• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORI. 1. Pengertian Strategi Penyesuaian Sosial. merupakan makhluk sosial. Abraham Maslow (dalam Kartono, 1992)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORI. 1. Pengertian Strategi Penyesuaian Sosial. merupakan makhluk sosial. Abraham Maslow (dalam Kartono, 1992)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Strategi Penyesuaian Sosial

1. Pengertian Strategi Penyesuaian Sosial

Keberadaan manusia memiliki fungsi yang berbeda dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Selain terlahir sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Abraham Maslow (dalam Kartono, 1992) menyebutkan ada lima macam kebutuhan manusia, yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Dari tingkatan tersebut, kebutuhan sosial pada diri manusia menempati urutan yang ketiga dari lima macam hirarki yang disusunnya. Pada kebutuhan sosial, manusia memperolehnya dengan cara berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ditempatinya.

Istilah strategi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) adalah ilmu tentang siasat, atau rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Penyesuaian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) adalah proses, cara atau perbuatan menyesuaikan terhadap suatu hal/keadaan. Sosial adalah berhubungan dengan masyarakat umum. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi penyesuaian sosial adalah rencana yang cermat mengenai proses menyesuaikan diri seseorang terhadap sesuatu keadaan yang berhubungan dengan orang lain.

(2)

Menurut Chaplin (1995) strategi penyesuaian sosial adalah suatu cara menjalin hubungan secara harmonis dengan lingkungan sosial, atau suatu teknik yang digunakan untuk mempelajari pola tingkah laku yang diperlukan untuk mengubah kebiasaan yang ada, sehingga sesuai bagi satu kehidupan masyarakat tertentu.

Strategi penyesuaian sosial adalah suatu proses yang terus-menerus berlangsung dan selalu berubah dalam kaitannya dengan interaksi individu yang bersangkutan dengan orang lain, peristiwa-peristiwa yang dialami dan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi kehidupannya, seperti teman-teman, keluarga, kondisi fisik dan proses penuaan dalam lingkungan. Faktor-faktor ini secara berkesinambungan akan terus mengalami perubahan selama rentang kehidupan. Dengan strategi penyesuaian sosial yang tepat maka seseorang dapat menjalankan fungsinya dalam masyarakat, hubungan sosial, pelaksanaan tugas-tugas, serta perasaan subyektif mengenai kepuasan dan kesenangan hidupnya akan dapat berlangsung dengan baik (Dwiyanti, 2003).

Schneiders (1964) berpendapat "Social adjustment signifies the capacity to react evvectively and wholesomely to social realities, situations so that the requirements for social living are fulfilled in a acceptable and satisfactory manner".

Pendapat tersebut bermakna bahwa di dalam penyesuaian sosial adalah dilihat dari sejauh mana individu mampu menanggapi situasi, hubungan dan realitas sosial secara sehat, efektif, oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada setiap individu sebagai suatu kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan

(3)

tersebut individu akan mampu mengadakan suatu strategi penyesuaian sosial yang tepat tanpa menimbulkan konflik yang berarti.

Hal ini sependapat dengan yang dikemukakan oleh Gerungan (2000) bahwa di dalam penyesuaian individu dituntut untuk mampu mengadakan cara penyesuaian yang baik tanpa menimbulkan konflik bagi diri sendiri maupun masyarakat. Hal senada diungkapkan oleh Walgito (1990) yang berpendapat bahwa di dalam hubungan sosial ini individu satu dengan lainnya saling mempengaruhi, sehingga setiap individu akan menerima nilai-nilai dan menyesuaikan dengan norma sosial yang berlaku.

Menurut Hurlock (2000), penyesuaian sosial merupakan wujud penyesuaian diri seseorang terhadap kehidupan sosialnya. Gerungan (2000) mengartikan penyesuaian sosial dalam dua kategori, yakni mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan yang disebut autoplastis (dibentuk sendiri), dan pengertian kedua mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan atau keinginan diri yang disebut aloplastis (dibentuk oleh yang lain).

Proses penyesuaian sosial manusia dalam kelompok berperan sesuai dengan jenis kelaminnya merupakan bagian normal dalam proses perkembangan, sehingga tidak seorang pun menganggapnya sebagai masalah. Akibat dari proses tersebut terbentuklah stereotip jenis kelamin yang secara tidak langsung disetujui oleh anggota kedua jenis kelamin dalam suatu lingkungan, bergantung pada apa saja yang dihargai untuk lingkungan tersebut (Hurlock, 1999).

(4)

Hurlock (2000) mengartikan strategi penyesuaian sosial sebagai keberhasilan seseorang melakukan suatu cara untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan orang lain (baik teman maupun orang yang tidak dikenal), sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan. Biasanya orang yang dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik dapat mengembangkan sikap sosial yang menyenangkan, seperti kesediaan untuk membantu orang lain meskipun mereka sendiri tidak merasa kesulitan. Dalam hal ini mereka tidak hanya peduli pada kepentingan dan kebutuhannnya sendiri, melainkan lebih kepada orang lain.

Hurlock (1999) menambahkan bahwa untuk melakukan penyesuaian sosial yang baik bukanlah hal yang mudah. Akibatnya banyak individu yang kurang dapat menyesuaikan diri, baik secara sosial maupun pribadi. Perkembangan pribadi, sosial dan moral yang dimiliki seseorang menjadi dasar untuk memandang diri dan lingkungannya di masa-masa selanjutnya.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan strategi penyesuaian sosial adalah sejauh mana individu bereaksi secara sehat dan efektif terhadap kenyataan dan situasi sosial serta terhadap hubungan sosial dengan orang lain dan dapat menyusun rencana yang cermat untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial dalam

(5)

juga bahwa di dalam melakukan strategi penyesuaian sosial individu mengadakan interaksi dengan lingkungan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan berhubungan dengan orang lain yang merupakan sifat dan kodrat manusia. Di dalam hubungan sosial tersebut individu satu dengan lainnya saling mempengaruhi sehingga setiap individu akan menerima nilai-nilai dan menyiapkan strategi yang tepat untuk dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang berlaku.

2. Kriteria Penyesuaian Sosial

Schneiders (1964) mengatakan bahwa individu dikatakan memiliki penyesuaian yang baik bila mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan keluarga dan masyarakat secara baik. Kegagalan melakukan penyesuaian akan berakibat satu sama lain. Ada lima kriteria yang digunakan untuk mengungkap penyesuaian sosial yang baik yaitu :

a. Bersedia mengakui dan menghormati hak orang lain.

b. Belajar untuk hidup bersama dan menumbuhkan persahabatan dengan orang lain.

c. Bersedia berpartisipasi dalam aktivitas sosial. d. Memperhatikan kesejahteraan orang lain.

e. Menghormati nilai hukum, kebiasaan dan tradisi sosial yang ada di masyarakat.

(6)

Hurlock (1999) menyatakan bahwa untuk menentukan sejauh mana penyesuaian sosial seseorang dapat diterapkan empat kriteria, dan penerapan salah satu kriteria saja tidak akan memadai. Keempat kriteria tersebut adalah : a. Penampilan nyata.

Bila perilaku sosial seseorang seperti yang dinilai berdasarkan standar kelompoknya memenuhi harapan kelompoknya, maka dia akan menjadi anggota yang diterima di kelompoknya.

b. Penyesuaian diri dalam berbagai kelompok.

Seseorang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok, secara sosial dianggap sebagai orang yang dapat menyesuaikan dirinya dengan baik.

c. Sikap sosial.

Seseorang harus menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, terhadap partisipasi sosial, dan terhadap perannya dalam kelompok sosial, bila ingin dinilai sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial.

d. Kepuasan pribadi.

Untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, seseorang harus merasa puas dengan kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota.

(7)

menghormati hak orang lain, belajar untuk hidup bersama dan menumbuhkan persahabatan dengan orang lain, mau berpartisipasi dalam aktivitas sosial, memperhatikan kesejahteraan orang lain, dan menghormati nilai hukum, kebiasaan dan tradisi sosial yang ada di masyarakat. Sedangkan kriteria penyesuaian sosial adalah penampilan nyata, penyesuaian diri dalam berbagai kelompok, sikap sosial, dan kepuasan pribadi.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial

Menurut Hurlock (1999) penyesuaian sosial merupakan sebuah proses panjang yang dilalui oleh tiap individu untuk mendapatkan keseimbangan dalam lingkungan sosialnya. Banyak faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian sosial, diantaranya:

a. Tingkat Pendidikan dan Intelegensi.

Individu yang mempunyai tingkat pendidikan dan intelegensi yang tinggi cenderung dapat melakukan kemampuan komunikasi yang baik. Dan seseorang yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik, biasanya diikuti dengan tingkat pendidikan dan intelegensi yang tinggi pula. Calvin (dalam Arifah, 2005) juga menyebutkan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

Suatu penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang diterima oleh lingkungan sosialnya mempunyai ranking tertinggi (25% dari nilai yang tertinggi) di sekolah atau dikantornya, sedangkan orang yang ditolak adalah

(8)

25% ke bawah, dengan catatan bahwa orang yang ditolak mempunyai hubungan dengan orang lain yang tidak begitu baik (Hurlock, 1999).

Menurut Branca (dalam Sunarni, 2000) intelegensi adalah kecakapan untuk menyesuaikan diri secara memadai dengan lingkungan, kecakapan tersebut meliputi kecakapan menggunakan simbol, berhitung, mempelajari konsep baru, mengingat dan menyimpan hal-hal yang telah dipelajari juga kecakapan mengadakan interaksi sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa intelegensi seseorang memegang peranan penting dalam proses penyesuaian sosial.

b. Keadaan Fisik.

Keadaan fisik sangat mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang. Adanya cacat fisik atau penyakit tertentu sering menjadi latar belakang terjadinya hambatan-hambatan sosial. Matches dan Kahn (dalam Hurlock, 2000) mengatakan bahwa dalam interaksi sosial, penampilan fisik yang menarik merupakan potensi yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan untuk memperoleh berbagai hasil yang menyenangkan bagi pemiliknya. Salah satu keuntungan yang sering diperoleh ialah orang tersebut mudah berteman. Orang-orang yang menarik lebih mudah diterima dalam pergaulan dan dinilai lebih positif oleh orang lain dibandingkan orang yang kurang menarik. Karena banyak hal positif yang disebabkan oleh penampilan yang menarik ini, maka orang tersebut lebih mudah menyesuaikan diri daripada yang kurang menarik.

(9)

c. Karakteristik Kepribadian.

Karakteristik kepribadian seseorang akan dapat mempengaruhi dalam melakukan penyesuaian sosial, antara lain tipe kepribadian, motivasi dari dalam dirinya, dan penerimaan dirinya (Hurlock, 1999). Hurlock menambahkan bahwa penerimaan diri seseorang turut menentukan keberhasilan penyesuaian sosial seseorang, karena seseorang yang menolak dirinya atau tidak menyukai dirinya akan menjadi kurang mampu menyesuaikan diri secara baik dan merasa tidak bahagia.

d. Jenis Kelamin.

Selain itu lingkungan masyarakat yang memberikan stereotip tertentu pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang menyebabkan terjadinya perbedaan status sosial, misalnya sikap laki-laki yang menentang peraturan cenderung lebih diterima dibanding jika dilakukan oleh perempuan. Lebih lanjut Ashmore (dalam Sears, 1994) menyebutkan bahwa stereotip jenis kelamin merupakan keyakinan tentang sifat kepribadian laki-laki dan perempuan, yang memberikan gambaran mengenai ciri-ciri dari anggota suatu kelompok sosial.

Dalam segi psikologis, Suryabrata (dalam Sunarni, 2000) mengatakan bahwa laki-laki biasanya lebih bersifat intelektual dan abstrak, sedangkan perempuan lebih bersifat pasif, menerima dan minatnya lebih tertuju pada hal-hal yang bersifat emosional dan konkret. Perempuan mempunyai tendensi neurotis yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, walaupun telah diberikan kesempatan yang sama.

(10)

Suryabrata (dalam Untari, 2001) menyatakan bahwa dalam lingkungan sosial pada umumnya, laki-laki mendapat kebebasan lebih banyak. Laki-laki cenderung lebih bebas, lebih berkuasa, lebih berani menentang segala peraturan yang ada. Sebaliknya, perempuan lebih banyak terikat pada keluarga dan mempunyai kecenderungan lebih patuh dan menerima aturan yang berlaku. Perempuan juga lebih mudah menghayati perasaan orang lain dan merasa lebih senang bersama dan menciptakan hubungan yang erat dengan teman-temannya.

e. Pengalaman Sosial Pada Masa Kanak-kanak.

Freud (dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa pengalaman sosial awal (masa kanak-kanak) memegang peranan penting dalam membentuk penyesuaian sosial yang baik pada masa remaja dan masa selanjutnya. Penyesuaian sosial tersebut merupakan suatu proses yang berkesinambungan, di mana keberhasilan individu dalam melakukan penyesuaian sosial pada fase sebelumnya berpengaruh terhadap keberhasilan penyesuaian sosial individu pada fase berikutnya.

f. Kondisi Psikologis.

Individu yang sehat dan matang secara psikologis akan dapat menyelaraskan dorongan-dorongan internalnya dengan tuntutan-tuntutan yang berasal dari lingkungan. Bahkan tidak hanya itu, individu tersebut akan berusaha memenuhi tuntutan tersebut (Hurlock, 1999).

(11)

g. Kondisi Keluarga.

Hurlock (1999) menyatakan bahwa kondisi keluarga yang menimbulkan kesulitan bagi seseorang dalam penyesuaian sosial adalah sebagai berikut:

(a) Pola Perilaku Sosial Yang Buruk Di rumah.

Bila pola perilaku sosial yang buruk dikembangkan di rumah, seseorang akan menemui kesulitan untuk melakukan penyesuaian sosial yang baik di luar rumah, meskipun dia diberi motivasi kuat untuk melakukannya.

(b) Kurangnya Model Perilaku Yang Ditiru.

Bila rumah kurang memberi model perilaku untuk ditiru, individu akan mengalami hambatan yang serius dalam penyesuaian sosialnya di luar rumah. Individu yang ditolak oleh keluarganya akan mengembangkan kepribadian yang tidak stabil, agresif, yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan yang penuh dendam atau bahkan kriminalitas.

(c) Kurangnya Motivasi Untuk Belajar.

Kurangnya motivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial sering timbul dari pengalaman sosial awal yang tidak menyenangkan baik di dalam maupun di luar rumah. Sebagai contoh, individu yang selalu diganggu oleh orang lain, atau diperlakukan sebagai orang yang tidak dikehendaki dalam kehidupan mereka, tidak akan memiliki motivasi kuat untuk melakukan penyesuaian sosial yang baik di luar rumah.

(12)

(d) Kurangnya Bimbingan dari Orang Tua / Orang Dewasa Lainnya.

Meskipun memiliki motivasi yang kuat untuk belajar melakukan penyesuaian sosial yang baik, namun tidak memperoleh dukungan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar ini, maka individu tersebut mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosialnya.

h. Keadaan Lingkungan.

Keadaan lingkungan yang baik, damai dan penuh penerimaan dan memberikan perlindungan kepada anggota masyarakatnya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian individu (Hurlock, 1999). Dalam aliran empirisme yang dikembangkan oleh John Locke (dalam Untari, 2001) juga diterangkan bahwa segala sesuatu memerlukan proses belajar, yakni dari lingkungan yang turut membentuk karakter dan perkembangan individu.

i. Kebudayaan dan Agama.

Hurlock (1999) menyatakan bahwa kebudayaan secara langsung atau tidak langsung berpengaruh pada pembentukan tingkah laku individu. Kebudayaan memudahkan atau bahkan menyulitkan penyesuaian sosial individu. Individu yang dapat bertingkah laku sesuai dengan budaya yang berlaku akan mudah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut. Demikian halnya dengan agama, sebagai sarana untuk mengurangi konflik, frustrasi dan ketegangan psikis lainnya akan memberi rasa aman bagi individu dalam penyesuaiannya.

(13)

Jalaludin (dalam Arifah, 2005) juga menyebutkan bahwa semakin kuat tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat akan semakin besar pengaruh dominannya dalam kebudayaan.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada sembilan faktor penting yang mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang, yaitu tingkat pendidikan dan intelegensi, keadaan fisik, karakteristik kepribadian, jenis kelamin, pengalaman sosial pada masa kanak-kanak, kondisi psikologis, kondisi keluarga, kondisi lingkungan, dan kebudayaan dan agama.

4. Kriteria Strategi Penyesuaian Sosial

White (dalam Watson, 1989) menjelaskan bahwa ada tiga kriteria strategi penyesuaian sosial, yaitu ;

a. Mendapatkan cukup informasi tentang lingkungan. Artinya individu harus memiliki cukup informasi tentang lingkungan agar dapat mengadakan respon yang memadai. Jika tindakan yang dilakukan hanya berdasarkan informasi yang terlalu kecil, maka hal tersebut dapat mengacaukan atau merugikan beberapa pihak. Terlalu banyak informasi akan mengakibatkan kebingungan yang individu tidak dapat bergerak dengan bebas.

b. Memelihara atau mempertahankan kondisi internal yang diperlukan individu untuk melakukan tindakan serta untuk memproses informasi. Seperti perasaan tenang dalam menghadapi suatu permasalahan.

(14)

c. Menjaga kebebasan bertindak. Ini merupakan hal yang paling fungsional, yang terpenting tindakan yang dilakukan tidak mengganggu kriteria yang lain.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria strategi penyesuaian sosial diantaranya adalah bahwa individu harus mendapatkan cukup informasi tentang kondisi lingkungan, mampu mempertahankan kondisi internal dalam dirinya, serta menjaga kebebasan diri dalam bertindak agar tidak berakibat buruk.

5. Macam Strategi Penyesuaian Sosial

Watson (1989) menjelaskan bahwa pada intinya, setiap pilihan yang potensial dapat dilihat sebagai suatu strategi penyesuaian sosial. Ada beberapa macam strategi penyesuaian sosial yang dapat dilakukan oleh individu dalam menghadapi masalah kehidupan bermasyarakat, antara lain:

a. Dengan mendekati langsung ke masyarakat tersebut. Resikonya adalah kemungkinan dapat terjadi konfrontasi mendadak dengan masyarakat tersebut. Strategi yang baik dalam hal pemenuhan informasi karena individu tampak tenang, juga merupakan strategi yang buruk karena cenderung membatasi daripada memperluas kebebasan gerak.

b. Mendekati dan mendengarkan benar-benar untuk mencari tahu sekaligus menjaga jarak agar memperkecil kemungkinan munculnya permasalahan mendadak. Strategi yang baik karena ketiga kriteria bertemu, yaitu

(15)

individu mendapatkan informasi yang dibutuhkan, tetap tenang dan masih memiliki alternatif lain.

c. Berbalik dan melarikan diri untuk menghindari permasalahan. Yaitu individu tersebut pergi dengan prasangka buruk, menarik diri dari pergaulan masyarakat atau melakukan sesuatu hal yang sama sekali baru dan tidak berhubungan dengan masyarakat, sebagai pelampiasan dan cara menghindari permasalahan. Ini merupakan strategi yang buruk karena individu tidak mendapatkan informasi, dan juga individu dalam keadaan panik.

d. Bersembunyi diam-diam dan tidak menampakkan diri, menerima serta membiarkan masyarakat tersebut menceritakan dirinya sebagai cara lain untuk menghindari konfrontasi. Ini adalah strategi yang buruk karena setelah individu mendapatkan informasi justru menjadi lumpuh total dan tidak melakukan tindakan apapun.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan ada empat strategi penyesuaian sosial yang dapat dilakukan individu dalam menghadapi permasalahan, yaitu: mendekati langsung ke sumber masalah, mendekati dan mendengarkan sekaligus menjaga jarak, melarikan diri dari masalah, atau bersembunyi. Dari keempat strategi penyesuaian sosial tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan; namun pada umumnya yang merupakan strategi yang baik adalah strategi pertama dan kedua, sedangkan strategi yang buruk adalah strategi ketiga dan keempat.

(16)

B. Tindik dan Tato

1. Pengertian Tindik dan Tato

Tindik atau piercing adalah menusuk suatu bagian anggota tubuh dengan alat sejenis jarum untuk dipasangi perhiasan yang dijadikan sebagai aksesoris atau suatu tanda (simbol) pada bagian tubuh tertentu yang memiliki makna tertentu (http://www.indonesiasubculture.com/pa01.html).

Di Indonesia, tradisi tindik biasa dilakukan warga Suku Asmat di Kabupaten Merauke dan Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Lelaki Asmat menusuk bagian hidung dengan batang kayu atau tulang belikat babi sebagai tanda telah memasuki tahap kedewasaan. Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun telinga sejak abad ke 17, tak sembarang orang bisa menindik diri. Hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik di kuping. Sedangkan kaum wanita Dayak mengenakan anting-anting pemberat untuk memperbesar cuping atau daun telinga, semakin cantik dan tinggi status sosialnya di masyarakat (Anggraeni, 1997).

Sekitar lima ribu tahun lampau, di Mesir, tindik di pusar menjadi ritual, tentara Romawi menindik putingnya untuk menunjukan kejantanannya, Suku Maya menindik lidah sebagai ritual spiritual, dan anggota kerajaan Victoria dahulu memilih menindik puting dan alat genitalnya. Model primitif inilah yang akhirnya banyak ditiru komunitas piercing di dunia. Keberadaan piercing di Indonesia hingga kini masih dianggap sebagai seni pinggiran.

(17)

kota-kota besar menjadikan piercing sebagai jalan hidup (Hatib Abdul Kadir Olong, 2006).

Kata tato berasal dari bahasa Tahiti, “tatu” yang berarti tanda. Tato yang merupakan bagian dari body painting adalah suatu produk dari kegiatan menggambar pada kulit tubuh dengan menggunakan alat sejenis jarum atau benda dipertajam yang terbuat dari flora dan hasil gambar tersebut dihias dengan pigmen berwarna-warni (Hatib Abdul Kadir Olong, 2006).

Tato (tatto) atau body painting atau rajah adalah simbol dari kulit tubuh yang digambar dengan menggunakan alat sejenis jarum, biasanya gambar atau simbol tersebut kemudian dihiasi dengan pigmen warna-warni dengan motif tertentu (http://www.indonesiasubculture.com/pa01.html).

Walaupun bukti-bukti sejarah tato ini tidak begitu banyak, tetapi para ahli mengambil kesimpulan bahwa seni tato ini sudah ada sejak 12.000 tahun SM. Jaman dahulu, tato semacam ritual bagi suku-suku kuno seperti Maori, Inca, Ainu, Polynesians, dan lain-lain. (Anggraeni, 1997).

2. Sebab-Sebab Tindik dan Tato

Penyebab suku bangsa di dunia memakai tindik dan tato menurut (Ady Rosa, 2006):

a. Bangsa Yunani kuno memakai tindik dan tato sebagai tanda pengenal para anggota dari badan intelijen mereka, alias mata-mata perang pada saat itu. Di sini tindik dan tato menunjukan pangkat dari si mata-mata tersebut.

(18)

b. Bangsa Romawi memakai tindik dan tato sebagai tanda bahwa seseorang itu berasal dari golongan budak, dan tato serta tindik juga dirajahi ke setiap tubuh para tahanannya.

c. Suku Maori di New Zealand membuat tindik dan tato berbentuk ukiran-ukiran spiral pada daun telinga, wajah dan pantat. Menurut mereka, ini adalah tanda bagi keturunan yang baik.

d. Di kepulauan Solomon, tato ditorehkan di wajah perempuan sebagai ritus untuk menandai tahapan baru dalam kehidupan mereka, sedangkan untuk tindik ditorehkan pada bagian sudut alis mata sebelah kiri.

e. Hampir sama seperti di atas, orang-orang Suku Nuer di Sudan memakai tindik dan tato untuk menandai ritus inisiasi pada anak laki-laki.

f. Orang-orang Indian melukis (tato) tubuh dan mengukir (tindik) kulit mereka untuk menambah kecantikan atau menunjukan status sosial tertentu.

g. Di Indonesia, orang-orang Mentawai di kepulauan Mentawai, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumba di Nusa Tenggara Barat, sudah mengenal tindik dan tato sejak jaman dulu. Bahkan bagi suku Dayak, seseorang yang berhasil “memenggal kepala” musuhnya, dia mendapat tato ditangan serta aksesoris tindik tambahan. Begitu juga dengan suku Mentawai, tatonya tidak dibuat sembarangan, sebelum pembuatan tato dilaksanakan, ada panen Enegaf alias upacara inisiasi yang dilakukan di Puturkaf Uma (galeri rumah tradisional suku Mentawai). Upacara ini dipimpin oleh suku

(19)

Sikerei (Dukun). Setelah upacara ini selesai, barulah proses penatoan dilaksanakan.

3. Dampak Tindik dan Tato Terhadap Individu

Erik H Erikson (dalam Hatib Abdul Kadir Olong, 2006) menjelaskan banyak permasalahan yang terjadi sebagai dampak yang harus dihadapi oleh individu karena bertindik dan bertato. Diantaranya adalah:

a. Masalah Praktis

Sebelum bertindik dan bertato individu mempunyai peluang pada beberapa pekerjaan di tingkat formal, tetapi setelah bertindik dan bertato semua pekerjaan formal menjadi minor untuk dijadikan pilihan.

b. Masalah Psikologis

Individu yang bertindik dan bertato cenderung merasa tidak menentu dan identitasnya kabur setelah mendapatkan respon perlakuan serta penerimaan yang kurang baik dalam lingkungan masyarakatnya. c. Masalah Sosial

Individu yang bertindik dan bertato cenderung akan tersisih karena kehidupan sosial mereka hanya terbatas dengan teman sesama pengguna tindik dan tato dalam komunitas saja.

d. Masalah Kesehatan Fisik

Dampak yang dapat ditimbulkan dari tindik dan tato secara fisik cukup berbahaya, mulai dari infeksi kronis, pendarahan (blooding). Bekas luka, hepatitis B dan hepatitis C, tetanus, hingga penyakit yang belum

(20)

dapat disembuhkan yaitu HIV-AIDS. Menurut Asosiasi Dokter Gigi se-Amerika Serikat, dalam (Anthony Reid dalam, Kirik Ertanto, 2002) sendiri menolak tindik di lidah, bibir, pipi, dan menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap kesehatan. Tindik dan tato dapat menyebabkan infeksi kronis, pendarahan yang lama, parut luka (bekas luka), hepatitis B dan C, tetanus, HIV, alergi terhadap perhiasan yang dikenakan, abses atau bisul bernanah.

e. Masalah Perubahan Konsep Diri

Tanpa mengesampingkan tentang siapa yang menimbulkan masalah sehingga bertindik dan bertato dapat terjadi, individu tersebut merasa bersalah karena satu sisi bertindik dan bertato bukan merupakan pilihan yang tepat dalam hidupnya. Namun perasaan yang tidak menyenangkan tersebut dapat dihindari tetapi akan selalu mewarnai konsep diri dan dapat mengakibatkan perubahan kepribadian.

Dari beberapa permasalahan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa setelah bertindik dan bertato, individu mengalami beberapa kesulitan dalam menjalani kehidupan sosialnya. Masalah penyesuaian sosial termasuk dalam masalah praktis, psikologis, sosial, kesehatan fisik, dan perubahan konsep diri.

C. Strategi Penyesuaian Sosial Pada Individu Yang Bertindik dan Bertato

Menurut Erik H Erikson (dalam Hatib Abdul Kadir Olong, 2006) Individu biasanya agak mengalami kesulitan dalam melakukan berbagai

(21)

status dari individu yang bertindik dan bertato menjadi seorang pelaku seni tubuh tindik dan tato khususnya karena sebagai bentuk estetika tubuh, tidaklah mudah. Disamping kecerdasan, dibutuhkan juga kepribadian yang kuat, rasa percaya diri, dan keberanian untuk mampu bertahan hidup, (Nurseha dalam Sudarto, 2000) apalagi di dalam masyarakat kita, begitu banyak tekanan tradisi yang mengecam bertindik dan bertato sebagai perilaku yang menyimpang.

Sosiolog Talcott Parsons (1990-an) mengungkapkan bahwa individu atau anak muda adalah konstruksi sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat. Parsons menambahkan, ada empat tahap penyesuaian setelah individu mempunyai pilihan untuk merekonstruksi tampilan fisiknya, pertama menyangkal bahwa adanya perilaku yang menyimpang dalam masyarakat, kedua timbul pemahaman bahwa konsep anak muda bukanlah kategori boilogis yang bermakna universal dan tetap, ketiga dengan alasan pertimbangan bahwa anak muda sebagai usia dan sebagai masa transisi yang tidak mempunyai karakteristik umum yang dapat digeneralisasikan dan diuniversalkan, keempat akhirnya mereka setuju untuk merubah tampilan fisiknya (bertindik dan bertato).

Erikson (dalam Abercombie dan Warde, 1998) mengatakan bahwa individu yang bertindik dan bertato mempunyai kondisi penyesuaian dengan tiga ciri umum, antara lain:

a. Penyesuaian terhadap hubungan sosial subkultur generasi muda terjadi di sekitar kelompok sebaya yang bersifat kolektif maupun individual

(22)

b. Penyesuaian terhadap perubahan yang berdasar pada kepedulian mereka terhadap gaya yang bersifat estetik.

c. Penyesuaian terhadap hubungan dengan anggota keluarga, serta pemahaman pada pandangan hidup yang berbeda dan khas dalam ekspresi keyakinan yang unik.

Durkheim (dalam Hatib Abdul Kadir Olong, 2006) mengatakan bahwa pengalaman pahit dari tindakan bertindik dan bertato dapat membawa seseorang kepada penderitaan yang mendalam dan berkepanjangan. Di mana ia harus menyesuaikan dengan berbagai tuntutan objektif dalam masyarakat seperti norma-norma sosial, moral, adat, serta semua kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Menyadari bahwa tindakan bertindik dan bertato merupakan sebuah peristiwa eksistensial di mana individu akan mengalami berbagai perenungan dalam kehidupannya, yang mungkin sangat menyakitkan jika dihadapkan dengan kenyataan sosial pada penerimaan dirinya di lingkungan masyarakat. Namun hal ini harus dialami karena penting untuk menerima realita yang ada, baik dalam bentuk keyakinan maupun perasaan.

Penerimaan kenyataan ini sebagai pengalaman pahit yang telah dan harus dilalui, sehingga akan memudahkan seseorang dalam meneruskan dan menjalani hidupnya. Sebagian dari rasa menyesal, marah, sedih dan berbagai perasaan buruk lainnya mungkin masih akan tertinggal. Yang terpenting adalah bahwa seseorang telah menemukan jalan keluar untuk mengatasinya. Dan pada akhirnya seseorang dapat melihat kembali ke masa depan dan

(23)

Dari uraian tersebut jelas bahwa individu memerlukan usaha yang cukup keras untuk dapat menentukan strategi penyesuaian diri dengan kehidupannya yang baru setelah bertindik dan bertato. Jika individu tersebut dapat mengatasi masalah dengan baik, maka artinya individu yang bertindik dan bertato tersebut dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik, dan demikian pula sebaliknya.

D. Peran Individu Sebagai Pelaku Seni Tubuh Tindik dan Tato

Menjadi pelaku seni tubuh tindik dan tato mungkin bukan pilihan setiap orang, bagi sebagian orang ada kalanya status tersebut disandang karena keadaan terpaksa atau terkondisikan. Namun, ada orang yang menyandang predikat tersebut karena sebuah keharusan (seniman tindik dan tato). Secara pribadi diperlukan energi yang besar dan matang untuk melakukan tugas berkeseniannya dan menanggung beban emosional yang harus selalu stabil untuk menjaga proses penuangan kreativitas dalam berkeseniannya meskipun dipikul bersama komunitasnya. Pelaku seni tubuh tindik dan tato juga harus lebih sabar dan kuat secara psikis terhadap penilaian serta tanggapan yang beragam dari anggota keluarga dan lingkungan masyarakatnya (Hatib Abdul Kadir Olong, 2006).

Seno Gumira Adjidharma (dalam Hatib Abdul Kadir Olong, 2006) pelaku seni tubuh tindik dan tato adalah individu yang melakukan proses kreatif dalam bidang seni tubuh tindik dan tato untuk menghasilkan sebuah karya dengan landasan estetika tubuh (baik tubuh sendiri maupun orang lain).

(24)

Kondisi proses kreatif yang dilakukan pelaku seni tubuh tindik dan tato tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: kepuasan terhadap karya seni yang dihasilkan, tuntutan profesi, hobi sekaligus pekerja seni, atau karena penuangan kreativitas seni dalam rangkaian ekspresi dalam keberadaan komunitas. Seno menambahkan bahwa menjadi pelaku seni tubuh tindik dan tato dapat menjadi suatu pilihan atau keterpaksaan. Sebagian besar yang terjadi di masyarakat adalah pelaku seni tubuh tindik dan tato yang terkondisikan, artinya karena bentukan dalam komunitas tindik dan tato. Tetapi jika kemudian individu memilih untuk bertindik dan bertato dengan alasan untuk mempelajari secara mendalam tentang seni tubuh tindik dan tato, mungkin itulah pilihan. Diperlukan suatu keberanian yang lebih untuk melakukan pendekorasian tubuh dengan tindik dan tato, terlebih lagi jika disertai dengan komitmen untuk bertindik dan bertato dengan usia permanen.

Mayoritas para pelaku seni tubuh tindik dan tato adalah para laki-laki. Pendapat Dwi Marianto (dalam Hatib Abdul Kadir Olong, 2006) menyatakan bahwa laki-laki secara mental lebih kuat (cuek) dibanding perempuan ketika dihadapkan dengan kenyataan sosial masyarakat.

Menurut Dwi Marianto (dalam Hatib Abdul Kadir Olong, 2006) sesempurna apapun individu yang bertindik dan bertato, dia tidak akan bisa tampil dalam dua karakter di hadapan masyarakat. Satu sisi memerankan sosok pelaku seni tubuh tindik dan tato yang lengkap dengan aksesoris tindik dan tato dalam komunitasnya, atau sebaliknya satu sisi memerankan sosok

(25)

bekerja dan bergaul sesuai norma adat serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya. Bila hubungan dengan anggota keluarga dan masyarakat baik, masalah penerimaan diri dan penyesuaian sosialnya tentu dapat sedikit teratasi. Namun jika hubungan dengan anggota keluarga dan masyarakat kurang baik, dan tanpa adanya dukungan dari pihak komunitas yang bersangkutan, maka individu tersebut tentunya harus siap menanggung akibatnya.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa individu yang bertindik dan bertato serta berperan sebagai pelaku seni tubuh tindik dan tato sangat berat. Di samping harus memikirkan penilaian yang kurang baik dari masyarakat, penyeimbangan emosi dan perasaan agar tetap terjaga proses kreativitas berkeseniannya, juga harus memikirkan kehidupan dan masa depan pribadi dirinya sendiri dengan kondisi fisik bertindik dan bertato, baik dari sisi psikologis maupun materiil. Serta harus mampu menerapkan strategi yang tepat untuk dapat menghadapi kehidupan di lingkungan sosialnya.

(26)

E. Proses Strategi Penyesuaian Sosial

Strategi Penyesuaian Sosial :

Mendekati Sumber Masalah

Mendekati, Mendengarkan dan Menjaga Jarak Berbalik dan Melarikan Diri

Bersembunyi

Hambatan

HAMBATAN INTERNAL HAMBATAN EKSTERNAL

Keterbatasan Kemampuan Tabu-tabu Sosial Pengetahuan Individu Tekanan dari Keluarga

Peraturan Keras

FRUSTRASI – STRESS – KONFLIK

Batas Wajar Tidak Terselesaikan Berakibat :

( Normal Behaviour ) Permusuhan

Agresi Penolakan Perasaan Terisolir

STRATEGI PENYESUAIAN SOSIAL BAIK STRATEGI PENYESUAIAN SOSIAL BURUK

Masalah yang muncul setelah menjadi Pelaku Seni Tubuh Tindik dan Tato

Gejala Perilaku Maladjusted

Ketidakstabilan Mental Individu yang Bertindik dan Bertato Sebagai

(27)

Strategi penyesuaian sosial terjadi karena bertemunya kebutuhan-kebutuhan dan motif-motif yang ada di dalam diri individu dengan tuntutan-tuntutan yang berasal dari lingkungan seseorang (Schneiders, 1964).

Menurut Schneiders (1964) kebutuhan-kebutuhan individu, motif, perasaan dan emosi merupakan kekuatan internal. Kebutuhan-kebutuhan ini menurut Darajat (1985) seringkali menimbulkan pertentangan, karena tidak jarang dorongan kebutuhan tersebut membutuhkan pemuasan pada saat yang bersamaan.

Individu dalam memenuhi kebutuhannya dihadapkan pada hambatan-hambatan yang berasal dari lingkungan, berupa penolakan orang tua, tabu-tabu sosial, dan peraturan yang keras (menghukum). Kondisi yang demikian akan membuat individu merasa tertekan, konflik, stress dan frustrasi (Schneiders, 1964). Selanjutnya individu yang merasa tertekan dan frustrasi tersebut akan melakukan tindakan-tindakan seperti permusuhan, agresif, penolakan, serta muncul perasaan terisolir.

Pada dasarnya individu akan menghindari adanya penolakan dari kelompok sosialnya, oleh karena itulah individu melakukan strategi penyesuaian sosial terhadap lingkungan sosialnya yang berbeda-beda. Bila individu tersebut dapat mengatasi hambatan dan kenyataan yang terjadi pada lingkungan sosialnya, maka individu tersebut dikatakan mampu menerapkan strategi penyesuaian sosial yang cukup baik. Sehingga terjadi penyesuaian antara dorongan kebutuhan dari dalam diri dengan tuntutan lingkungan yang menimbulkan perilaku normal pada individu tersebut. Sebaliknya, bila

(28)

individu gagal menyelaraskan kebutuhan-kebutuhannya dengan tuntutan lingkungan sosialnya, maka akan timbul konflik, frustrasi dan stress. Bila tidak cepat teratasi, akan menimbulkan ketidakstabilan mental yang berakibat strategi penyesuaian sosialnya menjadi buruk (Schneiders, 1964).

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perjalanan proses pelaksanaan strategi penyesuaian sosial seseorang akan mengalami hambatan baik internal maupun eksternal, yang jika orang tersebut tidak dapat menerapkan strategi yang tepat, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut tidak berhasil melakukan penyesuaian sosial. Sehingga kehidupannya mengalami kesulitan. Dan begitu sebaliknya, jika orang tersebut dapat menerapkan strategi yang tepat, maka orang tersebut dapat dikatakan berhasil melakukan penyesuaian sosial, sehingga kesulitan hidupnya dapat teratasi.

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah produksi ikan ini akan diramalkan untuk satu periode kedepan dengan menggunakan data-data history yang sudah ada dengan menggunakan metode BPNN dan model optimal

3.17 Skor Sikap Siswa Kelas Eksperimen I Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Upaya Peningkatan Koneksi Matematik Siswa Menggunakan Model Pembelajaran Cooperatif Script

Hasil analisis dengan menggunakan independent sample t-test menunjukkan bahwa Rasio CAMEL CAR memiliki F hitung > F tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa menolak

Berdasarkan tabel 3, terlihat bahwa kelompok perlakuan jenis kelamin laki-laki mengalami semua mengalami kecemasan sedang pada saat pre , pada saat post mengalami perubahan

Paparan hasil penelitian pada sebuah cabang perusahaan perbankan (PT ABC Cabang X) ini merupakan suatu tawaran untuk menerapkan metode manajemen risiko kejahatan pada

Pembentukan senyawa fenol merupakan telah terjadi biosintesis asam fenil alanin yang merupakan peyusun isoflavon yang menandakan adanya gangguan pada sel tanaman

Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang di jalankan oleh pelaksanaan proyek dan pemilik modal tidak boleh melakukan

Peran seorang guru dalam melaksanakan komunikasi efektif dalam pembelajaran sangat diperlukan, terutama dalam hal: (a) Menghormati, mendengar dan belajar dari