• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ADOPSI TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI DI SULAWESI TENGGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI ADOPSI TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI DI SULAWESI TENGGARA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ADOPSI TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN

TERPADU KEDELAI DI SULAWESI TENGGARA

Zainal Abidin dan Musyadik

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Jl. Prof. Muh. Yamin No 89 Puwatu Kendari Telepon: (0401) 3125871 email: zainal_bptpsultra@yahoo.co.id

ABSTRAK

Kedelai merupakan komoditas pangan strategis yang permintaannya terus meningkat. Kajian dilakukan untuk mengetahui tingkat adopsi teknologi PTT kedelai di Sulawesi Tenggara. Penelitian survei terhadap 45 orang petani responden di dua kecamatan yaitu Kecamatan Lainea dan Kecamatan Andoolo Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Juni–Juli 2011. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani kedelai merupakan salah satu komoditas sumber penghasilan responden dengan luas pengusahaan lahan berkisar antara 0,5–2 ha. Teknologi budidaya kedelai berbasis PTT belum sepenuhnya diterapkan, sehingga produktivitas kedelai yang diperoleh bervariasi mulai dari 400–1.240 kg/ha. Tingkat adopsi terhadap teknologi kedelai adalah sekitar 60,83%, atau tergolong sedang. Secara parsial komponen teknologi penyiapan lahan dan teknologi pelaksanaan panen dan pascapanen nilai adopsinya >67% termasuk kategori tinggi. Teknologi PTT kedelai lainnya tingkat adopsinya berkisar antara 43,3–63,3% termasuk kategori sedang. Ke depan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani kedelai, perlu upaya peningkatan penerapan teknologi terutama penggu-naan benih bermutu, varietas unggul, pengaturan populasi, pemupukan spesifik, penggupenggu-naan pupuk organik, pembuatan saluran drainase, serta penerapan PHT dalam pengendalian OPT. Upaya peningkatan adopsi dapat dilakukan dengan membenahi kelembagaan usahatani pendukung di pedesaan.

Kata kunci: adopsi, PTT, kedelai

ABSTRACT

The study of adoption soybean ntegrated Crop Management technology at Southeast Sulawesi. Soybean is one of the strategic food commodities in Indonesia that the demand is increasing. Indonesian government was conducted some programs to increase domestic production such us application of soybean ICM technology. The study was conducted to determine the level of adoption of soybean ICM technology in Southeast Sulawesi. The study was done by using survey method for 45 respondents in two subdistrics at South Konawe in June–July 2011. The result of study showed that soybean farming is one of the farmer income sources with extensive land cultivation ranged from 0.5 to 2 ha. Cultivation of soybean based ICM technology has not been fully implemented, so that the productivity of soybean that have got still low ranged from 400–1,240 kg/ha. The rate of adoption of the technology is about 60.83% that mean level of adoption is moderate. Partially, land preparation technology have value of adoption is 83.6 and the implementation of harvest and post-harvest have value of adoption is 84.4, that mean adoption rate was includ in the high adoption category. Meanwhile, other soybean ICM technologies show the adoption level was include in the middle adoption category. For the next, to increase farmer soybean incomes and welfare it is necessary to increase the application of ICM technology, especially the use of quality seeds, high yielding varieties, adjust of population, specific fertilization, use of organic fertilizers, drainage channels, as well as the application of IPM principles in pest control. Besides that supporting from institutional farmer should be reguired.

(2)

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia. Dengan kedudukan kedelai sebagai komoditas palawija yang kaya akan kandungan protein nabati yang pemanfaatannya memiliki kegunaan yang beragam, terutama sebagai bahan baku industri makanan (tahu, tempe, tauco dan susu kedelai) dan bahan baku industri pakan ternak. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein 30–50%, dan lemak 15–25% dan beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam fitat) dan lesitin. Tanaman kedelai dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai industri makanan, minuman, pupuk hijau dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

Upaya peningkatan produksi kedelai nasional terus dilakukan, baik melalui perluasan areal pertanaman maupun dengan upaya peningkatan produktivitas. Badan Litbang Pertanian telah merilis berbagai teknologi mulai dari varietas unggul baru, teknnik budi-daya hingga panen dan pascapanen. Rangkaian teknologi tersebut di kenal dengan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT).

PTT kedelai merupakan suatu pendekatan yang dilaksanakan secara terintegrasi antar semua komponen teknologi, baik yang bersifat teknologi dasar yaitu : (a) penggunaan varietas unggul baru; (b) penggunaan benih bermutu dan berlabel; (c) pembuatan saluran drainase; (d) pengaturan populasi, dan (e) pengendalian organism pengganggu tanaman secara terpadu, maupun teknologi pilihan yaitu (a) penyiapan lahan; (b) pemupukan sesuai kebutuhan; (c) pemberian bahan organik; (d) ameliorant pada tanah masam; (e) pengairan pada tanah masam, dan (f) panen dan pascapanen (Badan Litbang Pertanian, 2009).

Meskipun telah merilis teknologi dan telah didiseminasikan kepada petani secara luas melalui program SLPTT kedelai, namun penerapan teknologi di tingkat petani relative masih terbatas. Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi tersebut belum semuanya diadopsi petani. Agar teknologi baru digunakan oleh petani, diperlukan berbagai upaya untuk meyakinkan mereka, karena petani dengan keberagamannya (perintis, pelopor, penganut dini, penganut lambat, bahkan yang kolot) memerlukan pendekatan yang beragam oleh penyuluh untuk meyakinkannya. Partisipasi aktif petani dan pengguna lainnya, bahkan peran petugas lapang akan mempercepat proses adopsi inovasi teknologi tersebut.

Adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Proses adopsi inovasi menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses ini banyak faktor yang mempengaruhinya. Diadopsinya suatu inovasi diharapkan akan menyebar ke petani lain atau calon adopter. Ada tiga hal yang diperlukan bagi calon adopter dalam kaitannya dengan proses adopsi inovasi yaitu: 1) adanya pihak lain yang telah mengadopsi, 2) adanya proses adopsi yang berjalan sistematis sehingga dapat diikuti oleh calon adopter, dan 3) adanya hasil adopsi yang menguntungkan (Zakaria, 2010).

Menurut Soekartawi (1988), petani biasanya tidak menerima begitu saja ide-ide baru pada saat pertama kali mendengarnya. Selanjutnya Rogers (1995) menyatakan, kecepatan adopsi merupakan kecepatan relatif diadopsinya suatu inovasi oleh anggota-anggota sistem social, yang dipengaruhi oleh beberapa sifat inovasi, yaitu:

1. Keunggulan relatif, persepsi bahwa suatu inovasi dipandang lebih baik banding ide sebelumnya,

2. Kompabilitas, sejauh mana inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan penerima,

(3)

3. Kompleksitas, persepsi tentang derajat kesulitan untuk memahami dan menggunakan suatu inovasi, kompleksitas inovasi tidak boleh menghambat adopsinya,

4. Triabilitas, tingkat dimana suatu inovasi dapat dicoba dengan skala kecil, dan

5. Observabilitas, tingkat dimana hasil-hasil inovasi dapat dilihat dan dikomunikasikan oleh orang lain.

Adopsi inovasi merupakan suatu keputusan mental atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsinya. Proses adopsi melalui beberapa tahapan yaitu kesadaran (awareness), perhatian (interest) penaksiran (evaluation), percobaan (trial), adopsi (adopsi), konfirmasi (confirmation) (Mundy 2000), Ray (1988) dalam Alam (2010) dan Hanafi (1987).

Proses adopsi inovasi dalam penyuluhan secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1 Mardikanto (1993).

Gambar 1. Proses adopsi inovasi dalam penyuluhan.

Proses adopsi membutuhkan waktu karena merupakan proses mental atau perubahan perilaku, baik dalam aspek pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keteram-pilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi melalaui berbagai sarana komunikasi dan penyuluhan sampai memutuskan untuk mengadopsinya setelah menerima inovasi, yang dapat dilihat dari tingkat penerapan teknologi tersebut di lahan pertanian mereka (Rogers 1995; Soekartawi 1988; dan Mardikanto dan Sutarmi 1983).

Tingkat adopsi teknologi pada dasarnya juga dipenguruhi oleh karakteristik wilayah. Di Sulawesi Tenggara usahatani kedelai merupakan salah satu pilihan komoditas yang diusahakan, baik di lahan sawah maupun lahan kering. Hingga 2011 luas areal kedelai mencapai 5.814 ha. Produktivitas yang diperoleh sebesar 1,06 t/ha. Berdasarkan hal tersebut, maka menarik untuk dilakukan kajian mengenai tingkat adopsi teknologi PTT kedelai di Sualwesi Tenggara.

METODOLOGI

Penelitan dilakukan di Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Juni – Juli tahun 2011 dengan menggunakan survei terhadap 45 orang responden di dua kecamatan yaitu Pallangga dan Lainea.

Untuk menganalisis tingkat adopsi teknologi PTT kedelai digunakan analisis sebagai berikut:

(4)

Jumlah Skor

Tingkat Adopsi = x 100%

Skor Ideal

di mana: Jumlah Skor = jumlah skor penilaian yang dicapai Skor ideal = nilai skor ideal maksimum

Komponen teknologi PTT kedelai yang menjadi obyek pengukuran tingkat adopsi teknologi yaitu (Deptan 2009):

1. Varietas Unggul baru. 2. Benih bermutu dan berlabel. 3. Pembuatan saluran drainase 4. Pengaturan populasi tanaman

5. Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT. 6. Penyiapan Lahan

7. Pemupukan sesuai kebutuhan tanaman 8. Pemberian pupuk organik

9. Panen dan pascapanen

Penggolongan tingkat adopsi teknologi dibagi dalam tiga kategori, yaitu tinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan rumus interval klas dengan rumus sebagai berikut (Sri Bananiek 2012):

Xn – Xi C =

K

C = Interval kelas; Xn = skor maksimum; Xi = skor minimum, dan K = jumlah kelas

Berdasarkan ketentuan pada rumus, diperoleh kategori tingkat adopsi rendah, sedang dan tinggi, dimana skor terendah adalah 0,00 dan skor tertinggi adalah 100,00. Selanjutnya dapat ditentukan tingkat adopsi rendah, sedang dan tinggi sebagai berikut:

ƒ Adopsi rendah, apabila skor tingkat adopsi berada antara 0,00 – 33,00

ƒ Adopsi sedang, apabila skor tingkat adopsi berada antara 34,00 – 67,00

ƒ Adopsi tinggi, apabila skor tingkat adopsi berada antara 68,00 – 100,00

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Usahatani Kedelai

Usahatani kedelai merupakan salah satu usahatani penting bagi masyarakat di Keca-matan Pallangga dan Tinanggea, khususnya bagi masyarakat transmigran dari Jawa. Usahatani kedelai telah digeluti cukup lama. Usahatani kedelai di usahakan baik pada lahan kering (70%) maupun pada lahan sawah (30%). Luas pengusahaan lahan per KK berkisar antara 1–2 ha. Mengenai varietas yang digunakan masih variatif, ada yang masih menggunakan varietas yang di lepas tahun 1980-an yaitu Orba dan Galunggung (17%), dan sebagian juga telah menggunakan varietas unggul baru misalnya Wilis, Anjasmoro, Burangrang dan Argomulyo (83%). Dari sisi penerapan teknologi budidaya untuk peng-olahan lahan dilakukan secara sempurna, jarak tanam yang digunakan adalah 15–20 x 40 cm. Penerapan teknologi pemupukan masih variatif, di mana sekitar 34% petani

(5)

respon-den telah meggunakan pupuk NPK secara lengkap berdasrkan rekomendasi, sebanyak 66% hanya menggunakan Urea untuk pengendalian organisme penggangu tanaman masih menggunakan keampuhan pestisida. Penerapan teknologi yang terbatas tersebut menyebabkan produktivitas yang dicapai juga relatif masih rendah. Produktivitas yang dicapai berkisar antara 400–1.240 kg/ha.

Tingkat Adopsi Teknologi

Tingkat penerapan teknologi pada usahatani kedelai mencerminkan tingkat adopsi teknologi PTT oleh petani. Hasil analisis tingkat adopsi adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Hasil analisis tingkat adopsi menunjukkan bahwa secara kualitas tingkat adopsi teknologi PTT kedelai termasuk dalam kategori adopsi sedang dengan nilai skor rata-rata 60,83%, artinya dari yang diharapkan tingkat adopsi teknologi PTT kedelai sebesar 100%, hanya sebanyak 60,83% yang dapat diadopsi oleh petani responden, masih terdapat 39,17% yang belum diadopsi oleh petani. Hasil ini menjelaskan bahwa teknologi anjuran dalam PTT kedelai sebagian besar telah cukup diterima oleh petani.

Dari keseluruhan teknologi PTT kedelai, hanya teknologi penyiapan lahan dan teknologi panen dan pascapanen yang tingkat adopsinya tinggi. Hal ini karena teknologi pengolahan lahan yang digunakan petani pada umumnya adalah dengan menggunakan traktor, sehingga proses penyiapan lahan dapat berjalan secara sempurna. Sementara itu teknologi panen dan pascapanen dapat diadopsi dengan baik karena dalam pelaksanaan panen kedelai pada umumnya tidak menjadi masalah utama, karena tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak, sementara untuk perontokan telah menggunakan mesin perontok. Dalam pascapanen kedelai yang belum sepenuhnya dilakukan adalah sortasi dan pengeringan hingga kadar air mencapai maksimal 12%. Teknologi dirasakan masih berat oleh petani dan pada umumnya pedagang tidak mempersoalkan mengenai kadar air yang tepat, karena sebagian besar kedelai yang dipasarkan langsung diolah menjadi tahu atau tempe.

Tabel 1. Analisis tingkat adopsi per komponen teknologi PTT kedelai di Sulawesi Tenggara tahun 2011.

No. Komponen teknologi PTT ajuran Skor (%) Kategori

1. Varietas unggul baru. 63,3 Sedang

2. Benih bermutu dan berlabel. 53,3 Sedang 3. Pembuatan saluran drainase 57,3 Sedang 4. Pengaturan populasi tanaman 61,3 Sedang 5. Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT 48, 7 Sedang

6. Penyiapan lahan 83,6 Tinggi

7. Pemupukan sesuai kebutuhan tanaman 54,7 Sedang

8. Pemberian pupuk organik 43,3 Sedang

9. Panen dan pascapanen 84, 4 Tinggi

Rata-rata 60,83 Sedang

Selanjutnya teknologi varietas unggul dan benih bermutu belum teradopsi dengan baik, karena petani kesulitan dalam mengakses sumber benih bermutu. Selama ini varietas

(6)

unggul dan benih bermutu hanya diperoleh dari program pemerintah misalnya SLPTT kedelai. Mengenai teknologi Teknologi pengaturan populasi belum sepenuhnya diadopsi, di mana jarak tanam njuran yaitu 10–15 x 40 cm (Deptan, 2009) sementara di tingkat petani jarak tanam yang digunakan berkisar antara 15–20 x 40 cm. Menyangkut pene-rapan teknologi pembuatan saluran drainase pada umumnya telah dilakukan meskipun belum sempurna. Saluran drainase hanya dibuat sebagai petakan dengan jarak berkisar 5– 8 m.

Menyangkut teknologi pengendalian OPT sepenuhnya masih bertumpu pada kehandalan pestisida. Khususnya untuk pengendalian hama dan penyakit terutama hama pengisap polong dan penyakit hawar daun yang banyak menyerang pertanaman kedelai di Sulawesi Tenggara, petani senantiasa menggunakan pestisida tanpa adanya penga-matan dan monitoring perkembangan hama dan penyakit tersebut. Demikian pula halnya dengan pengendalian, pada umumnya juga menggunakan herbisida.

Teknologi pemupukan belum optimal diadopsi karena adanya belum massifnya sosiali-sasi mengenai teknologi pemupukan spesifik, selain itu petugas lapangan (PPL) tidak memiliki alat PUTS atau PUTK yang cukup untuk menganalisis keseluruhan lokasi perta-naman kedelai. Di samping itu ada stigma di kalangan beberapa petani kedelai bahwa tanaman kedelai tidak membutuhkan pupuk, bahkan jika dibeikan pupuk akan menye-babkan tanaman tidak dapat berbuah. Takaran pupuk yang banyak digunakan adalah pupuk majemuk NPK sebesar 150–200 kg/ha. Penggunaan pupuk organik juga kurang diadopsi, selain karena keterbatasan ketersediaan pupuk tersebut di lapangan, juga petani cenderung menggunakan pupuk an organik, karena dosis penggunaan pupuk organik volumenya cukup besar, sehingga petani mengalami kesulitan dalam penerapannya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Zakaria A.K (2010) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mungkin menjadi lambatnya adopsi teknologi oleh petani, yaitu: (1) petani masih meragukan tingkat keberhasilan teknologi yang dianjurkan; (2) petani belum mampu menerapkan komponen teknologi secara tepat dan lengkap karena dihadapkan pada keterbatasan modal dan tenaga kerja; (3) pelaksanaan kegiatan penyuluhan tentang kehandalan paket teknologi belum optimal; (4) petani masih ada yang menjual kedelai dengan sistem tebasan, sehingga nilai tambah dari paket teknologi tidak dapat dirasakan manfaatnya, dan (5) kenaikan nilai tambah produksi dan keuntungan dari penerapan teknologi kurang signifikan dibanding tanaman lain. Pada dasarnya, adopsi teknologi yang paling mudah bagi petani adalah dari komponen varietas unggul yang tingkat produkti-vitasnya lebih tinggi. Akan tetapi adopsi varietas pun seringkali dihambat oleh keterse-diaan benihnya sebagai akibat karena belum berkembangnya industri kedelai yang me-nyediakan benih bermutu.

KESIMPULAN

1. Usahatani kedelai merupakan salah satu komoditas sumber penghasilan responden, di mana luas pengusahaan lahan berkisar antara 0,5–2 ha. Oleh karena penerapan teknologi budidaya belum sepenuhnya diterapkan, sehingga produktivitas kedelai yang diperoleh bervariasi mulai dari 400–1.240 kg/ha.

2. Tingkat adopsi terhadap teknologi kedelai adalah sekitar 60,83%, atau tergolong sedang.

3. Secara parsial komponen teknologi penyiapan lahan dan pelaksanaan panen dan pascapanen nilai adopsinya >67% sehingga tingkat adopsinya termasuk kategori

(7)

tinggi. Sementara itu teknologi PTT kedelai lainnya tingkat adopsinya termasuk kate-gori sedang dengan nilai adopsi berkisar antara 43,3–63,3%.

DAFTAR PUSTAKA

Alam N., 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Petani Kakao dalam Adopsi Inovasi Teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi. Tesis Mahasiswa Program Pasca Parjana IPB. IPB Bogor.

Badan Litbang Pertanian. 2009. Pedoman Umum PTT Kedelai. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Hanafi A. 1987. Memahami Komunikasi Antar Manusia. Surabaya: Usaha Nasional.

Hendayana R., Y.A. Dewi dan M. Syarwani. 2009. Peran BBP2TP Dalam Penyediaan Inovasi Pertanian Mendukung Program Strategis Departemen Pertanian. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi di Perdesaan. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.

Hendayana, R dan Saliem, H. P. 1997. Determinan Adopsi Sistem Tanam Benih Langsung (TABELA) dalam Pengkajian SUTPA: Kasus SUTPA di Propinsi Jawa Timur dan Lampung. Jurnal Agro Ekonomi 9 (1&2): 61–75. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian

Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Rogers EM, Shoemaker FF. 1995. Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach. New Edition. New York: The Free Press.

Soekartawi, 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Pertanian Kecil. Rajawali Press, Jakarta.

Bananiek S.S. 2010. Adopsi Teknologi dan Dampak Penerapan Teknologi PTT terhadap Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Konawe. Tesis Mahasiswa S2. Universitas Haluoleo. Kendari

Zakaria A.K. 2010. Dampak Penerapan Teknologi Usahatani Kedelai di Agrosistem Lahan Kering terhadap Pendapatan Petani. Jurnal Agrika 4(2). Fakultas Pertanian Universitas widyagama. Malang.

Purwanto, D. 2012. 70 persen kebutuhan kedelai RI masih impor. http://www.kompas.com (30 maret 2013).

Gambar

Gambar 1. Proses adopsi inovasi dalam penyuluhan.
Tabel 1.  Analisis tingkat adopsi per komponen teknologi PTT kedelai di Sulawesi Tenggara tahun  2011

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah terdapat pengaruh latihan jogging dengan treadmill terhadap denyut nadi istirahat pada ibu-ibu anggota fitness centre Yayasan

Senyawa dominan yang terkandung pada bio-oil tandan kosong sawit dengan penggunaan rasio berat katalis Ni/NZA 7% dan rasioi kadar logam 3% terlihat pada Tabel

Keunggulan dari salah satu produk TDR yakni Cylinder Block adalah terbuat dari bahan aluminium berkualitas tinggi yang dapat melepaskan panas mesin dengan cepat sehingga suhu

Hipotesa 3: Dalam perhitungan mereka, siswa di kelas kontrol hampir tidak memanfaatkan contoh yang terdapat di buku maupun di dalam pelajaran, namun siswa di kelas

Rendahnya hasil belajar kognitif dalam pembelajaran IPA juga diduga disebabkan oleh faktor: (1) masih banyaknya permasalahan- permasalahan pembelajaran khususnya

Variabel dependen adalah kejadian NIHL dan variabel independen intensitas kebisingan ruang mesin kapal dan karakteristik subjek yang meliputi usia, lama paparan, masa kerja,

Harahap (2003) berpendapat bahwa berdasarkan AAOIFI terdapat beberapa aspek yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang seharusnya dilaporkan seperti: 1) Informasi

Penelitian ini menggunakan teori Belajar Sosial ( Social Learning Theory ) yang menjelaskan dalam proses belajar sosial, individu selalu mengumpulkan informasi dan