• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Keluarga adalah tempat yang penting dimana anak memperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang yang berhasil di masyarakat. Keluarga yang berisi ayah, ibu dan saudara kandung adalah tempat utama bagi individu mendapatkan pengalaman bersosialisasi pertama kalinya, agar dapat tumbuh utuh secara mental, emosional dan sosial. Orang tua mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan menumbuhkan rasa aman, kasih sayang dan harga diri, yang semua itu merupakan faktor kebutuhan psikologis anak. Terpenuhinya kebutuhan psikologis tersebut akan membantu perkembangan psikologis secara baik dan sehat.

Perjalanan hidup seorang anak tidak selamanya berjalan dengan baik. Beberapa anak dihadapkan pada pilihan yang sulit bahwa anak harus berpisah dari keluarganya karena sesuatu alasan, seperti berpisah dengan orang tua dikarenakan harus menempuh pendidikan, terpisahnya anak dengan orang tua yang usia anak masih labil atau masih dalam masa transisi dari anak-anak menuju masa remaja, ini mungkin saja kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi secara wajar. Ganjalan ini membuat anak tidak berdaya. Lebih lagi, tidak adanya orang yang dapat diajak berbagi cerita atau dijadikan panutan dalam menyelesaikan masalah. Apabila hal ini berjalan terusmenerus akan mengakibatkan anak tersebut terganggu dalam kehidupan sehari-hari.

Pada saat anak melewati masa remaja, pemenuhan kebutuhan fisik, psikis, dan sosial juga sangat dibutuhkan bagi perkembangan kepribadiannya karena pada masa remaja dianggap sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak kemasa dewasa. Pada masa trasisi tersebut remaja mengalami berbagai macam masalah yang ada karena adanya perubahan fisisk, psikis, dan sosial. Masa transisi ini banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan. Perkembangan pada remaja pada hakekatnya adalah usaha penyesuaian diri yaitu usaha secara aktif mengatasi tekanan dan mencari jalan keluar dari berbagai masalah. Berhasil tidaknya remaja dalam mengatasi masalahnya tersebut sangat tergantung dari bagaimana remaja mempergunakan pengalaman yang diperoleh dari lingkungannya dan selanjutnya kemampuan menyelesaikan masalah ini akan dapat membentuk sikap pribadi yang lebih mantap dan lebih dewasa.1

(2)

Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu dimana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran lebih lanjut (Hurlock, 1992:233). Remaja yang berusaha menemukan identitas dirinya dihadapkan pada situasi yang menuntut harus mampu menyesuaikan diri bukan hanya terhadap dirinya sendiri tetapi juga pada lingkungannya, dengan demikian remaja dapat mengadakan interaksi yang seimbang antara diri dan kesempatan ataupun hambatan di dalam lingkungan. Penyesuaian diri menuntut kemampuan remaja untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga remaja merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya.

Bagi remaja yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik cenderung menjadi anak yang rendah diri, tertutup, tidak dapat menerima dirinya sendiri dan kelemahan-kelemahan orang lain, serta merasa malu jika berada diantara orang lain atau situasi yang terasa asing baginya.

Menurut Rice (1999), masa remaja adalah masa peralihan, ketika individu tumbuh dari masa kanak-kanak menjadi individu yang memiliki kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal yang penting yang menyebabkan remaja melakukan pengendalian diri. Dua hal tersebut adalah, pertama, hal yang bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan, dan kedua adalah hal yang bersifat internal, yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang membuat remaja relatif bergejolak dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya (storm and stress period).

Penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungan, sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati, prasangka, depresi, kemarahan, dan lain-lain, emosi negatif sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efesien dapat dikikis habis (Kartono, 2000:259)

Anak-anak yang memasuki usia awal remaja tentunya, dalam diri mereka masih dibingungkan dengan keadaan diri mereka sendiri, apalagi yang awalnya mereka bersekolah disekolah biasa yang hanya menawarkan pendidikan formal pada umumnya, dimana setelah selesai jam pelajaran sekolah, siswa diperbolehkan pulang ketempat tinggal masing-masing. Sekolah yang berbasis boarding school di indonesia sementara ini kebanyakan dimulai dari tingkat pendidikan menengah pertama. Siswa yang awalnya sekolah disekolah formal pada umumnya, ketika lulus dari sekolah sebelumnya (SD), dan memasuki untuk pendidikan tingkat selanjutnya kini memiliki dua pilihan apakan akan masuk pada sekolah formal pada umumnya atau memilih sekolah yang berbasis boarding school yang menawarkan kelebihan dari sekolah formal. Anak yang memilih untuk sekolah disekolah formal pada umumnya mungkin tidak

(3)

memerlukan penyesuian diri yang lebih dibandingkan siswa yang memilih untuk sekolah di islamic boarding school, dimana anak yang memilih sekolah islamic boarding school tidak hanya menyesuiankan diri dengan situasi baru sekolah, teman baru, pengajar, tetapi juga dengan lingkungan karena mereka tidak hanya bersekolah tetapi juga tinggal dilingkungan asrama yang telah disediakan oleh sekolah, tidak hanya itu mereka juga yang bersekolah di islamic boarding school juga akan mendapatkan tambahan pelajaran, yaitu pelajaran agama.

Salah satu keistimewaan pendidikan pondok pesantren adalah sistem boarding school atau sistem asrama. Dengan sistem boarding school, santri sepanjang hari dan malam berada dalam lingkungan belajar. Mereka bergaul bersama siswa yang lain dan para ustaz mereka. Para guru/ustaz dapat memantau dan mengarahkan setiap perilaku santri sepanjang waktu. Di samping itu, dengan bergaul sepanjang waktu, memungkinkan bagi santri untuk mencontoh perilaku dan cara hidup ustaz. Sebab, mencontoh merupakan salah satu cara belajar yang paling efektif daripada sekadar belajar secara kognitif.

Dengan model pendidikan ala pondok pesantren, tiga aspek ranah pendidikan, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik akan sangat mudah diimplementasikan. Lain halnya dengan di lembaga pendidikan pada umumnya, bahwa format tiga ranah pendidikan tersebut masih dicari untuk bisa diimplementasikan. Dengan pendidikan ala pondok pesantren ini, tujuan pendidikan nasional dapat pula lebih baik lagi.

Memilih sekolah di pondok pesantren, bukanlah keputusan yang mudah bagi orang tua ataupun anak. Sedikitnya ada tiga hal yang perlu dipersiapkan selain biaya pendidikan. Pertama, perlu adaptasi dengan lingkungan. Sebab, yang biasanya anak bergaul hanya dengan teman sebaya dalam satu wilayah tertentu, kemudian harus bergaul dengan teman secara lebih luas dan kompleks. Sebab, komunitas pesantren berasal dari berbagai daerah dan berbagai karakter. Kedua, perlu kesiapan mental baik dari anak maupun orang tua. Sebab, secara fisik mereka akan berpisah dalam waktu tertentu. Ketiga, perlu kesabaran. Dengan kesabaran yang matang, anak akan mampu menanggulangi berbagai permasalahan yang dihadapinya. Dengan empat hal di atas, diharapkan anak menjadi betah dan siap untuk belajar di lingkungan pondok pesantren (boarding school). Betah merupakan kunci keberhasilan dalam menuntut ilmu di pondok pesantren. Sebab, anak yang cerdas tetapi tidak betah tidak akan mampu konsentrasi dalam belajar. Sebaliknya, anak yang biasa-biasa saja dari sisi kecerdasan bila betah akan mampu berprestasi.

(4)

Sejak tahun 1990-an, bermunculan sekolah-sekolah berasrama atau lazim disebut boarding school. Tak sekadar ingin melahirkan anak-anak yang cerdas, sekolah-sekolah ini juga mempersiapkan calon-calon pemimpin masa depan dengan karakter tertentu . “Para siswa mengalami pengalaman memimpin; menjadi imam shalat berjamaah, bagaimana merasakan mengatur teman-temannya, bagaimana mereka merencanakan kegiatan dan sebagainya. Itu sudah tugas pemimpin,' ujar Prof Dr Bedjo Sujanto, Rektor Universitas Negeri Jakarta.

Boarding school hanya salah satu cara di dalam mengelola sekolah yang ada di Indonesia. Mereka mengasramakan para siswa dan kemudian memberikan tambahan kegiatan di lingkungan sekolah, itu memang akan sangat bermanfaat bagi siswa. Tetapi, untuk membentuk seorang pemimpin masa depan, ada berbagai faktor harus mendukung. Pertama, faktor pendidikan seperti yang dilakukan di boarding school itu. Kedua, adalah faktor talenta atau tekad. Di samping penyiapan suasana pendidikan, faktor tekad juga sangat penting. Yang ketiga adalah lingkungan. Di mana di dalam kegiatan baik di Boarding school atau pun di tempat yang lainnya, lingkungan harus dipersiapkan agar para siswa menjadi pemimpin ke depan. Lingkungan seperti apa yang mendukung akan melahirkan para pemimpin masa depan.

Lingkungan yang sangat kondusif bisa memberikan pengalaman lapangan latihan-latihan di berbagai situasi untuk mereka menjadi pemimpin.. Kalau di boarding school memang diarahkan untuk mencetak calon-calon pemimpin, maka di boarding school bukan kegiatan akademik saja yang diperkuat, tetapi juga kegiatan-kegiatan lainnya, di mana para siswa memperoleh pengalaman optimal dalam aneka kegiatan yang diselenggarakan.Itu pun tidak akan berpengaruh banyak kalau pengalaman menjadi pemimpin tersebut hanya dialami satu dua siswa.. Jadi, mereka harus mengalami bagaimana menjadi imam shalat berjamaah, memimpin pramuka atau pun memimpin kegiatan lainnya.

Bagaimana merasakan mengatur teman-temannya, bagaimana mereka merencanakan kegiatan dan sebagainya. Itu sudah tugas pemimpin. Anda melihat heterogenitas di boarding school itu penting? Para siswa boarding school datang dari berbagai etnis dan suku, itu kelebihan lain dari sistem pendidikan ini. Dalam kaitan ini, memang peluang di boarding school lebih besar dibanding yang lain. Bagaimana sesungguhnya kualitas boarding school yang ada di Indonesia? Kalau bicara kualitas, kita lihat betul ketika sekolah-sekolah yang boarding mesti diisi oleh anak-anak yang meraih berbagai juara. Kenapa? Karena mereka punya frekuensi latihan yang lebih tinggi. Memiliki frekuensi belajar yang lebih tinggi. Dan semua itu sebenarnya sangat

(5)

mendukung bagaimana membuat anak pintar. Kenapa sekolah biasa seringkali ketinggalan? Karena sekolah biasa frekuensi belajarnya lebih rendah dibanding boarding school.

Keunggulan Islamic Boarding School, ada beberapa keunggulan Islamic Boarding School jika dibandingkan dengan sekolah reguler diantaranya:

Program Pendidikan Paripurna Umumnya sekolah-sekolah reguler terkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan akademis sehingga banyak aspek hidup anak yang tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena keterbatasan waktu yang ada dalam pengelolaan program pendidikan pada sekolah regular. Sebaliknya, Islamic Boarding School dirancang untuk program pendidikan yang komprehensif-holistik berupa program pendidikan keagamaan, perkembangan akademik, life skill, juga wawasan global. Bahkan pembelajaran tidak hanya sampai pada tataran teoritis, tapi juga implementasi baik dalam konteks belajar ilmu maupun belajar hidup.

Fasilitas Lengkap Sekolah berasrama mempunyai fasilitas yang lengkap; mulai dari fasilitas sekolah yaitu kelas belajar yang baik, laboratorium, klinik, sarana olah raga, perpustakaan, kebun dan taman hijau. Sementara di asrama fasilitasnya berupa kamar, fasilitas tidur, lemari, kamar mandi, dan lain-lain. Juga dilengkapi dengan dapur yang memadai. 3.Pendidik yang Berkualitas Islamic Boarding School umumnya memiliki pendidik yang cerdas secara intelektual, sosial, spiritual, dan berkemampuan paedagogis-metodologis, serta berjiwa pendidik Islami. Ditambah lagi kemampuan bahasa asing seperti bahasa Inggris dan Arab.

Lingkungan yang Kondusif semua elemen yang ada dalam komplek Islamic Boarding School terlibat dalam proses pendidikan. Aktornya bukan hanya guru atau gurunya bukan hanya guru mata pelajaran, tapi semua orang dewasa yang ada di Islamic Boarding School adalah guru (pendidik). Siswa tidak hanya diajarkan ilmu, namun siswa melihat langsung praktek kehidupan dalam berbagai aspek. Guru tidak hanya dilihatnya di dalam kelas, tapi juga dalam kehidupan kesehariannya. Sehingga cermin kehidupan Islami dan pembiasaan program pendidikan harus diperankan oleh semua elemen Islamic Boarding School (guru, karyawan, dan siswa.).

Siswa & Staf yang Heterogen Para Siswa & Staf di Islamic Boarding School cukup heterogen. Para siswa dan staf yang berasal dari berbagai daerah mempunyai latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan, kemampuan akademik yang beragam. Kondisi ini sangat kondusif untuk membangun wawasan global, melatih kedewasaan, serta menyelaraskan sikap dan tingkah laku dalam bingkai Islami.

(6)

Keamanan yang Optimal Islamic Boarding School berupaya penuh untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Oleh karena itu, tata tertib dan peraturan diberlakukan bagi seluruh elemen yang ada.

Berkualitas Islamic Boarding School dengan program yang komprehensif-holistik, fasilitas yang lengkap, guru yang berkualitas, dan lingkungan yang kondusif dan terkontrol, diharapkan dapat memberikan jaminan kualitas jika dibandingkan dengan sekolah konvensional. Di Islamic Boarding School, perkembangan anak secara intelektual dan spiritual sangat tergantung pada sekolah, karena 24 jam anak bersama sekolah. Hampir dapat dipastikan sedikit sekali variable luar yang “mengintervensi” perkembangan pendidikan anak, selama anak tersebut melibatkan diri sepenuhnya dengan program sekolah.

Pendidikan dengan model berasrama, bukan tidak punya kekurangan. Ada plus, tapi ada pula minusnya. Prof Dr Sutjipto melihat, kekurangan model pendidikan semacam ini karena anak-anak terpisah dari orang tua dan masyarakatnya. ''Itu bisa membuat kehilangan esensi dalam hidup dan kekurangan kasih sayang,'' tutur rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini. Selain itu juga anak yang bersekolah di boarding school akan menghadapi lingkungan yang lain dari sebelumnya dimana anak akan memulai proses kehidupannya dilingkungang yang baru, lingkungan baru tentunnya ada ketidaksamaan dengan lingkungan yang sebelumya, disini anak dituntut untuk bisa menyesuaiakan diri dengan lingkungan yang baru, lingkungan yang baru dimana adanya tambahan pelajaran agama dan jam-jam malam yang diprioritaskan untuk menambah pengalaman spritual dengan melakukan kegiatan keagamaan seperti membaca Al-quran, praktek sholat malam, belajar menyampaikan ceramah keagamaan, beljar tentang hadist, dan lain-lain.

Bersedia atau tidaknya para siswa di dalam melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan barunya tentunya tidak terlepas dari hasil pengamatan dan penilaian yang dilakukan oleh siswa tersebut terhadap lingkungan barunya, dalam hal ini adalah sekolah asrama. Proses pengamatan yang dilakukan oleh siswa terhadap sekolah asrama untuk kemudian hasil pengamatan tersebut diberikan suatu penilaian adalah merupakan proses persepsi.

Allport (Shaver, 1981) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman fenomenologis dari suatu objek atau situasi. Lebih lanjut Baron dan Byrne (1997) menyatakan bahwa persepsi terbentuk melalui impresi seseorang mengenai orang lain atau objek tertentu. Artinya, bahwa setiap siswa akan mempersepsikan sekolahnya sesuai dengan pola pikirnya,

(7)

dan hal itu meliputi pemahaman siswa terhadap sekolahnya, mengenai orang-orang yang berada didalam sekolah, pelajaran dan tugas-tugas sekolah serta aturan-aturan yang berlaku di sekolah.

Pengukuran terhadap pengalaman sosial, aspek formal dan informal dari sekolah, pengalaman yang berhubungan dengan tugas dan hubungan individu dengan figur otoritas dan dengan teman-teman di sekolah didefinisikan oleh Schmidt (1992) sebagai Quality of School Life atau kualitas kehidupan sekolah. Linnakyla menjelaskan kualitas kehidupan sekolah sebagai derajat kesejahteraan dan kepuasan siswa secara umum pada kehidupan di sekolahnya dipandang dari pengalaman positif dan pengalaman negatif siswa di sekolah dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan di sekolah. Pengertian ini mengacu pada rasa sejahtera siswa untuk berada di dalam sekolah, terkait dengan iklim dan kehidupan sekolah (Karatzias, Power dan Swanson, 2001).

Keadaan Islamic Boarding School yang lebih islami dan tentunya tidak mengesampingkan pendidikan formal pada umumnya, seseorang dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya jika ia memiliki keterampilan sosial dan mampu berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman atau dengan orang yang tidak dikenalnya. Keterampilan sosial yang mestinya dimilliki oleh individu yang tinggal di Al-Irsyad Islamic Boarding School.

.Hadi Suyono,Spd (Kepala Sekolah Al Irsyad Boarding School Batu) mengatakan bahwa ada anak-anak panti asuhan yang berperilaku sesuka hatinya seperti sering meledek teman, dan bertengkar, ada yang cenderung pendiam, tidak suka berkumpul dengan teman-teman yang lain, serta ada yang sulit untuk mengikuti kegiatan seperti piket, shalat, mengaji dan kerja bakti.

Remaja di sekolah berasrama bergaul dan berhadapan dengan para pengasuh yang mempunyai peranan sebagai pengganti orang tua. Walaupun esensi dari pengasuh adalah menggantikan yang hilang dari orang tua melalui para pengasuh tetapi kenyataan ini sering sulit dicapai secara memuaskan.

.Dukungan sosial kurang bisa secara maksimal diberikan pada remaja sekolah berasrama disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah rasio jumlah anak asuh dengan pengasuh sangat tidak seimbang, remaja yang jumlahnya sangat banyak tentu menghambat pemberian dukungan sosial secara individu. Bagi remaja sekolah berasrama, lingkungan sekarang

(8)

merupakan lingkungan sosial utama yang dikenalnya dan merupakan sumber dukungan sosial yang utama.

Dukungan sosial tersebut remaja dapatkan dari pengasuh dan teman-teman sesama penghuni. Apabila siswa mendapat cukup banyak dukungan sosial dari lingkungannya dalam bentuk apapun akan membuatnya mampu mengembangkan kepribadian yang sehat dan memiliki pandangan positif, sehingga dirinya memiliki kemampuan untuk mengadakan penyesuaian diri secara harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan.

Berdasarkan berbagai uraian di atas, penulis ingin mengadakan penelitian tentang penyesuain diri pada siswa SMP Al-irsyad Islamic Boarding School Batu

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang diangkat dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui penyesuain diri pada remaja di Islamic Boarding School ?

C. Tujuan Penelitian

Dengan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Penyesuain diri remaja.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

Penelitian ini diharapakan bermanfaat untuk ilmu psikologi, terutama psikologi perkembangan yang didalamnya menyangkut tentang tugas-tugas perkembangan.

2. Praktis

Peneiltian ini dapat memberikan informasi bagi guru dan orang tua tentang bagaimana penyesuaian diri siswa boarding school sehingga hasil penelitian bisa dijadikan sebagai acuan untuk orang tua lebih mengetahui dan juga memberikan perhatian pada anak remajanya untuk dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik .

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji tidak serempak juga menyatakan bahwa kemandirian antara anak tunggal dengan anak sulung, anak tunggal dengan anak tengah, anak tunggal dengan anak

 Mengumpulkan informasi  Tes tertulis proses pengajuan kredit  Laporan hasil pada LK, LKBB dan kredit penugasan pada Unit usaha/unit dalam bentuk produksi sekolah Portofolio 

Azkenik esan beharra dago, baheketa-programak guztiz garrantzitsuak direla birus honek sortutako gaixotasunaren kontrolerako. Hala ere, etor- kizunerako hainbat erronka daude:

Kesimpulan dari hasil kajian menunjukkan efisiensi kipas pada stack sel bahan bakar adalah 0,579 dan aliran hidrogen yang terjadi di dalam microchannel adalah aliran

Buku ini adalah suatu komentari panduan belajar, yang artinya bahwa andalah yang bertanggung jawab terhadap penafsiran anda terhadap Alkitab. Setiap kita harus berjalan dalam

Setelah dilakukan analisis sebagaimana yang dijelaskan secara rinci pada Bab III Laporan Kinerja ini, maka dapat dikatakan bahwa pencapaian kinerja Dinas Tenaga Kerja dan

Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu , dan

relationship building dengan beberapa pendekatan yang dilakukan terhadap kelompok komunitas Kompas Muda Jakarta yang nantinya akan menimbulkan kohesivitas didalam