• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi Nilai terhadap Resiliensi Keluarga pada Mahasiswa dengan Latar Belakang Keluarga Miskin. Ichwan Rizal Fakultas Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kontribusi Nilai terhadap Resiliensi Keluarga pada Mahasiswa dengan Latar Belakang Keluarga Miskin. Ichwan Rizal Fakultas Psikologi"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Kontribusi Nilai terhadap Resiliensi Keluarga pada Mahasiswa dengan Latar Belakang Keluarga Miskin

Ichwan Rizal Fakultas Psikologi Mita Aswanti Tjakrawiralaksana

Fakultas Psikologi Sri Redatin Retno Pudjiati

Fakultas Psikologi Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk melihat kontribusi nilai terhadap resiliensi keluarga pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin. Penelitian dilakukan pada 315 mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi. Terdapat dua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Potrait Values Questionnaire (PVQ) untuk mengukur nilai dan Walsh Family Resilience Questionnaire (WRFQ) untuk mengukur resiliensi keluarga. Hasil penelitian menunjukkan adanya kontribusi nilai tradition dan achievement terhadap resiliensi keluarga. Berdasarkan analisis tambahan ditemukan beberapa hasil, yakni (a) adanya pengaruh jenis kelamin terhadap nilai conformity, benevolence, universalism, dan power, (b) adanya pengaruh pendidikan Ayah terhadap nilai security dan hedonism, (c) adanya pengaruh usia terhadap nilai hedonism, dan (d) adanya pengaruh pendapatan terhadap nilai conformity

dan hedonism.

Kata kunci : keluarga miskin; mahasiswa; nilai; resiliensi keluarga Abstract

This research aims to know the contribution of values toward family resilience of college students who lives in poverty. Total participant are 315 college students who receive Bidikmisi scholarship. Portrait Values Questionnaire (PVQ) is used to measure values and Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) to measure family resilience. The results showed that values related to tradition and achievement are contributed to family resilience. Moreover, the additional analysis upon demographic data showed several results: (a) gender has a significantly influence values related to conformity, benevolence, universalism, and power, (b) father’s educational background significantly influence values related to security and hedonism, (c) age significantly influence values related to hedonism, and (d) family income also significantly influence values related to conformity and hedonism.

(2)

Latar Belakang

Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dan menjadi salah satu isu yang menjadi perhatian banyak pihak. Menurut Suparlan (1993), kemiskinan merupakan suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku pada masyarakat bersangkutan. Diperkirakan terdapat sekitar 30 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan (US $ 2 per hari) dan setengah dari seluruh rumah tangga berada di sekitar garis kemiskinan (Bank Dunia, 2012). Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96%) dari total penduduk Indonesia (BPS, 2012).

Kemiskinan menjadi masalah yang terus-menerus dihadapi oleh bangsa di seluruh dunia dan mempunyai dampak yang merusak hampir semua aspek kehidupan keluarga dan anak (Engle & Black, 2008). Keluarga yang menganggur, setengah menganggur, atau bekerja dengan upah yang rendah cenderung mengalami kesulitan dalam satu atau lebih dari area berikut ini, yakni rawan pangan, kurangnya akses pelayanan kesehatan, kurangnya akses layanan pendidikan anak yang berkualitas dan terjangkau, berisiko tidak mendapatkan asuransi kesehatan dan cenderung memiliki masalah dalam akses perumahan yang aman dan terjangkau (Orthner, Jones-Sanpei, & Williamson, 2004; Chavkin, Ramero, & Wise, 2000; Caraley, 2001).

Menurut Orthner dan Randolph (1999), anak yang tumbuh dalam kemiskinan mengalami kesulitan yang signifikan di sekolah dan berisiko tinggi mengalami putus sekolah. Di negara berkembang, anak yang berasal dari keluarga miskin mempunyai risiko lebih besar untuk tidak pernah sekolah dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga kaya. Penelitian di 80 negara menunjukkan bahwa 38% anak yang berasal dari keluarga miskin tidak pernah sekolah (Engle & Black, 2008). Di Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merilis data bahwa setiap tahun terdapat lebih dari 1,5 juta anak didik yang tidak melanjutkan pendidikan pada jenjang berikutnya. Diketahui bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, ternyata makin besar angka putus sekolah (http://koranpendidikan.com). Masih tingginya angka putus sekolah disebabkan karena kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan sebagai investasi masa depan, kondisi ekonomi orang tua yang miskin, dan keadaan geografis yang kurang menguntungkan (http://menegpp.go.id).

(3)

atasi, seperti biaya pendidikan yang tinggi dan sulitnya mendapatkan bantuan keuangan (De La Rosa & Tierney, 2006). Meskipun ada kemungkinan siswa dari keluarga miskin menerima keringanan biaya pendidikan dari pemerintah, namun hal tersebut tidak cukup membantu mereka untuk tidak putus sekolah (Yi, Luoa, Shib, Moc, Chend, Brintone, & Rozelle, 2011). Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan mereka dalam pembiayaan pendidikan yang sifatnya tidak langsung, seperti biaya asrama, transportasi, dan biaya hidup. Selain itu, ada kecenderungan dari orang tua yang berasal dari keluarga miskin untuk mengirim anak mereka bekerja dan pesimis terhadap peluang anak mereka untuk memasuki Perguruan Tinggi (Yi dkk, 2011; Crosnoe, Mistry & Elder, 2002). Hal itu sungguh sangat disayangkan terjadi pada keluarga miskin mengingat bahwa pendidikan merupakan salah satu upaya terbaik untuk keluar dari kemiskinan (DeGenova, 2008; Awan, Malik, Sarwar, & Waqas, 2011). Melalui pendidikan yang baik, setiap orang akan memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan, mempunyai pilihan untuk mendapatkan pekerjaan, menjadi lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan standar hidup (Tilak, 2001; Awan dkk, 2011; Ustama, 2009).

Meskipun keluarga miskin selalu harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan berusaha keras untuk mencapai tujuan hidupnya, masih banyak keluarga miskin yang mampu tetap tangguh dalam mencapai kesuksesan hidup (Mullin & Arce, 2008). Menurut Walsh (2006), cara keluarga sebagai suatu unit fungsional dalam menyelesaikan masalah dan beradaptasi terhadap perubahan kehidupan yang terjadi dikenal sebagai resiliensi keluarga. Lebih lanjut dijelaskan oleh Walsh, bahwa di balik kesuksesan yang diraih oleh keluarga terdapat kolaborasi kesatuan orang yang saling terhubung satu sama lain, tetap bisa berkembang, dan beradaptasi dari masalah dan kesulitan yang dihadapinya.

Resiliensi berkembang pada keluarga yang mampu menggunakan faktor-faktor protektif yang ada di dalam keluarga untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi (O’Leary, 1998). Menurut Benzies dan Mychasiuk (2008), faktor-faktor protektif dapat memodifikasi atau mengubah respon yang muncul dari masalah yang dihadapi sehingga keluarga bisa menghindari outcome negatif yang mungkin akan muncul. Sebaliknya, faktor resiko akan meningkatkan kemungkinan terjadinya outcome yang buruk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2012) pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin menunjukkan bahwa kebersamaan keluarga dan keyakinan pada Tuhan merupakan faktor yang dapat memperkuat resiliensi keluarga, sedangkan komunikasi yang buruk dan permasalahan individu dalam keluarga adalah faktor yang memperlemah resiliensi keluarga.

Walsh (2006) menyebutkan bahwa terdapat tiga komponen utama dalam resiliensi keluarga, yakni sistem keyakinan (belief system), pola organisasi (organization pattern), dan

(4)

proses komunikasi (process communication). Berdasarkan ketiga komponen utama resiliensi keluarga tersebut, sistem keyakinan dianggap sebagai inti dari fungsi keluarga dan pemberi dorongan yang kuat terhadap resiliensi keluarga (Walsh, 2006). Sistem keyakinan diyakini membuat ikatan di dalam keluarga menjadi lebih kuat saat menghadapi masa-masa krisis. Istilah sistem keyakinan merupakan istilah yang luas, terdiri dari berbagai cakupan yang menyertainya. Walsh (2006) menyebutkan bahwa salah satu cakupan dari sistem keyakinan adalah nilai (values). Menurut Schwartz (1992), nilai merupakan sesuatu yang digunakan oleh individu dalam memilih dan membenarkan tingkah laku serta mengevaluasi tindakan orang lain (termasuk diri sendiri) dan peristiwa. Nilai-nilai yang dipegang oleh setiap anggota keluarga menjadi dasar bagi mereka dalam mengevaluasi sebuah kejadian sehingga memberikan pemaknaan terhadap kejadian tersebut. Dengan demikian, nilai-nilai yang dipegang oleh anggota keluarga berperan terhadap pembentukan resiliensi keluarga karena dalam menghadapi krisis dan kesulitan seseorang memberikan pemaknaan terhadap peristiwa tersebut sehingga mereka dapat mengatasinya (Walsh, 2006).

Memasuki masa remaja, nilai menjadi hal yang penting bagi anak karena pada masa itu remaja memasuki masa pencarian identitas. Papalia, Olds, dan Feldman (2008) menjelaskan bahwa remaja akan banyak mengalami perubahan emosional, konflik dalam keluarga, meningkatnya perilaku tidak peduli dan adanya penolakan terhadap nilai orang dewasa. Ditambahkan oleh Knafo dan Schwartz (2004), selama masa pencarian identitas remaja akan banyak melakukan eksplorasi, evaluasi, dan membandingkan nilai-nilai orang tua dengan ideologi yang ideal (Knafo & Schwartz, 2004). Sistem nilai yang stabil dan matang menjadi bagian penting untuk pembentukan identitas diri remaja (Erikson, dalam Knafo & Schwartz, 2004). Apabila remaja gagal dalam menemukan identitasnya, akan timbul kebingungan identitas yang dapat memperlambat pencapaian kedewasaan psikologis (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

Menurut Schwartz (2006), nilai yang dimiliki oleh seseorang mempunyai variasi dalam derajat kepentingan dan memberikan panduan dalam kehidupan seseorang. Nilai yang dianut oleh seseorang bisa saja sama dengan orang lain, tapi derajat kepentingan dari nilai yang membedakannya dengan orang lain sehingga memungkinkan setiap orang memiliki pandangan yang berbeda terhadap sebuah peristiwa. Schwartz (1994) menjelaskan bahwa yang membedakan antara satu nilai dengan nilai yang lain terletak pada tujuan motivasional yang diekspresikan oleh nilai tersebut. Tujuan motivasional setiap nilai berasal dari kebutuhan universal manusia yaitu kebutuhan individu sebagai organisme biologis, kebutuhan untuk

(5)

kelompok (Schwartz, 1994). Berdasarkan ketiga kombinasi kebutuhan universal tersebut, Schwartz (1992) menemukan 10 nilai yang berlaku secara universal, yakni self direction,

stimulation, hedonism, achievment, power, security, conformity, tradition, benevolence, dan

universalism.

Nilai dalam kehidupan sehari-hari memegang peranan penting karena pengaruh yang ditimbulkannya. Nilai dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manusia yang memengaruhi persepsi, sikap, serta tingkah laku seseorang dalam kesehariannya (Mizera & Tulviste, 2012; Berns, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2011) pada orang tua yang berasal dari keluarga miskin diketahui terdapat hubungan nilai dengan kemampuan keluarga dalam beradaptasi terhadap masalah ataupun krisis yang dihadapinya (resiliensi keluarga). Secara spesifik, nilai self direction, achievement, dan benovelence secara positif berkorelasi signifikan dengan resiliensi keluarga. Hal itu menunjukkan semakin tinggi ketiga skor ketiga nilai tersebut, maka skor resiliensi keluarga juga semakin tinggi.

Besarnya peran nilai dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menghadapi masalah ataupun krisis dan sudah diketahui terdapat hubungan nilai dan resiliensi keluarga dalam salah satu proses kunci resiliensi keluarga, yakni sistem keyakinan (belief system), maka peneliti tertarik untuk melihat kontribusi nilai terhadap resiliensi keluarga pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin. Berdasarkan hasil penelitian nilai dan resiliensi keluarga yang sudah pernah dilakukan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), diketahui bahwa terdapat hasil berbeda pada nilai-nilai yang berhubungan dengan resiliensi keluarga. Hal itu bisa terjadi karena kondisi dan perubahan hidup yang terjadi pada seseorang akan memberikan pengaruh terhadap tercapai atau tidaknya sebuah nilai (Schwartz, 2006).

Adanya penelitian ini, yang dilakukan kepada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin bisa memberikan dinamika yang berbeda terhadap nilai dan resiliensi keluarga, mengingat bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin untuk mencapai dan bertahan di perguruan tinggi bukanlah hal yang mudah. Selain menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan kuliah, mereka juga harus mampu bertahan secara ekonomi. Lalu, bila dilihat dari usia perkembangannya mereka termasuk ke tahap perkembangan remaja yang rentan sekali mengalami berbagai tekanan. Menurut Gardner (1992), pada masa ini remaja mengalami masa-masa sulit, yakni mengalami kesulitan dengan dirinya sendiri, orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya yang tugasnya adalah melatih, mendidik, membimbing, serta mengarahkan mereka. Selain itu, budaya Indonesia yang identik dengan budaya kolektif yang sangat menekankan saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya dan dengan

(6)

beberapa kelompok yang ada seperti keluarga, juga bisa memberikan dinamika yang unik terhadap nilai dan resiliensi keluarga.

Oleh karena alasan-alasan di atas, peneliti tertarik untuk melihat kontribusi nilai terhadap resiliensi keluarga pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin. Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa memberikan manafaat yang besar bagi psikolog, terapis, pemerintah, dan lembaga lainnya dalam program intervensi yang tepat bagi mereka, mengingat bahwa keluarga yang belajar untuk mengenali nilai-nilai dan kemampuan untuk menjadi lebih resilien akan mampu mengatasi stres, menjaga hubungan dengan orang lain, dan lebih konsisten berkontribusi untuk kehidupan orang lain (Thames & Thomason, 2000).

Tinjauan Teoritis Nilai (Values)

Schwartz (1992) mendefinisikan nilai sebagai sesuatu yang digunakan oleh individu dalam memilih dan membenarkan tingkah laku serta mengevaluasi tindakan orang lain (termasuk diri sendiri) dan peristiwa. Berdasarkan hasil penelitiannya, Schwartz berhasil mengidentifikasi sepuluh nilai yang berlaku secara universal, yakni self-direction, stimulation,

hedonism, achievment, power, security, conformity, tradition, benevolence, dan universalism. Hal yang membedakan antara satu nilai dengan nilai yang lainnya terletak pada tujuan motivasional yang diekspresikan oleh nilai tersebut. Berikut ini adalah penjelasan kesepuluh nilai tersebut:

1. Konformitas(conformity)

Tujuan dari nilai ini adalah mengendalikan diri dari tingkah laku, keinginan atau impuls yang merugikan orang lain dan melanggar harapan atau norma sosial (Schwartz, 1992). Nilai ini berasal dari kebutuhan bahwa individu dapat menghambat keinginan yang akan mengganggu dan merusak interaksi dan fungsi kelompok.

2. Tradisi (tradition)

Tujuan dari nilai tradition adalah menghargai, berkomitmen, dan menerima kebiasaan dan ide-ide yang berasal dari adat istiadat, budaya, atau agama. Nilai tradition melambangkan solidaritas kelompok, berbentuk hal-hal yang unik dan berperan dalam kelangsungan hidup (Schwartz, 2006).

(7)

3. Kebajikan (benevolence)

Tujuan dari nilai benevolence adalah pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan pada orang-orang yang mempunyai hubungan personal. Sumber kebutuhan nilai ini adalah organisme, interaksi sosial, dan kelangsungan hidup kelompok.

4. Universalitas (universalism)

Tujuan dari nilai universalism adalah pemahaman, apresiasi, dan perlindungan kesejahteraan bagi semua orang dan lingkungan. Individu akan menyadari nilai ini ketika mereka sadar bahwa ada hal yang lebih utama dibandingkan dengan kepentingan kelompok sendiri dan adanya kelangkaan sumber daya alam yang terjadi.

5. Pengarahan diri (self-direction)

Tujuan nilai self direction adalah pemikiran atau gagasan yang mandiri dalam memilih, menciptakan, dan mengeksplorasi tindakan. Nilai ini berasal dari kebutuhan individu akan kontrol, penguasaan (mastery), kebutuhan autonomi, dan independensi.

6. Stimulasi (stimulation)

Tujuan nilai stimulation adalah antusiasme, mencari hal baru, dan tantangan dalam hidup. Nilai ini berasal dari adanya kebutuhan individu akan variasi dan stimulasi untuk menjaga agar aktivitasnya tetap optimal dan positif.

7. Hedonisme (hedonism)

Tujuan nilai hedonism adalah kepuasan atau kenikmatan untuk diri sendiri. Nilai ini didasarkan pada kebutuhan manusia dalam memperoleh kenikmatan dari hal-hal yang menyenangkan mereka (Schwartz, 1992).

8. Prestasi (achievement)

Tujuan nilai achievement yaitu kesuksesan pribadi yang dicapai dengan menunjukkan kompetensi sesuai dengan standar sosial. Nilai ini menjadi suatu kebutuhan apabila individu merasa perlu untuk mengembangkan dirinya dan adanya tuntutan dari masyarakat.

9. Kekuasaan (power)

Tujuan nilai ini adalah pencapaian status sosial dan prestise, kontrol atau dominasi atas orang lain, maupun sumber daya tertentu. Nilai ini ditandai oleh kebutuhan individu untuk mendominasi dan mengontrol orang lain dalam lingkungan sosial.

10. Keamanan(Security)

Tujuan dari nilai ini adalah keselamatan, keharmonisan, dan stabilitas sosial dari hubungan dengan orang lain dan diri sendiri.

Schwartz (1992) menjelaskan bahwa nilai memiliki prioritas nilai, yakni derajat penting atau tidak pentingnya sebuah nilai dibandingkan dengan nilai yang lainnya bagi

(8)

individu atau kelompok. Lebih lanjut dijelaskan bahwa struktur hubungan antar nilai bisa berupa hubungan yang berlawanan (conflict), namun dapat pula berkesuaian (compatible). Hubungan nilai-nilai tersebut terlihat dalam struktur sirkular yang tersusun berdasarkan kontinum motivasional yang terintegrasi. Nilai-nilai yang berkonflik berada dalam kutub yang saling berlawanan, sedangkan nilai-nilai yang berkesesuaian mempunyai kedekatan jarak.

Berdasarkan struktur hubungan nilai tersebut, Schwartz (2006) membagi nilai ke dalam empat dimensi, yakni (1) self enhancement (nilai power dan achievement), (2) self transcendence (nilai universalism dan benevolence), (3) openness to change (nilai self-direction dan stimulation), dan (4) conservation (nilai conformity, tradition, dan security). Pertama, dimensi self enhancement merupakan dimensi yang mencakup nilai-nilai yang mengutamakan pengembangan diri, sekalipun harus mengesampingkan orang lain yang ada di sekitarnya. Kedua, dimensi self transcendence menekankan pada penerimaan bahwa manusia pada hakekatnya adalah sama dan peduli terhadap kesejahteraan sesama sehingga mendorong seseorang untuk mengalahkan keegoisan diri. Ketiga, dimensi openness to change merupakan dimensi yang mencakup nilai-nilai yang mengutamakan pemikiran dan tindakan yang mandiri serta terbuka pada perubahan. Terakhir, dimensi conservation merupakan dimensi yang menjelaskan tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan batasan-batasan tingkah laku, kepatuhan dalam menjalankan aturan tradisi, dan perlindungan pada stabilitas. Nilai

hedonisme tidak termasuk ke dalam salah satu dari keempat dimensi tersebut, namun berdiri sendiri dengan berada di antara nilai-nilai dimensi openness to change dan self enhancement. Resiliensi Keluarga (Family Resilience)

Konsep resiliensi keluarga berkembang dari pemahaman mengenai konsep resiliensi individu. Lalu, sekitar tahun 1970 mulai bermunculan penelitian tentang resiliensi dan kekuatan keluarga dalam literatur ilmiah dan menjadi bagian penting dalam pembahasan mental dan penelitian lebih dari dua dekade belakangan ini (Luthar, Cicchetti, & Becker, 2000: Walsh, 2003). Walsh (2006) mengatakan bahwa resiliensi keluarga merupakan proses

coping dan adaptasi keluarga sebagai sebuah unit fungsional dalam menghadapi masalah atau krisis yang dihadapi. Resiliensi keluarga fokus pada bagaimana keluarga bisa bertahan dan sukses dalam menghadapi kesulitan hidup, bukan fokus tentang bagaimana keluarga gagal atau tertekan karena kerugian yang didapatkan akibat kesulitan. Hal tersebut menggambarkan potensi-potensi yang dimiliki oleh keluarga untuk bertahan hidup, memperbaiki diri, dan keluar dari krisis dan tantangan. Menurut Walsh (2006), kesuksesan keluarga untuk bisa

(9)

keluar dari kesulitan yang dihadapinya karena keluarga memiliki sumber daya yang beragam dan adaptif terhadap situasi (Walsh, 2006).

Walsh (1996) menjelaskan bahwa resiliensi keluarga merujuk kepada proses kunci yang membuat keluarga mampu secara efektif mengatasi masalah dan tantangan yang muncul dari kesulitan yang dihadapi, baik dari dalam ataupun luar keluarga. Terdapat tiga komponen utama dalam resiliensi keluarga, yakni sistem keyakinan (belief system), pola organisasi (organization pattern), dan proses komunikasi (process communication) (Walsh, 2006). Sistem keyakinan adalah bagaimana keluarga menggunakan pemikiran dan keyakinannya dalam memaknai kesulitan yang dihadapinya, membangun pandangan positif, dan memiliki spiritualitas. Pola organisasi adalah mengetahui bagaimana bekerja sama dengan cara yang fleksibel, menjaga hubungan yang saling peduli, dan menghubungkan keluarga kepada komunitas yang lebih besar. Terakhir, proses komunikasi adalah mengetahui bagaimana bisa berkomunikasi dengan jelas, terbuka dan saling berkolaborasi dengan satu sama lain. Ketiga proses kunci tersebut dapat menjadi penahan stres, mengurangi risiko disfungsi, dan mendukung adaptasi yang optimal bagi sistem keluarga saat di masa-masa sulit (Walsh, 2012)

Metode Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin Indonesia dengan karakteristik partisipan adalah sebagai berikut:

1. Mahasiswa Reguler S1 penerima beasiswa Bidikmisi. Beasiswa Bidikmisi merupakan beasiswa berupa biaya penyelenggaraan pendidikan dan bantuan hidup yang diberikan kepada mahasiswa yang memiliki potensi akademik memadai dan kurang mampu secara ekonomi (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2012). Alasan pemilihan mahasiswa reguler S1 penerima beasiswa Bidikmisi karena praktis dan sesuai dengan kriteria kemiskinan yang digunakan pada penelitian ini, yakni mengacu kepada Bank Dunia dengan pendapatan dibawah USD $2 per hari (sekitar Rp.600.000 perkapita per bulan) tergolong keluarga miskin. 2. Pendidikan orang tua/wali setinggi-tingginya SMA. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasir dan Nazli (2000) menunjukkan bahwa pendidikan di perguruan tinggi dapat meningkatkan pendapatan karena dapat memberikan kemampuan-kemampuan yang akan digunakan ketika bekerja. Dengan demikian, mereka yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendapatan dan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang hanya menempuh pendidikan sampai tingkat SMA, meskipun mereka dikategorikan miskin oleh pemerintah. Oleh karena itu, pada penelitian ini pendidikan maksimal orangtua/wali adalah SMA. Diharapkan mereka yang

(10)

menjadi partisipan adalah orang-orang yang benar mengalami kesulitan dan mereka berhasil mengatasinya.

Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kuantitatif karena informasi yang dicari, data, atau informasi yang didapatkan berupa angka dan akan dianalisis secara statistik (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2005). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling, sehingga tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah

accidental sampling, yakni partisipan dipilih berdasarkan ketersediaan atau kemudahan peneliti mengakses responden (Kumar, 2005). Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 315 orang.

Penelitian ini menggunakan kuesioner yang terdiri dari, yakni Potrait Values Questionnaire (PVQ) untuk mengukur nilai dan Walsh Family Resilience Questionnaire (WRFQ) untuk mengukur resiliensi keluarga. Konsep nilai yang digunakan mengacu pada Schwartz dan Bilsky (dalam Schwartz, 1992), yakni (a) suatu gagasan atau pedoman hidup, (b) dasar yang memotivasi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu, (c) sesuatu yang melampui situasi spesifik, berbentuk abstrak, (d) dasar dalam mengarahkan pilihan dan mengevaluasi perilaku dan peristiwa tertentu, serta (e) sesuatu yang mempunyai derajat kepentingan tertentu. Nilai terdiri dari 10 tipe, yakni hedonism, stimulation, self-direction,

tradition, conformity, security, power, achievement, universalism, dan benevolence. Lalu, konsep resiliensi keluarga mengacu kepada Walsh (2006), yakni proses coping dan adaptasi keluarga sebagai suatu unit yang fungsional dalam menghadapi masalah.

Hasil Penelitian

Hasil utama dari penelitian ini diperoleh dengan melihat kontribusi nilai terhadap resiliensi keluarga pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin. Berdasarkan pengolahan data dengan teknik statistik multiple regression, diketahui besaran nilai R2 adalah sebesar 0,142 (p<0,05). Hal itu berarti terdapat 14,2% variasi skor resiliensi keluarga dapat dijelaskan oleh variasi skor nilai, sisanya 85,8% variasi skor resiliensi keluarga dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini.

Tabel 1. Kontribusi Nilai Terhadap Resiliensi Keluarga

R R2 Sig.

(11)

Berdasarkan tabel 2, secara spesifik diketahui bahwa dari sepuluh nilai yang dikemukakan oleh Schwartz terdapat dua nilai yang memberikan kontribusi signifikan terhadap resiliensi keluarga, yakni nilai tradition (Beta=0,207, p=0,001) dan achievement

(Beta=-0,182, p=0,015). Nilai tradition ditemukan memberikan sumbangan yang paling besar terhadap resiliensi keluarga dengan arah positif, artinya semakin tinggi nilai tradition, resiliensi keluarga juga semakin tinggi. Pada nilai achievement ditemukan pengaruh dengan arah negatif terhadap resiliensi keluarga, artinya semakin tinggi nilai achievement, semakin rendah resiliensi keluarga.

Tabel 2. Kontribusi Setiap Tipe Nilai terhadap Resiliensi Keluarga

Tipe Nilai Beta Sig.

Conformity Tradition Benevolence Universalism Self direction Stimulation Hedonism Achievement Power Security 0,035 0,207 -0,002 0,133 0,070 0,085 0,027 -0,182 -0,014 0,050 0,639 0,001 0,974 0,121 0,333 0,210 0,664 0,015 0,833 0,483

Schwartz (1992) menjelaskan bahwa semakin tinggi skor rata-rata suatu nilai maka semakin penting nilai tersebut. Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa nilai universalism (M= 4,97) menjadi nilai yang paling diprioritaskan dan nilai power (M= 3,60) memiliki derajat kepentingan yang paling rendah di antara tipe nilai yang ada.

Tabel 3. Gambaran Umum Prioritas Nilai

Tipe Nilai Beta Sig.

Conformity Tradition Benevolence Universalism Self direction Stimulation Hedonism Achievement Power Security 0,035 0,207 -0,002 0,133 0,070 0,085 0,027 -0,182 -0,014 0,050 0,639 0,001 0,974 0,121 0,333 0,210 0,664 0,015 0,833 0,483

Selain perhitungan data utama di atas, pada penelitian ini juga dilakukan perhitungan data tambahan terhadap aspek demografis (usia, jenis kelamin, suku Jawa dan Sunda, struktur keluarga, penghasilan, dan pendidikan terakhir orangtua). Berdasarkan hasil perhitungan

(12)

dengan menggunakan independent sample t-tes dan ANOVA diketahui bahwa terdapat beberapa tipe nilai yang memiliki perbedaan mean yang signifikan, berikut ini adalah hasilnya Tabel 4. Hasil Analisis Tambahan Nilai terhadap Aspek Demografis

Tipe Nilai Aspek Demografis Mean P F/t

Conformity Jenis Kelamin Laki-Laki 4,72 0,000 0,008 Perempuan 4,97 Pendapatan Keluarga < Rp.500.000 4,68 0,015 4,259 Rp.500.000-Rp.1.000.000 5,04 Rp.1.000.000-Rp.3.000.000 4,88 Benevolence Jenis Kelamin Laki-Laki 4,74 0,007 0,027 Perempuan 4,98 Universalism Jenis Kelamin Laki-Laki 4,80 0,007 0,027 Perempuan 4,98 Power Jenis Kelamin Laki-Laki 3,82 0,006 0,738 Perempuan 3,51 Security Pendidikan Ayah Tidak Tamat 2,60 0,001 0,074 SD 4,61 SMP 4,88 SMA 4,69 Hedonism Usia Remaja (16-18 tahun) 4,11 0,030 2,178 Dewasa (19-20 tahun) 3,83 Pendapatan Keluarga < Rp.500.000 3,84 0,013 4,378 Rp.500.000-Rp.1.000.000 3,78 Rp.1.000.000-Rp.3.000.000 4,15 Pendidikan Ayah Tidak Tamat 3,00 0,044 2,727 SD 3,70 SMP 4,06 SMA 4,10

Berdasarkan tabel 1.4 diketahui bahwa adanya perbedaan mean nilai conformity,

benevolence, universalism, dan power yang signifikan pada jenis kelamin. Secara lebih spesifik ditemukan pada perempuan memiliki mean nilai conformity, benevolence, dan

(13)

nilai power yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Pada aspek pendapatan diketahui bahwa terdapat perbedaan mean nilai conformity dan hedonism yang signifikan, dengan mean

nilai conformity yang paling tinggi berada pada kelompok dengan pendapatan keluarga sebesar Rp.500.000-Rp.1.000.000 dan mean nilai hedonism tertinggi berada pada kelompok dengan pendapatan sebesar Rp.1.000.000-Rp.3.000.000.

Pada aspek pendidikan Ayah diketahui bahwa terdapat perbedaan mean nilai security

dan hedonism yang signifikan. Secara lebih spesifik diketahui bahwa mean nilai security

tertinggi berada pada jenjang pendidikan Ayah di SMP dan pada nilai hedonism ditemukan semakin meningkatnya pendidikan Ayah, mean nilai hedonism juga cenderung meningkat. Terakhir, pada aspek usia ditemukan perbedaan mean nilai hedonism yang signifikan, dengan kelompok yang termasuk ke dalam usia remaja memiliki mean nilai hedonism yang lebih tinggi dibandingkan dengan usia dewasa.

Pembahasan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat kontribusi nilai terhadap resiliensi keluarga, diketahui sebesar 14,2% variasi skor resiliensi keluarga dijelaskan oleh variasi skor nilai, sisanya 85,8% variasi skor resiliensi keluarga dijelaskan faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Besarnya persentase yang tidak diukur dalam penelitian ini wajar terjadi mengingat masih banyaknya sumber daya atau kekuatan yang bisa digunakan oleh keluarga dalam menghadapi kesulitan ataupun krisis sehingga membuat keluarga menjadi resilien. Simon, Murphy, dan Smith (2005) menyebutkan bahwa keluarga yang resilien menggunakan kombinasi kekuatan dan sumber daya yang berasal dari individu, keluarga dan komunitas dalam beradaptasi dan menyesuaikan diri (adjustment) terhadap perubahan kehidupan dan peristiwa yang penuh dengan tekanan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lainnya untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi keluarga. Dari 10 nilai yang diukur dalam penelitian ini, hanya terdapat dua nilai yang memberikan kontribusi signifikan terhadap resiliensi keluarga, yakni nilai tradition dan achievement.

Nilai tradition diketahui memberikan kontribusi yang paling besar dan signifikan terhadap resiliensi keluarga. Menurut Walsh (1998), keyakinan keluarga untuk dapat bertahan dalam menghadapi kesulitan salah satunya dipengaruhi melalui tradisi yang ada di dalam keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari, nilai tradition bisa dilihat melalui ritual agama, kepercayaan, dan norma tingkah laku yang berlaku dalam sebuah kelompok. Melalui ritual dan kegiatan rutin yang dilakukan secara bersama dengan keluarga dapat menumbuhkan dan menjaga keterikatan keluarga sehingga memunculkan ikatan emosional di dalam keluarga

(14)

(Imber-Black dkk dalam Walsh, 2006). Mackay (2003) menyebutkan bahwa keluarga yang memiliki ikatan emosional yang baik biasanya lebih mampu menghadapi tantangan dalam hidupnya untuk mencapai kesejahteraan dan berespon baik terhadap tekanan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tubbs, Roy, dan Burton (2005) pada keluarga miskin menunjukkan bahwa orangtua menurunkan nilai-nilai yang dianggap penting kepada anaknya melalui aktivitas yang dilakukan di dalam rumah dan seringkali dilakukan pada malam hari, seperti makan malam bersama dan saat menonton TV. Apabila dilihat dari rata-rata jawaban partisipan pada item-item yang tergolong ke dalam tipe nilai tradition, diketahui bahwa rata-rata paling tinggi jawaban partisipan berada pada item nomor 20 (M= 5,22). Item nomor 20 berbunyi sebagai berikut: “Keyakinan agama adalah sesuatu yang penting baginya. Dia berusaha kuat untuk melakukan kewajiban-kewajiban agamanya”. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin, nilai-nilai tradisi yang mereka jadikan pedoman berasal dari keyakinan mereka terhadap ajaran agamanya. Hasil tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Hidayati (2012) yang dilakukan kepada keluarga miskin yang menunjukkan bahwa keyakinan pada Tuhan merupakan faktor yang dapat memperkuat resiliensi keluarga.

Selain itu, hasil penelitian ini juga bisa disebabkan oleh budaya Indonesia identik dengan budaya kolektif yang mengedepankan rasa kekeluargaan dan memiliki rasa saling tergantung antara satu dengan yang lainnya yang tinggi. Sumantri dan Suharnomo (2011) menjelaskan bahwa dalam budaya kolektif, seorang anak akan belajar untuk berpikir dalam

term “kami” ketimbang “saya”, sangat menghargai pemikiran jalan tengah yang mencerminkan pendapat bersama lebih dihargai, dan orang tidak terbiasa untuk memiliki pendapat yang berbeda dengan kelompok. Kalaupun terdapat perbedaan, bisa dilakukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Hasil survei tahun 2010 yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan Goethe Institute dan The Friedrich Naumann Foundation for Freedom memperkuat tentang peran nilai-nilai tradisi terhadap anak (http://www.goethe.de). Hasilnya menunjukkan bahwa pada kaum muda Muslim di Indonesia dan Malaysia terdapat peran nilai-nilai tradisional yang mewajibkan mereka hormat terhadap orang yang lebih tua, dan ajaran-ajaran Islam yang mewajibkan kepatuhan mutlak kepada orang tua sehingga membuat mereka lebih mudah menerima nasehat yang diberikan oleh orang tua. Dengan demikian, adanya budaya kolektif inilah yang mungkin membuat anak-anak yang berasal dari keluarga miskin menjadi lebih mudah menerima nilai-nilai tradisi yang ada di dalam keluarga sehingga memengaruhi tingkah laku mereka sehari-hari, termasuk

(15)

penelitian ini sejalan dengan penelitian Simanjuntak (2011) yang menunjukkan bahwa nilai

tradition menjadi salah satu nilai yang diprioritaskan oleh orang tua yang berasal dari keluarga miskin.

Selain nilai tradition, diketahui bahwa nilai achievement memiliki kontribusi yang negatif dan signifikan terhadap resiliensi keluarga. Hal tersebut berarti setiap peningkatan nilai achievement akan menurunkan tingkat resiliensi keluarga. Adanya arah pengaruh negatif nilai achievement terhadap resiliensi keluarga dapat terjadi karena adanya peran budaya Indonesia. French, Rianasari, Pidada, Nelwan, dan Buhrmester (2001) menjelaskan bahwa budaya kolektif sangat mengedepankan kebutuhan kelompok dan individu cenderung melihat dirinya tidak terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Familism menunjukkan adanya hubungan saling menghormati dan saling mendukung antar anggota keluarga serta mementingkan tujuan keluarga (family goals). Hal tersebut sangat berbeda dengan penjelasan Schwartz mengenai nilai achievement. Schwartz (1992) menjelaskan bahwa nilai achievement

merupakan kesuksesan pribadi yang dicapai dengan menunjukkan kompetensi sesuai dengan standar sosial. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa nilai achievement

mengutamakan pencapaian personal, hal ini sangat berbeda sekali dengan budaya Indonesia yang sangat mengedepankan pencapaian kelompok (seperti keluarga). Dengan mementingkan pencapaian kelompok, tercipta interaksi sosial yang harmonis dan terciptanya hubungan interpersonal yang baik (French dkk, 2001). Menurut Walsh (2006), keluarga yang resilien dapat saling berbagi perasaan, saling mendukung, dan toleran terhadap perbedaan kebutuhan masing-masing anggota keluarga.

Berdasarkan hasil pengolahan data juga diketahui bahwa nilai universalism dan

benevolence berada pada prioritas pertama dan kedua, sedangkan nilai power dan

achievement menempati prioritas paling rendah dan prioritas ketujuh. Apabila dilihat dari pembagian dimensi yang dilakukan oleh Schwartz (1992), nilai universalism dan benevolence

termasuk ke dalam dimensi self transcendence, sedangkan nilai power dan achievement

termasuk ke dalam dimensi self enhancement. Self transcendence menekankan pada penerimaan bahwa manusia pada hakekatnya adalah sama dan peduli terhadap kesejahteraan sesama, sedangkan dimensi self enhancement mendorong seseorang untuk selalu meningkatkan diri sekalipun harus mengesampingkan orang lain yang ada di sekitarnya. Schwartz (1992) menyatakan bahwa dimensi self transcendence berlawanan dengan dimensi

self enhancement. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, yakni nilai-nilai yang tergabung ke dalam dimensi self transcendence menempati prioritas utama sedangkan

(16)

nilai-nilai yang tergabung ke dalam dimensi self enhancement kebalikannya, berada pada prioritas paling bawah.

Nilai-nilai yang terdapat di dalam dimensi self transcendence mendorong seseorang untuk mengalahkan keegoisan diri tapi mengutamakan kesejahteraan orang banyak termasuk bagi alam sekitar (Schwartz, 1992). Tingginya prioritas nilai-nilai yang terdapat di dalam dimensi ini sangat menarik karena meskipun partisipan berada dalam keadaan yang serba terbatas tapi tetap bisa memperhatikan kesejahteraan orang lain. Soembodo (2011) menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, keluarga miskin umumnya akan membangun hubungan dengan banyak orang agar dapat memenuhi kebutuhannya dan menyesuaikan diri dengan situasi sosial-ekonomi yang berubah. Dengan demikian, penting bagi keluarga miskin untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain sehingga ketika menghadapi situasi sulit mereka bisa memanfaatkannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McCubbin, McCubbin, Thompson, dan Thompson (1995) menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki hubungan baik dengan lingkungan sosialnya seperti dukungan dari keluarga besar, teman dan anggota masyarakat lainnya cenderung lebih resilien.

Schwartz (2012) menyatakan bahwa terdapat kesamaan dari penelitian-penelitian mengenai nilai yakni konsistensi dari nilai benevolence, universalism dan self-direction yang selalu memiliki prioritas yang paling tinggi dan nilai power dan stimulation memiliki prioritas yang paling rendah. Hal tersebut juga ditemukan pada penelitian ini, yakni nilai benevolence

(prioritas pertama), universalism (prioritas kedua), dan self-direction (prioritas keempat) menempati lima besar prioritas nilai teratas dan nilai power (prioritas kesepuluh) dan

stimulation (prioritas keenam) menempati lima besar prioritas nilai terbawah. Menurut Schwartz (2012), hal itu terjadi tidak terlepas dari peran adaptif nilai dalam menjaga masyarakat dan karakteristik manusia yang tidak bisa hidup tanpa orang lain sehingga membuat para agen sosialisasi (seperti orang tua dan lingkungan) dan social control agents

berusaha untuk mencegah terjadinya nilai-nilai yang akan mengacaukan kelancaran fungsi kelompok atau masyarakat secara lebih luas. Secara sadar atau tidak, socializers berusaha untuk menanamkan nilai-nilai yang mendorong kelangsungan hidup dan kemakmuran kelompoknya (Schwartz, 2012).

Hasil tambahan dari penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan mean nilai

conformity, benevolence, universalism, dan power yang signifikan pada jenis kelamin. Secara lebih spesifik ditemukan pada perempuan memiliki mean nilai conformity, benevolence,

(17)

penelitian ini mirip dengan hasil penelitian Schwartz dan Rubel (2005) dan penelitian Schermer, Feather, Zhu, dan Martin (2008) yang menunjukkan bahwa laki-laki cenderung memiliki nilai power dan stimulation, sedangkan perempuan lebih cenderung memiliki nilai

benevolence, universalism, security, dan conformity. Apabila dilihat ke dalam dimensi nilai, Schwartz dan Rubel (2005) menambahkan bahwa laki-laki lebih cenderung memiliki nilai self enhancement (power dan achievement) dan opennes to change (self direction dan

stimulation), sedangkan perempuan cenderung memiliki nilai self transcendence

(universalism dan benevolence) dan conservation (conformity, tradition, dan security).

Adanya kecenderungan tingginya nilai power pada laki-laki tidak bisa dilepaskan dari sifat laki-laki yang lebih agresif, kompetitif, dan eksploratif sehingga membuat mereka tidak mudah menyerah apalagi untuk mendapatkan status sosial dan sumber daya yang diinginkan (Schwartz & Rubel, 2005). Berbeda dengan laki-laki, perempuan lebih banyak terlibat dalam pengasuhan dan kegiatan membesarkan anak sehingga cenderung untuk merawat/memelihara sesuatu agar tidak terjadi kerusakan. Hal tersebut menurut Schwartz dan Rubel (2005), mempromosikan kepada perempuan tentang pentingnya nilai self transcendence (benevolence

dan universalism) yang mendorong seseorang untuk mengutamakan kesejahteraan orang banyak termasuk bagi alam sekitar. Lalu, tingginya nilai conformitas pada perempuan dapat disebabkan oleh kepribadian wanita yang lebih fleksibel dan status perempuan yang lebih terbatas sehingga mereka tidak mempunyai banyak pilihan, kecuali menyesuaikan diri pada situasi (Sarwono, 2005).

Berdasarkan hasil pengolahan data ditemukan bahwa terdapat perbedaan mean nilai

conformity dan hedonism yang signifikan pada aspek pendapatan. Berdasarkan pengolahan data diketahui juga mean nilai conformity yang paling tinggi berada pada kelompok dengan pendapatan keluarga sebesar Rp.500.000-Rp.1.000.000. Apabila dilihat dari tujuannya, nilai

conformity mengendalikan diri dari tingkah laku, kecenderungan/keinginan yang dapat menganggu/merugikan orang lain dan norma sosial. Menurut peneliti, tingginya mean nilai

conformity pada pendapatan keluarga sebesar Rp.500.000-Rp.1.000.000 bisa disebabkan oleh pendapatan sebesar itu yang masih relatif kecil dan sumber daya menjadi terbatas sehingga membuat mereka tidak mampu untuk menolak tekanan atau harapan-harapan yang ada di dalam sebuah kelompok. Hal itu sesuai dengan pernyataan Schwartz (2006) yang mengatakan bahwa pendapatan yang rendah akan membatasi kesempatan individu untuk memperoleh perubahan hidup dan variasi hidup sehingga akan meningkatkan prioritas nilai conformity.

Pada nilai hedonism ditemukan bahwa terdapat mean nilai hedonism tertinggi berada pada kelompok dengan pendapatan sebesar Rp.1.000.000-Rp.3.000.000. Tujuan nilai

(18)

hedonism adalah kepuasan atau kenikmatan untuk diri sendiri. Bila dilihat dari range

pengelompokkan pendapatan, pendapatan Rp.1.000.000-Rp.3.000.000 merupakan pendapatan yang paling besar dalam penelitian ini. Tingginya mean nilai hedonism pada kelompok dengan pendapatan sebesar Rp.1.000.000-Rp.3.000.000 sesuai dengan pernyataan Schwartz (2006) yang menjelaskan bahwa dengan tingkat pendapatan yang tinggi akan meningkatkan kesempatan individu untuk bebas memilih pilihan hidup.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mean nilai security

yang signifikan pada aspek pendidikan Ayah, mean nilai security tertinggi berada pada jenjang pendidikan Ayah di SMP. Hal ini bisa saja terjadi karena program Wajib Belajar Sembilan Tahun (Wajar 9 tahun) yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia semenjak tahun 1994. Program Wajar 9 tahun merupakan kewajiban yang diharus dilaksanakan oleh Pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat (http://kemendikbud.go.id). Adanya jaminan pendidikan hingga jenjang pendidikan SMP inilah yang mungkin saja membuat nilai security pada jenjang pendidikan Ayah di SMP paling tinggi sehingga membantu mengurangi kekhawatiran anak yang berasal dari keluarga miskin terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya.

Selain pada nilai security, hal yang sama juga ditemukan pada nilai hedonism, yakni terdapat perbedaan mean nilai hedonism yang signifikan pada aspek pendidikan Ayah. Secara spesifik ditemukan bahwa semakin meningkatnya pendidikan Ayah, mean nilai hedonism

juga cenderung untuk meningkat. Schwartz (2006) menjelaskan bahwa tujuan dari nilai

hedonism adalah kepuasaan atau kenikmatan untuk diri sendiri. Van der Berg (2008) mengemukakan bahwa orang yang berpendidikan akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh pekerjaan, produktif, dan mempunyai penghasilan yang lebih tinggi. Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, semakin meningkatnya pendidikan Ayah akan meningkatkan kemungkinan keluarga memiliki pendapatan yang lebih besar dan kehidupan yang lebih baik. Dampaknya terhadap anak, hal ini juga akan meningkatkan kemungkinan anak untuk mendapatkan fasilitas yang lebih baik, termasuk untuk mendapatkan uang bulanan/uang jajan per bulannya yang lebih besar. Schwartz (2006) menjelaskan bahwa semakin meningkatnya pendapatan akan meningkatkan kesempatan individu untuk bebas memilih pilihan hidup secara lebih bebas sehingga hal ini secara tidak langsung akan cenderung meningkatkan nilai hedonism pada anak.

(19)

nilai hedonism yang lebih tinggi dibandingkan dengan usia dewasa. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Schwartz, Melech, Lehmann, Harris, dan Owen (2001) yang mengatakan bahwa semakin meningkatnya usia seseorang, semakin menurunkan nilai hedonism. Dengan kata lain, nilai hedonism pada usia yang lebih muda semakin meningkat. Schwartz dkk (2001) menjelaskan bahwa semakin menurunnya nilai hedonism seiring dengan peningkatan usia karena semakin meningkatnya keinginan individu untuk terlibat dalam aktivitas sosial, patuh terhadap aturan yang berlaku, dan tidak bersemangat terhadap perubahan dan kegiatan-kegiatan yang penuh dengan tantangan. Apabila dilihat dari ciri-ciri pada masa remaja, Papalia, Olds, dan Feldman (2008) mengatakan bahwa remaja sedang mengalami masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa dan juga melakukan pencarian terhadap jati dirinya. Selama masa-masa tersebut, remaja akan banyak mencoba berbagai gaya hidup yang berbeda, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan kepuasan atau kenikmatan untuk diri sendiri.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan adanya kontribusi nilai terhadap resiliensi keluarga pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin sehingga hipotesis nol pada penelitian ini ditolak. Secara spesifik dari kesebelas nilai ditemukan dua nilai yang berkontribusi signifikan terhadap resiliensi keluarga, yakni nilai tradition dan achievement. Nilai tradition

memberikan sumbangan yang paling besar terhadap resiliensi keluarga dengan arah positif, artinya semakin tinggi nilai tradition semakin tinggi pula tingkat resiliensi keluarga. Lalu, pada nilai achievement ditemukan pengaruh dengan arah negatif terhadap resiliensi keluarga, artinya setiap peningkatan nilai achievement akan menurunkan tingkat resiliensi keluarga dan berlaku sebaliknya. Lalu, berdasarkan gambaran prioritas nilai yang dimiliki oleh mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin diketahui bahwa nilai universalism menduduki prioritas pertama. Empat nilai lainnya yang dianggap penting bagi mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin adalah nilai benevolence, conformity, self-direction, dan security. Sementara itu, nilai power memiliki prioritas nilai yang paling rendah.

Pada analisis tambahan dapat disimpulkan beberapa hal, yakni (1) terdapat perbedaan

mean nilai conformity yang signifikan pada aspek pendapatan dan jenis kelamin, dengan

mean nilai conformity tertinggi berada pada kelompok dengan pendapatan keluarga sebesar Rp.500.000-Rp.1.000.000 dan pada partisipan laki-laki, (2) terdapat perbedaan mean nilai

benevolence yang signifikan pada jenis kelamin, dengan perempuan memiliki mean nilai

(20)

nilai universalism yang signifikan pada jenis kelamin, dengan perempuan memiliki mean nilai

universalism yang lebih tinggi dibandingkan partisipan laki-laki, (4) terdapat perbedaan mean

nilai security yang signifikan pada pendidikan terakhir Ayah, dengan mean nilai security yang paling tinggi berada pada pendidikan terakhir Ayah di jenjang pendidikan SMP, (5) terdapat perbedaan mean yang signifikan pada pendapatan keluarga, pendidikan Ayah, dan usia. Mean

nilai hedonism tertinggi berada pada kelompok dengan pendapatan Rp.1.000.000-Rp.3.000.000 dan kelompok usia remaja, serta ditemukan bahwa semakin tinggi pendidikan Ayah, semakin tinggi juga mean nilai hedonism, (6) terdapat perbedaan mean nilai power

yang signifikan pada jenis kelamin, partisipan laki-laki memiliki mean nilai power yang lebih tinggi dibandingkan partisipan perempuan.

Saran

Saran Metodologis

Berdasarkan hasil uji coba yang telah dilakukan sebanyak dua kali pada alat ukur nilai (PVQ) masih ditemukan beberapa item dengan indeks validitas yang lebih rendah daripada batas minimal. Menimalisir efek yang mungkin saja terjadi, peneliti hanya kembali melakukan

expert judgement sebelum digunakan saat pengambilan data. Kedepannya, uji coba alat ukur sebaiknya dilakukan berkali-kali hingga mendapatkan reliabitas, validitas dan daya diskrimasi yang baik, khususnya untuk alat ukur PVQ. Lalu, untuk penelitian selanjutnya pengambilan data tidak hanya dilakukan kepada mahasiswa miskin yang berasal dari Universitas Indonesia, namun juga kepada mahasiswa miskin yang berasal dari perguruan tinngi lainnya.

Saran Praktis

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa nilai tradition memberikan pengaruh yang paling besar terhadap resiliensi keluarga. Dengan adanya temuan ini mengingatkan kepada orang tua dan keluarga bahwa apa yang menjadi tradisi di dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang besar kepada anak saat mereka menghadapi masalah atau tantangan hidup. Selain itu, adanya prioritas nilai ini yang ditemukan pada penelitian ini bisa dimanfaatkan oleh pihak pembuat kebijakan seperti pemerintah dan pihak kampus sebagai bahan masukan dalam membuat program intervensi yang tepat bagi keluarga miskin.

Kepustakaan

Awan, M. S., Malik, M., Sarwar, H., & Waqas, M. (2011). Impact of education on poverty reduction. MPRA Paper, No. 31826. Diunduh dari

(21)

Badan Pusat Statistik. (2012). Profil kemiskinan di Indonesia Maret. Diunduh dari http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02jan12.pdf

Benzies, K. & Mychasiuk, R. (2008). Fostering family resiliency: A review of the key protective factors. Child and Family Social Work, 14, pp. 103-114. Doi: 10.1111/j.1365-2206.2008.00586.x

Berns R. (2007). Child, family, school, community: Socialization and support. London Sidney Tokyo: Hartcourt Brace College Publishers.

Caraley, D. J. (2001). Ending welfare as we know it: A reform still in progress. Political Science Quarterly, Vol. 116, No. 4, pp. 525-560.

Chavkin, W., Ramero, D., & Wise, P. H. (2000). State welfare reform policies and declines in health insurance. American Journal of Public Health, 90, 900-9008. Diunduh dari http://ajph.aphapublications.org/doi/pdf/10.2105/AJPH.90.6.900

Crosnoe, R., Mistry, R. S. S., & Elder, G, H. (2002). Economic disadvantage, family dynamics, and adolescent enrollment in higher education. Journal of Marriage and Family, 64, 690-702.

De La Rosa, M., & Tierney, W. (2006). Breaking through the barriers of college. USC Center for Higher Education Policy Analysis. Diunduh dari

www.usc.edu/dept/chepa/pdf/Breaking_through_Barriers_final.pdf

DeGenova, M.K. (2008). Intimate Relationships, Marriages & Families (Seventh Edition). New York: McGraw-Hill

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (8 Februari 2012). Pengembangan bantuan biaya pendidikan Bidikmisi 2012. Diakses dari http://www.dikti.go.id/?p=1397&lang=id Engle, P. L., & Black, M. M. (2008). The effect of poverty on child development and

educational outcomes. Annals of the New York Academy of Sciences, 1136: 243-256. doi: 10.1196/annals. 1425.023

French, D.C., Rianasari, M., Pidada, S., Nelwan, P., dan Buhrmester, D. (2001). Social support of Indonesian and U.S children and adolescents by family members and friends. Proquest Psychology Journals, 47(3), 377-394.

Gardner, J. E. (1992). Memahami gejolak masa remaja. Jakarta: Mitra Utama.

Goethe-Institut Indonesien. (2010). Tata nilai impian cita-cita pemuda muslim di Asia

Tenggara: Survei di Indonesia dan Malaysia. Diunduh dari

http://www.goethe.de/ins/id/pro/jugendstudie/jugendstudie_id.pdf

Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2006). Research methods for the behavioral science. California: Thomson Wardswoth.

(22)

Hidayati, N. E. (2012). Kontribusi komponen yang membentuk resiliensi keluarga pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin. Skripsi Tidak dipublikasikan. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok.

Kementerian Pendidikan Nasional. (1 Juni 2013). Program Bantuan Opersional Sekolah 2012. Diakses dari http://bos.kemdikbud.go.id/home/about

Kementerian Pendidikan Nasional. (5 Februari 2013). Pemerintah beri perhatian serius kepada siswa miskin. Diakses dari

http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/berita/1301

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (n.d). Angka putus sekolah. Diakses dari

menegpp.go.id/V2/index.php/datadaninformasi/pendidikan?download=20%3Aangka-putus-sekolah

Knafo, A., Schwartz, S. H. (2004). Identity formation and parent-child value congruence in adolescence. British Journal of Developmental Psychology, 22, 439-458.

Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginners. 2nd Ed. London: Sage Publication Ltd.

Luthar, S., Cicchetti, D., & Becker, B. (2000). The construct of resilience: A critical evaluation and guidelines for future work. Child Development, 71, 543-562.

Mackay, R. (2003). Family resilience and good child outcomes: An overview of the research literature. Social Policy Journal of New Zealand, 20, 98-118.

McCubbin, H. I., McCubbin, M. A., Thompson, A. I., & Thompson, E. A. (1995). Resiliency in ethnic families: A conceptual model for predicting family adjustment and adaptation. In H. I. McCubbin, E. A. Thompson, A. I. Thompson, & J. Fromer (Eds.),

Resiliency in ethnic minority families: Native and immigrant American Families, Vol. 1 (pp. 3-48). Madison: University of Wisconsin System.

Mizera, L., & Tulviste, T. (2012). A comparison of estonian senior high school students’ value priorities in 2000 and 2009. Trames, 2, 145-156.

Mullin, W. J., Arce, M. (2008). Resilience of families living in poverty. Journal of Family Social Work, Vol. 11 (4). doi: 10.1080/10522150802424565

Nasir, Z., M., & Nazli, H. (2000). Education and earnings in Pakistan. Diunduh dari http://www.pide.org.pk/pdr/index.php/wp/article/viewFile/2389/2362

O’Leary, V. (1998) Strength in the face of adversity: individual and social thriving. Journal of Social Issues, 54, 425–446.

(23)

Orthner, D. K. Jones-Sanpei, H., & Williamson, S. (2004). The resilience and strengths of low-income families. Family Relations, 53, 159-167.

Orthner, D. K., & Randolph, K. A. (1999). Welfare reform and high school dropout patterns for children. Children and Youth Service Review, 2/(9/10), 881-1000.

Papalia, Olds, & Feldman. (2008). Human development (11th Ed.). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Sarwono, S. W. (2005). Psikologi sosial: Psikologi kelompok dan psikologi terapan. Jakarta: Balai Pustaka.

Schermer, J. A., Feather, N. T., Zhu, G., & Martin, N. G. (2008). Phenotypic, genetic, and environmental properties of the Portrait Values Questionnaire. Twin Research and Human Genetic, Vol. 11, No. 5, pp. 531-537.

Schwartz, S. H. (1992). Universals in the content and structure of values: Theoretical advances and empirical test in 20 countries. Advances in experimental social psychology, Vol. 25, p. 1-64.

Schwartz, S. H. (1994). Are there universal aspects in the content and structure of values?

Journal of Social Issues, 50, 19-45.

Schwartz, S. H. (2006). Basic human values: Theory, measurement, and application. Revue Francaise de sociologie, 47/4: The Hebrew University of Jerussalem.

Schwartz, S. H. (2012). An Overview of the Schwartz Theory of Basic Values. Online

Readings in Psychology and Culture, Unit 2. Diunduh dari

http://scholarworks.gvsu.edu/orpc/vol2/iss1/11

Schwartz, S. H., & Rubel, T. (2005). Sex difference in value priorities: cross-cultural and multimethod studies. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 89, No. 6, 1010-1028. doi: 10.1037/0022-3514.89.6.1010

Schwartz, S. H., Melech, G., Lehmann, A., Burgess, S., Harris, M., & Owens, V. (2001). Extending the cross-cultural validity of the theory of basic human values with different method of measurement. Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol. 32, No. 5, p. 519-542.

Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2005). Psikologi eksperimen. Jakarta: PT Indeks Gramedia.

Simanjuntak, A. H. (2011). Hubungan antara resiliensi keluarga dan nilai pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok.

(24)

Simon, J.B., Murphy, J.J. & Smith, S.M. (2005) Understanding and fostering family resilience. The Family Journal, 13, 427–436.

Soembodo, B. (2011). Pandangan masyarakat miskin perkotaan mengenai kesejahteraan sosial. Diunduh dari

http://journal.unair.ac.id/detail_jurnal.php?id=4398&med=17&bid=17

Sumantri, S., & Suharnomo. (2011). Kajian proposisi hubungan antara dimensi budaya

nasional dengan motivasi dalam suatu organisasi usaha. Diunduh dari

http://repository.unpad.ac.id/bitstream/handle/123456789/1612/kajian_proposisi_hub_ antara_dimensi_budaya_nasional.pdf?sequence=3

Suparlan, P. (1993). Kemiskinan di perkotaan, PT. Obor indonesia, Jakarta

Thames, B. J., & Thomason, D. J. (2000). Building Family Strengths: Resiliency. Diunduh dari http://www.clemson.edu/psapublishing/pages/FYD/FL529.PDF

Tilak, J. B. G. (2001). Education and poverty. In M. Melin, Education- a Way out of Poverty

(pp. 12-23). Diunduh dari http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/ doi=10.1.1.201.8131&rep=rep1&type=pdf

Tubbs, C., Roy, K., Burton, L.M. (2005). Family ties: Constructing family time in low-income communities. Family Process. 44, 77-91.

Ustama, D. D. (2009). Peranan pendidikan dalam pengentasan kemiskinan. Dialogue: Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, Vol. 6, No. 1, p. 1-12.

Van der Berg, S. (2008). Booklet: Poverty and education. Paris and Belgium: UNESCO. Walsh, E (1998). Families in later life: Challenge and opportunities. In B. Carter & M.

McGoldrick (Eds.), The expanded life cycle (pp. 307-326). Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.

Walsh, F. (1996). The concept of family resilience: crisis and challenge. Family Process, 35 (3), 261-281.

Walsh, F. (2003). Family resilience: A framework for clinical practice. Family Process, 42

(1), 1–18.

Walsh, F. (2006). Strengthening family resilience(2nd ed.). New York: Gilford.

Walsh, F. (2012). Normal Family Processes(4th ed. pp. 399-427). New York: Guilford Press. Yi, H., L., Luoa, R., Shib, Y., Moc, D, Chend, X., Brintone, C., & Rozelle, S. (2011).

Droping out: Why are students leaving junior high in China’s poor rural areas?

Gambar

Tabel 1. Kontribusi Nilai Terhadap Resiliensi Keluarga
Tabel 2. Kontribusi Setiap Tipe Nilai terhadap Resiliensi Keluarga

Referensi

Dokumen terkait

Siswa dapat menulis kata, frasa dan kalimat yang sesuai dengan gambar, dengan huruf, ejaan dan tanda baca yang tepat2. Siswa dapat menyusun kata-kata acak menjadi

Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT.. 01 TAHUN 2019 Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menjabarkan dan mendeskripsikan markaz Bahasa Arab DLWI dalam

Causal Loop peningkatan market share profit margin perubahan trend pasar biaya produksi pendapatan UKM - jumlah produksi kapasitas produksi fasilitas produksi perubahan

Motika Dian Anggraeni, S.Kom., M.Kom Wahyu Pramusinto,

Berdasarkan pendapat yang dicetuskan oleh (Bode-greuel &amp; Nickisch, 2008), portfolio management merupakan proses yang dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan yang

Karena di dalam file alm.dat telah terdapat batasan byte maksimal yang boleh diambil, maka setiap pengambilan data secara otomatis jumlah yang kita tentukan akan dikurangi

Terima kasih pula kepada keluarga besar kami, para upline, downline, crossline serta seluruh staf manajemen Nu Skin yang telah banyak membantu dalam mengembangkan bisnis ini..

a) Keluarga: latar belakang keluarga para siswa sangat berpengaruh sekali dalam pembentukan kepribadiannya, bahwa orang tua yang membiasakan memberikan nilai-nilai