Disusun oleh :
Achmad Boys Awaluddin Rifa'i NIM : 01202002
SKRIPSI
Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Menempuh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E.)
PROGRAM STUDI MUAMALAH
i
ABSTRAK
Achmad Boys Awaluddin Rifai, Analisis fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 54 Tahun 2006 tentang Syariah Card pada iB Hasanah Card (kartu kredit syariah) Bank BNI Syariah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara operasional iB Hasanah Card Bank BNI Syariah terhadap mekanisme Syariah Card menurut fatwa DSN-MUI No. 54 Tahun 2006. Adapun yang melatarbelakangi penulis dalam menyusun skripsi ini yaitu: adanya besaran biaya administrasi yang dikaitkan dengan besaran nilai transaksi; keterbatasan iB Hasanah Card dalam memblokir transaksi minuman keras yang terdapat dalam minimarket ataupun supermarket; dan adanya besaran nilai ta'widh atau biaya ganti rugi atas keterlambatan nasabah dalam melakukan pembayaran yang dikaitkan dalam jumlah keterlambatan hari pembayaran bukan berdasarkan biaya riil (fixed cost).
Dalam penelitian skripsi ini metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis dengan cara melakukan wawancara langsung dengan officer card bussiness division Bank BNI Syariah dan wawancara langsung dengan salah satu ulama Badan Pengurus Harian DSN MUI. Selanjutnya penulis melakukan studi literatur atau penelitian kepustakaan untuk memperoleh dan memahami konsep, teori, dan ketentuan Syariah Card.
Fatwa DSN MUI No. 54 Tahun 2006 tentang Syariah Card, mengatur ketentuan fee atau biaya administrasi bahwa fee atas pelayanan atau penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan nilai transaksi atau fixed cost. Selanjutnya perhitungan biaya ta’widh didasari oleh biaya riil yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
Selanjutnya penulis menganalisis data yang terhimpun dari kegiatan pengumpulan data dengan melakukan studi komparatif yaitu melakukan perbandingan kesesuaian antara isi fatwa DSN MUI No. 54 tahun 2006 tentang Syariah Card dengan operasional iB Hasanah Card Bank BNI Syariah, dan menemukan adanya ketidaksesuaian, diantaranya perbedaan ketentuan fee dan
ta’widh.
ii
SYARIAH Tbk. Oleh :
Achmad Boys Awaluddin Rifa'i
NIM : 01202002
Pembimbing Tanda Tangan Tanggal
H. Edy Junaedi, SE., MM ……….. ………..
Evan Hamzah, SE., ME.Sy ……….. ………..
Tangerang, ……….. 2016
Mengetahui, Ketua Prodi Muamalah
iii
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISIS FATWA DSN-MUI NOMOR 54 TAHUN 2006 TENTANG SYARIAH CARD PADA PRODUK iB HASANAH CARD BANK BNI
SYARIAH Tbk.
Telah dipertahankan di depan Sidang Manaqasah STAI Asy-Syukriyah Tangerang
Pada Tanggal: 13 Agustus 2016
Susunan Panitia Penguji Tanda Tangan Tanggal
Supriadi, M.Ag. ……….. ………..
(Ketua)
Chevy Oktavianto, S.Kom., M.Pd.I. ……….. ………..
(Sekretaris)
H. Irwan Maulana, Lc., M.Si ……….. ………..
(Penguji 1)
H. Djaka Suryadi, SE., MM. ……….. ………..
(Penguji 2)
Zaki Diarsa, MM., MBA., M.Pd.I ……….. ………..
(Penguji 3)
Tangerang, ……….. 2016 Mengetahui,
Ketua STAI Asy-Syukriyah
iv
saya untuk dapat membuat dan menyelesaikan skripsi yang berjudul "Analisis
Fatwa DSN-MUI No. 54 Tahun 2006 Tentang Syariah Card pada Produk iB
Hasanah Card Bank BNI Syariah. Shalawat dan Salam semoga senantiasa
tercurah kepada Pembimbing umat, Rasulullah Muhammad SAW., Sang
Revolusioner yang telah membawa perubahan dengan landasan Ilahiyyah,
Syar'iyyah, dan Akhlaqiyyah.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
dalam jenjang perkuliahan Strata Satu Program Studi Muamalah Sekolah Tinggi
Agama Islam Asy-Syukriyah Tangerang.
Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari kekurangan, baik
aspek kualitas maupun kuantitas materi penelitian yang disajikan. Semua ini
didasarkan dari keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan sebagai pengalaman dan
pengetahuan yang sangat berarti pada masa yang akan datang. Email me at
Skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan serta
bimbingan, baik secara moril dan materil dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, pada kesempatan yang baik ini penulis
v
1. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu terus menerus mendo'akan,
memberikan dukungan moril dan materil yang tak terbalas dan menjadi
penyemangat untuk terus optimis dan maju menuju masa depan yang lebih
baik.
2. Al-Ustadz Al-Hajj Jamaludin Nibun, LC., MA. selaku Ketua Sekolah Tinggi
Agama Islam Asy-Syukriyah Tangerang.
3. Al-Ustadz Al-Hajj Irwan Maulana, Lc., M.Si selaku Ketua Program Studi
Muamalah Sekolah Tinggi Agama Islam Asy-Syukriyah Tangerang
4. Al-Ustadz Al-Hajj Edy Junaedi, SE., MM. dan Al-Ustadz Evan Hamzah, SE.,
ME.Sy., selaku Dosen Pembimbing yang begitu banyak membantu
memberikan bimbingan, arahan dan motivasi kepada Mahasiswa-Mahasiswi
Sekolah Tinggi Agama Islam Asy-Syukriyah Tangerang
5. Al-Ustadz Al-Hajj Irwan Maulana, Lc., M.Si., Al-Ustadz Djaka Suryadi, SE.,
MM., dan Al-Ustadz Zaki Diarsa, MM., MBA., M.Pd.I. selaku Penguji
Sidang Manaqasah STAI Asy-Syukriyah Tangerang
6. Bapak Indra Anggriawan selaku Officer Card Business Division Bank BNI
Syariah yang telah memberikan banyak pengetahuan dan memberikan
fasilitas pada masa penelitian.
7. Dr. Hasanudin, M.Ag. Selaku DSN-MUI yang telah memberikan banyak
pengetahuan dalam menjawab persoalan-persoalan pada masa penelitian
8. Teman-teman seperjuangan yang senantiasa menemani dan berjuang bersama
dalam menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Asy-Syukriyah
vi bermanfaat bagi para pembaca.
Tangerang, 13 Agustus 2016
vii DAFTAR ISI
ABSTRAK ………. i
LEMBAR PERSETUJUAN ……… ii
LEMBAR PENGESAHAN ………. iii
KATA PENGANTAR ………. iv
DAFTAR ISI ……… vii
DAFTAR TABEL ……… ix
DAFTAR GAMBAR ………... x
DAFTAR LAMPIRAN ……… xi
BAB I PENDAHULUAN ………... 1
A. Latar Belakang Masalah ……….. 1
B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah ……….. 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ….………... 12
D. Metode Penelitian ……… 13
E. Sistematika Penulisan ……….. 16
F. Penelitian Terdahulu ……… 17
G. Kerangka Pemikiran ……… 19
BAB II LANDASAN TEORI ... 20
A. Pengertian Fatwa ………. 20
B. Kartu Kredit Syariah Islam (Syariah Card)……….. 26
C. Pengertian Ta’widh ... 31
D. Perbedaan antara Kartu Kredit dengan Syariah Card …... 33
viii
B. Visi dan Misi BNI Syariah ……….. 50
C. Struktur Organisasi Bank BNI Syariah .……….. 51
D. Produk-produk Bank BNI Syariah ……….………. 52
BAB IV HASIL PENELITIAN ………. 55
A. Mekanisme Syariah Card menurut Fatwa DSN-MUI No. 54 Tahun 2006 ………. 55
B. Operasional iB Hasanah Card Bank BNI Syariah ... 59
C. Perbandingan antara Mekanisme Syariah Card menurut Fatwa DSN-MUI No. 54 Tahun 2006 dengan Operasional iB Hasanah Card Bank BNI Syariah ……… 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 82
A. KESIMPULAN ... 82
B. SARAN ... 83
DAFTAR PUSTAKA ……….. 84
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Smart Spending iB Hasanah Card ... 8
Tabel 1.2 Danaplus iB Hasanah Card ... 9
Tabel 1.3 Biaya Penagihan (Ta'widh) iB Hasanah Card ... 11
Tabel 1.4 Penelitian Terdahulu ... 17
Tabel 2.1 Perbedaan antara Kartu Kredit dengan Syariah Card ... 33
Tabel 4.1 Syarat Umum Pemohon iB Hasanah Card ... 59
Tabel 4.2 Syarat Umum Pemohon iB Hasanah Card ... 60
Tabel 4.3 Akad iB Hasanah Card ... 62
Tabel 4.4 Smart Spending iB Hasanah Card ... 64
Tabel 4.5 Danaplus iB Hasanah Card ... 65
Tabel 4.6 MasterCard Code iB Hasanah Card ... 66
Tabel 4.7 Perbedaan Kartu Kredit Reguler dengan iB Hasanah Card . 66 Tabel 4.8 Biaya iB Hasanah Card ... 67
Tabel 4.9 Net Monthly Fee iB Hasanah Card ... 68
x
Gambar 2.1 Akad-akad di Bank Syariah dan Contoh Aplikasinya ... 41
Gambar 2.2 Skema Kafalah ... 43
Gambar 2.3 Skema Simpanan Qardh ... 45
Gambar 2.4 Skema Pembiayaan Qardh ... 46
Gambar 2.5 Skema Ijarah ... 48
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Kantor Pusat PT Bank BNI Syariah ... 51
Gambar 4.1 Skema Pengajuan iB Hasanah Card ... 60
Gambar 4.2 Skema Akad Kafalah iB Hasanah Card ... 62
Gambar 4.3 Skema Akad Qardh iB Hasanah Card ... 63
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran.1 Fatwa No.54/DSN-MUI/X/2006 ... 87
Lampiran 2 Surat Keterangan Wawancara dengan Officer Card
Bussiness Division Bank BNI Syariah ... 99
Lampiran 3 Surat Keterangan Wawancara dengan Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia ... 100
Lampiran 4 Hasil Wawancara dengan Officer Card Bussiness Division
Bank BNI Syariah ... 101
Lampiran 5 Hasil Wawancara dengan Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia ... 105
Lampiran 6 Formulir Aplikasi iB Hasanah Card ... 108
1 A. Latar Belakang Masalah
Bank merupakan badan usaha yang melaksanakan berbagai macam jasa
keuangan, seperti menghimpun dana (funding), memberikan pinjaman dan
menyalurkan pembiayaan (lending). Pengertian bank menurut pasal 1 UU No. 10
tahun 1998 yang merupakan revisi dari UU No. 7 tahun 1992 pada pasal 1, "Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak1".
Bank yang banyak dikenal sekarang ini adalah Bank Konvensional
merupakan Bank yang menjalankan fungsinya menggunakan sistem bunga.
"Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada
zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi'ah. Dengan demikian praktek
pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya2”.
Sesuai dengan Firman Allah SWT Q.S. Al-Baqarah: 275:
نِم ن ـطۡيّشلٱ ه طّبختي ىِذّلٱ ِو قي امك ّاِإ نو مو قي ا ْا وب ِ رلٱ نو ل ڪۡأي نيِذّلٱ
ِ سمۡلٱ
ۚ
ْا وب ِ رلٱ لِۡۡم عۡيبۡلٱ امّنِإ ْا ٓو لاق ِۡ ُّنأِب َِلنذ
ْا وب ِ رلٱ ِّرحو عۡيبۡلٱ َّٱ ّلحأو
ۚ
1
Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 1998 Pasal 1 ayat 2 2
2
"Orang yang makan(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu(sebelum datang larangan); dan urusannya(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya".
Riba sangat-sangat diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk
apapun. Diharamkan atas pemberi piutang dan juga atas orang yang berhutang
darinya dengan memberikan bunga, baik yang berhutang itu adalah orang miskin
atau orang kaya. Masing-masing dari keduanya dilaknati (dikutuk). Dan setiap
orang yang ikut membantu keduanya, dari penulisnya, saksinya juga dilaknati3.
Para ekonom modern dewasa ini, telah menyadari secara empiris, bahwa
bunga mengandung mudharat, karena mengambil keuntungan tanpa memikul
resiko atas proyek usaha yang dikelola si peminjam adalah sebuah ketidakadilan
dan ini dapat menimbulkan berbagai krisis, karena itu, tidak mengherankan jika
banyak pakar ekonomi yang berkeyakinan bahwa krisis ekonomi ini disebabkan
oleh sistem ribawi. Fakta, kini telah membuktikan bahwa sistem riba banyak
menimbulkan bencana diberbagai Negara dan berbangsa. Negara-negara
penghutang dijerat hutang yang besar 30% diantaranya adalah hutang bunga itu
3
Rochim Ridwan Abbas, Islamic Digest: Membumikan Ekonomi Islam (www.islamicdigest.asia,
bukan saja atas modal yang dipinjam, tetapi juga bunga atas bunga. Inilah yang
disebut dengan bunga yang berlipat ganda4.
Sistem perbankan syariah adalah alternatif sistem perbankan yang saling
menguntungkan kedua belah pihak (nasabah dan bank), yang didukung oleh
keanekaragaman produk dan skema keuangan yang lebih variatif, dan dilakukan
secara transparan agar adil bagi kedua belah pihak. Perbankan syariah merupakan
alternatif sistem perbankan yang kredibel dan menjadi pilihan masyarakat
Indonesia5.
Bank Islam (Syariah) yang dimaksud disini adalah bank Islam, bank yang
melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Islam, yaitu aturan
perjanjian (akad) antara bank dengan pihak lain (nasabah) berdasarkan hukum
Islam. Sehingga perbedaan antara Bank Islam (syariah) dengan bank konvensional
terletak pada prinsip dasar operasinya yang tidak menggunakan bunga, akan tetapi
menggunakan prinsip bagi hasil, jual beli dan prinsip lain yang sesuai dengan
syariat Islam. Karena bunga diyakini mengandung unsur riba yang diharamkan
(dilarang) oleh agama Islam6.
Bank Islam merupakan lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan
yang bekerja berdasarkan etika dan sistem nilai Islam, khususnya yang bebas dari
bunga (riba), bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti perjudian
(maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar), berprinsip
4
Agustianto Minka, www.agustiantocentre.com/?p=376 diakses pada tanggal 17 November 2015 5
Direktorat Bank Indonesia, Buku Saku Perbankan Syariah: Lebih Dari Sekedar Bank (Jakarta: Bank Indonesia, 2008) Hal. 9
6
4
keadilan, dan hanya membiayai kegiatan usaha yang halal. Bank Islam sering
dipersamakan dengan bank tanpa bunga. Bank tanpa bunga merupakan konsep
yang lebih sempit dari bank Islam, ketika sejumlah instrumen atau operasinya
bebas dari bunga. Bank Islam, selain menghindari bunga juga secara aktif turut
berpartisipasi dalam mencapai sasaran dan tujuan dari ekonomi Islam yang
berorientasi pada kesejahteraan sosial7.
Eksperimen pendirian Bank Syariah yang paling sukses dan inovatif di
masa modern dilakukan di Mesir pada 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr (Local
Saving Bank). Kesuksesan Mit Ghamr memberi inspirasi bagi umat Muslim di
seluruh dunia sehingga muncul kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata
masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern. Rintisan perbankan syariah mulai
terwujud di mesir pada decade 1960-an dan beroperasi sebagai rural-social bank
(semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di sepanjang delta Sungan
Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamr Bank binaan Prof. Dr. Ahmad Najjar
tersebut hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala kecil. Namun, institusi
tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem
finansial dan ekonomi Islam8.
Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi Konferensi
Islam di Karachi, Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal
untuk mendirikan bank syariah. Proposal yang disebut Studi tentang Pendirian
Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International
Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank
7
Ibd,. Hlm. 514 8
Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah: Teori,Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia
Islam (Federation of Islamic Banks), dikaji para ahli dari delapan belas negara
Islam. Proposal tersebut pada intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan
berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerja sama dengan
skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima.
Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan Federasi
Bank Islam9.
Perbankan Syariah, sebuah nama khas Indonesia untuk perbankan Islam
(islamic banking), merupakan fenomena baru di Indonesia. Keberadaannya di
dunia masih berumur sekitar tiga dekade, sedangkan di Indonesia ia baru berumur
sekitar satu dekade lebih sedikit. Oleh karena itu, kehadirannya, baik ditingkat
internasional maupun nasional, belumlah signifikan. Nilai aset perbankan syariah
di Indonesia baru mencapai 0,6% dari nilai aset perbankan nasional.
Perkembangan tertinggi tercatat di Kuwait, tetapi di Negara ini pun nilai aset
perbankan Islam baru mencapai 20%, sedangkan di Malaysia baru mencapai
8-10%. Hanya di tiga Negara, yaitu di Pakistan, Sudan dan Iran seluruh sistem
perbankan sudah mengikuti sistem syariah. Hal tersebut terjadi karena adanya
intervensi Negara, yaitu dekrit pemerintah pusat agar seluruh sistem perbankan
konvensional ditinggalkan dan diganti dengan sistem perbankan berdasarkan
syariat Islam10
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai bank syariah pertama di Indonesia
pada tahun 1991 setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga
bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, pada 19-22 Agustus 1990, hasil lokakarya
9
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) Hal. 19
10
6
tersebut dibahas lebih mendalam pada musyawarah nasional IV Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang berlangsung di Hotel Syahid Jaya, Jakarta pada 22-25
Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut, maka dibentuk kelompok
kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Bank Muamalat Indonesia lahir
sebagai kerja tim perbankan MUI tersebut, akta pendirian PT Bank Muamalat
Indonesia ditandatangani pada 1 November 1991. Dan mulai beroperasi pada
tanggal 1 Mei 199211.
Keberadaaan Bank Islam di Indonesia dapat dikatakan cukup prospektif
dalam kancah perekonomian nasional terbukti Bank Muamalat bertahan terhadap
krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998. Pada tahun tersebut, Bank
Syariah terbukti mampu bertahan ketika perekonomian Indonesia diguncang krisis
moneter. Tetapi tidak pada Bank Konvensional yang mengalami keterpurukan
dengan nilai suku bunganya yang melambung tinggi. Keunggulan sistem bagi
hasil yang diterapkan Bank Syariah ini membawa dampak positif sehingga tidak
begitu terpengaruh pada nilai suku bunga yang fluktuatif.
Saat ini, perkembangan industri keuangan syariah di tanah air selama dua
dasawarsa memang masih belum mampu mengeksplorasi potensi yang ada. Data
terkini dari OJK menunjukkan bahwa aset perbankan syariah baru 4,92 persen
dari aset perbankan nasional, aset asuransi syariah baru 4,25 persen dari total aset
asuransi nasional, begitu pula dengan pembiayaan syariah yang baru 5,51 persen
dari total aset pembiayaan nasional. Walaupun belum dapat keluar dari five
percent track, sektor perbankan syariah dengan marketshare yang sebesar 4,92
11
Nur Melinda Lestari, Sistem Pembiayaan Bank Syariah: Berdasarkan UU No.21 Tahun 2008
persen tadi mencapai pertumbuhan aktiva 49,17 persen per tahun, jauh diatas
pertumbuhan aktiva perbankan nasional yang sebesar 18 persen per tahun.
Sehingga memang dapat dikatakan bahwa industri syariah memiliki potensi yang
besar untuk lebih berkembang lagi12.
"Jasa produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah Indonesia cukup
banyak dan bervariasi untuk memenuhi kebutuhan usaha maupun pribadi, baik
urusan luar negeri maupun luar negeri. Jasa produk yang ditawarkan perbankan
syariah Indonesia pada dasarnya tidak berbeda dengan jasa produk yang
ditawarkan perbankan konvensional, tetapi dengan menggunakan akad-akad
syariah13". Salah satu jasa produk yang ditawarkan adalah kartu kredit syariah
Islam (Syariah Card).
BNI Syariah dalam pengembangan produknya berinovasi menerbitkan iB
Hasanah Card yang merupakan kartu kredit berbasis prinsip-prinsip syariah pada
tanggal 7 Febuari 2009. iB Hasanah Card adalah kartu pembiayaan yang
berfungsi seperti kartu kredit sesuai dengan prinsip syariah dengan menggunakan
akad kafalah, qardh dan ijarah. BNI Syariah meluncurkan tiga tipe iB Hasanah
Card yaitu Hasanah Classic, Hasanah Gold, Hasanah Platinum.
Adapun fitur dan program iB Hasanah Card yang ditawarkan oleh BNI
Syariah antara lain Smart Spending dan Danaplus. Smart Spending 0% adalah
fitur/program yang disediakan oleh Pihak Pertama berupa layanan cicilan dengan
jangka waktu tertentu atas suatu transaksi pembelanjaan dengan jumlah tertentu
dengan menggunakan iB Hasanah Card pada program yang oleh Pihak Pertama
12
Bambang Brodjonegoro, Islamic Digest: Membumikan Ekonomi Islam (www.islamicdigest.asia,
2015) Hal. 8 13
8
ditetapkan sebagai Smart Spending. Semisal transaksi kurang dari dua juta rupiah
akan dikenakan biaya administrasi sebesar empat ratus ribu rupiah dengan peroide
cicilan dua belas bulan atau setahun. Selanjutnya transaksi lebih dari dua juta
rupiah sampai dengan empat juta rupiah dikenakan biaya administrasi sebesar
delapan ratus ribu rupiah dengan periode cicilan setahun, dan seterusnya bisa
dilihat pada tabel berikut.
TABEL 1.1
Smart Spending iB Hasanah Card
NO Nilai Transaksi [Rp] Biaya Adm [Rp] Keterangan
1 Sd. 2.000.000 400.000 Periode cicilan 12 bulan
2 >2.000.000 sd 4.000.000 800.000 Periode cicilan 12 bulan 3 >4.000.000 sd 6.000.000 1.200.000 Periode cicilan 12 bulan 4 >6.000.000 sd 8.000.000 1.600.000 Periode cicilan 12 bulan 5 >8.000.000 sd
10.000.000
2.000.000 Periode cicilan 12 bulan
6 >10.000.000 sd 90.000.000
2.400.000 Periode cicilan 12 bulan
Sumber : Bank BNI Syariah
Danaplus adalah fasilitas untuk melakukan transfer dana dari iB Hasanah
Card ke rekening tabungan pemegang kartu di bank manapun. Maksimal dana
yang bisa ditransfer adalah sebesar 20% dari batas kredit iB Hasanah Card.
Semisal nilai transaksi kurang dari sama dengan dua juta rupiah akan dikenakan
biaya administrasi sebesar dua puluh lima ribu rupiah. Dan untuk seterusnya biaya
administrasi akan bertambah sesuai dengan nilai transaksi, bisa dilihat dalam tabel
TABEL 1.2
Danaplus iB Hasanah Card
No Nilai Transaksi [Rp] Biaya[Rp]
1 s/d 1.200.000 25.000
2 >1.200.000 s/d 2.400.000 50.000
3 >2.400.000 s/d 3.600.000 75.000
4 >3.600.000 s/d 4..800.000 100.000
5 >4.800.000 s/d 6.000.000 125.000
6 >6.000.000 s/d 7.200.000 150.000
7 >7.200.000 s/d 8.400.000 175.000
8 >8.400.000 s/d 9.600.000 200.000
9 >9.600.000 s/d 10.800.000 225.000
10 >10.800.000 s/d 12.000.000 250.000
12 >12.000.000 s/d 13.200.000 275.000
13 >13.200.000 s/d 14.400.000 300.000
14 >14.400.000 s/d 15.600.000 325.000
15 >15.600.000 s/d 16.800.000 350.000
16 >16.800.000 375.000
Sumber : Bank BNI Syariah
Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa biaya adminstrasi Smart Spending
dan Danaplus diukur dengan besarnya nilai transaksi. Akan tetapi ketentuan fee
tersebut belum diatur ketentuannya dalam fatwa DSN-MUI Nomor 54 tahun 2006
tentang Syariah Card.
BNI Syariah menggandeng Provider MasterCard International
memastikan penggunaan iB Hasanah Card hanya dapat digunakan di mal atau
pusat perbelanjaan dan tempat hiburan yang halal karena sudah dilengkapi dengan
kode tertentu.
Namun, penulis melihat fakta minuman keras yang sudah beredar dipasar
(minimarket dan supermarket) merupakan sebuah dilema sejauh mana kode
10
Ketentuan tentang Batasan (Dhawabith wa Hudud) fatwa DSN-MUI no. 54 tahun
2006 poin e, yaitu Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah.
BNI Syariah perlakukan pengenaan ta'widh bagi nasabah yang mengalami
keterlambatan dalam pembayaran kartu yang jatuh tempo dan denda bagi
pemakaian kartu yang melampaui batas limit. Mengingat Firman Allah SWT :
ا ْو ف ْوأو
"…Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya". QS. Al-Isra’ [17]: 34
Dalam fatwa DSN-MUI Nomor 54 tahun 2006, Ta'widh adalah ganti rugi
terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan
pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
Selanjutnya, denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat keterlambatan
pembayaran kewajiban yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Besar ganti rugi (ta'widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real
lost) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian
yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang
(oppor-tunity loss atau al-furshah al-dho-i'ah)14
Akan tetapi terdapat perbedaan antara praktek yang terjadi pada Bank BNI
syariah dengan fatwa DSN-MUI tentang ta'widh. Pada prakteknya, biaya ta'widh
ditentukan berdasarkan jangka waktu. Biaya ta'widh tidak ditentukan berdasarkan
biaya riil kebutuhan bank dalam rangka pengihan hak yang seharusnya
14
dibayarkan, akan tetapi ditentukan berdasarkan jangka waktu yang dapat dilihat
pada tabel berikut.
TABEL 1.3
Biaya Penagihan (ta'widh) iB Hasanah Card
NO PARAMETER CLASSIC GOLD PLATINUM
1 0 DAYS – 29 DAYS 15.000 35.000 110. .000
2 30 DAYS – 59 DAYS 20.000 50.000 160.000
3 60 DAYS – 89 DAYS 25.000 65.000 220.000
4 90 DAYS – 119 DAYS 40.000 100.000 340.000
5 120 DAYS – 149 DAYS 50.000 120.000 410.000
6 150 DAYS – 179 DAYS 60.000 150.000 480.000
7 >180 DAYS 320.000 800.000 2.800.000
Sumber : Bank BNI Syariah
Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk lebih meneliti dan membahas
lebih dalam yang dituangkan dalam judul:
Analisis Fatwa DSN-MUI Nomor 54 tahun 2006 tentang Syariah Card pada
Produk iB Hasanah CardBank BNI Syariah Tbk.
B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah
Untuk memperjelas persoalan dan permasalahan yang dibahas, perlu
disampaikan pembatasan dan perumusan masalah pada skripsi ini. Dalam
penulisan skripsi ini, penulis ingin menulis seputar Syariah Card dengan segala
ketentuan-ketentuan dan batasan-batasan yang diatur oleh fatwa DSN-MUI. Oleh
karena luasnya pembicaraan Syariah Card, maka penulis membatasi ruang
lingkup permasalahan tinjauan hukum DSN-MUI terhadap aplikasi iB Hasanah
12
Adapun perumusan masalah dari pembahasan skripsi ini adalah :
1. Bagaimanakah mekanisme Syariah Card menurut Fatwa DSN-MUI No. 54
Tahun 2006 ?
2. Bagaimanakah operasional Syariah Card pada iB Hasanah Card Bank BNI
Syariah?
3. Apakah operasional iB Hasanah Card di BNI Syariah sudah sesuai dengan
Fatwa DSN-MUI Nomor 54 tahun 2006?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini dikemukakan beberapa tujuan yang hendak
dicapai, antara lain :
1. Untuk mengetahui mekanisme Syariah Card menurut fatwa DSN-MUI
2. Untuk mengetahui operasional iB Hasanah Card pada Bank BNI Syariah
3.
Untuk mengetahui kesesuaian antara operasional iB Hasanah Card pada BankBNI Syariah terhadap mekanisme Syariah Card menurut fatwa DSN-MUI No
Nomor 54 tahun 2006
.
Adapun hasil dari penelitian dan penulisan skripsi ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi perbankan syariah, pembaca maupun penulis, yang
1. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan pemahaman khususnya dalam mengkaji fatwa
yang dikeluarkan DSN-MUI dengan mengimplementasikan kaidah-kaidah
yang ada dengan teori-teori yang ada dalam menganalisa kesyariahan suatu
produk. Juga sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Studi Sarjana
(S1) Program Studi Ekonomi Islam Perbankan (Muamalah) Sekolah Tinggi
Agama Islam Asy-Syukriyah Kota Tangerang.
2. Bagi Akademisi
Memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan dalam khazanah
perkembangan ekonomi islam khususnya bagi lembaga keuangan syariah
3. Bagi Praktisi
Memberikan bahan masukan dan informasi dalam mengevaluasi
produk-produk yang digulirkan agar selalu sesuai dengan Prinsip Syariah.
D. Metode Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif, yaitu alat ukur/alat kualitatif yang digunakan untuk
meng-exercise topik/objek penelitian15.
Penelitian Kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif
dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna (perspektif subjek) lebih
ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai
pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta dilapangan. Selain itu
15
14
landasan teori juga bermanfaat untuk memeberikan gambaran umum tentang latar
penelitian dan sebagai bahan hasil penelitian16.
Sementara penelitian deskriptif secara harfiah adalah penelitian yang
bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau
kejadian-kejadian. Dalam arti ini penelitian deskriptif itu adalah akumulasi data
dasar dalam cara deskriptif , biasanya digunakan istilah penelitian survei17.
Adapun alat ukur/alat kualitatif yang digunakan untuk meng-exercise
topik/objek penelitian adalah sebagai berikut :
1. Field Research atau Penelitian Lapangan, yaitu melakukan pencarian data
dan infomasi mengenai permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini melalui
wawancara dan studi dokumentasi. Penelitian ini dilakukan melalui
pengumpulan data-data berupa:
a. Laporan mekanisme produk iB Hasanah Card antara pihak bank selaku
Penerbit Kartu (mushdir al-bithaqah), nasabah selaku Pemegang Kartu
(hamil bithaqah) dan Penerima Kartu (merchant, tajir, atau qabil
al-bithaqah)
b. Hasil wawancara dengan salah satu anggota Card Business Division
c. Hasil wawancara dengan salah satu anggota Dewan Syariah Nasional
Majlis Ulama Indonesia
2. Library Research atau Penelitian Kepustakaan, dilakukan untuk memperoleh
dan memahami konsep-konsep dan teori-teori serta ketentuan-ketentuan
praktek iB Hasanah Card. Penelitian Kepustakaan, yaitu mencari data yang
16
Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kualitatif, diakses pada tanggal 12 Mei 2016 17
diperoleh dari literatur-literatur dan referensi yang berhubungan dengan judul
skripsi diatas. Dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh kerangka
teori yang relevan dengan pokok bahasan dalam operasi penelitian ini
3. In-Depth Interview (wawancara mendalam) adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang
diwawancarai18.
Selanjutnya menganalisis data yang terhimpun dari kegiatan pengumpulan
data dengan melakukan Studi Komparatif yaitu melakukan perbandingan
kesesuaian antara praktek iB Hasanah Card dengan isi fatwa DSN-MUI no. 54
tahun 2006
Penelitian ini membutuhkan waktu dari tanggal 9 November 2015 sampai
dengan 19 Agustus 2016. Sedangkan tempat penelitian ini adalah pada Card
Bussiness Division Bank BNI Syariah Tbk. Yang terletak di Lantai Enam Gedung
Tempo Pavilion 1 Jl. HR Rasuna Said Kav 10-11, Lt 3-6, Jakarta 12950,
Indonesia
Teknik penulisan skripsi berdasarkan pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam Asy-syukriyyah”, Kota Tangerang, Tahun
2016.
18
16
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri atas 5 (lima) bab yang sistematika pembahasannya
disusun sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Batasan
Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metode Penelitian, Sistematika Penulisan, Penelitian Terdahulu dan
Kerangka Pemikiran
BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan membahas tentang Pengertian Fatwa, Kartu
Kredit Syariah Islam (Syariah Card), Pengertian Ta’widh
Perbedaan antara Kartu Kredit Konvensional dengan Kartu Kredit
Syariah, Pengertian Akad, Akad-akad yang digunakan dalam
Syariah Card
BAB III GAMBARAN UMUM BNI SYARIAH TBK.
Bab ini membahas tentang Gambaran Umum BNI Syariah Tbk.,
diantaranya adalah Sejarah Bank BNI Syariah, Visi dan Misi Bank
BNI Syariah
,
Struktur Organisasi, Produk-produk Bank BNISyariah
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas tentang Mekanisme Syariah Card menurut
Fatwa DSN-MUI No. 54 Tahun 2006 dan Operasional produk iB
dan komentar salah satu DSN-MUI. Menganalisa kesesuian antara
Fatwa DSN-MUI No. 54 Tahun 2006 tentang Syariah Card pada iB
Hasanah Card Bank BNI Syariah
BAB V PENUTUP
Bab ini penulis menyajikan kesimpulan dari hasil analisa yang
dilakukan dan saran yang dapat penulis berikan terkait dengan
permasalahan yang ada dalam penelitian
F. Penelitian Terdahulu
Skripsi ini menganalisa hukum islam terhadap hasanah card BNI Syariah, yaitu meliputi akad dalam aplikasi hasanah card, bagaimana penerapannya dalam aplikasi hasanah card. Setelah itu menjelaskan skema akad-akad dalam hasanah card ditinjau dari
18
Tbk aplikasi produk Hasanah
Card di BNI Syariah dan perkembangan kinerja BNI Syariah aplikasi kartu kredit syariah pada salah satu perbankan syariah, yaitu pada PT Bank BNI Syariah, persamaan dan perbedaan sistem antara kartu kredit syariah dengan konvensional, serta kelemahan dan keunggulan kartu kredit syariah dan analisa bagaimana proses penetepan fatwa Syariah Card, dalil yang dijadikan hukum oleh DSN-MUI dalam menetapkan fatwa tersebut, dan alasan DSN-MUI mengeluarkan fatwa tersebut
Susunan skripsi diatas adalah sebagai acuan dan sebagai data-data yang
telah diteliti sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian penulis yang berguna
sebagai penunjang karya ilmiah penulis.
Adapun fokus perbedaan skripsi penulis dengan skripsi-skripsi terdahulu
adalah penulis menganalisa operasional produk iB Hasanah Card pada Bank BNI
Syariah terhadap Fatwa DSN-MUI No. 54 Tahun 2006 tentang Syariah Card yang
G. Kerangka Pemikiran
Gambar 1
.1
Kerangka PemikiranSyariah Card
Fatwa DSN-MUI
Produk iB Hasanah Card di BNI Syariah
Sesuai Tidak Sesuai
Komentar DPS Alasan
Kesimpulan Kesimpulan
20 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Fatwa
Fatwa يوتف adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada
suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa sendiri dalam bahasa
Arab artinya adalah "nasihat", "petuah", "jawaban" atau "pendapat". Adapun yang
dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah
lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya. Disampaikan oleh seorang
mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan.
Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang
diberikan kepadanya. Penggunaannya dalam kehidupan beragama di Indonesia,
fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai suatu keputusan tentang
persoalan ijtihadiyah yang terjadi di Indonesia guna dijadikan pegangan
pelaksanaan ibadah umat Islam di Indonesia1.
Perkataan fatwa berasal dari bahasa Arab al-fatwa, walfutya jamaknya
fatawa yang telah diadopsi dan membumi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah mendefinisikan fatwa sebagai
penjelasana tentang hukum Islam yang diberikan oleh seorang faqih atau lembaga
fatwa kepada umat, yang muncul baik karena adanya pertanyaan maupun tidak.
1
Secara sederhana, fatwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah jawab
(Keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah2.
Secara etimologis kata fatwa berasal dari bahasa arab al-fatwa. Menurut
Ibnu Manzhur kata fatwa ini merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu,
fatwan, yang bermakna muda, baru, penjelasan, penerangan. Pendapat ini hampir
sama dengan pendapat Al-fayumi, yang menyatakan bahwa al-fatwa berasal dari
kata al-fata artinya pemuda yang kuat. Sehingga seorang yang mengeluarkan
fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai
kekuatan dalam memberikan penjelasan (al-bayan) dan jawaban terhadap
permasalahan yang dihadapinya sebagaimana kekuatan yang dimiliki oleh seorang
pemuda3.
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan proses pemberian fatwa
(iftaa), yakni:4
1. Al-Ifta atau al-futya, artinya kegiatan menerangkan hukum syara' (fatwa)
sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
2. Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau
meminta fatwa.
3. Mufti, artinya orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut atau
orang yang memberi fatwa.
Menurut M. Yahya Harahap, fatwa yang dikeluarkan oleh ulama terkenal
dapat dijadikan pegangan atau pedoman oleh kelompok atau perseorangan tertentu
2
A. Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syariah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012) hlm.20
3
Ma'ruf Amin, Fatwa dalam sistem hukum Islam (Jakarta: Elsas, 2008) hlm. 19 4
22
yang sepaham dengan ulama tersebut. Fatwa yang dikeluarkan oleh ulama yang
tidak memiliki kompetensi atau otoritas yang diakui secara resmi, tidak mengikat
kepada masyarakat. Lain halnya dengan fatwa yang diberikan badan atau lembaga
yang memiliki kompetensi dan otoritas resmi, fatwanya mengikat secara relatif
dan fakultatif, bukan absolut5.
Otoritas Syariah tertinggi di Indonesia berada pada Dewan Syariah
Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang merupakan lembaga
independen dalam mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan masalah
Syariah agama Islam, baik masalah ibadah maupun muamalah, termasuk masalah
ekonomi, keuangan, dan perbankan6.
DSN-MUI dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam
mengenai masalah perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan
tuntunan syariat Islam. Pembentukan DSN-MUI merupakan langkah efisiensi dan
koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan
masalah ekonomi/keuangan. Berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa
akan ditampung dan dibahas bersama agar diperoleh kesamaan pandangan dalam
penanganannya oleh masing-masing Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada di
lembaga keuangan syariah. Kemudian untuk mendorong penerapan ajaran Islam
dalam kehidupan ekonomi dan keuangan, DSN-MUI akan senantiasa dan
berperan secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia
yang dinamis dalam bidang ekonomi dan keuangan7.
5
A. Wangsawidjaja Z. Op. Cit., hlm.21 6
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 206 7
DSN-MUI, Sekilas tentang DSN-MUI, http://www.dsnmui.or.id/index.php?page=sekilas diakses
DSN-MUI memiliki peranan tugas dan fungsi di bidang keuangan dan
perbankan yang merupakan satu-satunya badan otoritas yang memberikan saran
kepada institusi keuangan berkaitan dengan operasional perbankan syariah,
mengkoordinasi isu-isu Syariah tentang keuangan dan perbankan syariah, dan
menganalisa juga mengevaluasi aspek-aspek syariah dari produk baru yang
diajukan oleh institusi keuangan syariah.
DSN-MUI juga mempunyai kewenangan untuk memberikan atau
mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai anggota DPS pada
satu lembaga keuangan syariah. DPS adalah badan independen yang ditempatkan
oleh DSN-MUI pada perbankan dan lembaga keuangan syariah berkedudukan
dikantor pusat atau setingkat dengan komisaris yang memiliki tugas dan
wewenang untuk mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari
ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan DSN-MUI.
Peranan DPS sangat strategis dalam penerapan prinsip syariah di lembaga
perbankan syariah. DSN MUI memberikan tugas kepada DPS untuk8:
1. melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah,
2. mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada
pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN
3. melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan
syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam
satu tahun anggaran,
4. merumuskan permasalahan yang memerlukan permbahasan dengan DSN.
8
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Bogor: Ghalia
24
DSN-MUI memiliki tugas, fungsi dan wewenang untuk9:
1. mengeluarkan fatwa tentang ekonomi syariah untuk dijadikan pedoman bagi
praktisi dan regulator,
2. menerbitkan rekomendasi, sertifikasi, dan syariah approval bagi lembaga
keuangan dan bisnis syariah,
3. melakukan pengawasan aspek syariah atas produk/jasa di lembaga
keuangan/bisnis syariah melalui Dewan Pengawas Syariah,
4. mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di
masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak
terkait,
5. mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan
Bank Indonesia,
6. memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang
akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada suatu lembaga
keuangan dan bisnis syariah,
7. mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan
dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga
keuangan dalam maupun luar negeri,
8. memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional,
9
9. mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan
apabila peringatan tidak diindahkan.
Suatu fatwa DSN-MUI diterbitkan melalui suatu prosedur formal yang
mekanismenya telah diatur sebagaimana telah ditentukan dalam angka V
Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 01 Tahun 2000
tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (PD
DSN-MUI) sebagai berikut10:
1. Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai
suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan atau pertanyaan ditujukan
kepada Sekretariat Badan Pelaksana Harian.
2. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris paling lambat 1 (satu) hari kerja
setelah menerima usulan/pertanyaan harus menyampaikan permasalahan
kepada Ketua.
3. Ketua Badan Pelaksan Harian bersama anggota dan staf ahli
selambat-lambatnya 20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi
telaah dan pembahasan terhadap suatu pertanyaan/usulan.
4. Ketua Badan Pelaksan Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan ke
dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan.
5. Fatwa atau Memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh ketua
dan Sekretaris Dewan Syariah Nasional.
10
26
B. Kartu Kredit Syariah Islam (Syariah Card)
Kartu kredit dalam bahasa arab adalah bithaqah I’timan. Dalam Fiqih
Muamalah diartikan sebagai memberikan hak kepada orang lain atas hartanya
dengan ikatan kepercayaan, sehingga orang tersebut tidak bertanggung jawab
kecuali bila ia melakukan keteledoran atau pelanggaran. Transaksi itu sendiri
menurut ulama fiqh adalah transaksi bebas bukan transaksi penyerahan hak. Misalnya dikatakan kepada seseorang, ”silahkan beli barang saya ini seperti kamu
biasa membelinya dari orang lain karena saya tidak mengerti harga.” maka ia
membelinya dengan harga yang biasa ia keluarkan untuk membeli barang sejenis.
Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman, yakni yang
berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya serta
kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman
untuk dibayar secara tertunda11.
Pengertian kartu kredit Dalam Expert Dictionary didefinisikan: ”kartu
yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya untuk memungkinkan
pembawanya membeli barang-barang yang dibutuhkannya secara hutang. Sementara dalam kamus Ekonomi Arab menjelaskan, ”sejenis kartu khusus yang
dikeluarkan oleh pihak bank-sebagai pengeluar kartu-, lalu jumlahnya akan
dibayar kemudian. Pihak bank akan memberikan kepada nasabahnya itu rekening
bulanan secara global untuk dibayar, atau untuk langsung didebet dari rekeningnya yang masih berfungsi.”12
.
11
Ulul Azmi Mustafa, Syariah Card Perspektif Al-Maqasid Syariah. Jurnal Ekonomi Islam. Hlm.3 12
Menurut Kasmir, yang dimaksud dengan kartu kredit adalah kartu plastik
yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang diberikan
kepada nasabah untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran dan
pengambilan uang tunai13.
Kartu kredit (credit card) adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang
timbul dari suat kegiatan ekonomi, temasuk transaksi pembelanjaan dan/atau
untuk melakukan penarikan tunai di mana kewajiban pembayaran Pemegang
Kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan Pemegang Kartu
berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu
yang disepakati baik secara sekaligus (change card) ataupun secara angsuran14.
Dalam praktiknya, sebelum suatu bank memutuskan, misalnya apakah
akan menyetujui atau tidak permohonan kartu plastik dari calon nasabah,
mekanisme dan syaratnya relatif sama dengan nasabah yang hendak mengajukan
permohonan untuk mendapatkan kredit atau fasilitas pembiayaan dari bank.
Dengan demikian, perlakuan bank terhadap permohonan kartu plastik sama
dengan terhadap permohonan kredit. Dalam permohonan kredit, bila disetujui
nasabah dapat menarik sejumlah uang tertentu dengan jaminan kebendaan
(jaminan utama dan jaminan tambahan yang secara yuridis dikuasai oleh bank),
sedangkan untuk kartu plastik juga nasabah dapat mengambil sejumlah uang
tertentu atau untuk membayar pada sejumlah tertentu dan untuk jaminannya lebih
13
Kasmir, Dasar-dasar Perbankan. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 195 14
28
dititikberatkan pada reputasi calon nasabah (privacy) dan bukan jaminan
kebendaan15.
Sementara itu, reaksi pertama yang muncul ketika mendengar “kartu kredit
syariah” barangkali seperti menerka suatu teka-teki yang sulit dicari jawabannya.
Teka-teki yang sama dirasakan oleh pemerhati bisnis syariah, yang was-was dengan “back door riba” atau “hiyal” yang dialamatkan pada pengembangan
produk syariah dengan inovasi baru. Namun, ada pula pihak yang memandang
sebagai terobosan baru yang bermakna. Kehadiran kartu kredit syariah sebagai
jawaban terhadap tuntutan kebutuhan bisnis secara syariah, dengan harapan akan
memenuhi kebutuhan sistem pembayaran yang mudah dan nyaman sesuai dengan
syariah16.
Syariah Card berasal dari dua kata, bahasa arab yaitu ع ش yang berarti
syariat, ajaran, undang-undang hukum. dan bahasa inggris yaitu card yang berarti
kartu. Pengertian syariah menurut Ashshiddieqy adalah sebagai nama bagi hukum
yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya dengan perantara Rasulullah,
supaya para hamba melaksanakannya dengan dasar iman dan taqwa, baik hukum
itu mengenai amaliyah lahiriyah maupun yang mengenai akhlaq dan akidah,
kepercayaan yang bersifat batiniah17.
Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang
hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak yaitu,
pihak penerbit kartu (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil al-bithaqah)
15
Veithzal Rivai, Basri Modding, Andria Permata Veithzal, Tatik Mariyanti, Financial Institution Management (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 527
16
Ibd., hlm. 576-577 17
dan penerima kartu (merchant, tajir atau qabil al-bithaqah) berdasarkan prinsip
Syariah18.
Landasan penerbitan Syariah Card yang dijadikan sebagai acuan umum
sebagai berikut :
1. Q.S. Al-Maidah: 1
ِدو ق عۡلٱِب ْاو ف ۡوأ ْا ٓو نماء نيِذّلٱ اُ يأٓ ـي
ۚ
Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad"
2. Q.S. Al-Maidah: 2
Artinya : "tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran"
3. Hadist Nabi riwayat Imam a;-Tirmidzi dari Amr bin Auf al-Muzani, Nabi
s.a.w. bersabda : "perjanjian boleh dilakukan diantara kaum muslimin
kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halam atau menghalalkan yang haram"
4. Hadist Nabi riwayat Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda :
"Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah
akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa
menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya".
5. Kaidah fiqh
اُِمْي ِرْحت ىلع ٌلْيِلد ّل دي ْنأ ّاِإ ةحابِْۡا ِ اماع مْلا ىِف لْصأا
18
30
"pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya"
Biaya-biaya (Fee) dalam Syariah Card19:
1. Membership Fee (rusum al-udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk
perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu, sebagai imbalan izin
menggunakan kartu yang pembayarannya berdasarkan kesepakatan.
2. Merchant Fee adalah fee yang diberikan oleh merchant kepada penerbit kartu
sehubungan dengan transaksi yang menggunakan kartu sebagai upah/imbalan
(ujrah) atas jasa perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan
(tahsin al-dayn)
3. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk
penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud)
4. Ta'widh adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar
kewajibannya yang telah jatuh tempo.
5. Denda Keterlambatan (late charge) adalah denda akibat keterlambatan
pembayaran kewajiban
Akad yang digunakan dalam Syariah Card adalah20:
1. Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang
Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari
transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penerikan tunai
19
Ibid., hlm. 11 20
dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah,
penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah)
2. Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh)
kepada Pemegang Kartu(muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau
ATM bank Penerbit Kartu.
3. Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran
dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu
“maka barang siapa melakukan aniaya(kerugian) kepadamu, balaslah ia,
seimbang dengan kerugian yang telah ia timpakan kepadamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, Dimasyq: Dar al-Fikr, 1998:
ضْيِوْعّتلا
32
Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan
sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. Kerugian yang dapat
dikenakan ta'widh adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
Kerugian riil adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak
yang seharusnya dibayarkan. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai
kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut
dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya
peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i'ah). Ganti rugi
(ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang
piutang (dain), seperti salam, istishna' serta murabahah dan ijarah.
Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak
(pendapatan) bagi pihak yang menerimanya. Jumlah ganti rugi besarnya harus
tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung
kesepakatan para pihak. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam
akad. Pihak yang cedera janji bertanggungjawab atas biaya perkara dan biaya
D. Perbedaan antara Kartu Kredit Konvensional dengan Kartu Kredit
Syariah
TABEL 2.1
Perbedaan antara Kartu Kredit dengan Syariah Card
Kartu Kredit Konvensional Kartu Kredit Syariah Dasar Hukum UU Perbankan, PBI Al-Qur'an, Al-Hadist, UU
Perbankan, PBI, UUPS, Fatwa DSN
Perjanjian Berdasar Bunga Berdasar akad Kafalah,
Qardh & Ijarah Ketentuan
Penggunaan
Tidak dibatasi Hanya dapat digunakan
untuk transaksi yang sesuai syariah
Fitur Cash Advance, Danaplus,
Extra Dana, Smartspending, transfer balance, Executive Lounge, dsb.
Fitur sama dengan kartu kredit reguler, yang
membedakan cara
penetapan fee-nya Pendapatan Bank Annual Fee, Monthly Fee,
Merchant Fee, Bunga atas transaksi, Biaya Denda
(keterlambatan dan
Sumber: BNI Syariah (Data diolah)
E. Pengertian Akad
“Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu”
Didalam hukum syariah, kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk
bekerja sama dalam suatu bentuk usaha atau suatu transaksi diwujudkan dalam
34
dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih, dimana isi kesepakatan tidak boleh
menyimpang dan harus sejalan dengan hukum-hukum syariah. Akad akan menjadi
semacam pedoman dalam bertransaksi, sekaligus mengandung konsekuensi bagi
para pihak untuk menaatinya22.
Aqad adalah ikatan kontrak dua pihak yang telah bersepakat. Hal ini
berarti didalam akad masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban
mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Aqad telah
disepakati secara rinci dan spesifik tentang terms and condition-nya. Dengan
demikian, bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak
dapat memenuhi kewajibannya, maka salah satu atau kedua pihak tersebut
menerima sanksi yang sudah disepakati dalam akad23.
Didalam Bank Syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi
duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan / perjanjian yang telah
dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak
demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggung jawaban hingga yaumil
qiyamah nanti24.
Pengertian akad secara khusus yang diterima oleh banyak pakar fiqh
adalah pertalian ijab (yang disampaikan salah satu pihak yang mengadakan
22
Yusak Laksamana, Panduan Praktis Account Officer Bank Syariah: Memahami Praktik Proses Pembiayaan di Bank Syariah, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009), Hal. 8
23
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YPKN, 2011) Hal. 85
24
kontrak) dengan qabul (yang disampaikan pihak lain) dengan cara yang
menimbulkan pengaruh pada objek kontrak25.
Kontrak merupakan pertalian antara dua pihak yang timbul karena
kesesuaian kehendak keduanya. Ijab dan qabul yang dilakukan oleh setiap pihak
yang berkontrak merupakan wujud dari kesesuaian kehendak antara keduanya.
Terjadinya ijab dan qabul memengaruhi status objek kontrak. Setiap transaksi
yang terjadi antara para pihak, selalu melibatkan kontrak antara keduanya.
Walaupun perbedaan antara keduanya bisa dijelaskan, tetapi hakikatnya,
kedua-duanya senantiasa tidak bisa dipisahkan. Sebuah transaksi akan menjadi sah
apabila syarat dan rukun kontrak telah dipenuhi oleh para pihak26.
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku
transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti
hal-hal berikut27.
1. Rukun
Seperti penjual, pembeli, barang, harga, dan akad/ijab-qabul
2. Syarat
Seperti syarat berikut:
a. Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang
haram menjadi batal demi hukum syariah
b. Harga barang dan jasa harus jelas
c. Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada
biaya transportasi 25
Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), Hlm. 111 26
Ibid,. Hlm. 111 27
36
d. Barang yang di traksaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak
boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang
terjadi pada transaksi shortsale dalam pasar modal.
Bank syariah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya
kebersamaan dan menanggung risiko usaha dan berbagai jenis hasil usaha antara
pemilik dana (shahibul mal) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga
selaku pengelola dana (mudarib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang
bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha. Pengelolaan dana tersebut
didasarkan pada akad-akad yang disesuaikan dengan kaidah muamalat. Dari segi
ada atau tidaknya kompensasi, fikih muamalat membagi akad menjadi dua bagian,
yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah28.
Akad tabarru’ yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut non-profit
transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi
bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan
tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Namun demikian, pihak
yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part nya untuk
sekedar menutup biaya (cover the cost) yang dikeluarkan untuk dapat melakukan
akad tabarru’ tersebut. Akan tetapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari
akad tabarru’ itu29.
28
Amir Machmud, Rukmana, Bank Syariah: Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris Di Indonesia,
(Jakarta: Erlangga, 2010) Hlm. 26 29
Berbeda dengan akad tabarru’, akad tijarah (compensational contract)
adalah segala macam perjanjian yang menyangkut profit transaction. Akad-akad
ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan sehingga bersifat komersil30.
Akad tabarru terbagi dalam tiga jenis transaksi, yaitu:
1. Transaksi Meminjamkan Uang, yaitu:
a. Qardh merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang atau barang yang
dilakukan tanpa ada tujuan keuntungan, namun pihak bank sebagai
pemberi pinjaman dapat meminta pengganti biaya yang diperlukan dalam
pelaksanaan kontrak qardh31.
b. Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta pemilik/peminjaman sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Tujuannya untuk memberikan
jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan
pembiayaan. Barang yang dijadikan jaminan dalam kontrak harus
memenuhi kriteria berikut: (1) milik nasabah bersangkutan, (2) memiliki
ukuran, sifat, dan nilai yang jelas sesuai dengan riil pasar, dan (3) dapat
dikuasai oleh bank namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank32.
c. Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini
merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berhutang)
30
Ibid., Hlm. 27 31
Tri Hendro, Conny Tjandra Rahardja, Bank dan Institusi Keuangan Non Bank di Indonesia (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014) Hlm.195
32
38
menjadi tanggungan muhal'alaih atau orang yang berkewajiban
membayar utang33.
2. Transaksi Meminjamkan Jasa, yaitu:
a. Wadi'ah, adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan
setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank
bertanggungjawab atas pengembalian titipan. Prinsip wadi’ah adalah
dimana pihak pertama menitipkan dana atau benda kepada pihak kedua,
selaku penerima titipan dengan konsekuensi, titipan tersebut
sewaktu-waktu dapat diambil kembali, dimana penitip dapat dikenakan biaya
penitipan. Berdasarkan kewenangan yang diberikan, maka wadi’ah
dibedakan menjadi wadi’ah ya dhamanah, yang berarti penerima titipan
berhak mempergunakan dana/barang titipan untuk didayagunakan tanpa
ada kewajiban penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada
penitip dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil setiap saat
diperlukan, sedang disisi lain ada wadi’ah amanah, yaitu tidak
memberikan kewenangan kepada penerima titipan untuk
mendayagunakan barang/dana yang dititipkan34.
b. Wakalah, yaitu pihak pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua
(sebagai wakil) untuk urusan tertentu dan pihak kedua mendapatkan
imbalan berupa fee atau komisi35.
33
Muhammad Syafi'i Antonio Op. Cit., Hlm. 126 34
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009) Hlm. 92
35
c. Kafalah, yaitu pihak pertama bersedia menjadi penanggung atas kegiatan
yang dilakukan oleh pihak kedua sepanjang sesuai dengan yang
diperjanjikan, yaitu pihak pertama menerima imbalan berupa fee atau
komisi (garansi)36.
3. Transaksi Memberikan Sesuatu, yaitu transaksi pemberian sesuatu dimana
pihak yang memberi tidak mengharapkan sesuatu tersebut dikembalikan
kepadanya, contoh: infaq, sedekah, wakaf, hadiah, hibah.
Sementara akad tijarah terbagi dalam dua golongan, yaitu:
1. Natural Certainty Contract (NCC)
Akad yang secara alamiah dapat dipastikan, yakni segala jenis akad transaksi
bisnis dimana cara pembayaran meliputi nilai nominal yang akan dibayar dan
jangka waktu pembayaran sudah diketahui secara pasti di awal perjanjian.
Bentuk akadnya adalah:
a. Murabahah, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga
belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang
lebih sebagai laba37.
b. Salam,adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan
syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh38.
c. Istishna, adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan
pembayaran sesuai dengan kesepakatan39.
36
Ibid,. Hlm. 93 37
Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 38