• Tidak ada hasil yang ditemukan

Antara Masyarakat Adat dan Umat Masyarak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Antara Masyarakat Adat dan Umat Masyarak"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Antara Masyarakat Adat dan Umat:

Masyarakat Kampung Naga dalam Perubahan

Oleh Amin Mudzakkir1

Abtsrak

Masyarakat adat dan umat adalah dua konsep yang sering dilihat tidak sepadan, sehingga di antara keduanya dibayangkan saling menjauh. Pandangan seperti ini digunakan oleh banyak peneliti dan pemerintah, selain juga kelompok-kelompok lain dalam masyarakat yang lebih luas. Tulisan ini membalikkan pandangan tersebut dengan menunjukkan bahwa Kampung Naga mampu menjadi masyarakat adat dan umat secara simultan, sehingga dua konsep tersebut bisa digunakan sedemikian rupa sebagai strategi dalam menanggapi perubahan. Secara teoritis tulisan ini menggugat pandangan yang mengesensialisasikan masyarakat adat dan umat dalam deskripsi dan konsepsi yang tunggal dan statis. Dengan merumuskan ulang logika penelitian dan melihat secara empiris kenyataan yang berkembang di lapangan, secara etis tulisan ini melihat prospek bagi kesalingmendekatan bagi msayarakat adat dan umat.

Kata kunci: masyarakat adat, umat, Kampung Naga, perubahan.

Masyarakat Kampung Naga adalah penganut Islam seperti umumnya orang-orang di

sekitar tempat mereka tinggal. Akan tetapi, karena mereka juga adalah ‘masyarakat

adat’, sebagaimana diklaim oleh mereka sendiri, seringkali muncul streotip dan

stigma yang dilekatkan kepada mereka. Streotip dan stigma itu, misalnya,

menyebutkan bahwa masyarakat Kampung Naga adalah penganut paham keagamaan

sinkretis antara Islam dan Hindu yang diwariskan oleh leluhur mereka. Dalam

beberapa situs, seperti Wikipedia, masyarakat Kampung Naga bahkan disebut sebagai

penganut agama Sunda Wiwitan seperti Orang Baduy di Banten.2 Secara lebih detail, beberapa riset juga melaporkan bahwa masyarakat Kampung Naga beribadah secara

      

1 Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional-LIPI, Jakarta dan Mahasiswa Pascasarjana STF

Driyarkara, Jakarta.

2

(2)

Islam, tetapi berbeda dengan ibadah orang Islam kebanyakan. Mereka dikatakan

melakukan shalat maghrib dan isya saja, selin masih rajin menjalankan ritual mistik.3 Penggambaran terhadap masyarakat Kampung Naga yang ‘berbeda’ tersebut

patut dipersoalkan. Tentu soal akurasi data adalah hal pertama yang bisa

dipertanyakan. Bagaimanapun, pengetahuan mesti didasarkan pada objektifitas

tertentu, mempunyai status ontologis yang jelas, tidak dikarang-karang begitu saja.

Oleh karena itu, berangkat dari situasi diskursif tersebut tulisan ini secara teoritis akan

memproblematisasi deskripsi masyarakat adat yang terisolasi sedemikian rupa dengan

kondisi dan perubahan di sekitarnya. Terlihat bahwa atribut masyarakat adat

Kampung Naga dikonstraskan dengan pengamatan terhadap lingkungan di sekitarnya.

Apa yang disebut masyarakat adat seolah berbeda dengan ‘umat’, sebuah konsepsi

yang mengacu pada kelompok keagamaaan tertentu. Dari tinjauan kepustakaan

tentang Kampung Naga, muncul kesan bahwa mereka bukan penganut Islam yang

‘sebenarnya’.4 Dengan ungkapan lain, identitas Kampung Naga sebagai masyarakat adat dinilai tidak bisa dilekatkan pada saat yang sama dengan Kampung Naga sebagai

bagian dari umat Islam pada umumnya.

Tulisan ini, sebaliknya, akan melihat Kampung Naga dalam situasi sosial yang

lebih luas. Argumen yang hendak diajukan adalah bahwa apa yang terjadi di

Kampung Naga bukan fenomena unik sama sekali, tetapi bisa ditemukan dalam

kasus-kasus di tempat lain. Oleh karena itu, identitas adat dan agama masyarakat

Kampung Naga akan dilihat dalam pengertian dan hubungan yang dialektis. Tulisan

ini berdiri di atas pandangan bahwa baik masyarakat adat maupun umat adalah atribut

yang bisa melekat secara bersamaan pada suatu komunitas kultural tertentu. Alih-alih

bertentangan, keduanya bisa bergerak saling mendekat. Akan tetapi, pada sisi lain,

pemerintah dan kelompok-kelompok di luar Kampung Naga, termasuk para peneliti,

      

3 Lihat, misalnya, Agus Heryana, “Pandangan Orang Sunda terhadap Konsep Tri Tangtu di Bumi:

Studi Kasus pada Masyarakat Kampung Naga” dalam Aam Masduki dan Toto Sucipto (ed.),

Kebudayaan Tradisional di Tasikmalaya (Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilia-Nilai Tradisional, 2006)

4 Tinjauan terhadap kepustakaan Kampung Naga, lihat Amin Mudzakkir, “Pariwisata, Masyarakat

(3)

seringkali melihat baik masyarakat adat maupun umat sebagai sesuatu yang terbentuk

secara alamiah.

Akhir-akhir ini disadari bahwa adat dan agama adalah isu yang sangat pelik.

Sementara secara global revitalisasi tradisi berlangsung, sehingga tesis tentang

modernisasi yang universal mendapatkan tantangan, pemerintah Indonesia justru

terlihat gagap menanggapi fenomena itu.5 Di tengah gelombang demokrasi yang masih muda, pemerintah terlihat terombang-ambing di antara berbagai pilihan sistem

nilai. Dalam situasi ini, masyarakat Kampung Naga sejatinya menemukan peluang

untuk menegosisikan ulang kepentingannya. Implikasi dari perdebatan filosofis dan

politis tentang masyarakat adat dan umat ini tercermin dalam kebijakan publik. Persis

pada arena inilah ketegangan terjadi, sehingga apa yang secara sosiologis dikatakan

sebagai konflik dan integrasi bisa dilihat bentuk kongkritnya.

Mengunjungi Kampung Naga

Kampung Naga sama sekali bukanlah kampung terpencil. Lokasinya berjarak sekitar

30 km dari pusat kota Tasikmalaya atau sekitar 25 km dari pusat kota Garut, terletak

persis di perlintasan jalur Selatan yang menghubungkan kedua daerah tersebut.

Kampung Naga mudah dijangkau baik oleh kendaraan pribadi maupun umum. Secara

topografis Kampung Naga adalah daerah perbukitan dengan latar belakang

pegunungan. Bagi yang membayangkan Tanah Priangan sebagaimana dilukiskan

dalam gambaran ‘mooi indie’, mereka mungkin tidak akan terlalu kecewa jika

mengunjungi daerah ini. Oleh karena itu, tidak heran kalau Kampung Naga sering

dikunjungi, bahkan oleh turis dari mancanegara.

Secara administratif Kampung Naga adalah bagian dari Desa Neglasari,

Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Semua penduduk

di daerah ini adalah orang Sunda dan beragama Islam. Bahasa Sunda digunakan

secara luas dalam percakapan sehari-hari, termasuk di kantor pemerintah. Sebagian

besar penduduk bekerja sebagai petani, selebihnya berprofesi sebagai peternak,

      

5 Lihat, David Henley dan Jamie Davidson, “Pendahuluan: Konservatisme radikal-Aneka wajah politik

(4)

pedagang kecil, pegawai negeri dan swasta, dan buruh lepas lainnya. Kecuali usaha

kecil di bidang kerajinan tangan, tidak ada sektor industri yang bermodal besar dan

melibatkan tenaga kerja banyak di daerah ini. Singkat kata, Kampung Naga dan

daerah di sekitarnya mencerminkan kehidupan agraris di tanah Priangan pada

umumnya.

Gambar 1: Peta Kampung Naga

Sumber: Mudzakkir (2009)

Pada awal tahun 2009, penduduk Kampung Naga berjumlah 317 orang; terdiri

dari 156 laki-laki dan 161 perempuan. Jumlah ini lebih kecil daripada jumlah

penduduk Kampung Naga pada tahun 1984, yaitu sebanyak 351 orang, dan pada 1985

sebanyak 353 orang, atau pada tahun 2001 yang tercatat sebanyak 326 orang.6 Perubahan demografi ini adalah akibat dari pola migrasi penduduk Kampung Naga

yang cukup dinamis. Tidak ada larangan yang membatasi pergerakan penduduk,

begitu juga dalam memilih pasangan. Banyak penduduk yang kawin-mawin dengan

orang luar kampung. Demikian juga dalam pekerjaan, banyak penduduk yang

mengadu nasib ke kota. Beberapa penduduk pernah tinggal di Jakarta, bekerja sebagai

buruh bangunan atau pedagang barang kerajinan tangan. Krisis moneter yang

menerpa Indonesia pada tahun 1998 membuat mereka pulang kampung. Mereka

kembali bertani, berdagang, atau jadi buruh kecil-kecilan. Diperkirakan jumlah

‘sanaga’ (keturunan Kampung Naga) yang tidak tinggal di Kampung Naga mencapai

sembilan kali lipat jumlah orang yang tinggal di Kampung Naga sendiri.

Daerah inti Kampung Naga adalah lahan pemukiman dengan luas sekitar 1,5

hektar. Di area pemukiman inilah ‘hukum adat’ berlaku, seperti larangan

      

6

(5)

membicarakan sejarah atau cerita tentang leluhur pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu.

Selain itu, tata cara pembuatan dan bahan-bahan yang digunakan dalam pendirian

sebuah rumah adalah prinsip adat yang kuat dipatuhi. Tidak boleh ada rumah dari

tembok, semuanya harus berbentuk panggung dengan bahan sebagian besar dari kayu

dan bambu. Atap rumah dibuat dari ijuk dengan alas rumbia. Berderet dari Timur ke

Barat dengan muka rumah menghadap ke arah Selatan atau Utara, rumah adalah

simbol dari pandangan mereka terhadap relasi antara dunia alam (nature) dan dunia

batin (spirit).7

Terletak di sisi Sungai Ciwulan, lokasi pemukiman Kampung Naga terbagi ke

dalam beberapa bagian yang masing-masing melambangkan pandangan kultural

tentang ruang. Jumlah rumahnya sendiri mengalami perubahan. Pada tahun 1921,

jumlah rumah di Kampung Naga adalah tujuh buah dengan penghuni sekitar 35 orang.

Pada tahun 1936, jumlah bangunan ada 40 buah, sedangkan pada tahun 1994 jumlah

rumah telah mencapai 104 unit. Jumlah bangunan bertambah lagi pada tahun 1999

menjadi 110 buah.8 Pada tahun 2009, jumlah bangunan tercatat sebanyak 112 buah;

109 rumah, sebuah masjid, bale patemon, dan bale ageung.

Sementara itu, meski Kampung Naga mempunyai aparat administrasi

pemerintahan sebagaimana umumnya seperti RT (Rukun Tetangga), RK (Rukun

Kampung), dan RW (Rukun Warga), otoritas politik berada sepenuhnya di tangan

kuncen. Dalam tugas sehari-hari, kuncen dibantu oleh punduh dan lebe. Tugas

punduh adalah ‘ngurus laku memeres gawe’ (mengurusi hal-hal umum yang

menyangkut penduduk), sementara tugas lebe adalah ‘ngurus mayit ti awal dugi ka

ngureubkeun’(mengurusi jenazah dan upacara kematian).

Karena alasan kultural dan pertimbangan praktikal, Kampung Naga melarang

penggunaan aliran listrik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara). Meski demikian,

hampir semua penduduk mempunyai alat-alat elektronik, seperti televisi, tape

recorder, radio, dan hand phone. Untuk menghidupkan alat-alat itu, penduduk

memakai tenaga accu yang disetrum di tukang jasa setrum accu di kampung tetangga.

Untuk memasak, mereka memakai tungku tanah dengan suluh kayu bakar atau

      

7 Robert Wessing, “The Shape of Home: Spatial Ordering in Sundanese Kampung” dalam Reimar

Schefold, Gaudenz Domenig, dan Peter Nas, Indonesian Houses: Tradition and Transformation in Vernacular Architecture (Leiden: KITLV, 2003).

8

(6)

kompor minyak tanah. Suluh kayu dibeli atau dicari di kebun. Pada awal tahun 2009,

harga suluh kayu per satu bak mobil pick-up ukuran kecil adalah Rp. 130 ribu, bisa

diggunakan selama enam bulan dengan pemakaian wajar. Untuk penerangan di

malam hari, penduduk menggunakan lampu patromak yang diisi satu liter minyak

tanah tiap hari. Keluarga yang lebih sederhana biasanya menggunakan lampu tempel

biasa, satu liter minyak tanah biasa terpakai oleh penduduk selama tiga hari.

Sementara larangan adat masih berlaku dalam soal listrik, hal yang sama tidak

berlaku dalam soal pendidikan. Anak-anak Kampung Naga bersekolah minimal

sampai tingkat sekolah dasar. Pada masa lalu, orang Kampung Naga dianggap

‘diwaris kabodoan’ (diwarisi kebodohan) oleh leluhur mereka. Masyarakat Kampung

menjawab anggapan itu dengan mengatakan bahwa memang benar mereka bodoh,

tetapi ‘bodo alewoh’ (bodoh tetapi selalu bertanya). Sekarang seiring dengan semakin

banyaknya anak-anak Kampung Naga yang bersekolah bahkan hingga ke jenjang

perguruan tinggi, anggapan tersebut perlahan luntur. Ketiadaan biaya, bukan larangan

adat, yang membuat banyak anak-anak Kampung Naga tidak mampu melanjutkan

sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Atas Nama Adat

Fondasi yang membentuk masyarakat adat adalah klaim atas sejarah. Akan tetapi,

justru aspek inilah yang masih menyelimuti masyarakat adat Kampung Naga hingga

sekarang. Sejauh ini asal-usul Kampung Maga masih lebih berupa mitologi daripada

sejarah. Beberapa pendapat menyebut bahwa leluhur Kampung Naga adalah prajurit

Mataram yang menyerang Batavia pada abad ke-17, seperti juga leluhur kampung

adat Pulo di Garut. Akan tetapi, sesepuh Kampung Naga menolak pendapat itu.

Mereka menyatakan bahwa leluhurnya adalah Sembah Dalem Singaparna dari

Kerajaan Galunggung. Karena adanya pergolakan politik kala itu (sekitar abad ke-16

menurut sebuah versi cerita lisan), Sembah Dalem Singaparna mengundurkan diri ke

pedalaman hingga menetap di sebuah daerah yang sekarang menjadi Kampung Naga.

Sesepuh Kampung Naga selalu menyebut ‘piagam Naga’ sebagai satu-satunya

sumber tertulis sejarah leluhur mereka. Akan tetapi, konon piagam itu diambil oleh

pemerintah kolonial pada tahun 1922 dan tidak pernah dikembalikan. Hal serupa

terjadi pada barang-barang pusaka yang dibakar oleh gerombolan DI/TII pada tahun

1957. Sejak itu Kampung Naga menganggap dirinya ‘pareumenun obor’ (kehilangan

(7)

Kampung Naga yang masih diliputi tanda tanya memunculkan kesan, sekaligus pesan,

mengenai identitas mereka sebagai masyarakat adat. Dengan kata lain, berpijak pada

konstruksi sejarah inilah Kampung Naga sebagai kampung adat memperoleh

justifikasinya.

Bagi kalangan aktivis agraria, seperti KPA (Konsorsium Pembaharuan

Agaria), Kampung Naga adalah masyarakat adat yang mempunyai hak atas tanah adat

atau ulayat. Berangkat dari argumen bahwa selama ini hak masyarakat adat terhadap

tanah adatnya terampas oleh sistem politik dan hukum nasional yang bersifat

unifikatif, dilakukanlah proyek inventarisasi batas-batas tanah adat.9 Pada tahun 2002, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Aktivitas Sosial (YP2AS) dan Konsorsium

Pembaruan Agraria (KPA) melakukan pemetaan wilayah adat Kampung Naga.

Hasilnya penelitian itu menyimpulkan bahwa wilayah tanah adat Naga meliputi lahan

sepanjang daerah aliran Sungai (DAS) Ciwulan. Kalau dikonversi ke dalam konteks

administrasi pemerintahan sekarang, wilayah adat Naga meliputi tiga kecamatan di

dua kabupaten, yaitu Salawu dan Cigalontang di Tasikmalaya dan Cilawu di Garut

dengan luas lahan diperkirakan sekitar 16.000 hektar.10

Meski demikian, menurut Kuncen Kampung Naga, apa yang disebut ‘tanah

adat’ sejatinya lebih bersifat kultural daripada legal. Oleh karena itu, hasil pemetaan

YP2AS dan KPA dimaknai oleh mereka hanya sebagai catatan yang pararel dengan

pandangan kultural meraka. Dengan kata lain, mereka sama sekali tidak mempunyai

pemikiran dan, apalagi, agenda untuk merebut ulang tanah adat tersebut. Dalam

kenyataannya, tanah seluas 16.000 hektar itu kini sebagian besar berupa lahan

perkebunan milik Perhutani. Bagi pengurus Kampung Naga, hal paling penting dari

wacana tentang tanah adat Kampung Naga adalah adanya kesadaran baik dari

pemerintah maupun masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Implikasi dari perebutan makna terhadap adat beririsan dengan proyek

pembangunan. Pariwisata adalah praktik sosial yang lahir dari latar belakang ini.

Dengan modifikasi tertentu, sehingga masyarakat adat dikesankan menjadi sesuatu

yang eksotis, Kampung Naga dianggap sebagai aset pariwisata budaya yang berharga.

      

9 Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat (Jakarta: RIPP-UNDP, 2006)

10 YP2AS, “Adat Istiadat dan Wialayh Adat Orang Naga di Jawa Barat”, maakalah yang disampaikan

(8)

Pemikiran seperti ini telah muncul sejak 1970-an. Pada 1976, pemerintah pernah

menawarkan program untuk membangun tempat penginapan di sekitar Kampung

Naga. Akan tetapi, rencana itu ditolak oleh sesepuh setempat dengan alasan bahwa

dengan adanya fasilitas seperti itu penduduk Kampung Naga merasa dijadikan

tontonan. Dalam bahasa yang lebih sarkastis, mereka merasa diperlakukan seperti

kebun binatang. Rencana pemerintah tersebut tidak pernah menjadi kenyataan. Pada

2002, rencana pemerintah tersebut muncul kembali dalam bentuk lain. Kali itu

pemerintah membangun sebuah pos yang menarik karcis masuk Kampung Naga.

Pemerintah juga memasang papan-papan petunjuk jalan bertuliskan ‘Objek Wisata

Kampung Naga’. Tokoh masyarakat Kampung Naga marah dengan adanya itu, lalu

membakar pos dan mencabuti papan-papan tersebut. Kuncen Kampung Naga, Ade

Suherlin, menegaskan penolakannya terhadap berbagai bentuk eksploitasi budaya

untuk kepentingan industri pariwisata.

Belakangan pemikiran pemerintah tersebut justru diformalisasikan dalam

Perda No. 2/2005 tentang RTRW Kabupaten Tasikmalaya. Kampung Naga

dimasukkan sebagai kawasan wisata budaya. Pertimbangan ekonomi ikut serta dalam

perumusan kebijakan ini. Pada 2006, muncul perseteruan tentang pengelolaan lahan

parkir. Oleh karena menganggap lahan parkir Kampung Naga adalah milik negara,

pemerintah secara sepihak memberlakukan tarif di area tersebut sesuai dengan perda

yang berlaku, yaitu Perda No.16/2006 tentang retribusi lahan parkir. Sebelumnya,

tarif parkir menggunakan tarif khusus yang lebih murah. Akibat dari pemberlakukan

kebijakan tersebut adalah tarif parkir menjadi mahal. Para pengunjung protes. Bagian

krusialnya adalah para pengunjung berpikir bahwa itu adalah bagian dari kebijakan

yang telah dirundingakan dengan pihak Kampung Naga. Pengurus kampung menolak

anggapan itu dan menjelaskan bahwa soal parkir semata adalah urusan pemerintah.

Lebih lanjut mereka meminta pemerintah bertanggung jawab menerangkan kenaikan

tarif parkir tersebut sambil pada saat yang sama menutup diri dari kunjungan para

turis, bahkan termasuk para peneliti.

Persoalan lahar parkir di Kampung Naga cukup khas. Hal ini agak berbeda

dengan pengalaman yang sering dihadapi oleh komunitas adat di tempat lain yang

biasanya menyengketakan klaim atas tanah dengan negara, perusahaan, atau

kelompok masyarakat lainnya. Apa yang disebut lahan parkir di sini adalah sebidang

lahan yang digunakan sebagai tempat parkir para tamu yang berkunjung ke Kampung

(9)

memang milik pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Lahan tersebut dibeli oleh

pemerintah dari seorang penduduk setempat dengan luas sekitar 2520 m² atau 180

bata pada tahun 1992. Statusnya adalah tanah negara. Pemerintah, melalui dinas

terkait, otomatis bertindak sebagai pengelola lahan tersebut.

Pada akhir 2009, persoalan lahan parkir ini kembali mengemuka. Kuncen

mengumumkan bahwa Kampung Naga menutup diri dari kedatangan para wisatawan.

Ini adalah bentuk protes terhadap kenaikan harga minyak tanah yang ketika itu

mencapai Rp 10.000/kilogram. Harga ini sangat memberatkan penduduk Kampung

Naga yang tidak menggunakan listrik, tetapi menggantungkan banyak kegiatan

sehari-harinya pada ketersediaan minyak tanah. Setelah negosiasi yang cukup alot,

pemerintah akhirnya memutuskan bahwa Kampung Naga memperoleh subsidi

khusus. Tidak hanya itu, lahan parkir yang sebelumnya dikelola oleh dinas

pemerintah sejak itu diserahkan kepada pihak Kampung Naga. Lebih tepatnya,

penghasilan dari lahan parkir dibagi antara pemerintah dan pihak Kampung Naga,

tetapi pengelolaannya dilakukan oleh koperasi—bernama Koperasi ‘Sauyunan’—

yang didirikan oleh masyarakat Kampung Naga sendiri.

Islamisasi Dari Dalam

Masjid atau masigit menduduki tempat sentral dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat Kampung Naga. Letaknya persis berada di tengah kampung, diapit oleh

bale patemon (tempat pertemuan) di sampingnya dan bale ageung (tempat

menyimpan barang pusaka) di depannya. Masjid ini digunakan untuk kegiatan shalat

lima waktu setiap hari dan pengajian baik untuk anak-anak maupun orang dewasa.

Sebuah bedug dan kentongannya tersimpan di depan sisi kanan masjid, ditabuh setiap

waktu shalat wajib tiba. Oleh karena tidak ada aliran listrik, adzan dikumandangkan

dari masjid tanpa bantuan alat pengeras. Air untuk wudhu dialirkan dari sumber mata

air yang ditampung di sisi kampung yang lebih tinggi, lalu dialirkan melalu pipa ke

bak yang di samping kanan dan kiri masjid.

(10)

Sumber:

http://travel.kompas.com/read/2012/05/19/18210419/Menyingkap.Kearifan.Lokal.Kampung.Naga--diakses 22 Oktober 2012

Tidak ada yang unik dari cara beribadah masyarakat Kampung Naga. Shalat

Jumat diselenggarakan dengan adzan dua kali, seperti biasa dilakukan di

masjid-masjid dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Khutbah disampaikan dengan bahasa

Arab yang selalu diikuti dengan penjelasan dalam bahasa Sunda. Khatib biasanya

menggunakan buku khutbah Jumat berbahasa Sunda yang banyak dijual di toko buku

agama. Orang tua berdiri di saf depan, sementara remaja dan anak-anak di saf

belakang. Masjid Kampung Naga mempunyai sistem kepengurusan sebagaimana

layaknya masjid di tempat lain, yaitu semacam Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM)

yang mengelola jadwal kegiatan ibadah dan pengelolaan sehari-hari, seperti

kebersihan dan perawatan masjid.

Dapat dikatakan bahwa Islamisasi memang terjadi dalam masyarakat

Kampung Naga. Hal ini berjalan seiring dengan proses yang kurang lebih pararel

dengan apa yang terjadi pada masyarakat sekitarnya. Seorang guru agama yang

mengajar di sebuah pesantren di dekat Kampung Naga, masih di desa yang sama,

menceritakan bahwa memang dulu masyarakat Kampung Naga kurang mengenal

ajaran Islam secara mendalam. Akan tetapi, mengikuti penilaian guru agama ini, itu

adalah fenomena umum pada masanya, tidak khas Kampung Naga. Sekarang banyak

anak-anak penduduk Kampung Naga ikut pelajaran les membaca Al-Quran. Tidak ada

penentangan yang berarti terhadap tradisi baru tersebut. Beberapa perempuan di

Kampung Naga juga terlihat mengenakkan kerudung dan ikut kegiatan pengajian di

tempat lain. Sejauh ini tidak ada program yang diimposisikan oleh pihak luar,

(11)

aktif mengikuti berbagai kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di luar

kampungnya.

Akan tetapi, beberapa kalangan masih memahami corak dan tingkat keislaman

penduduk Kampung Naga dengan perspektif yang tidak berkorespondensi dengan

kenyataan yang sedang berubah. Ketika melakukan penelitian lapangan di sana pada

2009, saya bertemu dengan seorang pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) setempat

yang sedang mengurusi rencana pemberian bantuan dari Kementerian Agama.

Bantuan itu berupa Al-Quran, sajadah, sarung, dan sejumlah uang. Selain itu, ada juga

pembinaan yang dilakukan oleh pihak KUA setempat dengan mengisi acara pengajian

yang telah ada sebelumnya. Dikatakan bahwa itu adalah bagian dari program

Lembaga Pendidikan dan Pengamalan Agama (LP2A). Program ini sejatinya disusun

oleh Kementerian Agama yang ditujukkan kepada kalangan masayarakat tertentu

dengan kebutuhan khusus. Beberapa komunitas adat dimasukkan dalam penerima

bantuan program ini. Menanggapi hal ini, pengurus masjid Kampung Naga tidak

keberatan. Mereka tidak mempersoalkan lebih lanjut mengapa bantuan itu diberikan

kepada mereka, bukan kepada masjid di tempat lain. Bantuan adalah pemberian yang

tidak boleh ditolak, apalagi dari pemerintah. Hanya saja, pihak Kampung Naga

pernah mengingatkan bahwa umumnya penduduk setempat sudah mempunyai sarung

dan sajadah, jadi lebih bermanfaat jika bantuan itu diberikan dalam bentuk lain.

Pegawai KUA menghargai usulan itu dan berjanji akan membicarakannya dengan

atasannya. Kebetulan pegawai tersebut masih mempunyai ikatan keluarga dengan

penduduk Kampung Naga.

Memang seringkali yang ditonjolkan dari Kampung Naga adalah kegiatan

hajat sasih. Kegiatan ini adalah upacara adat yang diselenggrakan enam kali dalam

setahun, yaitu pada bulan Muharram, Rabi’ul Awal, Jumadil Akhir, Sya’ban, Syawal,

dan Dzulkaidah. Kegiatan ini berisi beberapa prosesi yang diikuti oleh kaum laki-laki

dewasa. Yang ikut serta dalam kegiatan ini tidak hanya penduduk yang tinggal di

Kampung Naga, tetapi juga karib kerabat yang mempunyai pertalian darah dengan

Kampung Naga atau disebut ‘sanaga’. Puncak acara adalah ziarah ke tempat leluhur

Kampung Naga. Sementara kaum lelaki melaksanakan prosesi, kaum perempuan

menyiapkan makanan yang nanti akan dibawa ke masjid untuk dimakan

bersama-sama sebagai penutup kegiatan. Para pejabat pemerintah biasanya datang pada

kegiatan ini, meski tidak ikut dalam keseluruhan prosesi yang memang hanya boleh

(12)

Kesalingmendekatan: Beberapa Prospek

Dari beberapa kasus empiris yang disajikan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa

masyarakat adat dan umat dalam praktik sosial tidak selalu beroposisi. Kampung

Naga bisa dikategorikan sebagai masyarakat adat dan umat sekaligus. Sekarang

tampak jelas bahwa tengah terjadi kesalingmendekatan (rapprochement) antara dua

hal yang secara deskriptif dibayangkan mempunyai rute sejarah yang berbeda. Secara

teoritis, implikasinya sangat luas. Pandangan esensialis yang berpengaruh dalam

beberapa riset etnografis tentang komunitas kecil mendapatkan tantangan serius.

Dalam kenyataannya, apalagi dengan latar belakang globalisasi seperti saat ini,

koneksi antar-indvidu dan komunitas berlangsung masif. Batas-batas antara

komunitas yang satu dengan yang lainnya berada dalam ketegangan diskursif.

Dengan demikian, sekarang cukup jelas bahwa masyarakat Kampung Naga

bukanlah masyarakat statis yang hidup dalam tempurung identitas secara pasif. Ini

membuktikan bahwa pandangan evolusi kebudayaan sampai tingkat tertentu mesti

diterima sebagai sebuah fakta. Dengan kemampuan yang dimilikinya Kampung Naga

berubah sedemikian rupa, tetapi pada saat yang sama mereka tetap mempertahankan

ciri-ciri tertentu yang sifatnya khas. Perubahan bercampur apik dengan keberlanjutan.

Dalam hal ini, kepemimpinan memegang peranan kunci. Tulisan ini memang tidak

menjangkau aspek itu. Akan tetapi, cukup pasti untuk dikatakan bahwa dalam sistem

masyarakat yang berkarakter paguyuban seperti Kampung Naga, peran pemimpin

sangat penting. Mereka menjadi sebagai jembatan yang secara simbolis

menghubungkan Kampung Naga dan dunia, dan begitu pula sebaliknya. Termasuk

dalam hal ini adalah kemampuan mereka merekonsiliasi ketegangan diskursif antara

konsep masyarakat adat dan umat. Bagi masyarakat Kampung Naga, adat dan Islam

adalah dua hal yang tidak perlu dipertentangkan. Keduanya adalah bagian dari

identitas mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Pada tataran normatif, pengalaman Kampung Naga menantang pendekatan

pembangunan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, argumen

konservasionis yang juga sering muncul dari kalangan lembaga swadaya masyarakat

mesti dirumuskan ulang. Kalau menggunakan bahasa hak asasi manusia, pendekatan

dan argumen seperti itu cenderung diskriminatif. Komunitas kecil seperti Kampung

Naga sering dilihat sebagai komunitas yang lemah, sehingga harus dijaga dari

(13)

dengan tingkat rasionalitas pra-modern yang rentan terhadap perubahan. Secara

empiris dan juga secara logis hal itu bisa dibantah. Seperti dalam kasus subsidi

minyak tanah, aksi afirmatif terjadi justru sebagai buah dari perjuangan politik

simbolik, bukan karena belas kasihan. Di sinilah, sekali lagi, peran agensi sangat

signifikan. Di tengah negara yang terombang-ambing dalam tarik-menarik politik

identitas seperti di Indonesia sekarang ini, strategi Kampung Naga untuk berubah

Gambar

Gambar 1: Peta Kampung Naga

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian evaluasi pelaksanaan IB di Kecamatan Gedangan menunjukkan bahwa IB yang dilakukan pada awal birahi memiliki tingkat keberhasilan sebesar 51,3%, pelaksanaan IB

Dan apabila dibandingkan dengan peraturan lainnya, pada program pembelian pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1996 tentang Sistem

Perumusan dasar negara Republik Indonesia bersumber pada norma-norma pokok yang merupakan fundamen negara. Hal itu dirumuskan dalam UUD 1945. Cara pandang Indonesia tidak sekadar

- Peningkatan pelayanan telekomunikasi - Peningkatan pelayanan dan kapasitas PDAM Perwujudan PPL Teluk Betung dilakukan melalui : - Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa -

Adik-adik, ayah saya juga kembali mengatakan, bahwa di Manggarai itu, selain membangun rumah untuk ditempatkan seperti biasanya tempat tinggal berupa rumah panggung atau disebut

Penelitian mengenai uji sensitivitas kunyit kuning dan kunyit putih terhadap bakteri pencemar susu penyebab foodborne disease dengan menggunakan metode Kirby Bauer

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan diketahui terdapat 92 jenis dan 45 famili tumbuhan yang biasa dimanfaatkan sebagai sumber pangan oleh masyarakat sekitar Hutan

Sebagai iklan kosmetik halal, Mazaya menampilkan konsep kecantikan yang berbeda dengan standar kecantikan dalam iklan kosmetik pada umumnya yaitu dengan menampilkan tiga