PERILAKU ‘TEMAN TAPI MESRA’
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
OLEH :
AJENG WIDHA PARAMITHA NIM : 029114077
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
PERILAKU ‘TEMAN TAPI MESRA’
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
OLEH :
AJENG WIDHA PARAMITHA NIM : 029114077
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
And now these three remain
Faith, hope and love.
But the greatest of these is
Love.
(Corinthians 13:13)
There can be miracle, when you believe…
Kupersembahkan karya ini untuk :
Yesus Kristus dan Bunda Mariaku atas berkat, rahmat serta penyertaan-Nya
Mama dan Papa terkasih, yang oleh mereka aku dibimbing
Mbah Yut, Mbah Kung dan Mbah Ti, karena selalu mendukungku
Adikku tercinta, yang selalu buat hariku cerah ceria
vi
Terhadap Perilaku ‘Teman Tapi Mesra’
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan terhadap perilaku ‘Teman Tapi Mesra’. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu, ada perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan terhadap perilaku ‘Teman Tapi Mesra’, laki-laki lebih mendukung perilaku ‘Teman Tapi Mesra’ daripada perempuan.
Jenis penelitian ini termasuk penelitian komparatif. Subjek penelitian ini berjumlah 82 orang, yang terdiri dari 45 orang laki-laki dan 37 orang perempuan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan memberikan sejumlah Skala Sikap Terhadap Perilaku ‘Teman Tapi Mesra’ kepada subjek untuk diisi. Skala sikap yang diberikan telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data penelitian dianalisis denganIndependent Sample t-testdari programSPSS for Windows versi 13.00.
Hasil analisis uji-t menunjukkan nilai t = 14,912 dengan probabilitas 0,000
(ρ < 0,05). Mean subjek laki-laki adalah 105,02 dan mean subjek perempuan adalah 68,51. Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan terhadap perilaku ‘Teman Tapi Mesra’, dimana laki-laki lebih mendukung perilaku ‘Teman Tapi Mesra’ daripada perempuan.
vii
This research aimed to find the difference of attitude between men and women toward the ‘Teman Tapi Mesra’ behavior. The hypothesis of this research was there are difference of attitude between men and women toward the ‘Teman Tapi Mesra’ behavior, men have more permissive attitude than women do.
This type is a comparative study. The subjects of research was 82 people, consist of 45 men and 37 women. The method of collecting data was done by giving a scale to the subject, called the attitude scale of toward the ‘Teman Tapi Mesra’ behavior. The validity and reliability of the scale had been tested before. The research data was analyzed by Independent Sample t-test of SPSS program for Windows 13.00 version.
The result from t-test showed the value of t-test equal to 14,912 with the probability of 0,000 (ρ < 0,05). Mean of the men was 105,02 ; while mean of women was 68,51. Based on this result of data analysis, it can be concluded that there was differences of attitude between men and women toward the ‘Teman Tapi Mesra’ behavior, that men have more permissive attitude than women do.
ix
penyertaanNya yang telah mengatur setiap langkah penulisan skripsi ini sehingga
akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.
Skripsi yang berjudul Perbedaan Sikap Antara Laki-laki dan Perempuan
Terhadap Perilaku ‘Teman Tapi Mesra’ ini diajukan kepada Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut memberikan dukungan,
semangat dan bantuan hingga selesainya skripsi ini :
1. Bapak Eddy Suhartanto, S. Psi, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi atas
ijin yang telah diberikan kepada penulis dalam melakukan penelitian
2. Ibu Aquilina Tanti Arini, S. Psi, M. Si selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis dengan segala kesabaran dan perhatiannya. Terima kasih
ya Bu atas masukan dan koreksiannya..
3. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi.,M.Si, selaku Ketua Program Studi yang
telah memberikan kelancaran penulis selama mengikuti perkuliahan di
Fakultas Psikologi.
4. Ibu Nimas Eki, S. Psi selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas
x
6. Dosen-dosen Psikologi yang telah mendidik dan mengajar penulis selama
menempuh bangku perkuliahan.
7. Seluruh Staff Fakultas Psikologi : Mas Gandung, Mbak Naniek, Mas Muji,
Pak Giek, Mas Doni…. atas keramahan dan bantuan selama mengikuti studi di
Fakultas Psikologi….Matur thank youya……
8. Mama, papa yang tercinta, buat perhatian, kasih sayang dan support yang
diberikan selama ini. Besar rasa hormat, terima kasih dan sayang penulis
untuk mereka...
9. Mbah Yut, Mbah Kung kaliyan Mbah Ti atas segala doa dan dukungannya selama ini.Matur nuwun sanget……
10. Gendutku dek Tia… yang selalu memberikan semangat dan selalu membuat
hari-hariku ceria...Makaci ya dek...Mbak sayang adek...
11.4 my husband wannabeStevanus Roland Wadirenanto (thanks God I found U)
Thank U so much 4 love, 4 live, 4 everything that U gave & done for me...
12. Ibu, bapak, tante Santi sama om Dili yang terkasih, atas motivasi yang luar
biasa dan doa yang tiada henti…
13. Temen-temen baikku Picka, Ohaq, Mey, Cahya, Eu, Anggie, Tina, Laora,
Nining….Seneng banget punya temen-temen baik kaya’ kalian, makasih buat
support kalian dan kebersamaan kita selama ini…Kapan ya kita bisa kumpul lagi ??Miss u so much gals…
14. Kakak-kakakku mbak Elga, kak Yolla & kak Pancar…aku bersyukur punya
xi
Unisono Choir…makasih ya atas dukungan dan doa-doanya…
17. Anak-anak kos Canna like Nana, Fanny, Nur ….kapan kita Tour de Canna
lagee..
18. Teman-teman angkatan 02 yang belum lulus…ayo cepet dikerjain skripsinya,
gak usah saling menunggu….semua punya jatahnya sendiri2 kok....ayo kalian
pasti bisa…semangat ya temen-temen…
19. Anak-anak Wisma Sukses : Okky, gank Nero (mbak Ami, dik Tyas, Nia,
mbak IJ, mbak Butet, mbak Nita, teh Monic, teh Poppy), Linda, mbak Citra,
Zippo…thanks 4 the music…
20.My cutie doggie…Jhony, Chiky, Gembul, Kiky, Moni, Lolo, Loli, Temi, Bedu, Bona, Bimbi, Viro…jangan nakal ya…makasih buat keceriaan dan
kelucuan kalian…
21. Ketua Umum PP BPOC dan semua stafnya, terimakasih atas kepercayaan dan
kesempatan yang diberikan kepada saya untuk bisa bekerjasama di PP BPOC.
22. Semua subjek try out dan penelitian….terimakasih atas kesediaan
teman-teman mengisi skala dan membantu kelancaran penelitian ini…..
23. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
memberikan bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil
kepada penulis.
Akhir kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada segala
pihak, apabila dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah membebani dan
xii
karya penulisan ini dapat digunakan bagi kebaikan dan kepentingan bersama.
xiii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..………. ii
HALAMAN PENGESAHAN……….... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. v
ABSTRAK………... vi
ABSTRACT……… vii
PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA………... vii
KATA PENGANTAR……… ix
DAFTAR ISI………... xiii
DAFTAR TABEL………... xvii
DAFTAR LAMPIRAN………... xviii
BAB I PENDAHULUAN………... 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ………. 1
B. RUMUSAN MASALAH ………. 8
C. TUJUAN PENELITIAN ……….. 8
D. MANFAAT PENELITIAN ………... 8
1. Manfaat Teoritis ……… 8
xiv
1. Pengertian ……….. 9
2. Faktor Penyebab Perilaku TTM ………... 12
B. SIKAP ……….. 13
1. Pengertian Sikap ……… 13
2. Struktur Sikap ……… 15
3. Analisis Fungsi Sikap ………. 17
4. Ciri-ciri Sikap ………. 18
C. SIKAP TERHADAP PERILAKU TTM ………. 19
D. DEWASA DINI ………... 21
1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Dini ………. 21
2. Ciri Dewasa Dini ……… 23
3. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Dini ……… 25
4. Perbedaan Laki-laki dan Perempuan ………... 26
E. PERBEDAAN SIKAP LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PERILAKU TTM ………... 28
Skema Perbedaan Sikap Antara Laki-laki dan Perempuan Terhadap Perilaku TTM ……….…… 32
xv
B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN ………. 34
C. DEFINISI OPERASIONAL ……… 34
D. SUBJEK PENELITIAN ……….. 36
E. PROSEDUR PENELITIAN ……… 36
F. PRELIMINARY STUDY ……… 37
G. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA ………... 42
H. PERTANGGUNGJAWABAN ALAT UKUR ……… 44
1. Validitas Isi ………..…….. 44
2. Analisis Item ………..……… 44
3. Reliabilitas ………..………... 46
I. METODE ANALISIS DATA ………. 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 48
A. PROSES PENELITIAN ……….. 48
B. DESKRIPSI DATA PENELITIAN ……… 49
C. UJI ASUMSI ANALISIS DATA ……… 52
1. Uji Normalitas ………... 53
2. Uji Homogenitas ……….. 53
D. UJI HIPOTESIS ………. 54
xvi
B. SARAN ………... 59
xvii
Tabel 2 Blue Print Skala Sikap Sebelum Uji Coba …………... 43
Tabel 3 Blue Print Skala Sikap Setelah Uji Coba ……….. 45
Tabel 4 Blue Print Skala Sikap Penelitian ………. 45
Tabel 5 Gambaran Umum Subjek Penelitian ………. 49
Tabel 6 Hasil Deskriptif Penelitian ……… 50
Tabel 7 Norma Kategori Skor ……… 51
Tabel 8 Kategorisasi Sikap Laki-laki Terhadap Perilaku TTM ………… 51
Tabel 9 Kategorisasi Sikap Perempuan Terhadap Perilaku TTM ………. 52
Tabel 10 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov …… 53
Table 11 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ……… …… 54
xviii
2. Data Try Out ……… 67
3. Uji Reliabilitas dan Validitas Item Setelah Try Out ………. 76
4. Uji Reliabilitas dan Validitas Item Penelitian ……… 77
5. Alat Penelitian ……….. 78
6. Data Penelitian ………. 81
7. Uji Asumsi Penelitian a. Uji Normalitas Laki-laki ……… 96
b. Uji Normalitas Perempuan ……… 97
c. Uji Homogenitas ……… 98
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
“Cukuplah saja berteman denganku, janganlah kau meminta lebih, kutak mungkin mencintaimu, kita berteman saja, teman tapi mesra. Aku memang suka pada dirimu, namun aku ada yang punya, lebih baik kita berteman, kita berteman saja, teman tapi mesra.” (Lirik lagu Teman Tapi Mesra, voc. Ratu)
Itulah sepenggal lirik lagu yang popular pada tahun 2006 yang
menggambarkan bagaimana sebuah hubungan terbentuk menurut pencipta
lagunya. Lirik tersebut meggambarkan bagaimana sebuah hubungan secara
sengaja atau tidak sengaja terbentuk, dengan atau tanpa sebuah status yang
jelas. Status berarti bentuk peranan dari tiap pelakunya misalnya status sebagai
teman, pacar, suami atau istri.
Salah satu bentuk gaya hidup yang sedang hangat dibicarakan saat ini
adalah bentuk gaya hidup yang berkaitan dengan status seseorang dalam
hubungan interpersonalnya. Suatu bentuk hubungan yang dapat terjadi pada
seseorang yang telah mempunyai kekasih atau sedang menjalani hubungan
dekatnya dengan orang lain, namun bisa juga terjadi atau dilakukan oleh
seseorang yang masih single. Hubungan tersebut disebut teman tapi mesra yang dapat juga disingkat dengan TTM.
Sirait (Gaya Hidup, 2007) mengatakan bahwa TTM diawali dengan
saling ketertarikan satu sama lain dan setuju untuk menjalani hubungan tapi
tidak mengikat satu sama lain. Mengikat dalam arti membebaskan pasangan
TTM mereka untuk mempunyai pasangan lain. Kalau salah satunya ingin
berkencan dengan orang lain maka pasangannya tidak boleh merasa cemburu
atau protes. TTM menurut penulis adalah salah satu bentuk hubungan yang
membingungkan, bisa dikatakan demikian karena apabila disebut sebagai
kekasih, mereka tidak mengakui bahwa mereka berpacaran. Disebut berteman
juga tidak karena mereka menunjukkan kemesraan seolah-olah mereka sedang
berpacaran.
TTM tersebut memang sedang menjamur akhir-akhir ini, dan dianggap
lumrah (Maryati, 2007). Kebanyakan mahasiswa dan mahasiswi yang
bersangkutan, memilih TTM sebagai trend atau sekedar mengikuti gaya hidup
selebritis (Gaya Hidup, 2007). Tayangan infotainment di televisi banyak
mengungkap tentang gaya hidup selebritis yang demikian, sehingga fenomena
tersebut tidak lagi tabu dan asing untuk dibicarakan di tengah-tengah
masyarakat, bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta
perilaku TTM sudah menjadi trend.
Data yang diperoleh tim Muda harian Kompas dengan mahasiswa
sebagai respondennya menyatakan bahwa 57 % responden pernah melakukan
TTM dan sisanya belum pernah. 22% responden mengatakan ingin mencoba
TTM sementara 44% mengatakan tidak ingin. Polling dari Harian Kompas
tersebut juga mengungkap reaksi responden terhadap TTM tersebut bahwa
yang mengatakan TTM itu menyenangkan ada 27%, 57% responden memilih
pacaran, 2% memilih menikah, 14% tidak menjawab (TTM atau Selingkuh,
merupakan hal asing bagi para pemuda Indonesia. Melihat berbagai macam
reaksi tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa perilaku TTM ini juga masih
menimbulkan pro dan kontra. Terutama di kalangan mahasiswa yang sudah
memasuki usia dewasa dini.
Masa dewasa dini adalah periode seseorang menjadi kritis dalam
menanggapi berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai
dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Dewasa dini dalam hal ini adalah
seseorang yang sudah memasuki perguruan tinggi sebagai mahasiswa dan
mahasiswi (Monks, 2002). Menurut Setiono, para individu usia dewasa dini
tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang
diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Mereka mulai
mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih
banyak alternatif lainnya (Setiono, 2002).
Individu pada usia dewasa dini akan lebih banyak melakukan
pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini
diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para individu usia
dewasa dini mulai melihat adanya kenyataan atau hal lain di luar dari yang
selama ini diketahui dan dipercayainya (Keating dalam Santrock, 2002).
Mereka akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan
beragam jenis pemikiran yang lain. Para individu dewasa dini juga sering
menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat
dilakukan karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan
akibat jangka pendek atau jangka panjang (Setiono, 2002).
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada usia dewasa dini berkembang karena mereka mulai melihat adanya
kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu
dengan kenyataan yang ada di sekitarnya (Perry dalam Widiarto, 2005).
Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir
dengan kenyataan atau hal yang baru. Perubahan inilah yang seringkali
mendasari sikap pemberontakan mereka terhadap peraturan atau otoritas yang
selama ini diterima (Setiono, 2002). Hal ini membuat para individu usia
dewasa dini mulai mencoba dan membentuk hal-hal baru sebagai gaya hidup
yang sesuai dengan pandangan dan penilaiannya.
Hurlock (2003) mengatakan tugas perkembangan usia dewasa dini
adalah memilih teman hidup kemudian menyiapkan diri untuk membentuk
sebuah rumah tangga. Memilih teman hidup dan menyiapkan kehidupan
berumah tangga hendaknya membutuhkan suatu pembelajaran dan
tanggungjawab. Belajar mengenai kemampuan bersosialisasi (social skill),
belajar mengenai apa arti sebuah komitmen dan belajar bagaimana caranya
berempati (Setiono, 2002).
Pelaku TTM dapat kehilangan kesempatan belajar, dalam hal ini
belajar untuk memilih dan memahami teman hidup karena pelaku TTM dapat
dengan mudah berganti pasangan, sehingga kesempatan mengenal pasangan
kewajiban untuk saling menjaga perasaan atau hubungan berakibat pelaku
TTM tidak bisa berharap pasangan TTM mereka tidak berselingkuh, karena
mereka tidak memiliki komitmen. Hal ini menyebabkan pelaku TTM terbiasa
untuk tidak berkomitmen, sehingga pelaku TTM akan mengalami kesulitan
saat memasuki dunia rumah tangga.
Perilaku TTM merupakan perwujudan dan hasil dari sistem
kapitalisme barat yang menyajikan ide permisivisme (serba boleh) dan
hedonisme (memuja kesenangan jasmani dan rohani), yang dengan jelas memberikan kesempatan kepada kita untuk bebas melakukan apa yang kita
suka (Rachmatika, 2007). Bebas dalam artian boleh memiliki pasangan lebih
dari satu, bahkan bebas untuk melakukan aktivitas seksual layaknya pasangan
suami istri yang sering disebut seks pranikah (Rachmatika, 2007).
Perwujudan permisivisme untuk melakukan seks pranikah membuat kaum dewasa dini yang semestinya menyiapkan rumah tangga mengalami
kerugian. Kaum dewasa dini bisa saja terjebak dalam seks pranikah. Menurut
PKBI DIY (dalam Listyawati & Suprayogo, 2007) dampak dari seks pranikah
pada perempuan menurut data konseling tentang kehamilan yang tidak
dikehendaki adalah depresi berat, stres dan yang paling fatal bisa membuka
kemungkinan untuk bunuh diri. Keinginan untuk aborsi juga bisa timbul,
sehingga kesehatan reproduksi juga terancam (Yen dalam Pampo, 2004). Di
samping itu tingkat putus sekolah remaja hamil juga sangat tinggi, hal ini
adanya murid yang hamil di luar nikah. Masalah ekonomi juga akan membuat
permasalahan ini menjadi semakin rumit dan kompleks (Mu’tadin, 2002).
Masalah dan dampak yang timbul dari perilaku TTM tentunya
mengarahkan kaum dewasa dini pada suatu sikap tertentu. Sikap merupakan
suatu organisasi yang relatif menetap antara keyakinan, perasaan dan
kecenderungan terhadap sesuatu atau seseorang atau terhadap objek sikap
(Morris & Maisto, 2002). Sikap kaum dewasa dini dalam memandang perilaku
TTM berpengaruh pada kesiapan kaum dewasa dini dalam menghadapi salah
satu tugas perkembangannya yaitu mempersiapkan diri untuk memasuki
lembaga perkawinan (Hurlock, 2003). Sikap kaum dewasa dini terhadap
perilaku TTM dapat bersifat negatif dan positif, hal tersebut terdukung karena
perilaku sosial yang ada di sekitar mereka.
Perilaku sosial adalah tingkah laku yang diharapkan oleh kelompok
masyarakat, tingkah laku tersebut sesuai dengan norma atau aturan yang ada
dalam masyarakat (Chaplin, 1993). Masyarakat mempunyai norma dan aturan
sendiri mengenai perilaku seksual pada laki-laki dan perempuan. Laki-laki
lebih bebas melakukan segala sesuatu termasuk hal-hal yang berhubungan
dengan pacaran dibandingkan dengan perempuan. Masyarakat cenderung
memberikan sangsi yang lebih longgar kepada laki-laki daripada kepada
perempuan saat mereka melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma
dalam masyarakat (Sarwono dalam Meidiana, 2005).
Secara fisik maupun psikologis laki-laki dan perempuan berbeda.
berbeda pula. Sejak awal perempuan diajarkan untuk lebih mementingkan
hubungan dan lebih toleran terhadap aturan daripada laki-laki (Lips, 1988 ;
Giligan, 1997). Pada umumnya laki-laki mempunyai waktu yang lebih lama di
luar rumah dan bergabung dengan anggota sebayanya yang sering membuat
norma sendiri. Sesuatu yang dianggap baik adalah yang sesuai dengan norma
yang mereka buat, sedangkan perempuan lebih banyak berada di masyarakat
dan keluarga, sehingga norma sosial dan norma agama serta norma adat lebih
mempengaruhi sikap mereka (Lips, 1988 ; Giligan, 1997).
Perilaku TTM sudah umum di kalangan muda, namun belum diterima
dalam masyarakat. Sangsi masyarakat yang lebih longgar untuk laki-laki dan
didukung oleh norma dari kaum laki-laki yang cenderung tidak sesuai dengan
norma masyarakat dapat membuat laki-laki lebih terbuka terhadap fenomena
TTM sehingga laki-laki mempunyai kemungkinan lebih besar untuk
melakukan TTM. Sangsi masyarakat yang lebih ketat pada perempuan dan
kecenderungan perempuan untuk patuh pada norma masyarakat yang ada
membuat perempuan lebih tertutup terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan
norma masyarakat, sehingga perempuan mempunyai kemungkinan yang lebih
kecil dibandingkan laki-laki untuk melakukan TTM.
Penjelasan di atas membentuk asumsi bagi penelitian ini. Asumsinya
adalah sikap laki-laki cenderung lebih setuju dan menerima fenomena perilaku
TTM dibandingkan perempuan. Asumsi tersebut belum mempunyai bukti
perempuan terhadap perilaku TTM dengan melihat bukti empirik melalui
penelitian ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “ Apakah ada perbedaan
sikap laki-laki dan perempuan terhadap perilaku ‘teman tapi mesra’ ? ”
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empirik ada atau
tidaknya perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan terhadap perilaku
‘teman tapi mesra’.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat menambah kajian teoritis di bidang
Psikologi Perkembangan dan Psikologi Sosial, khususnya tentang sikap
laki-laki dan perempuan terhadap perilaku ‘teman tapi mesra’.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi
mengenai adanya perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan terhadap
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERILAKU TTM
1. Pengertian Perilaku TTM
Teman tapi mesra (TTM) merupakan hubungan yang tidak diawali
dengan kata jadian dan biasanya dilakukan tanpa rasa memiliki. Intinya
bisa mesra dan romantis tanpa harus menyandang status sebagai kekasih
atau pacar (Teman tapi Mesra, 2007). Bisa dikatakan TTM adalah suatu
hubungan yang kedua pelakunya tidak mau terikat dengan satu komitmen.
Komitmen adalah salah satu bagian dari cinta, dimana komitmen
adalah suatu elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara
terus-menerus dan tetap ingin menjalankan suatu kehidupan bersama (Sternberg
dalam Santrock, 1995). Maka, dalam hal ini pelaku TTM tidak
memilikinya, walaupun mereka menginginkan sebuah kebersamaan,
namun mereka tidak mempunyai kepastian akan dibawa kemana hubungan
mereka.
Sahabat, pendekatan dan TTM itu berbeda. Sahabat mempunyai
tujuan yang jelas ke depan, karena mereka tahu batasan dan tujuan dari
sebuah hubungan persahabatan, pendekatan juga mempunyai tujuan yang
jelas, karena pada akhirnya seseorang yang melakukan pendekatan pasti
akan menerima suatu keputusan dari orang yang sedang mereka dekati,
ditolak atau diterima cintanya (Sisi Lain, 2007). Sedangkan TTM hanya
ingin menikmati kebersamaan dan perasaan pada saat ini, tidak ada
rencana ke depan yang jelas. Sering terjadi seseorang terlalu cepat
melanggar batasan itu, maksudnya adalah berbuat seolah-olah sudah
menjalani hubungan dalam komitmen, padahal belum ada komitmen
apapun (Sisi Lain, 2007).
Perbedaan antara cinta dan persahabatan dapat dilihat dari skala
menyukai dan mencintai (Santrock, 1995). Menyukai adalah menyadari
bahwa orang lain sama dengan kita. Mencintai adalah percaya dan
melibatkan kedekatan serta ketergantungan. Suatu ketergantungan yang
terkadang tidak mempunyai tujuan dan orientasi yang tetap (Rubin dalam
Santrock, 2005).
Pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan
mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih (KBBI, 2002). Pelaku TTM
tidak memiliki komitmen untuk menjalin hubungan sebagai pacar, karena
mereka bisa memiliki pasangan lebih dari satu. Sternberg (dalam
Tambunan, 2001) mengurai cinta dalam tiga komponen, yaitu intimacy
(kedekatan),passion(gairah), dancommitment(komitmen).
Bagian cinta dalam perilaku TTM yang pertama adalah keintiman
dimana keintiman adalah keinginan untuk membina hubungan.
Ciri-cirinya antara lain seseorang akan merasa dekat dengan seseorang, senang
bercakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila
lama tidak bertemu, dan ada keinginan untuk bergandengan tangan atau
terdapat keintiman karena pelakunya merasa nyaman satu sama lain
(Tambunan, 2001).
Kedua adalah gairah, dimana gairah adalah elemen motivasional
yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Pelaku
TTM mempunyai gairah, dimana mereka melakukan kontak fisik seperti
mencium bahkan berhubungan intim (Tambunan, 2001).
Perilaku TTM tidak mengandung komitmen seperti yang sudah
dijelaskan di atas. Karena tidak ada komitmen maka tidak ada tanggung
jawab atau kewajiban untuk saling menjaga perasaan atau hubungan, maka
hubungan TTM juga bisa berakhir kapan saja. Menurut Dimas (Teman
tapi Mesra, 2007) dalam perilaku TTM tidak ada rasa cemburu dan tidak
ada rasa marah, apabila kita menjadi pelaku TTM kita bebas melakukan
apa saja, karena tidak ada komitmen apapun diantara keduanya. Seperti
yang telah dikatakan oleh Nurdin (2003) bahwa cemburu adalah perasaan
benci kepada orang yang menyaingi atau mengganggu haknya. Pelaku
TTM tidak mempunyai hak untuk saling memiliki, sehingga mereka juga
tidak memiliki rasa cemburu pada pasangan TTM mereka, seperti
pasangan pada umumnya.
Salah satu artikel menuliskan bahwa dalam TTM, pihak laki-laki
pura-pura mencintai untuk mendapatkan tubuh pasangannya. Perempuan
memakai tubuhnya untuk mendapatkan cinta pasangan TTM mereka (Tips
n Trik, 2008). Hal ini membuktikan bahwa dalam TTM terdapat
akhirnya memutuskan untuk berkomitmen. Seperti yang dikatakan oleh
Lexius (Lofiversion, 2008) bahwa banyak pasangan yang awalnya
menjalin TTM dan akhirnya saling mencintai dan tidak menutup
kemungkinan hingga akhirnya menikah.
Pengertian TTM dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa TTM adalah sebuah bentuk hubungan intim yang mengandung
unsur gairah seksual antara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak
mengandung suatu komitmen apapun sehingga pelakunya dapat
mempunyai pasangan lebih dari satu dan tidak terikat satu sama lain.
2. Faktor Penyebab Perilaku TTM
TTM terbentuk karena hubungan antara teman, sahabat dari kecil
atau teman sekolah yang keduanya tidak mau meninggalkan pacar
masing-masing untuk hubungannya, frekuensi pertemuan yang terlalu sering
membuat ketertarikan satu sama lain, hal ini menimbulkan perhatian yang
lebih layaknya orang yang sedang berpacaran (TTM atau Selingkuh,
2007).
Berikut adalah beberapa hal yang menjadi penyebab seseorang
menjadi pelaku TTM (Penyebab TTM, 2006) yaitu :
a. Seseorang yang tidak mau berkomitmen, tetapi membutuhkan orang
dengan peran sebagai pacar.
b. Seseorang yang sudah mempunyai pacar, tetapi mempunyai prinsip
c. Seseorang yang mengalami trauma berpacaran karena takut sakit hati.
d. Seseorang yang belum mempunyai kesadaran tentang sebab akibat dari
TTM.
e. Seseorang yang memakai istilahFriend with benefit,yang mempunyai
arti berteman tapi melakukan hal-hal yang sebenarnya hanya dilakukan
oleh orang-orang yang berpacaran atau berumah tangga.
f. Seseorang yang hanya mengikuti trend.
g. Seseorang yang hanya ingin uji coba dahulu, apakah cocok,
memuaskan atau enggak menjadi pasangan.
B. SIKAP
1. Pengertian Sikap
Dari beberapa sumber, definisi mengenai sikap sangat bervariasi.
Sikap menurut beberapa ahli psikologi sosial berarti kesiapan untuk
bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan
bahwa kesiapan yang dimaksud adalah kecenderungan potensial untuk
bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya respon.
Dengan kata lain sikap adalah pandangan atau perasaan yang
disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tertentu. Sikap
senantiasa diarahkan kepada sesuatu artinya tidak ada sikap tanpa objek.
Sikap diarahkan kepada benda, peristiwa, pandangan, norma dan lain-lain.
dinyatakan dalam kegiatan yang sama dan berulang terhadap objek sosial
dan biasanya dilakukan oleh sekelompok orang atau suatu masyarakat. (2)
sikap individu : dimiliki oleh seseorang bukan oleh kelompok, sikap
individual menyangkut objek-objek yang bukan menjadi perhatian sosial
(Sears, 1996).
Sarwono (1976) memberikan batasan bahwa sikap adalah suatu
tingkatan efek yang bersifat positif atau negatif terhadap objek psikologik
meliputi segala sesuatu yang dapat menimbulkan perasaan tertentu pada
seseorang yang mengamati atau menghayati. Kecenderungan tindakan
positif adalah mendekati, menyenangi atau mengharapkan objek tertentu.
Sebaliknya sikap negatif apabila merupakan kecenderungan tidak
menyenangi, tidak mengharapkan objek tertentu sehingga ingin
menjauhinya.
Menurut LaPierre sikap adalah respon individu terhadap stimulus
sosial yang telah terkondisi (dalam Azwar, 2005). Thurstone berpendapat
bahwa sikap adalah derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu
objek psikologis (Walgito, 1991). Sikap juga dapat didefinisikan sebagai
evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain,
objek atau isu-isu (Petty dkk dalam Azwar, 2005).
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap
seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung atau memihak
tertentu, yang oleh Thurstone diformulasikan sebagai tingkatan afeksi baik
yang positif atau negatif terhadap suatu objek psikologis (Azwar, 2005).
Rokeach (dalam Walgito, 1991) mengemukakan pendapatnya
mengenai sikap yaitu predisposing untuk merespon, dan untuk berperilaku.
Myers berpendapat bahwa sikap merupakan predisposing tehadap objek
termasuk di dalamnya kepercayaan, perasaan, dan tendensi perilaku
mengenai objek itu sendiri. Menurut Gerungan (1981) sikap adalah
kesediaan bereaksi terhadap sesuatu hal. Azwar (2005) juga
mengemukakan pendapatnya bahwa sikap terhadap objek atau perilaku
dipengaruhi oleh keyakinan bahwa objek atau perilaku tersebut akan
membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa pendapat di atas
mengenai sikap yaitu bahwa sikap adalah reaksi terhadap suatu objek yang
meliputi keyakinan, perasaan, dan perilaku sebagai proses evaluasi
terhadap dirinya sendiri, orang lain dan objek itu sendiri sehingga respon
bisa baik atau buruk, positif atau negatif, menerima atau menolak.
2. Struktur Sikap
Berkaitan dengan beberapa pendapat atau definisi mengenai sikap
di atas, pada umumnya sikap mengandung tiga komponen yang
a. Komponen kognitif (komponen perseptual)
Komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,
keyakinan yaitu hal yang berhubungan dengan bagaimana orang
mempersepsi objek sikap. Azwar (2005) berpendapat keyakinan atau
kepercayaan tidak selalu akurat karena terkadang terbentuk justru
karena kurang atau tidak ada informasi yang benar mengenai objek
yang dihadapi.
b. Komponen afektif (komponen emosional)
Komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak
senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal positif,
sedangkan tidak senang merupakan hal negatif. Komponen ini
menunjukkan arah sikap yaitu positif dan negatif. Menurut Azwar
(2005) komponen afektif menyangkut masalah emosional dimana rasa
emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita
percayai sebagai benar dan berlaku bagi objek termaksud.
c. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component)
Komponen yang berhubungan dengan kecenderungan
bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas
sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau
berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Azwar (2005)
mengemukakan bahwa pengertian kecenderungan berperilaku
menunjukkan bahwa komponen konatif meliputi perilaku yang tidak
perilaku yang berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan oleh
seseorang.
3. Analisis Fungsi Sikap
Menurut Walgito (1991) sikap mempunyai empat fungsi yaitu :
a. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat
Fungsi instrumental karena berkaitan dengan sarana dan tujuan,
dimana sikap merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan. Fungsi
manfaat karena berkaitan dengan sejauh mana objek dapat membantu
mencapai tujuannya. Fungsi penyesuaian karena dengan sikap yang
diambil, seseorang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
b. Fungsi pertahanan ego
Merupakan sikap yang diambil untuk mempertahankan ego,
sikap yang diambil saat seseorang dalam keadaan terancam.
c. Fungsi ekspresi nilai
Merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai
yang ada dalam dirinya.
d. Fungsi pengetahuan
Individu mempunyai dorongan untuk ingin mengerti, dengan
4. Ciri-ciri Sikap
Beberapa ciri yang dapat dilihat dari sikap menurut Walgito (1991)
adalah sebagai berikut :
a. Sikap tidak dibawa sejak lahir
Sikap tidak dibawa sejak individu dilahirkan, sikap terbentuk
dalam perkembangan individu yang bersangkutan. Karena sikap itu
terbentuk atau dibentuk, maka sikap dapat dipelajari dan karenanya
sikap itu dapat berubah.
b. Sikap selalu berhubungan dengan objek sikap
Sikap selalu terbentuk dalam hubungannya dengan objek-objek
tertentu melalui proses persepsi terhadap objek tersebut. Hubungan
positif atau negatif antara individu dengan objek tertentu akan
menimbulkan sikap tertentu pula dari individu terhadap objek tersebut.
c. Sikap dapat tertuju pada satu objek saja, tetapi juga dapat tertuju pada
sekumpulan objek-objek
Bila seseorang mempunyai sikap negatif terhadap orang lain,
maka orang tersebut akan cenderung menunjukkan sikap negatif pula
terhadap kelompok dimana orang lain tersebut tergabung di dalamnya.
Ada kecenderungan untuk menggeneralisasikan objek sikap.
d. Sikap dapat berlangsung lama atau sebentar
Kalau sikap telah terbentuk dan telah merupakan nilai dalam
diri orang yang bersangkutan. Sikap akan mudah berubah apabila sikap
itu belum begitu mendalam ada dalam diri seseorang.
e. Sikap mengandung faktor perasaan dan motivasi
Faktor perasaan, sikap terhadap objek akan selalu diikuti oleh
perasaan positif atau negatif.
Faktor motivasi, sikap mempunyai daya dorong bagi individu
untuk berperilaku secara tertentu terhadap objek yang dihadapinya.
C. SIKAP TERHADAP PERILAKU TTM
Perilaku TTM adalah suatu bentuk hubungan intim yang mengandung
unsur gairah seksual antara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak mengandung
suatu komitmen apapun sehingga pelakunya dapat mempunyai pasangan lebih
dari satu dan tidak terikat satu sama lain.
Data yang diperoleh tim Muda harian Kompas dengan mahasiswa
sebagai respondennya menyatakan bahwa 57 % responden pernah melakukan
TTM dan sisanya belum pernah. 22% responden mengatakan ingin mencoba
TTM sementara 44% mengatakan tidak ingin. Polling dari Harian Kompas
tersebut juga mengungkap reaksi responden terhadap TTM tersebut bahwa
yang mengatakan TTM itu menyenangkan ada 27%, 57% responden memilih
pacaran, 2% memilih menikah, 14% tidak menjawab (TTM atau Selingkuh,
2007).
Data tersebut di atas menunjukkan bahwa perilaku TTM bukan lagi
reaksi tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa perilaku TTM ini juga masih
menimbulkan pro dan kontra. Terutama di kalangan mahasiswa yang sudah
memasuki usia dewasa dini.
Ditinjau dari strukturnya, sikap terhadap perilaku TTM mengandung
tiga komponen struktur sikap (Walgito, 1991) yaitu :
1. Komponen kognitif (komponen perseptual)
Komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,
keyakinan yaitu hal yang berhubungan dengan bagaimana orang
mempersepsi perilaku TTM.
2. Komponen afektif (komponen emosional)
Komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak
senang terhadap perilaku TTM.
3. Komponen konatif (komponen perilaku)
Komponen yang berhubungan dengan kecenderungan subjek untuk
mempraktekkan perilaku TTM.
Dari ketiga komponen dapat disimpulkan bahwa sikap perilaku TTM
adalah suatu kesiapan untuk mengadakan evaluasi positif atau negatif, senang
atau tidak senang terhadap perilaku tersebut yang akhirnya menimbulkan
D. DEWASA DINI
1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Dini
Dewasa dikenal juga dengan istilah adultus yang berasal dari bahasa Latin. Adultus berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Dewasa juga
dikenal dengan istilah Volwassen yang berasal dari bahasa Belanda, yang berarti sudah tumbuh dengan penuh atau selesai tumbuh (Monks dkk,
2002). Hurlock (2000) berpendapat bahwa orang dewasa adalah orang
yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan
dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya.
Masa dewasa merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola
kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru (Hurlock, 2000).
Penyesuaian diri ini merupakan periode yang sulit dalam rentang
kehidupan seseorang, karena sebelum memasuki masa ini sebagian orang
memiliki orangtua, guru dan teman yang menolong mereka dalam
menyesuaikan diri dan sekarang mereka harus bisa menyesuaikan diri
secara mandiri.
Santrock (2005) berpendapat orang dewasa termasuk dalam masa
transisi, baik transisi secara fisik, intelektual dan peran sosial. Santrock
(2005) juga berpendapat bahwa dewasa sedang mengalami peralihan dari
masa remaja untuk memasuki masa tua. Banyak hal yang berubah seiring
dengan masuknya individu ke masa dewasa. Orang dewasa mulai harus
membentuk nilai-nilai baru dan menyesuaikan diri dengan terjadinya
Hurlock (2000) mengemukakan batasan dewasa yaitu dimulai
ketika seseorang berusia 18 tahun. Secara hukum seseorang dikatakan
dewasa bila sudah 21 tahun (meskipun belum menikah) atau sudah
menikah (meskipun belum 21 tahun). Batasan ini tidak bersifat mutlak dan
ketat. Batasan ini hanya umur rata-rata pria dan wanita mulai
menunjukkan perubahan dalam penampilan, minat, sikap dan perilaku
(Dariyono, 2003).
Agus Dariyo menyatakan bahwa mereka yang termasuk dalam
golongan dewasa muda (young adulthood) ialah mereka yang berusia
20-40 tahun. Papalia, Olds dan Feldman menyatakan bahwa golongan dewasa
muda berkisar antara 21-40 tahun (Dariyo dalam Wulansari, 2005). Masa
remaja akhir atau masa dewasa muda adalah antara usia 18-21 tahun
dimana remaja yang mengikuti pendidikan tinggi (Monks dkk, 2002).
UU Perkawinan Indonesia tahun 1974 pasal 7 mengemukakan
persyaratan seseorang untuk menikah. Adapun persyaratannya adalah
untuk pria berusia 19 tahun ke atas dan untuk wanita berusia 16 tahun ke
atas. Terkait dengan pendapat Hurlock tentang ciri masa dewasa yaitu
masa berkomitmen, batasan usia menikah dalam UU Perkawinan
Indonesia membentuk salah satu batasan usia tentang dewasa, yaitu untuk
pria dimulai pada usia 19 tahun dan wanita dimulai usia 16 tahun (Seri
2. Ciri Dewasa Dini
Menurut Hurlock (2000), masa dewasa dini adalah masa
penyesuaian diri terhadap pola hidup yang baru dan harapan sosial baru,
dalam hal ini mereka diharapkan mampu mengembangkan sikap baru
dengan kemandirian. Berikut ciri-ciri dalam tahun-tahun masa dewasa dini
(Hurlock, 2000):
a. Masa dewasa dini sebagai masa pengaturan
Masa pengaturan berarti mereka menerima tanggungjawab
sebagai orang dewasa, dalam hal ini mereka menemukan pola hidup
dan nilai yang akan menjadi kekhasan mereka. Mereka mencoba
berbagai pilihan dalam pekerjaan dan pasangan hidup.
b. Masa dewasa dini sebagai usia reproduktif
Masa penentuan peran, seperti menikah dan menjadi orangtua.
c. Masa dewasa dini sebagai masa bermasalah
Merupakan masa bermasalah karena mereka kurang
mempunyai persiapan dalam menghadapi masalah yang perlu diatasi
sebagai orang dewasa. Mereka sering mencoba hal-hal baru secara
bersamaan, itu mengakibatkan mereka kurang fokus sehingga mereka
mengalami kegagalan. Mereka menghadapi masalah tanpa bantuan
dari orang lain, karena mereka dianggap bisa mengatasi masalahnya
d. Masa dewasa dini sebagai masa ketegangan emosional
Masalah-masalah yang menimpanya sering mengakibatkan
mereka terganggu secara emosional, sehingga mereka memikirkan atau
mencoba bunuh diri.
e. Masa dewasa dini sebagai masa keterasingan sosial
Mereka mempunyai semangat bersaing dan hasrat untuk maju
dalam karir, sehingga mereka hanya menyisakan sedikit waktu untuk
bersosialisasi.
f. Masa dewasa dini sebagai masa komitmen
Mereka mempunyai tanggungjawab baru dalam menentukan
pola hidup baru dan komitmen baru.
g. Masa dewasa dini sering merupakan masa ketergantungan
Merupakan masa ketergantungan karena mereka yang belum
siap untuk mandiri, masih menggantungkan diri pada orangtua mereka.
h. Masa dewasa dini sebagai masa perubahan nilai
Perubahan nilai terjadi karena mereka mulai menemukan
nilai-nilai baru, karena mereka ingin dianggap sama oleh kelompoknya.
Mereka juga menganggap nilai-nilai yang telah ada sudah ketinggalan
jaman atau konvensional.
i. Masa dewasa dini sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup
Gaya hidup baru menonjol dalam hidup mereka baik dalam
bidang perkawinan, pekerjaan maupun penyesuaian diri pada pola
peran seks.
j. Masa dewasa dini sebagai masa kreatif
Mereka menganggap orang dewasa tidak terikat lagi pada
aturan-aturan orangtua dan guru. sehingga mereka lebih bebas dalam
mengaktualisasikan diri mereka.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa masa dewasa dini
merupakan masa pengambilan tanggung jawab baru dan nilai-nilai baru,
dengan demikian mereka mempunyai kemampuan untuk menentukan gaya
hidup baru dengan pola-pola hidup baru yang nantinya akan mereka jalani.
Mereka sedikit demi sedikit mulai meninggalkan pola hidup lama yang
selama ini mereka ketahui dari orang-orang terdekat mereka.
3. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Dini
Tugas perkembangan pada masa ini terpusat pada harapan
masyarakat, mencakup mendapatkan pekerjaan, memilih teman hidup,
membentuk keluarga dan mengelola rumah tangga, dan menerima
tanggungjawab sebagai warga negara serta bergabung dalam kelompok
sosial yang sesuai (Hurlock, 2000).
Salah satu kriteria yang menunjukkan permulaan dari masa dewasa
dini adalah kemandirian dalam mengambil keputusan. Hal ini berarti
gaya hidup. Individu yang beranjak dewasa biasanya membuat keputusan
tentang hal-hal yang berhubungan dengan berbagai gaya hidup dan
mempertimbangkan berbagai hubungan yang ada (Santrock, 2002).
4. Perbedaan Laki-laki dan Perempuan
Perbedaan laki-laki dan perempuan yang paling terlihat adalah dari
segi fisik, juga dari segi sifat maupun karakteristiknya. Terlihat dari
perbedaan biologisnya, laki-laki dan perempuan membentuk sifat alami
maskulin dan feminim yang kemudian diikuti juga dengan perbedaan sifat
laki-laki maupun perempuan (Megawangi, 1999).
Perempuan diberikan kodrat untuk mengalami proses reproduksi
yang meliputi pengalaman hamil, melahirkan dan menyusui. Kodrat
tersebut menimbulkan naluri keibuan dalam diri perempuan. Sehingga
kaum perempuan mempunyai ikatan emosional antara ibu dan anak,
sedangkan laki-laki tidak mengalami hal-hal tersebut di atas.
Lips (1988) berkata bahwa laki-laki dan perempuan diharapkan
untuk mempelajari aspek yang berbeda dalam membina hubungan dengan
orang lain. Perempuan lebih memperhatikan hubungan pribadi, bahkan
pribadi menjadi prioritas dan penting dalam hidup. Hal ini membuat
adanya pembentukan sifat mendukung dengan empati, memelihara,
pengungkapan perasaan dan peka dalam diri perempuan. Laki-laki
cenderung lebih mandiri, percaya diri, tegas, dan mempunyai orientasi
disukai oleh individu. Perempuan lebih menyukai aktivitas yang
mempunyai sifat kedektan, sedangkan laki-laki lebih menyukai aktivitas
yang bersifat petualangan.
Perempuan lebih toleran terhadap aturan, sehingga perempuan
lebih mampu menaati peraturan dibandingkan dengan laki-laki (Piaget
dalam Giligan, 1997). Dalam berhubungan dengan orang lain, perempuan
lebih memusatkan perhatian secara pribadi dan lebih melibatkan
emosionalnya dengan orang lain. Sedangkan laki-laki dalam hubungannya
dengan orang lain lebih mementingkan pada pencapaian tujuan dan
sasaran mereka (Engly dan Crowly dalam Widiarto, 2005). Jadi,
perempuan lebih memiliki hubungan yang dekat secara afektif dengan
orang lain dibandingkan dengan laki-laki. Dari beberapa pendapat para
ahli di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa perempuan lebih perhatian
dan lebih mementingkan hubungan secara pribadi dibandingkan dengan
laki-laki.
Laki-laki cenderung diberikan kesempatan yang lebih besar
dibandingkan dengan perempuan baik dalam hal pekerjaan, politik,
organisasi dan pergaulan antar jenis. Laki-laki juga lebih bebas melakukan
segala sesuatu termasuk hal-hal yang berhubungan dengan pacaran.
Masyarakat cenderung memberikan sangsi yang lebih longgar kepada
laki-laki daripada kepada perempuan saat mereka melakukan hal-hal yang tidak
Laki-laki cenderung serba boleh, bisa bersikap ekstrim, dan lebih terbuka
dalam hal persoalan sosial (Sarwono, 2001), termasuk perilaku TTM.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
ada beberapa hal yang membedakan laki-laki dan perempuan, baik dari
segi fisik, norma, sosial, dan sifat. Segi fisik, laki-laki cenderung maskulin
dan perempuan cenderung feminim. Untuk norma dalam masyarakat,
cenderung lebih mengikat terhadap perempuan daripada terhadap laki-laki.
Masyarakat cenderung memberikan kelonggaran sangsi kepada laki-laki
daripada perempuan, ketika mereka melakukan hal-hal yang kurang sesuai
dengan norma dan adat serta aturan dalam masyarakat. Dari segi sosial,
perempuan lebih mementingkan kedalaman hubungan, sedangkan laki-laki
cenderung mementingkan tujuan dari hubungan itu sendiri. Kondisi ini
membentuk emosi dan sifat pada laki-laki yang cenderung mandiri, keras,
tegas dan lebih terbuka, sedangkan perempuan lebih peka, lebih berempati,
perasa dan lebih toleran terhadap norma yang ada.
E. PERBEDAAN SIKAP LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP
PERILAKU TTM
Hurlock (2000) berpendapat bahwa pada garis besarnya perbedaan
sikap dewasa dini laki-laki dan perempuan disebabkan karena adanya
pembentukan sikap yang dilakukan oleh masyarakat, berbeda sejak masa
kanak-kanak. Laki-laki dalam norma-norma masyarakat mempunyai
pekerjaan, politik, organisasi maupun dalam pergaulan dengan lawan jenis
(Hurlock, 2003). Kaum laki-laki termasuk juga dewasa dini lebih bebas
melakukan segala sesuatu termasuk hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku TTM.
Masyarakat memberikan sangsi yang lebih longgar pada laki-laki
daripada perempuan yang melakukan perilaku di luar norma masyarakat
termasuk perilaku TTM. Masyarakat menuntut perempuan lebih bermoral
dalam tingkah laku (termasuk dalam bersikap), tentunya perempuan lebih
bersikap tidak setuju terhadap perilaku TTM. Perilaku TTM mengandung
unsur perilaku seksual pranikah, dimana pelakunya dapat berciuman sampai
berhubungan intim dengan pasangan TTM mereka. Norma-norma dalam
masyarakat umumnya menuntut kesucian seorang perempuan saat memasuki
pernikahan. Perasaan aman yang dirasakan laki-laki, berpengaruh juga karena
orang lain tidak akan mengerti apakah dirinya masih perjaka atau tidak.
Perlakuan dari masyarakat tersebut, membuat laki-laki akan merasa lebih
bebas dalam bertingkah laku (termasuk dalam bersikap) yang berkaitan
dengan masalah seksual. Hurlock (2000) mengemukakan bahwa perasaan
superioritas maskulin pada laki-laki mendorong mereka merasa memiliki
sikap yang lebih unggul daripada perempuan.
Laki-laki mempelajari masalah seksualitas karena merupakan salah
satu cara untuk menunjukkan kejantanannya, sementara pada perempuan
seksualitas lebih dikaitkan dengan cinta (Sarwono, 2001). Kondisi ini tentu
dalamnya mengandung unsur perilaku seksual pranikah. Laki-laki lebih
berpikir langsung dan tidak takut resiko, sedangkan perempuan memerlukan
proses dan lebih memikirkan resiko yang akan mereka tanggung. Faktor selain
penggolongan peran seks, juga karena berkaitan dengan norma-norma
masyarakat yang lebih longgar bagi laki-laki daripada perempuan (termasuk
usia dewasa dini). Besar kemungkinan bagi laki-laki untuk melakukan
berbagai hal daripada perempuan (Sarwono, 2001).
Akibat dari perilaku seksual pranikah misalnya, akan lebih berdampak
bagi kaum perempuan daripada kaum laki-laki seperti perasaan bersalah,
depresi, marah atau terpaksa menggugurkan kandungan. Akibat psikososial
lainnya adalah ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial jika
seorang gadis tiba-tiba hamil (Sarwono, 2001).
Sarwono (2001) menegaskan bahwa sikap laki-laki dan perempuan
dalam hal perilaku seksual pranikah sangat berbeda. Laki-laki lebih serba
boleh, lebih ekstrim dan lebih terbuka dalam hal perilaku seksual pranikah.
Perempuan lebih tidak tahu-menahu, lebih berhati-hati dan lebih malu-malu.
Laki-laki umumnya mempunyai waktu yang lebih lama di luar rumah dan
bergabung dengan anggota sebayanya yang sering mempunyai norma yang
dibuatnya sendiri. Hal tersebut membuat laki-laki lebih terbuka terhadap
perilaku TTM dan perempuan cenderung tertutup dalam melihat perilaku
TTM.
Hubungan dalam keluarga, biasanya perempuan akan lebih dibatasi
mengakibatkan perempuan menjadi lebih tertutup dibandingkan dengan
laki-laki yang cenderung lebih terbuka. Sikap laki-laki-laki-laki lebih terbuka sehingga lebih
permisif terhadap perilaku TTM karena mereka lebih menerima perilaku seksual pranikah. Sikap laki-laki lebih terbuka, lebih terang-terangan, dan
lebih bebas daripada perempuan yang bersikap konservatif dan kolot (Corake
dan James dalam Borotoding, 2004).
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diasumsikan bahwa laki-laki
mempunyai sikap yang lebih positif atau lebih mendukung perilaku TTM,
sedangkan perempuan mempunyai sikap negatif atau tidak mendukung
Karakteristik Laki-laki
Fisik Psikis Harapan Sosial
Karakteristik Perempuan
Fisik Psikis Harapan Sosial
Efek pada Laki-laki
Fisik Psikis Harapan Sosial
Efek pada Perempuan
Fisik Psikis Harapan Sosial
Skema Perbedaan Sikap antara Laki-laki dan Perempuan terhadap Perilaku TTM
: Karakteristik Laki-laki dan Perempuan terhadap Perilaku TTM : Efek Perilaku TTM terhadap Laki-laki dan Perempuan
Tidak
TTM adalah sebuah bentuk hubungan intim yang mengandung unsur gairah seksual antara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak mengandung suatu
komitmen apapun sehingga pelakunya dapat
mempunyai pasangan lebih dari satu dan tidak terikat satu sama lain
Patuh pada norma yang sudah ada
Perlakuan lebih ketat
Kesempatan lebih kecil
Patuh pada aturan
Tidak
Tidak terlalu sakit hati saat ditinggalkan
Lebih sakit hati saat ditinggalkan
Lebih tertutup
Lebih malu-malu
Lebih berhati-hati dalam bertindak
Mendukung perilaku TTM Tidak mendukung perilaku TTM
F. HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Ada perbedaan sikap antara
laki dan perempuan terhadap perilaku ‘teman tapi mesra’, dimana
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian komparatif dengan
menggunakan metode skala. Penelitian ini termasuk penelitian komparatif
karena ingin melihat apakah ada perbedaan sikap antara laki-laki dan
perempuan terhadap perilaku TTM.
B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Variabel dalam penelitian ini merupakan faktor-faktor yang berperan
dalam peristiwa atau gejala yang menjadi objek pengamatan peneliti. Variabel
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Bebas (Independent Variable)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis kelamin yaitu laki-laki
dan perempuan.
2. Variabel Tergantung (Dependent Variable)
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sikap terhadap perilaku
TTM.
C. DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional variabel penelitian ini dimaksudkan untuk
membatasi arti variabel sehingga tidak terjadi salah pengertian dalam
menginterpretasikan data-data hasil yang diperoleh. Adapun definisi
operasional variabel-variabel yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Sikap terhadap perilaku ‘teman tapi mesra’ (TTM) dapat diartikan sebagai
bentuk reaksi laki-laki dan perempuan dewasa dini terhadap perilaku TTM
yaitu sebuah bentuk hubungan intim yang mengandung unsur gairah
seksual antara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak mengandung suatu
komitmen apapun sehingga pelakunya dapat mempunyai pasangan lebih
dari satu dan tidak terikat satu sama lain.
Sikap terhadap perilaku TTM dapat dilihat dari skor total subjek pada
skala sikap. Skor total tinggi menunjukkan reaksi positif yang berarti
laki-laki atau perempuan dewasa dini mendukung perilaku TTM, sedangkan
skor total rendah menunjukkan reaksi negatif yang berarti laki-laki atau
perempuan dewasa dini tidak mendukung perilaku TTM. Sikap terhadap
perilaku TTM memiliki tiga aspek yaitu :
a. Aspek Kognitif (pengetahuan dan keyakinan individu terhadap
perilaku TTM)
b. Aspek Afeksi (perasaan individu terhadap perilaku TTM)
c. Aspek Konatif (kecenderungan individu untuk melakukan praktek
yang berhubungan dengan perilaku TTM)
2. Jenis kelamin adalah ciri-ciri biologis manusia berdasarkan alat kelamin,
yaitu laki-laki dan perempuan. Hal tersebut diungkap melalui identitas
subjek yang telah diisi pada kolom jenis kelamin dalam skala sikap
D. SUBJEK PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah mereka yang berjenis kelamin
laki-laki dan perempuan dan memasuki usia dewasa dini dan belum menikah.
Dewasa dini dianggap cocok digunakan sebagai subjek dalam peneltian
karena usia ini merupakan masa dimana mereka mencapai peran jenisnya
sebagai laki-laki dan perempuan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki karakteristik di bawah ini, yaitu :
1. Sudah lulus SMU dengan asumsi individu yang telah lulus SMU sudah
cukup dewasa dan mampu mempresentasikan nilai-nilai kehidupan
menurut diri sendiri, dan pengaruh dari teman relatif berkurang.
2. Lajang atau belum menikah, karena keprihatinan peneliti melihat pelaku
TTM yaitu bahwa seseorang menjadi tidak terbiasa untuk berkomitmen
sehingga dapat menghambat kesiapannya untuk masuk dalam jenjang
pernikahan.
3. Sudah pernah berpacaran, dengan asumsi bahwa orang yang sudah pernah
berpacaran bisa membandingkan antara berperilaku TTM yang tidak
mempunyai komitmen dengan berpacaran yang notabene mempunyai
komitmen.
E. PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur atau langkah-langkah dalam penelitian ini adalah :
1. Mempersiapkan skala sikap terhadap perilaku TTM yang terdiri dari
metode rating (summated rating) dan memiliki empat alternatif jawaban untuk setiap item.
2. Melakukan uji coba (try out) skala sikap pada sekelompok subjek yang memiliki karakteristik sama dengan subjek penelitian.
3. Melakukan validitas dan reliailitas skala sikap terhadap perilaku TTM.
4. Menetapkan subjek penelitian.
5. Metode pengumpulan data akan dilakukan dengan menyebarkan alat ukur
penelitian berupa skala sikap terhadap perilaku TTM yang telah dibuat
oleh peneliti untuk diisi oleh subjek penelitian.
6. Analisis data. Data yang sudah terkumpul akan dianalisi dengan
menggunakan uji t untuk mengetahui perbedaan sikap.
7. Melakukan pembahasan dan membuat kesimpulan mengenai hasil
penelitian.
F. PRELIMINARY STUDY
Perilaku ‘teman tapi mesra’ (TTM) adalah istilah yang popular dan
belum ada kajian pustaka yang jelas, oleh sebab itu banyak
pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat yang berbeda mengenai perilaku TTM.
Definisi perilaku TTM dalam penelitian ini adalah sebuah bentuk hubungan
intim yang mengandung unsur gairah seksual antara laki-laki dan perempuan,
tetapi tidak mengandung suatu komitmen apapun sehingga pelakunya dapat
Definisi TTM tersebut mengandung tiga komponen yaitu tanpa
komitmen, gairah seksual dan keintiman. Peneliti menyimpulkan ketiga
komponen perilaku TTM yaitu hubungan cinta tanpa komitmen pacaran.
Peneliti membuat definisi operasional perilaku TTM menjadi hubungan cinta
tanpa komitmen karena dalam definisi cinta terdapat tiga komponen yaitu
keintiman, gairah dan komitmen, sedangkan dalam TTM tidak ada komitmen.
Sebelum kesimpulan dari ketiga komponen tersebut diwujudkan dalam sebuah
bentuk item, maka peneliti melakukanpreliminary studyuntuk melihat apakah subjek mempunyai persepsi yang sama dengan peneliti mengenai definisi
operasional dari perilaku TTM, dan memastikan pemahaman mahasiswa
mengenai cinta, pacaran dan komitmen. Preliminary studydilakukan pada 12 mahasiswa dan mahasiswi Universitas Sanata Dharma, dengan lokasi warung
internet di sekitar kampus Universitas Sanata Dharma, berikut hasil
preliminary :
Tabel 1
Hasil Preliminary
No Pertanyaan Jawaban
1. Arti hubungan cinta
Subjek 1 Hubungan cinta sama dengan pacaran Subjek 2 Sama artinya dengan pacaran
Subjek 3 Pacaran masuk dalam hubungan cinta
Subjek 4 Pacaran
Subjek 5 Pacaran
Subjek 6 Hubungan cinta ya pacaran
Subjek 8 Layaknya hubungan pacaran Subjek 9 Sama kaya’ pacaran
Subjek 10 Pacaran Subjek 11 Ya pacaran itu Subjek 12 Pacaran 2 Apa arti pacaran
Subjek 1 Jadian untuk berpasangan
Subjek 2 Menjalin cinta dengan lawan jenis Subjek 3 Hubungan cinta dengan lawan jenis Subjek 4 Percintaan dengan lawan jenis Subjek 5 Mempunyai satu pasangan cinta Subjek 6 Berkasih-kasihan
Subjek 7 Hubungan kekasih dengan lawan jenis
Subjek 8 Hubungan pacaran sama dengan hubungan cinta Subjek 9 Mempunyai pasangan kekasih
Subjek 10 Menjalin kasih
Subjek 11 Pasangan cinta yang tetap Subjek 12 Menjalin cinta
3 Dalam pacaran apa boleh mempunyai pasangan lawan jenis lebih dari satu
Subjek 1 Tidak
Subjek 2 Tidak
Subjek 3 Tergantung kesepakatan
Subjek 4 Tidak
Subjek 5 Tidak boleh
Subjek 6 Tidak boleh karena hanya satu pasangannya
Subjek 7 Tidak
Subjek 8 Tidak diperkenankan
Subjek 9 Tidak boleh
Subjek 10 Pasangannya tetap cuma satu
Subjek 12 Tidak boleh
4 Apa yang ada dalam hubungan pacaran
Subjek 1 Persetujuan kedua belah pihak, gairah seksual Subjek 2 Boleh mencium tapi dengan kesepakatan Subjek 3 Kesepakatan dan unsur keintiman seksual Subjek 4 Kesepakatan dan keintiman seksual Subjek 5 Gairah seksual, komitmen dan keintiman Subjek 6 Komitmen, perilaku seksual
Subjek 7 Perlakuan seksual karena ada kesepakatan Subjek 8 Ciuman, pelukan yang ada karena komitmen Subjek 9 Kesepakatan dan perilaku seksual
Subjek 10 Komitmen
Subjek 11 Perilaku seksual dan komitmen Subjek 12 Komitmen dan gairah seksual 5 Apa arti komitmen
Subjek 1 Kesepakatan dua belah pihak
Subjek 2 Kesepakatan
Subjek 3 Persetujuan dua belah pihak Subjek 4 Persetujuan atau kesepakatan
Subjek 5 Perjanjian atau kesepakatan dua belah pihak Subjek 6 Kesepakatan untuk pacaran
Subjek 7 Persetujuan atau kesepakatan dalam berhubungan Subjek 8 Persetujuan dua belah pihak tentang hubungan mereka Subjek 9 Kesepakatan dua belah pihak untuk pacaran
Subjek 10 Perjanjian tentang apapun dari hubungan tersebut Subjek 11 Kesepakatan dua belah pihak untuk pacaran Subjek 12 Kesepakatan antara kedua belah pihak 6 Apa arti komitmen pacaran
Subjek 3 Persetujuan dua belah pihak untuk pacaran Subjek 4 Persetujuan atau kesepakatan berpacaran Subjek 5 Perjanjian atau kesepakatan dua belah pihak Subjek 6 Kesepakatan untuk pacaran
Subjek 7 Persetujuan atau kesepakatan dalam berhubungan Subjek 8 Persetujuan dua belah pihak tentang hubungan mereka Subjek 9 Kesepakatan dua belah pihak untuk pacaran
Subjek 10 Perjanjian tentang apapun dari hubungan tersebut Subjek 11 Kesepakatan dua belah pihak untuk pacaran Subjek 12 Kesepakatan antara kedua belah pihak
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil preliminary study adalah
bahwa definisi hubungan cinta menurut subjek adalah pacaran, dan menurut
mereka pacaran adalah bermesraan dengan lawan jenis karena mengandung
unsur keintiman. Menurut kebanyakan subjek, pacaran hanya mempunyai satu
pasangan tetap karena ada komitmen dimana pasangan tersebut mempunyai
kesepakatan untuk berpacaran satu sama lain. Kebanyakan subjek mengatakan
bahwa dalam pacaran ada unsur gairah seksual karena dimungkinan terjadinya
kontak seksual.
Berdasarkan kesimpulan di atas operasionalisasi definisi konseptual
dari perilaku TTM yaitu hubungan cinta tanpa komitmen pacaran dapat
diterima dan diwujudkan dalam bentuk item yang akan dipakai pada skala
G. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA
Alat ukur yang dipakai untuk mengumpulkan data penelitian ini berupa
skala. Metode skala digunakan untuk mengungkapkan atau mendapatkan data
mengenai variabel-variabel dalam penelitian ini, yaitu sikap terhadap perilaku
TTM.
Pada skala sikap terhadap perilaku TTM terdapat pernyataanfavorable
dan pernyataan unfavorable dalam jumlah yang seimbang. Pernyataan
favorable adalah pernyataan yang mendukung secara teknis atau memihak objek (sikap) yang akan diukur, sebaliknya pernyataan yang tidak mendukung
atau kontra terhadap objek (sikap) yang diukur disebut pernyataan
unfavorable.
Setiap butir item memuat empat kategori jawaban yaitu Sangat Setuju
(SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Penilaian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk pernyataan favorable pilihan Sangat Setuju (SS) diberi skor 4, Setuju (S) diberi skor 3, Tidak Setuju (TS) diberi skor 2 dan Sangat Tidak
Setuju (STS) diberi skor 1.
b. Untuk pernyataan unfavorable pilihan Sangat Setuju (SS) diberi skor 1, Setuju (S) diberi skor 2, Tidak Setuju (TS) diberi skor 3 dan Sangat Tidak
Setuju (STS) diberi skor 4.
Skor untuk tiap-tiap item pada skala dijumlahkan sehingga menjadi
bahwa subjek mendukung perilaku TTM dan sebaliknya skor yang rendah
menunjukkan bahwa subjek tidak mendukung perilaku TTM.
Ditiadakannya pilihan alternatif jawaban Ragu-ragu (R) didasarkan
pada tiga alasan pokok (Hadi, 1991) bahwa :
1. Mempunyai arti ganda. Bisa diartikan belum dapat memutuskan atau
memberi jawaban, bisa juga diartikan netral, setuju tidak, tidak setuju juga
tidak.
2. Menimbulkan kecenderungan menjawab ke tengah, terutama bagi mereka
yang ragu-ragu atas kecenderungan jawabannya.
3. Maksud kategorisasi jawaban SS-S-TS-STS adalah untuk melihat
kecenderungan pendapat responden, ke arah setuju atau ke arah tidak
setuju.
Berikut sebaran item pada ketiga komponen sesuai favorable dan
unfavorable:
Tabel 2
Blue Print Skala Sikap Sebelum Uji Coba
Nomor Item
H. PERTANGGUNGJAWABAN ALAT UKUR
1. Validitas Isi
Penelitian ini menggunakan validitas isi, yaitu pengujian validitas
dengan analisis rasional atau melalui Profesional Judgement yaitu dosen
pembimbing skripsi (Azwar, 2002). Validitas isi alat ukur dimaksudkan
untuk mengetahui sejauh mana item-item dalam alat ukur tersebut
mencakup seluruh kawasan isi objek yang hendak diukur (Azwar, 2002).
Analisis rasional pada alat ukur dilakukan untuk melihat kesesuaian antara
item-item dalam suatu skala dengan aspek-aspek yang bersangkutan.
Validitas isi akan tercapai apabila item-item pada suatu alat ukur telah
dianggap mampu mengukur aspek-aspek yang relevan.
2. Analisis Item
Analisis item dilakukan dengan cara menghitung korelasi item
total (rix) dengan menggunakan batasan rix= 0,3, yang berarti item dengan
nilai rix > 0,3 dianggap layak atau baik, sedangkan item dengan nilain rix<
0,3 dianggap gugur. Batasan 0,3 digunakan karena dalam pengembangan
dan penyusunan skala-skala psikologi digunakan harga koefisien korelasi
yang minimal sama dengan 0,3 (Azwar, 2002).
Pengujian kesahihan menghasilkan rix terendah 0,156 sampai
dengan yang tertinggi 0,780. Dari 43 item skala sikap terhadap perilaku
TTM menghasilkan 3 item yang gugur yaitu item nomor 14, 20 dan 35.
favorable, 1 item dari komponen kognitif unfavorable dan 1 item dari
komponen afektif unfavorable. Sebaran item yang sahih dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 3
Blue Print Skala Sikap Setelah Uji Coba
Nomor Item
Jumlah 21 19 40
Dari 40 item yang lolos seleksi tersebut kemudian disusun
kembali menjadi skala baru untuk penelitian. Sebaran item yang telah
disesuaikan dapat dilihat pada table berikut :
Tabel 4
Blue Print Skala Sikap Penelitian
Nomor Item