• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Penelitian

Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah) dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah (daerah) dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja atau kesempatan kerja berdasarkan pertumbuhan ekonomi (Arsyad, 1999). Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada hakekatnya adalah upaya meningkatkan kapasitas pertumbuhan daerah sehingga mampu menjalankan pemerintahan dengan baik.

Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi salah satu indikator peningkatan kesejahteraan penduduk suatu daerah atau negara. Pertumbuhan ekonomi sendiri merupakan gambaran dari hasil kerja pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, kebijakan utama yang perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin potensi yang dimiliki oleh provinsi (daerah) yang bersangkutan, mengingat potensi masing-masing daerah bervariasi maka sebaiknya masing-masing-masing-masing daerah harus menentukan kegiatan sektor dominan/unggulan (Syafrizal, 1997).

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat spesialisasi dan daya saing untuk meningkatkan keunggulan komparatif (comparative advantage) suatu sektor ekonomi di suatu daerah adalah melalui rasio kontribusi dan rasio

(2)

pertumbuhan masing-masing sektor disuatu daerah terhadap jumlah output total (PDRB) di wilayah studi dan di wilayah referensinya (Yusuf, 1999).

Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi tidak akan lepas dari adanya peranan otonomi daerah yang berlaku di setiap daerah. Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan pada hakekatnya bertujuan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Otonomi daerah merupakan pembangunan dengan pendekatan desentralisasi yang erat kaitannya dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Salah satu tujuan utama desentralisasi adalah menciptakan kemandirian daerah. Dalam perspektif ini, pemerintah provinsi diharapkan mampu menggali sumber-sumber keuangan lokal khususnya melalui Pendapatan Asli Daerah (Sidik, 2002).

Salah satu penerimaan daerah yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan PAD adalah pajak daerah dan retribusi daerah, karena penerimaan ini mencakup 90% dari pendapatan rutin yang diterima oleh daerah (Suparmoko, 2002).

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, sumber penerimaan daerah terdiri atas:

a. Pendapatan Asli Daerah yaitu : 1. Pendapatan Pajak Daerah 2. Pendapatan Retribusi Daerah

3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

(3)

c. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah

Pendapatan Asli Daerah idealnya menjadi sumber utama pendapatan lokal. Sumber pendapatan lain relatif fluktuatif dan cenderung di luar kontrol (kewenangan) pemerintah provinsi (Sidik, 2002; Bappenas, 2003). Daerah yang pertumbuhan ekonominya positif mempunyai kemungkinan mendapatkan kenaikan Pendapatan Asli Daerah. Seperti yang diungkapkan oleh Indra Bastian (2006) bahwa salah satu indikator dalam bidang ekonomi atas keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah adalah terjadinya peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) riil, dengan meningkatnya PDRB riil, peningkatan pendapatan per kapita akan terdorong. Dari perspektif ini, seharusnya pemerintah daerah lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi daerah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi daripada sekedar mengeluarkan produk perundangan terkait dengan pajak ataupun retribusi (Adi, 2006).

Sektor-sektor industri, khususnya jasa perlu dioptimalisasi. Pajak dan retribusi sebagai komponen terbesar PAD sangat terkait dengan kegiatan sektor industri. Pajak dan retribusi sebenarnya merupakan ekses/nilai tambah dari lebih optimalnya sektor industri ini (Sidik, 2002). Dengan kata lain, pertumbuhan domestik dari sektor ini dapat digunakan untuk mengestimasi besarnya PAD (pajak daerah dan retribusi retribusi) yang akan diterima.

Pertumbuhan PAD seharusnya sensitif terhadap kenaikan PDRB, karena berdasarkan analisis elastisitas PAD terhadap PDRB yang dilakukan oleh Bappenas (2003), diketahui bahwa ada 12 provinsi (41,37%) yang mempunyai nilai elastisitas ≥ 1 (lebih dari satu). Setiap perubahan PDRB di 12 provinsi

(4)

tersebut sensitif terhadap perubahan/peningkatan PAD. Hal ini menunjukkan bahwa setiap terjadi perubahan PDRB akan memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap perubahan PAD. Sedangkan provinsi yang lain perubahan PDRB-nya tidak cukup mempengaruhi peningkatan PAD. Hal ini diduga terjadi karena nilai tambah PDRB-nya lebih banyak keluar dari daerah tempat kegiatan perekonomian tersebut diselenggarakkan.

Dalam era desentralisasi fiskal, hal semacam ini wajar terjadi mengingat adanya kompetisi antar pemerintah dalam memfasilitasi berbagai sektor guna memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Sebagai contoh adalah dibukanya peluang berinvestasi dengan berbagai kemudahan. Tingginya aktivitas investasi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi, dan pada gilirannya memberikan pemasukan yang signifikan bagi pemerintah daerah setempat (Lin dan Liu, 2000; Saragih, 2003; Bappenas, 2003 ).

Saat ini Kota Bandung mengalami suatu pergeseran struktur ekonomi yaitu dari kota industri menjadi kota jasa dan perdagangan, yang terlihat jelas dari struktur ekonomi tahun 2010. Hal ini dapat dimaklumi dengan semakin sempitnya lahan untuk kegiatan industri, sehingga kegiatan industri di perkotaan pindah ke daerah pinggiran kota sebagai daerah penyangga ibu kota provinsi. Namun demikian sektor industri di Kota Bandung masih dapat dikembangkan untuk mendukung perekonomian Kota Bandung, yaitu industri yang tidak terlalu membutuhkan lahan relatif luas, terutama industri kreatif yang semakin banyak tumbuh di Kota Bandung (BPS Kota Bandung, 2010).

(5)

Seperti halnya yang diungkapkan oleh pengamat tata ruang, Ridwan Kamil (Pikiran Rakyat, 2012) bahwa Bandung dinilai berpotensi menggeser Jakarta dalam daftar kota dengan daya saing terbaik di dunia. Namun, untuk mencapai predikat tersebut, Bandung masih harus melakukan sejumlah pembenahan di berbagai sektor, khususnya infrastruktur. Selain itu, Bandung harus fokus pada salah satu sektor ekonomi yaitu ekonomi kreatif dan urban tourism. Apabila Bandung bisa menjadi yang terbaik di sektor itu, bukan tidak mungkin akan menggeser Jakarta. Tetapi, daya saing disini bukan dalam arti transaksi ekonomi, melainkan kepuasan investor dalam menanamkan modal. Karena apabila dilihat dari segi transaksi ekonomi, Bandung akan sulit menyaingi Jakarta yang memegang 60% perputaran ekonomi. Itulah sebabnya Bandung harus memiliki spesialisasi ekonomi. Bandung juga harus tetap fokus pada ekonomi kreatif yang merupakan kekuatannya selama ini. Yang tidak kalah penting adalah pembenahan dari segi infrastruktur, mulai dari jalan raya, angkutan masal, hingga persoalan banjir. Jika infrastruktur tidak dibenahi, perekonomian Bandung tidak akan beranjak dari kondisi saat ini.

Laporan dari Global City Competitiveness Index 2012 yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit (EIU), dan Citigroup (Pikiran Rakyat, 2012) juga menyebutkan bahwa Kota Bandung termasuk salah satu dari empat kota di dunia yang diperkirakan akan membuat lompatan besar dalam hal peningkatan daya saing pada 2020. Tingkat daya saing Kota Bandung ini berada di posisi 114 dari 120 kota besar di dunia. Nilai daya saing Kota Bandung mencapai 34,8 dari skala 1-100. Kota Bandung dianggap memiliki keunggulan dalam aspek sumber daya

(6)

manusia, efektivitas institusi, serta dukungan aspek fisik.

Berdasarkan laporan BPS Kota Bandung, PDRB Kota Bandung tahun 2004 – 2010 menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 2004 PDRB perkapita Kota Bandung mencapai Rp. 19.874.813, pada tahun 2005 mengalami peningkatan sehingga mencapai Rp. 21.370.696 hingga pada tahun 2010 angka PDRB perkapita Kota Bandung mencapai Rp. 31.697.282. Dari data tersebut terlihat bahwa pendapatan masyarakat Kota Bandung menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Untuk mengetahui berapa pertumbuhan ekonominya berikut peneliti sajikan data tabel PDRB dan hasil perhitungan Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung tahun 2004 – 2010 :

Tabel 1.1

Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung (Atas Dasar Harga Konstan)

Tahun Tabel Pertumbuhan Ekonomi

PDRB LPE (%) 2004 Rp. 19.874.813 7,49 2005 Rp. 21.370.696 7,53 2006 Rp. 23.043.104 7,83 2007 Rp. 24.941.517 8,24 2008 Rp. 26.978.909 8,17 2009 Rp. 29.228.272 8,34 2010 Rp. 31.697.282 8,45

Sumber : BPS Kota Bandung

Tabel 1.1 tersebut menunjukkan walaupun PDRB-nya mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya, tetapi hasil perhitungan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) daerah Kota Bandung dari tahun 2004 – 2010 menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi yang tidak terus menerus mengalami peningkatan dan

(7)

peningkatannya relatif masih kecil. Tahun 2004 sampai 2007 LPE Kota Bandung mengalami peningkatan, namun pada tahun 2008 LPE Kota Bandung mengalami penurunan sebesar 0,07% yang diakibatkan oleh krisis global dan meningkat kembali pada tahun 2009 sebesar 0,17 %, begitu pula pada tahun 2010 mengalami peningkatan kembali.

Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu daerah erat kaitannya dengan bagaimana pemerintah daerah mengelola keuangannya. Setelah terjadinya reformasi dalam pengelolaan keuangan pemerintah daerah, daerah dituntut untuk mampu mengoptimalkan potensi PAD untuk keberlangsungan rumah tangga daerahnya sendiri sehingga dalam membiayai pembangunannya daerah tidak terlalu bergantung pada pemerintah pusat. Berdasarkan data dari Laporan realisasi Anggaran Kota Bandung tahun 2004 – 2010 mengalami terus peningkatan. Untuk lebih jelasnya berikut tabel Realisasi Anggaran Kota Bandung :

Tabel 1.2

Laporan Realisasi Anggaran

Tahun Realisasi PAD

2004 Rp. 214.831.096.006 2005 Rp. 229.645.751.696 2006 Rp. 253.892.993.009 2007 Rp. 256.733.879.703 2008 Rp. 297.398.936.477 2009 Rp. 372.423.970.433 2010 Rp. 440.331.559.083

(8)

Pada tabel 1.2 diatas terlihat bahwa dari tahun 2004 – 2010, realisasi PAD terus mengalami peningkatan, hal tersebut menunjukkan kinerja Pemerintah Kota Bandung semakin baik dalam mengelola potensi PAD-nya. Namun peningkatan tersebut bukanlah jumlah yang maksimal. Dari uraian tersebut terlihat bahwa Pendapatan Asli Daerah berbanding terbalik dengan angka Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung yang bergerak fluktuatif.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan adanya otonomi daerah, Kota Bandung dapat mengembangkan dirinya melalui daya saing. Untuk mencapai hal tersebut Kota Bandung harus melakukan pembenahan infrastruktur yang menjadi kelemahannya selama ini dan fokus pada salah satu sektor ekonomi yaitu ekonomi kreatif dan urban tourism, dimana sektor tersebut merupakan kekuatan Kota Bandung selama ini. Dengan adanya spesialisasi ekonomi dan pembenahan infrastruktur diharapkan dapat memberikan kepuasan kepada investor dalam menanamkan modalnya, sehingga dapat lebih mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Bandung melalui PDRB dan pada gilirannya akan lebih memaksimalkan PAD Kota Bandung.

Berdasarkan latar belakang dan merujuk penelitian sebelumnya, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan ke dalam bentuk skripsi yang berjudul :

“Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung”.

(9)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertumbuhan ekonomi daerah dapat memberikan pengaruh positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung?

2. Seberapa besar pengaruh pertumbuhan ekonomi daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi dan data yang relevan sesuai dengan kajian yang penulis perlukan untuk kemudian diolah dan dianalisis, yang selanjutnya akan memberikan gambaran tentang pengaruhnya terhadap penerimaan daerah.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung.

1.4 Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Penulis

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dalam memahami pengaruh pertumbuhan ekonomi daerah terhadap Pendapatan Asli

(10)

Daerah (PAD), serta dapat meningkatkan pemahaman penulis terhadap permasalahan yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah dan PAD.

2. Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda)

Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, baik dalam upaya peningkatan PAD dan perencanaan pembangunan maupun dalam pengambilan kebijakan sebagai daerah otonom.

3. Pihak lain

Sebagai bahan referensi dan informasi pendukung dalam penelitian selanjutnya, yang diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.

1.5 Kerangka Pemikiran

Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan pada hakekatnya bertujuan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Penerapan otonomi daerah yang luas saat ini bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi ekonomi yang ada sehingga dapat memacu peningkatan aktivitas perekonomian di daerah yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian nasional.

Penerapan otonomi daerah yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, mensyaratkan adanya suatu perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan

(11)

daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam rangka negara kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta pemerataan antar daerah secara proporsional, adil, demokratis dan transparan (Pujiati, 2008).

Dengan adanya otonomi, daerah dituntut untuk memiliki kemandirian daerah di berbagai bidang, termasuk kemandirian dalam mendanai pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Dengan ini, pemerintah daerah diharapkan mampu menggali sumber-sumber keuangan lokal, khususnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga pemerintah daerah dapat meningkatkan penerimaannya untuk membiayai kegiatan pembangunan.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pengertian otonomi daerah yaitu :

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Dengan adanya otonomi daerah ini maka diharapkan terjadinya percepatan pertumbuhan ekonomi dan mempercepat tujuan pembangunan nasional.

Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain upaya menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, pembangunan harus pula berupaya untuk menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran atau upaya menciptakan kesempatan kerja bagi penduduk. Dengan terciptanya kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat, maka akan memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2008).

(12)

Pada umumnya pembangunan di suatu daerah selalu diarahkan pada pembangunan ekonomi yang dapat dilihat melalui usaha pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi disebabkan adanya peningkatan produksi barang dan jasa yang antara lain diukur dengan besaran yang disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Faktor utama yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah adalah adanya permintaan barang dan jasa dari luar daerah, sehingga sumber daya lokal akan dapat menghasilkan kekayaan daerah karena dapat menciptakan peluang kerja di daerah (Boediono, 1999).

Indikator PDRB lebih komprehensif dalam mengukur pertumbuhan ekonomi dibandingkan indikator yang lain seperti jumlah ekspor ataupun tingkat inflasi dikarenakan PDRB lebih menekankan pada kemampuan daerah untuk meningkatkan PDRB agar dapat melebihi tingkat pertumbuhan penduduk.

Saragih (2003) berpendapat bahwa peningkatan PAD sebenarnya ekses dari pertumbuhan ekonomi. Daerah yang pertumbuhan ekonominya positif mempunyai kemungkinan mendapatkan kenaikan PAD. Dari perspektif ini, seharusnya pemerintah daerah lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi daerah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi daripada sekedar mengeluarkan produk perundangan terkait dengan pajak ataupun retribusi (Adi, 2006). Selain itu ketergantungan pada dana transfer dari pemerintah pusat dari tahun ke tahun harus semakin dibatasi, karena saat ini sumber keuangan daerah sebagian besar masih berasal dari dana transfer pemerintah pusat yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alikasi Khusus (DAK). Oates (1995)

(13)

memberikan alasan yang cukup rasional mengapa pemda harus mengurangi ketergantungan ini :

1. Transfer pusat biasanya disertai dengan persyaratan tertentu, sehingga otonomi relatif bersifat kompromis, terlebih bila dana transfer merupakan sumber penerimaan lokal.

2. Ketergantungan pada transfer justru mengurangi kreativitas lokal untuk mengambil kebijakan terkait dengan penerimaan lokal yang lebih efisien.

Agar PAD suatu daerah terus meningkat, maka pemerintah harus berupaya mengoptimalkan sektor-sektor industri baik barang maupun jasa, yaitu salah satu caranya dengan membuka peluang investasi yang memiliki berbagai kemudahan, karena tingginya aktivitas investasi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga akan memberikan pemasukan yang signifikan bagi pemerintah daerah setempat.

PAD khususnya Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sangat terkait dengan kegiatan sektor industri. Dengan mengoptimalkan sektor indutri, maka pertumbuhan ekonomi dapat terus meningkat dan PAD yang didapat juga bisa meningkat, sehingga pemerintah daerah tidak perlu lagi terlalu bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat.

Menurut penelitian sebelumnya yaitu Hidayat (2009) yang meneliti di Provinsi Sumatra Utara, menyatakan bahwa Pertumbuhan Ekonomi signifikan mempengaruhi variabel Pendapatan Asli Daerah Provinsi Sumatra Utara dengan tingkat kepercayaan 95%.

(14)

Sedangkan menurut Adi (2006), berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah ditelitinya mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun di sisi lain, pertumbuhan ekonomi pemerintah daerah kabupaten dan kota masih relatif kecil, akibatnya penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)nya pun kecil, karena penerimaan yang menjadi andalan hanya berasal dari retribusi dan pajak daerah. Objek penelitian dilakukan pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lin dan Liu (2000), menyatakan bahwa :

“Fiscal decentralization has made a significant contribution to economic growth, which is consistent with hypothesis that the fiscal decentralization can increase economic efficiency. In addition, rural reform, capital accumulation, and nonstate sector development were key driving forces of the economic growth in China over the past 20 years or so.”

Maksud dari kesimpulan penelitian diatas adalah bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yang sejalan dengan hipotesis bahwa desentralisasi fiskal dapat meningkatkan efisiensi ekonomi. Di samping itu, dengan adanya reformasi pedesaan, akumulasi modal, dan pengembangan yang bukan dari sektor negara menjadi kekuatan pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi di Cina selama 20 tahun terakhir.

Berdasarkan uraian diatas dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran Pertumbuhan Ekonomi

Daerah (X)

Pendapatan Asli Daerah PAD (Y)

Terdapat Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah PAD

(15)

1.6 Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif. Menurut Moh. Nazir (2005) mendefinisikan metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki untu kemudian diolah menjadi data dan selanjutnya dianalisis sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.

Field Research atau Penelitan Lapangan akan dilakukan dengan teknik wawancara dan observasi. Sedangkan teknik untuk pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara Penelitian Kepustakaan (Library Research), teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber dan mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan topik pembahasan untuk memperoleh data teoritis.

1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung dan Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandung sebagai tempat pengumpulan data. Proses pengumpulan data yang akan dianalisis adalah hasil dokumentasi data-data dan wawancara yang berkenaan dengan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Kota Bandung dan Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung, yang akan dilakukan mulai bulan Maret 2012 sampai dengan selesai.

Referensi

Dokumen terkait

Ongkos pesan tetap untuk setiap kali pemesanan dan ongkos simpan sebanding dengan jumlah barang yang disimpan dan harga barang/unit serta lama waktu penyimpanan 5. Tidak

Seperti halnya pada bahasa Indonesia, pengungkapan makna aspektualitas bahasa Bugis juga mementingkan subkelas verba pungtual (peristiwa), aktivitas (proses), statis,

B adalah data subyektif dan obyektif antara lain: pasien mengatakan mengamuk dan kesal kepada ibunya karena minta motor tidak dibelikan, pasien tampak mau berjabat

Reaksi itu tampil dalam tingkah laku malajusment, seperti, (1)agresif, melawan, keras kepala, bertengkar, berkelahi, dan senang mengganggu, dan (2) melarikan diri

Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan dari Juli hingga Oktober 2020 dan dilaksanakan di kawasan pariwisata di Bandung Utara yang difokuskan pada dua daya

SENDIRI.. Seksyen 2C – Pengelasan semula rahsia rasmi oleh Menteri atau pegawai awam. Seseorang Menteri atau pegawai awam yang dipertanggungkan dengan apa-apa tanggungjawab

Hal ini sesuai dengan penelitian Arlinda (2011) yaitu N-total menunjukkan peningkatan selama proses pengomposan dan pada akhir pengomposan nilai N-total pada masing-masing

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan beberapa galur calon varietas yang memiliki potensi hasil tinggi, tahan rendaman, berpenampilan baik, umur genjah-sedang,