i
PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN DI DESA
TAJUK DALAM BINGKAI HUKUM PERKAWINAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Annisa Sabilla
21114024
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
iii
PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN DI DESA
TAJUK DALAM BINGKAI HUKUM PERKAWINAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Annisa Sabilla
21114024
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
iv
H. M. Yusuf Khummaini, M.H Dosen IAIN Salatiga
PENGESAHAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
KepadaYth.
Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Annisa Sabilla
NIM : 21114024
Judul : PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN DI DESA TAJUK
DALAM BINGKAI HUKUM PERKAWINAN
Dapat diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYRI’AH
Jl. Nakula Sadewa V No. 9Telp (0298) 3419400 Fax. 323423Salatiga5022
v
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN DI DESA TAJUK
DALAM BINGKAI HUKUM PERKAWINAN
Oleh: Annisa Sabilla NIM 21114024
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga,
pada tanggal 19 September 20186dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH).
Dewan Sidang Munaqosyah:
Ketua Penguji : Muh. Hafidz, M.Ag.
Sekretaris Penguji : H. M. Yusuf Khummaini, M.H.
Penguji I : Drs. Machfudz, M.Ag.
Penguji II : Yahya S.Ag., M.H.I.
Salatiga, 19 September 2018 Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga,
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Annisa Sabilla
NIM : 21114024
Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Fakultas : Syariah
Judul : PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN DI DESA TAJUK
DALAM BINGKAI HUKUM PERKAWINAN
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, September 2018
Yang menyatakan,
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Rahasia keberhasilan adalah kerja keras dan belajar dari pengalaman
PERSEMBAHAN
viii
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyusun penulisan skripsi ini.
Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan para sahabat-sahabatnya, syafa‟at
beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan nanti.
Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana dalam Hukum Islam, Fakultas Syariah, Jurusan Hukum Keluarga Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga yang
berjudul: “Penentuan Waktu Pernikahan di Desa Tajuk Dalam Bingkai
Hukum Perkawinan”.
Pada penulisan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, arahan serta dukungan dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun M. Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah.
3. Bapak Sukron Ma‟mun, S.H.I. M.Si., selaku Kajur Hukum Keluarga Islam.
4. Bapak M. Yusuf Khummaini, M.H selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
ix
6. Orang tua tercinta dan semua saudara-saudaraku.
7. Teman-teman Hukum Keluarga Islam angkatan tahun 2014.
8.
Atas segala hal tersebut, penulis tidak mampu membalas apapun selain hanya memanjatkan doa, semoga Allah SWT mencatat sebagai amal sholeh yang akan mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Aamiin yaa robbal
„aalamiin. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak
kekurangannya, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat, khususnya bagi Almamater dan semua pihak yang membutuhkannya. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.
Salatiga, September
2018
x
ABSTRAK
Sabilla, Annisa. 2018. Penentuan Waktu Pernikahan di Desa Tajuk Dalam
Bingkai Hukum Perkawinan. Skripsi. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Fakultas Syariah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: H. M. Yusuf Khummaini, M.H
Kata Kunci: Waktu, Pernikahan dan Hukum Perkawinan.
Pernikahan merupakan seruan agama yang harus dijalankan oleh manusia bagi yang mampu untuk berkeluarga. Setiap orang yang ingin melangsungkan pernikahan sudah pasti menginginkan kelancaran dalam prosesi akad nikah serta kelancaran dalam kehidupan rumah tangganya kelak. Dalam hal ini penulis mengambil sampel di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Bagi sebagian masyarakat Desa Tajuk penggunaan perhitungan weton dalam pernikahan menjadi salah satu hal yang wajib. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimana praktik penentuan waktu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?; Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi praktik penentuan dan perhitungan waktu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang? Bagaimana praktik perhitungan waktu pernikahan dalam perspektif hukum perkawinan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dimana penelitian ini sering disebut dengan penelitian doktriner, dimana data yang digunakan adalah sumber data sekunder. Prosesnya bertolak dari premis-premis yang berupa norma-norma hukum positif yang diketahui dan berakhir pada penemuan asas-asas hukum yang menjadi pangkal tolak pencarian asas adalah norma-norma hukum positif. Atau singkatnya, metode pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang meneliti data sekunder di bidang hukum yang ada sebagai data kepustakaan.
xi
DAFTAR ISI
JUDUL ... i
LEMBAR BERLOGO ... ii
JUDUL ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv
PENGESAHAN KELULUSAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii
H. Sistematika Penulisan... 14
BAB II TRADISI DALAM PERKAWINAN
xii A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 49
a. Letak Geografis ... 49
b. Demografi ... 51
B. Praktik Penentuan dan Perhitungan Waktu Pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ... 54
C. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Praktik Penentuan dan Perhitungan Waktu Dalam Pernikahan yang Dilakukan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ... 65
BAB IV TRADISI PERNIKAHAN DALAM HUKUM PERKAWINAN A. Analisis Pandangan Hukum Perkawinan Terhadap Praktik Pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ... 68
B. Analisis Landasan Hukum Islam Terhadap Praktik Pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ... 75
xiii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 83
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau dan tersebar di seluruh nusantara dengan berbagai suku. Keanekaragaman kebudayaan serta suku bangsa menjadi ciri khas yang menonjol bagi Indonesia sendiri. Masing-masing suku bangsa itu mempunyai cara hidup yang berbeda-beda, sehingga tiap-tiap suku bangsa mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2002:180). Menurut Sir Edward Burnett Tylor, kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Pujileksono, 2015:24).
Dalam kebudayaan masyarakat Jawa, perkawinan merupakan hal yang dianggap sakral, karena perkawinan bukan hanya kepentingan dua orang anggota pasangan saja tetapi melibatkan dua keluarga asal dan masyarakat. Perkawinan mempunyai tujuan seperti dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1974 pada pasal 1 yang disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir
2
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan perkawinan dalam Islam
adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya (Basyir, 2007:13).
Pernikahan merupakan seruan agama yang harus dijalankan oleh manusia bagi yang mampu untuk berkeluarga. Banyak sekali hikmah yang
dapat diambil dari sebuah pernikahan. Selain sunnatullah yang telah
digariskan ketentuannya, pernikahan juga dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih terang, tenang, tenteram, dan bahagia. Perkawinan adalah sebagai perantara untuk menyatukan dua hati yang berbeda, memberikan kasih sayang, perhatian dan kepedulian antara lelaki dan perempuan (BP4, 2009: 1).
Orientasi yang dibangun Islam melalui pernikahan adalah lebih mulia dari sekedar membangun kesuksesan rumah tangga, dalam arti lancarnya urusan-urusan rumah tangga. Islam memandang perkawinan sebagai kehormatan guna menjaga keutuhan nilai-nilai beragama dalam tatanan rumah tangga sehingga tercapai keberkahan di dunia dan akhirat (Ulfatmi, 2011: 197).
3
memikirkan masak-masak mengenai tanggal baik saat di berlangsungkannya akad nikah.
Bagi seorang muslim, ada baiknya juga untuk mengetahui hari baik melangsungkan pernikahan sesuai dengan pandangan Islam. Meskipun tidak dipungkiri banyak di kalangan masyarakat yang menggunakan perhitungan hari baik menurut adat istiadatnya masing-masing. Hal tersebut sah-sah saja mengingat pandangan Islam mengenai hari baik di dalam melaksanakan prosesi akad nikah, seringkali memiliki keselarasan dengan pandangan hari baik yang di tentukan adat.
Dalam hal ini penulis mengambil sampel di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Praktik perhitungan weton dalam penentuan waktu pernikahan masih dilakukan oleh sebagian masyarakat. Dengan mengotak-atik hitungan pada tanggal lahir seseorang yang hendak melangsungkan pernikahan maka akan ditemukan hasilnya. Apakah anaknya apabila menikah pada hari, tanggal, bulan, dan jam tertentu akan bernasib beruntung atau bernasib kurang baik.
Bagi sebagian masyarakat Desa Tajuk penggunaan perhitungan weton dalam pernikahan menjadi salah satu hal yang wajib. Oleh karena itu
mengetahui neptu weton kedua calon mempelai pengantin sangatlah penting.
4
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis berusaha menengahkan permasalahan dengan mengkaji lebih lanjut, yang penulis tuangkan ke dalam
penelitian dengan judul “Penentuan Waktu Pernikahan di Desa Tajuk Dalam
Bingkai Hukum Perkawinan”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana praktik penentuan waktu pernikahan di Desa Tajuk
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?
2. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi praktik penentuan waktu
pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?
3. Bagaimana praktik perhitungan waktu pernikahan dalam perspektif
hukum perkawinan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana praktik penentuan waktu pernikahan di
Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi praktik penentuan
waktu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
3. Untuk mengetahui bagaimana praktik perhitungan waktu pernikahan
dalam perspektif hukum perkawinan.
D. Manfaat penelitian
5
a. Dapat menambah pengetahuan tentang keunikan tradisi penentuan
waktu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
b. Untuk pengembangan ilmu hukum dan penelitian hukum, serta
berguna sebagai masukan bagi praktik penyelenggara di bidang hukum pernikahan, baik pada masa kini maupun masa yang akan datang.
2. Secara Praktis
Penelitian ini bermafaat untuk mendapatkan gelar sarjana bagi penulis.
E. Penegasan Istilah
Untuk mendapatkan kejelasan di atas, perlu disajikan penegasan untuk memberi pemahaman dan batasan istilah yang ada supaya tidak ada kesalahan pemaknaan terhadap konsep kunci dalam penelitian ini.
1. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
2. Bingkai. Yang dimaksud bingkai dalam penelitian ini adalah kaca mata
sudut pandang.
3. Hukum Perkawinan adalah sebuah peraturan hukum yang mengatur
6
antara perempuan dan laki-laki demi mewujudkan sebuah keluarga yang teratur yang telah dikukuhkan pada hukum formal.
F. Tinjauan Pustaka
Mengenai tema pembahasan dalam penelitian in terdapat beberapa penelitian terdahulu yang sama. Adapun tujuan penelusuran terhadap penelitian terdahulu ialah untuk melihat persamaan dan perbedaan sebagai bahan perbandingan dan landasan dalam penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu ialah:
1. Skripsi dengan judul “Tradisi Perhitungan Weton Sebagai Syarat Perkawinan Ditinjau dari Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Pesahangan
Kecamatan Cimanggu Kabupaten Cilacap)” karya Kukuh Imam Santosa
Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Purwokerto Tahun 2016. Pada skripsi ini terdapat dua rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana tradisi masyarakat Desa Pesahangan dalam
menentukan calon pasangan perkawinan dengan menggunakan hitungan weton?
2) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap tradisi masayrakat
7
Adapun hasil penelitian dalam rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1) Salah satu cara yang digunakan masyarkat desa pesahangan dalam
memmilih pasangan dengan menggabungkan kedua jumlah neptu
antara calon pengantin laki – laki dan wanita lalu di hitung jika
sudah sampai lima maka kembali lagi dari satu, demikan seterusnya hingga habis samapai jumlah penggabungan bilangan neptu kedua calon pengantin. Dengan patokan:
a. Sri berarti menunjukan baik yaitu dalam perjodohan selalu
mendapatkan rezki banyak dan selamat rumah tangganya. b. Lungguh berarti salah satu dari suami atau istri akan
mendapatkan jabatan yang terhormat dan mulia.
c. Dunia berati rumah tangganya bahagia, kekayaan (rizki) yang melimpah ruah.
d. Lara berarti gangguan sangat berat yang berakibat menderita suami istri.
e. Pati berarti sangat menderita dalam rumah tangga dan sering terdapat kematian dalam angota keluarganya.
Jika perhitungan habis di antara lara dan pati maka perjodohan atau pernikahan kedua calon pengantin tersebut harus dibatalkan.
Namun hal itu hanya dilakukan dari pihak laki – laki saja dan dari
8
Bagi sebagian masyarakat desa Pesahangan penggunaan perhitungan weton dalam pernikahan menjadi salah satu hal yang
wajib. Oleh karena itu mengetahui neptu weton kedua calon
pengantin sangatlah penting. Kekentalan tradisi masyarakat Pesahangan tersebut begitu kuat, menjadikan proses Islamisasi tersebut menampilkan corak dan ragam dari sistem keyakinan dan berbagai ekspresi keagamaan yang unik.
2) Penetapan hukum weton dengan menggunakan „urf sebenarnya
mengembalikan hukum sesuatu pada hukum asalnya. Hal ini
sesuai dengan sebuah kaidah yang berbunyi: “Pada dasarnya
hukum segala sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang
mengharamkannya”. Namun karena penggunaan weton pada
kasus perkawinan tidak murni urusan mu‟amalah, melainkan
terselip urusan keyakinan, maka tidak tepat jika menggunakan kaidah di atas. Alternatif lain adalah kaidah yang dirumuskan oleh
kalangan hanafiyyah: “Pada dasarnya hukum segala sesuatu
adalah haram, hingga ada dalil yang membolehkannya”.
2. Skripsi dengan judul “Persepsi Masyarakat Jawa Mengenai Penentuan Hari Perkawinan di Desa Margosari Kecamatan Pagelaran Utara
Kabupaten Pringsewu” karya Yuliana Fakultas Keguruan dan Ilmu
9
mengenai penentuan hari perkawinan di Desa Margosari Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu?
Adapun hasil penelitian dari rumusan masalah tersebut adalah Penentuan Hari Perkawinan adalah tata cara yang digunakan masyarakat Jawa untuk menentukan hari perkawinan, bagi masyarakat yang percaya perhitungan
ini sangat penting untuk dilakukan apabila seseorang akan
10
Dari beberapa skripsi yang telah penulis paparkan di atas, terdapat perbedaan dengan skripsi yang akan penulis kerjakan. Adapun perbedaan tersebut terletak pada rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah praktik pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang?
2. Bagaimanakah landasan pernikahan yang dilakukan di Desa Tajuk
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?
3. Bagaimanakah pandangan hukum perkawinan terhadap praktik
pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research) yaitu
penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang diperoleh langsung dari responden dan mengamati secara langsung tugas-tugas responden (Kriyantono, 2008:106).
11
adalah pendekatan yang meneliti data sekunder di bidang hukum yang ada sebagai data kepustakaan.
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus menjadi pengumpul data. Instrumen lain yang penulis gunakan adalah alat perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi instrumen ini hanya sebagai pendukung. Oleh karena itu, kehadiran penulis di lapangan mutlak diperlukan. Kehadiran penulis di lokasi adalah untuk mencari informasi tentang penentuan waktu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang yang akan dijadikan bahan analisis serta untuk melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat dan sesepuh desa guna menggali keterangan yang diperlukan. Kehadiran penulis diketahui statusnya sebagai peneliti.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini terfokus di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Alasan penulis memilih lokasi tersebut karena di Desa Tajuk masih menjalankan tradisi penentuan waktu pernikahan.
4. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek peneliti
12
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari pihak lain, tidak
langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitian. (Azwar, 2007: 91). Dalam memperoleh data sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau laporan yang tersedia. Peneliti menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai sumber resmi serta buku-buku yang membahas mengenai pernikahan.
5. Metode Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi adalah kegiatan mengamati dan mencermati serta melakukan pencatatan data atau informasi yang sesuai dengan konteks penelitian (Hikmat, 2011: 73).
b. Wawancara
13
digunakan untuk memperoleh informasi tentang praktik pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
6. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan mengggunakan pola pikir deduktif. Artinya, menggambarkan hasil penelitian dengan diawali teori atau dalil yang bersifat umum tentang pernikahan, kemudian mengemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian terhadap tradisi penentuan waktu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Hasil penelitian kemudian dianalisa dengan menggunakan metode tersebut.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian. Maka fakta-fakta ini nanti digunakan penulis sebagai bahan pembahasan. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan menggunakan teknik triangulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Dengan tujuan untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Menurut Denzin (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori (Moleong, 2009:330).
14
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2009:330).
Untuk mendapatkan data yang akurat serta seperti yang diinginkan penulis maka penulis akan membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan keadaan dan persepektif masyarakat sekitar, tokoh masyarakat dan sesepuh desa.
8. Tahap-Tahap Penelitian
Adapun tahap-tahap yang peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum
melakukan penelitian seperti peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang tradisi penentuan waktu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
b. Tahap pekerjaan lapangan yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan
untuk mencari data-data yang diperlukan seperti wawancara kepada informan dan melakukan observasi.
c. Tahap analisa data, apabila semua data telah terkumpul dan dirasa
15
d. Tahap penulisan laporan yaitu apabila semua data telah terkumpul dan
dianalisis serta dikonsultasikan kepada pembimbing maka yang dilakukan peneliti selanjutnya adalah menulis hasil penelitian tersebut sesuai dengan pedoman penulisan yang telah ditentukan.
H. Sistematika Penulisan
Agar dalam proposal ini mendapat gambaran yang jelas, maka sistematika penulisan ini akan dipaparkan dalam 5 bab.
Bab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Adapun bab dua berupa landasan teori yang membahas mengenai perkawinan yang meliputi pengertian perkawinan, dasar hukum perkawinan, hukum perkawinan, tujuan perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, tata
cara perkawinan di Indonesia. Selain itu, pada bab ini juga membahas urf dan
Tathayyur dalam Islam.
Bab tiga berisi uraian data dan temuan yang diperoleh dari penelitian yang disajikan dalam tiga sub bab, yaitu: gambaran umum Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, praktik penentuan dan perhitungan waktu pernikahan serta faktor-faktor yang mendorong masyarakat Desa Tajuk dalam melestarikan tradisi tersebut.
16
17
yang mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan
nikah dan perkataan zawaj. Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah
perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja (Sudarsono, 1997: 62).
Perkawinan adalah:
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum
atas rukun-rukun dan syarat-syarat(al-Syafi‟i, tt: 36).
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi‟i, Hanafi,
18
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum : 21)
b. Hadits Nabi Muhammad SAW:
ِ صِ للهاِ ل و س رِ لا قِ،ىقهيبلاِةياورِفىِو
ِ مَّل سِ وِ و ي ل عِ للهاِىَّل
ِ د ق فِ د ب عل اِ جَّو ز تِا ذ اِ:
ى قا بل اِ ف صِّنلاِ فىِ للهاِ قَّت ي ل فِ، ن يِّدلاِ ف ص نِ ل م ك ت سا
Dan dalam riwayat Baihaqi disebutkan, Rasulullah SAW
bersabda, “Apabila seorang hamba telah menikah, berarti dia
telah menyempurnakan separo agamanya, maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah pada separo sisanya.
3. Hukum Perkawinan
Hukum perkawinan menurut pandangan Islam yaitu sebagai berikut:
a. Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga
19
b. Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
c. Harus kepada orang yang tidak ada padanya larangan untuk
berkawin dan ini merupakan hukum asal perkawinan.
d. Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah
batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi kemudaratan kepada isteri.
e. Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi
nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah serta akan menganiaya isteri jika dia menikah (Aminnudin, 2008).
4. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat yang harus di penuhi. Menurut bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan (Ghozali, 2010: 45-46).
Secara istilah rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung
padanya keberadaan hukum syar‟i dan ia berada diluar hukum itu sendiri
yang ketiadaanya menyebabkan hukum itupun tidak ada. Dalam syari‟ah
20
transaksi. Perbedaan rukun dan syarat menurut ulama ushul fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat (Dewi, 2005:49-50).
a. Rukun Nikah
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan;
2) Adanya wali dari pihak wanita;
3) Adanya dua orang saksi;
4) Sighat akad nikah (Ghozali, 2010: 46).
Tentang jumlah rukun para ulama berbeda pendapat:
a) Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima
macam:
(1) Wali dari pihak perempuan;
(2) Mahar (mas kawin);
(3) Calon pengantin laki-laki;
(4) Calon pengantin perempuan;
(5) Sighat aqad nikah (Ghozali, 2010: 48).
b) Imam Syafi‟i mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima
(5) Sighat akad nikah (Ghozali, 2010: 48).
c) Menurut ulama Hanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan qabul.
d) Menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat:
21
(1) Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan;
(2) Adanya wali;
(3) Adanya dua orang saksi;
(4) Dilakukan dengan sighat tertentu (Ghozali, 2010:48).
b. Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan, apabila syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya hak dan kewajiban sebagai suami istri. Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua:
1) Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang
ingin menjadiknnya istri (UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 8);
2) Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi (Ghozali, 2010:49).
c. Syarat-Syarat Rukun Nikah
1) Syarat-syarat kedua mempelai
a) Calon mempelai laki-laki
Syari‟at Islam menentukan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang suami berdasarkan ijtihad para ulama yaitu:
(1) Calon suami beragama Islam;
(2) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki;
(3) Orangnya diketahui dan tertentu;
(4) Calon laki-laki itu jelas halal dikawin dengan calon istri;
(5) Calon laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul
calon istri halal baginya;
(6) Calon suami rela untuk melakukan perkawinan itu (UU
RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1);
(7) Tidak sedang melakukan ihram;
(8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon
istri;
(9) Tidak sedang mempunyai istri empat. (UU RI No. 1
Tahun 1974 Pasal 3 Ayat 1) (Ghozali, 2010: 50).
b) Syarat bagi mempelai perempuan yaitu:
22
(2) Terang bahwa ia wanita
(3) Wanita itu tentu orangnya
(4) Halal bagi calon suami (UU RI No. 1 Tahun 1994 Pasal
8)
(5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak
masih dalam iddah
(6) Tidak dipaksa/ikhtiyar (UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6
Ayat 1)
(7) Tidak dalam ihram haji atau umrah (Ghozali, 2010: 55).
2) Syarat-syarat ijab kabul
Ijab adalah pernyataan dari calon pengantin perempuan yang diawali oleh wali. Hakikat dari ijab adalah sebagai pernyataan perempuan sebagai kehendak unutk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki sebagai suami sah. Kabul adalah pernyataan penerimaan dari calon penganitn laki-laki atas ijab calon pengantin perempuan. Bentuk pernyataan penerimaan berupa sighat atau susunan kata-kata yang jelas yang memberikan pengertian bahwa laki-laki tersebut menerima atas ijab perempuan (Dewi, 2005:63).
23
pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh sebaliknya.
Lafadz yang digunakan akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat didalam kitabullah dan sunnah.
Demikian menurut Asy-Syafi‟i dan Hambali. Sedangkan Hanafi
membolehkan kalimat yang lain yang tidak dengan Al-Qur‟an
misalnya dengan kalimat hibah, sedekah, pemilikan, dan sebagainya, bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan (Ghozali, 2010:56).
3) Syarat-syarat wali
Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil. Perkawinan tanpa wali tidaklah sah (Sudarsiono, 1992: 602).
4) Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, melihat, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah (Sudarsono, 1992: 604).
5. Tujuan Perkawinan
Menurut (Khoiruddin Nasution, 2005 : 37-38) setidaknya terdapat 5 tujuan pernikahan, yaitu sebagai berikut:
24
Tujuan ini dapat dicapai secara sempurna apabila tujuan-tujuan lain dapat terpenuhi. Dengan ungkapan lain, tujuan-tujuan-tujuan-tujuan lain adalah sebagai pelengkap untuk memenuhi tujuan utama ini. Dengan tercapainya tujuan reproduksi, tujuan memenuhi kebutuhan biologis, tujuan menjaga diri, dan ibadah, dengan sendirinya insya Allah tercapai pula ketenangan, cinta dan kasih sayang. Inilah yang dimaksud dengan tujuan lain sebagai pelengkap untuk mencapai tujuan pokok atau utama.
b. Reproduksi/regenerasi
Tujuan yang kedua ini untuk mengembangbiakan ummat manusia (reproduksi) di muka bumi dapat dilihat dalam beberapa ayat dan hadis di bawah ini:
1) Al-Syura (42): 11 “Manusia dan binatang diciptakan secara
berpasangan dari jenisnya sendiri agar berkembang biak”. 2) Al-Nisa‟ (4): 1. “Allah menciptakan kamu dari seorang diri,
kemudian daripadanya menciptakan isterinya dan dari
keduanya mengemabangbiakan manusia laki-laki dan
perempuan”.
3) Hadis Nabi yang memerintahkan untuk menikah dengan
pasangan yang penuh kasih dan subur (produktif).
c. Pemenuhan kebutuhan biologis
25
1) Surat al-Baqarah (2): 187:“Dihalalkan pada malam hari puasa
bercampur dengan isteri-isterimu, mereka pakaian bagimu dan
kamu pakaian bagi mereka”.
2) Surat al-Baqarah (2): 223:” Isteri-isterimu seperti tanah tempat
kamu becocok tanam, datangilah tempat bercocok tanam itu
bagaimana saja kamu mau”
d. Menjaga kehormatan
Tujuan keempat dari perkawinan ialah untuk menjaga kehormatan. Dimaksud dengan kehormatan ialah kehormtan diri sendiri, anak dan keluarga.
e. Ibadah
Tujuan perkawinan yang kelima ialah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah.
6. Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan di Indonesia
a. Proses Peminangan
26
pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (pasal 11 KHI).
Dalam pasal 12 KHI menjelaskan, pada prinsipnya, peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Selain itu ada beberapa ketentuan dalam peminangan. Diantaranya:
1) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa
iddah raj‟iah, haram dan dilarang untuk dipinang;
2) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang
pria lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita;
3) Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang
putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
4) Dalam peminangan, laki-laki yang meminang dapat melihat
wanita yang dipinangnya. Melihat wanita yang dipinang hukumnya sunnah, karena dengan melihat akan dapat diketahui identitas maupun pribadi wanita yang akan dinikahi. Namun pada prinsipnya, peminangan belum berakibat hokum, maka diantara mereka yang telah bertunangan tetap dilarang untuk
27
b. Proses Pemberitahuan ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau
Kantor Catatan Sipil (KCS)
Proses pemberitahuan ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS) dilakukan 10 (sepuluh) hari sebelum pelaksanaan perkawinan. Apabila peminangan telah diterima oleh pihak wanita dan dipastikan akan segera dilangsungkan pernikahan, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan pemberitahuan ke kantor KUA minimal 10 hari sebelum perkawinan itu dilaksanakan (Bab II Pasal 3 ayat (1) KHI). Pemberitahuan dapat dilakukan baik secara lisan maupun tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua, atau wakilnya (Bab II Pasal 4 KHI). Bagi orang yang beragama Islam mendatangi Kantor Urusan Agama dan bagi orang non-Islam mendatangi Kantor Catatan Sipil.
28
1) Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah
menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah;
2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang
mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan;
3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna
rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Disamping hal tersebut usia mempelai perlu di perhatikan ketika akan melangsungkan akad perkawinan. pasal 7 UU No. 1
Tahun 1974 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur Sembilan belas
tahun dan pihak wanita mencapai umur enam belas tahun.”
29
c. Pengumuman kepada Publik oleh Pegawai Pencatat Nikah dan
Pengecekan Berkas-Berkas
Setelah selesai pemberitahuan itu, calon mempelai menunggu pengumuman yang dikeluarkan oleh PegawaI Pencatat Nikah yang memuat hari, tanggal, jam, dan tempat dilangsungkan perkawinan. Pengumuman tersebut biasanya ditempelkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8 PP No. 9 tahun 1975). Maksud pengumuman tersebut untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
d. Pelaksanaan Akad Nikah
Menurut ketentuan PP No.9 tahun 1975 pasal 10,
“perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak
pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.”
Tata cara pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya, dan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Hukum Islam memberikan ketentuan bahwa syarat-syarat ijab qobul dalam akad nikah adalah:
30
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria;
3) Menggunakan kata-kata : nikah atau tazwij atau terjemah dari
kata-kata nikah atau tazwij;
4) Antara ijab dan qobul bersambungan;
5) Antara ijab dan qobul jelas maksudnya;
6) Tidak dalam ihram haji atau umrah;
7) Majlis ijab qobul tersebut harus dihadiri minimal oleh 4
(empat) orang yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi
Dalam KHI Pasal 27: “Ijab qobul antara wali dan calon
mempelai pria harus jelas, beruntun, dan tidak berselang waktu”.
Dan dalam pasal 28 pun disebutkan “Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan, wali
nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.” Apabila diwakilkan,
sebelum ijab harus ada akad wakalah, yaitu penyerahan hak untuk menikahkan calon mempelai wanita, dari wali kepada wakil yang ditunjuk.
Dalam pelaksanaan akad nikah disunahkan adanya khutbah Nikah yang bermanfaat untuk menambah kekhidmatan suatu akad
yang dinamakan mitsaqan ghalidhan. Juga memberi informasi
tentang hikmah perkawinan.
31
mengucapkan qabul(penerimaan) dan ijab tersebut dilakukan secara pribadi. Jika karena suatu hal, calon mempelai pria tidak bisa hadir secara pribadi, maka ucapan qobul dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. Namun apabila calon mempelai wanita keberatan atas wakil tersebut, maka akad nikah tidak dapat dilangsungkan (KHI Pasal 29 ayat (3)).
Setelah akad nikah disahkan oleh para saksi, prosesi akad nikah ditutup dengan doa agar kedua mempelai diberi berkah dan mendapat ridho dari Allah swt dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Langkah selanjutnya adalah kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku, diteruskan dengan kedua saksi dan wali. Berdasarkan pasal 11 dengan bukti penandatanganan yang sudah dilaksanakan maka perkawinan tersebut telah tercatat secara resmi, sedangkan dalam pasal 6 ayat (2) perkawinan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum.
e. Pencatatan Perkawinan dan Akta Nikah
32
perlindungan bagi wanita dalam kehidupan berumah tangga. Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam KHI Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Dalam pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Dan dalam ayat lanjutannya yakni pasal 6 ayat (2) juga disebutkan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar Pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Secara terperinci, PP No. 9 Tahun 1975 Bab II pasal 2 menjelaskan tentang pencatatan perkawinan sebagai berikut:
a. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
b. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
33
berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.
c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan khusus berlaku
bagi tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.
Setelah perkawinan tersebut sudah dicatat dan dinyatakan sah secara agama dan hukum, maka kedua mempelai mendapatkan akta nikah. Dengan adanya akta nikah tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Selain itu, fungsi akta nikah tersebut juga sebagai
“jaminan hukum” apabila salah satu pasangan tidak menjalankan kewajibannya baik sebagai istri maupun suami, maka dapat mengajukan perkara ke pengadilan. Akta nikah juga berguna untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu. Upaya hukum tidak dapat dilakukan apabila perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta niikah. Oleh karena itu, KHI pasal 7 ayat (1)
menegaskan bahwa “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.
Adapun Akta Nikah memuat:
1) Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/ kepercayaan,
34
2) Nama, agama/ kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman
orang tua mereka;
3) Izin kawin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4),
dan (5) undang-undang;
4) Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 (2) UU;
5) Izin pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 UU;
6) Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) UU;
7) Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/ Pangab bagi
Angkatan Bersenjata;
8) Perjanjian perkawinan apabila ada;
9) Nama, umar, agama/ kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam;
10)Nama, umur, agama/ kepecayaan, pekerjaan dan tempat tinggal
kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. Selain hal-hal tersebut di atas, dalam akta nikah
dilampirkan naskah perjanjian perkawinan (taklik talak/
penggantungan talak), yaitu teks yang dibaca suami setelah akad nikah sebagai perjanjian kesetiaannya terhadap istri. KHI Pasal 46 menegaskan:
1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak
35
Supaya talak sungguh-sunggu jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
3) Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib
diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan, tidak dapat dicabut kembali.
4) Akta nikah dan salinannya tersebut, sebagaimana diatur dalam
PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 11 ayat (1) dan (2) ditandatangani oleh kedua mempelai sesaat setelah dilangsungkannya akad nikah. Setelah itu, diikuti penandatanganan oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri akad nikah, lalu wali
kata ma‟rifah(yang dikenal), ta‟rif(definisi), kata ma‟ruf (yang dikenal
sebagai kebaikan), dan kata „urf (kebiasaan yang baik). Adapun dari segi
terminologi, kata „urfmengandung makna:
Seuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dlam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain (Dahlan, 2011:208).
Dalam istilah fuqaha „urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini
36
kecuali apabila „urf itu mesti berlaku atau sering-seringnya berlaku pada
perkara tersebut, sehingga masyarakat yang mempunyai „urf tersebut
selalu memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya. Jadi unsur
pembentukan „urf ialah pembiasaan bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya terdapat pada keadaan terus-menerus atau sering-seiringnya dan kalau tidak demikian, maka disebut perbuatan perseoranagan.
Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasi dari kalangan Hanafi, Ibnu Abidin, Al-Rahawi dalam Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu Ujaim
dalam kitab Al-Sybah wa al-Nazhair berpendapat bahwa „urf sama
dengan adat, tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun sebagian Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan al-Bazdawi membedakan antara
adat dengan „urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu
dalil untuk menetapkan hukum syara‟. Adat didefinisikan sebagai
sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional. Sedangkan „urf ialah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam
perkataan atau perbuatan. Dalam pengertian ini adat lebih luas daripada
„urf. Adat mencakup seluruh jenis „urf. Tetapi tidaak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam makan,
berpakaian, tidur dan sebagainya dinamakan adat, tidak dikatakan „urf.
Tetapi, dari sisi yang lain, „urf lebih umum daripada adat, sebab adat
37
Dari adanya ketentuan bahwa „urf atau adat itu sesuatu yang
harus dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, terlihat ada
kemiripannya dengaan ijma‟. Namun antara keduanya terdapat
beberapa perbedaaan yang diantaranya ialah sebagai berikut:
a. Dari segi ruang lingkupnya, ijma‟ harus diterima semua
pihak. Sedangkan „urf atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah
dilakukan dan dikenal oleh sebagian orang saja.
b. Ijma‟ ialah kesepakatan (penerimaan) diantara orang-orang tertentu,
yaitu para mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak diperhitungkan
kesepakatan ataupun penolakannya. Sedangkan „urf atau adat yang
mengakui ialah seluruh lapisan manusia baik mujtahid atau bukan. c. „Urf atau adat itu dapat mengalami perubahan karena berubahnya
orang-orang yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma‟
tidak akan mengalami perubahan (Syarifudin, 2011: 389). 2. Landasan Hukum „Urf
„Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara‟
tersendiri. Pada umumnya, urf ditujukan untuk memelihara
kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan
penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti „urf tidak
mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syari‟at
Islam. Mengenai kehujjahan „urf menurut pendapat kalangan ulama
38
a. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa „urf adalah
hujjah untuk menetapkan hukum Islam. Alasan mereka ialah
berdasarkan firman Allah dalam surat al A‟rof ayat 199:
ِ ي ل ىا لج اِ ن عِ ض ر ع ا وِ ف ر عل ا بِ ر مأ وِ و ف عل اِ ذ خ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang
mengerjakan yang ma‟ruf serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.
Ayat ini bermaksud bahwa „urf ialah kebiasaan manusia dan
apa-apa yang sering mereka lakukan (yang baik). Ayat ini,
bersighat „am artinya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk
mengerjakan suatu hal yang baik, karena merupakan perintah, maka
urf dianggap oleh syara‟ sebagai dalil hukum.
Maka dari pernyataan di atas, dapar dikatakan bahwasannya sesuatu yang sudah lumrah dilakukan manusia di dunia untuk
kemaslahatan hidupnya, maka hal itu dianggap benar oleh syari‟at
Islam meskipun tidak ada dalil yang menyatakannya baik dalam al
Qur‟an ataupun sunnah.
Selain berdasarkan dalil al qur‟an tersebut, ulama Hanafiyah
dan Malikiyah juga berhujjah dengan hadits nabi:
ِ ن س حِ للهاِ د ن عِ و ه فِاًن س حِ ن و م ل س لم اِ ه ا را م
39
b. Golongan Syafi‟iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap
„urf sebagai hujjah atau dalil hukum syar‟i. Golongan Imam Syafi‟i
tidak mengakui adanya istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk
menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak
menggunakannya sebagai dalil. Maka dengan hal itu, secara
otomatis golongan Imam Syafi‟ juga menolak menggunakan „urf
sebagai sumber hukum Islam. Penolakannya itu tercermin dari perkataannya sebagaimana berikut:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia
telah membuat hukum”(Umam, 2000: 166).
Bahkan dalam kitab „Risalah‟-nya, beliau menyatakan
dengan tegas sebagai berikut, yang artinya:
Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukum tanpa alasan (dalil) dan tidak seorang pun pantas menetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik
(istihsan). Sesungguhnya menetapkan hukum dengan
istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak
mempedomani ketentuan yang telah digariskan sebelumnya (Umam, 2000: 167).
Berkaitan dengan penolaknnya terhadap istihsan ini, beliau
40
penolakannya, sebagaimana tercermin dalam kitabnya al-Risalah
dan al-Umm. Ia mengemukakan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits, di antaranya:
1) Surat al-Maidah (5): 3 yang berbunyi:
ِ م ك لِ ت ي ض ر وِ تِ م ع نِ م ك ي ل عِ ت م تْ أ وِ م ك ن ي دِ م ك لِ ت ل م ك أِ م و ي ل ا
ِ
ِ م لا س لا ا
اًن ي د
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.
2) Surat al-Nahl (16): 89 yang berbunyi:
....ًة حْ ر وِىًد ى وٍِء ي شِِّل ك لِاًنا ي ب تِ با ت كل اِ ك ي ل عِا ن لَّز ن و
Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur‟an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka Imam Syafi‟i
menolak adanya sumber hukum dari „urf, karena beliau
menganggap bahwa „urf merupakan penetapan suatu hukum yang
tidak berdasarkan dalil yang sudah ditetapkan yakni; Al Qur‟an,
Hadits, Ijma‟ dan Qiyas.
3. Kaidah-Kaidah „Urf
a.
ِ ةِ مَِّكِ م
ِ ةِ داِ عِ لِ ا
41
b.
ِِ ةِ نِ كِ مِ لاِ و
ِ ةِ نِ مِ زِ لا
ِ ِّيِّ غِ تِ ب
ِ مِ كِ حلا
ِ رِِّ يِ غِ ت
ِ رِ كِ نِ ي
ِ لا
(Tidak di ingkari perubahan hukum disebabakan perubahan zaman dan tempat)
c.
ا
ًِطِ رِ ش
ِ طِ وِ رِ شِ مِ ل
اِ ك
اًِفِ رِ ع
ِ فِ وِ رِ عِ مِ لِ ا
(Yang baik itu menjadi „urf, sebagaimana yang disyaratkan itu
menjadi syarat)
d.
ِِّصاَِّنلااِ ب
ِ تِ باَِّثِ لاِ ك
ِ فِ رِ عِ لاِ ب
ِ تِ باَِّثلِ ا
(Yang ditetapkan melalui „urf sama dengaan yangg ditetapkan
melalaui nash (nash atau hadist) (Umam, 1998: 168).
4. Macam-Macam „Urf
Ditinjau dari jangkauannya, „urf dibagi menjadi:
a. Al- „Urf al-Amm (Adat kebiasaan umum)
42
b. Al-„Urf al-Khashsh (Adat kebiasaan khusus)
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan
masyarakat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk tanah” untuk
menunjukkan pengertian luas tanah 10 x 10 meter. Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi (Dahlan, 2011:210).
Menurut Syafe‟i (2007:128) ditinjau dari segi ketentuan
hukumnya, „urf terbagi menjadi dua yaitu: a. Al-„Urf ash-Shahih(„Urf yang absah)
Yaitu sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan
tidak bertentangan dengan dalil syara‟ , tidak menghalalkan yang
43
b. Al-„Urf al-Fasid(„Urf yang rusak/salah)
Yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi
bertentangan dengan syara‟, atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian diantara manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam upacara kelahiran anak. Juga tentang memakan barang riba dan kontrak judi.
5. Syarat-Syarat „Urf
Sebagian besar ulama yang menggunakan „urf sebagai hujjah,
memberikan syarat-syarat tertentu dalam menggunakan al-urf sebagai sumber hukum, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan al-Quran atau As-Sunnah. Jika
bertentangan, seperti kebiasaan orang minum khamr, riba, berjudi, dan jual beli gharar (ada penipuan) dan yang lainnya maka tidak boleh diterapkan.
b. Adat kebiasaan tersebut sudah menjadi tradisi dalam muamalat
mereka, atau pada sebagian besarnya. Jika hanya dilakukan dalam tempo tertentu atau hanya beberapa individu maka hal itu tidak dapat dijadikan sumber hukum.
c. Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang penentangan terhadap
44
kedua belah pihak, karena tidak ada arti bagi sebuah adat kebiasaan yang sudah didahului oleh sebuah kesepakatan untuk menentangnya.
d. Adat istiadat tersebut masih dilakukan oleh orang ketika kejadian itu
berlangsung. Adat lama yang sudah ditinggalkan orang sebelum permasalahan muncul tidak dapat digunakan, sama seperti adat yang baru lahir setelah permasalahannya muncul (Khalil, 2009:170). C. Tathayyur Dalam Islam
“At-Tathayyur” secara bahasa, adalah mashdar dari (kata)
رَّي ط ت
(Tathayyara) asal mulanya diambil dari kata
رْيَّطنا
(Ath-Thairu) (yang berarti burung), karena bangsa Arab (sebelum datangnya Islam) menentukan nasib sial dan nasib baik dengan menggunakan burung-burung, melalui cara yang telah mereka ketahui, yaitu dengan melepaskan seekor burung, kemudian dilihat apakah burung tersebut terbang ke kanan, ke kiri, ataukah terbang ke arah yang mendekati (kanan atau kiri). Jika (burung tersebut) terbang ke arah kanan dia pun berangkat (maju), (dan jika) terbang ke arah kiri, maka dia pun mundur (menahan diri untuk berangkat).Adapun (“At-Tathayyur”) dalam istilah (syari‟at) adalah merasa
bernasib sial disebabkan karena sesuatu yang dilihat atau didengar, atau karena sesuatu yang diketahui (selain dari yang dilihat atau didengar) (Utsaimin, tt: 348).
Beberapa contohnya:
45
1. Karena sesuatu yang dilihat
Misal: Seseorang melihat seekor burung, kemudian dia merasa dirinya akan mendapatkan kesialan karena (menurut anggapannya) burung tersebut membawa sial.
2. Karena sesuatu yang didengar
Misal: Seseorang telah berniat (melakukan) sebuah urusan, lalu dia
mendengar seseorang mengatakan kepada orang lain (selain dirinya): “Hai
si Rugi” atau “Wahai Orang Gagal”, kemudian dia merasa akan bernasib
sial (mendapatkan kerugian atau kegagalan karena omongan orang tadi).
3. Karena sesuatu yang diketahui
Misal: Merasa sial dengan beberapa hari tertentu, bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu. Contoh yang (ketiga) ini adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat dan tidak bisa didengar.
Salah satu contoh perbuatan manusia yang termasuk dalam
tathayyur adalah dalam penentuan waktu pernikahan. Menikah merupakan
46
atau tokoh adat. Setelah pihak perempuan melakukan penentuan hari pernikahan akan diberitahukan kepada kerabat atau keluarga laki-laki dengan berganti pihak perempuan akan datang berkunjung pada keluarga laki-laki. Pada pernikahan orang Jawa dilakukan perhitungan dengan menggunakan sistem pengetahuan orang Jawa berdasarkan perhitungan weton, yaitu perhitungan hari lahir kedua calon mempelai. Masyarakat percaya bahwa menikah pada jam-jam tertentu akan berpengaruh pada kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Sebagai penganut agama Islam yang taat terkait pernikahan, mencari tanggal dan hari yang baik untuk menikah memang penting. Sebab pernikahan merupakan suatu acara sakral demi menghindari segala hal buruk atau hal-hal yang tidak kita inginkan. Ini tentu sangat berbeda dari orang Jawa yang lebih ke titen. Muslim yang taat tentu menggunakan hadits untuk menentukan tanggal, hari dan bulan pernikahan. Menikah di bulan, hari dan tanggal yang baik dipercaya bakal membawa banyak kebaikan juga bagi pasangan suami dan istri serta kedua keluarga. Jadi, itulah kepentingan dari mencari hari baik.
47
yang memang perlu dijauhi untuk mengadakan suatu acara sakral atau hajatan lainnya.
Banyak orang memilih hari atau tanggal tertentu karena menganggapnya paling baik, sedangkan ada hari dan tanggal yang mereka anggap sebagai hari sial, hal ini sebaiknya dijauhi. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah bahwa hal menganggap suatu hari adalah hari atau tanggal sial maka itu disebut sebagai sebuah kesyirikan. Satu contoh
yang bisa diambil tentang thiyaroh yang syirik adalah keyakinan sial akan
bulan Syuro atau Muharam oleh masyarakat Jawa. Banyak yang akan menjauhi bulan Syuro saat mencari hari baik untuk menikah. Mereka berpantang untuk mengadakan hajatan dalam bentuk apapun karena ada anggapan bulan Syuro bisa mendatangkan celaka. Padahal menurut Rasulullah saw adalah perbuatan tersebut adalah sebuah hal syirik.
48
“Rasulullah saw menikahiku pada bulan Syawal dan mengadakan malam pertama dengan aku di bulan Syawal. Manakah istri beliau
yang lebih mendapatkan perhatian selain aku?” Salah seorang
perawi mengatakan, “aisyah menyukai jikalau suami melakukan malam pertama di bulan Syawal.” (HR. Muslim, An-Nasa‟i, dan yang lain).
Tidak disarankan untuk meyakini hal-hal yang berbau ramalan karena takdir, dan nasib seseorang tidak ada hubungannya sama sekali dengan bulan jodoh, tanggal nikah, weton dan lain-lainnya. Rasulullah saw sendiri sudah bersabda bahwa siapa yang datang ke peramal dan menanyakan hal-hal yang berhubungan tentang masa depan, nasib dan sebagainya, sholat orang tersebut selama 40 hari tidak akan diterima. Nabi
muhammad saw bersabda yang artinya “barang siapa yang mendatangi
peramal, kemudian bertanya tentang sesuatu hal, maka shalatnya tidak
akan diterima selama 40 hari.” (HR. Ahmad, Muslim)
“At-Tathayyur” dapat meniadakan “At-Tauhid” dari dua sisi.
Pertama, pelaku “At-Tathayyur” telah menghilangkan tawakkalnya
kepada Allah SWT, serta bersandar kepada selain Allah SWT. Padahal Allah SWT adalah satu-satunya tempat bergantung. Sebagaimana
disebutkan dalam surat Al-Ikhlas ayat ke-2 (yang artinya): “Allah adalah
Rabb yang bergantung kepadanya segala sesuatu.” (Al-Ikhlas: 2). Dan
perintah Allah SWT: “Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah (hanya)
kepada-Nya.” (Hud: 123)
Kedua, pelaku “At-Tathayyur” sesungguhnya bergantung kepada
49
bergantung). Karena antara sesuatu yang dijadikan tathayyur dengan
kejadian yang menimpanya tidak memiliki hubungan apa-apa (terkhusus hubungan sebab akibat). Bagaimana bisa belok kanannya burung menjadi penentu nasib baiknya seseorang, hal ini jelas dapat merusak Tauhid seseorang, karena dapat memalingkan tawakkal kita kepada selain Allah
SWT, ketika umat Islam dituntut untuk beribadah dan beristi‟anah
(meminta pertolongan) hanya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman
(yang artinya): “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya
kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 4). Dan kita pun dituntut untuk bertawakkal hanya kepada Allah SWT saja,
sebagaimana disebutkan pada surat Hud ayat ke-123 di atas. Sehingga
tawakkal adalah sebuah ibadah yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah SWT.
Sebagaimana dijelaskan oleh sahabat yang mulia „Abdullah bin
Mas‟ud r.a dalam kelanjutan riwayat hadits di atas, bahwa “At-Tathayyur”
atau “Ath-Thiyarah” dapat dihilangkan dengan “tawakkal” kepada Allah
SWT saja. Bergantung hanya kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, serta mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa kita baik berupa kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, kita yakini bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah saw telah mengajarkan kepada kita (umat Islam) sebuah do‟a:
50
kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang
berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad). Dengan mengetahui
perkara tersebut, kita berharap bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi
suatu keyakinan-keyakinan yang tidak bersumber dari Al-Qur ‟an maupun
51
BAB III
TRADISI PERNIKAHAN DI DESA TAJUK
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Letak Geografis
a. Batas administrasi
Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang secara
Geografis terletak pada 110º14‟54,75” sampai dengan 110º39‟3”
Bujur Timur dan 7º3‟57” sampai dengan 7º30‟ Lintang Selatan.
Secara administratif, letak Geografis Desa Tajuk dibatasi oleh empat desa. Di sisi barat, Desa Tajuk berbatasan dengan Desa Batur, di sisi selatan berbatasan dengan Desa Ngaglik Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali, sementara di sisi timur berbatasan dengan Desa Jetak dan sebelah utara berbatasan dengan Desa Samirono.
b. Luas wilayah
52
Tabel 3.1 Luas wilayah Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang menurut dusun
No Dusun Luas (Ha)
1 Pulihan 7
2 Puyang 4
3 Kaliajeng 7
4 Banaran 5
5 Ngroto 4
6 Macanan 5
7 Cingklok 5
8 Tajuk 7
9 Sokowolu 7
10 Gedong 4
11 Ngaduman 5
Jumlah 60
c. Topografis
Ketinggian wilayah Desa Tajuk berada pada kisaran antara
1.200 – 1.450 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan ketinggian
terendah berada di Dusun Banaran dan tertinggi di Dusun Ngaduman.
d. Penggunaan lahan dan iklim
53
2. Demografi
a. Kependudukan
Dari data statistik yang diperoleh penulis saat melakukan penelitian pada tanggal 9 Agustus 2018, jumlah keseluruhan warga Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang adalah 4.534 jiwa, yang terdiri dari 1.099 Kepala Keluarga (KK). Adapun rinciannya adalah 2.233 warga berjenis kelamin laki-laki dan 2.301 berjenis kelamin perempuan. Sehingga kalau digambarkan dalam bentuk tablel adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2
Tabel jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
No Dusun Jumlah KK
Jumlah
Penduduk Total
Lk Pr
1 Pulihan 148 256 350 606
2 Puyang 69 175 200 375
3 Kaliajeng 109 200 250 450
4 Banaran 90 185 225 410
5 Ngroto 68 119 176 245
6 Macanan 102 159 186 335
7 Cingklok 92 145 161 306
8 Tajuk 119 200 265 465