TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD
TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM
PERCERAIAN DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Salah SatuSyarat
Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NURUL MIMIN JANNAH
NIM: 211-12-036
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
SALATIGA
TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD
TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM
PERCERAIAN DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah SatuSyarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
Nurul Mimin Jannah
NIM 211-12-036
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
MOTTO
كْ كُا أَ كْ أَ إِ أَ كْ إِ كْ كُ أَ أَ كْاأَ نّ إِ
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta
karunia-Nya, skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Sugiharto dan Ibu Siti Aisyah yang
telah mencurahkan segenap kasih sayangnya, do‟anya, serta segala
dukungannya dalam setiap langkah-langkahku.
2. Kakak serta adik-adikku tersayang serta keponakan kecilku, mbak
Nida, Mas santo, adik Eva, adik Erna, serta adik Afif, dan nok Marsa,
yang dukungan serta doanya tak pernah surut mengiringi
perjuanganku.
3. Adik sepupuku, Bapak Ilya Muhsin beserta keluarga yang telah
berperan sebagai orang tua keduaku selama aku merajut impian di
Salatiga.
4. Dosen pembimbing skripsiku sekaligus Ketua Jurusan Ahwal al
Syakhshiyyah, Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si yang tak pernah lelah
membimbingku untuk menyelesaikan skripsiku ini.
5. Bapak Yusuf Khumaini yang telah memberikan inspirasi dalam
penulisan skripsi ini.
6. Segenap dosen Fakultas Syari‟ah yang telah mengiklaskan waktu dan
tenaganya untuk membagikan ilmunya kepadaku.
7. KH. Husein Muhammad beserta keluarga yang telah membagikan
8. Segenap Kyai-kyaiku di pondok pesantren Salafiyah yang tak pernah
lelah membimbing jiwa dan ragaku untuk tetap berada di jalanNya.
9. Keluarga besar Santri putra&putrid Salafiyah, Pulutan, Sidorejo
Salatiga, yang tak pernah lelah menyemangati serta memberi warna
dalam hidupku.
10.Teman sekamarku kak Khuza dan teman seperjuanganku dari Aliyah
hingga menyelesaikan S1 ku, Mbak Erni. Semoga persahabatan kita
tidak berhenti sampai di sini.
11.Mas Rio, Kang Asdi serta Nilta dan Sita yang telah tulus iklas
menjemputku dari stasiun tengah malam pasca penelitian.
12.Keluarga besar pondok pesantren Darul Qur‟an dan Darut Tauhid
Arjawinangun, Cirebon.
13.Mas Nawal dan Gus Hasan yang telah mengantarkanku bertemu
dengan Buya Husein.
14.Keluarga besar PMII kota Salatiga.
15.Pengurus DEMA IAIN Salatiga periode 2016-2017.
16.Teman-teman seperjuanganku angkatan 2012, khususnya jurusan
Ahwal al Syakhshiyyah.
17.Teman-teman seperjuangan peraih beasiswa BIDIKMISI YA
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim
Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “TELAAH PEMIKIRAN
KH. HUSEIN MUHAMMMAD TERHADAP KESETARAAN GENDER
DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA”.
Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi agung, Nabi
Akhiruzzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta
pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah
yang membawaumatmanusiadarizamankegelapanmenujuzaman yang
terangbenderang, yakniDinul Islam.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang telah tulus
iklasmembantupenulismenyelesaikanskripsiini.
Olehkarenaitupenulismengucapkanbanyakterimakasihkepada:
1. Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.
2. Ketua Jurusan serta Pembimbimbing skripsi saya, Bapak Sukron Ma‟mun,
M.Si. yang dengan iklas membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan
3. Bapak serta Ibu dosen serta karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang
telah membagi ilmu-ilmunya sehingga penulis mampu menyelesaikan jenjang
pendidikan S1.
4. Kepada KH. Husein Muhammad yang telah memberikan ilmu-ilmunya
kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka kritik dan saran yang bersifa tmembangun sangat penulis harapkan.Semoga
hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, serta pembaca
padaumumnya.Amin.
Salatiga, 06 September 2016
ABSTRAK
Jannah, Nurul Mimin.2016 “Telaah Metode Pemikiran KH. Husein Muhammad
terhadap Kesetaraan Gender dalam Hukum Perceraian di
Indonesia”.Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwalusy Syakhshiyyah, Institut Agama Islam Negri. Pembimbing: Sukron Ma‟mun, M.Si.
Kata Kunci: Pemikiran K.H.Husein Muhammad dan Hukum Percerain di Indonesia.
Kyai Husein merupakan salah satu ulama dari beberapa ulama karismatik yang dimiliki oleh negeri ini.KyaiHuseinjugatermasuksalahsatutokoh gender di
managagasan-gagasanpembaharuannyasangatbriliandandiapresiasiolehbanyakkalangankhususny adarikalangan yang memperjuangkankesetaraan gender. Latar belakang Kyai Husein sebagai ulama juga menjadi tolak ukur masyarakat dalam pengambilan gagasan pemikiran yang KyaiHuseinkemukakan.
Permasalahan gender sangatberagam,
mulaidarimasalahdomestikhinggamasalahpublik. Salah satupermasalahan gender yang seringterjadiyaitumasalahrumahtangga. Masalah rumah tangga mencakup
juga masalah perceraian. Berdasarkan latar belakang di atas,
kemudianpenelitimerumuskankedalamtigapertanyaansebagaiberikut: 1.
Bagaimanabasis pemikiran K.H. Husein Muhammad? 2. Bagaimana pemikiran KH. Husein Muhammad dan metode pemikirannya tentang kesetaraan gender dalam hokum perceraian di Indonesia? 3. Bagaimana relevansi hukum perceraian di Indonesia terhadap kesetaraan gender?
Sehubungan dengan pertanyaan di atas peniliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dan pendekatannya melalui pendekatan gender.Metode yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi.Wawancara dilakukan langsung dengan Kyai Husein.
bagi perempuan dalam menyelesaikan kasus perceraian, yakni perceraian harus dilakukan melalui Pengadilan Agama, sehingga laki-laki tidak bisa menceraiakan istrinya semaunya sendiri. Ketentuan semacam ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab Fiqh klasik yang digunakan rujukan bagi para hakim di Pengadilan Agama.
F. Telaah Pustaka …..………...…...
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian ….………...
2. Pendekatan Penelitian ………...
3. Kehadiran Peneliti ……….………...
4. Sumber Data ………...
H. Prosedur Pengumpulan Data ….………...…………...
I. Tahap-Tahap Penelitian …………...
J. Sistematikan Penulisan ………...
BAB II KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM
PERCERAIAN
A. Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam ………...
B. Teori Gerakan Gender
1. Feminisme Liberal ……..………...
2. Feminisme Marxis ………..………...
3. Feminisme Radikal ………...…..……...
4. Feminisme Sosial ………..…………...
C. HukumPerceraian di Indonesia ………...
D. Kesetaraan Gender dalam Hukum Perceraian di
Indonesia …...
BAB III KYAI HUSEIN DAN KETERLIBATANNYA DALAM
B. Pendidikan Kyai Husein ………...
C. Karya-Karya Kyai Husein ……….………...
D. Keterlibatan Kyai Husein dalam Gerakan Gender ...
E. Pengalaman Organisasi Kyai Husein ………....………
BAB IV PEMIKIRAN KYAI HUSEIN TENTANG
KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM
PERCERAIAN DI INDONESIA
A. Basis Pemikiran Kyai Husein …………...………
B. Pemikiran Kyai Husein dalam Hukum Perceraian di
Indonesia ...
C. Metode Pemikiran Kyai Husein ………...
D. Relevansi Hukum Perceraian di Indonesia Terhadap
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto Kegiatan Penelitian …………..………..……. 87
Lampiran 2. Konsultasi Skripsi ……….……….. 89
Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian ………...……… 91
Lampiran 4. Surat Keterangan Penelitian………….…………...………... 92
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini
berpasang-pasangan termasuk laki-laki dan perempuan.Namun, Allah juga membatasi
pergaulan antar laki-laki dan perempuan.Maka dari itu, Allah menurunkan
syari‟at Islam yang mengatur hubungan antara laki-laki dan
perempuan.Salah satu aturan tersebut yaitu melalui sebuah
pernikahan.Pernikahan adalah satu-satunya sarana untuk membuat sebuah
ikatan yang bernama keluarga.
Segala sesuatu yang Allah ciptakan pasti mempunyai hikmah tidak
terkecuali pernikahan itu sendiri.Seorang laki-laki dan perempuan
merupakan mitra dalam sebuah rumah tangga. Suami dan istri mempunyai
peranan masing-masing dalam menjalankan fungsinya, namun dalam
peranan tersebut antara suami istri harus saling melengkapi satu sama lain
agar tercipta rumah tangga yang harmonis dan dapat mengarungi
kehidupan rumah tangga yang tenang sehingga memunculkan kehidupan
yang stabil (Al Jarwani, 1997: 309). Pernikahan adalah sebuah karunia
dari Allah kepada hamba-Nya karena pernikahan dapat memberikan rasa
ketentraman, kedaimaan dan rasa cinta kasih antara pasangan suami istri,
كْ كُ أَ كْيأَب أَلأَعأَجأَو أَهكْيأَلإِااكْىكُ كُ كْسأَتِّل ًجاأَوكْزأَا كْ كُ إِسكُفكْنأَا كْنِّ كْ كُ أَل أَقأَلأَخ كْ أَا هإِتيا كْنإِ أَو
Pernikahan bukan hanya sebuah ikatan biologis semata namun ada
sebuh ikatan batin di dalamnya. Hal ini sesuai dengan definisi perkawinan
dalam Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 yang
berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Definisi dari pengertian perkawinan di atas bukan hanya sekedar
kata-kata namun ada makna filosofis di dalamnya ada istilah kekal yang
bermakna bahwa tujuan pernikahan adalah menjalin sebuah ikatan yang
tidak ada batasan waktunya dan untuk selamanya (Farida, 2007: 3).
Ayat di atas berisikan prinsip pernikahan yang harus dijaga antar
kedua belah pihak suami dan istri, prinsip yang dimaksudkan dalam ayat
tersebut yaitu prinsip mawaddah wa rahmah yang berarti cinta dan kasih
sayang yang harus dijaga oleh kedua belah pihak pasangan suami dan istri
agar dapat tercipta pernikahan yang langgeng.
Keadaan sebuah pernikahan tidak dapat dipungkiri pasti
mempunyai problem-problem yang sedikit banyak mengganggu
keharmonisannya.Konflik-konflik kecil selalu mewarnai perjalanan
kehidupan sebuah pernikahan.Dari sinilah kehidupan rumah tangga mulai
permasalahan rumah tangga mereka jika konflik terus berkepanjangan dan
tidak menemukan titik temu, maka tujuan perkawinan yang diinginkan
mustahil untuk didapatkan.
Perceraian merupakan solusi akhir dari semua konflik yang tidak
kunjung ditemukan solusinya. Menurut hukum positif di Indonesia
perceraian hanya dalam dilakukan melalui Pengadilan Agama untuk
masyarakat yang beragama Islam, sesuai dengan UU No.7 tahun 1989 jo.
UU No. 50 tahun 2009.
Perceraian antara suami istri ditandai dengan jatuhnya talak kepada
pihak istri.Hak talak menurut agama Islam hanya diberikan kepada pihak
suami saja (Sabiq, 1980: 15).Sahnya talak hanya ketika diucapkan oleh
pihak suami.Penjatuhan talak tersebut tidak memandang tempat dan
waktu. Berbeda dengan perempuan, pada prinsipnya perempuan berhak
untuk menuntut cerai suaminya jika sang suami dianggap tidak mampu
memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami, namun gugatan
perceraian hanya dapat dilaksanakan melalui Pengadilan saja. Cerai seperti
ini dinamakan khulu‟ (cerai gugat). Menurut Sayyid Sabiq khulu‟ yaitu:
“istri yang menebus dirinya dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya”.
Perceraian menimbulkan akibat hukum yang bermacam-macam,
dalam KHI pasal 149 disebutkan ada 4 (empat) butir ketentuan perkawinan
yang putus karena talak, yaitu suami berkewajiban: 1) memberikan
kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul. 2) memberikannafkah,
maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas
istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3) melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila
qobla al dukhul. 4)memberikan biaya hadhanah untuk anak-anak yang
belum mencapai umur 21 tahun.
Para pakar gender memandang ketentuan seperti ini masih bias
gender karena jika ditinjau dalam KHI pasal 119 yang berbunyi bahwa
talak yang dijatuhkan olehPengadilan Agama disamakan dengan talak
ba‟in yang berimplikasi bahwa perempuan yang mengajukan cerai tidak
dapat menerima nafkah iddah (Munti& Anisah 2005: 125). Nafkah iddah
adalah nafkah yang diberikan suami kepada istri yang diceraikan namun
masih dalam masa iddah.Masalah iwadh (tebusan dari pihak istri yang
meminta cerai kepada suami) dalam gugatan cerai yang diajukan oleh istri
juga dipandang tidak adil karena dalam masalah percerain antara suami
dan istri tidak mesti pihak istri yang melakukan kesalahan bahkan
biasanya suamilah yang tidak melakukan kewajibannya sebagai suami
sehingga sang istri memintai cerai. Ketidakadilan lainnya yaitu apabila
sang istri menggugat cerai maka seluruh biaya perceraian dibebankan
kepada pihak penggugat dalam hal ini adalah istri(Farida 2007: 33).
Meskipun istri yang menggugat suaminya, namun apabila pengadilan
mengabulkan gugatan istri, putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan
meskipun pihak istri yang menggugat cerai secara simbolis bermakna
bahwa talak tetap berada dalam kuasa seorang suami yang istri sebagai
penerima (Munti& Anisah 2005: 78)
Melalui keprihatinan inilah para aktifis gender berupaya untuk
menyamakan hak antara suami dan istri yang mengajukan perceraian.
Salah satu penggiat gender adalah KH.Husein Muhammad yang dikenal
dengan Kyai Husein.Kyai Husein adalah salah satu dari beberapa tokoh
karismatik yang dimiliki oleh negeri ini. Kyai Husein merupakan salah
satu tokoh gender yanggagasan-gagasan pembaharuannya sangat brilian
dan diapresiasi oleh banyak kalangan khususnya dari kalangan yang
memperjuangkan kesetaraan gender.Meskipun hukum Indonesia telah
mengatur tata caracerai gugat, namun akibat hukum dari cerai gugat
berbeda dengan cerai talak. Kyai Husein juga berpendapat bahwa
sebenarnya produk hukum dalam UU No. 1 tahun 1997 dan KHI masih
terlihat bias gender. Aturan-aturan tersebut cenderung mendiskriminasikan
perempuan. Salah satunya yaitu tentag pembatasan umur nikah dalam
pasal 15 ayat 1 KHI, kemudian tentang nusyuz bagi perempuan dan lain
sebagainya (Muhammad,2016: 155). Perceraian yang dilandasi dengan
nusyuz (yang hanya dimiliki pihak perempuan) akan memberikan akibat
hukum yang berbeda dalam putusan Pengadilan. Keputusan seperti ini
dianggap para penggiat gender sebagai pendiskriminasian terhadap
Sumbangsih Kyai Husein terhadap perjuangan kesetaraan gender
tidak dapat diragukan lagi terbukti dari posisi Kyai Husein yang menjabat
sebagai salah satu komisioner komnas perempuan hingga sebagai pendiri
beberapa LSM yang menangani isu-isu hak-hak perempuan. Latar
belakang Kyai Husein yang juga sebagai salah satu ulama juga menjadi
tolak ukur masyarakat dalam pengambilan fatwa yang beliau kemukakan.
Penulis tertarik untuk mengetahui tentang bagaimana pendapat
Kyai Husein tentang bagaimana hukum percerain di Indonesia. Oleh
karena itu penulis ingin melakukan penelitian yang berjudul “TELAAH
METODE PEMIKIRAN KH.HUSEIN MUHAMMAD TERHADAP
KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI
INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah saya sampaikan di
atas, maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah:
1. Bagaimana basis pemikiran KH. Husein Muhammad?
2. Bagaimana pemikiran KH. Husein Muhammad dan metode
pemikirannya tentang kesetaraan gender dalam hukum perceraian di
Indonesia?
3. Bagaiamana relevansi hukum perceraian di Indonesiaterhadap
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap
kegiatan atau aktifitas yang dilakukan seseorang pasti mempunyai tujuan
yang ingin dicapai. Adapun tujuan skripsi ini adalah:
1. Mengetahui basis pemikiran KH. Husein Muhammad.
2. Mengetahuipokok-pokok pemikiran dan metode pemikiran KH.
Husein Muhammad terhadap hukum perceraian di Indonesia.
3. Mengetahui relevansi hukum perceraian di Indonesia terhadap
kesetaraan gender.
D. Kegunaan penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan ini
diantaranya adalah:
1) Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran
tentang wacana keilmuan, terutama pengembangan wawasan mengenai
pemikiran tokoh gender terhadap hukum perceraian di Indonesia.
2) Secara praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan,
dan pengalaman bagi peneliti mengenai produk pemikiran tokoh
b. Bagi Perempuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi para
perempuan tentang posisinya yang tidak selalu di bawah laki-laki.
c. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau
bahan pertimbangan oleh pemerintah dalam merumuskan kembali
hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan perceraian di depan
Pengadilan Agama yang diajukan oleh perempuan.
E. Kerangka Teori
Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pengertian dalam memahami
topik penelitian ini, maka peneliti perlu memberikan penegasan istilah
untuk beberapa kata yang terlihat masih abstrak, sehingga mempermudah
pemahaman selanjutnya.
1.Gender
Kata “gender” berasal dari bahasa Inggri gender yang berarti jenis
kelamin (Echols&Shadily, 2007: 332). Menurut Istibsyaroh seorang
pakar gender pengertian gender yang diartikan dengan jenis kelamin
tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan kata jender merupakan kosa
kata baru yang belum ada di dalam kamus Bahasa Indonesia. Mengutip
pendapat H.T. Wilson dalam bukunya Istibsyaroh yang berjudul
Hak-hak Perempuan Relasi Gender menurut Tafsir al Sya‟rawi, Nasruddin
“Gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangsih laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan” (Istibsyaroh, 2004: 60).
Gender secara umum digunakan sebagai pengindentifikasian
terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial dan
budaya. Inilah yang membedakan makna gender dengan makna sex.
Sex dalam kamus Inggris-Indonesia dimaknai dengan jenis
kelamin.Sex cenderung dimaknai secara biologis yakni laki-laki
diciptakan secara kodrati sebagai seseorang yang bisa menghasilkan
sperma sedangkan perempuan bisa hamil, melahirkan dan menyusi
(Istibsyaroh, 2004: 62). Inti pengertian seks yaitu masing-masing
fungsi peranan yang tidak dapat digantikan antara laki-laki dan
perempuan. Sedangkan gender cenderung bermakna perbedaan
laki-laki dan perempuan dalam unsur sosial dan budaya. Pengaruh sosial
dan budaya yang berbeda menyebabkan perbedaan beban gender yang
berbeda dalam tatanan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat
(Umar, 1999: 37).
2. Perceraian
Perceraian dalam Bahasa Arab disebut dengan talak. Menurut
bahasa talak berasal dari kata “ithlaq” yang berarti melepaskan atau
meninggalkan. Menurut istilahnya yaitu atinya “melepaskan ikatan
perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan” (Sabiq, 1980: 7).
Adapun macam talak ada dua yaitu: talak raj‟i dan talak ba‟in.
didahului oleh penjatuhan talak sebelumnya tau pernah satu kali
penjatuhan talak, adapun talak ba‟in terdiri dari dua macam yaitu
ba‟in shugro dan ba‟in kubro (Al-Fathi, 2010: 45). Konsekuensi dari
talak ba‟in sughro yaitu apabila masa iddah istri habis, namun baru
mengucapkan talak di bawah tiga kali dan suami ingin merujuknya
harus dengan syarat menggunakan akad nikah baru. Adapun ba‟in
kubro yaitu apabila suami telah mengucapkan talak tiga kali namun
ingin merujuk istrinya kembali, maka harus disertai dengan akad
nikah baru, namun disertai dengan syarat setelah sang istri menikah
dengan laki-laki lain dan telah berhubungan layaknya seorang istri
kemudian sang istri telah cerai dengan suami yang kedua. (Ibnu
Qosim, 2005: 48).
3. Hukum Perceraian di Indonesia
Indonesia merupakan sebuah Negara hukum di mana segala
sesuatunya diatur oleh hukum, tidak terkecuali dengan perceraian.
Percerian dalam UU Perkawinan tahun 1974 diatur dalam pasal 39
yang berbunyi: 1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Berbeda dengan ulama fiqh klasik , bahwa hak cerai hanya untuk
berada. Gugatan perceraian memang bisa diajukan oleh pihak istri,
namun harus dilakukan lewat Pengadilan Agama (Munti&Anisah
2005: 78).
F. Telaah Pustaka
Sesuai dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini, yakni
tentang kesetaraan gender dalam hukum perceraian di Indonesia menurut
Kyai Husein, maka sangatlah penting untuk mengetahui dan melacak
penelitian atau tulisan yang hampir sama dengan tema yang penulis
angkat. Maka dari itu, penulis memaparkan telaah pustaka untuk
membedakan tulisan penulis dengan beberapa tulisan mengenai pemikiran
Kyai Husein yang telah ditulis oleh beberapa penulis sebelumnya.
Pertama, buku yang ditulis oleh Nuruzzaman, yang berjudul “Kiai
Husein Membela Perempuan” yang diterbitkan oleh Pustaka Pesantren
pada tahun 2004. Buku ini berisikan tentang kiprah dan perjuangan Kyai
Husein dalam memperjuangkan hak-hak perempuan berisi wacana
feminisme Kyai Husein di pesantren dengan berbagai pro dan kontranya.
Nuruzzaman melakukan wawancara langsung dengan Kyai Huseinuntuk
melengkapi tulisannya.
Kedua, skripsi karangan Suprapti Ragiliani yang berjudul
“Kesetaraan Gender dalam Paradigma Fiqh (Studi Pemikiran Husein
pemikiran Kyai Husein dalam wacana gender terhadap paradigma Fiqh.
Metode yang digunakan dalam skripsi adalah metode Library Reseach.
Ketiga, skripsi karangan Ziadatun Ni‟mah yang berjudul “Wanita
Karir dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Pandangan KH. Husein
Muhammad), UIN Yogyakarta tahun 2009. Skripsi ini berisi tentang
wanita yang berkarir dalam keluarga ditinjau dalam tinjauan gender
menurut Kyai Husein. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah
Library Reseach.
Sudah menjadi sebuah keharusan bahwa hasil karya tidak boleh
sama persis dengan hasil karya orang lain. Oleh karena itu penulis
mencoba mencari sesuatu yang patut untuk diteliti dan berbeda dengan
penelitian yang telah dihasilkan orang lain.
Pertama, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan bukunya
Nuruzzaman yaitu terletak pada focus penelitian. Buku karangan
Nuruzzaman berisi langsung tentang kiprah Kyai Husein dalam
memperjuangkan gender secara global, meskipun penulis dan Nuruzzaman
menggunakan metode yang sama yakni metode wawancara secara
langsung.
Kedua, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan skripsi
Suprapti Ragiliani terletak pada fokus penelitian dan metode penelitian.
Penulis fokus pada hukum perceraian di Indonesia serta menggunakan
wacana gender dalam paradigma Fiqh serta menggunakan metode library
research. Meskipun subyek yang diteliti sama yakni Kyai Husein
Muhammad.
Ketiga, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan skrisi
Ziadatun Ni‟mah hampir sama dengan perbedaan penelitian yang diteliti
oleh Suprapti Ragiliani, yaitu perbedaannya terletak pada fokus penelitian
dan metode yang digunakannya. Ziadatun Ni‟mah fokus pada penelitian
tentang wanita karir dalam tinjauan gender.
Ketiga karya tulis tersebut menggunakan subyek yang sama
dengan penulis dalam penelitiannya yaitu KH. Husein Muhammad, namun
yang menjadi perbedaanya antara satu sama lain yaitu terletak pada fokus
penelitian dan metode yang digunakan oleh masing-masing penulis.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan penulis gunakan adalah penelitian
lapangan (field research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap
objek yang dituju untuk mendapatkan data yang benar dan terpercaya
tentang pemikiran Kyai Husein tentang kesetaraan gender dalam
perceraian di Indonesia.
Penelitian ini bersifat kualitatif, maksudnya adalah prosedur
tertulis atau lisan dari orang yang pemikirannya diamati. Penelitian ini
dapat dikatakan yang bersifat deskriptif kualitatif yaitu penulis
menganalisis dan menggambarkan penelitian secar obyektif dan detail
untuk mendapatkan hasil yang akurat (Margono, 1997: 36).
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan gender, dimana
pendekatan ini menggunakan pandangan kesetaraan kedudukan antara
kedudukan perempuan dan laki-laki dalam segi fungsinya bukan dari
segi jenis kelaminnya. Menurut beberapa tokoh gender salah satunya
yaitu Jill Steal, mengemukakan bahwa term gender tidak ditunjukan
dengan perbedaan biologis yakni jenis kelamin laki-laki dan
perempuan, namun lebih ditunjukan dengan hubungan ideologis
tentang eksistensi keduanya (Kadarusman, 2005: 20).
3. Kehadiran Peneliti
Melalui penelitian ini peneliti bertindak sebagai pengumpul data.
Peneliti datang dan secara langsung berinteraksi dengan subyek
penelitian dan melalukan wawancara mendalam dan aktivitas-aktivitas
lainnya demi memperoleh data yagng diperlukan dalam penelitian ini.
Peneliti terjun langsung kepada subyek penelitian, tanpa mewakilkan
kepada orang lain, supaya kegiatan yang berkaitan dengan menggali,
4. Sumber Data
Pengumpulan data dilakukan dengan pada sumber data primer dan
data sekunder.
a. Data Primer menurut S. Nasution data primer adalah data yang
dapat diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian.
Sedangkan menurut Lofland bahwa sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan
tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan
dengan mengamati atau mewawancarai. Peneliti menggunakan data
ini untuk mendapatkan informasi langsung tentang hukum
perceraian di Indonesai dalam perspektif gender. Data ini berupa
hasil wawancara dengan narasumber yang merupakan tokoh
gender, yaitu Kyai Husein dan pihak-pihak yang berkaitan dengan
Kyai Husein.
b. Data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung dan data
yang diperoleh oleh peneliti dari berbagai sumber yang telah ada.
Data sekunder yang peneliti gunakan bersumber dari beberapa
buku yang berkaitan dengan penelitian dan dari dokumentasi.
H. Prosedur Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data kualitatif yang peneliti gunakan untuk
a. Metode Wawancara
Wawancara yaitu suatu proses tanya jawab secara lisan di mana
dua orang atau lebih berhadapan secara langsung, antara keduanya atau
lebih bisa langsung melihat wajah satu dengan lainnya secara langsung
dan bisa mendengar suara responden dengan telinganya sendiri
(Sukansarrumidi, 2004: 88). Wawancara ini dilakukan kepada satu
subyek yaitu kepada K.H.Husein Muhammad. Melalui wawancara,
peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang
responden (Sugiyono, 2013: 231). Melalui wawancara peneliti akan
bertanya langsung mengenai hukum perceraian di Indonesia dalam
perspektif gender. Peneliti juga sempat melakukan wawancara
terhadap orang-orang terdekat Kyai Husein untuk mendapatkan
gambaran yang lebih luas tentang sosok Kyai Husein ini. Mulai dari
muridnya, santrinya, dan terhadap kerabatnya.
b. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan metode yang cukup mudah
dibanding dengan metode lainnya. Meskipun ada kekeliruan sumber
datanya masih tetap (Arikunto, 2010: 274). Dokumentasi bisa berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi
240).Adapun karya-karya Kyai Husein selanjutnya akan penulis
kemukakan dalam biografinya.
I. Tahap-Tahap Penelitian
Penelitian kualitatif terbagi menjadi tiga tahap, yaitu: tahap pra-lapangan,
tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data (Moleong, 2009: 127).
a.Tahap Pra-Lapangan
Tahap pra-lapangan adalah tahapan penelitian sebelum berada di
lapangan. Ada enam kegiatan yang harus dilakukan peneliti pada
tahapan ini. Tahapan ini perlu ditambahkan satu pertimbangan tahapan
lagi yaitu etika penelitian. Kegiatan tersebut antara lain: menyusun
rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan,
menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan,
dan menyiapkan perlengkapan penelitian. Tahap ini digunakan sebelum
peneliti melakukan penelitian yang sebenarnya. Kemudian peneliti
membuat rancangan kegiatan dan memilih salah satu lokasi untuk
dijadikan obyek penelitian.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahapan ini merupakan tahapan penelitian yang sebenarnya, di
mana peneliti terlibat secara langsung dalam proses penelitian dan
datang langsung di lokasi penelitian. Peneliti mencari informasi
Melakukan kegiatan ini peneliti akan mengumpulkan data-data yang
sesuai fokus penelitian.
c. Tahap Analisis Data
Setelah semua data telah terkumpul, maka peneliti menganalisis
data yang sudah ada dengan teori-teori yang sudah ada, sehingga dapat
disimpulkan beberapa hasil penelitian, analisi data terdapat beberapa
alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu:
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah kegiatan yang mengantisipasi
kegiatan sebelum melakukan penelitian ke lapangan.Peneltian
dirancang sehingga nanti mudah dalam menganalisis dan sebagai
bukti pada penelitian.
2. Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan
perhatian data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.
3. Penyajian Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Melalui data kita akan memahami apa yang
sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan dalam mengambil
tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapatkan dari
4. Kesimpulan
Setelah melalui proses pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, kemudian menarik kesimpulan dari apa yang telah
dianalisis.
J. Sistematika Pembahasan
Agar mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh serta
mempermudah pemahaman terhadap penulisan skripsi ini, maka penulisan
skripsi ini dikelompokan menjadi lima bab. Agar tidak terjadi kerancuan
dalam pembahasan ini maka antara bab satu dengan bab yang lainnya
harus saling berkaitan.
BAB I: Bagian ini merupakan pengantar dari keseluruhan isi pembahasan.
Pada bagian pertama iniakan dibahas bebrapa sub bahasan, yaitu:
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
BAB II: Pada bab ini berisi tentang kajian teori tentang konsep kesetaraan
gender dalam Islam maupun kesetaraan gender dalam hukum
perceraian di Indonesia.
BAB III:Pembahasan pada bab ini berisi tentang biografi K.H.Husein
BAB IV: Bab ini berisikan basis pemikiran KH. Husein Muhammad serta
pemikiran dan metodenya tentang hukum perceraian di Indonesia
serta relevansi hukum perceraian di Indonesia terhadap kesetaraan
gender.
BAB V: Bab ini merupakan kajian paling akhir dari skripsi ini, yang mana
pada bagian ini berisi kesimpulan peneliti dari seluruh
pembahasan yang telah dikemukan dalam skripsi dan saran
BAB II
KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM PERCERAIAN
A. KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Kesetaraan berasal dari kata setara. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata setara berarti sejajar atau sama tingkatannya. Artinya
tidak ada perbedaan kedudukan dari salah satu pihak. Sedangkan
gender secara etimologi dari bahasa Inggris gender berarti jenis
kelamin (Echols&Shadily, 1983: 265). Kata gender dalam feminisme
pertama kali digaungkan oleh Anne Oakley sebagai upaya untuk
menghindari terjadinya kerancuan makna dalam kata sex dan gender
(Muslikhati, 2004: 19).
Gerakan feminisme lahir karena adanya problematika dalam
masyarakat yang memandang perempuan hanya dengan sebelah
mata.Sebelum Islam datang kita mengetahui masyarakat pra Islam
yang dinamakan masyarakat Jahiliyyah lewat bacaan-bacaan yang
tersedia. Masyarakat Jahiliyyah dikenal sebagai masyarakat yang
paling kejam terhadap perempuan, di mana setiap anak perempuan
yang baru lahir dikubur hidup-hidup karena mereka meyakini bahwa
anak perempuan hanya akan membawa aib bagi keluarga.
Tradisi Budha juga menganggap perempuan sebagai makhluk yang
suci, sehingga tidak ada satupun perempuan yang bisa menjadi
Dewa.Kaum Yahudi juga menempatkan perempuan hanya sebagai
pelayan, bahkan anak perempuan bisa dijual sendiri oleh ayahnya
(Muslikhati, 2004: 24).
Kesewenang-wenangan tersebut mulai menggerakkkan hati para
penggiat feminisme untuk menyuarakan suaranya tentang
ketidakadilan gender. Mulai dari sinilah istilah gender mulai gaung
terdengar. Wacana tentang gender sendiri mulai muncul di Indonesia
sekitar tahun 1980-an (Muhammad, 2016: 69). Namun menurut
Nuruzzaman yang mengutip dari buku “Politik Gender Orde Baru”
sebenarnya wacana feminisme sudah jauh muncul di Indonesia sejak
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, zaman ini ditandai dengan
munculnya pemikiran-pemikiran R.A. Kartini. Menurut Baroroh
Baried kesadaran akan kesetaraan gender malahan sudah muncul sejak
tahun 1856 yang dimunculkan oleh Ratu Ternate yang bernama Siti
Aisyah W. Tanriolle (Nuruzzaman, 2005: 2).
Gender dalam beberapa buku diartikan sebagai perbedan fungsi
laki-laki dan perempuan bukan dipandang sebagai sebuah perbedaan
dalam hal biologis.K.H. MA. Sahal Mahfudz dalam kata pengantarnya
dalam buku yang berjudul Fiqh Perempuan karya K.H. Husein
Muhammad, mendefinisikan bahwa gender pada dasarnya perbedaan
antara laki-laki dan perempuan yang didasari oleh konstruksi sosial
yang sifatnya bukan merupakan kodrat dari Tuhan, perbedaan ini
melalui proses sosial dan budaya yang lama.
Berbagai pro dan kontra bermunculan ketika wacana gender mulai
digaungkan. Banyak yang berpendapat bahwa gender merupakan
produk impor dari Barat bukan produk yang lahir dari ajaran agama
Islam yang dalam konteks keIndonesiaan fanatisme terhadap agama
masih sangat mengakar kuat saat itu. Wacana gender masuk kedunia
Islam bersamaan dengan masuknya budaya Eropa. Masuknya budaya
Eropa ke dalam Negara Islam membawa perubahan yang negatif bagi
kaum perempuan, namun perubahan tersebut lambat laun juga
membawa dampak perubahan yang positif bagi perubahan politik,
ekonomi dan kultural yang secara tidak langsung juga membawa
perubahan bagi pembebasan kaum perempuan dari pendiskriminasian
(Kadarusman, 2007: 61). Meskipun telah membawa kemajuan di sisi
lain bagi perkembangan dalam beberapa sektor, namun sentimentil
terhadap ajaran gender yang mengatasnamakan agama masih cukup
kuat saat itu.
Agama dan gender merupakan dua isu yang masih sering
diperdebatkan dalam dewasa ini. Bahkan para agamawan juga turut
meperdebatkan persoalan ini.Banyak ajaran agama yang masih tetap
sedangkan laki-laki tetap pada posisinya di kelas pertama. Banyak
kitab-kitab yang masih melanggengkan ajaran-ajaran yang menurut
para ahli gender mengandung nilai-nilai diskrimanitif bahkan banyak
Hadits yang berisi tentang realitas-realitas yang masih bias gender.
Menurut salah satu tokoh gender, yaitu Kadarusman mengutip
perkataan Rita M. Gross bahwa sebenarnya seluruh ajaran agama
memperkuat eksistensi perempuan dalam berbagai hal, namun budaya
patriarkhi yang masih mengakar kuat sangat sulit untuk
menghilangkan budaya tersebut. Budaya patriarkhi merupakan budaya
yang menjunjung tinggi laki-laki dan menempatkan laki-laki dalam
kelas superior di mana laki-laki memegang penuh kendali atas kaum
perempuan (Kadarusman, 2005: 2).Kemudian muncul berbagai macam
pertanyaan bagaimana pandangan agama Islam sesungguhnya terhadap
kesetaraan gender.
Islam dalam ajarannya sangat menghargai perempuan terbukti dari
beberapa ayat-ayat Al Qur‟an menjelaskan tentang kedudukan
perempuan banyak hadits-hadits yang berisi tentang keunggulan
perempuan, bahkan banyak para pejuang-pejuang Islam dahulu banyak
yang berjenis kelamin perempuan.Islam sebagai agama yang rahmatal
lil „alaminyakni agama yang mengajarkan kedamaian dan agama
Tujuan dari sebuah agama adalah membimbing manusia agar
menjadi pribadi yang baik dalam segala aspek, baik aspek moral,
mental, fisik, spiritual, dan aspek sosial.Agama juga memberikan
seperangkat ajaran kepada manusia agar mengerjakan segala perbuatan
yang baik dan meninggalkan perbuatan yang tercela.Adanya anjuran
untuk berbuat baik dan larangan berbuat perbuatan yang tercela adalah
demi kebahagiaan dan ketentraman bagi umat manusia.Salah satu
aturan agama yang mendasar adalah keharusan untuk menghormati
orang lain tanpa membedakan ras, suku, agama, jenis kelamin maupun
gender (Siti Musdah Mulia, 2011: 43).
Islam telah mengajarkan ajaran kesetaraan yang termuat dalam
kalimat Lailaha illallah.Kalimat tauhid tersebut mempunyai arti yang
sangat luhur. Tauhid merupakan inti ajaran dalam agama Islam yag
menuntun manusia dalam berketuhanan dan berkemanusiaan secara
benar. Ajaran tauhid tidak hanya dimaknai sebagai lafadz yang
mengesakan Tuhan semata namun harus diresapi secara penuh oleh
manusia bahwa Dzat yang mempunyai ke Esa an hanya Allah semata
dan kedudukan tertinggi hanya pada Allah saja. Pandangan bahwa
Allah lah dzat yang maha esa melahirkan pandangan bahwa tidak ada
makhluk lain yang menyamai kedudukannya pada akhirnya melahirkan
pandangan bahwa semua makhluk ciptaan Allah mempunyai
Ajaran-ajaran yang terkandung dalam tauhid mempunyai misi
untuk membebaskan manusia, yakni membebaskan manusia secara
total, pembebasan secara terus menerus maupun secara
bertahap.Pembebasan dalam kemusyrikan dan kezaliman merupakan
pembebasan secara total.Pembebasan secara terus menerus yaitu
pembebasan dari Tuhan-Tuhan berhala yang dulu disembah oleh orang
kafir hingga Tuhan-Tuhan yang berwujud canggih seperti kekayaan,
status, jabatan yang dipuji-puji oleh manusia pada era
sekarang.Sedangkan pembebasan secara bertahap merupakan
pembebasan manusia dari sistem sosial yang tidak adil.Pembebasan
secara bertahap juga berlaku bagi perempuan.
Pada zaman jahiliyah perempuan dianggap sebagai barang yang
dapat diwariskan secara turun temurun kemudian Islam datang dan
memberlakukan perempuan sebagai subyek yang menerima warisan
bukan sebagai barang yang bisa diwariskan.Namun pembebasan
tersebut masih bersifat bertahap karena warisan yang diterima oleh
perempuan adalah separo dari laki-laki.Meskipun demikian
pembebasan tersebut sangat fantastis dibanding dengan ketentuan yang
ada pada zaman Jahiliyah (Mulia, Siti Musdah, 2011: 52).Tauhid juga
mengandung nilai-nilai keadilan.Keadilan ini juga berlaku bagi
perempuan.Perempuan setelah Islam datang memperoleh kedudukan
datang memberikan angin segar bagi para perempuan untuk
menunjukkan eksistensi dirinya.
Mengutip dari disertasinya Nasaruddin Umar, Kadarusman
menjelaskan Al Qur‟an yang notabene sebagai pegangan umat hidup
manusia yang beragama Islam di dunia ini, telah memuat tentang
prinsip-prinsip kesetaraan gender. Lebih dijelaskan lagi bahwa al
Qur‟an memuat setidaknya lima prinsip kesetaraan yaitu kesetraan
sebagai hamba, kesetaraan sebagai wakil Allah di muka bumi,
sama-sama menerima perjanjian dari Tuhan, sama-sama-sama-sama terlibat dalam
drama kehidupan, dan sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi
(Kadarusman, 2007: 64).
Menurut salah satu tokoh gender lainnya, yaitu Asghar Ali
Engineer mengungkapkan bahwa pada dasarnya Islam juga bermaksud
memberikan hak yang setara antara laki-laki dan perempuan.Namun
para fuqoha‟ masih tetap memegang kuat tradisi budaya lama dan
fanatisme terhadap ajaran yang mengajarkan bahwa laki-laki
merupakan pihak superior sedangkan perempuan sebagai pihak inferior
(Engineer, Asghar Ali, 2000: 194).
Demikianlah ajaran Islam yang bersumber kepada Al Qur‟an dan
Hadist berisi ajaran-ajaran tentang kesetaraan yang menolak paham
diskriminatif terhadap satu sama lain dan Islam merupakan agama
mengangkat derajatnya sehingga perempuan bukan hanya menjadi
obyek melainkan sebagai subyek.Namun pada praktiknya masih
banyak produk yang melegalkan tindakan diskriminasi bagi
perempuan di Indonesia yang mengatasnamakan ajaran agama.
Menurut Kyai Husein masih adanya pendiskriminasian terhadap
perempuan yang mengatasnamakan ajaran agama ini dipicu dari
metode ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur‟an.Pemahaman
yang berbeda-beda tentang teks Al Qur‟an menimbulkan berbagai
macam produk hukum (Muhammad,2016: 122).
Adanya pemahaman terhadap teks-teks Hadits yang berbeda pula
juga turut menimbulkan berbagai multi tafsir terhadap sebuah produk
hukum. Menurut Dr. Faqihuddin Abdul Qadir, banyaknya literal-literal
dalam Hadits yang memandang rendah perempuan harus dilihat
konteks yang melatar belakangi munculnya Hadits tersebut. Teks-teks
Hadits tentang relasi perempuan dan laki-laki secara umum harus
dipahami sebagai gambaran sosio kultur dalam masyarakat Arab saat
itu. Teks-teks harus dipahami dengan logika historisnya untuk tujuan
keadilan dan kemaslahatan (Faqihuddin Abdul Qadir, 2011:
158).Dukungan dari budaya patriarkhi juga turut mewarnai corak
pemikiran para agamawan dalam mengeluarkan fatwa-fatwanya yang
Pengukuhan ajaran-ajaran agama terhadap budaya patriarkhi
menjadi sebab munculnya tindakan diskriminatif terhadap perempuan.
Menurut Kadarusman persoalan pendiskriminasian terhadap gender
dipicu oleh dua faktor yaitu faktor sosiologis dan faktor teologis.Faktor
sosiologis dalam relasi gender dimaknai sebagai sebuah institusi sosial
yang teroganisir antara laki-laki dan perempuan yang meliputi
hubungan individu hingga hubungan institusi yang lebih besar seperti
kelas sosial hingga struktur pekerjaan. Faktor sosiologis ini merupakan
faktor yang dapat berubah sesuai dengan kondisi yang mempengaruhi
perubahan tersebut. Keadaan sosial yang memberikan pemahaman
bahwa perbedaan gender merupakan perbedaan yang telah ditakdirkan
oleh Allah SWT. menimbulkan asumsi bahwa perbedaan tersebut tidak
bisa diganggu gugat. Faktor teologis yaitu pengukuhan ajaran-ajaran
agama yang diwacanakan oleh para agamawan masih mengandung
nilai-nilai budaya patriarkhi.Penafsiran ayat-ayat Al Qur‟an yang
masih didominasi oleh kaum laki-laki memberikan pengaruh dalam
produk tafsiran ayat-ayat Al Qur‟an (Kadarusman, 2005: 5).
Hubungan antara laki-laki dan perempuan, pada dasarnya dalam
Islam sudah diatur beberapa prisip kesejajarannya. Dr. Khoiruddin
Nasution mengelompokkan nash yang berbicara tentang keseteraan
gender, yaitu: 1) Statemen umum tentang kesetraan antara laki-laki dan
perempuan 2) Tentang asal-usul 3) Tentang amal perbuatan 4) Tentang
social 7) Saling tolong menolong 8) Kesempatan yang sama dapat hal
mendapatkan pendidikan.
Adapun sebab terjadinya bias gender yaitu terjadi karena sepuluh
hal, yaitu: 1) Penggunaan studi Islam yang parsial 2) Belum adanya
pembedaan antar nash yang bersifat normative-universal dan nash
yang bersifat praktis-temporal 3) Terkesan adanya sejumlah nash yang
cenderung mendiskriminasikan perempuan sebagai akibat adanya tudi
Islam yang bersifat parsial 4) Budaya-budaya Muslim yang masuk
dalam ajaran Islam 5) Teologi laki-laki yang mendominasi dalam
memahami nash 6) Kajian Islam dengan pendekatan agama murni 7)
Proses generalisasi dalam pengambila hukum secara umum dari kaus
yang bersifat khusus 8) Mengambil hukum sebagai produk hukum dari
penetapan hukum berdasarkan Siyasah al-syar‟iyah 9)Kajian Islam
yang tekstual 10) Peran kekuasaan (Nasution, 2004: 166).
B. TEORI GERAKAN GENDER
Berbicara masalah gender tidak terlepas dari bahasan feminism
karena gerakan gender muncul berawal dari adanya gerakan feminism.
Berikut beberapa teori feminisme yang dikenal dunia:
1. Feminisme Liberal
Teori ini pertama kali dirumuskan oleh Mary A Vindication
(1759-1799 M) dalam tulisannya yang berjudul A Vindication of
bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kaum
ini menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individual
atas dasar kesamaan keberadaannya bagi makhluk yang rasional
(Muslikhati, 2004: 32). Kaum feminis liberal mempunyai dua cara
untuk mencapai tujuannya, yaitu: pertama dengan pendekatan
psikologi atau pendekatan jiwa dengan cara membangkitkan
kesdaran individu akan adanya persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan. Kedua dengan cara menuntut adanya pembaharuan
hukum yang cenderung merugikan perempuan diubah ke dalam
hukum yang cenderung menyamakan hak laki-laki dan perempuan
(Nuruzzaman, 2005: 20).
2. Feminisme Marxis
Landasan yang dipakai dalam teori ini adalah teori
konfliknya Karl Mark. Teori ini berpendapat bahwa adanya
ketimpangan hak laki-laki dan perepuan terjadi karena laki-laki
sebagai pengontrol produksi dan kaum laki-laki lah yang
mendominasi dalam hubungan sosio-politik sehingga perempuan
direduksi menjadi bagian kepemilikan atau sebagai barang
milik.Dari sinilah terjadi pembagian ruang antara laki-laki dan
perempuan, di mana laki-laki bekerja diluar sebagai pencari nafkah
dan perempuan hanya berada di rumah yang berfungsi sebagai
pengurus rumah tangga.Upaya yang dilakukan oleh kaum feminis
terhadap kaum kapitalis yang menyebabkan kaum perempuan
tertindas.Solusi yang ditawarkan oleh kaum feminis Marxis yaitu
adanya revolusi besar-besaran yang mampu memutuskan hubungan
dengan kapitalis internasional dan diganti dengan sistem sosialis
(Muslikhati, 2004: 34).
3. Feminis Radikal
Feminis radikal ini menolak adanya institusi keluarga.
Mereka mengganggap adanya keluarga hanya akan menjadikan
perempuan sebagai obyek kekerasan dari pihak laki-laki.
Feminisme radikal ini cenderung membenci laki-laki bahkan yang
lebih ekstrim lagi kelompok ini menjujung tinggi paham lesbi,
yaitu paham yang melegalkan hubungan sesama jenis lebih
khusunya sesama perempuan.Paham ini berkeyakinan bahwa
perempuan yang hidup dengan perempuan merupakan cirri
perempuan yang mandiri. Paham yang diajarkan yaitu adanya
pemisahan secara internal ataupun eksternal antara laki-laki dan
perempuan (Muslikhati, 2004: 36).
4. Feminis Sosialis
Gerakan feminis social lebih menitik beratkan pada
penyadaran bagi para perempuan akan hak-haknya. Teori yang
diajarkan adalah teori konflik, di mana dengan adanya penyadaran
tersebut, kaum perempuan akan bangkit emosinya dan secara
kaum laki-laki. Gerakan sosial ini tidak melulu memperjuangkan
kesetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari, sebaliknya kaum
ini memperjuangkan pembebasan kaum perempuan dan laki-laki
dalam sistem yang cenderung mendiskriminasikan perempuan.
Perjuangan kaum feminisme ini bukan sekedar meningkatkan
status perempuan atas laki-laki, namun sebatas memberdayakan
perempuan dengan cara meletakkan kembali posisi perempuan
yang sesuai dengan pola kekuasaan dan sumberdayanya
masing-masing (Nuruzzaman, 2005: 30).
C. HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA
Hukum merupakan seperangkat peraturan yang dibuat oleh
lembaga yang berwenang yang berisi tentang bagaimana seharusnya
manusia bersikap dalam pergaulannya yang berupa perintah, larangan
yang bersifat memaksa dan ajuran atau pembolehan yang disertai
dengan adanya sanksi (Farkhani, 2011: 31). Pengertian tersebut
mempunyai empat unsur, yaitu:
1. Adanya peraturan yang mengatur tingkah laku manusia.
2. Peraturan ini dikeluarkan oleh lembaga resmi.
3. Peraturan bersifat memaksa.
4. Adanya sanksi yang tegas terhadap setiap pelanggarannya.
Sementara perceraian dalam bahasa Arab disebut dengan
talak.Talak berarti melepas tali ikatan, yang di maksud disi adalah tali
segala sesuatu yang bisa menyebabkan putuskan perceraian, baik
menggunakan kata-kata, atau dengan surat kepada istrinya, atau
dengan isyarat oleh orang yang bisa, atau bisa dengan mengirimkan
utusan. Menurut buku Fiqh Sunnah karangan Sayyid Sabiq, ucapan
cerai terbagi menjadi dua, pertama yaitu cerai yang diungkankan
secara jelas atau sharih, talak yang jelas menggunakan tiga lafal yaitu
talak, firaq, dan siraah.Adapun talak yang diungkapkan dengan
sindiran atau talak kinayah dianggap sah jika disertai dengan niat
(Sabiq, 1980: 28).
Di Indonesia Undang-undang tentang perceraian diatur dalam
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan pelaksanaannya diatur diatur
dalam KHI Inpres No. 1 tahun 1991. Undang-undang tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk menjelaskan tentang
aturan-aturannya yang berbunyi “nikah yang dilakukan menurut agama Islam,
selanjutnya disebut nikah, didasari oleh pegawai pencatat nikah yang
diangkat oleh Mentri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk
olehnya”.Adapun talakdan rujuk juga harus diberitahukan kepada
pegawai pencatat nikah setelah mendapatkan putusan dari Pengadilan
Agama yang memutuskan (Sudarsono, 1994: 163).
Aturan-aturan dalam keluarga di Indonesia telah termuat dalam UU
Perkawinan tahun 1974 dan Kepres No. 1 tahun 1991 tentang KHI.
tafsiran-tafsiran para hakim atas sebuah kasus. Pada awalnya
pemerintah mengesahkan UU Perkawinan tahun 1974, namun pada
praktiknya terutama di Pengadilan Agama pendapat para hakim sesuai
dengan kitab Fiqh masing-masing yang dijadikan sebagai rujukannya
yang banyak sekali macam kitabnya. Ketidakadaan standar baku
menimbulkan perbedaan keputusan para hakim atas sebuah kasus dan
ini jelas mengabaikan asas kepastian hukum. Oleh karena itu
Mahkamah Agung pada tahun 1985 mengusulkan agar dirumuskannya
sebuah hukum yang baku sebagai landasan pijakan para hakim. Usulan
tersebut direalisasikan pada eranya Munawir Syadzali yang pada saat
itu menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1991 (Munti&Anisah,
2005: 17).
Proses penyusunan UU Perkawinan dan KHI berdasarkan pada
hukum normatif Islam yang ada di dalam kitab-kitab Fiqh.
Materi-materi-materi dalam UU Perkawinan maupun KHI diadopsi dari
materi-materi Fiqh klasik yang cenderung pada madzhab Imam Syafi‟i
(Muhammad, 2016: 154). Hukum-hukum tersebut bersifat mengikat
putusan-putusan para hakim untuk menetapkan sebuah putusan.Berikut
juga hukum tentang perceraian.
Menurut pasal 38 UU No.1 tahun 1974 “perkawinan dapat putus
karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan”. Hal ini
1. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk
memutus hubungan perkawinan antara mereka.
2. Peristiwa alamiyah yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun,
yaitu kematian dari salah satu pihak suami ataupun istri.
3. Putusan dari Pengadilan yang berakibat putusnya hubungan
perkawinanan antara suami dan istri (Syaifuddin, Muhammad dkk,
2013: 16).
Menurut UU perkawinan pasal 39 UU Perkawinan No.1 tahun
1974 disebutkan bahwa ketentuan perceraian adalah:
1.Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
2.Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami dan istri tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3.Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam
peraturan perundang-undangan sendiri.
Adapun tata cara perceraian pasangan suami istri yang beragama
Islam melalui Pengadilan Agama yang telah diatur dalam KHI pasal
129–142. Berikut juga akibat putusnya perkawinan karena perceraian
juga diatur dalam UU perkawinan pasal 41.Adapun dalam KHI akibat
dari perceraian diatur lebih spesifik.Yakni dalam KHI pasal 149-152.
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
1. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.
2. Member nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo
apabila qobla al dukhul.
4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju‟ kepada bekas istri yang masih
dalam masa iddah.
Pasal 151
Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak
menerimapinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya
Perceraian dapat dilakukan jika memenuhi salah satu syarat yang
ada dalam KHI pasal 116 yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok berat,
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturur-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
ataukarena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
seorang suami/istri.
f. Antara suami dan istri terus-menurus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagidalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h.Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Ketentuan-ketentuan perceraian telah diatur dalam
Undang-Undang perkawinan yang pelaksanaannya telah diatur dalam KHI.
Pembuat hukum di Indonesia sebenarnya telah berupaya untuk
membuat aturan yang bersifat penghapusan pendiskriminasian
terhadap perempuan antara lain yaitu UU No. 7 tahun 1984 tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi bagi perempuan. Kemudian
muncul 29 kebijakan baru untuk memenuhi hak-hak perempuan,
penanganan dan penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Beberapa diantaranya yaitu UU Penghapusan kekerasan Rumah
Tangga (PKDRT), UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (PTPPO), UU Perlindungan Anak, UU Penempatan dan
Perlindungan TKI ke Luar Negeri (UU TKI ini berlaku bagi laki-laki
dan perempuan), UU Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006. Pada tahun
2000 juga dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres th. 2000) untuk
Pengarustamaan Gender (Muhammad, 2016: 130). Namun dalam
hukum perceraian di Indonesia aturan bagi kedua belah yang bercerai
yakni pihak suami maupun pihak istri masih banyak yang besifat
diskriminatif.
Menurut Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah seorang pakar
gender menyatakan bahwa, hukum perceraian di Indonesia masih
bersifat diskriminatif terbukti dari beberapa putusan yang masih
merugikan pihak perempuan. Rujukan yang dipakai oleh para hakim
yaitu dariUndang-Undang Perkawinan dan KHI yang proses
penyusunannya berdasarkan pada hukum normatif Islam sebagaimana
isinya seperti dalam kitab-kitab Fiqh (Muhammad, 2016: 154), yang
mana putusan masih dirasa berat sebelah bagi perempuan.Salah satu
produk putusan yang hingga kini tetap menjadi penetapan yaitu bunyi
amar putusan yang menyatakan bahwa perempuan yang mengajukan
perceraian, jika perceraian tersebut dikabulkan maka bunyi amar
putusannya tetap pihak suamilah yang menjatuhkan talak
kemudiantentang „iwadz.Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah juga
menganggap ketentuan seperti ini sebagai bentuk pendiskriminatifan
terhadap perempuan, karena perempuan yang menggugat cerai
suaminya yang melanggar ta‟lik talak diharuskan memberikan tebusan
atas pembebasannya tanpa terkecuali (Munti& Anisah, 2005: 85).
BAB III
KYAI HUSEIN DAN KETERLIBATANNYA DALAM GENDER
Kyai Husein lahir pada tanggal 9 Mei 1953 di Cirebon dari
pasangan Ummu Salamah dan Muhammad Asyrofuddin. Ibunya adalah
seorang guru ngaji disebuah pesanteren yang didirikan oleh kakeknya,
sedangkan ayahnya merupakan seorang pegawai pemerintah
didaerahnya.Kyai Husein terlahir disebuah lingkungan yang kental
nilai-nilai ke-Islaman-nya. Kyai Husein dilahirkan disalah satu sudut komplek
pesantren yang didirikan oleh kakeknya sendiri dari garis keturunan
ibunya yang bernama K.H. Sanawi bin Abdullah bin Muhammad Salabi
pada tahun 1932. Kyai Husein mempunyai 8 saudara yang semuanya
menjadi kyai yang berpengaruh didaerahnya.
Saudara-saudara Kyai Husein yaitu Hasan Thuba Muhammad yang
menjadi pengasuh di pondok pesantren Raudlah at Thalibin di
Bojonegoro, Jawa Timur. Husein Muhammad menjadi salah seorang
pengasuh pondok pesantren Dar at Tauhid di Arjawinangun, Cirebon.
Ahsin Sakho Muhammad pengasuh pondok pesantren Darul Qur‟an di
Arjawinangun Cirebon.Ubaidah Muhammad pengasuh pondok pesantren
Lasem, Jawa Tengah.Mahsun Muhammad pengasuh pondok pesantren
Dar at Tauhid di Arjawinangun, Cirebon.Azzah Nur Laila pengasuh
pondok pesantren HMQ Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.Salman
Muhammad pengasuh pondok pesantren tambak Beras, Jombang, Jawa
Timur.Faiqoh pengasuh pondok pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.
Setelah kakek Kyai Husein wafat pesantrennya kemudian diampu
kita kenal dengan nama pesantren Dar At Tauhid. Pada mulanya
pesantren ini bernama al-Ma‟had al-Islami, kemudian setelah putranya
yang bernama K.H. Ibnu Ubaidillah pulang dari Makah al-Mukarromah
setelah menyelesaikan studinya, pesantren ini namanya diubah menjadi
Ma‟had Dar At-Tauhid al-„Alawa al-Islami, yang kemudian disederhakan
menjadi Ma‟had Dar At-Tauhid al-Islami. Pesantren ini pada awal
kemunculannya sudah dikenal sebagai pesantren yang berbeda dari
pesantren lainnya. Jauh sebelum di Indonesia ada pesantren yang
menggunakan sistem madrasi, pesantren ini telah mengamalkannya dan
sudah menggunakan kapur tulis sebagai medianya untuk menulis
ayat-ayat Al Qur‟an dan kemudian dihapus yang mana debunya berceceran
dan oleh sebagian ulama ini dianggap sebagai bentuk penghinaan
terhadap ayat-ayat al-Qur‟an. Format pendidikan seperti ini menuai
banyak kecaman dari berbagai pihak, namun berkat kekuatan
argumentasi yang disampaikan oleh Kyai Syathori akhirnya mereka
menerima cara pendidikan seperti itu (Nuruzzaman, 205: 108).
B.Pendidikan Kyai Husein
Kyai Husein mengenyam pendidikan agama sejak kecil, selain
pendidikan formal beliau juga mengenyam pendidikan sekolah di
madrasah diniyah.Kyai Husein pertama kali belajar membaca Al-Quran
dengan Kyai Mahmud Toha dan kepada kakeknya sendiri. Kyai Husein
kemudian beliau melanjutkan ke SMPN 1 Arjawinangun, kemudian
setelah lulus Kyai Husein melanjutkan pendidikannya di pesantren
Lirboyo di daerah Kediri Jawa Timur selama tiga tahun. Kemudian
beliau melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi Perguruan Tinggi
Ilmu Al-Qur‟an (PTIQ) Jakarta selama lima tahun. Selama Kyai Husein
kuliah beliau terlibat aktif diberbagai organisasi, bahkan beliau pernah
menjabat sebagai ketua 1 Dewan Mahasiswa pada tahun 1979.Kyai
Husein juga menjadi salah satu pelopor berdirinya PMII Rayon Kebyoran
Lama (Nuruzzaman, 2005: 113).
Tahun 1980 Kyai Husein melanjutkan pendidikan ke Universitas
Al Azhar Mesir, dikarenakan ijazah sarjanannya belum bisa digunakan
untuk melanjutkan S2nya dengan alasan ijazahnya belum disamakan,
maka Kyai Husein belajar dengan sejumlah syaikh di Majma‟ al-Buhuts
al-Islamiyah milik Universitas Al-Azhar.Secara formal di institusi ini
Kyai Husein belajar di Dirasat Khashshah (Arabic Special
Studies).melalui institusi inilah Kyai Husein berkenalan dengan
pemikiran-pemikiran Islam modern yang dikembangkan oleh
Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Muhammad Iqbal dan lainnya.
Kyai Husein juga berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Barat seperti
Sratre, Goethe dan lainnya (Nuruzzaman, 2005: 6).
C. Karya-karya Kyai Husein
Kyai Husein tercatat sebagai penulis yang handal terbukti dari