• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH LAJU EKSPLOITASI TERHADAP KERAGAAN REPRODUKTIF IKAN TEMBANG (Sardinella gibbosa) FAMILI CLUPEIDAE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH LAJU EKSPLOITASI TERHADAP KERAGAAN REPRODUKTIF IKAN TEMBANG (Sardinella gibbosa) FAMILI CLUPEIDAE"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH LAJU EKSPLOITASI TERHADAP

KERAGAAN REPRODUKTIF IKAN TEMBANG

(

Sardinella gibbosa

) FAMILI CLUPEIDAE

DILMAGA HARI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2010

Dilmaga Hari C24052972

(3)

RINGKASAN

Dilmaga Hari. C24052972. Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (Sardinella gibbosa) Famili Clupeidae. Dibimbing Oleh Yunizar Ernawati dan M. Mukhlis Kamal.

Potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia 52% terdiri dari kelompok ikan pelagis kecil. Hasil penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan tolak ukur purse seine menunjukkan bahwa perkiraan potensi lestarinya 132.240 ton/tahun. Sedangkan total tangkapan pada tahun 1991 sudah mencapai 2,54 juta ton/tahun, yang terdiri dari 52% ikan pelagis kecil, dari besaran tersebut 6,16% adalah ikan tembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat eksploitasi ikan tembang, mengetahui keragaan reproduktif serta melihat keterkaitan antara tingkat eksploitasi dengan keragaan reproduktif ikan tembang.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh di tempat pendaratan ikan (TPI), satu di pantai utara Jawa yaitu TPI Mina Fajar Sidik (Subang), satu di perairan Selat Sunda yaitu TPI Labuan (Pandeglang) dan satu di pantai selatan Jawa yaitu TPI Palabuhan Ratu (Sukabumi). Ikan contoh diambil dari tempat pendaratan ikan (TPI) satu kali dalam sebulan dari masing-masing daerah selama tiga bulan. Data primer diperoleh dari analisa ikan di laboratorium dan pengukuran langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil wawancara nelayan di tempat pendaratan ikan (TPI), studi literatur yang meliputi data-data statistik perikanan ikan tembang dan beberapa parameter lingkungan di tiga lokasi penelitian tersebut. Untuk pengukuran panjang dan berat langsung diukur di tempat pelelangan ikan dan ada juga di laboratorium. Data primer yang diperoleh meliputi panjang total, berat tubuh, aspek reproduksi (nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, histologis gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan kandungan protein telur). Analisis data meliputi hubungan panjang-berat, laju eksploitasi, dan Fekunditas.

Sebaran panjang ikan tembang (Sardinella gibbosa) di Palabuhan Ratu berkisar antara 109-193 mm, di Blanakan berkisar antara 141-191 mm dan di daerah Labuan berkisar antara 109-169 mm. Rata-rata pada daerah Blanakan ikan tembang ditemukan pada ukuran yang lebih besar. Pola pertumbuhan ikan tembang jantan dan betina adalah isometrik (P<0,05). Nisbah kelamin ikan jantan-betina selama pengamatan tidak seimbang 1:1,7 (Palabuhan Ratu), 1:1,6 (Blanakan dan Labuan). Berdasarkan tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad, diduga ikan mulai memijah di Palabuhan Ratu pada selang panjang 131-140 mm, di Blanakan mulai memijah pada selang panjang 141-150 mm, dan Labuan pada selang panjang 111-120 mm. Fekunditas ikan tembang di Palabuhan Ratu berkisar antara 10872-123606 butir telur, di daerah Blanakan fekunditas berkisar antara 28319-149853 butir telur, dan di daerah Labuan berkisar antara 18552-78754 butir telur.

Dari tren laju eksploitasi dapat dilihat laju eksploitasi dari tiga lokasi penelitian sudah melebihi 50% dengan laju lebih besar terlihat pada daerah Labuan yaitu 63,7% dan laju yang lebih rendah terlihat pada daerah Palabuhan Ratu yaitu 53,2%. Berdasarkan sebaran diameter telur, populasi ikan tembang

(4)

mempunyai tipe pemijahan partial spawner. Nilai kandungan protein telur secara keseluruhan berkisar antara 11,43%-32,68%. Dilihat dari trennya kandungan protein telur lebih besar ditemukan di Palabuhan Ratu yaitu 24,88% dan lebih rendah di Labuan yaitu 20,79%.

Dari tren laju eksploitasi dapat dilihat eksploitasi di tiga lokasi penelitian sudah melebihi 50%, dengan laju lebih besar terlihat pada daerah Labuan yaitu 63,7% dan laju yang lebih rendah terlihat pada daerah Palabuhan Ratu yaitu 53,2%. Laju eksploitasi berpengaruh terhadap sebagian parameter reproduksi. Hal ini terlihat dari tren laju eksploitasi dengan ukuran diameter telur dan kandungan protein, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Begitu juga dengan ukuran ikan pertama kali matang gonad lebih kecil pada daerah dengan laju eksploitasi yang juga lebih besar yaitu pada daerah Labuan. Laju eksploitasi juga berpengaruh terhadap komposisi ukuran ikan, hal ini terlihat pada ukuran ikan yang tertangkap di setiap lokasi penelitian dengan laju eksploitasi yang berbeda. Walaupun ada faktor lingkungan dan ketersediaan makanan yang juga mempengaruhi.

(5)

PENGARUH LAJU EKSPLOITASI TERHADAP

KERAGAAN REPRODUKTIF IKAN TEMBANG

(

Sardinella gibbosa

) FAMILI CLUPEIDAE

DILMAGA HARI C24052972

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul Skripsi : Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan

Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae Nama : Dilmaga Hari

NIM : C24052972

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II

Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc NIP. 19490617 197911 2 001 NIP. 19680914 199402 1 000

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,

Dr. Ir. Yusli Wardiatno. M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002

(7)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei – Juli 2009, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Januari 2010

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran baik dalam bentuk moriil, materi dan finansial selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing II sekaligus Pembimbing Akademik yang banyak memberikan bimbingan serta masukan dan arahan baik dalam bentuk moriil, materi dan finansial selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

3. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Achmad Fachrudin, M.Si selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis. 4. Keluarga tercinta; Papa, Mama, dan adik-adikku (Igit dan Geni) serta

andutkoe Gita Lestari yang selalu aku sayangi, terima kasih atas doa, pengorbanan, keikhlasan serta dukungan semangatnya.

5. Seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

6. Seluruh pegawai dari PPN Palabuhan Ratu, TPI Labuan dan KUD Mina Fajar Sidik Blanakan atas segala bantuan dan kerjasamanya.

7. Team telur, rekan-rekan seperjuangan dari MSP 41, MSP 42, MSP 43 dan MSP 44 atas doa, bantuan, dukungan, kesabaran, kerjasama dan semangatnya kepada penulis selama masa perkuliahan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Payakumbuh, pada tanggal 11 Desember 1986 dari Pasangan Bapak Aridasni dan Ibu Idil Fitri. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN 10 Balai Betung, Payakumbuh (1999), SLTP N 1 Payakumbuh (2002), dan SMAN 1 Harau (2005). Pada tahun 2005 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Ekologi Perairan (2008/2009), Sumberdaya Perikanan (2008/2009) dan Limnologi (2008/2009) serta aktif sebagai anggota Divisi Minat Bakat Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada tahun 2008/2009.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae”.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv 1. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 2 1.3. Tujuan ... 3 1.4. Manfaat ... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi ... 5

2.2. Habitat dan Eksploitasi ... 6

2.3. Hubungan Panjang dan Berat ... 6

2.4. Faktor Kondisi ... 7

2.5. Reproduksi ... 8

2.5.1. Nisbah kelamin ... 9

2.5.2. Indeks kematangan gonad ... 10

2.5.3. Tingkat kematangan gonad ... 10

2.5.4. Diameter telur dan pemijahan ... 13

2.5.5. Fekunditas ... 14

2.6. Kualitas Telur ... 15

2.7. Hubungan antara Eksploitasi dan Reproduksi ... 17

3. METODE PENELITIAN ... 18

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

3.2. Alat dan Bahan ... 18

3.3. Metode Kerja ... 18

3.3.1. Pengambilan data ... 18

3.3.2. Pengambilan ikan contoh di lapangan ... 19

3.3.3. Pengamatan ikan contoh di laboratorium ... 19

3.3.3.1. Panjang dan berat total ... 19

3.3.3.2. Jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG) ... 19

3.3.3.3. Indeks kematangan gonad (IKG) ... 21

3.3.3.4. Fekunditas ... 21

3.3.3.5. Diameter telur ... 22

3.4. Analisis Data ... 22

3.4.1. Analisis Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Laju Eksploitasi ... 22

(11)

3.4.3. Hubungan panjang-berat ... 25

3.4.4. Faktor kondisi ... 26

3.4.5. Nisbah kelamin ... 27

3.4.6. Pendugaan ikan pertama kali matang gonad ... 27

3.4.7. Indeks kematangan gonad (IKG) ... 28

3.4.8. Fekunditas ... 28

3.4.9. Analisis proximat (Mellana 2005) ... 30

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 31

4.1.1. Palabuhan Ratu ... 31

4.1.2. Blanakan ... 32

4.1.3. Labuan ... 33

4.2. Laju Eksploitasi dan Potensi Lestari Ikan Tembang (S. gibbosa) ... 33

4.3. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Tembang (S. gibbosa) ... 38

4.4. Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Ikan Tembang (S. gibbosa) ... 43

4.5. Aspek Reproduksi ... 49

4.5.1. Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) ... 49

4.5.2. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) ... 52

4.5.3. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) ... 60

4.5.4. Fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) ... 63

4.5.5. Diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) ... 67

4.6. Kandungan Protein Telur Ikan Tembang (S. gibbosa) ... 70

4.7. Aspek Pengelolaan ... 73

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

5.1. Kesimpulan ... 75

5.2. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang

(Clupea platygaster) (Ismail 2006) ... 20 2. Parameter pertumbuhan, laju mortalitas dan laju

eksploitasi ikan tembang (S gibbosa) di tiga lokasi penelitian ... 34 3. Potensi maksimum lestari (MSY) ikan tembang

di tiga lokasi penelitian menurut Schaefer dan Fox ... 36 4. Hubungan panjang berat ikan tembang jantan dan betina

dari tiga lokasi penelitian... 44 5. Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina dari tiga

lokasi penelitian ... 46 6. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa)

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema perumusan masalah... 2 2. Tahap perkembangan gonad ikan S. gracilis dari

immature sampai mature (Weng et al. 2005) ... 12 3. Hubungan upaya penangkapan dan hasil penangkapan

(produksi) ... 37 4. Ikan tembang (Sardinella gibbosa) ... 38 5. Sebaran frekuensi panjang Ikan Tembang (S. gibbosa) ... 40 6. Distribusi frekuensi jumlah ikan tembang setiap bulan pengamatan

di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) .... 41 7. Perbandingan ukuran dari total tangkapan di setiap lokasi penelitian

Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ... 43 8. Hubungan panjang berat ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina di

perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. ... 45 9. Faktor kondisi ikan tembang(S. gibbosa) jantan (panel kiri) dan betina

(panel kanan) berdasarkan ukuran selang kelas panjang di perairan

Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ... 48 10. Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan ukuran selang

kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan ... 50 11. Perubahan nisbah kelamin berdasarkan bulan pengambilan contoh

di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ... 51 12. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan

betina setiap bulan pengamatan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL),

dan Labuan (LB) ... 54 13. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan

dan betina berdasarkan selang kelas panjang di Palabuhan Ratu (PR),

Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ... 56 14. Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG I, TKG II,

dan TKG III ... 58 15. Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG IV

(anterior, median, dan posterior) ... 59 16. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina

berdasarkan bulan pengambilan contoh di Palabuhan Ratu (PR),

Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ... 61 17. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan

(panel kiri) dan betina (panel kanan) berdasarkan selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan

(14)

Labuan (LB) ... 62 18. Hubungan antara fekunditas TKG III dan IV dengan panjang total

ikan tembang (S. gibbosa) di perairan Palabuhan Ratu (PR),

Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ... 64 19. Hubungan antara fekunditas TKG III dan IV dengan berat total

ikan tembang (S. gibbosa) di perairan Palabuhan Ratu (PR),

Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ... 65 20. Perbandingan fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) antara

tiga lokasi penelitian Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan

Labuan (LB) ... 66 21. Sebaran diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) TKG III dan IV

setiap bulan pengamatan di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan

(BL), dan Labuan (LB) ... 68 22. Perbandingan diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) TKG III dan

TKG IV di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ... 69 23. Kandungan protein telur ikan tembang (Sardinella gibbosa) pada

setiap bulan pengamatan di daerah Palabuhan Ratu (PR), Blanakan

(BL), dan Labuan (LB) ... 71 24. Kandungan protein telur ikan tembang (S gibbosa) dari tiga lokasi

penelitian ... 71 25. Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) secara keseluruhan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta lokasi penelitian (Google earth 2009) ... 82 2. Alat tangkap ikan tembang (S. gibbosa) ... 84 3. Proses perhitungan analisis proksimat (Mellana 2005) ... 86 4. Proses pembuatan preparat histologi gonad ikan tembang

(Bank in Hermawati 2006) ... 88 5. Kelas ukuran dan frekuensi jumlah ikan tembang (S. gibbosa) di

setiap daerah pengambilan sampel... 90 6. Analisis kovarian hubungan panjang-berat (Effendie 1979) ... 91 7. Uji t hubungan panjang-berat ikan tembang (S. gibbosa) jantan

dan betina... 92 8. Uji ”chi-square” terhadap jenis kelamin ikan tembang

(S. gibbosa) ... 95 9. Faktor kondisi ikan tembang (S. gibbosa) pada setiap bulan

pengambilan sampel ... 97 10. Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) setiap bulan pengambilan

sampel... 98 11. Sebaran frekuensi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tembang

(S. gibbosa) berdasarkan waktu pengambilan sampel ... 99 12. Sebaran frekuensi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tembang

(S. gibbosa) berdasarkan kelas ukuran panjang ... 100 13. Indeks kematangan gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa)

Jantan ... 102 14. Indeks kematangan gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa)

betina ... 104 15. Indeks kematangan gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa)

setiap bulan pengamatan ... 108 16. Fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) di setiap daerah pengambilan

sampel... 109 17. Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) di setiap

daerah pengambilan sampel... 111 18. Data hasil tangkapan dan upaya tangkap dari setiap lokasi

penelitian ... 112 19. Grafik hubungan upaya dan CPUE dengan pendekatan Schaefer

dan Fox ... 113 20. Diagram alir hasil analisis aspek eksploitasi dan keragaan

(16)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi sumberdaya laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Berdasarkan penyebaran daerah penangkapan ikan, potensi perikanan tangkap di perairan laut indonesia dibagi berdasarkan 9 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Potensi lestari (maximum sustainable yield, MSY) sumberdaya ikan laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan diperkirakan sebesar 6,4 juta ton (Dahuri 2004).

Menurut Widodo (1988), eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Jawa, didominasi oleh ikan Layang, Sardin, Kembung, dan Selar. Untuk potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia sendiri 52% terdiri dari kelompok ikan pelagis kecil. Hasil penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan tolok ukur purse seine menunjukkan bahwa perkiraan potensi lestarinya 132.240 ton/tahun (Dinas Perikanan Jawa Tengah in Raharjo 1995). Sedangkan total tangkapan pada tahun 1991 sudah mencapai 2,54 juta ton/tahun, yang terdiri dari 52% ikan pelagis kecil, dari besaran tersebut 6,16% adalah ikan tembang.

Dampak tangkap lebih (over fishing) adalah penurunan hasil tangkapan dan penurunan stok ikan bahkan kepunahan. Menurut Royce (1972), tingginya tekanan penangkapan dapat mengakibatkan penurunan kelimpahan populasi dan penurunan rata-rata ukuran ikan Tekanan tangkap akan mempengaruhi keragaan reproduktif atau kualitas telur ikan yang meliputi kandungan nutrisi dan aspek biologi reproduksi yang mencakup nisbah kelamin, fekunditas, ukuran diameter telur, TKG dan IKG, serta ukuran ikan pertama kali matang gonad. Menurut Lagler (1972), faktor luar yang mempengaruhi ukuran ikan pertama kali matang gonad adalah makanan, suhu, arus dan tekanan penangkapan.

Agar populasi ikan yang ada di perairan laut Indonesia tetap lestari maka perlu adanya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Studi tentang biologi reproduksi ikan tembang sudah ada sebelumnya, tapi informasi tentang kualitas telur masih terbatas. Populasi ikan yang dieksploitasi secara berlebihan akan didominasi oleh individu yang kecil dan muda sehingga, dengan kondisi seperti itu pada musim pemijahan akan dihasilkan telur-telur yang kualitasnya kurang

(17)

baik. Menurut Platten (2004) populasi ikan betina pada daerah penangkapan yang intensif, akan berukuran kecil dan menghasilkan telur ikan dengan ukuran yang kecil dalam jumlah yang sedikit Untuk itu perlu adanya studi lanjutan mengenai kualitas telur ikan tembang (S. gibbosa).

1.2 Perumusan Masalah

Upaya penangkapan secara terus menerus terhadap sumberdaya ikan, khususnya ikan Tembang (Sardinella gibosa) dapat menyebabkan penurunan jumlah stok dan biomassa ikan tersebut. Meskipun secara nyata sudah ada gejala tangkap lebih misalnya penurunan hasil tengkapan namun tidak dapat dibuktikan secara kuantitatif, kita hanya bisa melihat dari gejala-gejala yang ada. Seperti yang terjadi di Laut Jawa, jumlah hasil tangkapan menurun dari tahun ke tahun. Dari segi ukuran, ikan yang tertangkap semakin kecil. Informasi tentang biologi reproduksi ikan tembang (S. gibbosa) masih terbatas karena penelitian tentang hal ini jarang dilakukan di Indonesia. Untuk lebih jelasnya gambaran mengenai perumusan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema perumusan masalah Sumberdaya ikan Eksploitasi rendah Eksploitasi tinggi Populasi turun turun Didominasi ikan kecil dan

muda Populasi normal Ukuran representatif Reproductive perfomance (Tampilan reproduksi) Upaya pengelolaan berkelanjutan

(18)

Salah satu penyebab eksploitasi yang berlebihan adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap informasi biologi reproduksi ikan dan kurangnya penyuluhan pemerintah tentang hal tersebut. Dengan mempelajari biologi reproduksi maka akan diketahui pola dan musim pemijahan ikan serta ukuran yang sudah layak untuk ditangkap. Sehingga, dengan adanya informasi ini dapat digunakan untuk pemanfaatan ikan secara optimal dengan memperhatikan kelestarian. Salah satu metode sederhana untuk melihat pengaruh penangkapan adalah dengan melihat telur ikan. Telur dapat menggambarkan kondisi populasi akibat penangkapan serta dugaan terhadap kelangsungan hidup dan keberhasilan rekruitmen (Jennings et al. 1998).

Penelitian ini melakukan perbandingan aspek reproduksi pada ikan yang sama dengan lokasi (fishing ground) yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang tingkat eksploitasi, keragaan reproduksi, dan kebijakan pengelolaan.

1.3 Tujuan

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk :

Melihat tingkat Eksploitasi (E) dan Potensi Lestari Maksimum (MSY) ikan tembang (Sardinella gibbosa) di Pelabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan.

Mengetahui aspek biologi reproduksi ikan S. gibbosa yang mencakup fekunditas, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, rasio kelamin, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad.

Melihat keterkaitan antara laju Eksploitasi dengan aspek biologi reproduksi ikan S. gibbosa.

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pengelolaan sumberdaya ikan Tembang (Sardinella gibbosa) dengan memperhatikan kelestarian yang berkelanjutan untuk masa yang akan datang. Diharapkan pengertian yang baik terhadap pengaruh penangkapan yang berlebih dan pengetahuan yang baik

(19)

mengenai aspek biologi reproduksi dapat mendukung pola pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimum, namun dengan memperhatikan aspek-aspek kelestarian sumberdaya tersebut agar tetap berkelanjutan.

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi

Klasifikasi ikan tembang (Sardinella gibbosa) berdasarkan tingkat sistematikanya (FAO 1974): Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Subkelas : Neopterygii Infrakelas : Teleostei Superordo : Clupeomorpha Ordo : Clupeiformes Subordo : Clupeoidei Famili : Clupeidae Subfamili : Clupeinae Genus : Sardinella

Spesies : Sardinella gibbosa

Sinonim : Sardinella jussieu (Lacepede in FAO 1974), Sardinella tembang (Bleeker in FAO 1974)

Nama umum : Goldstrip sardinella

Nama lokal : Ikan Tembang, Tamban (PPN Palabuhan Ratu), Cekong (Blanakan), tembang gepeng (Labuan)

Ikan tembang (S. gibbosa) dicirikan oleh bentuk badan yang memanjang dan pipih. Badan bersifat fusiform, sedikit pipih, panjang total 3.6 sampai 4.1 kali lebar; pada bagian perut meruncing dengan beberapa scute yang terbalik; post-pelvic scutes berjumlah 15 sampai 16 (biasanya 14 atau 17 sampai 18). Sirip dorsal mulai dari bagian belakang kepala, dasar sirip anal lebih pendek dan terletak sejajar dengan dasar sirip dorsal bagian belakang, pelvic fin terletak di bawah sirip dorsal bagian depan. Jumlah daun insang berkisar antara 43 sampai 63 pasang. Pada bagian depan terdapat scales yang sedikit bergerigi.

(21)

Ikan ini mempunyai panjang maksimum 18.5 cm, namun yang biasa tertangkap berukuran 15 cm. Pada bagian punggung bewarna biru kehijauan dan bagian belakang bewarna keperakan. Bagian tengah badan terdapat garis kecil bewarna kuning secara horizontal; pada bagian depan punggung ada bintik hitam yang bercahaya. Striae vertikal pada sisik tidak bertemu di pusat, pada bagian pinggiran belakang sisik terdapat banyak lubang pori-pori yang halus(Bleeker in

FAO 1974).

2.2 Habitat dan Eksploitasi

Ikan tembang menghuni perairan pantai termasuk spesies pelagis kecil, ada yang berasosiasi dengan karang pada kedalaman 10 – 70 m. Hidup membentuk schooling (kelompok), makanan utama ikan tembang yaitu fitoplankton dan zooplankton (larva udang dan kerang).

Tersebar dari perairan utara Australia sampai ke Asia tenggara dan juga terdapat di daerah Indo-pasifik dan Afrika timur (Allen 1997). Sedangkan untuk wilayah Indonesia, ikan tembang terutama terkumpul di daerah Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatan, dan Arafuru (Direktorat Jendral Perikanan 1979). Ikan ini biasanya ditangkap dengan purse seine, lift net, dan set net. Pemanfaatannya untuk ikan segar konsumsi, kering, ikan asin dan juga untuk umpan.

Eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Jawa didominasi oleh ikan Layang, Sardin, Kembung, dan Selar. Untuk potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia sendiri 52% terdiri dari kelompok ikan pelagis kecil (Widodo 1988). Hasil penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan tolok ukur purse seine menunjukkan bahwa perkiraan potensi lestarinya 132.240 ton/tahun (Dinas Perikanan Jawa Tengah in Raharjo 1995). Sedangkan total tangkapan pada tahun 1991 sudah mencapai 2,54 juta ton/tahun, terdiri dari 52% ikan pelagis kecil, dan dari besaran tersebut 6,16%nya adalah ikan tembang.

2.3 Hubungan Panjang dan Berat

Panjang dan berat merupakan parameter penting dalam melihat dan menentukan pola reproduksi dan pertumbuhan ikan. Dalam reproduksi terutama

(22)

untuk menduga ukuran ikan pertama kali matang gonad digunakan model logistik dengan meregresikan ukuran panjang dan berat (Weng et al. 2005). Selain itu, hubungan panjang-berat merupakan bagian dari sifat morfometrik yang berkaitan dengan sifat pertumbuhan. Menurut Effendie (2002), hasil studi hubungan panjang dengan berat ikan mempunyai nilai praktis yang memungkinkan merubah nilai panjang ke dalam nilai berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dinyatakan sebagai fungsi panjangnya, dimana hubungan panjang-berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu berat ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hal tersebut disertai bentuk dan berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya.

Hasil analisis hubungan panjang-berat mempunyai nilai konstanta b. bila nilai b = 3 maka pertambahan berat dengan panjang seimbang (pertumbuhan

isometrik), sedangkan bila nilai b lebih besar atau lebih kecil dari tiga dinamakan pertumbuhan allometrik. Apabila nilai b lebih besar dari tiga maka pertumbuhan berat lebih cepat dari pertumbuhan panjang (allometrik positif) sedangkan apabila nilai b lebih kecil dari tiga maka pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan berat (allometrik negatif).

Panjang dan berat juga sering dihubungkan dengan fekunditas. Fekunditas sering dihubungkan dengan panjang dari pada dengan berat karena keuntungannya bahwa panjang tidak mudah berubah atau berkurang tidak seperti berat dapat berkurang dengan mudah. Kalau fekunditas dihubungkan dengan berat disebabkan karena berat lebih mendekati kondisi ikan itu dari pada panjang (Effendie, 2002).

Menurut Ismail (2006), hubungan antara panjang total dengan berat tubuh ikan tembang di perairan Ujung Pangkah sangat erat dengan koefisien korelasi (r), untuk jantan 0,9553 dan betina 0,9481. Hubungan antara berat tubuh dan panjang total ikan Spratelloides gracilis di perairan Penghu, Taiwan adalah W= 5.225 x

10-6 FL3.120 ( n= 2042, p<0.05) untuk betina dan W= 6.487 x10-6 FL3.076 ( n= 2000,

p<0.05) untuk jantan dengan pola pertumbuhan isometrik (Weng et al. 2005).

2.4 Faktor Kondisi

Faktor kondisi merupakan salah satu faktor penting dari pertumbuhan. Faktor kondisi (K) menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi juga digunakan untuk mengetahui kemontokan

(23)

ikan dalam bentuk angka dan faktor kondisi dihitung berdasarkan panjang dan berat ikan (Effendie 2002). Faktor kondisi dipengaruhi oleh makanan, suhu perairan, umur, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad. Faktor kondisi biasa digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat hidup ikan (Lagler 1972).

Pantulu in Effendie (2002) mengatakan ikan yang berukuran kecil mempunyai faktor kondisi yang lebih tinggi, kemudian menurun ketika ikan tersebut bertambah besar. Peningkatan faktor kondisi diakibatkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan.

Menurut Ismail (2006), faktor kondisi ikan tembang (Clupea platygaster) yang tertangkap di Perairan Ujung Pangkah untuk jantan berkisar antara 1,0764 – 1,2559 dan untuk betina berkisar antara 1,1013 – 1,2818. Nilai faktor kondisi cendrung berkebalikan dengan nilai indeks kematangan gonad (IKG), saat nilai faktor kondisi tinggi nilai indeks kematangan gonad cendrung rendah serta berhubungan erat dengan prilaku pemijahan ikan (Weng et al. 2005). Faktor kondisi berhubungan erat dengan berat jenis suatu spesies ikan (Royce 1972).

2.5 Reproduksi

Dalam siklus hidup makhluk hidup termasuk ikan, reproduksi merupakan salah satu bagian siklus hidup yang akan menjamin kelangsungan keturunan dari suatu organisme (Nikolsky 1963). Reproduksi juga berhubungan dengan stabilitas populasi ikan dalam suatu perairan. Beberapa aspek biologi reproduksi antara lain rasio kelamin, frekuensi pemijahan, lama pemijahan, ukuran ikan pertama kali memijah dan ukuran ikan pertama kali mencapai matang gonad (Nikolsky 1963).

Dalam daur hidup ikan ada beberapa faktor yang menjadi pembatas dalam keberhasilan rekruitmen, diantaranya adalah makanan dan fisika-kimia air. Lokasi upweling merupakan salah satu daerah pemijahan dan tempat proses perekrutan ikan berlangsung. Peningkatan unsur hara di daerah upweling memacu peningkatan konsentrasi plankton sebagai makanan larva dan juvenil ikan. Secara alamiah proses ini memacu ikan-ikan dewasa untuk memijah atau bereproduksi, karena pakan yang tersedia untuk larva ikan dan juvenilnya akan terpenuhi (http//digilib.itb.ac.id).

(24)

Pada umumnya spesies ikan yang ukuran tubuhnya kecil dan masa hidupnya pendek akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih muda, jika dibandingkan dengan spesies ikan yang ukurannya lebih besar dan lebih panjang (Lagler et al. 1972 in Syandri 1996). Spesies ikan menunjukkan siklus reproduksi tahunan (annual), atau tengah tahunan (biannual) dan siklus reproduksi akan tetap berlangsung selama fungsi reproduksi berjalan normal (Bye in Syandri 1996).

Pemijahan lemuru (sejenis ikan tembang) terjadi di perairan pantai ketika salinitas rendah pada awal musim penghujan walaupun tempat yang pasti terjadinya pemijahan belum dapat diketahui (Ginanjar 2006). Tipe pemijahan ikan lemuru termasuk pada tipe pemijahan ikan yang tidak menjaga telurnya (non guard parental) dan eksternal spawning dimana proses pemijahan terjadi diluar tubuh induknya secara berkelompok. Pada tipe ikan yang melakukan eksternal spawning biasanya memiliki jumlah telur yang banyak yang berkaitan dengan strategi dalam menjaga kelangsungan hidup keturunannya.

Siklus reproduksi ikan tembang (Sardinella fimbriata) terjadi pada bulan Desember, sedang mencapai puncak rekruitmennya pada bulan April - Mei dan November (Effani 1998). Hal ini mendukung teori bahwa kesuksesan dalam proses perekrutan ikan sangat berhubungan dengan faktor lingkungan, karena upwelling cenderung terjadi dengan frekuensi tinggi pada musim semi-panas atau sekitar bula April - Oktober. Dari penelitian Effani (1998), tingkat kematangan gonad ikan tembang pertama kali dicapai pada ukuran : panjang; Lm = 16,32 cm/betina, 15,7 cm secara keseluruhan 17,4 cm; untuk konstanta laju pertumbuhan, k = 1.60/tahun; panjang maksimum, L∞ = 20,43 - 21,16 cm.

2.5.1 Nisbah kelamin

Nisbah kelamin merupakan perbandingan ikan jantan dan ikan betina dalam suatu populasi, dengan kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu rasio 1:1 (Nababan 1994). Perbedaan nisbah kelamin juga dapat dilihat dari tingkah laku pemijahan, yang dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan yang melakukan ruaya untuk memijah terjadi perubahan nisbah jantan dan betina secara

(25)

teratur, yaitu pada awalnya ikan jantan lebih banyak kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1 lalu diikuti ikan betina lebih banyak (Nikolsky 1963).

Dari penelitian yang dilakukan Weng et al. (2005), untuk ikan blue sprat (S. gracilis) mempunyai perbandingan jenis kelamin dari semua spesimen sebesar 0,45. Nisbah kelamin juga mempunyai variasi bulanan.

2.5.2 Indeks kematangan gonad

Perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan indeks kematangan gonad (IKG) atau gonado somatic index (GSI) yaitu persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh (Effendie 2002). Semakin meningkat tingkat kematangan gonad, garis tengah yang ada dalam ovarium semakin besar dan gonad akan bertambah berat sampai mencapai maksimum ketika ikan akan memijah. Perubahan nilai IKG erat hubungannya dengan tahap perkembangan telur. Dengan memantau perubahan IKG dari waktu ke waktu, maka dapat diketahui ukuran ikan waktu memijah (Effendie 2002).

Nilai IKG untuk ikan S. gracilis di perairan Penghu (Taiwan) mengalami variasi bulanan, berkisar antara 0,048 sampai 0,087 untuk ikan betina dan mencapai nilai IKG maksimum 0,095. Suatu pola yang serupa juga ditemukan untuk jantan (Weng et al. 2005). Ismail (2006), memperoleh nilai IKG ikan tembang (Clupea platygaster) di Perairan Ujung Pangkah untuk jantan 0,0046 (± 0,0016) sampai 0,0194 (± 0,0056) sedangkan untuk betina 0,0049 (± 0,0016) sampai 0,0197 (± 0,0076).

2.5.3 Tingkat kematangan gonad

Bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan ialah perkembangan gonad yang semakin masak. Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap perkembangan gonad dari awal sebelum memijah sampai sesudah ikan memijah. Selama proses reproduksi sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Umumnya pertambahan berat gonad pada ikan betina 10 – 25% dari berat tubuh dan pada ikan jantan 5 – 10% (Royce 1972).

(26)

Perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad akan memberi keterangan tentang waktu ikan memijah, baru memijah atau sudah memijah (Tang dan Affandi 1999). Menurut Lagler (1972) ada dua faktor yang mempengaruhi waktu ikan pertama kali matang gonad yaitu faktor dari dalam dan dari luar. Faktor dari dalam adalah perbedaan spesies, umur, ukuran serta sifat fisiologis dari ikan tersebut seperti kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhinya adalah makanan, suhu, arus dan tekanan penangkapan. Tingkat kematangan gonad pada tiap waktu bervariasi, yang tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba (Tang dan Affandi, 1999).

Ukuran ikan pertama kali matang gonad tidak sama untuk tiap-tiap spesies. Demikian pula ikan yang sama spesiesnya, jika tersebar pada lintang yang berbeda lebih dari lima derajat, akan mengalami perbedaan ukuran dan umur pertama kali matang gonad. Faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad di daerah yang bermusim empat antara lain adalah suhu dan makanan, akan tetapi untuk ikan di daerah tropis suhu relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad masak lebih cepat (Effendie 2002). Royce (1972) menyatakan bahwa proses perkembangan telur dan sperma serta proses pengeluarannya membutuhkan energi ekstra dan kondisis makanan yang baik.

Menurut Weng et al. (2005), dari analisis makroskopik perkembangan ovarian ikan Spratelloides gracilis dapat dibagi kedalam 4 fase dan secara mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 2.

Fase sebelum matang gonad (immature) : indung telur kecil dan langsing, dan oocyte tidak terlihat dengan mata biasa. Diameter oocyte < 0,2 mm, dan model tunggal ditemukan dalam distribusi frekuensi diameter telur. Distribusi oocyte belum berkembang secara acak, dan oogonia jarang ditemukan.

Fase menuju matang gonad (maturing) : indung telur menjadi lebih besar dan kekuning-kuningan. Rata-rata diameter oocyte < 0,4 mm. Model tunggal juga ditemukan dalam distribusi frekuensi diameter telur.

Fase matang gonad (mature) : indung telur sangat gembung dan kekuning-kuningan, dan telur tembus cahaya. Proses vascularisasi yang lebat di

(27)

punggung indung telur, dan diameter oocyte meningkat secara pesat. Umumnya diameter oocyte yang ditemukan 0,6 – 0,9 mm.

Gambar 2. Tahap perkembangan gonad ikan S. gracilis dari immature sampai

mature (Weng et al. 2005)

Fase setelah matang gonad (spent) : indung telur kecil dan lembut. Beberapa oocyte yang besar tidak dikeluarkan, ditemukan dekat kloaka. Diameter oocyte > 0,6 mm. Oocyte ini secara normal akan diserap kembali, indeks kematangan gonad berkisar antara 0,022 – 0,0395.

(28)

2.5.4 Diameter telur dan pemijahan

Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang sebuah telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera dan dilihat dibawah mikroskop. Diameter telur semakin besar pada tingkat kematangan gonad yang lebih tinggi terutama saat mendekati waktu pemijahan (Johnson 1971 in Effendie 2002). Menurut Ismail (2006), diameter telur ikan tembang yang tertangkap di perairan Ujung Pangkah antara 0,23 – 0,74 mm.

Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang berukuran besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil, selain itu larva yang lebih besar juga lebih tahan dalam menghindari pemangsa (Blaxter 1969 in Chambers dan Leggett 1996).Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmo salar, Onchorhynchus mykiss, Onchorhynchus keta, dan Clupea harengus (Kamler 1992

in http://naksara.net/Aquaculture).

Kontribusi induk terhadap variasi ukuran telur dan sifat awal daur hidup sering berkorelasi dengan ukuran telur. Ukuran individu dewasa (induk) yang besar akan menghasilkan telur yang besar juga, tapi tidak selalu demikian. Telur pada spesies ikan laut pada umumnya lebih kecil dibanding telur ikan air tawar atau budidaya, terutama untuk spesies-spesies ekonomis penting dan ikan-ikan yang berada di daerah penangkapan (Chambers dan Leggett 1996).

Menurut Effendie (1979) ukuran telur biasanya dipakai untuk menentukan kualitas kandungan kuning telur, telur yang berukuran besar akan menghasilkan larva yang berukuran yang lebih besar daripada telur yang berukuran kecil. Lama pemijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama, menunjukkan waktu pemijahan yang pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai banyaknya ukuran telur yang berbeda di dalam ovarium (Hoar in Lumbanbatu 1979). Diameter telur digunakan untuk melihat frekuensi pemijahan dari ikan-ikan dengan TKG III dan IV.

(29)

2.5.5 Fekunditas

Fekunditas merupakan salah satu fase yang memegang peranan penting untuk menentukan kelangsungan populasi dengan dinamikanya. Menurut Royce (1972) fekunditas adalah semua telur-telur yang akan dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Fekunditas terdiri atas dua istilah yaitu fekunditas individu dan fekunditas relatife. Fekunditas individu atau fekunditas mutlak (total) adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Sedangkan fekunditas relatife atau nisbi adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang ikan.

Fekunditas mutlak sering dihubungkan dengan berat karena biasanya berat lebih mendekati kondisi ikan daripada panjang, walaupun pada beberapa kasus, berat dapat cepat berubah pada waktu mendekati musim pemijahan karena banyaknya energi yang digunakan untuk melakukan ruaya pemijahan (Effendie 2002). Umumnya fekunditas relatife lebih tinggi dibandingkan dengan fekunditas individu dan kenaikannya diatas 100% bagi fekunditas individu. Fekunditas relatife akan terjadi maximum pada golongan ikan yang masih muda (Nikolsky 1963).

Umur juga ada hubungannya dengan fekunditas, ikan yang untuk pertama kali memijah atau belum berpengalaman memijah (recruit spawners) fekunditasnya tidak sebesar fekunditas ikan yang telah beberapa kali melakukan pemijahan walaupun beratnya sama (Effendie 2002). Untuk spesies tertentu, pada umur yang berbeda memperlihatkan fekunditas yang bervariasi sehubungan dengan persediaan makanan tahunan dan pengaruh penangkapan. Pengaruh makanan ini terjadi untuk individu yang berukuran sama dan dapat pula untuk populasi secara keseluruhan.

Fekunditas yang banyak maupun sedikit berhubungan dengan ukuran telur, dan memberikan pengaruh yang besar terhadap kelangsungan hidup larva dan ikan muda. Ikan-ikan di daerah tropis pada umumnya memiliki fekunditas yang besar tapi ukurannya relatif kecil dan biasanya dierami di dalam mulut, alat khusus dan jaring (Royce 1972). Satu karakteristik dari ikan yang mempunyai fekunditas banyak yaitu mereka mempunyai kelimpahan yang berubah-rubah dibanding ikan-ikan yang mempunyai fekunditas sedikit.

(30)

Menurut Chambers dan Leggett (1996) fekunditas spesies ikan air laut bisanya lebih besar dibanding fekunditas ikan air tawar. Hal ini berhubungan dengan upaya untuk menjaga kelangsungan hidup (survival rate) spesies ikan air laut. Fekunditas ikan tembang di perairan Ujung Pangkah berkisar antara 25630 – 465536 butir telur (Ismail 2006). Dari penelitian yang dilakukan Weng et al. (2005) di perairan Penghu (Taiwan) fekunditas ikan S gracilis yang diambil dari 62 indung telur berkisar antara 514 – 7336 butir telur.

2.6 Kualitas Telur

Definisi kualitas telur yang umum digunakan adalah kemampuan telur untuk menghasilkan benih yang baik. Potensi telur untuk menghasilkan benih yang baik ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik dan kimia selama terjadi proses perkembangan telur. Jika satu dari faktor esensial ini tidak ada maka telur tidak berkembang dalam beberapa stadia. Beberapa indikator kualitas telur adalah pembuahan, morfologi, ukuran dan kandungan kimia (Utiah 2006).

Komposisi proksimat dari telur ikan pelagis berkaitan dengan berat jenis dari unsur organik utama telur ikan pelagis yaitu free amino acids ( FAA) dan

amino acids polymerized ( PAA) dalam protein, kedua unsur tersebut mempunyai berat jenis lebih tinggi dibanding berat jenis air laut (Riis-Vestergaard 2002). Energi dalam telur ikan dihitung dari komposisi proksimat telur dan densitas energi dari beberapa unsur, terutama FAA, PAA, dan lipid serta minyak. Secara umum densitas energi yang digunakan yaitu 39 J mg-1 untuk lipid dan minyak (Finn et al. in Riis-Vestergaard 2002).

Perbandingan komposisi kualitas telur dapat dibandingkan dengan kandungan lemak di jaringan tubuh. Seperti kualitas telur ikan common featherback (Notopterus notopterus Pallas) menurut Mukhopadhyay et al. (2004), Nilai tengah bobot basah telur matang adalah 16.3% dari total bobot tubuh; yang mana 11,5% (bobot kering) adalah lemak. Telur mengandung lemak 6,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan tubuh. Bagian utama lemak telur adalah senyawa triacylglycerol (TAG) sekitar 53.8% dan phospholipid (PL, 37.0%). Diantara PL, phosphatidylcholine (PC) adalah yang paling banyak (sekitar

(31)

57.1%), phosphatidylethanolamine (PE, 25.7%) dan phosphatidylinositol (PI, 17.4%). Lemak di jaringan tubuh, sebagian besar adalah phospholipid (72.5%) yang secara nyata lebih besar dari lemak telur (37.0%). PL yang banyak terdapat di jaringan tubuh adalah PC (51.6%), diikuti dengan PE (28.1%) dan PI (20.2%). Di jaringan tubuh, TAG sekitar 18.0% atau lebih rendah dibandingkan dengan TAG pada telur (53.8%). Kandungan Cholesterol (CHL) dalam telur dan jaringan tubuh masing-masing sekitar 4.4% dan 0.7%. Total asam lemak tak jenuh atau Polyunsaturated fatty acids (PUFAs) sebesar 37.9% dan 36.0%, masing-masing untuk PL telur dan jaringan tubuh. Asam arakidonat atau arachidonic acid (20:4 n-6, AA) dan eicosapentaenoic acid (20:5 n-3, EPA) dalam PL tubuh sekitar 16.5% dan 10.6% dalam PL telur, AA dan EPA masing-masing sekitar 10.7% dan 10.6%.

Nutrisi atau zat makanan merupakan bagian dari makanan termasuk didalamnya air, protein dan asam amino yang membentuknya, lemak dan asam lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin (Utiah 2006). Kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur, sedangkan jumlah dan komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur (Kamler in Utiah 2006).

Selama oogenesis, kuning telur mengakumulasi sejumlah besar yolk granules dan lipid yang terisi pada bagian tengah. Diameter granula berkisar antara 6-24 µm. Jumlah dan distribusi dari lemak (butir lemak) sangat bervariasi dengan diameter 1-1.5 µm (Linhart et al.in Utiah 2006). Distribusi dari butir-butir lemak ini juga menjadi parameter kualitas telur.

Lebih dari separuh jenis telur ikan pelagis berisi oil globule, yang berguna untuk menyokong daya apung (Russell in Riis-Vestergaard 2002). Tidak ada perbedaan secara umum dalam kemampuan mengapung antara telur ikan pelagis yang memiliki oil globule maupun tanpa oil globule, karena telur dengan oil globule mengalami hidrolisis protein lebih sedikit selama matang gonad. Telur ikan pelagis teleostei tanpa oil globule mempunyai berat jenis lebih rendah untuk menjaga agar tetap mengapung di air laut dengan salinitas 32-34 promil, oil globule satu-satunya unsur telur yang penting terlepas dari lipid yang mempunyai berat jenis lebih rendah dari air laut (Riis-Vestergaard 2002).

(32)

2.7 Hubungan antara Eksploitasi dan Reproduksi

Populasi ikan yang tidak mengalami tekanan tangkap dan tidak mendapat wabah penyakit yang serius akan mempunyai kelimpahan dan komposisi umur yang stabil. Peningkatan biomassa populasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu makanan, ruang (habitat), dan faktor lain, salah satunya adalah tekanan penangkapan (Royce 1972). Tingginya tekanan penangkapan dapat mengakibatkan penurunan kelimpahan populasi dan penurunan rata-rata ukuran ikan. Jika semua individu dewasa ditangkap dan gagal matang gonad maka tidak ada lagi pemijahan yang menyuplai anak ikan untuk rekruitmen (Royce 1972).

Menurut Kamukuru dan Mgaya (2004), perbandingan jenis kelamin ikan

Blackspot snapper di Pulau Mafia pada daerah yang belum mengalami overfishing

1,03:1 (betina:jantan), sedangkan untuk daerah yang telah mengalami overfishing

0,9:1 (betina:jantan). Nisbah kelamin pada daerah yang belum mengalami

overfishing lebih seimbang dibandingkan dengan daerah yang telah mengalami

overfishing. Perbedaan perbandingan jenis kelamin tersebut terkait dengan ukuran, dimana ikan jantan mendominasi dengan ukuran yang lebih kecil. Musim pemijahan ikan Blackspot snapper di daerah Mafia Island Marine Park (MIMP) dengan tekanan tangkap lebih kecil dari bulan September sampai Maret dan mencapai puncak pada bulan Desember. Sedangkan di daerah IFA (intensively fished areas) tidak satupun ikan ditemukan dalam keadaan memijah.

Umur ikan pertama kali matang gonad berhubungan dengan intensitas penangkapan dan kompetisi interspesifik (Magnan et al. 2005). Umur ikan pertama kali matang gonad dan usaha reproduktif tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan, jika tingkat kelangsungan hidup (survival rate) juga tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan. Seperti halnya kasus dalam exploitasi dan populasi sympatric yang mengalami survival individu dewasa rendah tapi laju pertumbuhan tinggi. Populasi ikan betina pada daerah penangkapan yang intensif, akan berukuran kecil dan menghasilkan telur ikan dengan ukuran yang kecil dalam jumlah yang sedikit (Platten 2004).

(33)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh di tempat pendaratan ikan (TPI), satu di pantai utara Jawa yaitu di TPI Mina Fajar Sidik (Subang), satu di perairan Selat Sunda yaitu TPI Labuan (Pandeglang) dan satu di pantai selatan Jawa yaitu di TPI Pelabuhan Ratu (Sukabumi). Lokasi pengambilan contoh dari beberapa daerah bertujuan untuk membandingkan pengaruh tekanan tangkap terhadap karakteristik telur di masing-masing tempat pendaratan ikan. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggaris dengan ketelitian 1 mm, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g untuk menimbang berat ikan, timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 g untuk menimbang berat gonad, alat bedah, botol sampel, mikroskop dengan perbesaran 10X10, mikrometer okuler, mikrometer objektif, gelas objek, gelas ukur kapasitas 10 ml, cawan petri dan pipet tetes. Preparat histologi menggunakan mikrotom, oven, gelas objek dan gelas penutup.

Bahan yang digunakan adalah ikan tembang (Sardinella gibbosa), larutan formalin 10% untuk mengawetkan ikan contoh, formalin 4% untuk mengawetkan gonad dan Bouin untuk mengawetkan gonad ikan yang akan di histologi.

3.3 Metode Kerja 3.3.1 Pengambilan data

Pengambilan data berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari analisa di laboratorium dan pengukuran langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil wawancara nelayan di tempat pendaratan ikan (TPI), studi literatur yang meliputi data-data statistik perikanan

(34)

ikan tembang dan beberapa parameter lingkungan di tiga lokasi penelitian tersebut.

3.3.2 Pengambilan ikan contoh di lapangan

Ikan contoh diambil dari tempat pendaratan ikan (TPI) satu kali dalam sebulan dari masing-masing daerah selama tiga bulan. Waktu pengambilan contoh sama setiap bulannya yaitu setiap akhir bulan. Ikan yang didapat dari nelayan di tempat pendaratan ikan (TPI) diidentifikasi menggunakan buku identifikasi sesuai dengan ciri-ciri yang dapat dilihat kemudian diukur panjang dan beratnya. Di tempat pendaratan ikan, ikan diambil dari beberapa bakul secara acak yang jumlahnya tidak ditentukan, kemudian untuk pengukuran panjang dan berat diukur sebanyak mungkin. Untuk pengukuran panjang dan berat langsung diukur di tempat pendaratan ikan dan juga di laboratorium. Setelah itu, beberapa ikan diawet segar dengan menggunakan es dan dimasukkan kedalam cool box untuk dianalisis di laboratorium.

Untuk ikan contoh yang dianalisis laboratorium diawetkan dengan formalin 10% dan diawet segar untuk analisis proximat. Selanjutnya ikan dibawa ke Laboratorium Biologi Makro, Bagian Ekobiologi dan Konservasi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk dianalisa.

3.3.3 Pengamatan ikan contoh di laboratorium 3.3.3.1 Panjang dan berat total

Panjang dan berat total ikan yang akan dibedah dan dianalisis biologi reproduksinya diukur di laboratorium. Panjang total ikan diukur mulai dari ujung kepala terdepan sampai ujung sirip ekor paling belakang menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1 mm. Berat total ikan adalah berat seluruh tubuh ikan yang ditimbang di atas timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g.

3.3.3.2 Jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG)

Jenis kelamin diduga berdasarkan pengamatan gonad ikan contoh (Tabel 1). Tingkat kematangan gonad ditentukan menggunakan klasifikasi tingkat

(35)

kematangan gonad menurut penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2006) (Tabel 1).

Untuk proses pengambilan gonad dilakukan di laboratorium. Dari beberapa ikan contoh yang dibawa ke laboratorium setiap bulan, diambil 30 ekor dari setiap lokasi penelitian untuk dibedah dan dianalisis biologi reproduksinya. Sebelum dibedah, ikan terlebih dahulu diukur panjang dan beratnya kemudian dilakukan pembedahan dan gonad ikan disimpan didalam botol sampel 30 ml. Untuk gonad yang dihistologi diawetkan dengan larutan Bouin, gonad yang langsung dianalisis fekunditas dan diameter telurnya diawetkan dengan larutan formalin 4%, dan untuk gonad yang dianalisis proksimat diawet segar didalam

freezer.

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang (Clupea platygaster) (Ismail 2006)

TKG Jantan Betina

I Testis seperti benang dengan warna putih susu.

Bentuk ovari seperti benang, butiran telur belum dapat dibedakan. Panjang gonad bervariasi antara – panjang rongga tubuh.

II Ukuran testis lebih besar, bentuk lebih jelas dari TKG I.

Terdapat jaringan bewarma putih susu, telur masih menyatu dan belum dapat dipisahkan. Panjang gonad bervariasi antara – dari panjang rongga tubuh. III Ukuran testis semakin besar, bewarna

putih kekuningan dan lebih jelas dibanding TKG III. Permukaan gonad tidak rata (berlekuk-lekuk), ujung posterior bergerigi.

Ukuran lebih besar, pada bagian anterior melebar dan bagian posterior meruncing, telur sudah dapat dipisahkan, bewarna lebih gelap. Panjang gonad bervariasi antara – dari panjang rongga tubuh. IV Ukuran testis besar, warna testes putih,

pejal dan gerigi semakin besar.

Diameter telur semakin besar dan jelas terlihat dibawah mikroskop, semua telur bewarna kuning. Panjang gonad bervariasi antara – dari panjang rongga tubuh. V Permukaan testes berkerut, warna putih

susu dan berbentuk kurang pejal dibanding dengan TKG IV.

Ovarium berkerut, butiran telur sisa terkumpul di posterior, ovarium bewarna kemerah-merahan.

Tingkat kematangan gonad ditentukan secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan bentuk, ukuran panjang gonad, berat gonad, warna

(36)

dan perkembangan isi gonad (Effendie, 2002). Secara histologi berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik (Banks in Hermawati, 2006).

Untuk preparat histologi hanya diambil dari gonad ikan betina yaitu gonad dengan TKG I, TKG II, TKG III, dan TKG IV. Gonad yang dihistologi diambil dari setiap lokasi penelitian untuk melihat bentuk mikroskopis gonad dari setiap daerah. Khusus untuk preparat histologi dengan TKG IV dibagi menjadi tiga bagian yaitu anterior, median, dan posterior. Pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan.

Analisis proksimat digunakan untuk melihat kandungan protein dalam telur ikan. Telur yang dianalisis hanya telur dengan TKG III dan TKG IV. Dari setiap bulan pengambilan sampel diambil tiga telur dari setiap lokasi penelitian untuk dianalisis proksimat. Kemudian telur dianalisis kandungan proteinnya di Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

3.3.3.3 Indeks kematangan gonad (IKG)

Indeks kematangn gonad (IKG) dihitung dengan membandingkan berat tubuh total ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 1 g dan berat gonad ikan ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g dalam bentuk persen (%).

3.3.3.4 Fekunditas

Fekunditas dihitung pada ovarium TKG III dan IV. Ovarium dikeluarkan dari tubuh ikan kemudian diawetkan dengan formalin 4% kemudian dimasukan dalam larutan fisiologis. Penghitungan telur dilakukan dengan menggunakan metode gabungan yaitu metode grafimetrik dan volumetrik. Metode gabungan antara grafimetrik dan volumetrik yaitu dengan cara mengeringkan ovarium yang kemudian ditimbang, lalu telur diambil dari bagian anterior, median dan posterior kemudian ditimbang sebagai berat telur contoh. Telur diencerkan dalam aquades 5 ml lalu telur diambil dengan pipet sebanyak 1 ml, tempatkan telur dalam cawan petri kemudian hitung jumlah telur sebagai jumlah telur contoh.

(37)

3.3.3.5 Diameter telur

Diameter telur ditentukan dari ovarium TKG III dan TKG IV. Dari telur yang diamati dari fekunditas diambil 100 butir dari setiap ekor ikan contoh, yaitu dari bagian anterior, median dan posterior. Kemudian telur diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10X10 yang dilengkapi dengan mikrometer okuler yang telah ditera dengan mikrometer objektif, lalu dicatat diameter telurnya.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis Maximum Sustainable Yield (MSY) dan laju eksploitasi

Dalam mengestimasi nilai hasil tangkapan maksimum lestari digunakan model produksi surplus yaitu model Schaefer (1954) dan Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999). Adapun model ini dapat diterapkan bila diketahui hasil tangkapan total (catch) berdasarkan spesies dan upaya penangkapan (effort) sehingga diperoleh nilai hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) dalam beberapa tahun serta upaya penangkapan harus mengalami perubahan selama waktu yang dicakup (Sparre dan Venema, 1999).

Tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schafer (1954) in King (1995) dapat diketahui melalui persamaan berikut :

(1) Hubungan antara hasil tangkpan (Y) dengan upaya penangkapan (f) Y = af + bf2 ... 1)

(2) kemudian tentukan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol (dy/df) = 0 sehingga didapat upaya

penangkapan optimum (fmsy). Maka fmsy = -a/2b

(3) kemudian nilai fmsy = -a/2b disubstitusi ke dalam persamaan 1 sehingga diperoleh MSY = -a2/4b

Untuk mendapatkan nilai a dan b maka digunakan analisis regresi dengan melinearkan model Schaefer seperti berikut :

Y = af + bf2

Y/f = a+bf

(38)

Model kedua yang digunakan dalam model surplus produksi adalah model Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999). Pada model Fox tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dapat diketahui melalui persamaan berikut :

bf a fi Yi exp ) ( (exp a bf f Yi

fmsy dicapai pada saat turunan pertama sama dengan nol (dy/df) = 0, sehingga

0 exp exp ' a bf fb a bf Y (1+fb) (expa+bf) = 0 Jadi, fmsy = -1/b

Selanjutnya untuk mendapatkan nilai MSY maka nilai fmsy dimasukkan kedalam persamaan awal yakni Yi f(exp(a bf)sehingga :

MSY = (-1/b) (expa-1)

Selanjutnya untuk menentukan model mana yang lebih mewakili model sebenarnya digunakan perbandingan terhadap nilai koefisien determinasinya (r2). Nilai koefisien determinasi yang lebih besar menunjukkan menunjukan hubungan yang lebih dekat dengan model sebenarnya. Walpole (1992) menyatakan bahwa koefisien determinasi adalah bilangan yang menyatakan proporsi keragaman total nilai peubah Y yang dapat dijelaskan oleh nilai-nilai peubah X melalui hubungan linear.

Untuk menduga konstanta laju mortalitas total (Z) dan mortalitas alami (M) menggunakan program FISAT II dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Langkah 1 : Mencari nilai Ldan K (laju pertumbuhan per tahun) dengan memasukkan frekuensi per selang panjang dalam program FISAT ELEFAN 1

Langkah 2 : Menghitung nilai mortalitas alami (M) dengan memasukkan nilai L, K dan suhu rata-rata perairan kedalam rumus empiris Pauly (1980) yang dijalankan program FISAT II

(39)

Log(M) = -0,0066-0,279 log(L) + 0,6543 log(K) + 0,4634 log(T)

Langkah 3 : Menghitung nilai mortalitas total (Z) dengan memasukkan nilai L∞ , K, Lmean dan L’ kedalam rumus empiris Beverton & Holt (1957) yang dijalankan program FISAT II

Z = K(L∞ - Lmean) / (Lmean - L’) Keterangan :

M : Mortalitas alami

L∞ : Panjang asimtotik/infinitif K : Koefisien pertumbuhan

T : Rata-rata suhu permukaan air (0C) Lmean : Rata-rata panjang (mm)

L’ : Selang bawah kelas panjang frekuensi terbanyak (mm) Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan :

F = Z-M

Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984) :

Z F M F F E

3.4.2. Sebaran frekuensi panjang

Untuk mengetahui sebaran frekuensi panjang ikan (Walpole, 1995) diikuti tahapan-tahapan :

a. Menentukan wilayah kelas, r = pb-pk (r = wilayah kelas, pb = panjang terbesar, pk = panjang terkecil).

b. Menentukan jumlah kelas 1 + 3,32 log N (N = jumlah data).

c. Menghitung lebar kelas, L = r / jumlah kelas (L = lebar kelas, r = wilayah kelas).

d. Memilih ujung bawah kelas interval

e. Menentukan frekuensi jumlah masing-masing selang kelas yaitu jumlah frekuensi dibagi jumlah total dikalikan 100%.

(40)

3.4.3 Hubungan panjang-berat

Pola pertumbuhan ikan dapat diduga dengan melihat hubungan panjang dan berat (Effendie, 1979).

Rumus yang digunakan :

W = aLb Keterangan : W = Berat ikan

L = Panjang ikan a dan b = Konstanta

Transformasi ke dalam logaritma menjadi persamaan : Log W = Log a + b Log L atau

Y = a + bx

Keterangan : N = Jumlah ikan W = Berat total (g) L = Panjang total (mm) a dan b = Konstanta

Hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai b :

1. Bila b = 3, hubungan yang terbentuk adalah isometrik (pertumbuhan panjang sebanding dengan pertumbuhan berat).

2. Bila b ≠ 3, hubungan yang terbentuk adalah allometrik, yaitu :

a. Bila b > 3, dinamakan allometrik positif yang artinya pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjang.

b. Bila b < 3, dinamakan allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan berat.

Untuk menguji dalam penentuan nilai b maka perlu dilakukan uji t, dimana terdapat usaha untuk melakukan penolakan atau penerimaan hipotesa yang dibuat. Hipotesa :

(41)

H1 : b ≠ 3

Sβ1 adalah simpangan koefisien b yang dapat ditentukan dari model rumus

sebagai berikut :

sedangkan dan KTG dicari melalui analisis covarian. Untuk penarikan keputusan yang membandingkan T hit dengan T table pada selang kepercayaan 95%, jika T hit > T tabel maka keputusannya adalah menolak hipotesa nol (Ho), dan jika T hit < T tabel maka keputusannya adalah menerima hipotesa nol (Ho).

Untuk mengetahui keeratan hubungan antara panjang dengan berat maka digunakan koefisien korelasi (r) dengan rumus :

Bila r mendekati +1 atau -1 maka hubungan antara kedua peubah kuat dan terdapat korelasi yang tinggi diantara keduanya. Sedangkan untuk melihat seberapa besar variasi berat dapat menjelaskan pola pertumbuhan panjang digunakan koefisien determinasi (r2).

3.4.4 Faktor kondisi

Faktor kondisi (K) berdasarkan pada panjang dan berat ikan contoh. Ikan memiliki pertumbuhan yang bersifat isometrik apabila nilai b = 3, maka faktor kondisi menggunakan rumus dengan persamaan (Effendie, 1979) :

Keteragan : K(Ti) = faktor kondisi

W = berat rata-rata ikan dalam satu kelas ukuran berat(g)

L = panjang rata-rata ikan dalam satu kelas ukuran panjang (mm)

(42)

Pada ikan yang mempunyai pertumbuhan yang bersifat allometrik (b ≠ 3), maka persamaan yang digunakan adalah :

Keterangan : K = faktor kondisi

W = berat rata-rata ikan satu kelas (g)

L = panjang total rata-rata ikan satu kelas (mm) a dan b = konstanta dari regresi

3.4.5 Nisbah kelamin

Rasio kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan ikan betina.

Keterangan : M = jumlah ikan jantan (ekor) F = jumlah ikan betina (ekor)

Keseragaman sebaran nisbah kelamin dilakukan dengan uji “Chi-Square

(steel dan Torrie, 1980).

Keterangan : Oi = frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati ke-i

ei = frekuensi harapan yaitu frekuensi ikan jantan + frekuensi ikan betina dibagi dua

X2 = nilai peubah acak X2 yang sebaran penarikan contohnya menghampiri sebaran Chi-square

3.4.6 Pendugaan ikan pertama kali matang gonad

Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan tembang pertama kali matang gonad yaitu metode Spearman-Karber (Udupa in Hermawati, 2006) :

Gambar

Gambar 1. Skema perumusan masalah Sumberdaya ikan  Eksploitasi rendah Eksploitasi tinggi Populasi turun  turun Didominasi ikan kecil dan
Gambar  2.  Tahap  perkembangan  gonad  ikan  S.  gracilis  dari  immature  sampai
Gambar 3. Hubungan upaya penangkapan dan hasil penangkapan (produksi)
Gambar 5. Sebaran frekuensi panjang Ikan Tembang (S. gibbosa)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ada empat hal pokok dalam wacana kebijakan Kampus Merdeka yaitu Pembukaan Program Studi Baru, Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi Badan Hukum dan Hak

pendapatan dan belanja SKPDnya. Karena Dinas koperasi, Perindustrian dan Perdagangan telah mempunyai target keuangan telah di sahkan oleh DPRD dimana semua kegiatan

Koeswanti (2018:7) menyatakan bahwa model pembelajaran Problem Based Learning membantu peserta didik dalam mengembangkan kecakapan memecahkan masalah, meningkatkan

Informasi lain seperti jalur evakuasi dan peringatan-peringatan lain juga terletak di setiap sudut dari gedung stasiun tidak hanya itu,di Stasiun Gubeng ini terdapat alat

Penelitian ini membahas tentang “Strategi Pemasaran Usaha Kecil Menengah (UKM) Golla Kambu/Baye”, yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana strategi yang

Stole (1976) meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi mahasiswa akuntansi dalam memilih profesi akuntan publik dan akuntan perusahaan , diantaranya adalah

Namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Tatminingsih dan Triyono (2013) di Wilayah Yogjakarta menggunakan metode survey berupa kuesioner dengan