• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA - Test Repository"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD

TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM

PERCERAIAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Salah SatuSyarat

Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NURUL MIMIN JANNAH

NIM: 211-12-036

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS

SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)

TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD

TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM

PERCERAIAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah SatuSyarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Nurul Mimin Jannah

NIM 211-12-036

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS

SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)

(4)
(5)
(6)
(7)

MOTTO

كْ كُا أَ كْ أَ إِ أَ كْ إِ كْ كُ أَ أَ كْاأَ نّ إِ

(8)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta

karunia-Nya, skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Sugiharto dan Ibu Siti Aisyah yang

telah mencurahkan segenap kasih sayangnya, do‟anya, serta segala

dukungannya dalam setiap langkah-langkahku.

2. Kakak serta adik-adikku tersayang serta keponakan kecilku, mbak

Nida, Mas santo, adik Eva, adik Erna, serta adik Afif, dan nok Marsa,

yang dukungan serta doanya tak pernah surut mengiringi

perjuanganku.

3. Adik sepupuku, Bapak Ilya Muhsin beserta keluarga yang telah

berperan sebagai orang tua keduaku selama aku merajut impian di

Salatiga.

4. Dosen pembimbing skripsiku sekaligus Ketua Jurusan Ahwal al

Syakhshiyyah, Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si yang tak pernah lelah

membimbingku untuk menyelesaikan skripsiku ini.

5. Bapak Yusuf Khumaini yang telah memberikan inspirasi dalam

penulisan skripsi ini.

6. Segenap dosen Fakultas Syari‟ah yang telah mengiklaskan waktu dan

tenaganya untuk membagikan ilmunya kepadaku.

7. KH. Husein Muhammad beserta keluarga yang telah membagikan

(9)

8. Segenap Kyai-kyaiku di pondok pesantren Salafiyah yang tak pernah

lelah membimbing jiwa dan ragaku untuk tetap berada di jalanNya.

9. Keluarga besar Santri putra&putrid Salafiyah, Pulutan, Sidorejo

Salatiga, yang tak pernah lelah menyemangati serta memberi warna

dalam hidupku.

10.Teman sekamarku kak Khuza dan teman seperjuanganku dari Aliyah

hingga menyelesaikan S1 ku, Mbak Erni. Semoga persahabatan kita

tidak berhenti sampai di sini.

11.Mas Rio, Kang Asdi serta Nilta dan Sita yang telah tulus iklas

menjemputku dari stasiun tengah malam pasca penelitian.

12.Keluarga besar pondok pesantren Darul Qur‟an dan Darut Tauhid

Arjawinangun, Cirebon.

13.Mas Nawal dan Gus Hasan yang telah mengantarkanku bertemu

dengan Buya Husein.

14.Keluarga besar PMII kota Salatiga.

15.Pengurus DEMA IAIN Salatiga periode 2016-2017.

16.Teman-teman seperjuanganku angkatan 2012, khususnya jurusan

Ahwal al Syakhshiyyah.

17.Teman-teman seperjuangan peraih beasiswa BIDIKMISI YA

(10)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim

Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga

penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “TELAAH PEMIKIRAN

KH. HUSEIN MUHAMMMAD TERHADAP KESETARAAN GENDER

DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA”.

Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi agung, Nabi

Akhiruzzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta

pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah

yang membawaumatmanusiadarizamankegelapanmenujuzaman yang

terangbenderang, yakniDinul Islam.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak yang telah tulus

iklasmembantupenulismenyelesaikanskripsiini.

Olehkarenaitupenulismengucapkanbanyakterimakasihkepada:

1. Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.

2. Ketua Jurusan serta Pembimbimbing skripsi saya, Bapak Sukron Ma‟mun,

M.Si. yang dengan iklas membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan

(11)

3. Bapak serta Ibu dosen serta karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang

telah membagi ilmu-ilmunya sehingga penulis mampu menyelesaikan jenjang

pendidikan S1.

4. Kepada KH. Husein Muhammad yang telah memberikan ilmu-ilmunya

kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

maka kritik dan saran yang bersifa tmembangun sangat penulis harapkan.Semoga

hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, serta pembaca

padaumumnya.Amin.

Salatiga, 06 September 2016

(12)

ABSTRAK

Jannah, Nurul Mimin.2016 “Telaah Metode Pemikiran KH. Husein Muhammad

terhadap Kesetaraan Gender dalam Hukum Perceraian di

Indonesia”.Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwalusy Syakhshiyyah, Institut Agama Islam Negri. Pembimbing: Sukron Ma‟mun, M.Si.

Kata Kunci: Pemikiran K.H.Husein Muhammad dan Hukum Percerain di Indonesia.

Kyai Husein merupakan salah satu ulama dari beberapa ulama karismatik yang dimiliki oleh negeri ini.KyaiHuseinjugatermasuksalahsatutokoh gender di

managagasan-gagasanpembaharuannyasangatbriliandandiapresiasiolehbanyakkalangankhususny adarikalangan yang memperjuangkankesetaraan gender. Latar belakang Kyai Husein sebagai ulama juga menjadi tolak ukur masyarakat dalam pengambilan gagasan pemikiran yang KyaiHuseinkemukakan.

Permasalahan gender sangatberagam,

mulaidarimasalahdomestikhinggamasalahpublik. Salah satupermasalahan gender yang seringterjadiyaitumasalahrumahtangga. Masalah rumah tangga mencakup

juga masalah perceraian. Berdasarkan latar belakang di atas,

kemudianpenelitimerumuskankedalamtigapertanyaansebagaiberikut: 1.

Bagaimanabasis pemikiran K.H. Husein Muhammad? 2. Bagaimana pemikiran KH. Husein Muhammad dan metode pemikirannya tentang kesetaraan gender dalam hokum perceraian di Indonesia? 3. Bagaimana relevansi hukum perceraian di Indonesia terhadap kesetaraan gender?

Sehubungan dengan pertanyaan di atas peniliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dan pendekatannya melalui pendekatan gender.Metode yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi.Wawancara dilakukan langsung dengan Kyai Husein.

(13)

bagi perempuan dalam menyelesaikan kasus perceraian, yakni perceraian harus dilakukan melalui Pengadilan Agama, sehingga laki-laki tidak bisa menceraiakan istrinya semaunya sendiri. Ketentuan semacam ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab Fiqh klasik yang digunakan rujukan bagi para hakim di Pengadilan Agama.

(14)

F. Telaah Pustaka …..………...…...

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian ….………...

2. Pendekatan Penelitian ………...

3. Kehadiran Peneliti ……….………...

4. Sumber Data ………...

H. Prosedur Pengumpulan Data ….………...…………...

I. Tahap-Tahap Penelitian …………...

J. Sistematikan Penulisan ………...

BAB II KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM

PERCERAIAN

A. Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam ………...

B. Teori Gerakan Gender

1. Feminisme Liberal ……..………...

2. Feminisme Marxis ………..………...

3. Feminisme Radikal ………...…..……...

4. Feminisme Sosial ………..…………...

C. HukumPerceraian di Indonesia ………...

D. Kesetaraan Gender dalam Hukum Perceraian di

Indonesia …...

BAB III KYAI HUSEIN DAN KETERLIBATANNYA DALAM

(15)

B. Pendidikan Kyai Husein ………...

C. Karya-Karya Kyai Husein ……….………...

D. Keterlibatan Kyai Husein dalam Gerakan Gender ...

E. Pengalaman Organisasi Kyai Husein ………....………

BAB IV PEMIKIRAN KYAI HUSEIN TENTANG

KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM

PERCERAIAN DI INDONESIA

A. Basis Pemikiran Kyai Husein …………...………

B. Pemikiran Kyai Husein dalam Hukum Perceraian di

Indonesia ...

C. Metode Pemikiran Kyai Husein ………...

D. Relevansi Hukum Perceraian di Indonesia Terhadap

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto Kegiatan Penelitian …………..………..……. 87

Lampiran 2. Konsultasi Skripsi ……….……….. 89

Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian ………...……… 91

Lampiran 4. Surat Keterangan Penelitian………….…………...………... 92

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini

berpasang-pasangan termasuk laki-laki dan perempuan.Namun, Allah juga membatasi

pergaulan antar laki-laki dan perempuan.Maka dari itu, Allah menurunkan

syari‟at Islam yang mengatur hubungan antara laki-laki dan

perempuan.Salah satu aturan tersebut yaitu melalui sebuah

pernikahan.Pernikahan adalah satu-satunya sarana untuk membuat sebuah

ikatan yang bernama keluarga.

Segala sesuatu yang Allah ciptakan pasti mempunyai hikmah tidak

terkecuali pernikahan itu sendiri.Seorang laki-laki dan perempuan

merupakan mitra dalam sebuah rumah tangga. Suami dan istri mempunyai

peranan masing-masing dalam menjalankan fungsinya, namun dalam

peranan tersebut antara suami istri harus saling melengkapi satu sama lain

agar tercipta rumah tangga yang harmonis dan dapat mengarungi

kehidupan rumah tangga yang tenang sehingga memunculkan kehidupan

yang stabil (Al Jarwani, 1997: 309). Pernikahan adalah sebuah karunia

dari Allah kepada hamba-Nya karena pernikahan dapat memberikan rasa

ketentraman, kedaimaan dan rasa cinta kasih antara pasangan suami istri,

(18)

كْ كُ أَ كْيأَب أَلأَعأَجأَو أَهكْيأَلإِااكْىكُ كُ كْسأَتِّل ًجاأَوكْزأَا كْ كُ إِسكُفكْنأَا كْنِّ كْ كُ أَل أَقأَلأَخ كْ أَا هإِتيا كْنإِ أَو

Pernikahan bukan hanya sebuah ikatan biologis semata namun ada

sebuh ikatan batin di dalamnya. Hal ini sesuai dengan definisi perkawinan

dalam Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 yang

berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Definisi dari pengertian perkawinan di atas bukan hanya sekedar

kata-kata namun ada makna filosofis di dalamnya ada istilah kekal yang

bermakna bahwa tujuan pernikahan adalah menjalin sebuah ikatan yang

tidak ada batasan waktunya dan untuk selamanya (Farida, 2007: 3).

Ayat di atas berisikan prinsip pernikahan yang harus dijaga antar

kedua belah pihak suami dan istri, prinsip yang dimaksudkan dalam ayat

tersebut yaitu prinsip mawaddah wa rahmah yang berarti cinta dan kasih

sayang yang harus dijaga oleh kedua belah pihak pasangan suami dan istri

agar dapat tercipta pernikahan yang langgeng.

Keadaan sebuah pernikahan tidak dapat dipungkiri pasti

mempunyai problem-problem yang sedikit banyak mengganggu

keharmonisannya.Konflik-konflik kecil selalu mewarnai perjalanan

kehidupan sebuah pernikahan.Dari sinilah kehidupan rumah tangga mulai

(19)

permasalahan rumah tangga mereka jika konflik terus berkepanjangan dan

tidak menemukan titik temu, maka tujuan perkawinan yang diinginkan

mustahil untuk didapatkan.

Perceraian merupakan solusi akhir dari semua konflik yang tidak

kunjung ditemukan solusinya. Menurut hukum positif di Indonesia

perceraian hanya dalam dilakukan melalui Pengadilan Agama untuk

masyarakat yang beragama Islam, sesuai dengan UU No.7 tahun 1989 jo.

UU No. 50 tahun 2009.

Perceraian antara suami istri ditandai dengan jatuhnya talak kepada

pihak istri.Hak talak menurut agama Islam hanya diberikan kepada pihak

suami saja (Sabiq, 1980: 15).Sahnya talak hanya ketika diucapkan oleh

pihak suami.Penjatuhan talak tersebut tidak memandang tempat dan

waktu. Berbeda dengan perempuan, pada prinsipnya perempuan berhak

untuk menuntut cerai suaminya jika sang suami dianggap tidak mampu

memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami, namun gugatan

perceraian hanya dapat dilaksanakan melalui Pengadilan saja. Cerai seperti

ini dinamakan khulu‟ (cerai gugat). Menurut Sayyid Sabiq khulu‟ yaitu:

“istri yang menebus dirinya dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya”.

Perceraian menimbulkan akibat hukum yang bermacam-macam,

dalam KHI pasal 149 disebutkan ada 4 (empat) butir ketentuan perkawinan

yang putus karena talak, yaitu suami berkewajiban: 1) memberikan

(20)

kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul. 2) memberikannafkah,

maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas

istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

3) melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila

qobla al dukhul. 4)memberikan biaya hadhanah untuk anak-anak yang

belum mencapai umur 21 tahun.

Para pakar gender memandang ketentuan seperti ini masih bias

gender karena jika ditinjau dalam KHI pasal 119 yang berbunyi bahwa

talak yang dijatuhkan olehPengadilan Agama disamakan dengan talak

ba‟in yang berimplikasi bahwa perempuan yang mengajukan cerai tidak

dapat menerima nafkah iddah (Munti& Anisah 2005: 125). Nafkah iddah

adalah nafkah yang diberikan suami kepada istri yang diceraikan namun

masih dalam masa iddah.Masalah iwadh (tebusan dari pihak istri yang

meminta cerai kepada suami) dalam gugatan cerai yang diajukan oleh istri

juga dipandang tidak adil karena dalam masalah percerain antara suami

dan istri tidak mesti pihak istri yang melakukan kesalahan bahkan

biasanya suamilah yang tidak melakukan kewajibannya sebagai suami

sehingga sang istri memintai cerai. Ketidakadilan lainnya yaitu apabila

sang istri menggugat cerai maka seluruh biaya perceraian dibebankan

kepada pihak penggugat dalam hal ini adalah istri(Farida 2007: 33).

Meskipun istri yang menggugat suaminya, namun apabila pengadilan

mengabulkan gugatan istri, putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan

(21)

meskipun pihak istri yang menggugat cerai secara simbolis bermakna

bahwa talak tetap berada dalam kuasa seorang suami yang istri sebagai

penerima (Munti& Anisah 2005: 78)

Melalui keprihatinan inilah para aktifis gender berupaya untuk

menyamakan hak antara suami dan istri yang mengajukan perceraian.

Salah satu penggiat gender adalah KH.Husein Muhammad yang dikenal

dengan Kyai Husein.Kyai Husein adalah salah satu dari beberapa tokoh

karismatik yang dimiliki oleh negeri ini. Kyai Husein merupakan salah

satu tokoh gender yanggagasan-gagasan pembaharuannya sangat brilian

dan diapresiasi oleh banyak kalangan khususnya dari kalangan yang

memperjuangkan kesetaraan gender.Meskipun hukum Indonesia telah

mengatur tata caracerai gugat, namun akibat hukum dari cerai gugat

berbeda dengan cerai talak. Kyai Husein juga berpendapat bahwa

sebenarnya produk hukum dalam UU No. 1 tahun 1997 dan KHI masih

terlihat bias gender. Aturan-aturan tersebut cenderung mendiskriminasikan

perempuan. Salah satunya yaitu tentag pembatasan umur nikah dalam

pasal 15 ayat 1 KHI, kemudian tentang nusyuz bagi perempuan dan lain

sebagainya (Muhammad,2016: 155). Perceraian yang dilandasi dengan

nusyuz (yang hanya dimiliki pihak perempuan) akan memberikan akibat

hukum yang berbeda dalam putusan Pengadilan. Keputusan seperti ini

dianggap para penggiat gender sebagai pendiskriminasian terhadap

(22)

Sumbangsih Kyai Husein terhadap perjuangan kesetaraan gender

tidak dapat diragukan lagi terbukti dari posisi Kyai Husein yang menjabat

sebagai salah satu komisioner komnas perempuan hingga sebagai pendiri

beberapa LSM yang menangani isu-isu hak-hak perempuan. Latar

belakang Kyai Husein yang juga sebagai salah satu ulama juga menjadi

tolak ukur masyarakat dalam pengambilan fatwa yang beliau kemukakan.

Penulis tertarik untuk mengetahui tentang bagaimana pendapat

Kyai Husein tentang bagaimana hukum percerain di Indonesia. Oleh

karena itu penulis ingin melakukan penelitian yang berjudul “TELAAH

METODE PEMIKIRAN KH.HUSEIN MUHAMMAD TERHADAP

KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI

INDONESIA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah saya sampaikan di

atas, maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah:

1. Bagaimana basis pemikiran KH. Husein Muhammad?

2. Bagaimana pemikiran KH. Husein Muhammad dan metode

pemikirannya tentang kesetaraan gender dalam hukum perceraian di

Indonesia?

3. Bagaiamana relevansi hukum perceraian di Indonesiaterhadap

(23)

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap

kegiatan atau aktifitas yang dilakukan seseorang pasti mempunyai tujuan

yang ingin dicapai. Adapun tujuan skripsi ini adalah:

1. Mengetahui basis pemikiran KH. Husein Muhammad.

2. Mengetahuipokok-pokok pemikiran dan metode pemikiran KH.

Husein Muhammad terhadap hukum perceraian di Indonesia.

3. Mengetahui relevansi hukum perceraian di Indonesia terhadap

kesetaraan gender.

D. Kegunaan penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan ini

diantaranya adalah:

1) Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran

tentang wacana keilmuan, terutama pengembangan wawasan mengenai

pemikiran tokoh gender terhadap hukum perceraian di Indonesia.

2) Secara praktis

a. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan,

dan pengalaman bagi peneliti mengenai produk pemikiran tokoh

(24)

b. Bagi Perempuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi para

perempuan tentang posisinya yang tidak selalu di bawah laki-laki.

c. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau

bahan pertimbangan oleh pemerintah dalam merumuskan kembali

hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan perceraian di depan

Pengadilan Agama yang diajukan oleh perempuan.

E. Kerangka Teori

Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pengertian dalam memahami

topik penelitian ini, maka peneliti perlu memberikan penegasan istilah

untuk beberapa kata yang terlihat masih abstrak, sehingga mempermudah

pemahaman selanjutnya.

1.Gender

Kata “gender” berasal dari bahasa Inggri gender yang berarti jenis

kelamin (Echols&Shadily, 2007: 332). Menurut Istibsyaroh seorang

pakar gender pengertian gender yang diartikan dengan jenis kelamin

tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan kata jender merupakan kosa

kata baru yang belum ada di dalam kamus Bahasa Indonesia. Mengutip

pendapat H.T. Wilson dalam bukunya Istibsyaroh yang berjudul

Hak-hak Perempuan Relasi Gender menurut Tafsir al Sya‟rawi, Nasruddin

(25)

“Gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangsih laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan” (Istibsyaroh, 2004: 60).

Gender secara umum digunakan sebagai pengindentifikasian

terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial dan

budaya. Inilah yang membedakan makna gender dengan makna sex.

Sex dalam kamus Inggris-Indonesia dimaknai dengan jenis

kelamin.Sex cenderung dimaknai secara biologis yakni laki-laki

diciptakan secara kodrati sebagai seseorang yang bisa menghasilkan

sperma sedangkan perempuan bisa hamil, melahirkan dan menyusi

(Istibsyaroh, 2004: 62). Inti pengertian seks yaitu masing-masing

fungsi peranan yang tidak dapat digantikan antara laki-laki dan

perempuan. Sedangkan gender cenderung bermakna perbedaan

laki-laki dan perempuan dalam unsur sosial dan budaya. Pengaruh sosial

dan budaya yang berbeda menyebabkan perbedaan beban gender yang

berbeda dalam tatanan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat

(Umar, 1999: 37).

2. Perceraian

Perceraian dalam Bahasa Arab disebut dengan talak. Menurut

bahasa talak berasal dari kata “ithlaq” yang berarti melepaskan atau

meninggalkan. Menurut istilahnya yaitu atinya “melepaskan ikatan

perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan” (Sabiq, 1980: 7).

Adapun macam talak ada dua yaitu: talak raj‟i dan talak ba‟in.

(26)

didahului oleh penjatuhan talak sebelumnya tau pernah satu kali

penjatuhan talak, adapun talak ba‟in terdiri dari dua macam yaitu

ba‟in shugro dan ba‟in kubro (Al-Fathi, 2010: 45). Konsekuensi dari

talak ba‟in sughro yaitu apabila masa iddah istri habis, namun baru

mengucapkan talak di bawah tiga kali dan suami ingin merujuknya

harus dengan syarat menggunakan akad nikah baru. Adapun ba‟in

kubro yaitu apabila suami telah mengucapkan talak tiga kali namun

ingin merujuk istrinya kembali, maka harus disertai dengan akad

nikah baru, namun disertai dengan syarat setelah sang istri menikah

dengan laki-laki lain dan telah berhubungan layaknya seorang istri

kemudian sang istri telah cerai dengan suami yang kedua. (Ibnu

Qosim, 2005: 48).

3. Hukum Perceraian di Indonesia

Indonesia merupakan sebuah Negara hukum di mana segala

sesuatunya diatur oleh hukum, tidak terkecuali dengan perceraian.

Percerian dalam UU Perkawinan tahun 1974 diatur dalam pasal 39

yang berbunyi: 1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan

perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak

akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Berbeda dengan ulama fiqh klasik , bahwa hak cerai hanya untuk

(27)

berada. Gugatan perceraian memang bisa diajukan oleh pihak istri,

namun harus dilakukan lewat Pengadilan Agama (Munti&Anisah

2005: 78).

F. Telaah Pustaka

Sesuai dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini, yakni

tentang kesetaraan gender dalam hukum perceraian di Indonesia menurut

Kyai Husein, maka sangatlah penting untuk mengetahui dan melacak

penelitian atau tulisan yang hampir sama dengan tema yang penulis

angkat. Maka dari itu, penulis memaparkan telaah pustaka untuk

membedakan tulisan penulis dengan beberapa tulisan mengenai pemikiran

Kyai Husein yang telah ditulis oleh beberapa penulis sebelumnya.

Pertama, buku yang ditulis oleh Nuruzzaman, yang berjudul “Kiai

Husein Membela Perempuan” yang diterbitkan oleh Pustaka Pesantren

pada tahun 2004. Buku ini berisikan tentang kiprah dan perjuangan Kyai

Husein dalam memperjuangkan hak-hak perempuan berisi wacana

feminisme Kyai Husein di pesantren dengan berbagai pro dan kontranya.

Nuruzzaman melakukan wawancara langsung dengan Kyai Huseinuntuk

melengkapi tulisannya.

Kedua, skripsi karangan Suprapti Ragiliani yang berjudul

“Kesetaraan Gender dalam Paradigma Fiqh (Studi Pemikiran Husein

(28)

pemikiran Kyai Husein dalam wacana gender terhadap paradigma Fiqh.

Metode yang digunakan dalam skripsi adalah metode Library Reseach.

Ketiga, skripsi karangan Ziadatun Ni‟mah yang berjudul “Wanita

Karir dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Pandangan KH. Husein

Muhammad), UIN Yogyakarta tahun 2009. Skripsi ini berisi tentang

wanita yang berkarir dalam keluarga ditinjau dalam tinjauan gender

menurut Kyai Husein. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah

Library Reseach.

Sudah menjadi sebuah keharusan bahwa hasil karya tidak boleh

sama persis dengan hasil karya orang lain. Oleh karena itu penulis

mencoba mencari sesuatu yang patut untuk diteliti dan berbeda dengan

penelitian yang telah dihasilkan orang lain.

Pertama, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan bukunya

Nuruzzaman yaitu terletak pada focus penelitian. Buku karangan

Nuruzzaman berisi langsung tentang kiprah Kyai Husein dalam

memperjuangkan gender secara global, meskipun penulis dan Nuruzzaman

menggunakan metode yang sama yakni metode wawancara secara

langsung.

Kedua, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan skripsi

Suprapti Ragiliani terletak pada fokus penelitian dan metode penelitian.

Penulis fokus pada hukum perceraian di Indonesia serta menggunakan

(29)

wacana gender dalam paradigma Fiqh serta menggunakan metode library

research. Meskipun subyek yang diteliti sama yakni Kyai Husein

Muhammad.

Ketiga, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan skrisi

Ziadatun Ni‟mah hampir sama dengan perbedaan penelitian yang diteliti

oleh Suprapti Ragiliani, yaitu perbedaannya terletak pada fokus penelitian

dan metode yang digunakannya. Ziadatun Ni‟mah fokus pada penelitian

tentang wanita karir dalam tinjauan gender.

Ketiga karya tulis tersebut menggunakan subyek yang sama

dengan penulis dalam penelitiannya yaitu KH. Husein Muhammad, namun

yang menjadi perbedaanya antara satu sama lain yaitu terletak pada fokus

penelitian dan metode yang digunakan oleh masing-masing penulis.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan penulis gunakan adalah penelitian

lapangan (field research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap

objek yang dituju untuk mendapatkan data yang benar dan terpercaya

tentang pemikiran Kyai Husein tentang kesetaraan gender dalam

perceraian di Indonesia.

Penelitian ini bersifat kualitatif, maksudnya adalah prosedur

(30)

tertulis atau lisan dari orang yang pemikirannya diamati. Penelitian ini

dapat dikatakan yang bersifat deskriptif kualitatif yaitu penulis

menganalisis dan menggambarkan penelitian secar obyektif dan detail

untuk mendapatkan hasil yang akurat (Margono, 1997: 36).

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan gender, dimana

pendekatan ini menggunakan pandangan kesetaraan kedudukan antara

kedudukan perempuan dan laki-laki dalam segi fungsinya bukan dari

segi jenis kelaminnya. Menurut beberapa tokoh gender salah satunya

yaitu Jill Steal, mengemukakan bahwa term gender tidak ditunjukan

dengan perbedaan biologis yakni jenis kelamin laki-laki dan

perempuan, namun lebih ditunjukan dengan hubungan ideologis

tentang eksistensi keduanya (Kadarusman, 2005: 20).

3. Kehadiran Peneliti

Melalui penelitian ini peneliti bertindak sebagai pengumpul data.

Peneliti datang dan secara langsung berinteraksi dengan subyek

penelitian dan melalukan wawancara mendalam dan aktivitas-aktivitas

lainnya demi memperoleh data yagng diperlukan dalam penelitian ini.

Peneliti terjun langsung kepada subyek penelitian, tanpa mewakilkan

kepada orang lain, supaya kegiatan yang berkaitan dengan menggali,

(31)

4. Sumber Data

Pengumpulan data dilakukan dengan pada sumber data primer dan

data sekunder.

a. Data Primer menurut S. Nasution data primer adalah data yang

dapat diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian.

Sedangkan menurut Lofland bahwa sumber data utama dalam

penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan

tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan

dengan mengamati atau mewawancarai. Peneliti menggunakan data

ini untuk mendapatkan informasi langsung tentang hukum

perceraian di Indonesai dalam perspektif gender. Data ini berupa

hasil wawancara dengan narasumber yang merupakan tokoh

gender, yaitu Kyai Husein dan pihak-pihak yang berkaitan dengan

Kyai Husein.

b. Data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung dan data

yang diperoleh oleh peneliti dari berbagai sumber yang telah ada.

Data sekunder yang peneliti gunakan bersumber dari beberapa

buku yang berkaitan dengan penelitian dan dari dokumentasi.

H. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data kualitatif yang peneliti gunakan untuk

(32)

a. Metode Wawancara

Wawancara yaitu suatu proses tanya jawab secara lisan di mana

dua orang atau lebih berhadapan secara langsung, antara keduanya atau

lebih bisa langsung melihat wajah satu dengan lainnya secara langsung

dan bisa mendengar suara responden dengan telinganya sendiri

(Sukansarrumidi, 2004: 88). Wawancara ini dilakukan kepada satu

subyek yaitu kepada K.H.Husein Muhammad. Melalui wawancara,

peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang

responden (Sugiyono, 2013: 231). Melalui wawancara peneliti akan

bertanya langsung mengenai hukum perceraian di Indonesia dalam

perspektif gender. Peneliti juga sempat melakukan wawancara

terhadap orang-orang terdekat Kyai Husein untuk mendapatkan

gambaran yang lebih luas tentang sosok Kyai Husein ini. Mulai dari

muridnya, santrinya, dan terhadap kerabatnya.

b. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi merupakan metode yang cukup mudah

dibanding dengan metode lainnya. Meskipun ada kekeliruan sumber

datanya masih tetap (Arikunto, 2010: 274). Dokumentasi bisa berbentuk

tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.

Dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi

(33)

240).Adapun karya-karya Kyai Husein selanjutnya akan penulis

kemukakan dalam biografinya.

I. Tahap-Tahap Penelitian

Penelitian kualitatif terbagi menjadi tiga tahap, yaitu: tahap pra-lapangan,

tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data (Moleong, 2009: 127).

a.Tahap Pra-Lapangan

Tahap pra-lapangan adalah tahapan penelitian sebelum berada di

lapangan. Ada enam kegiatan yang harus dilakukan peneliti pada

tahapan ini. Tahapan ini perlu ditambahkan satu pertimbangan tahapan

lagi yaitu etika penelitian. Kegiatan tersebut antara lain: menyusun

rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan,

menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan,

dan menyiapkan perlengkapan penelitian. Tahap ini digunakan sebelum

peneliti melakukan penelitian yang sebenarnya. Kemudian peneliti

membuat rancangan kegiatan dan memilih salah satu lokasi untuk

dijadikan obyek penelitian.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

Tahapan ini merupakan tahapan penelitian yang sebenarnya, di

mana peneliti terlibat secara langsung dalam proses penelitian dan

datang langsung di lokasi penelitian. Peneliti mencari informasi

(34)

Melakukan kegiatan ini peneliti akan mengumpulkan data-data yang

sesuai fokus penelitian.

c. Tahap Analisis Data

Setelah semua data telah terkumpul, maka peneliti menganalisis

data yang sudah ada dengan teori-teori yang sudah ada, sehingga dapat

disimpulkan beberapa hasil penelitian, analisi data terdapat beberapa

alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu:

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data adalah kegiatan yang mengantisipasi

kegiatan sebelum melakukan penelitian ke lapangan.Peneltian

dirancang sehingga nanti mudah dalam menganalisis dan sebagai

bukti pada penelitian.

2. Reduksi data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan

perhatian data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.

3. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Melalui data kita akan memahami apa yang

sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan dalam mengambil

tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapatkan dari

(35)

4. Kesimpulan

Setelah melalui proses pengumpulan data, reduksi data,

penyajian data, kemudian menarik kesimpulan dari apa yang telah

dianalisis.

J. Sistematika Pembahasan

Agar mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh serta

mempermudah pemahaman terhadap penulisan skripsi ini, maka penulisan

skripsi ini dikelompokan menjadi lima bab. Agar tidak terjadi kerancuan

dalam pembahasan ini maka antara bab satu dengan bab yang lainnya

harus saling berkaitan.

BAB I: Bagian ini merupakan pengantar dari keseluruhan isi pembahasan.

Pada bagian pertama iniakan dibahas bebrapa sub bahasan, yaitu:

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan

sistematika pembahasan.

BAB II: Pada bab ini berisi tentang kajian teori tentang konsep kesetaraan

gender dalam Islam maupun kesetaraan gender dalam hukum

perceraian di Indonesia.

BAB III:Pembahasan pada bab ini berisi tentang biografi K.H.Husein

(36)

BAB IV: Bab ini berisikan basis pemikiran KH. Husein Muhammad serta

pemikiran dan metodenya tentang hukum perceraian di Indonesia

serta relevansi hukum perceraian di Indonesia terhadap kesetaraan

gender.

BAB V: Bab ini merupakan kajian paling akhir dari skripsi ini, yang mana

pada bagian ini berisi kesimpulan peneliti dari seluruh

pembahasan yang telah dikemukan dalam skripsi dan saran

(37)

BAB II

KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM PERCERAIAN

A. KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Kesetaraan berasal dari kata setara. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia kata setara berarti sejajar atau sama tingkatannya. Artinya

tidak ada perbedaan kedudukan dari salah satu pihak. Sedangkan

gender secara etimologi dari bahasa Inggris gender berarti jenis

kelamin (Echols&Shadily, 1983: 265). Kata gender dalam feminisme

pertama kali digaungkan oleh Anne Oakley sebagai upaya untuk

menghindari terjadinya kerancuan makna dalam kata sex dan gender

(Muslikhati, 2004: 19).

Gerakan feminisme lahir karena adanya problematika dalam

masyarakat yang memandang perempuan hanya dengan sebelah

mata.Sebelum Islam datang kita mengetahui masyarakat pra Islam

yang dinamakan masyarakat Jahiliyyah lewat bacaan-bacaan yang

tersedia. Masyarakat Jahiliyyah dikenal sebagai masyarakat yang

paling kejam terhadap perempuan, di mana setiap anak perempuan

yang baru lahir dikubur hidup-hidup karena mereka meyakini bahwa

anak perempuan hanya akan membawa aib bagi keluarga.

Tradisi Budha juga menganggap perempuan sebagai makhluk yang

(38)

suci, sehingga tidak ada satupun perempuan yang bisa menjadi

Dewa.Kaum Yahudi juga menempatkan perempuan hanya sebagai

pelayan, bahkan anak perempuan bisa dijual sendiri oleh ayahnya

(Muslikhati, 2004: 24).

Kesewenang-wenangan tersebut mulai menggerakkkan hati para

penggiat feminisme untuk menyuarakan suaranya tentang

ketidakadilan gender. Mulai dari sinilah istilah gender mulai gaung

terdengar. Wacana tentang gender sendiri mulai muncul di Indonesia

sekitar tahun 1980-an (Muhammad, 2016: 69). Namun menurut

Nuruzzaman yang mengutip dari buku “Politik Gender Orde Baru”

sebenarnya wacana feminisme sudah jauh muncul di Indonesia sejak

akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, zaman ini ditandai dengan

munculnya pemikiran-pemikiran R.A. Kartini. Menurut Baroroh

Baried kesadaran akan kesetaraan gender malahan sudah muncul sejak

tahun 1856 yang dimunculkan oleh Ratu Ternate yang bernama Siti

Aisyah W. Tanriolle (Nuruzzaman, 2005: 2).

Gender dalam beberapa buku diartikan sebagai perbedan fungsi

laki-laki dan perempuan bukan dipandang sebagai sebuah perbedaan

dalam hal biologis.K.H. MA. Sahal Mahfudz dalam kata pengantarnya

dalam buku yang berjudul Fiqh Perempuan karya K.H. Husein

Muhammad, mendefinisikan bahwa gender pada dasarnya perbedaan

(39)

antara laki-laki dan perempuan yang didasari oleh konstruksi sosial

yang sifatnya bukan merupakan kodrat dari Tuhan, perbedaan ini

melalui proses sosial dan budaya yang lama.

Berbagai pro dan kontra bermunculan ketika wacana gender mulai

digaungkan. Banyak yang berpendapat bahwa gender merupakan

produk impor dari Barat bukan produk yang lahir dari ajaran agama

Islam yang dalam konteks keIndonesiaan fanatisme terhadap agama

masih sangat mengakar kuat saat itu. Wacana gender masuk kedunia

Islam bersamaan dengan masuknya budaya Eropa. Masuknya budaya

Eropa ke dalam Negara Islam membawa perubahan yang negatif bagi

kaum perempuan, namun perubahan tersebut lambat laun juga

membawa dampak perubahan yang positif bagi perubahan politik,

ekonomi dan kultural yang secara tidak langsung juga membawa

perubahan bagi pembebasan kaum perempuan dari pendiskriminasian

(Kadarusman, 2007: 61). Meskipun telah membawa kemajuan di sisi

lain bagi perkembangan dalam beberapa sektor, namun sentimentil

terhadap ajaran gender yang mengatasnamakan agama masih cukup

kuat saat itu.

Agama dan gender merupakan dua isu yang masih sering

diperdebatkan dalam dewasa ini. Bahkan para agamawan juga turut

meperdebatkan persoalan ini.Banyak ajaran agama yang masih tetap

(40)

sedangkan laki-laki tetap pada posisinya di kelas pertama. Banyak

kitab-kitab yang masih melanggengkan ajaran-ajaran yang menurut

para ahli gender mengandung nilai-nilai diskrimanitif bahkan banyak

Hadits yang berisi tentang realitas-realitas yang masih bias gender.

Menurut salah satu tokoh gender, yaitu Kadarusman mengutip

perkataan Rita M. Gross bahwa sebenarnya seluruh ajaran agama

memperkuat eksistensi perempuan dalam berbagai hal, namun budaya

patriarkhi yang masih mengakar kuat sangat sulit untuk

menghilangkan budaya tersebut. Budaya patriarkhi merupakan budaya

yang menjunjung tinggi laki-laki dan menempatkan laki-laki dalam

kelas superior di mana laki-laki memegang penuh kendali atas kaum

perempuan (Kadarusman, 2005: 2).Kemudian muncul berbagai macam

pertanyaan bagaimana pandangan agama Islam sesungguhnya terhadap

kesetaraan gender.

Islam dalam ajarannya sangat menghargai perempuan terbukti dari

beberapa ayat-ayat Al Qur‟an menjelaskan tentang kedudukan

perempuan banyak hadits-hadits yang berisi tentang keunggulan

perempuan, bahkan banyak para pejuang-pejuang Islam dahulu banyak

yang berjenis kelamin perempuan.Islam sebagai agama yang rahmatal

lil „alaminyakni agama yang mengajarkan kedamaian dan agama

(41)

Tujuan dari sebuah agama adalah membimbing manusia agar

menjadi pribadi yang baik dalam segala aspek, baik aspek moral,

mental, fisik, spiritual, dan aspek sosial.Agama juga memberikan

seperangkat ajaran kepada manusia agar mengerjakan segala perbuatan

yang baik dan meninggalkan perbuatan yang tercela.Adanya anjuran

untuk berbuat baik dan larangan berbuat perbuatan yang tercela adalah

demi kebahagiaan dan ketentraman bagi umat manusia.Salah satu

aturan agama yang mendasar adalah keharusan untuk menghormati

orang lain tanpa membedakan ras, suku, agama, jenis kelamin maupun

gender (Siti Musdah Mulia, 2011: 43).

Islam telah mengajarkan ajaran kesetaraan yang termuat dalam

kalimat Lailaha illallah.Kalimat tauhid tersebut mempunyai arti yang

sangat luhur. Tauhid merupakan inti ajaran dalam agama Islam yag

menuntun manusia dalam berketuhanan dan berkemanusiaan secara

benar. Ajaran tauhid tidak hanya dimaknai sebagai lafadz yang

mengesakan Tuhan semata namun harus diresapi secara penuh oleh

manusia bahwa Dzat yang mempunyai ke Esa an hanya Allah semata

dan kedudukan tertinggi hanya pada Allah saja. Pandangan bahwa

Allah lah dzat yang maha esa melahirkan pandangan bahwa tidak ada

makhluk lain yang menyamai kedudukannya pada akhirnya melahirkan

pandangan bahwa semua makhluk ciptaan Allah mempunyai

(42)

Ajaran-ajaran yang terkandung dalam tauhid mempunyai misi

untuk membebaskan manusia, yakni membebaskan manusia secara

total, pembebasan secara terus menerus maupun secara

bertahap.Pembebasan dalam kemusyrikan dan kezaliman merupakan

pembebasan secara total.Pembebasan secara terus menerus yaitu

pembebasan dari Tuhan-Tuhan berhala yang dulu disembah oleh orang

kafir hingga Tuhan-Tuhan yang berwujud canggih seperti kekayaan,

status, jabatan yang dipuji-puji oleh manusia pada era

sekarang.Sedangkan pembebasan secara bertahap merupakan

pembebasan manusia dari sistem sosial yang tidak adil.Pembebasan

secara bertahap juga berlaku bagi perempuan.

Pada zaman jahiliyah perempuan dianggap sebagai barang yang

dapat diwariskan secara turun temurun kemudian Islam datang dan

memberlakukan perempuan sebagai subyek yang menerima warisan

bukan sebagai barang yang bisa diwariskan.Namun pembebasan

tersebut masih bersifat bertahap karena warisan yang diterima oleh

perempuan adalah separo dari laki-laki.Meskipun demikian

pembebasan tersebut sangat fantastis dibanding dengan ketentuan yang

ada pada zaman Jahiliyah (Mulia, Siti Musdah, 2011: 52).Tauhid juga

mengandung nilai-nilai keadilan.Keadilan ini juga berlaku bagi

perempuan.Perempuan setelah Islam datang memperoleh kedudukan

(43)

datang memberikan angin segar bagi para perempuan untuk

menunjukkan eksistensi dirinya.

Mengutip dari disertasinya Nasaruddin Umar, Kadarusman

menjelaskan Al Qur‟an yang notabene sebagai pegangan umat hidup

manusia yang beragama Islam di dunia ini, telah memuat tentang

prinsip-prinsip kesetaraan gender. Lebih dijelaskan lagi bahwa al

Qur‟an memuat setidaknya lima prinsip kesetaraan yaitu kesetraan

sebagai hamba, kesetaraan sebagai wakil Allah di muka bumi,

sama-sama menerima perjanjian dari Tuhan, sama-sama-sama-sama terlibat dalam

drama kehidupan, dan sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi

(Kadarusman, 2007: 64).

Menurut salah satu tokoh gender lainnya, yaitu Asghar Ali

Engineer mengungkapkan bahwa pada dasarnya Islam juga bermaksud

memberikan hak yang setara antara laki-laki dan perempuan.Namun

para fuqoha‟ masih tetap memegang kuat tradisi budaya lama dan

fanatisme terhadap ajaran yang mengajarkan bahwa laki-laki

merupakan pihak superior sedangkan perempuan sebagai pihak inferior

(Engineer, Asghar Ali, 2000: 194).

Demikianlah ajaran Islam yang bersumber kepada Al Qur‟an dan

Hadist berisi ajaran-ajaran tentang kesetaraan yang menolak paham

diskriminatif terhadap satu sama lain dan Islam merupakan agama

(44)

mengangkat derajatnya sehingga perempuan bukan hanya menjadi

obyek melainkan sebagai subyek.Namun pada praktiknya masih

banyak produk yang melegalkan tindakan diskriminasi bagi

perempuan di Indonesia yang mengatasnamakan ajaran agama.

Menurut Kyai Husein masih adanya pendiskriminasian terhadap

perempuan yang mengatasnamakan ajaran agama ini dipicu dari

metode ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur‟an.Pemahaman

yang berbeda-beda tentang teks Al Qur‟an menimbulkan berbagai

macam produk hukum (Muhammad,2016: 122).

Adanya pemahaman terhadap teks-teks Hadits yang berbeda pula

juga turut menimbulkan berbagai multi tafsir terhadap sebuah produk

hukum. Menurut Dr. Faqihuddin Abdul Qadir, banyaknya literal-literal

dalam Hadits yang memandang rendah perempuan harus dilihat

konteks yang melatar belakangi munculnya Hadits tersebut. Teks-teks

Hadits tentang relasi perempuan dan laki-laki secara umum harus

dipahami sebagai gambaran sosio kultur dalam masyarakat Arab saat

itu. Teks-teks harus dipahami dengan logika historisnya untuk tujuan

keadilan dan kemaslahatan (Faqihuddin Abdul Qadir, 2011:

158).Dukungan dari budaya patriarkhi juga turut mewarnai corak

pemikiran para agamawan dalam mengeluarkan fatwa-fatwanya yang

(45)

Pengukuhan ajaran-ajaran agama terhadap budaya patriarkhi

menjadi sebab munculnya tindakan diskriminatif terhadap perempuan.

Menurut Kadarusman persoalan pendiskriminasian terhadap gender

dipicu oleh dua faktor yaitu faktor sosiologis dan faktor teologis.Faktor

sosiologis dalam relasi gender dimaknai sebagai sebuah institusi sosial

yang teroganisir antara laki-laki dan perempuan yang meliputi

hubungan individu hingga hubungan institusi yang lebih besar seperti

kelas sosial hingga struktur pekerjaan. Faktor sosiologis ini merupakan

faktor yang dapat berubah sesuai dengan kondisi yang mempengaruhi

perubahan tersebut. Keadaan sosial yang memberikan pemahaman

bahwa perbedaan gender merupakan perbedaan yang telah ditakdirkan

oleh Allah SWT. menimbulkan asumsi bahwa perbedaan tersebut tidak

bisa diganggu gugat. Faktor teologis yaitu pengukuhan ajaran-ajaran

agama yang diwacanakan oleh para agamawan masih mengandung

nilai-nilai budaya patriarkhi.Penafsiran ayat-ayat Al Qur‟an yang

masih didominasi oleh kaum laki-laki memberikan pengaruh dalam

produk tafsiran ayat-ayat Al Qur‟an (Kadarusman, 2005: 5).

Hubungan antara laki-laki dan perempuan, pada dasarnya dalam

Islam sudah diatur beberapa prisip kesejajarannya. Dr. Khoiruddin

Nasution mengelompokkan nash yang berbicara tentang keseteraan

gender, yaitu: 1) Statemen umum tentang kesetraan antara laki-laki dan

perempuan 2) Tentang asal-usul 3) Tentang amal perbuatan 4) Tentang

(46)

social 7) Saling tolong menolong 8) Kesempatan yang sama dapat hal

mendapatkan pendidikan.

Adapun sebab terjadinya bias gender yaitu terjadi karena sepuluh

hal, yaitu: 1) Penggunaan studi Islam yang parsial 2) Belum adanya

pembedaan antar nash yang bersifat normative-universal dan nash

yang bersifat praktis-temporal 3) Terkesan adanya sejumlah nash yang

cenderung mendiskriminasikan perempuan sebagai akibat adanya tudi

Islam yang bersifat parsial 4) Budaya-budaya Muslim yang masuk

dalam ajaran Islam 5) Teologi laki-laki yang mendominasi dalam

memahami nash 6) Kajian Islam dengan pendekatan agama murni 7)

Proses generalisasi dalam pengambila hukum secara umum dari kaus

yang bersifat khusus 8) Mengambil hukum sebagai produk hukum dari

penetapan hukum berdasarkan Siyasah al-syar‟iyah 9)Kajian Islam

yang tekstual 10) Peran kekuasaan (Nasution, 2004: 166).

B. TEORI GERAKAN GENDER

Berbicara masalah gender tidak terlepas dari bahasan feminism

karena gerakan gender muncul berawal dari adanya gerakan feminism.

Berikut beberapa teori feminisme yang dikenal dunia:

1. Feminisme Liberal

Teori ini pertama kali dirumuskan oleh Mary A Vindication

(1759-1799 M) dalam tulisannya yang berjudul A Vindication of

(47)

bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kaum

ini menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individual

atas dasar kesamaan keberadaannya bagi makhluk yang rasional

(Muslikhati, 2004: 32). Kaum feminis liberal mempunyai dua cara

untuk mencapai tujuannya, yaitu: pertama dengan pendekatan

psikologi atau pendekatan jiwa dengan cara membangkitkan

kesdaran individu akan adanya persamaan hak antara laki-laki dan

perempuan. Kedua dengan cara menuntut adanya pembaharuan

hukum yang cenderung merugikan perempuan diubah ke dalam

hukum yang cenderung menyamakan hak laki-laki dan perempuan

(Nuruzzaman, 2005: 20).

2. Feminisme Marxis

Landasan yang dipakai dalam teori ini adalah teori

konfliknya Karl Mark. Teori ini berpendapat bahwa adanya

ketimpangan hak laki-laki dan perepuan terjadi karena laki-laki

sebagai pengontrol produksi dan kaum laki-laki lah yang

mendominasi dalam hubungan sosio-politik sehingga perempuan

direduksi menjadi bagian kepemilikan atau sebagai barang

milik.Dari sinilah terjadi pembagian ruang antara laki-laki dan

perempuan, di mana laki-laki bekerja diluar sebagai pencari nafkah

dan perempuan hanya berada di rumah yang berfungsi sebagai

pengurus rumah tangga.Upaya yang dilakukan oleh kaum feminis

(48)

terhadap kaum kapitalis yang menyebabkan kaum perempuan

tertindas.Solusi yang ditawarkan oleh kaum feminis Marxis yaitu

adanya revolusi besar-besaran yang mampu memutuskan hubungan

dengan kapitalis internasional dan diganti dengan sistem sosialis

(Muslikhati, 2004: 34).

3. Feminis Radikal

Feminis radikal ini menolak adanya institusi keluarga.

Mereka mengganggap adanya keluarga hanya akan menjadikan

perempuan sebagai obyek kekerasan dari pihak laki-laki.

Feminisme radikal ini cenderung membenci laki-laki bahkan yang

lebih ekstrim lagi kelompok ini menjujung tinggi paham lesbi,

yaitu paham yang melegalkan hubungan sesama jenis lebih

khusunya sesama perempuan.Paham ini berkeyakinan bahwa

perempuan yang hidup dengan perempuan merupakan cirri

perempuan yang mandiri. Paham yang diajarkan yaitu adanya

pemisahan secara internal ataupun eksternal antara laki-laki dan

perempuan (Muslikhati, 2004: 36).

4. Feminis Sosialis

Gerakan feminis social lebih menitik beratkan pada

penyadaran bagi para perempuan akan hak-haknya. Teori yang

diajarkan adalah teori konflik, di mana dengan adanya penyadaran

tersebut, kaum perempuan akan bangkit emosinya dan secara

(49)

kaum laki-laki. Gerakan sosial ini tidak melulu memperjuangkan

kesetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari, sebaliknya kaum

ini memperjuangkan pembebasan kaum perempuan dan laki-laki

dalam sistem yang cenderung mendiskriminasikan perempuan.

Perjuangan kaum feminisme ini bukan sekedar meningkatkan

status perempuan atas laki-laki, namun sebatas memberdayakan

perempuan dengan cara meletakkan kembali posisi perempuan

yang sesuai dengan pola kekuasaan dan sumberdayanya

masing-masing (Nuruzzaman, 2005: 30).

C. HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA

Hukum merupakan seperangkat peraturan yang dibuat oleh

lembaga yang berwenang yang berisi tentang bagaimana seharusnya

manusia bersikap dalam pergaulannya yang berupa perintah, larangan

yang bersifat memaksa dan ajuran atau pembolehan yang disertai

dengan adanya sanksi (Farkhani, 2011: 31). Pengertian tersebut

mempunyai empat unsur, yaitu:

1. Adanya peraturan yang mengatur tingkah laku manusia.

2. Peraturan ini dikeluarkan oleh lembaga resmi.

3. Peraturan bersifat memaksa.

4. Adanya sanksi yang tegas terhadap setiap pelanggarannya.

Sementara perceraian dalam bahasa Arab disebut dengan

talak.Talak berarti melepas tali ikatan, yang di maksud disi adalah tali

(50)

segala sesuatu yang bisa menyebabkan putuskan perceraian, baik

menggunakan kata-kata, atau dengan surat kepada istrinya, atau

dengan isyarat oleh orang yang bisa, atau bisa dengan mengirimkan

utusan. Menurut buku Fiqh Sunnah karangan Sayyid Sabiq, ucapan

cerai terbagi menjadi dua, pertama yaitu cerai yang diungkankan

secara jelas atau sharih, talak yang jelas menggunakan tiga lafal yaitu

talak, firaq, dan siraah.Adapun talak yang diungkapkan dengan

sindiran atau talak kinayah dianggap sah jika disertai dengan niat

(Sabiq, 1980: 28).

Di Indonesia Undang-undang tentang perceraian diatur dalam

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan pelaksanaannya diatur diatur

dalam KHI Inpres No. 1 tahun 1991. Undang-undang tentang

Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk menjelaskan tentang

aturan-aturannya yang berbunyi “nikah yang dilakukan menurut agama Islam,

selanjutnya disebut nikah, didasari oleh pegawai pencatat nikah yang

diangkat oleh Mentri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk

olehnya”.Adapun talakdan rujuk juga harus diberitahukan kepada

pegawai pencatat nikah setelah mendapatkan putusan dari Pengadilan

Agama yang memutuskan (Sudarsono, 1994: 163).

Aturan-aturan dalam keluarga di Indonesia telah termuat dalam UU

Perkawinan tahun 1974 dan Kepres No. 1 tahun 1991 tentang KHI.

(51)

tafsiran-tafsiran para hakim atas sebuah kasus. Pada awalnya

pemerintah mengesahkan UU Perkawinan tahun 1974, namun pada

praktiknya terutama di Pengadilan Agama pendapat para hakim sesuai

dengan kitab Fiqh masing-masing yang dijadikan sebagai rujukannya

yang banyak sekali macam kitabnya. Ketidakadaan standar baku

menimbulkan perbedaan keputusan para hakim atas sebuah kasus dan

ini jelas mengabaikan asas kepastian hukum. Oleh karena itu

Mahkamah Agung pada tahun 1985 mengusulkan agar dirumuskannya

sebuah hukum yang baku sebagai landasan pijakan para hakim. Usulan

tersebut direalisasikan pada eranya Munawir Syadzali yang pada saat

itu menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1991 (Munti&Anisah,

2005: 17).

Proses penyusunan UU Perkawinan dan KHI berdasarkan pada

hukum normatif Islam yang ada di dalam kitab-kitab Fiqh.

Materi-materi-materi dalam UU Perkawinan maupun KHI diadopsi dari

materi-materi Fiqh klasik yang cenderung pada madzhab Imam Syafi‟i

(Muhammad, 2016: 154). Hukum-hukum tersebut bersifat mengikat

putusan-putusan para hakim untuk menetapkan sebuah putusan.Berikut

juga hukum tentang perceraian.

Menurut pasal 38 UU No.1 tahun 1974 “perkawinan dapat putus

karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan”. Hal ini

(52)

1. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk

memutus hubungan perkawinan antara mereka.

2. Peristiwa alamiyah yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun,

yaitu kematian dari salah satu pihak suami ataupun istri.

3. Putusan dari Pengadilan yang berakibat putusnya hubungan

perkawinanan antara suami dan istri (Syaifuddin, Muhammad dkk,

2013: 16).

Menurut UU perkawinan pasal 39 UU Perkawinan No.1 tahun

1974 disebutkan bahwa ketentuan perceraian adalah:

1.Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan

setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

2.Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara

suami dan istri tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.

3.Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam

peraturan perundang-undangan sendiri.

Adapun tata cara perceraian pasangan suami istri yang beragama

Islam melalui Pengadilan Agama yang telah diatur dalam KHI pasal

129–142. Berikut juga akibat putusnya perkawinan karena perceraian

juga diatur dalam UU perkawinan pasal 41.Adapun dalam KHI akibat

dari perceraian diatur lebih spesifik.Yakni dalam KHI pasal 149-152.

(53)

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

1. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa

uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.

2. Member nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama

dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau

nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo

apabila qobla al dukhul.

4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum

mencapai umur 21 tahun.

Pasal 150

Bekas suami berhak melakukan ruju‟ kepada bekas istri yang masih

dalam masa iddah.

Pasal 151

Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak

menerimapinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Pasal 152

Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya

(54)

Perceraian dapat dilakukan jika memenuhi salah satu syarat yang

ada dalam KHI pasal 116 yaitu:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok berat,

pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b.Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun

berturur-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah

ataukarena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d.Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan

akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

seorang suami/istri.

f. Antara suami dan istri terus-menurus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagidalam

rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h.Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

(55)

Ketentuan-ketentuan perceraian telah diatur dalam

Undang-Undang perkawinan yang pelaksanaannya telah diatur dalam KHI.

Pembuat hukum di Indonesia sebenarnya telah berupaya untuk

membuat aturan yang bersifat penghapusan pendiskriminasian

terhadap perempuan antara lain yaitu UU No. 7 tahun 1984 tentang

penghapusan segala bentuk diskriminasi bagi perempuan. Kemudian

muncul 29 kebijakan baru untuk memenuhi hak-hak perempuan,

penanganan dan penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan.

Beberapa diantaranya yaitu UU Penghapusan kekerasan Rumah

Tangga (PKDRT), UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang (PTPPO), UU Perlindungan Anak, UU Penempatan dan

Perlindungan TKI ke Luar Negeri (UU TKI ini berlaku bagi laki-laki

dan perempuan), UU Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006. Pada tahun

2000 juga dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres th. 2000) untuk

Pengarustamaan Gender (Muhammad, 2016: 130). Namun dalam

hukum perceraian di Indonesia aturan bagi kedua belah yang bercerai

yakni pihak suami maupun pihak istri masih banyak yang besifat

diskriminatif.

Menurut Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah seorang pakar

gender menyatakan bahwa, hukum perceraian di Indonesia masih

bersifat diskriminatif terbukti dari beberapa putusan yang masih

merugikan pihak perempuan. Rujukan yang dipakai oleh para hakim

(56)

yaitu dariUndang-Undang Perkawinan dan KHI yang proses

penyusunannya berdasarkan pada hukum normatif Islam sebagaimana

isinya seperti dalam kitab-kitab Fiqh (Muhammad, 2016: 154), yang

mana putusan masih dirasa berat sebelah bagi perempuan.Salah satu

produk putusan yang hingga kini tetap menjadi penetapan yaitu bunyi

amar putusan yang menyatakan bahwa perempuan yang mengajukan

perceraian, jika perceraian tersebut dikabulkan maka bunyi amar

putusannya tetap pihak suamilah yang menjatuhkan talak

kemudiantentang „iwadz.Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah juga

menganggap ketentuan seperti ini sebagai bentuk pendiskriminatifan

terhadap perempuan, karena perempuan yang menggugat cerai

suaminya yang melanggar ta‟lik talak diharuskan memberikan tebusan

atas pembebasannya tanpa terkecuali (Munti& Anisah, 2005: 85).

BAB III

KYAI HUSEIN DAN KETERLIBATANNYA DALAM GENDER

(57)

Kyai Husein lahir pada tanggal 9 Mei 1953 di Cirebon dari

pasangan Ummu Salamah dan Muhammad Asyrofuddin. Ibunya adalah

seorang guru ngaji disebuah pesanteren yang didirikan oleh kakeknya,

sedangkan ayahnya merupakan seorang pegawai pemerintah

didaerahnya.Kyai Husein terlahir disebuah lingkungan yang kental

nilai-nilai ke-Islaman-nya. Kyai Husein dilahirkan disalah satu sudut komplek

pesantren yang didirikan oleh kakeknya sendiri dari garis keturunan

ibunya yang bernama K.H. Sanawi bin Abdullah bin Muhammad Salabi

pada tahun 1932. Kyai Husein mempunyai 8 saudara yang semuanya

menjadi kyai yang berpengaruh didaerahnya.

Saudara-saudara Kyai Husein yaitu Hasan Thuba Muhammad yang

menjadi pengasuh di pondok pesantren Raudlah at Thalibin di

Bojonegoro, Jawa Timur. Husein Muhammad menjadi salah seorang

pengasuh pondok pesantren Dar at Tauhid di Arjawinangun, Cirebon.

Ahsin Sakho Muhammad pengasuh pondok pesantren Darul Qur‟an di

Arjawinangun Cirebon.Ubaidah Muhammad pengasuh pondok pesantren

Lasem, Jawa Tengah.Mahsun Muhammad pengasuh pondok pesantren

Dar at Tauhid di Arjawinangun, Cirebon.Azzah Nur Laila pengasuh

pondok pesantren HMQ Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.Salman

Muhammad pengasuh pondok pesantren tambak Beras, Jombang, Jawa

Timur.Faiqoh pengasuh pondok pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.

Setelah kakek Kyai Husein wafat pesantrennya kemudian diampu

(58)

kita kenal dengan nama pesantren Dar At Tauhid. Pada mulanya

pesantren ini bernama al-Ma‟had al-Islami, kemudian setelah putranya

yang bernama K.H. Ibnu Ubaidillah pulang dari Makah al-Mukarromah

setelah menyelesaikan studinya, pesantren ini namanya diubah menjadi

Ma‟had Dar At-Tauhid al-„Alawa al-Islami, yang kemudian disederhakan

menjadi Ma‟had Dar At-Tauhid al-Islami. Pesantren ini pada awal

kemunculannya sudah dikenal sebagai pesantren yang berbeda dari

pesantren lainnya. Jauh sebelum di Indonesia ada pesantren yang

menggunakan sistem madrasi, pesantren ini telah mengamalkannya dan

sudah menggunakan kapur tulis sebagai medianya untuk menulis

ayat-ayat Al Qur‟an dan kemudian dihapus yang mana debunya berceceran

dan oleh sebagian ulama ini dianggap sebagai bentuk penghinaan

terhadap ayat-ayat al-Qur‟an. Format pendidikan seperti ini menuai

banyak kecaman dari berbagai pihak, namun berkat kekuatan

argumentasi yang disampaikan oleh Kyai Syathori akhirnya mereka

menerima cara pendidikan seperti itu (Nuruzzaman, 205: 108).

B.Pendidikan Kyai Husein

Kyai Husein mengenyam pendidikan agama sejak kecil, selain

pendidikan formal beliau juga mengenyam pendidikan sekolah di

madrasah diniyah.Kyai Husein pertama kali belajar membaca Al-Quran

dengan Kyai Mahmud Toha dan kepada kakeknya sendiri. Kyai Husein

(59)

kemudian beliau melanjutkan ke SMPN 1 Arjawinangun, kemudian

setelah lulus Kyai Husein melanjutkan pendidikannya di pesantren

Lirboyo di daerah Kediri Jawa Timur selama tiga tahun. Kemudian

beliau melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi Perguruan Tinggi

Ilmu Al-Qur‟an (PTIQ) Jakarta selama lima tahun. Selama Kyai Husein

kuliah beliau terlibat aktif diberbagai organisasi, bahkan beliau pernah

menjabat sebagai ketua 1 Dewan Mahasiswa pada tahun 1979.Kyai

Husein juga menjadi salah satu pelopor berdirinya PMII Rayon Kebyoran

Lama (Nuruzzaman, 2005: 113).

Tahun 1980 Kyai Husein melanjutkan pendidikan ke Universitas

Al Azhar Mesir, dikarenakan ijazah sarjanannya belum bisa digunakan

untuk melanjutkan S2nya dengan alasan ijazahnya belum disamakan,

maka Kyai Husein belajar dengan sejumlah syaikh di Majma‟ al-Buhuts

al-Islamiyah milik Universitas Al-Azhar.Secara formal di institusi ini

Kyai Husein belajar di Dirasat Khashshah (Arabic Special

Studies).melalui institusi inilah Kyai Husein berkenalan dengan

pemikiran-pemikiran Islam modern yang dikembangkan oleh

Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Muhammad Iqbal dan lainnya.

Kyai Husein juga berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Barat seperti

Sratre, Goethe dan lainnya (Nuruzzaman, 2005: 6).

C. Karya-karya Kyai Husein

Kyai Husein tercatat sebagai penulis yang handal terbukti dari

Referensi

Dokumen terkait