• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN SIKAP ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PERILAKU ‘TEMAN TAPI MESRA’

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN SIKAP ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PERILAKU ‘TEMAN TAPI MESRA’"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU ‘TEMAN TAPI MESRA’

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

OLEH :

AJENG WIDHA PARAMITHA NIM : 029114077

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PERILAKU ‘TEMAN TAPI MESRA’

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

OLEH :

AJENG WIDHA PARAMITHA NIM : 029114077

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

And now these three remain

Faith, hope and love.

But the greatest of these is

Love.

(Corinthians 13:13)

There can be miracle, when you believe…

Kupersembahkan karya ini untuk :

Yesus Kristus dan Bunda Mariaku atas berkat, rahmat serta penyertaan-Nya

Mama dan Papa terkasih, yang oleh mereka aku dibimbing

Mbah Yut, Mbah Kung dan Mbah Ti, karena selalu mendukungku

Adikku tercinta, yang selalu buat hariku cerah ceria

(6)
(7)

vi

Terhadap Perilaku ‘Teman Tapi Mesra’

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan terhadap perilaku ‘Teman Tapi Mesra’. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu, ada perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan terhadap perilaku ‘Teman Tapi Mesra’, laki-laki lebih mendukung perilaku ‘Teman Tapi Mesra’ daripada perempuan.

Jenis penelitian ini termasuk penelitian komparatif. Subjek penelitian ini berjumlah 82 orang, yang terdiri dari 45 orang laki-laki dan 37 orang perempuan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan memberikan sejumlah Skala Sikap Terhadap Perilaku ‘Teman Tapi Mesra’ kepada subjek untuk diisi. Skala sikap yang diberikan telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data penelitian dianalisis denganIndependent Sample t-testdari programSPSS for Windows versi 13.00.

Hasil analisis uji-t menunjukkan nilai t = 14,912 dengan probabilitas 0,000

(ρ < 0,05). Mean subjek laki-laki adalah 105,02 dan mean subjek perempuan adalah 68,51. Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan terhadap perilaku ‘Teman Tapi Mesra’, dimana laki-laki lebih mendukung perilaku ‘Teman Tapi Mesra’ daripada perempuan.

(8)

vii

This research aimed to find the difference of attitude between men and women toward the ‘Teman Tapi Mesra’ behavior. The hypothesis of this research was there are difference of attitude between men and women toward the ‘Teman Tapi Mesra’ behavior, men have more permissive attitude than women do.

This type is a comparative study. The subjects of research was 82 people, consist of 45 men and 37 women. The method of collecting data was done by giving a scale to the subject, called the attitude scale of toward the ‘Teman Tapi Mesra’ behavior. The validity and reliability of the scale had been tested before. The research data was analyzed by Independent Sample t-test of SPSS program for Windows 13.00 version.

The result from t-test showed the value of t-test equal to 14,912 with the probability of 0,000 (ρ < 0,05). Mean of the men was 105,02 ; while mean of women was 68,51. Based on this result of data analysis, it can be concluded that there was differences of attitude between men and women toward the ‘Teman Tapi Mesra’ behavior, that men have more permissive attitude than women do.

(9)
(10)

ix

penyertaanNya yang telah mengatur setiap langkah penulisan skripsi ini sehingga

akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.

Skripsi yang berjudul Perbedaan Sikap Antara Laki-laki dan Perempuan

Terhadap Perilaku ‘Teman Tapi Mesra’ ini diajukan kepada Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut memberikan dukungan,

semangat dan bantuan hingga selesainya skripsi ini :

1. Bapak Eddy Suhartanto, S. Psi, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi atas

ijin yang telah diberikan kepada penulis dalam melakukan penelitian

2. Ibu Aquilina Tanti Arini, S. Psi, M. Si selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing penulis dengan segala kesabaran dan perhatiannya. Terima kasih

ya Bu atas masukan dan koreksiannya..

3. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi.,M.Si, selaku Ketua Program Studi yang

telah memberikan kelancaran penulis selama mengikuti perkuliahan di

Fakultas Psikologi.

4. Ibu Nimas Eki, S. Psi selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas

(11)

x

6. Dosen-dosen Psikologi yang telah mendidik dan mengajar penulis selama

menempuh bangku perkuliahan.

7. Seluruh Staff Fakultas Psikologi : Mas Gandung, Mbak Naniek, Mas Muji,

Pak Giek, Mas Doni…. atas keramahan dan bantuan selama mengikuti studi di

Fakultas Psikologi….Matur thank youya……

8. Mama, papa yang tercinta, buat perhatian, kasih sayang dan support yang

diberikan selama ini. Besar rasa hormat, terima kasih dan sayang penulis

untuk mereka...

9. Mbah Yut, Mbah Kung kaliyan Mbah Ti atas segala doa dan dukungannya selama ini.Matur nuwun sanget……

10. Gendutku dek Tia… yang selalu memberikan semangat dan selalu membuat

hari-hariku ceria...Makaci ya dek...Mbak sayang adek...

11.4 my husband wannabeStevanus Roland Wadirenanto (thanks God I found U)

Thank U so much 4 love, 4 live, 4 everything that U gave & done for me...

12. Ibu, bapak, tante Santi sama om Dili yang terkasih, atas motivasi yang luar

biasa dan doa yang tiada henti…

13. Temen-temen baikku Picka, Ohaq, Mey, Cahya, Eu, Anggie, Tina, Laora,

Nining….Seneng banget punya temen-temen baik kaya’ kalian, makasih buat

support kalian dan kebersamaan kita selama ini…Kapan ya kita bisa kumpul lagi ??Miss u so much gals…

14. Kakak-kakakku mbak Elga, kak Yolla & kak Pancar…aku bersyukur punya

(12)

xi

Unisono Choir…makasih ya atas dukungan dan doa-doanya…

17. Anak-anak kos Canna like Nana, Fanny, Nur ….kapan kita Tour de Canna

lagee..

18. Teman-teman angkatan 02 yang belum lulus…ayo cepet dikerjain skripsinya,

gak usah saling menunggu….semua punya jatahnya sendiri2 kok....ayo kalian

pasti bisa…semangat ya temen-temen…

19. Anak-anak Wisma Sukses : Okky, gank Nero (mbak Ami, dik Tyas, Nia,

mbak IJ, mbak Butet, mbak Nita, teh Monic, teh Poppy), Linda, mbak Citra,

Zippo…thanks 4 the music

20.My cutie doggie…Jhony, Chiky, Gembul, Kiky, Moni, Lolo, Loli, Temi, Bedu, Bona, Bimbi, Viro…jangan nakal ya…makasih buat keceriaan dan

kelucuan kalian…

21. Ketua Umum PP BPOC dan semua stafnya, terimakasih atas kepercayaan dan

kesempatan yang diberikan kepada saya untuk bisa bekerjasama di PP BPOC.

22. Semua subjek try out dan penelitian….terimakasih atas kesediaan

teman-teman mengisi skala dan membantu kelancaran penelitian ini…..

23. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah

memberikan bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil

kepada penulis.

Akhir kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada segala

pihak, apabila dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah membebani dan

(13)

xii

karya penulisan ini dapat digunakan bagi kebaikan dan kepentingan bersama.

(14)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..………. ii

HALAMAN PENGESAHAN……….... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. v

ABSTRAK………... vi

ABSTRACT……… vii

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA………... vii

KATA PENGANTAR……… ix

DAFTAR ISI………... xiii

DAFTAR TABEL………... xvii

DAFTAR LAMPIRAN………... xviii

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH ………. 1

B. RUMUSAN MASALAH ………. 8

C. TUJUAN PENELITIAN ……….. 8

D. MANFAAT PENELITIAN ………... 8

1. Manfaat Teoritis ……… 8

(15)

xiv

1. Pengertian ……….. 9

2. Faktor Penyebab Perilaku TTM ………... 12

B. SIKAP ……….. 13

1. Pengertian Sikap ……… 13

2. Struktur Sikap ……… 15

3. Analisis Fungsi Sikap ………. 17

4. Ciri-ciri Sikap ………. 18

C. SIKAP TERHADAP PERILAKU TTM ………. 19

D. DEWASA DINI ………... 21

1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Dini ………. 21

2. Ciri Dewasa Dini ……… 23

3. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Dini ……… 25

4. Perbedaan Laki-laki dan Perempuan ………... 26

E. PERBEDAAN SIKAP LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PERILAKU TTM ………... 28

Skema Perbedaan Sikap Antara Laki-laki dan Perempuan Terhadap Perilaku TTM ……….…… 32

(16)

xv

B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN ………. 34

C. DEFINISI OPERASIONAL ……… 34

D. SUBJEK PENELITIAN ……….. 36

E. PROSEDUR PENELITIAN ……… 36

F. PRELIMINARY STUDY ……… 37

G. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA ………... 42

H. PERTANGGUNGJAWABAN ALAT UKUR ……… 44

1. Validitas Isi ………..…….. 44

2. Analisis Item ………..……… 44

3. Reliabilitas ………..………... 46

I. METODE ANALISIS DATA ………. 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 48

A. PROSES PENELITIAN ……….. 48

B. DESKRIPSI DATA PENELITIAN ……… 49

C. UJI ASUMSI ANALISIS DATA ……… 52

1. Uji Normalitas ………... 53

2. Uji Homogenitas ……….. 53

D. UJI HIPOTESIS ………. 54

(17)

xvi

B. SARAN ………... 59

(18)

xvii

Tabel 2 Blue Print Skala Sikap Sebelum Uji Coba …………... 43

Tabel 3 Blue Print Skala Sikap Setelah Uji Coba ……….. 45

Tabel 4 Blue Print Skala Sikap Penelitian ………. 45

Tabel 5 Gambaran Umum Subjek Penelitian ………. 49

Tabel 6 Hasil Deskriptif Penelitian ……… 50

Tabel 7 Norma Kategori Skor ……… 51

Tabel 8 Kategorisasi Sikap Laki-laki Terhadap Perilaku TTM ………… 51

Tabel 9 Kategorisasi Sikap Perempuan Terhadap Perilaku TTM ………. 52

Tabel 10 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov …… 53

Table 11 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ……… …… 54

(19)

xviii

2. Data Try Out ……… 67

3. Uji Reliabilitas dan Validitas Item Setelah Try Out ………. 76

4. Uji Reliabilitas dan Validitas Item Penelitian ……… 77

5. Alat Penelitian ……….. 78

6. Data Penelitian ………. 81

7. Uji Asumsi Penelitian a. Uji Normalitas Laki-laki ……… 96

b. Uji Normalitas Perempuan ……… 97

c. Uji Homogenitas ……… 98

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

“Cukuplah saja berteman denganku, janganlah kau meminta lebih, kutak mungkin mencintaimu, kita berteman saja, teman tapi mesra. Aku memang suka pada dirimu, namun aku ada yang punya, lebih baik kita berteman, kita berteman saja, teman tapi mesra.” (Lirik lagu Teman Tapi Mesra, voc. Ratu)

Itulah sepenggal lirik lagu yang popular pada tahun 2006 yang

menggambarkan bagaimana sebuah hubungan terbentuk menurut pencipta

lagunya. Lirik tersebut meggambarkan bagaimana sebuah hubungan secara

sengaja atau tidak sengaja terbentuk, dengan atau tanpa sebuah status yang

jelas. Status berarti bentuk peranan dari tiap pelakunya misalnya status sebagai

teman, pacar, suami atau istri.

Salah satu bentuk gaya hidup yang sedang hangat dibicarakan saat ini

adalah bentuk gaya hidup yang berkaitan dengan status seseorang dalam

hubungan interpersonalnya. Suatu bentuk hubungan yang dapat terjadi pada

seseorang yang telah mempunyai kekasih atau sedang menjalani hubungan

dekatnya dengan orang lain, namun bisa juga terjadi atau dilakukan oleh

seseorang yang masih single. Hubungan tersebut disebut teman tapi mesra yang dapat juga disingkat dengan TTM.

Sirait (Gaya Hidup, 2007) mengatakan bahwa TTM diawali dengan

saling ketertarikan satu sama lain dan setuju untuk menjalani hubungan tapi

tidak mengikat satu sama lain. Mengikat dalam arti membebaskan pasangan

(21)

TTM mereka untuk mempunyai pasangan lain. Kalau salah satunya ingin

berkencan dengan orang lain maka pasangannya tidak boleh merasa cemburu

atau protes. TTM menurut penulis adalah salah satu bentuk hubungan yang

membingungkan, bisa dikatakan demikian karena apabila disebut sebagai

kekasih, mereka tidak mengakui bahwa mereka berpacaran. Disebut berteman

juga tidak karena mereka menunjukkan kemesraan seolah-olah mereka sedang

berpacaran.

TTM tersebut memang sedang menjamur akhir-akhir ini, dan dianggap

lumrah (Maryati, 2007). Kebanyakan mahasiswa dan mahasiswi yang

bersangkutan, memilih TTM sebagai trend atau sekedar mengikuti gaya hidup

selebritis (Gaya Hidup, 2007). Tayangan infotainment di televisi banyak

mengungkap tentang gaya hidup selebritis yang demikian, sehingga fenomena

tersebut tidak lagi tabu dan asing untuk dibicarakan di tengah-tengah

masyarakat, bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta

perilaku TTM sudah menjadi trend.

Data yang diperoleh tim Muda harian Kompas dengan mahasiswa

sebagai respondennya menyatakan bahwa 57 % responden pernah melakukan

TTM dan sisanya belum pernah. 22% responden mengatakan ingin mencoba

TTM sementara 44% mengatakan tidak ingin. Polling dari Harian Kompas

tersebut juga mengungkap reaksi responden terhadap TTM tersebut bahwa

yang mengatakan TTM itu menyenangkan ada 27%, 57% responden memilih

pacaran, 2% memilih menikah, 14% tidak menjawab (TTM atau Selingkuh,

(22)

merupakan hal asing bagi para pemuda Indonesia. Melihat berbagai macam

reaksi tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa perilaku TTM ini juga masih

menimbulkan pro dan kontra. Terutama di kalangan mahasiswa yang sudah

memasuki usia dewasa dini.

Masa dewasa dini adalah periode seseorang menjadi kritis dalam

menanggapi berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai

dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Dewasa dini dalam hal ini adalah

seseorang yang sudah memasuki perguruan tinggi sebagai mahasiswa dan

mahasiswi (Monks, 2002). Menurut Setiono, para individu usia dewasa dini

tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang

diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Mereka mulai

mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih

banyak alternatif lainnya (Setiono, 2002).

Individu pada usia dewasa dini akan lebih banyak melakukan

pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini

diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para individu usia

dewasa dini mulai melihat adanya kenyataan atau hal lain di luar dari yang

selama ini diketahui dan dipercayainya (Keating dalam Santrock, 2002).

Mereka akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan

beragam jenis pemikiran yang lain. Para individu dewasa dini juga sering

menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat

(23)

dilakukan karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan

akibat jangka pendek atau jangka panjang (Setiono, 2002).

Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada usia dewasa dini berkembang karena mereka mulai melihat adanya

kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu

dengan kenyataan yang ada di sekitarnya (Perry dalam Widiarto, 2005).

Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir

dengan kenyataan atau hal yang baru. Perubahan inilah yang seringkali

mendasari sikap pemberontakan mereka terhadap peraturan atau otoritas yang

selama ini diterima (Setiono, 2002). Hal ini membuat para individu usia

dewasa dini mulai mencoba dan membentuk hal-hal baru sebagai gaya hidup

yang sesuai dengan pandangan dan penilaiannya.

Hurlock (2003) mengatakan tugas perkembangan usia dewasa dini

adalah memilih teman hidup kemudian menyiapkan diri untuk membentuk

sebuah rumah tangga. Memilih teman hidup dan menyiapkan kehidupan

berumah tangga hendaknya membutuhkan suatu pembelajaran dan

tanggungjawab. Belajar mengenai kemampuan bersosialisasi (social skill),

belajar mengenai apa arti sebuah komitmen dan belajar bagaimana caranya

berempati (Setiono, 2002).

Pelaku TTM dapat kehilangan kesempatan belajar, dalam hal ini

belajar untuk memilih dan memahami teman hidup karena pelaku TTM dapat

dengan mudah berganti pasangan, sehingga kesempatan mengenal pasangan

(24)

kewajiban untuk saling menjaga perasaan atau hubungan berakibat pelaku

TTM tidak bisa berharap pasangan TTM mereka tidak berselingkuh, karena

mereka tidak memiliki komitmen. Hal ini menyebabkan pelaku TTM terbiasa

untuk tidak berkomitmen, sehingga pelaku TTM akan mengalami kesulitan

saat memasuki dunia rumah tangga.

Perilaku TTM merupakan perwujudan dan hasil dari sistem

kapitalisme barat yang menyajikan ide permisivisme (serba boleh) dan

hedonisme (memuja kesenangan jasmani dan rohani), yang dengan jelas memberikan kesempatan kepada kita untuk bebas melakukan apa yang kita

suka (Rachmatika, 2007). Bebas dalam artian boleh memiliki pasangan lebih

dari satu, bahkan bebas untuk melakukan aktivitas seksual layaknya pasangan

suami istri yang sering disebut seks pranikah (Rachmatika, 2007).

Perwujudan permisivisme untuk melakukan seks pranikah membuat kaum dewasa dini yang semestinya menyiapkan rumah tangga mengalami

kerugian. Kaum dewasa dini bisa saja terjebak dalam seks pranikah. Menurut

PKBI DIY (dalam Listyawati & Suprayogo, 2007) dampak dari seks pranikah

pada perempuan menurut data konseling tentang kehamilan yang tidak

dikehendaki adalah depresi berat, stres dan yang paling fatal bisa membuka

kemungkinan untuk bunuh diri. Keinginan untuk aborsi juga bisa timbul,

sehingga kesehatan reproduksi juga terancam (Yen dalam Pampo, 2004). Di

samping itu tingkat putus sekolah remaja hamil juga sangat tinggi, hal ini

(25)

adanya murid yang hamil di luar nikah. Masalah ekonomi juga akan membuat

permasalahan ini menjadi semakin rumit dan kompleks (Mu’tadin, 2002).

Masalah dan dampak yang timbul dari perilaku TTM tentunya

mengarahkan kaum dewasa dini pada suatu sikap tertentu. Sikap merupakan

suatu organisasi yang relatif menetap antara keyakinan, perasaan dan

kecenderungan terhadap sesuatu atau seseorang atau terhadap objek sikap

(Morris & Maisto, 2002). Sikap kaum dewasa dini dalam memandang perilaku

TTM berpengaruh pada kesiapan kaum dewasa dini dalam menghadapi salah

satu tugas perkembangannya yaitu mempersiapkan diri untuk memasuki

lembaga perkawinan (Hurlock, 2003). Sikap kaum dewasa dini terhadap

perilaku TTM dapat bersifat negatif dan positif, hal tersebut terdukung karena

perilaku sosial yang ada di sekitar mereka.

Perilaku sosial adalah tingkah laku yang diharapkan oleh kelompok

masyarakat, tingkah laku tersebut sesuai dengan norma atau aturan yang ada

dalam masyarakat (Chaplin, 1993). Masyarakat mempunyai norma dan aturan

sendiri mengenai perilaku seksual pada laki-laki dan perempuan. Laki-laki

lebih bebas melakukan segala sesuatu termasuk hal-hal yang berhubungan

dengan pacaran dibandingkan dengan perempuan. Masyarakat cenderung

memberikan sangsi yang lebih longgar kepada laki-laki daripada kepada

perempuan saat mereka melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma

dalam masyarakat (Sarwono dalam Meidiana, 2005).

Secara fisik maupun psikologis laki-laki dan perempuan berbeda.

(26)

berbeda pula. Sejak awal perempuan diajarkan untuk lebih mementingkan

hubungan dan lebih toleran terhadap aturan daripada laki-laki (Lips, 1988 ;

Giligan, 1997). Pada umumnya laki-laki mempunyai waktu yang lebih lama di

luar rumah dan bergabung dengan anggota sebayanya yang sering membuat

norma sendiri. Sesuatu yang dianggap baik adalah yang sesuai dengan norma

yang mereka buat, sedangkan perempuan lebih banyak berada di masyarakat

dan keluarga, sehingga norma sosial dan norma agama serta norma adat lebih

mempengaruhi sikap mereka (Lips, 1988 ; Giligan, 1997).

Perilaku TTM sudah umum di kalangan muda, namun belum diterima

dalam masyarakat. Sangsi masyarakat yang lebih longgar untuk laki-laki dan

didukung oleh norma dari kaum laki-laki yang cenderung tidak sesuai dengan

norma masyarakat dapat membuat laki-laki lebih terbuka terhadap fenomena

TTM sehingga laki-laki mempunyai kemungkinan lebih besar untuk

melakukan TTM. Sangsi masyarakat yang lebih ketat pada perempuan dan

kecenderungan perempuan untuk patuh pada norma masyarakat yang ada

membuat perempuan lebih tertutup terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan

norma masyarakat, sehingga perempuan mempunyai kemungkinan yang lebih

kecil dibandingkan laki-laki untuk melakukan TTM.

Penjelasan di atas membentuk asumsi bagi penelitian ini. Asumsinya

adalah sikap laki-laki cenderung lebih setuju dan menerima fenomena perilaku

TTM dibandingkan perempuan. Asumsi tersebut belum mempunyai bukti

(27)

perempuan terhadap perilaku TTM dengan melihat bukti empirik melalui

penelitian ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “ Apakah ada perbedaan

sikap laki-laki dan perempuan terhadap perilaku ‘teman tapi mesra’ ? ”

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empirik ada atau

tidaknya perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan terhadap perilaku

‘teman tapi mesra’.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian dapat menambah kajian teoritis di bidang

Psikologi Perkembangan dan Psikologi Sosial, khususnya tentang sikap

laki-laki dan perempuan terhadap perilaku ‘teman tapi mesra’.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi

mengenai adanya perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan terhadap

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERILAKU TTM

1. Pengertian Perilaku TTM

Teman tapi mesra (TTM) merupakan hubungan yang tidak diawali

dengan kata jadian dan biasanya dilakukan tanpa rasa memiliki. Intinya

bisa mesra dan romantis tanpa harus menyandang status sebagai kekasih

atau pacar (Teman tapi Mesra, 2007). Bisa dikatakan TTM adalah suatu

hubungan yang kedua pelakunya tidak mau terikat dengan satu komitmen.

Komitmen adalah salah satu bagian dari cinta, dimana komitmen

adalah suatu elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara

terus-menerus dan tetap ingin menjalankan suatu kehidupan bersama (Sternberg

dalam Santrock, 1995). Maka, dalam hal ini pelaku TTM tidak

memilikinya, walaupun mereka menginginkan sebuah kebersamaan,

namun mereka tidak mempunyai kepastian akan dibawa kemana hubungan

mereka.

Sahabat, pendekatan dan TTM itu berbeda. Sahabat mempunyai

tujuan yang jelas ke depan, karena mereka tahu batasan dan tujuan dari

sebuah hubungan persahabatan, pendekatan juga mempunyai tujuan yang

jelas, karena pada akhirnya seseorang yang melakukan pendekatan pasti

akan menerima suatu keputusan dari orang yang sedang mereka dekati,

ditolak atau diterima cintanya (Sisi Lain, 2007). Sedangkan TTM hanya

(29)

ingin menikmati kebersamaan dan perasaan pada saat ini, tidak ada

rencana ke depan yang jelas. Sering terjadi seseorang terlalu cepat

melanggar batasan itu, maksudnya adalah berbuat seolah-olah sudah

menjalani hubungan dalam komitmen, padahal belum ada komitmen

apapun (Sisi Lain, 2007).

Perbedaan antara cinta dan persahabatan dapat dilihat dari skala

menyukai dan mencintai (Santrock, 1995). Menyukai adalah menyadari

bahwa orang lain sama dengan kita. Mencintai adalah percaya dan

melibatkan kedekatan serta ketergantungan. Suatu ketergantungan yang

terkadang tidak mempunyai tujuan dan orientasi yang tetap (Rubin dalam

Santrock, 2005).

Pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan

mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih (KBBI, 2002). Pelaku TTM

tidak memiliki komitmen untuk menjalin hubungan sebagai pacar, karena

mereka bisa memiliki pasangan lebih dari satu. Sternberg (dalam

Tambunan, 2001) mengurai cinta dalam tiga komponen, yaitu intimacy

(kedekatan),passion(gairah), dancommitment(komitmen).

Bagian cinta dalam perilaku TTM yang pertama adalah keintiman

dimana keintiman adalah keinginan untuk membina hubungan.

Ciri-cirinya antara lain seseorang akan merasa dekat dengan seseorang, senang

bercakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila

lama tidak bertemu, dan ada keinginan untuk bergandengan tangan atau

(30)

terdapat keintiman karena pelakunya merasa nyaman satu sama lain

(Tambunan, 2001).

Kedua adalah gairah, dimana gairah adalah elemen motivasional

yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Pelaku

TTM mempunyai gairah, dimana mereka melakukan kontak fisik seperti

mencium bahkan berhubungan intim (Tambunan, 2001).

Perilaku TTM tidak mengandung komitmen seperti yang sudah

dijelaskan di atas. Karena tidak ada komitmen maka tidak ada tanggung

jawab atau kewajiban untuk saling menjaga perasaan atau hubungan, maka

hubungan TTM juga bisa berakhir kapan saja. Menurut Dimas (Teman

tapi Mesra, 2007) dalam perilaku TTM tidak ada rasa cemburu dan tidak

ada rasa marah, apabila kita menjadi pelaku TTM kita bebas melakukan

apa saja, karena tidak ada komitmen apapun diantara keduanya. Seperti

yang telah dikatakan oleh Nurdin (2003) bahwa cemburu adalah perasaan

benci kepada orang yang menyaingi atau mengganggu haknya. Pelaku

TTM tidak mempunyai hak untuk saling memiliki, sehingga mereka juga

tidak memiliki rasa cemburu pada pasangan TTM mereka, seperti

pasangan pada umumnya.

Salah satu artikel menuliskan bahwa dalam TTM, pihak laki-laki

pura-pura mencintai untuk mendapatkan tubuh pasangannya. Perempuan

memakai tubuhnya untuk mendapatkan cinta pasangan TTM mereka (Tips

n Trik, 2008). Hal ini membuktikan bahwa dalam TTM terdapat

(31)

akhirnya memutuskan untuk berkomitmen. Seperti yang dikatakan oleh

Lexius (Lofiversion, 2008) bahwa banyak pasangan yang awalnya

menjalin TTM dan akhirnya saling mencintai dan tidak menutup

kemungkinan hingga akhirnya menikah.

Pengertian TTM dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan

bahwa TTM adalah sebuah bentuk hubungan intim yang mengandung

unsur gairah seksual antara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak

mengandung suatu komitmen apapun sehingga pelakunya dapat

mempunyai pasangan lebih dari satu dan tidak terikat satu sama lain.

2. Faktor Penyebab Perilaku TTM

TTM terbentuk karena hubungan antara teman, sahabat dari kecil

atau teman sekolah yang keduanya tidak mau meninggalkan pacar

masing-masing untuk hubungannya, frekuensi pertemuan yang terlalu sering

membuat ketertarikan satu sama lain, hal ini menimbulkan perhatian yang

lebih layaknya orang yang sedang berpacaran (TTM atau Selingkuh,

2007).

Berikut adalah beberapa hal yang menjadi penyebab seseorang

menjadi pelaku TTM (Penyebab TTM, 2006) yaitu :

a. Seseorang yang tidak mau berkomitmen, tetapi membutuhkan orang

dengan peran sebagai pacar.

b. Seseorang yang sudah mempunyai pacar, tetapi mempunyai prinsip

(32)

c. Seseorang yang mengalami trauma berpacaran karena takut sakit hati.

d. Seseorang yang belum mempunyai kesadaran tentang sebab akibat dari

TTM.

e. Seseorang yang memakai istilahFriend with benefit,yang mempunyai

arti berteman tapi melakukan hal-hal yang sebenarnya hanya dilakukan

oleh orang-orang yang berpacaran atau berumah tangga.

f. Seseorang yang hanya mengikuti trend.

g. Seseorang yang hanya ingin uji coba dahulu, apakah cocok,

memuaskan atau enggak menjadi pasangan.

B. SIKAP

1. Pengertian Sikap

Dari beberapa sumber, definisi mengenai sikap sangat bervariasi.

Sikap menurut beberapa ahli psikologi sosial berarti kesiapan untuk

bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan

bahwa kesiapan yang dimaksud adalah kecenderungan potensial untuk

bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu

stimulus yang menghendaki adanya respon.

Dengan kata lain sikap adalah pandangan atau perasaan yang

disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tertentu. Sikap

senantiasa diarahkan kepada sesuatu artinya tidak ada sikap tanpa objek.

Sikap diarahkan kepada benda, peristiwa, pandangan, norma dan lain-lain.

(33)

dinyatakan dalam kegiatan yang sama dan berulang terhadap objek sosial

dan biasanya dilakukan oleh sekelompok orang atau suatu masyarakat. (2)

sikap individu : dimiliki oleh seseorang bukan oleh kelompok, sikap

individual menyangkut objek-objek yang bukan menjadi perhatian sosial

(Sears, 1996).

Sarwono (1976) memberikan batasan bahwa sikap adalah suatu

tingkatan efek yang bersifat positif atau negatif terhadap objek psikologik

meliputi segala sesuatu yang dapat menimbulkan perasaan tertentu pada

seseorang yang mengamati atau menghayati. Kecenderungan tindakan

positif adalah mendekati, menyenangi atau mengharapkan objek tertentu.

Sebaliknya sikap negatif apabila merupakan kecenderungan tidak

menyenangi, tidak mengharapkan objek tertentu sehingga ingin

menjauhinya.

Menurut LaPierre sikap adalah respon individu terhadap stimulus

sosial yang telah terkondisi (dalam Azwar, 2005). Thurstone berpendapat

bahwa sikap adalah derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu

objek psikologis (Walgito, 1991). Sikap juga dapat didefinisikan sebagai

evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain,

objek atau isu-isu (Petty dkk dalam Azwar, 2005).

Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap

seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung atau memihak

(34)

tertentu, yang oleh Thurstone diformulasikan sebagai tingkatan afeksi baik

yang positif atau negatif terhadap suatu objek psikologis (Azwar, 2005).

Rokeach (dalam Walgito, 1991) mengemukakan pendapatnya

mengenai sikap yaitu predisposing untuk merespon, dan untuk berperilaku.

Myers berpendapat bahwa sikap merupakan predisposing tehadap objek

termasuk di dalamnya kepercayaan, perasaan, dan tendensi perilaku

mengenai objek itu sendiri. Menurut Gerungan (1981) sikap adalah

kesediaan bereaksi terhadap sesuatu hal. Azwar (2005) juga

mengemukakan pendapatnya bahwa sikap terhadap objek atau perilaku

dipengaruhi oleh keyakinan bahwa objek atau perilaku tersebut akan

membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa pendapat di atas

mengenai sikap yaitu bahwa sikap adalah reaksi terhadap suatu objek yang

meliputi keyakinan, perasaan, dan perilaku sebagai proses evaluasi

terhadap dirinya sendiri, orang lain dan objek itu sendiri sehingga respon

bisa baik atau buruk, positif atau negatif, menerima atau menolak.

2. Struktur Sikap

Berkaitan dengan beberapa pendapat atau definisi mengenai sikap

di atas, pada umumnya sikap mengandung tiga komponen yang

(35)

a. Komponen kognitif (komponen perseptual)

Komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,

keyakinan yaitu hal yang berhubungan dengan bagaimana orang

mempersepsi objek sikap. Azwar (2005) berpendapat keyakinan atau

kepercayaan tidak selalu akurat karena terkadang terbentuk justru

karena kurang atau tidak ada informasi yang benar mengenai objek

yang dihadapi.

b. Komponen afektif (komponen emosional)

Komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak

senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal positif,

sedangkan tidak senang merupakan hal negatif. Komponen ini

menunjukkan arah sikap yaitu positif dan negatif. Menurut Azwar

(2005) komponen afektif menyangkut masalah emosional dimana rasa

emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita

percayai sebagai benar dan berlaku bagi objek termaksud.

c. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component)

Komponen yang berhubungan dengan kecenderungan

bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas

sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau

berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Azwar (2005)

mengemukakan bahwa pengertian kecenderungan berperilaku

menunjukkan bahwa komponen konatif meliputi perilaku yang tidak

(36)

perilaku yang berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan oleh

seseorang.

3. Analisis Fungsi Sikap

Menurut Walgito (1991) sikap mempunyai empat fungsi yaitu :

a. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat

Fungsi instrumental karena berkaitan dengan sarana dan tujuan,

dimana sikap merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan. Fungsi

manfaat karena berkaitan dengan sejauh mana objek dapat membantu

mencapai tujuannya. Fungsi penyesuaian karena dengan sikap yang

diambil, seseorang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

b. Fungsi pertahanan ego

Merupakan sikap yang diambil untuk mempertahankan ego,

sikap yang diambil saat seseorang dalam keadaan terancam.

c. Fungsi ekspresi nilai

Merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai

yang ada dalam dirinya.

d. Fungsi pengetahuan

Individu mempunyai dorongan untuk ingin mengerti, dengan

(37)

4. Ciri-ciri Sikap

Beberapa ciri yang dapat dilihat dari sikap menurut Walgito (1991)

adalah sebagai berikut :

a. Sikap tidak dibawa sejak lahir

Sikap tidak dibawa sejak individu dilahirkan, sikap terbentuk

dalam perkembangan individu yang bersangkutan. Karena sikap itu

terbentuk atau dibentuk, maka sikap dapat dipelajari dan karenanya

sikap itu dapat berubah.

b. Sikap selalu berhubungan dengan objek sikap

Sikap selalu terbentuk dalam hubungannya dengan objek-objek

tertentu melalui proses persepsi terhadap objek tersebut. Hubungan

positif atau negatif antara individu dengan objek tertentu akan

menimbulkan sikap tertentu pula dari individu terhadap objek tersebut.

c. Sikap dapat tertuju pada satu objek saja, tetapi juga dapat tertuju pada

sekumpulan objek-objek

Bila seseorang mempunyai sikap negatif terhadap orang lain,

maka orang tersebut akan cenderung menunjukkan sikap negatif pula

terhadap kelompok dimana orang lain tersebut tergabung di dalamnya.

Ada kecenderungan untuk menggeneralisasikan objek sikap.

d. Sikap dapat berlangsung lama atau sebentar

Kalau sikap telah terbentuk dan telah merupakan nilai dalam

(38)

diri orang yang bersangkutan. Sikap akan mudah berubah apabila sikap

itu belum begitu mendalam ada dalam diri seseorang.

e. Sikap mengandung faktor perasaan dan motivasi

 Faktor perasaan, sikap terhadap objek akan selalu diikuti oleh

perasaan positif atau negatif.

 Faktor motivasi, sikap mempunyai daya dorong bagi individu

untuk berperilaku secara tertentu terhadap objek yang dihadapinya.

C. SIKAP TERHADAP PERILAKU TTM

Perilaku TTM adalah suatu bentuk hubungan intim yang mengandung

unsur gairah seksual antara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak mengandung

suatu komitmen apapun sehingga pelakunya dapat mempunyai pasangan lebih

dari satu dan tidak terikat satu sama lain.

Data yang diperoleh tim Muda harian Kompas dengan mahasiswa

sebagai respondennya menyatakan bahwa 57 % responden pernah melakukan

TTM dan sisanya belum pernah. 22% responden mengatakan ingin mencoba

TTM sementara 44% mengatakan tidak ingin. Polling dari Harian Kompas

tersebut juga mengungkap reaksi responden terhadap TTM tersebut bahwa

yang mengatakan TTM itu menyenangkan ada 27%, 57% responden memilih

pacaran, 2% memilih menikah, 14% tidak menjawab (TTM atau Selingkuh,

2007).

Data tersebut di atas menunjukkan bahwa perilaku TTM bukan lagi

(39)

reaksi tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa perilaku TTM ini juga masih

menimbulkan pro dan kontra. Terutama di kalangan mahasiswa yang sudah

memasuki usia dewasa dini.

Ditinjau dari strukturnya, sikap terhadap perilaku TTM mengandung

tiga komponen struktur sikap (Walgito, 1991) yaitu :

1. Komponen kognitif (komponen perseptual)

Komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,

keyakinan yaitu hal yang berhubungan dengan bagaimana orang

mempersepsi perilaku TTM.

2. Komponen afektif (komponen emosional)

Komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak

senang terhadap perilaku TTM.

3. Komponen konatif (komponen perilaku)

Komponen yang berhubungan dengan kecenderungan subjek untuk

mempraktekkan perilaku TTM.

Dari ketiga komponen dapat disimpulkan bahwa sikap perilaku TTM

adalah suatu kesiapan untuk mengadakan evaluasi positif atau negatif, senang

atau tidak senang terhadap perilaku tersebut yang akhirnya menimbulkan

(40)

D. DEWASA DINI

1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Dini

Dewasa dikenal juga dengan istilah adultus yang berasal dari bahasa Latin. Adultus berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Dewasa juga

dikenal dengan istilah Volwassen yang berasal dari bahasa Belanda, yang berarti sudah tumbuh dengan penuh atau selesai tumbuh (Monks dkk,

2002). Hurlock (2000) berpendapat bahwa orang dewasa adalah orang

yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan

dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya.

Masa dewasa merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola

kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru (Hurlock, 2000).

Penyesuaian diri ini merupakan periode yang sulit dalam rentang

kehidupan seseorang, karena sebelum memasuki masa ini sebagian orang

memiliki orangtua, guru dan teman yang menolong mereka dalam

menyesuaikan diri dan sekarang mereka harus bisa menyesuaikan diri

secara mandiri.

Santrock (2005) berpendapat orang dewasa termasuk dalam masa

transisi, baik transisi secara fisik, intelektual dan peran sosial. Santrock

(2005) juga berpendapat bahwa dewasa sedang mengalami peralihan dari

masa remaja untuk memasuki masa tua. Banyak hal yang berubah seiring

dengan masuknya individu ke masa dewasa. Orang dewasa mulai harus

membentuk nilai-nilai baru dan menyesuaikan diri dengan terjadinya

(41)

Hurlock (2000) mengemukakan batasan dewasa yaitu dimulai

ketika seseorang berusia 18 tahun. Secara hukum seseorang dikatakan

dewasa bila sudah 21 tahun (meskipun belum menikah) atau sudah

menikah (meskipun belum 21 tahun). Batasan ini tidak bersifat mutlak dan

ketat. Batasan ini hanya umur rata-rata pria dan wanita mulai

menunjukkan perubahan dalam penampilan, minat, sikap dan perilaku

(Dariyono, 2003).

Agus Dariyo menyatakan bahwa mereka yang termasuk dalam

golongan dewasa muda (young adulthood) ialah mereka yang berusia

20-40 tahun. Papalia, Olds dan Feldman menyatakan bahwa golongan dewasa

muda berkisar antara 21-40 tahun (Dariyo dalam Wulansari, 2005). Masa

remaja akhir atau masa dewasa muda adalah antara usia 18-21 tahun

dimana remaja yang mengikuti pendidikan tinggi (Monks dkk, 2002).

UU Perkawinan Indonesia tahun 1974 pasal 7 mengemukakan

persyaratan seseorang untuk menikah. Adapun persyaratannya adalah

untuk pria berusia 19 tahun ke atas dan untuk wanita berusia 16 tahun ke

atas. Terkait dengan pendapat Hurlock tentang ciri masa dewasa yaitu

masa berkomitmen, batasan usia menikah dalam UU Perkawinan

Indonesia membentuk salah satu batasan usia tentang dewasa, yaitu untuk

pria dimulai pada usia 19 tahun dan wanita dimulai usia 16 tahun (Seri

(42)

2. Ciri Dewasa Dini

Menurut Hurlock (2000), masa dewasa dini adalah masa

penyesuaian diri terhadap pola hidup yang baru dan harapan sosial baru,

dalam hal ini mereka diharapkan mampu mengembangkan sikap baru

dengan kemandirian. Berikut ciri-ciri dalam tahun-tahun masa dewasa dini

(Hurlock, 2000):

a. Masa dewasa dini sebagai masa pengaturan

Masa pengaturan berarti mereka menerima tanggungjawab

sebagai orang dewasa, dalam hal ini mereka menemukan pola hidup

dan nilai yang akan menjadi kekhasan mereka. Mereka mencoba

berbagai pilihan dalam pekerjaan dan pasangan hidup.

b. Masa dewasa dini sebagai usia reproduktif

Masa penentuan peran, seperti menikah dan menjadi orangtua.

c. Masa dewasa dini sebagai masa bermasalah

Merupakan masa bermasalah karena mereka kurang

mempunyai persiapan dalam menghadapi masalah yang perlu diatasi

sebagai orang dewasa. Mereka sering mencoba hal-hal baru secara

bersamaan, itu mengakibatkan mereka kurang fokus sehingga mereka

mengalami kegagalan. Mereka menghadapi masalah tanpa bantuan

dari orang lain, karena mereka dianggap bisa mengatasi masalahnya

(43)

d. Masa dewasa dini sebagai masa ketegangan emosional

Masalah-masalah yang menimpanya sering mengakibatkan

mereka terganggu secara emosional, sehingga mereka memikirkan atau

mencoba bunuh diri.

e. Masa dewasa dini sebagai masa keterasingan sosial

Mereka mempunyai semangat bersaing dan hasrat untuk maju

dalam karir, sehingga mereka hanya menyisakan sedikit waktu untuk

bersosialisasi.

f. Masa dewasa dini sebagai masa komitmen

Mereka mempunyai tanggungjawab baru dalam menentukan

pola hidup baru dan komitmen baru.

g. Masa dewasa dini sering merupakan masa ketergantungan

Merupakan masa ketergantungan karena mereka yang belum

siap untuk mandiri, masih menggantungkan diri pada orangtua mereka.

h. Masa dewasa dini sebagai masa perubahan nilai

Perubahan nilai terjadi karena mereka mulai menemukan

nilai-nilai baru, karena mereka ingin dianggap sama oleh kelompoknya.

Mereka juga menganggap nilai-nilai yang telah ada sudah ketinggalan

jaman atau konvensional.

i. Masa dewasa dini sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup

(44)

Gaya hidup baru menonjol dalam hidup mereka baik dalam

bidang perkawinan, pekerjaan maupun penyesuaian diri pada pola

peran seks.

j. Masa dewasa dini sebagai masa kreatif

Mereka menganggap orang dewasa tidak terikat lagi pada

aturan-aturan orangtua dan guru. sehingga mereka lebih bebas dalam

mengaktualisasikan diri mereka.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa masa dewasa dini

merupakan masa pengambilan tanggung jawab baru dan nilai-nilai baru,

dengan demikian mereka mempunyai kemampuan untuk menentukan gaya

hidup baru dengan pola-pola hidup baru yang nantinya akan mereka jalani.

Mereka sedikit demi sedikit mulai meninggalkan pola hidup lama yang

selama ini mereka ketahui dari orang-orang terdekat mereka.

3. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Dini

Tugas perkembangan pada masa ini terpusat pada harapan

masyarakat, mencakup mendapatkan pekerjaan, memilih teman hidup,

membentuk keluarga dan mengelola rumah tangga, dan menerima

tanggungjawab sebagai warga negara serta bergabung dalam kelompok

sosial yang sesuai (Hurlock, 2000).

Salah satu kriteria yang menunjukkan permulaan dari masa dewasa

dini adalah kemandirian dalam mengambil keputusan. Hal ini berarti

(45)

gaya hidup. Individu yang beranjak dewasa biasanya membuat keputusan

tentang hal-hal yang berhubungan dengan berbagai gaya hidup dan

mempertimbangkan berbagai hubungan yang ada (Santrock, 2002).

4. Perbedaan Laki-laki dan Perempuan

Perbedaan laki-laki dan perempuan yang paling terlihat adalah dari

segi fisik, juga dari segi sifat maupun karakteristiknya. Terlihat dari

perbedaan biologisnya, laki-laki dan perempuan membentuk sifat alami

maskulin dan feminim yang kemudian diikuti juga dengan perbedaan sifat

laki-laki maupun perempuan (Megawangi, 1999).

Perempuan diberikan kodrat untuk mengalami proses reproduksi

yang meliputi pengalaman hamil, melahirkan dan menyusui. Kodrat

tersebut menimbulkan naluri keibuan dalam diri perempuan. Sehingga

kaum perempuan mempunyai ikatan emosional antara ibu dan anak,

sedangkan laki-laki tidak mengalami hal-hal tersebut di atas.

Lips (1988) berkata bahwa laki-laki dan perempuan diharapkan

untuk mempelajari aspek yang berbeda dalam membina hubungan dengan

orang lain. Perempuan lebih memperhatikan hubungan pribadi, bahkan

pribadi menjadi prioritas dan penting dalam hidup. Hal ini membuat

adanya pembentukan sifat mendukung dengan empati, memelihara,

pengungkapan perasaan dan peka dalam diri perempuan. Laki-laki

cenderung lebih mandiri, percaya diri, tegas, dan mempunyai orientasi

(46)

disukai oleh individu. Perempuan lebih menyukai aktivitas yang

mempunyai sifat kedektan, sedangkan laki-laki lebih menyukai aktivitas

yang bersifat petualangan.

Perempuan lebih toleran terhadap aturan, sehingga perempuan

lebih mampu menaati peraturan dibandingkan dengan laki-laki (Piaget

dalam Giligan, 1997). Dalam berhubungan dengan orang lain, perempuan

lebih memusatkan perhatian secara pribadi dan lebih melibatkan

emosionalnya dengan orang lain. Sedangkan laki-laki dalam hubungannya

dengan orang lain lebih mementingkan pada pencapaian tujuan dan

sasaran mereka (Engly dan Crowly dalam Widiarto, 2005). Jadi,

perempuan lebih memiliki hubungan yang dekat secara afektif dengan

orang lain dibandingkan dengan laki-laki. Dari beberapa pendapat para

ahli di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa perempuan lebih perhatian

dan lebih mementingkan hubungan secara pribadi dibandingkan dengan

laki-laki.

Laki-laki cenderung diberikan kesempatan yang lebih besar

dibandingkan dengan perempuan baik dalam hal pekerjaan, politik,

organisasi dan pergaulan antar jenis. Laki-laki juga lebih bebas melakukan

segala sesuatu termasuk hal-hal yang berhubungan dengan pacaran.

Masyarakat cenderung memberikan sangsi yang lebih longgar kepada

laki-laki daripada kepada perempuan saat mereka melakukan hal-hal yang tidak

(47)

Laki-laki cenderung serba boleh, bisa bersikap ekstrim, dan lebih terbuka

dalam hal persoalan sosial (Sarwono, 2001), termasuk perilaku TTM.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

ada beberapa hal yang membedakan laki-laki dan perempuan, baik dari

segi fisik, norma, sosial, dan sifat. Segi fisik, laki-laki cenderung maskulin

dan perempuan cenderung feminim. Untuk norma dalam masyarakat,

cenderung lebih mengikat terhadap perempuan daripada terhadap laki-laki.

Masyarakat cenderung memberikan kelonggaran sangsi kepada laki-laki

daripada perempuan, ketika mereka melakukan hal-hal yang kurang sesuai

dengan norma dan adat serta aturan dalam masyarakat. Dari segi sosial,

perempuan lebih mementingkan kedalaman hubungan, sedangkan laki-laki

cenderung mementingkan tujuan dari hubungan itu sendiri. Kondisi ini

membentuk emosi dan sifat pada laki-laki yang cenderung mandiri, keras,

tegas dan lebih terbuka, sedangkan perempuan lebih peka, lebih berempati,

perasa dan lebih toleran terhadap norma yang ada.

E. PERBEDAAN SIKAP LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP

PERILAKU TTM

Hurlock (2000) berpendapat bahwa pada garis besarnya perbedaan

sikap dewasa dini laki-laki dan perempuan disebabkan karena adanya

pembentukan sikap yang dilakukan oleh masyarakat, berbeda sejak masa

kanak-kanak. Laki-laki dalam norma-norma masyarakat mempunyai

(48)

pekerjaan, politik, organisasi maupun dalam pergaulan dengan lawan jenis

(Hurlock, 2003). Kaum laki-laki termasuk juga dewasa dini lebih bebas

melakukan segala sesuatu termasuk hal-hal yang berhubungan dengan

perilaku TTM.

Masyarakat memberikan sangsi yang lebih longgar pada laki-laki

daripada perempuan yang melakukan perilaku di luar norma masyarakat

termasuk perilaku TTM. Masyarakat menuntut perempuan lebih bermoral

dalam tingkah laku (termasuk dalam bersikap), tentunya perempuan lebih

bersikap tidak setuju terhadap perilaku TTM. Perilaku TTM mengandung

unsur perilaku seksual pranikah, dimana pelakunya dapat berciuman sampai

berhubungan intim dengan pasangan TTM mereka. Norma-norma dalam

masyarakat umumnya menuntut kesucian seorang perempuan saat memasuki

pernikahan. Perasaan aman yang dirasakan laki-laki, berpengaruh juga karena

orang lain tidak akan mengerti apakah dirinya masih perjaka atau tidak.

Perlakuan dari masyarakat tersebut, membuat laki-laki akan merasa lebih

bebas dalam bertingkah laku (termasuk dalam bersikap) yang berkaitan

dengan masalah seksual. Hurlock (2000) mengemukakan bahwa perasaan

superioritas maskulin pada laki-laki mendorong mereka merasa memiliki

sikap yang lebih unggul daripada perempuan.

Laki-laki mempelajari masalah seksualitas karena merupakan salah

satu cara untuk menunjukkan kejantanannya, sementara pada perempuan

seksualitas lebih dikaitkan dengan cinta (Sarwono, 2001). Kondisi ini tentu

(49)

dalamnya mengandung unsur perilaku seksual pranikah. Laki-laki lebih

berpikir langsung dan tidak takut resiko, sedangkan perempuan memerlukan

proses dan lebih memikirkan resiko yang akan mereka tanggung. Faktor selain

penggolongan peran seks, juga karena berkaitan dengan norma-norma

masyarakat yang lebih longgar bagi laki-laki daripada perempuan (termasuk

usia dewasa dini). Besar kemungkinan bagi laki-laki untuk melakukan

berbagai hal daripada perempuan (Sarwono, 2001).

Akibat dari perilaku seksual pranikah misalnya, akan lebih berdampak

bagi kaum perempuan daripada kaum laki-laki seperti perasaan bersalah,

depresi, marah atau terpaksa menggugurkan kandungan. Akibat psikososial

lainnya adalah ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial jika

seorang gadis tiba-tiba hamil (Sarwono, 2001).

Sarwono (2001) menegaskan bahwa sikap laki-laki dan perempuan

dalam hal perilaku seksual pranikah sangat berbeda. Laki-laki lebih serba

boleh, lebih ekstrim dan lebih terbuka dalam hal perilaku seksual pranikah.

Perempuan lebih tidak tahu-menahu, lebih berhati-hati dan lebih malu-malu.

Laki-laki umumnya mempunyai waktu yang lebih lama di luar rumah dan

bergabung dengan anggota sebayanya yang sering mempunyai norma yang

dibuatnya sendiri. Hal tersebut membuat laki-laki lebih terbuka terhadap

perilaku TTM dan perempuan cenderung tertutup dalam melihat perilaku

TTM.

Hubungan dalam keluarga, biasanya perempuan akan lebih dibatasi

(50)

mengakibatkan perempuan menjadi lebih tertutup dibandingkan dengan

laki-laki yang cenderung lebih terbuka. Sikap laki-laki-laki-laki lebih terbuka sehingga lebih

permisif terhadap perilaku TTM karena mereka lebih menerima perilaku seksual pranikah. Sikap laki-laki lebih terbuka, lebih terang-terangan, dan

lebih bebas daripada perempuan yang bersikap konservatif dan kolot (Corake

dan James dalam Borotoding, 2004).

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diasumsikan bahwa laki-laki

mempunyai sikap yang lebih positif atau lebih mendukung perilaku TTM,

sedangkan perempuan mempunyai sikap negatif atau tidak mendukung

(51)

Karakteristik Laki-laki

Fisik Psikis Harapan Sosial

Karakteristik Perempuan

Fisik Psikis Harapan Sosial

Efek pada Laki-laki

Fisik Psikis Harapan Sosial

Efek pada Perempuan

Fisik Psikis Harapan Sosial

Skema Perbedaan Sikap antara Laki-laki dan Perempuan terhadap Perilaku TTM

: Karakteristik Laki-laki dan Perempuan terhadap Perilaku TTM : Efek Perilaku TTM terhadap Laki-laki dan Perempuan

 Tidak

TTM adalah sebuah bentuk hubungan intim yang mengandung unsur gairah seksual antara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak mengandung suatu

komitmen apapun sehingga pelakunya dapat

mempunyai pasangan lebih dari satu dan tidak terikat satu sama lain

 Patuh pada norma yang sudah ada

 Perlakuan lebih ketat

 Kesempatan lebih kecil

 Patuh pada aturan

 Tidak

 Tidak terlalu sakit hati saat ditinggalkan

 Lebih sakit hati saat ditinggalkan

 Lebih tertutup

 Lebih malu-malu

 Lebih berhati-hati dalam bertindak

Mendukung perilaku TTM Tidak mendukung perilaku TTM

(52)

F. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Ada perbedaan sikap antara

laki dan perempuan terhadap perilaku ‘teman tapi mesra’, dimana

(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian komparatif dengan

menggunakan metode skala. Penelitian ini termasuk penelitian komparatif

karena ingin melihat apakah ada perbedaan sikap antara laki-laki dan

perempuan terhadap perilaku TTM.

B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel dalam penelitian ini merupakan faktor-faktor yang berperan

dalam peristiwa atau gejala yang menjadi objek pengamatan peneliti. Variabel

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis kelamin yaitu laki-laki

dan perempuan.

2. Variabel Tergantung (Dependent Variable)

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sikap terhadap perilaku

TTM.

C. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional variabel penelitian ini dimaksudkan untuk

membatasi arti variabel sehingga tidak terjadi salah pengertian dalam

(54)

menginterpretasikan data-data hasil yang diperoleh. Adapun definisi

operasional variabel-variabel yang akan diteliti adalah sebagai berikut :

1. Sikap terhadap perilaku ‘teman tapi mesra’ (TTM) dapat diartikan sebagai

bentuk reaksi laki-laki dan perempuan dewasa dini terhadap perilaku TTM

yaitu sebuah bentuk hubungan intim yang mengandung unsur gairah

seksual antara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak mengandung suatu

komitmen apapun sehingga pelakunya dapat mempunyai pasangan lebih

dari satu dan tidak terikat satu sama lain.

Sikap terhadap perilaku TTM dapat dilihat dari skor total subjek pada

skala sikap. Skor total tinggi menunjukkan reaksi positif yang berarti

laki-laki atau perempuan dewasa dini mendukung perilaku TTM, sedangkan

skor total rendah menunjukkan reaksi negatif yang berarti laki-laki atau

perempuan dewasa dini tidak mendukung perilaku TTM. Sikap terhadap

perilaku TTM memiliki tiga aspek yaitu :

a. Aspek Kognitif (pengetahuan dan keyakinan individu terhadap

perilaku TTM)

b. Aspek Afeksi (perasaan individu terhadap perilaku TTM)

c. Aspek Konatif (kecenderungan individu untuk melakukan praktek

yang berhubungan dengan perilaku TTM)

2. Jenis kelamin adalah ciri-ciri biologis manusia berdasarkan alat kelamin,

yaitu laki-laki dan perempuan. Hal tersebut diungkap melalui identitas

subjek yang telah diisi pada kolom jenis kelamin dalam skala sikap

(55)

D. SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini adalah mereka yang berjenis kelamin

laki-laki dan perempuan dan memasuki usia dewasa dini dan belum menikah.

Dewasa dini dianggap cocok digunakan sebagai subjek dalam peneltian

karena usia ini merupakan masa dimana mereka mencapai peran jenisnya

sebagai laki-laki dan perempuan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini

memiliki karakteristik di bawah ini, yaitu :

1. Sudah lulus SMU dengan asumsi individu yang telah lulus SMU sudah

cukup dewasa dan mampu mempresentasikan nilai-nilai kehidupan

menurut diri sendiri, dan pengaruh dari teman relatif berkurang.

2. Lajang atau belum menikah, karena keprihatinan peneliti melihat pelaku

TTM yaitu bahwa seseorang menjadi tidak terbiasa untuk berkomitmen

sehingga dapat menghambat kesiapannya untuk masuk dalam jenjang

pernikahan.

3. Sudah pernah berpacaran, dengan asumsi bahwa orang yang sudah pernah

berpacaran bisa membandingkan antara berperilaku TTM yang tidak

mempunyai komitmen dengan berpacaran yang notabene mempunyai

komitmen.

E. PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur atau langkah-langkah dalam penelitian ini adalah :

1. Mempersiapkan skala sikap terhadap perilaku TTM yang terdiri dari

(56)

metode rating (summated rating) dan memiliki empat alternatif jawaban untuk setiap item.

2. Melakukan uji coba (try out) skala sikap pada sekelompok subjek yang memiliki karakteristik sama dengan subjek penelitian.

3. Melakukan validitas dan reliailitas skala sikap terhadap perilaku TTM.

4. Menetapkan subjek penelitian.

5. Metode pengumpulan data akan dilakukan dengan menyebarkan alat ukur

penelitian berupa skala sikap terhadap perilaku TTM yang telah dibuat

oleh peneliti untuk diisi oleh subjek penelitian.

6. Analisis data. Data yang sudah terkumpul akan dianalisi dengan

menggunakan uji t untuk mengetahui perbedaan sikap.

7. Melakukan pembahasan dan membuat kesimpulan mengenai hasil

penelitian.

F. PRELIMINARY STUDY

Perilaku ‘teman tapi mesra’ (TTM) adalah istilah yang popular dan

belum ada kajian pustaka yang jelas, oleh sebab itu banyak

pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat yang berbeda mengenai perilaku TTM.

Definisi perilaku TTM dalam penelitian ini adalah sebuah bentuk hubungan

intim yang mengandung unsur gairah seksual antara laki-laki dan perempuan,

tetapi tidak mengandung suatu komitmen apapun sehingga pelakunya dapat

(57)

Definisi TTM tersebut mengandung tiga komponen yaitu tanpa

komitmen, gairah seksual dan keintiman. Peneliti menyimpulkan ketiga

komponen perilaku TTM yaitu hubungan cinta tanpa komitmen pacaran.

Peneliti membuat definisi operasional perilaku TTM menjadi hubungan cinta

tanpa komitmen karena dalam definisi cinta terdapat tiga komponen yaitu

keintiman, gairah dan komitmen, sedangkan dalam TTM tidak ada komitmen.

Sebelum kesimpulan dari ketiga komponen tersebut diwujudkan dalam sebuah

bentuk item, maka peneliti melakukanpreliminary studyuntuk melihat apakah subjek mempunyai persepsi yang sama dengan peneliti mengenai definisi

operasional dari perilaku TTM, dan memastikan pemahaman mahasiswa

mengenai cinta, pacaran dan komitmen. Preliminary studydilakukan pada 12 mahasiswa dan mahasiswi Universitas Sanata Dharma, dengan lokasi warung

internet di sekitar kampus Universitas Sanata Dharma, berikut hasil

preliminary :

Tabel 1

Hasil Preliminary

No Pertanyaan Jawaban

1. Arti hubungan cinta

Subjek 1 Hubungan cinta sama dengan pacaran Subjek 2 Sama artinya dengan pacaran

Subjek 3 Pacaran masuk dalam hubungan cinta

Subjek 4 Pacaran

Subjek 5 Pacaran

Subjek 6 Hubungan cinta ya pacaran

(58)

Subjek 8 Layaknya hubungan pacaran Subjek 9 Sama kaya’ pacaran

Subjek 10 Pacaran Subjek 11 Ya pacaran itu Subjek 12 Pacaran 2 Apa arti pacaran

Subjek 1 Jadian untuk berpasangan

Subjek 2 Menjalin cinta dengan lawan jenis Subjek 3 Hubungan cinta dengan lawan jenis Subjek 4 Percintaan dengan lawan jenis Subjek 5 Mempunyai satu pasangan cinta Subjek 6 Berkasih-kasihan

Subjek 7 Hubungan kekasih dengan lawan jenis

Subjek 8 Hubungan pacaran sama dengan hubungan cinta Subjek 9 Mempunyai pasangan kekasih

Subjek 10 Menjalin kasih

Subjek 11 Pasangan cinta yang tetap Subjek 12 Menjalin cinta

3 Dalam pacaran apa boleh mempunyai pasangan lawan jenis lebih dari satu

Subjek 1 Tidak

Subjek 2 Tidak

Subjek 3 Tergantung kesepakatan

Subjek 4 Tidak

Subjek 5 Tidak boleh

Subjek 6 Tidak boleh karena hanya satu pasangannya

Subjek 7 Tidak

Subjek 8 Tidak diperkenankan

Subjek 9 Tidak boleh

Subjek 10 Pasangannya tetap cuma satu

(59)

Subjek 12 Tidak boleh

4 Apa yang ada dalam hubungan pacaran

Subjek 1 Persetujuan kedua belah pihak, gairah seksual Subjek 2 Boleh mencium tapi dengan kesepakatan Subjek 3 Kesepakatan dan unsur keintiman seksual Subjek 4 Kesepakatan dan keintiman seksual Subjek 5 Gairah seksual, komitmen dan keintiman Subjek 6 Komitmen, perilaku seksual

Subjek 7 Perlakuan seksual karena ada kesepakatan Subjek 8 Ciuman, pelukan yang ada karena komitmen Subjek 9 Kesepakatan dan perilaku seksual

Subjek 10 Komitmen

Subjek 11 Perilaku seksual dan komitmen Subjek 12 Komitmen dan gairah seksual 5 Apa arti komitmen

Subjek 1 Kesepakatan dua belah pihak

Subjek 2 Kesepakatan

Subjek 3 Persetujuan dua belah pihak Subjek 4 Persetujuan atau kesepakatan

Subjek 5 Perjanjian atau kesepakatan dua belah pihak Subjek 6 Kesepakatan untuk pacaran

Subjek 7 Persetujuan atau kesepakatan dalam berhubungan Subjek 8 Persetujuan dua belah pihak tentang hubungan mereka Subjek 9 Kesepakatan dua belah pihak untuk pacaran

Subjek 10 Perjanjian tentang apapun dari hubungan tersebut Subjek 11 Kesepakatan dua belah pihak untuk pacaran Subjek 12 Kesepakatan antara kedua belah pihak 6 Apa arti komitmen pacaran

(60)

Subjek 3 Persetujuan dua belah pihak untuk pacaran Subjek 4 Persetujuan atau kesepakatan berpacaran Subjek 5 Perjanjian atau kesepakatan dua belah pihak Subjek 6 Kesepakatan untuk pacaran

Subjek 7 Persetujuan atau kesepakatan dalam berhubungan Subjek 8 Persetujuan dua belah pihak tentang hubungan mereka Subjek 9 Kesepakatan dua belah pihak untuk pacaran

Subjek 10 Perjanjian tentang apapun dari hubungan tersebut Subjek 11 Kesepakatan dua belah pihak untuk pacaran Subjek 12 Kesepakatan antara kedua belah pihak

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil preliminary study adalah

bahwa definisi hubungan cinta menurut subjek adalah pacaran, dan menurut

mereka pacaran adalah bermesraan dengan lawan jenis karena mengandung

unsur keintiman. Menurut kebanyakan subjek, pacaran hanya mempunyai satu

pasangan tetap karena ada komitmen dimana pasangan tersebut mempunyai

kesepakatan untuk berpacaran satu sama lain. Kebanyakan subjek mengatakan

bahwa dalam pacaran ada unsur gairah seksual karena dimungkinan terjadinya

kontak seksual.

Berdasarkan kesimpulan di atas operasionalisasi definisi konseptual

dari perilaku TTM yaitu hubungan cinta tanpa komitmen pacaran dapat

diterima dan diwujudkan dalam bentuk item yang akan dipakai pada skala

(61)

G. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

Alat ukur yang dipakai untuk mengumpulkan data penelitian ini berupa

skala. Metode skala digunakan untuk mengungkapkan atau mendapatkan data

mengenai variabel-variabel dalam penelitian ini, yaitu sikap terhadap perilaku

TTM.

Pada skala sikap terhadap perilaku TTM terdapat pernyataanfavorable

dan pernyataan unfavorable dalam jumlah yang seimbang. Pernyataan

favorable adalah pernyataan yang mendukung secara teknis atau memihak objek (sikap) yang akan diukur, sebaliknya pernyataan yang tidak mendukung

atau kontra terhadap objek (sikap) yang diukur disebut pernyataan

unfavorable.

Setiap butir item memuat empat kategori jawaban yaitu Sangat Setuju

(SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Penilaian

yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk pernyataan favorable pilihan Sangat Setuju (SS) diberi skor 4, Setuju (S) diberi skor 3, Tidak Setuju (TS) diberi skor 2 dan Sangat Tidak

Setuju (STS) diberi skor 1.

b. Untuk pernyataan unfavorable pilihan Sangat Setuju (SS) diberi skor 1, Setuju (S) diberi skor 2, Tidak Setuju (TS) diberi skor 3 dan Sangat Tidak

Setuju (STS) diberi skor 4.

Skor untuk tiap-tiap item pada skala dijumlahkan sehingga menjadi

(62)

bahwa subjek mendukung perilaku TTM dan sebaliknya skor yang rendah

menunjukkan bahwa subjek tidak mendukung perilaku TTM.

Ditiadakannya pilihan alternatif jawaban Ragu-ragu (R) didasarkan

pada tiga alasan pokok (Hadi, 1991) bahwa :

1. Mempunyai arti ganda. Bisa diartikan belum dapat memutuskan atau

memberi jawaban, bisa juga diartikan netral, setuju tidak, tidak setuju juga

tidak.

2. Menimbulkan kecenderungan menjawab ke tengah, terutama bagi mereka

yang ragu-ragu atas kecenderungan jawabannya.

3. Maksud kategorisasi jawaban SS-S-TS-STS adalah untuk melihat

kecenderungan pendapat responden, ke arah setuju atau ke arah tidak

setuju.

Berikut sebaran item pada ketiga komponen sesuai favorable dan

unfavorable:

Tabel 2

Blue Print Skala Sikap Sebelum Uji Coba

Nomor Item

(63)

H. PERTANGGUNGJAWABAN ALAT UKUR

1. Validitas Isi

Penelitian ini menggunakan validitas isi, yaitu pengujian validitas

dengan analisis rasional atau melalui Profesional Judgement yaitu dosen

pembimbing skripsi (Azwar, 2002). Validitas isi alat ukur dimaksudkan

untuk mengetahui sejauh mana item-item dalam alat ukur tersebut

mencakup seluruh kawasan isi objek yang hendak diukur (Azwar, 2002).

Analisis rasional pada alat ukur dilakukan untuk melihat kesesuaian antara

item-item dalam suatu skala dengan aspek-aspek yang bersangkutan.

Validitas isi akan tercapai apabila item-item pada suatu alat ukur telah

dianggap mampu mengukur aspek-aspek yang relevan.

2. Analisis Item

Analisis item dilakukan dengan cara menghitung korelasi item

total (rix) dengan menggunakan batasan rix= 0,3, yang berarti item dengan

nilai rix > 0,3 dianggap layak atau baik, sedangkan item dengan nilain rix<

0,3 dianggap gugur. Batasan 0,3 digunakan karena dalam pengembangan

dan penyusunan skala-skala psikologi digunakan harga koefisien korelasi

yang minimal sama dengan 0,3 (Azwar, 2002).

Pengujian kesahihan menghasilkan rix terendah 0,156 sampai

dengan yang tertinggi 0,780. Dari 43 item skala sikap terhadap perilaku

TTM menghasilkan 3 item yang gugur yaitu item nomor 14, 20 dan 35.

(64)

favorable, 1 item dari komponen kognitif unfavorable dan 1 item dari

komponen afektif unfavorable. Sebaran item yang sahih dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 3

Blue Print Skala Sikap Setelah Uji Coba

Nomor Item

Jumlah 21 19 40

Dari 40 item yang lolos seleksi tersebut kemudian disusun

kembali menjadi skala baru untuk penelitian. Sebaran item yang telah

disesuaikan dapat dilihat pada table berikut :

Tabel 4

Blue Print Skala Sikap Penelitian

Nomor Item

Gambar

Tabel 1Hasil Preliminary
Tabel 2
Tabel 3
Gambaran Umum Subjek Penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun begitu, perlu juga dipahami jika gerakan sosial ini meski ada yang sifatnya melembaga dan melakukan kegiatan secara regular namun adapula jenis gerakan sosial yang

KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas karunia-Nya maka tesis ini dapat tersusun dalam melengkapi tugas akhir untuk menyelesaikan

Kedua, hasil akreditasi belum menunjukkan indikator akuntabilitas satuan pendidikan secara maksimal, baik kepada pemerintah, masyarakat, orang tua siswa, maupun siswa, seperti

Jadi, yang dimaksud dengan melakukan query TRIGGER pada contoh di atas adalah untuk melakukan sebuah output bahwa ada data yang sudah dirubah dimana nama data yang lama tersebut

acuan aspek – aspek yang terdapat dalam perilaku asertif. Hasil dari uji koefisien validitas dengan menggunakan. teknik product moment menunjukkan rentang koefisien

Menurut Alqashan (2008), program pelatihan dipandang lebih menguntungkan dibandingkan dengan sesi konseling konvensional karena beberapa alasan, yaitu: (1)

elemen lapisan masyarakat lah yang menjadi target dari hasil pembangunan. Dan mereka juga yang menjadi aktor dari pembangunan itu sendiri. Akan tetapi dalam

Struktur lapisan bawah permukaan yang teridentifikasi oleh geolistrik dan SPT pada lapisan kedua tersebut merupakan jenis tanah bertekstur klastik memiliki butir