• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN CUACA EKSTRIM (HUJAN LEBAT) DI WILAYAH KECAMATAN SAPE KAB. BIMA PADA TANGGAL 04 FEBRUARI 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN CUACA EKSTRIM (HUJAN LEBAT) DI WILAYAH KECAMATAN SAPE KAB. BIMA PADA TANGGAL 04 FEBRUARI 2016"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

KAJIAN CUACA EKSTRIM (HUJAN LEBAT)

DI WILAYAH KECAMATAN SAPE KAB. BIMA

PADA TANGGAL 04 FEBRUARI 2016

Surya T D Putra

Sekolah Tinggi Meteorologi dan Geofisika Jakarta

Jl. Perhubungan I no. 5, Tangerang Selatan 15221

Email:

jend.ensun@gmail.com

Abstrak

Hujan lebat terjadi di wilayah Bima dan sekitarnya pada hari Kamis tanggal 04 Februari 2016, dampak yang diakibatkan oleh hujan lebat ini adalah kerusakan dari rumah warga dan infrastruktur. Secara Topografis wilayah Kabupaten Bima sebagian besar merupakan dataran tinggi berstektur pegunungan sementara sisanya adalah dataran rendah. Selain itu sebagian besar wilayah pemukiman penduduk berada di sepanjang pesisir teluk. Kondisi Topografis seperti ini menjadikan wilayah Bima menjadi sangat rentan terhadap kejadian cuaca ekstrim terutama hujan lebat.

Berdasarkan kondisi tersebut maka sangat diharapkan seorang prakirawan mampu menggunakan metode yang tepat dalam meginterpretasikan berbagai model standar dan citra penginderaan jarak jauh yang wajib dikuasai oleh seorang prakirawan. Hal ini sangat perlu untuk dilakukan agar seorang prakirawan mampu menganalisa dan menentukan dengan pasti faktor penentu dan penyebab suatu kejadian ekstrim, sehingga kedepannya seorang prakirawan mampu menentukan metode yang tepat dalam membuat prakiraan dan peringatan dini.

Kata Kunci : Hujan lebat, prakirawan, ekstrim

1.

Latar Belakang

Berdasarkan peraturan KBMKG tahun 2010 yang berisi Keputusan No.009 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan Desiminasi Cuaca Ekstrim menyebutkan bahwa hujan lebat adalah hujan dengan intensitas paling rendah 50 (lima puluh) milimeter (mm)/24 (dua puluh empat) jam dan/atau 20 (dua puluh) milimeter (mm)/jam.

Kondisi cuaca Ekstrim yang akan menjadi bahan penelitian ini yaitu hujan lebat yang terjadi di wilayah

Desa Ne’e, Bugis, dan Sangia

Kecamatan Sape Kab Bima pada hari Kamis tanggal 04 Februari 2015. Berdasarkan data pengamatan curah hujan di beberapa Pos Pengamatan BMKG diketahui bahwa hujan di kecamatan Sape tanggal 4 Februari 2016 merata dengan intensitas lebat hingga sangat lebat. Intensitas sangat lebat terjadi tidak jauh dengan lokasi terjadinya banjir.

Analisa terhadap suatu kejadian fenomena cuaca ekstrim merupakan langkah awal untuk dapat

memprediksikan suatu cuaca ekstrim kedepannya sehingga dapat mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan (Lubis, 2007).

Cara yang digunakan untuk melakukan analisa cuaca ekstrim ini adalah dengan menggunakan analisa global (suhu muka laut), analisa tekanan udara (MSLP) dan angin gradient (streamline), analisa kelembaban udara, citra radar cuaca dan citra satelit cuaca. Untuk analisa udara atas tidak dilakukan dalam penelitian ini karena belum dipasang rason di Stamet M Salahuddin Bima.

2.

Rumusan Masalah

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan penyebab atau faktor pembentuk cuaca ekstrim yang terjadi di wilayah yang akan diteliti. Baik itu yang berasal dari dinamika atmosfer ataupun dari kondisi topografi wilayah ini sehingga nantinya dapat disimpulkan kejadian cuaca ekstrim yang bersangkutan terjadi di wilayahnya atau mendapat dampak dari wilayah terdekatnya yang mengalami

(2)

2

kejadian cuaca ekstrim namun tidak berdampak atau mengalami kerugian.

3.

Data dan Metode

3.1 Data

Data yang digunakan yaitu :

1. Data pengamatan curah hujan pos pengamatan BMKG.

2. Data model Global (suhu muka laut dan anomalinya dalam bentuk peta spasial harian) 3. Data model tekanan udara (MSLP) dan angin

gradient (streamline 3000 ft) 4. Data Kelembaban udara

5. Data citra radar Gematronik Meteor 600C 6. Data citra satelit Himawari 8

Waktu penelitian pada saat terjadi kejadian hujan lebat di tanggal 04 Februari 2016.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan cara melakukan interpretasi secara menyeluruh dari tiap-tiap model yang digunakan dan citra penginderaan jarak jauh seperti radar dan satelit. Dan kemudian dibandingkan dengan data pengamatan curah hujan pada pos pengamatan BMKG. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan ketelitian seorang forecaster dalam menginterpretasikan data model dan citra penginderaan jarak jauh.

a. Model Global

Dalam melakukan interpretasi model global dalam hal ini suhu muka laut harus diperhatikan anomali yang terjadi. Anomali suhu muka laut negatif/positif menunjukkan nilai suhu muka laut yang lebih rendah/tinggi dari rata-ratanya, anomali positif dapat menimbulkan potensi penguapan yang relatif lebih tinggi sehingga pertumbuhan awan dapat terjadi lebih signifikan dari rata-ratanya. Selain itu juga suhu muka laut yang relatif hangat (≥ 29°C) dapat menimbulkan potensi penguapan yang cukup tinggi dan dapat berkontribusi cukup signifikan pada pertumbuhan awan.

Dalam melakukan interpretasi suhu muka laut seorang forecaster akan mendapat kesulitan dimana batas ambangnya tidak jelas sehingga sangat sulit untuk membedakannya. Dan untuk anomali SST sifatnya tidak linear karena memiliki time lag, sehingga dalam melakukan analisa sebaiknya digunakan anomali 3-7 hari sebelumnya.

b. Data tekanan udara

Dalam melakukan analisa terhadap pola tekanan udara permukaan ditunjukkan dalam bentuk peta isobar dari hasil analisis manual atau hasil analisis model. Pusat tekanan rendah (low) dapat membentuk pola angin siklonik yang dapat menimbulkan terbentuknya belokan angin dan pumpunan angin (konvergensi) serta palung tekanan rendah (trough) yang dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan awan dan hujan yang cukup signifikan. Pusat tekanan tinggi (high) pada umumnya menyebabkan kondisi cuaca yang relatif baik di wilayah sekitarnya, karena mengindikasikan adanya beraian (divergen) angin. Gradien tekanan horisontal yang tinggi antara pusat tekanan tinggi (high) dengan pusat tekanan rendah (low) dapat berpotensi menyebabkan timbulnya potensi angin kencang dan pertumbuhan awan konvektif yang dapat menyebabkan hujan lebat.

c. Data angin gradient

Dalam melakukan analisis angin gradient ini dalam bentuk streamline angin lapisan 3000 feet dari hasil analisis secara manual Pola sebaran presipitasi selama dari TRMM. Dari analisa streamline ini dapat kita tentukan daerah konvergensi/ITCZ, daerah shear horizontal dan vertikal, posisi gangguan low dan ganguuan vortex/eddy, serta daerah dengan kecepatan melemah/kecil.

Pola ITCZ Pola jalur ITCZ dapat diidentifikasi dari peta streamline angin lapisan 925 mb (3000 feet). Ketika ada pusat tekanan rendah, maka pola angin dapat membentuk pola pusaran siklonal atau pusaran jenis vortex, dan di wilayah sekitarnya dapat terjadi pola belokan dan pumpunan angin (konvergensi). Pola pumpunan angin yang memanjang ini berpotensi menimbulkan dampak cuaca buruk di wilayah yang terlewati. Sedangkan streamline lapisan 850, 700 dan 500mb digunakan untuk identifikasi shear vertikal dan labillitas udara

d. Data Kelembaban udara

Dalam melakukan analisa terhadap kelembaban udara yang kita perhatikan adalah kelembaban udara maksimum dan minimum pada wilayah yang akan diteliti. Nilai kelembaban udara yang dicantumkan adalah kisaran nilai kelembaban terendah sampai tertinggi yang diasumsikan berlaku untuk semua wilayah prakiraan dalam satuan persen (%).

Jika dilihat dari pola kelembaban udara, kelembaban udara pada lapisan 850 mb yang menunjukkan nilai ≥ 80% mengindikasikan adanya potensi uap air yang cukup banyak sampai pada

(3)

3

lapisan tersebut sehingga kemungkinan untuk terbentuknya awan dan hujan cukup besar. Apabila sampai lapisan 700 mb atau 500 mb kelembaban udaranya mencapai nilai ≥ 80 %, maka kemungkinan ketebalan awan rendahnya cukup tebal, sehingga peluang terjadinya hujan juga cukup tinggi.

Kelembaban udara pada lapisan permukaan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam menentukan kisaran kelembaban yang dicantumkan dalam informasi prakiraan cuaca.

e. Data Citra Radar

Radar merupakan singkatan dari RAdio Detecting And Ranging, dalam pengamatannya radar mendeteksi target dengan memancarkan gelombang radio ke Atmosfer melalui antenna dan mengolah sinyal gelombang yang kembali diterima sehingga posisi, Jarak dan jenis Objek dapat diketahui. Inoformasi yang didapatkan adalah arah dan posisi, intensitas, jenis objek dan pergerakannya. Prinsip kerja radar dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Prinsip Radar

BMKG memiliki sekitar 40 radar C-Band dan 3 radar X Band yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian besar radar yang sudah tersebar ini telah terintegrasi dengan BMKG pusat sebagai server. Analisa data radar cuaca ini digunakan untuk mengetahui sebaran hujan selama 24 jam terakhir. Selain itu juga dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik kejadian hujan seperti lokasi awal terjadinya hujan dan bagaimana pola distribusinya. Karakteristik reflekstifitas dan besarnya intensitas hujan dapt dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Radar Reflectivity factor and rainfall

Ada 3 versi persamaan radar untuk radar cuaca:

1. Daya rata-rata yang diterimanya

Daya sinyal yang diterima menguat dengan bertambahnya daya pancar rata-rata, gain antena, gain sistem, beamwidth antena, faktor koreksi untuk reflektivitas hujan yang disebabkan oleh indeks refraktif air dan reflektivitas relatif air hujan. Tetapi di sisi lain daya sinyal yang diterima melemah terhadap bertambahnya jarak, panjang gelombang radar, redaman atmosfer dan redaman penerimaan.

2. Reflektivitas

Ini adalah rumus untuk menghitung reflektivitas sasaran dalam sel radar, yang kemudian digunakan untuk menghitung curah hujan. Kelompok pertama berupa konstanta. Kelompok kedua berhubungan dengan pemancar; mengandung redaman di pemancar LTX, frekuensi f, daya pancar LTX dan lebar pulsa  yang dipancarkan. Kelompok ketiga berhubungan dengan antena; terdiri dari redaman radome LRA,

redaman antena LA, gain antena Ga, dan beamwidth .

Kelompok berikutnya berhubungan dengan penerima; terdiri dari daya sinyal minimum yang terdeteksi, S/N ratio, redaman matched-filter LMF,

redaman penerima LRX, redaman atmosfer Latm yang

tergantung dari jarak dan sifat atmosfer dan frekuensi radar. Besaran ini harus dihitung untuk untuk setiap sel. Faktor terakhir adalah jarak sel radar yang diukur. Artinya, Z dihitung sendiri-sendiri untuk setiap sel radar.

rx l 2 atm l (cm) 2 (km) 2 0 r 2) (ln 14 2 6.75 ) 3 m / 6 (mm e Z 2 w K (deg) 2 1 ) s ( s g 2 g (W) t P 17 10 5 π (mW) P        2 0 r 2 atm L RX L MF L S/N MDS P 2 2 a G 2 A L 2 RA L TX P 2 f TX L 2 K 3 c ln(2) 10 2 ) 0 ( Z             r

(4)

4

3. Kepekaan Radar

dBZ = 10  log10 Z(r0)

Jika dBZ dihitung antara jarak 10 – 600km, akan kita peroleh tabel dBZ terhadap jarak r. Harga-harga tersebut diperoleh dari radar X-band. Harga-harga tersebut diperoleh dari radar X-band. Kepekaan untuk jarak 50km dengan pulsa panjang, dBZ LP(50km) = 4.781. Jika digunakan pulsa pendek, dBZSP (50km) = 12,42. Jarak deteksi radar umum dapat dihitung dengan :

Dalam pengoperasian sistem radar cuaca dibutuhkan scan strategy atau yang lebih dikenal dengan VCP (Volume Coverage Patterns). Hal ini sangat penting dilakukan untuk meningkatkan kemampuan radar dalam mendeteksi suatu objek. Diantaranya ada 2, yaitu precipitation detection mode

dan dry detection mode. Tiap mode ini terdiri dari VCP yang dirancang khusus untuk digunakan pada suatu keadaan cuaca tertentu. Tiap-tiap VCP memiliki keunggulan dan keterbatasannya sendiri.

Gambar 3. Tipe-tipe VCP

Radar yang terpasang di Bima adalah radar C-Band Selex-Gematronik Meteor 600C yang mulai beroperasi pada Bulan Mei 2010. Karena berada di frekuensi C-Band (5,6-5,65 GHz) radar tipe ini cocok digunakan untuk mendeteksi presipitasi. Scan strategy yang dilakukan di Bima adalah VCP31 dan VCP 21 disesuaikan dengan kondisi cuaca di wilayah

Bima dengan periode scan tiap 10 menit. Hasil dari scan radar tadi menjadi raw data yang nantinya hanya bisa dibaca atau dikonversikan kedalam bentuk image (JPEG) dengan menggunakan software Rainbow.

f. Data Citra Satelit

Satelit Meteorologiadalah satelit yang bertujuan untuk mengamati kondisi atmosfer dan digunakan untuk penelitian atau informasi mengenai cuaca. Terdapat 3 macam pola orbit satelit yang ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Pola orbit satelit

Saat ini BMKG menggunakan data dari satelit Himawari 8 yang mulai beroperasi pada tanggal 07 Juli 2015 menggantikan MTSAT-2 (atau juga yang dikenal dengan Himawari 7). Rencananya Himawari 9 akan diluncurkan pada tahun 2016 sebagai back up

dan kedepannya akan menggantikan Himawari 8. Kedua satelit ini nantinya akan berada di orbit satelit pada 140°BT dan akan melakukan pengamatan di sekitar wilayah Timur Asia dan wilayah baratan Pasifik selama periode 15 tahun. Setiap gambar yang diperoleh Himawari 8/9 nantinya akan didistribusikan ke setiap NMHS via internet cloud service ditunjukkan pada gambar 5.

Gambar 5. Distribusi data Himawari via Himawari cloud (internet)

Data dari satelit cuaca ini kemudian digunakan untuk mengetahui sebaran pertumbuhan awan selama

4

L

1

S/N

F

B

0

T

K

3

64

2

2

G

t

P

max

R

(5)

5

24 jam terakhir. Pola distribusi awan didapatkan dengan memperhatikan pola pertumbuhan awan selama 24 jam atau beberapa jam ke belakang, seorang prakirawan dapat mengetahui karakteristik pertumbuhan awannya, seperti lokasi awal pertumbuhan dan periode perkembangannya.

Ada beberapa Kanal yang ada pada satelit MTSAT dan Himawari, diantaranya :

 Kanal visible: pantulan sinar matahari.

 Kanal IR: dari radiasi panas.

 Kanal37: siang hari menggunakan pantulan sinar matahari, malam hari menggunakan brightness temperature.

 WV: uap air pada lapisan atas dan tengah. SMC JMA mengembangkan sebuah software yang digunakan untuk menganalisa citra satelit, yaitu software SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis). SATAID dikemas dalam bentuk open source dengan format data terbuka (.Z). Kelebihan dari SATAID :

-

Dapat memproses data secara cepat

-

Dapat mengoverlay citra satelit dengan citra

lainnya seperti : NWP, synop, metar, radar

-

Menampilkan

animasi

citra

sehingga

mengetahui perubahan fisis awan terhadap

waktu.

Beberapa versi dari SATAID diantaranya yaitu : GMSLPW, GMSLPD, dan GMSLPC.

Berikut ini adalah diagram alur penelitian dalam pembuatan kajian cuaca ekstrim hujan lebat di Desa Ne’e, Bugis, dan Sangia Kecamatan Sape Kabupaten Bima:

Gambar 6. Diagram Alir

4.

Analisa dan Pembahasan

4.1 Informasi kejadian banjir Kecamatan Sape Kabupaten Bima

4.2 Data Curah Hujan

Berdasarkan data pengamatan curah hujan di beberapa Pos Pengamatan BMKG diketahui bahwa hujan di kecamatan Sape tanggal 4 Februari 2016 merata dengan intensitas lebat hingga sangat lebat. Intensitas sangat lebat terjadi tidak jauh dengan lokasi terjadinya banjir.

4.3 Analisa Suhu Muka Laut

Gambar 7a. Sea surface temperature

LOKASI

Desa Ne’e, Bugis, dan Sangia Kecamatan Sape Kabupaten Bima

TANGGAL 4 Februari 2016

DAMPAK

1 unit rumah roboh, 1 jembatan rusak berat, 100 unit rumah, ±100 ha lahan pertanian, 2 unit sarana ibadah, 1 unit sekolah terendam (sumber BPBD Kabupaten Bima). POS HUJAN (Kab. Bima) CURAH HUJAN (mm) 1 hari sebelum kejadian CURAH HUJAN (mm) 1 hari pada saat kejadian KET Lambu 40 88.0 Lebat. Wawo 27.0 60.5 Lebat

Sape Sari 16.0 173.0 Sangat

(6)

6

Gambar 7b. AnomalySea surface temperature weekly

Dari kedua gambar di atas terlihat bahwa

suhu muka laut di wilayah perairan Indonesia

selatan khususnya di wilayah Nusa Tenggara

Barat berkisar 30-32°C. Anomali suhu muka laut

di wilayah perairan NTB jg berkisar di antara

0,5-1°C, yang artinya suhu muka laut lebih panas

sebesar 0,5-1°C dari normalnya. Tetapi terlihat

untuk region Nino 4 masih terjadi anomaly yang

jauh lebih panas di bandingkan dengan perairan

Indonesia.

Berdasarkan dari kedua kondisi di atas (suhu

muka laut dan anomalinya) mengakibatkan

penguapan tinggi sehingga memberikan suplai

uap air yang cukup besar untuk menghasilkan

pertumbuhan

awan-awan

konvektif

yang

berpotensi terjadinya hujan lebat. Wilayah yang

dilewati oleh kondisi ini cenderung berpotensi

terjadinya cuaca buruk.

4.4 Analisa Tekanan udara (MSLP)

Gambar 8. Peta Isobar

Dari gambar peta isobar di atas terlihat bahwa di wilayah tenggara hingga selatan perbatasan Indonesia-Australia dilewati oleh palung(trough). Wilayah yang dilewati atau yang berada di sekitar palung ini sangat berpotensi untuk terjadinya pertumbuhan awan-awan konvektif.

Wilayah selatan perairan NTB cukup dekat dengan daerah palung, sehingga wilayah perairan selatan NTB berpotensi terjadinya cuaca buruk.

4.5 Analisa Angin Gradient

Gambar 9. Peta Streamline

Dari analisa angin gradien pada lapisan 3000 ft terlihat adanya beberapa daerah tekanan rendah (Low) di Samudera Hindia dan Australia, selain itu terlihat adanya daerah Intertropical Convergence Zone (ITCZ) yang terbentuk di sepanjang wilayah Nusa Tenggara hingga memasuki Laut Arafura Arafura yang meningkatan potensi pertumbuhan awan hujan di wilayah sekitarnya.

Kondisi angin gradien di atas wilayah Pulau Sumbawa bertiup dari Barat- Barat Laut dengan kecepatan maksimum 15 knot (30 km/jam). Untuk wilayah yang dilewati oleh ITCZ akan terbentuk bentangan pertumbuhan awan-awan konvektif seperti

Cumulonimbus (CB) yang berpotensi terjadinya hujan lebat. Terlihat dari gambar 9 bahwa wilayah Nusa Tenggara Barat dan sekitarnya dilewati oleh

ITCZ. Dari kondisi ini wilayah NTB sangat berpotensi terjadinya hujan lebat.

4.6 Analisa Kelembaban udara

(7)

7

Gambar 10b. Peta RH 700 Mb

Hasil analisa model kelembaban udara tanggal 4 Februari 2016 20.00 Wita lapisan 850 mb berkisar antara 80-90%. Lapisan 700 mb berkisar antara 70-80%. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat kelembaban udara untuk wilayah Bima tinggi sehingga mempengaruhi pertumbuhan awan hujan.

4.7 Analisa Citra Radar

Gambar 11a. Citra Radar pkl 18.00 WITA

Dari citra radar terlihat bahwa pada pukul 18.00 WITA wilayah sebelah barat, selatan dan tenggara dari site radar terdeteksi adanya presipitasi dengan nilai reflektivitas sekitar 40-45 dbz, artinya wilayah tersebut telah terjadi hujan lebat.

Gambar 11b. Citra Radar pkl 19.00 WITA

Pada pukul 19.00 WITA terlihat pola pergerakan reflektivitas yang menyebar ke arah timur dengan nilai reflekitivitas sama dengan sejam sebelumnya tetapi semakin luas bahkan untuk wilayah utara dan barat daya terlihat adanya pertumbuhan sel konvektif baru dengan nilai reflektivitas sekitar 35-40, artinya di wilayah tersebut telah terjadi hujan sedang.

Gambar 11c. Citra Radar pkl 19.20 WITA

Pada pukul 19.20 WITA terlihat pola reflektivitas sudah tersebar di seluruh wilayah di sekitar site radar. Dan terlihat bahwa software Rainbow mendeteksi adanya warning di wilayah Timur dari site radar dengan reflektivitas sekitar 45-50 dbz, artinya di wilayah ini telah terjadi hujan sangat lebat.

Pertumbuhan sel di wilayah utara terlihat sudah mulai berkurang menunjukkan bahwa di wilayah ini curah hujan semakin berkurang.

(8)

8

Gambar 11d. Citra Radar pkl 20.10 WITA

Pada pukul 20.10 WITA terlihat bahwa warning pada software Rainbow sudah tidak ada, menunjukkan bahwa reflektivitas di wilayah timur radar sudah mulai berkurang hingga 35 dbz, artinya di wilayah ini curah hujan mulai berkurang namun masih dalam kondisi hujan sedang.

Wilayah utara dari site radar terlihat sudah tidak ada lagi nilai reflektivitasm menunjukkan bahwa di wilayah tersebut sudah tidak ada hujan. Dan jika dilihat pola reflektivitas saat ini dan dibandingkan dengan pola reflektivitas dari jam sebelumnya terlihat bahwa semakin menyempit menunjukkan kondisi cuaca semakin membaik.

Gambar 11e. Citra Radar pkl 22.30 WITA

Pada pukul 22.30 WITA terlihat pola sebaran reflektifitas kembali meluas untuk wilayah tenggara hingga barat di sekitaran wilayah site radar tetapi hanya dengan nilai reflektivitas berkisar sekitar 30-40 dbz, artinya di sekitar wilayah ini telah terjadi hujan dengan intenstias ringan hingga sedang.

Gambar 11f. Citra Radar PAC (Akumulasi CH 6 jam)

Produk Radar PAC menunjukkan jumlah akumulasi curah hujan yang terjadi selama rentang waktu yang diinginkan. Pada penelitian ini digunakan akmumulasi curah hujan selama 6 jam. Dari gambar 11f. terlihat bahwa produk PAC di generate pada pukul 23.10 WITA, artinya jumlah curah hujan yang diakumulasikan yatitu curah hujan dari pukul 17.10 WITA hingga 23.10 WITA.

Terlihat bahwa jumlah curah hujan terukur maksimum pada Software Rainbow yaitu 25 mm di wilayah Timur dari site radar.

Gambar 12a. citra satelit 18.00 WITA

Dari Citra satelit terlihat pertumbuhan awan pada pukul 18.00 WITA mulai terbentuk pertumbuhan awan konvektif di sepanjang wilayah Timur laut hingga selatan Kab. Bima

(9)

9

Gambar 12b. citra satelit 19.00 WITA

Pada pukul 19.00 WITA citra satelit menunjukkan bahwa pertumbuhan awan konvektif berkurang namun menyebar di sepanjang wilayah selatan Kab.Bima, dimana pertumbuhan awan wilayah utara mulai berkurang. Tetapi untuk wilayah barat terlihat mulai terbentuk pertumbuhan sel konvektif.

Terlihat adanya pergerakan dari pola awan ke arah timur. Jika kondisi ini bertahan maka dalam beberapa jam ke depan bisa dipastikan seluruh wilayah Kab. Bima akan diselimuti oleh kumpulan awan konvektif dan berpotensi terjadinya hujan sangat lebat.

Gambar 12c. citra satelit 20.00 WITA

Pada gambar 18 terlihat bahwa citra satelit menunjukkan adanya kumpulan sel konvektif yang aktif di seluruh wilayah Kab Bima dan berpotensi terjadinya hujan lebat-sangat lebat.

Gambar 12d. citra satelit 21.00 WITA

Dari gambar citra satelit di atas terlihat pertumbuhan awan konvektif yang menyebar pada pukul 21.00 WITA dan mengalami penurunan intensitas. Wilayah Kab. Bima dan sekitarnya berpotensi terjadi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat. Pertumbuhan sel konvektif terlihat semakin meluas hingga ke wilayah barat dan utara Kab Bima.

5.

Penutup

5.1 Kesimpulan

1. Menghangatnya suhu muka laut di perairan Indonesia menyebabkan potensi terjadinya awan hujan di wilayah NTB khususnya Kabupaten Bima.

2. Dari analisa angin tanggal 4 Februari 2016 terlihat adanya pembentukan ITCZ di sepanjang Nusa Tenggara hingga Laut Arafura. Kelembapan udara yang tinggi (70% - 90%) pada lapisan 850mb dan 700mb) yang menyebabkan terjadinya hujan intensitas sedang hingga lebat dengan durasi yang cukup lama.

3. Hujan yang terjadi di wilayah Kecamatan Sape tanggal 4 Februari 2016 berintensitas Sedang dengan durasi lama ±6 jam. Hujan dengan intensitas tinggi terjadi di wilayah Lambu dengan curah hujan 88.0 mm/24 jam dan mengakibatkan aliran air dari dataran tinggi (Wawo) ke wilayah dataran rendah (Sape).

4. Kondisi Musim : Bulan Februari 2016 Kecamatan Sape mengalami musim hujan.

Jumlah curah hujan rata-rata Bulan Februari adalah 236,2mm. Rata-rata maksimum curah hujan terjadi pada bulan Januari.

(10)

10

5.

Daftar Pustaka

BMKG. (2010). Keputusan No.009 Tentang Prosedur Standart Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim. BMKG: Jakarta. Lubis, et al, (2007).Visualisasi bencana Meteorologi

di Indonesia, Laporan Akhir Riset KK-ITB 2007,ITB, Bandung.

Zakir, Achmad. 2009. Perspektif Operasional Cuaca Tropis. BMKG. Jakarta.

Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M.K., 2010,

Perspektif Operasional Cuaca Tropis, Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

Gambar

Gambar 1. Prinsip Radar
Gambar 5. Distribusi data Himawari via Himawari cloud (internet)  Data  dari  satelit  cuaca  ini  kemudian  digunakan  untuk mengetahui sebaran pertumbuhan awan selama
Gambar 7a. Sea surface temperature LOKASI
Gambar 8. Peta Isobar
+4

Referensi

Dokumen terkait

 Malam hari : di beberapa tempat wilayah Sumsel umumnya masih berpotensi hujan lokal; yang berpotensi hujan ringan di kab PALI dan Banyuasin; berpotensi hujan sedang di kab

(1) Bidang Pendapatan Asli Daerah II sebagai unsur lini mempunyai tugas pokok membantu Kepala Badan dalam memimpin dan menyelenggarakan urusan penunjang urusan

Dari Gambar 2.7 tersebut dapat dilihat keefektifan sengkang spiral dalam menahan inti beton lebih baik daripada sengkang persegi, karena pada pengekangan spiral

a. Cara minum obat sesuai anjuran yang tertera pada etiket atau brosur.. Penggunaan obat tanpa petunjuk langsung dari dokter hanya boleh untuk penggunaan obat bebas dan obat

Maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat hubungan antara karakteristik umur dan tingkat pendidikan terhadap pengetahuan tentang Tanaman Obat Keluarga dalam

Namun menurut Misdiyono (2007), tarif selular di Indonesia sangat mahal. Biaya pembangunan satu buah jaringan wireless saat ini sudah kurang dari 100 Dolar AS, sedangkan biaya

• Jika Jika anda anda belum belum dapat dapat membantu, membantu , kami kami tetap tetap akan akan memberikan. memberikan penuntun penuntun P.A ini P.A ini secara secara cuma-

Sebagai sebahagian daripada pemindahan antarabangsa Data Peribadi yang diterangkan di atas dan setakat yang dibenarkan oleh undang-undang yang berkuat kuasa, Bank boleh