item)

Skala yang digunakan pada penelitian ini adalah skala kompetensi interpersonal yang disusun oleh peneliti yang mengacu pada aspek kompetensi interpersonal dari Buhrmester (1988).

Dalam setiap aspek atau komponen terdiri dari 12 item, dengan mempertimbangkan jumlah antara pernyataanfavorabledanunfavorable yang tidak berbeda, sebaran item skala dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1

Distribusi Item-item Skala Kompetensi Interpersonal Remaja

Sebelum Uji Coba

Pernyataan

No. Komponen Favorable Unfavorable Jumlah

1. Inisiatif 7, 23, 24, 39, 43, 54 10, 15, 17, 48, 49, 58 12

2. Keterbukaan 2, 28, 29, 32, 46, 55 11, 14, 37, 42, 50, 59 12

3. Asertivitas 19, 34, 36, 38, 45, 60 4, 9, 12, 16, 52, 57 12

4. Dukungan emosi 3, 22, 25, 30, 33, 47 6, 13, 18, 20, 40, 53 12

5. Pengatasan konflik 1, 5, 8, 35, 41, 51 21, 26, 27, 31, 44, 56 12

(61)

2. Pemberian Skor Skala Kompetensi Interpersonal

Dalam setiap butir item diberikan kategori empat jawaban, yaitu : Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Alternatif jawaban dibuat hanya empat yang dimaksudkan untuk menghindari kecenderungan subjek penelitian menjawab pernyataan dengan alternatif jawaban yang bersifat netral atau ragu-ragu (Hadi, 1991). Penilaian terhadap jawaban yang diberikan subjek bergerak dari empat sampai dengan satu untuk item-item yang bersifat favorabledan sebaliknya dari satu sampai dengan empat untuk item-itemunfavorable. Pemberian skor dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2

Skor Jawaban Skala Kompetensi Interpersonal

Pernyataan

Jawaban Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai (SS) 4 1

Sesuai (S) 3 2

Tidak Sesuai (TS) 2 3

Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4

(62)

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Membuat skala kompetensi interpersonal dengan metode rating yang dijumlahkan (summated rating) untuk diujicobakan pada kelompok uji coba yang memiliki karakteristik sama dengan kelompok subjek yang sesungguhnya. Data yang diperoleh digunakan untuk kesahihan butir item. 2. Melakukan uji coba skala untuk memperoleh kesahihan butir dan

reliabilitas skala untuk mendapat butir yang sahih dan skala yang reliabel. Persiapan dalam penelitian ini meliputi uji coba alat ukur. Uji coba alat ukur dilakukan untuk melihat kualitas item-item dalam skala yang akan digunakan dalam penelitian. Skala kompetensi interpersonal ini diujicobakan kepada 60 subjek, yang terdiri dari 30 orang siswa SMP N 172 Cakung dan 30 orang siswa SUN Sekolah rumah yang berada di Jakarta Timur. Pelaksanaan uji coba (try out) tersebut dilakukan tanggal 20 April dan 23 April 2009.

3. Menentukan subjek penelitian sesuai kriteria, kemudian mengukur kompetensi interpersonal pada remaja dengan cara mengisi skala yang telah diuji kesahihan dan kehandalannya.

4. Menganalisis data yang masuk dengan uji-t untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan kompetensi interpersonal antara siswa sekolah umum dengan siswa sekolah rumah.

(63)

G. Pertanggungjawaban Mutu

Suatu alat pengukur dalam suatu penelitian harus memenuhi validitas (kesahihan) dan reliabilitas (kehandalan) agar alat ukur tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pada skala kompetensi interpersonal ini pun dilakukan suatu prosedur pengukuran validitas dan reliabilitas.

a. Uji Validitas

(64)

b. Uji Daya Diskriminasi Item

Kesahihan butir (validitas butir) dilakukan dengan cara indeks validitas korelasi, yaitu mengkorelasikan skor masing-masing item dengan skor total keseluruhan item. Teknik korelasi yang digunakan adalah part whole correlation yaitu langsung mengkoreksi terjadinya overestimasi (penaksiran yang berlebihan) karena skor total itu sendiri berisi skor item yang sedang diuji validitasnya.

Uji daya beda item diawali dengan uji coba alat ukur. Uji coba dilakukan pada 60 subjek, yaitu siswi SMP N 172 Cakung dan siswa-siswi SUN Homeschooling Komunitas di Jakarta Timur.

Cara menentukan kesahihan butir dalam skala ini mengacu pada kriteria dari total item yang sahih, yaitu memiliki korelasi ≥ 0.3 sedangkan item korelasi yang bernilai < 0.3 digugurkan (Azwar, 2001). Fungsi kesahihan butir (validitas butir) adalah untuk mendapatkan item-item yang sahih, sehingga item-item tersebut layak digunakan untuk penelitian.

Skala kompetensi interpersonal yang diujicobakan berjumlah 60 item yang terdiri dari 30 item favorable dan 30 item unfavorable. Setelah memperoleh data-data, dilakukan pengolahan data dengan menggunakan program SPSS for windows versi 16. Berdasarkan hasil penghitungan, diperoleh koefisien korelasi item total berkisar antara 0.125 sampai dengan 0.698.

Berikut ini disajikan tabel penghitungan korelasi item total (rix) pada

(65)

Tabel 3

Hasil Korelasi Item Total Kompetensi Interpersonal

rix Item Total

≥0,3 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 59, 60

50

≤0,3 7, 9, 16, 18, 24, 32, 35, 42, 56, 58 10

Total 60

(66)

Tabel 4

Distribusi Item-item Sahih dan Item-item Gugur

No. Item Sahih No. Item Gugur

No Aspek

Fav Unfav Fav Unfav

Jumlah

Item

Sahih

1. Inisiatif 7, 23, 24, 39, 43, 54

10, 15, 17, 48, 49, 58

7, 24 58 9

2. Keterbukaan 2, 28, 29, 32, 46, 55

11, 14, 37, 42, 50, 59

32 42 10

3. Asertivitas 19, 34, 36, 38, 45, 60

4, 9, 12, 16, 52, 57

- 9, 16 10

4. Dukungan emosi 3, 22, 25, 30, 33, 47

6, 13, 18, 20, 40, 53

- 18 11

5. Pengatasan konflik 1, 5, 8, 35, 41, 51

21, 26, 27, 31, 44, 56

35 56 10

Total 30 30 4 6 50

Dari 50 item yang lolos, peneliti melakukan penyetaraan jumlah item. Item yang diikutsertakan sebagai bagian skala dalam bentuk final untuk penelitian adalah 45 item dengan reliabilitas yang diperoleh lebih tinggi. Item yang sengaja digugurkan tersebut dipilih berdasarkan nilai korelasi item total (rix) yang paling rendah per-aspeknya. Penyetaraan jumlah item ini dilakukan

(67)

mengukur kompetensi interpersonal sehingga jumlah itemnya harus sama banyak.

Menyetarakan jumlah item dilihat dari aspek yang mempunyai jumlah item terkecil. Aspek yang memiliki jumlah item terkecil yaitu 9 berarti semua aspek hanya diambil 9 item saja. Jadi jumlah item yang digunakan dalam penelitian ini sejumlah yaitu 9 x 5 = 45. Distribusi item skala kompetensi interpersonal setelah uji coba adalah sebagai berikut :

Tabel 5

Distribusi Item-item Skala Kompetensi Interpersonal

Setelah Uji Coba

No. Item Valid

No. Komponen Favorable Unfavorable

Jumlah

Item Sahih

1. Inisiatif 15 (23), 28 (39), 31 (43), 41 (54)

8 (10), 10 (15), 11 (17), 36 (48), 37 (49)

9

2. Keterbukaan 2, 19 (28), 20 (29), 34 (46), 42 (55)

9 (14), 26 (37), 38 (50), 44 (59)

9

3. Asertivitas 12 (19), 24 (34), 25 (36), 27 (38), 33 (45), 45 (60)

4, 39 (52), 43 (57) 9

4. Dukungan emosi 3, 14 (22), 16 (25), 21 (30), 23 (33), 35 (47)

6, 29 (40), 40 (53) 9

5. Pengatasan konflik 1, 5, 7 (8), 30 (41) 13 (21), 17 (26), 18 (27), 22 (31), 32 (44)

9

Total 25 20 45

(68)

c. Uji Reliabilitas

Reliabilitas suatu alat ukur diperlukan untuk melihat sejauh mana pengukuran itu dapat memberikan hasil yang relatif sama jika dilakukan pengukuran kembali atau lebih terhadap aspek yang sama dengan alat ukur yang sama. Dalam aplikasinya, reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada dalam rentang dari 0-1,00. Semakin

tinggi koefisien reliabilitas mendekati 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya, sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2000).

Reliabilitas dalam penelitian ini diuji dengan pendekatan konsistensi internal melalui prosedur Alpha Cronbach yang dinyatakan dalam koefisien alpha (). Pendekatan ini bertujuan untuk melihat konsistensi antar item atau antar bagian dalam skala. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menghindari masalah yang biasanya timbul dari pendekatan tes ulang dan bentuk paralel. Prosedur pendekatan ini hanya menggunakan satu bentuk tes yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok subjek karena itu pendekatan ini mempunyai nilai praktis dan efisiensi yang tinggi (Azwar, 2000).

(69)

H. Metode Analisis Data

(70)

A. Orientasi Kancah

1. SMP N 172 Cakung Jakarta

SMP N 172 Cakung yang terletak di Jalan Raya Stasiun Cakung Pulogebang ini memiliki visi “Unggul Berkualitas dengan Landasan Iman dan Takwa”. Dalam rangka mewujudkan visinya tersebut, SMP N 172 Cakung memiliki 5 misi, yaitu (1) Berprestasi, (2) Harmonis, (3) Komunikatif, (4) Kreatif dan Inovatif, dan (5) Cinta Perkembangan Iptek.

Sekolah Menengah Pertama Negeri 172 Cakung merupakan salah satu sekolah berstandar nasional. Sekolah negeri ini berdiri sejak tahun 1977. Pada tahun ajaran 2008/2009 jumlah siswa SMP N 172 Cakung adalah 854 siswa dengan rincian kelas 7 sebanyak 6 kelas dengan 238 siswa, kelas 8 sebanyak 7 kelas dengan 280 siswa, dan kelas 9 sebanyak 9 kelas dengan jumlah 336 siswa.

Materi umum yang dimiliki sekolah ini adalah peningkatan kemampuan siswa sesuai kurikulum berbasis kompetensi nasional. SMP N 172 Cakung ini memiliki kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, basket, bulutangkis, voli, sepak bola, renang, paduan suara, musik, tari, cheerleader, dan lain sebagainya.

(71)

2. SUN Homeschooling Komunitas

Komunitas belajar SUN Homeschooling yang terletak di Jalan Nusa Indah Raya Blok M No. 4 Cipinang Indah 1 Jakarta Timur. Materi umum yang ada di sekolah rumah ini adalah pengembangan potensi, bakat dan minat kurikulum pendidikan nasional. Sasaran pembelajarannya yaitu keterampilan, kemandirian, dan individu yang kompeten.

Alasan orang tua memilih sekolah rumah jenis ini biasanya karena lebih lengkap dan terstruktur untuk pendidikan akademik, pembangunan akhlak mulia, dan pencapaian hasil belajar; tersedianya fasilitas pembelajaran yang baik, misalnya bengkel kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium IPA atau Bahasa, auditorium, fasilitas olahraga dan kesenian; ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas tetapi dapat dikendalikan; dukungan lebih besar karena setiap tutor bertanggungjawab untuk mengajar sesuai keahlian masing-masing; sesuai untuk anak di atas usia sepuluh tahun.

SUN Homeschooling Komunitas sering melakukan kegiatan field trip, outbound, berkunjung ke museum, Pelatnas, tempat-tempat hiburan, dan lain-lain. Sekolah rumah ini kebanyakan melakukan kegiatan belajarnya di luar gedung. Kegiatan belajar mengajar cukup santai dimana dalam satu kelas hanya terdapat 7-10 orang siswa. Hal ini memudahkan para tutor dalam membimbing siswanya.

(72)

sekolah umum sama-sama merupakan sarana untuk mengantarkan siswa-siswi pada tujuan pendidikan. Sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan yang sama, sekolah rumah dan sekolah umum memiliki perbedaan-perbedaan.

Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan sekolah, sedangkan pada sekolah rumah tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua.

Model belajar di sekolah sistem pembelajaran yang ada sudah mapan. Orang tua tinggal memilih sebuah model sekolah umum yang diminati dan kemudian mengikuti proses pendidikan yang dijalankan untuk anak-anaknya. Pada sekolah rumah, dibutuhkan komitmen dan kreativitas orang tua untuk melaksanakan sekolah rumah. Keluarga dapat memilih sebuah paket pendidikan tertentu atau melakukan penyesuaian menurut kebutuhannya.

Pengelolaan di sekolah umum terpusat dimana kurikulumnya telah ditetapkan seragam untuk seluruh siswa, sedangkan pengelolaan sekolah rumah tergantung keluarga memilih sendiri kurikulum dan materi ajar anak-anaknya.

B. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian kompetensi interpersonal siswa sekolah rumah dan siswa sekolah umum mengambil lokasi di SMP N 172 Cakung dan SUN Sekolah rumah di Jakarta Timur.

(73)

pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampel purposif yaitu teknik yang dikenakan pada sampel yang karakteristiknya telah ditentukan terlebih dahulu berdasarkan ciri dan sifat populasinya (Winarsunu, 2004).

Jumlah skala kompetensi interpersonal yang disebar adalah 90 eksemplar dengan rincian 45 eksemplar untuk siswa sekolah dan 45 eksemplar untuk siswa sekolah rumah. Penyebaran skala dilakukan secara individual dengan berpegang pada karakteristik subjek yang telah ditentukan sebelumnya dan diberikan menjelang waktu istirahat jam pelajaran agar tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar. Peneliti menjelaskan terlebih dahulu cara pengisian data identitas kemudian baru menjelaskan cara pengisian skala.

C. Hasil Penelitian

1. Uji Asumsi Penelitian

Asumsi yang harus dipenuhi untuk mengerjakan analisis varian adalah uji normalitas sebaran dan uji homogenitas varian (Hadi, 1991).

a. Uji Normalitas Sebaran

Uji normalitas merupakan analisis statistik yang pertama dilakukan dalam rangka analisis data. Kepastian terpenuhinya syarat normalitas akan menjamin langkah-langkah statistik selanjutnya sehingga kesimpulan yang diambil juga dapat dipertanggungjawabkan (Nurgiyantoro, dkk, 2000).

(74)

Sample Kolmogorov-Smirnov Test dari program SPSS for windows versi 16. Pengambilan keputusan didasarkan pada besaran probabilitas (p). Jika nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 maka sebaran dinyatakan normal, sedangkan jika probabilitas kurang dari 0,05 maka sebaran dinyatakan tidak normal. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6

Hasil Penghitungan Uji NormalitasKolmogorov-Smirnov

Uji Normalitas Sekolah rumah Sekolah

Kolmogorov Smirnov 0.749 0.475 Asymp. Sig. (2 tailed) 0.629 0.978

Hasil uji normalitas menghasilkan probabilitas (p) data model sekolah rumah sebesar 0.629 (p > 0,05) dan probabilitas (p) data model sekolah sebesar 0.978 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa distribusi data pada kedua sampel adalah normal.

b. Uji Homogenitas Varian

(75)

sebaliknya jika p < 0,05 maka kedua kelompok sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians tidak sama. Hasil uji homogenitas dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7

Hasil Penghitungan Uji Homogenitas

Levene Statistik df1 df2 Signifikansi

0,131 1 88 0,719

Penghitungan uji homogenitas menghasilkan p 0,719 (p > 0,05) yang berarti kedua kelompok sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians yang sama.

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan Independent Sample t-Test dari program SPSS for windows versi 16. Independent Sample t-Test merupakan teknik statistik yang biasa digunakan untuk menguji perbedaan mean dari dua kelompok sampel (Nurgiyantoro, dkk, 2000). Rangkuman hasil uji hipotesis dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8

Rangkuman Hasil Uji Hipotesis (Independent Sample t-Test)

Variabel t df Sig. (2-tailed) MD

(76)

Berdasarkan hasil penghitungan Independent Sample t-Test, dapat diketahui bahwa harga t yang diperoleh 1,373 dengan probabilitas 0,173. Hal ini berarti tidak ada perbedaan kompetensi interpersonal antara siswa sekolah rumah dengan siswa sekolah umum. Dengan demikian penelitian memperlihatkan bahwa siswa sekolah rumah memiliki kompetensi interpersonal seperti sekolah umum.

D. Pembahasan

Penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa tidak ada perbedaan kompetensi interpersonal antara siswa sekolah rumah dengan siswa sekolah umum. Analisis uji-t menghasilkan harga t sebesar 1,373 (df = 88) dengan probabilitas (p) 0,173. Artinya tidak ada perbedaan kompetensi interpersonal antara siswa sekolah rumah dengan siswa sekolah umum. Dengan demikian hipotesis penelitian ini terbukti.

Tidak adanya perbedaan kompetensi interpersonal antara siswa sekolah rumah dan siswa sekolah umum dapat dijelaskan karena sekolah rumah dan sekolah umum mendapat perlakuan yang mirip dalam hal kesempatan bersosialisasi.

(77)

tahu informasi yang mereka butuhkan dengan bertanya pada teman maupun guru serta orang lain.

Bersikap terbuka merupakan kemampuan untuk membicarakan diri sendiri. Keterbukaan dalam suatu interaksi dengan orang lain tercermin dalam perilaku individu tersebut. Seseorang yang mampu bersikap terbuka pada kesempatan atau situasi tertentu akan menurunkan pertahanan dirinya secara lebih dalam. Kemampuan ini sangat penting artinya dalam membentuk suatu persahabatan. Hal ini juga terlihat pada siswa sekolah rumah dan sekolah umum. Mereka memiliki teman atau sahabat yang bisa diajak sharing dan berbagi pengalaman. Berbagi pengalaman dan menceritakan masalah yang dihadapi sedikit banyak membantu mengurangi konflik yang dihadapi. Berku

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan bermakna antara dukungan keluarga dan kepatuhan minum obat pada

Program adalah susunan instruksi yang logis dan mengandung bahasa yang diketahui oleh mikroprosesor dan bila dieksekusi akan diperoleh suatu hasil yang sesuai

(2) Duta CSR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas sebagai representasi Daerah dalam mengembangkan, merundingkan/negosiasi, menelaah, mempromosikan, melaporkan

untuk mendukung aktivitas bisnis apotek secara cepat dan teratur. Apotek ini bertujuan untuk melayani masyarakat dalam pelayanan kesehatan, seperti penyediaan obat, jasa dokter

produk tas tiruan di Kota Denpasar. Pengetahuan produk akan menentukan keputusan pembelian dan secara tidak langsung berpengaruh juga nantinya pada intensitas pembelian.

JudulSkripsi : TRADISI LANGKAHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Di Dusun Ngringin Desa Jatipurwo Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar, Surakarta).. NO TANGGAL

Kulit pisang termasuk pakan non konvensial dalam usaha (bisnis) bahan pakan, bahkan produk buangan ini kelihatan sangat bernilai untuk makanan ternak di Filipina, produk

Komputerisasi telah berkembang, menginginkan yang semula penyampaian informasi agenda kegiatan pegawai di UPN “Veteran” Jawa Timur masih dilakukan dengan menempel