• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Dunia Orang Sunda dalam Cerita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pandangan Dunia Orang Sunda dalam Cerita"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA HANTU:

Makalah ini mencoba untuk melihat bagaimana pandangan dunia orang Sunda dalam cerita lisan mengenai hantu Kuntilanak. Cerita hantu merupakan bagian dari legenda alam gaib. Legenda alam gaib biasanya adalah pengalaman pribadi seseorang yang dianggap benar-benar terjadi (lihat Danandjaja, 2007:71). Jadi, dalam makalah ini, sumber data merupakan cerita pengalaman seseorang yang bertemu/berinteraksi dengan Kuntilanak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Di mana data yang berupa teks cerita akan dideskripsikan berdasarkan: 1) pandangan dunia orang Sunda yang tercermin dalam struktur cerita Kuntilanak, 2) proses penciptaan cerita Kuntilanak, 3) konteks penuturan cerita Kuntilanak, 4) fungsi cerita Kuntilanak, dan 5) makna cerita Kuntilanak. Sedangkan batasan wilayah dalam penelitian ini adalah wilayah Kabupaten Bandung, tepatnya di Kecamatan Rancaekek.

Kata kunci: pandangan dunia, orang Sunda, Kuntilanak.

1. PENDAHULUAN

Cerita hantu merupakan salah satu jenis cerita rakyat yang selalu ada dalam setiap kebudayaan. Iskandarsyah (2012:1) mengatakan bahwa cerita hantu sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari cerita-cerita rakyat (folkstale) dan budaya serta ritual di dunia. Cerita hantu merupakan bagian dari legenda alam gaib. Legenda alam gaib biasanya adalah pengalaman pribadi seseorang yang dianggap benar-benar terjadi (lihat Danandjaja, 2007:71). Legenda alam gaib seringkali menceritakan pengalaman seseorang bertemu atau berinteraksi dengan makhluk-makhluk gaib. Brunvand mengatakan berhubung legenda alam gaib merupakan pengalaman pribadi seseorang, ahli folklor Swedia, C.W. von Sydow, memberikan nama lain, yaitu memorat (Danandjaja, 2007:71).

(2)

cerita hantu. Hal tersebut dapat dilihat dari maraknya industri perfilman yang menjadikan cerita hantu sebagai komoditas utama.

Dari sekian banyak hantu yang ada di Indonesia, Kuntilanak adalah salah satu hantu yang paling populer. Kuntilanak adalah sosok hantu wanita yang meninggal dalam persalinan (Bianca, 2013:80). Hantu perempuan yang meninggal karena melahirkan bukan hanya ada di Indonesia. Di Malaysia, hantu perempuan yang meninggal karena melahirkan disebut Pontianak. Di Jepang dikenal dengan nama Ubume. Sedangkan di Thailand dikenal dengan Phi Tai Tong Glom. Bahkan di Thailand terdapat sebuah cerita Nang Nak yang sangat melegenda. Nang Nak sendiri adalah nama seorang perempuan yang ditinggal perang oleh suaminya dalam keadaan mengandung. Saat melahirkan, Nang Nak meninggal dan menjadi hantu. Setelah menjadi hantu, Nang Nak menunggu suaminya pulang dengan setia. Penantian itu berbuah manis, suaminya pulang dari medan perang. Suami Nang Nak sama sekali tidak mengetahui bahwa istrinya sudah meninggal. Mereka hidup seperti layaknya sepasang suami-istri sampai suatu hari datanglah pendeta yang memberitahu bahwa Nang Nak sudah lama meninggal. Hal tersebut membuat hantu Nang Nak marah dan membunuh semua penduduk desa Phra Kanong yang memberitahukan bahwa dia telah meninggal pada suaminya. Legenda ini sangat terkenal di Thailand. Bahkan ada sebuah kuil yang dipersembahkan untuk hantu Nang Nak.

Akibat sangat populernya cerita mengenai hantu perempuan yang meninggal akibat melahirkan inilah banyak muncul film-film yang terinspirasi dari cerita tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Bianca (2013:78) dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedi Hantu dan Makhluk Gaib Nusantara. Bianca mengatakan:

Kuntilanak atau sering disebut Pontianak adalah sosok makhluk gaib yang sering dieksploitasi. Wujudnya mudah dikenali, yaitu wanita berambut panjang menutupi mata, badan setengah membungkuk, melayang-layang, dan mengeluarkan suara tawa seram.

(3)

1961 sampai 2013. Dari Malaysia ditemukan tiga judul dengan rentang tahun 1957 sampai 2005. Di Thailand ditemukan lima judul dengan rentang tahun 1959-2013.

Banyaknya film-film yang mengangkat cerita Kuntilanak adalah bukti bahwa cerita tersebut masih diminati. Salah satu upaya untuk terus menghidupkan cerita Kuntilanak dalam film adalah dengan memberikan suguhan pornografi terhadap film tersebut. Film-film bermuatan pornografis kini marak mengangkat cerita Kuntilanak. Sederet artis-artis yang dikenal sensual pun turut membintangi film-film tersebut. Kini cap film “panas” pun melekat dalam film yang mengangkat cerita Kuntilanak. Cap film “panas” terhadap film tentang Kuntilanak kini mulai bergeser kepada sosok Kuntilanak sendiri. Seringkali Kuntilanak divisualkan dengan erotis dan memakai pakaian yang sensual. Hal tersebut semakin menjauhkan cerita Kuntilanak yang sebenarnya merupakan warisan tradisi lisan yang tentu saja memiliki nilai di dalamnya. Zaimar (2008:338) mengatakan bahwa di dalam tradisi lisan terpancar nilai, gagasan, norma, kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki baik oleh individu maupun masyarakat

(4)

klasifikasi tersebut, Memedi dan Dedemit sebenarnya sama saja yakni merupakan makhluk gaib yang menakutkan, tidak dapat memasuki tubuh manusia, tidak bisa diperbudak manusia, tidak menjaga keselamatan manusia, bukan ruh leluhur, dan bukan jelmaan manusia. Selain dua klasifikasi di atas, Koentjaraningrat (1984:339) mengemukakan bahwa memang sukar untuk membuat suatu klasifikasi yang baik mengenai semua jenis roh dan setan yang dikenal orang Jawa. Dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat berusaha membagi makhluk halus Jawa secara umum ke dalam dua golongan: roh nenek moyang (makhluk gaib bersifat baik/menjaga) dan roh, jin, setan, dan raksasa (makhluk gaib bersifat mengganggu). Oposisi biner dalam klasifikasi makhluk halus menurut Koenjtaraningrat juga tersebut sejalan dengan pendapat Ahmadi. Ahmadi (2013:233) membagi hantu ke dalam dua tipologi: sakral dan profan. Hantu yang sakral adalah hantu yang bersifat baik dan berkaitan dengan ritual keagamaan atau religiusitas, sedangkan hantu yang profan adalah hantu yang bersifat jahat, mengganggu, nonreligi, dan tidak menjalankan ritual keagamaan.

(5)

Penelitian kedua adalah penelitian Diessy Hermawati Bravianingrum dari Universitas Pesantren Tinggi Darul’Ulum Jombang. Penelitian ini berjudul Perbandingan Mitos yang Terdapat pada Legenda (Ko-Sodate Yuurei) (Jepang) dan Legenda Kuntilanak (Indonesia) (Kajian Sastra Bandingan). Penelitian yang berangka tahun 2011 ini berusaha membandingkan sosok Kuntilanak dengan sosok Ko-Sodate Yuurei dari Jepang. Data dalam penelitian ini bukan merupakan data lisan, tetapi merupakan data tertulis yang berupa cerpen. Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah cerita Kuntilanak dengan cerita Ko-Sodate Yuurei memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan kedua cerita ini adalah sama-sama merupakan mitos simbolis dan kedua sosok hantu ini merupakan hantu perempuan. Sedangkan perbedaannya sendiri adalah orang Indonesia memandang Kuntilanak adalah sosok hantu yang jahat dan menakutkan, sedangkan orang Jepang memandang Ko-Sodate Yuurei merupakan sosok hantu yang baik hati dan bersifat keibuan.

Penelitian ketiga adalah penelitian Tassa Ary Maheswarina. Mahasisiwi Universitas Negeri Malang ini membuat penelitian yang bejudul Kepercayaan Masyarakat Jawa dalam Film Kuntilanak (2012). Penelitian ini membicarakan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap sosok Kuntilanak dalam film Kuntilanak (2006). Data dalam penelitin ini adalah film yang merupakan alih wahana dari legenda alam gaib tentang Kuntilanak. Simpulan penelitian ini adalah Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap makhluk halus dalam film Kuntilanak, yaitu meliputi kepercayaan adanya sosok makhluk halus, kemunculan makhluk halus, kepercayaan bahwa makhluk halus mendiami tempat tertentu, dan sesajian untuk makhluk halus. Sosok kuntilanak yang dihadirkan dalam film Kuntilanak adalah wanita tua, berambut putih, wujudnya setengah manusia dan setengah kuda. Selain itu, makhluk halus dipercaya muncul saat menjelang malam (magrib), sehingga orang tua melarang anak-anak keluar rumah saat menjelang malam (magrib).

(6)

merupakan tradisi lisan. Analisis dalam penelitian ini difokuskan hanya pada struktur cerita dengan menggunakan teori strukturalisme Lévi-Strauss. Simpulan dari penelitian ini adalah nalar yang terdapat dalam sembilan cerita Nightmare Side Radio Ardan 105.9 FM Bandung merupakan simbolisasi dari masyarakat Sunda yang masih memercayai adanya makhluk gaib.

Penelitian kelima adalah penelitian M. Iskandarsyah yang berjudul Hantu Merah: Melihat Konstruksi Budaya dan Telaah Fungsi dalam Memaknai Cerita Legenda Alam Gaib Kampus UI (2012). Data penelitian ini adalah hasil rekaman civitas Akademika kampus UI mengenai cerita hantu merah. Simpulan dari penelitian ini adalah adanya pembenaran terhadap kemistisan suasana kampus dan tingkat keseraman yang diakibatkan oleh hantu merah.

Penelitian keenam adalah penelitian Anas Ahmadi yang berjudul Legenda Hantu Kampus di Surabaya: Kajian Folklor Hantu (Ghostlore) Kontemporer. Penelitian ini dimuat dalam buku Folklor Nusantara (2013) yang dieditori oleh Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. Dalam penelitian Ahmadi ini, cerita-cerita hantu dikumpulkan dari pelbagai kampus di Surabaya. Kemudian cerita-cerita hantu tersebut diklasifikasikan berdasarkan tipologisnya: hantu sakral dan profan. Simpulan dari penelitian ini adalah tipologi hantu kampus di Surabaya lebih berorientasi pada hantu yang sakral. Hantu yang bertipologi profan hanya muncul pada hantu kampus ITS dan PGRI Adi Buana.

(7)

tersebut merupakan cerita fantastik bila dilihat dari struktur cerita dan peristiwa-peristiwa fantastik yang terdapat di dalam teks cerita.

Dari judul-judul penelitian tersebut, belum ada penelitian yang membicarakan kaitan cerita Kuntilanak dengan pandangan dunia orang Sunda. Itulah celah yang akan peneliti garap untuk penelitian ini. Penelitian ini adalah penelitian tradisi lisan dengan data berupa rekaman mengenai cerita Kuntilanak di Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung dipilih karena dianggap oleh peneliti dapat mewakili masyarakat Sunda secara umum. Hal tersebut dikarenakan Bandung adalah ibu kota Jawa Barat dan pusat kebudayaan Sunda (Ekadjati, 1993:15). Penelitian ini dipayungi oleh ilmu folklor, terutama folklor lisan. Penelitian ini akan membahas pandangan dunia orang Sunda terhadap alam gaib yang tercermin dalam struktur cerita, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi, dan makna cerita Kuntilanak sebagai legenda alam gaib.

2. LANDASAN TEORI

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) naratologi Todorov (1985:12-13) untuk mengungkap struktur cerita Kuntilanak, 2) konteks situasi dan budaya dari Bauman (dalam Badrun, 2003:40) untuk analisis konteks penuturan, 3) skema komposisi cerita dari Sweeney (1987:39-40) untuk analisis proses penciptaan, 5) fungsi folklor Hutomo (1991:69) untuk analisis fungsi cerita, signifiksi Barthes (2000:109-127) untuk menganalisis makna, dan 6) teori sudut pandang sebagai keseluruhan imaji dan nilai sebagian besar tidak begitu disadari, tetapi menentukan sikap individu maupun kelompok dari Zaimar (2008:43) untuk menganalisis pandangan dunia orang Sunda.

3. METODE

(8)

4. PEMBAHASAN 4.1 Sunda dan Orang Sunda

Dewasa ini, masalah kesundaan sudah banyak diperbincangkan orang, baik sebagai obrolan biasa hingga perbincangan di mimbar akademik. Peneliti sebagai orang yang berkecimpung dalam masalah kebudayaan Sunda akan membahas masalah kesundaan dari sudut pandang akademik, terutama tradisi lisan Sunda yang peneliti geluti. Kata Sunda menurut R.W. van Bemmelen merupakan sebuah istilah untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India timur (lihat Ekadjati, 1993). Istilah ini tentu saja merujuk pada penamaan suatu wilayah secara goegrafis saja. Istilah itu pun tentu merupakan istilah para sarjana barat yang mempelajari Indonesia. Nama Sunda sebenarnya sudah lama ada jauh sebelum para sarjana barat memberikan istilah tersebut untuk menunjukkan wilayah barat laut India. Sejarah mencatat bahwa kata Sunda sudah muncul untuk menyebut wilayah yang lebih spesifik, yakni wilayah barat kepulauan Jawa dan segala aktivitas kehidupan di dalamnya sejak abad ke-11. Catatan tersebut termuat dalam prasasti yang ditemukan di Cibadak, Sukabumi. Prasasti tersebut mengatakan bahwa Sri Jayabhupati (925 saka/1030 masehi) merupakan salah satu raja Sunda. Sedangkan kerajaan Sunda sendiri didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (591-654 caka/669-723 masehi) yang merupakan penerus kerajaan Tarumanegara. Catatan mengenai Maharaja Tarusbawa sendiri tercatat dalam naskah Nagarakretabhumi (Atja dan Ayatrohaedi dalam Ekadjati, 1993:2-3).

(9)

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah Sunda juga dipakai sebagai sebutan untuk kelompok manusia yang mendiami wilayah barat pulau Jawa, yakni orang Sunda. Orang Sunda adalah orang yang mengaku dirinya dan diakui orang lain sebagai orang Sunda (Warnaen dkk., 1987;1). Pengertian tersebut memberikan dua kriteria orang Sunda: berdasarkan hubungan darah dan berdasarkan hubungan sosial budaya. Dalam kriteria pertama orang Sunda adalah orang berdarah Sunda, ibu dan bapaknya adalah orang Sunda. Sedangkan dalam kriteria kedua, orang Sunda adalah orang yang secara sosial budaya mengikuti secara norma segala aktivitas sosial budaya Sunda. Dia tinggal di wilayah Sunda, bergaul dengan orang Sunda, berbahasa Sunda, dan mengikuti norma, nilai, dan budaya Sunda meskipun dia tidak berdarah Sunda.

4.2 Hantu dan Kuntilanak dalam Perbincangan

Memperbincangkan hantu dewasa ini adalah hal yang dianggap ketinggalan zaman, klenik, dan tidak rasional. Walau demikian, masih ada beberapa golongan masyarakat yang menyukai bahkan mempercayai kehadiran makhluk halus tersebut. Hantu kini menjadi begitu problematis, dia dicaci dan dipercayai. Walau ada beberapa golongan masyarakat yang menolak hantu dan mengingkari eksistensinya, nasih banyak pula masyarakat yang mempercayai, menyukai, dan bahkan menjadikan hantu sebagai komoditas. Coba tengok fenomena perfilman Indonesia, perfilman saat ini didominasi oleh judul-judul film mengenai hantu: baik film yang murni cerita hantu atau film hantu yang dibumbui seks.

(10)

bertemu hantu dapat begitu subjektif, sulit dibuktikan kebenarannya. Femonema pengalaman personal seseorang saat bertemu hantu oleh Bianca dibagi menjadi empat: (1) haunting (arwah penasaran), Poltergeist (kesurupan), Black magic (sihir hitam), dan Psyche energy (kekuatan mental).

(11)

Makhluk Gaib

dalam dua tipologi: sakral dan profan. Hantu yang sakral adalah hantu yang bersifat baik dan berkaitan dengan ritual keagamaan atau religiusitas, sedangkan hantu yang profan adalah hantu yang bersifat jahat, mengganggu, nonreligi, dan tidak menjalankan ritual keagamaan. Berikut adalah bagan klafikasi hantu/makhluk halus dari para pakar tersebut.

Salah satu hantu yang sudah mapan eksistensinya di Indonesia, khususnya kebudayaan Sunda adalah Kuntilanak. Kuntilanak adalah hantu berasal dari jiwa perempuan yang meninggal saat melahirkan. Sosoknya begitu mudah dikenali dari rambutnya yang panjang terurai, wajahnya pucat, menggunakan pakaian panjang serba putih, sering bertengger di atas pohon, dan dapat mengeluarkan tawa cekikikan. Dalam Kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat mengatakan bahwa Kuntilanak berwujud cantik dan sering keluar malam untuk mencari mangsanya, yakni laki-laki yang berjalan sendirian, dalam tulisannya, Kuntilanak digambarkan telanjang bulat (lihat Koentjaraningrat, 1984:339-340).

4.3 Analisis Struktur Cerita Kuntilanak

(12)

4.3.1 Analisis Aspek Sintaksis Cerita Kuntilanak

Dalam teori naratologi Todorov, aspek sintaksis harus dimulai dengan analisis satuan isi cerita. Sebuah karya sastra dipilah menjadi sekuen-sekuen untuk dapat dianalisis lebih lanjut. Namun dalam penelitian ini, hal tersebut tidak akan dilakukan, mengingat cerita lisan tidak seketat dan serumit cerita rekaan. Analisis aspek sintaksis akan difokuskan pada analisis hubungan logis. Dalam aspek sintaksis, alur menjadi fokus penelitian. Analisis alur dilakukan dengan melihat hubungan logis dalam teks cerita Kuntilanak. Zaimar (2008:21) mengatakan cerita tidak dibentuk oleh hubungan waktu (kronologis) dan urutan teks, melainkan melalui hubungan logis. Hubungan logis dapat dianalisis lewat hubungan sebab-akibat (kausalitas). Satuan cerita yang memiliki kausalitas dengan satuan cerita lain disebut fungsi utama. Analisis fungsi-fungsi utamalah yang akan membentuk alur. Berikut adalah analisis alur cerita Kuntilanak.

1. Pemenuhan kebutuhan tokoh ibu dan keluarganya 2. Tindakan tokoh ibu memancing ikan di sungai 3. Terpancingnya seekor ikan yang sangat besar

4. Tindakan tokoh ibu menjual ikan tersebut kepada ibu pencerita

5. Tindakan ibu pencerita yang menolak membeli ikan tersebut karena ikan tersebut sangat besar

6. Tindakan tokoh ibu yang kembali menjual ikan tersebut kepada uak pencerita 7. Rasa suka uak pencerita terhadap ikan tersebut

8. Tindakan tokoh uak pencerita membeli ikan tersebut

9. Tindakan uak pencerita memukul kepala ikan dengan palu dan menyayati tubuh ikan dengan golok untuk membuatnya mati

10. Matinya ikan

11. Jatuhnya karma yang menimpa tokoh anak (sedang hamil 8 bulan) dari si ibu yang menjual ikan

(13)

14. Tindakan keluarga yang menguburkan jasad tokoh anak tanpa mengeluarkan terlebih dahulu janin yang dikandungnya

15. Menjelmanya tokoh anak (Almarhumah) menjadi hantu Kuntilanak 16. Tindakan Kuntilanak bergentayangan

17. Tokoh tetangga melihat Kuntilanak

(14)

Alur cerita tokoh ibu

---2

3

4

5

6

7

8

14 13 12 11 10 9

15 16 17 18 19

1

Catatan:

Fungsi utama: 19 fungsi utama

1-10 alur berfokus pada tokoh ibu

11-19 alur berfokus pada tokoh anak

(15)

Dalam teks cerita Kuntilanak ini terdapat 19 fungsi utama. Cerita diawali oleh fungsi utama yang implisit yakni: Pemenuhan kebutuhan tokoh ibu dan keluarganya (f 1). Cerita terus bergerak dan memperlihatkan tokoh ibu yang memancing ikan di sungai lalu mendapatkan ikan yang sangat besar (f 2, 3). Ikan tersebut kemudian dijual pada ibu pencerita (f 4) namun karena tidak menyukai ikan, ibu pencerita menolak membeli ikan tersebut (f 5). Akhirnya tokoh ibu kembali menjual ikan tersebut kepada uak pencerita (f 6), karena uak pencerita suka terhadap ikan, maka dibelilah ikan tersebut (f 7, 8). Setelah ikan tersebut dibeli, diolahlah ikan tersebut dengan cara dipukul kepalanya dengan palu yang bertujuan untuk membuat ikan itu mati dan menyayat perut ikan tersebut dengan golok, matilah ikan itu (f 9, 10). Cerita berlanjut pada alur tokoh anak. Fungsi utama 11 merupakan fungsi implisit dalam teks. Setelah ikan mati, tokoh anak dari ibu yang memancing tertimpa karma (f 11). Karma tersebut berupa rasa sakit di kepala dan perut (f 12) sehingga tokoh anak pun meninggal (f 13). Tanpa mengeluarkan janin dalam kandungan tokoh anak, jasad tokoh anak pun dikuburkan (f 14). Setelah peristiwa itu, tokoh anak (Almarhumah) menjelma menjadi sesosok Kuntilanak (f 15). Kuntilanak pun bergentayangan dan menampakkan diri pada tokoh tetangga (f 16, 17). Peristiwa tersebut membuat kabar tentang bergentayangannya tokoh anak semakin berhembus kencang dan membuat seluruh warga kampung panik (f 18, 19).

(16)

4.3.2 Analisis Aspek Semantik Cerita Kuntilanak

Analisis aspek semantik berusaha untuk menunjukkan tokoh dan latar dalam teks cerita ini. Analisis tokoh dan latar merupakan analisis aspek semantik dalam teks naratif sebagaimana pendapat Zaimar (2008:336). Analisis tokoh dan latar sangat penting karena dalam tokoh dan latar seringkali terdapat pemikiran, gagasan, dan pandangan terhadap sesuatu. Berikut analisis semantik teks cerita Kuntilanak.

4.3.2.1 Analisis Tokoh

Dalam cerita Kuntilanak terdapat beberapa tokoh yang memiliki peran penting dan ada tokoh yang bertransformasi dari asalnya manusia berubah menjadi hantu Kuntilanak. Dalam analisis tokoh, hal yang akan dianalisis adalah potret (gambaran) tokoh, baik secara fisik, psikis, dan sosial dan analisis nama tokoh. Berikut adalah analisis tokoh cerita Kuntilanak.

1) Tokoh Ibu

Tokoh ibu merupakan salah satu tokoh penting dalam cerita ini. Dari analisis alur bahkan ditemukan alur yang berfokus pada tokoh ini. Alur tersebut dapat dilihat dari fungsi utama 1-10. Selain itu, tokoh ini merupakan motor penggerak cerita. Kehidupannya dan pemenuhan kebutuhannya merupakan fungsi utama pertama penggerak cerita. Secara fisik tidak ada sedikit pun gambaran yang mengenai tokoh ini. Hanya terdapat tanda-tanda yang dapat dirujuk untuk dapat mengungkap lebih jauh fisik tokoh ini. Dalam teks, terdapat gambaran mengenai keluarga tokoh ini. Gambaran itu dapat dirujuk untuk melihat secara jelas tokoh ini. Dari teks, tokoh ini merupakan seorang ibu yangempunyai tiga orang anak. Bila dicermati, seorang ibu yang mempunyai tiga orang anak yang bahkan sudah mengandung adalah sosok ibu yang sudah berumur dan tidak lagi muda. Berikut adalah kutipan dalam teks yang menerangkan hal tersebut.

(17)

Dulu ada ibu-ibu, sebuah keluarga. Ibu-ibu tersebut mempunyai tiga anak. Yang satu eh, (informan sedikit kebingungan) yang satu sedang hami, sedang mengandung. Yang dua masih kecil. Yang satu lagi laki-laki begitu.

Dari teks tersebut, tokoh ibu digambarkan memiliki seorang anak yang sedang mengandung dan dua orang anak yang masih kecil. Sekilas kutipan teks tersebut juga dapat menggambarkan kehidupan keluarga bahkan psikis tokoh. Dalam kutipan lain terdapat penggambaran aktivitas tokoh yang dapat diacu untuk mengungkap fisik tokoh.

Nah, suatu hari si ibu éta téh nguseup lauk di balong. Aya balongna deukeut bumi abdi. Terus téh meunang.

.Nah, suatu hari si ibu memancing ikan di kolam. Ada kolamnya dekat rumah saya. Lalu dapat.

Dari kutipan teks di atas, terdapat gambaran aktivitas tokoh yang sedang memancing. Hal ini dapat diartikan bahwa tokoh ini masih memiliki fisik yang sehat. Jadi, secara fisik tokoh ibu memiliki fisik yang sudah tidak muda namun masih sehat.

Dari segi psikis tokoh, dua kutipan di atas dapat memberikan gambaran yang sangat baik. Tokoh ibu digambarkan sangat bertanggung jawab dalam menghidupi ketiga anaknya yang dibuktikan dengan aktivitas memancing untuk dijual hasilnya. Selain itu, tokoh ibu sangat mandiri dengan tidak ada teks yang menerangkan bahwa tokoh tersebut dibantu oleh suami dalam menghupi anak-anaknya. Namun, sekilas teks sedikit mengungkap sosok suami dari tokoh ini.

“Eu, atos meninggal kitu putrana bapa Juju nu nuju hamil, nuju hamilna tuh dalapan bulan duka tujuh bulan, dalapan bulan sigana”.

(18)

Dari teks di atas, dapat diketahui bahwa Bapak Juju adalah mana suami dari tokoh ibu karena pengumuman mengenai anaknya yang meninggal diumumkan dengan nama bapaknya. Namun, teks dalam teks yang lebih utuh, tidak ada penggambaran bahwa bapak Juju adalah tokoh berperan dalam keluarga. Jadi, secara psikis, tokoh ibu adalah sosok perempuan kuat yang mandiri dan bertanggung jawab. Setiap orang pasti memiliki nama. Nama tersebut tentu memiliki makna. Oleh sebab itu makna nama akan diteliti pada analisis ini. Secara nama, tokoh ini tidak memiliki nama diri yang jelas. Hal itu disebabkan karena cerita ini adalah cerita lisan biasa yang hanya bersifat hiburan/gosip saja. Tidak mempunyai nilai religiusitas apalagi kesakralan. Berbeda dengan cerita yang mapan dan memiliki tokoh-tokoh yang sakral, tokoh-tokoh dalam cerita semacam itu pasti memiliki nama yang jelas, seperti: Prabu Siliwangi, Sangkuriang, Dayang Sumbi, Batara Guru, dan Sunan Ambu. Tokoh ini hanya disebut sebagai Si Ibu. Kata si ibu bukan merupakan nama diri dan gelar kebangsawanan. Kata itu merupakan sebutan untuk perempuan yang sudah memiliki anak. Dalam bahasa Sunda kata Si merupakan rarangkén hareup: kata depan/sandang untuk orang, binatang, tanaman (Satjadibrata, 2011:320). Sedangkan kata ibu setara dalam bahasa Indonesia. Kata ibu dalam bahasa Sunda memiliki beberapa varian seperti: ema dan indung. Dalam konteks cerita ini, Si Ibu adalah sebutan informan untuk menggambarkan bahwa tokoh tersebut memiliki anak.

2) Tokoh Anak/Almarhumah/Kuntilanak

Tokoh ini merupakan salah satu tokoh sentral dalam cerita, seperti tokoh si ibu yang merupakan ibunya, tokoh ini juga mempunyai fokus alur tersendiri. Dalam analisis fungsi utama, tokoh ini menempati fungsi utama 11-19. Selain itu, tokoh ini merupakan tokoh yang bertransformasi dalam cerita. Awalnya tokoh ini merupakan seorang perempuan yang sedang mengandung delapan bulan, akibat karma yang menimpanya, tokoh ini meninggal dengan masih mengandung janin dalam rahimnya, kemudian tokoh ini bertransformasi menjadi sesosok hantu Kuntilanak.

(19)

bulan. Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa tokoh ini adalah seorang perempuan yang berusia matang. Secara psikis tokoh ini tentu sudah dewasa mengingat tokoh ini sudah berumah tangga dan hamil tua. Dikarenakan sedikit sekali informasi dalam teks mengenai tokoh ini, transformasi tokoh ini dari manusia menjadi Kuntilanak-lah yang menarik dalam pembahasan tokoh ini. Bila kita kembali melihat analisis alur, kita akan menemukan sebab dari bertransformasinya tokoh anak menjadi sesosok Kuntilanak. Secara implisit, karma dari perbuatan ibunya menjual memancing ikan yang mengakibatkan matinya ikan oleh tokoh uak mengakibatkan meninggalnya tokoh anak yang kemudian menjelma menjadi Kuntilanak. Setelah tokoh anak meninggal, dalam cerita ia disebut sebagai Almarhumah, lalu bertransformasilah ia menjadi menjadi sesosok hantu Kuntilanak. Secara fisik, sosok hanya ada sedikit gambaran dari informan mengenai sosok tersebut.

Tapina wajahna téh lemes, kumaha wéh siga anu aya di tv, jurig-jurig anu dina tv. Tapi henteu nganggo kaen putih-putih, henteu.

Wajahnya lemas, seperti hantu-hantu yang ada di tv. Tapi tidak memakai kain putih-putih.

Dalam teks kutipan di atas tergambar bahwa setelah menjadi Kuntilanak, tokoh anak digambarkan memiliki (raut) wajah yang lemas, seperti gambaran hantu-hantu di televisi. Hanya saja tanpa memakai pakaian (kain) putih. Seperti kita ketahui bersama, sosok Kuntilanak di televisi memiliki gambaran yang hampir selalu sama, yakni berwajah pucat, kadang dengan senyum yang dingin tanpa ekspresi, rambut panjang terurai sepinggang, memakai pakaian panjang yang serba putih, dan selalu tertawa nyaring.

(20)

jenat. Dari analisis nama ini, dapat diketahui bahwa tokoh anak merupakan seorang yang beragama Islam.

Dalam Kamus Sunda-Indonesia (Edisi ketiga, 2011) karangan R. Satjadibrata, mengatakan bahwa Kunti atau Kuntilanak adalah sejenis makhluk halus yang kononberasal ari perempuan yang mati karena tidak jadi beranak, Puntianak (2011:189). Kata ini dipakai sebagai nama saat tokoh anak meninggal lalu bergentayangan. Jadi, secara sederhana, peneliti membuat bagan siklus hidup tokoh anak sampai ia bertransformasi menjadi Kuntilanak.

Saat masih hidup Saat sudah meninggal Saat menjadi hantu Anak Almarhumah Kuntilanak

3) Tokoh Indung (Penutur)

Tokoh Indung merupakan ibu dari penutur yang secara kuantitas sangat minim dalam teks. Hanya fungsi utama 4 dan 5 yang secara langsung bersinggungan dengan tokoh ini. Dapat pula dikatakan tokoh ini merupakan tokoh bawahan. Namun, dalam sebuah teks setiap tokoh walau sedikit sekali muncul dalam teks, tetap memberikan pengaruh terhadap sebuah teks naratif. Oleh karena itu, tokoh ini tidak luput dari analisis peneliti. Sulit untuk melihat tokoh ini dari segi fisik dan psikis karena hampir tidak ada gambaran sedikit pun mengenai segi tersebut dalam teks. hanya saja dalam fungsi utama 5 yang berbunyi: Tindakan ibu pencerita yang menolak membeli ikan tersebut karena ikan tersebut sangat besar, dapat membawa kita pada sebuah pemahaman bahwa tokoh ini tidak menyukai ikan, terutama ikan yang besar (gila). Hal tersebut dapatdiartikan sebagai gambaran psikis tokoh yang takut akan hal-hal yang tidak dianggap lazim, layaknya ikan yang sangat besar tersebut. Berikut adalah gambaran mengenai tokoh ini dalam teks.

Dijual ka pun indung. Pun indung kan alimeun, da teu resep kana lauk.

(21)

4) Tokoh Ua (Penutur)

Tokoh Ua juga merupakan tokoh bawahan dalam teks. Hanya terdapat 4 fungsi utama (6, 7, 8, dan 9) yang menerangkan tokoh ini. Sama seperti tokoh sebelumnya, hampir tidak ada uraian dalam teks yang menjelaskan mengenai fisik dan psikis tokoh. Hanya saja, setelah melakukan penelusuran lebih lanjut, terdapat sedikit gambaran mengenai tokoh ini. Tokoh ini merupakan kakak dari tokoh Indung (penutur). Kata Ua dalam bahasa indonesia berarti bapak, mak tua, saudara bapak, saudara ibu (Satjadibrata, 2011:362). Dalam bahasa Indonesia kata ini sepadan dengan Uak. Peran tokoh Ua terlihat lebih banyak secara kuantitas ketimbang adiknya. Hal ini dibuktikan dengan jumlah fungsi utama yang berkaitan dengan dirinya. Fungsinya dalam crita adalah sebagai pembeli ikan setelah tokoh Indung menolak membelinya. Setelah ikan tersebut dibeli, kemudian ikan tersebut dipukuli oleh palu dan disayati oleh golok sampai mati. Hal ini mengakibatkan karma pada tokoh anak yang sedang mengandung. Berikut adalah gambaran mengenai tokoh ini dalam teks.

Dijual wéh ka ua abdi. Nya ua abdi téh resep lauk, nya ku ua abdi téh, si laukna da ageung téa di ketrokan ku palu si sirahna téh. Terus awakna téh digérésél-gérésél kitu ku bedogna.

Akhirnya ikan itu dijual ke uak saya. Karena uak saya suka ikan, oleh uak saya ikan tersebut dipukul kepalanya oleh palu. Lalu badannya disayat-sayat dengan golok.

4.3.2.2 Analisis Ruang

Dalam analisis ruang, tempat berlangsungnya peristiwa-peristiwa dalam teks akan dibahas untuk menggali gagasan yang terkandung dalam teks. Berikut adalah analisis ruang dalam teks cerita Kuntilanak.

1) Balong (Kolam)

(22)

hanya mengatakan kolam yang lokasinya berada di dekat rumahnya. Berikut adalah teks yang menjelaskan tentang ruang kolam.

Nah, suatu hari si ibu éta téh nguseup lauk di balong. Aya balongna deukeut bumi abdi.

Nah, suatu hari si ibu memancing ikan di kolam. Ada kolamnya dekat rumah saya.

Seperti telah dijelaskan bahwa ruang ini memegang peranan penting dalam cerita. Kolam ini adalah tempat di mana tokoh ibu memancing lalu mendapat seekor ikan yang sangat besar yang ukurannya tidak wajar. Ikan inilah yang lalu dijual dan kemudian membawa karma pada tokoh anak hingga akhirnya ia meninggal dan menjadi Kuntilanak.

Bila dilihat lebih lanjut dengan menggunakan teori signifikasi dari Barthes (2000:109-127), kolam yang secara denotasi adalah sebuah lubang di tanah yang berisi sebagai tempat memelihara ikan, dapat diarikan lain bila dilihat dari segi konotasi. Dari segi konotasi, kolam yang berisi air dapat diartikan sebagai sumber kehidupan. Jadi, ada pesan yang ingin disampaikan lewat cerita ini. Namun, itu akan dibahas pada bagian makna.

2) Pemukiman Kecil di Kampung Ciluncat Girang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung

Ruang ini sebenarnya hanya disebut perumahan kecil dalam teks. Namun, karena pemukiman kecil itu berada di Kampung Ciluncat Girang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, maka peneliti menganggap kedua tempat tersebut sebagai sebuah kesatuan dan menjadikannya sebagai satu ruang terbuka yang utuh. Pemukiman kecil sebagai ruang terbuka adalah tempat semua peristiwa dalam cerita berlangsung. Berikut adalah kutipan teks yang menjelaskan hal tersebut.

(23)

Besar sekali pokoknya, seperti yang tidak wajar bila ikan sebesar itu ada di pemukiman kecil di kampung saya.

Dalam teks terlihat bagaimana informan mengatakan bahwa pemukiman kecil itu berada di kampungnya, yang dimaksud kampunya adalah kampung Ciluncat Girang. Bila kembali kita gunakan teori signifikasi untuk memaknai frasa pemukiman kecil ini, maka peneliti menganggap pemukiman kecil/kampung ini adalah sebagai sebuah tatanan bermasyarakat yang di dalamnya hidup berbagai orang dengan kepala yang berbeda. Sebagai sebuah latar makro dalam cerita, pemukiman kecil/kampung memegang fungsi sosial yang kuat.

3) Walungan

Ruang ini merupakan ruang terbuka yang berfungsi sebagai tempat bergenyatangannya Kuntilanak sehingga terlihat oleh tetangga dalam teks. Berikut adalah kutipan teks yang menunjukkan hal tersebut.

Nya sempet aya nu ninggal, aya nu ninggal si Almarhumah téh di peuntas-peuntas walungan.

Sempat ada yang melihat, ada yang melihat si Almarhumah ada di seberang sungai.

Dalam bahasa Indonesia walungan berarti sungai. Sama seperti kolam, peneliti mengartikan sungai sebagai sumber kehidupan. Di sana orang biasa mencuci pakaian, mandi, dan lain-lain. Fungsi adanya Kuntilanak di sungai adalah untuk menjaga kelestarin sungai itu sendiri.

4) Masjid

(24)

Pemukiman kecil/Kampung

Kolam Masjid

Sungai

pemukiman kecil/kampung. Berikut adalah teks yang menggambarkan eksistensi masjid dalam teks.

Nah, pas kejadian éta téh eu, meninggal, aya kabar, ”Innalilahi wa Innailahi rajiun”, ti masjid téh.

Setelah itu, terdengar pengumuman, “Innalilahi wa Innailahi rajiun”, dari masjid.

Keempat ruang di atas adalah merupakan satu kesatuan yang padu. Kolam, sungai, dan masjid merupakan latar mikro sedangkan pemukiman kecil/kampung merupakan latar makro. Berikut adalah gambaran yang peneliti buat untuk memudahkan penggambaran.

Visualisasi ruang di atas menempatkan latar mikro (kolam, sungai, dan masjid) yang berada dalam ruang yang lebih besar (pemukiman kecil/masjid). Keempat ruang tersebut mengisyaratkan bahwa kolam dan sungai sebagai perlambang sumber kehidupan, masjid sebagai perlambang religiusitas harus diatur, ditata, dan dikelola sebaik-baiknya oleh penguasa. Hal itu harus dilakukan demi sebuah keseimbangan: dunia-akhirat.

4.3.2.3 Analisis Waktu

(25)

dipakai dalam cerita. Terdapat frasa seperti suatu hari, dua jam kemudian, saminggu kemudian, tujuh bulan, dan dalapan bulan (usia kandungan). Frasa-frasa tersebut merupakan frasa yang dapat mengisi fungsi keterangan waktu pada sebuah kalimat. Frasa-frasa di atas merujuk pada masa lalu di mana cerita tersebut diyakini pernah terjadi. Frasa pada suatu hari merupakan sebuah awalan yang bisa diujarkan bila seseorang menuturkan sebuah legenda/dongeng. Hal tersebut memang sesuai karena cerita ini merupkan legenda alam gaib. Secara kelogisan waktu, frasa-frasa yang terdapat cerita tidak menunjukkan suatu kurun waktu tertentu. Frasa- seperti suatu hari, dua jam kemudian, saminggu kemudian, tujuh bulan, dan dalapan bulan dapat terjadi kapan saja. Mengingat cerita ini merupakan cerita lisan yang bersifat nonsakral, maka waktu seolah dianggap tidak penting oleh penutur.

4.3.3 Analisis Aspek Verbal Cerita Kuntilanak

Analisis pragmatik teks memusatkan perhatian pada pemakaian bahasa (la langue en action) dan efek yang ditimbulkannya (Zaimar, 2008:41). Dalam analisis verbal, peneliti akan memfokuskan kajian pada aspek penceritaan dan kehadiran pencerita.

4.3.3.1 Tipe Penceritaan 1) Wicara yang Dilaporkan

Dalam teks cerita Kuntilanak, setidaknya terdapat tipe penceritaan wicara yang dilaporkan dan wicara yang dinarasikan. Tipe penceritaan wicara yang dilaporkan adalah berupa dialog-dialog tokoh atau kalimat-kalimat langsung. Dalam teks cerita Kuntilanak tipe penceritaan ini sangat sedikit terdapat dalam teks. ada dialog yang terjadi antartokoh dalam teks cerita ini, namun tipe wicara langsung terdapat dengan kuantitas yang sedikit. Berikut adalah kutipan-kutipan dalam teks yang menunjukkan tipe penceritaan wicara yang dilaporkan.

“Innalilahi wa Innailahi rajiun”.

(26)

”Innalilahi wa Innailahi rajiun”.

“Telah meninggal anak dari bapak Juju yang sedang hamil, yang usia kandungannya entah delapan atau tujuh bulan, sepertinya delapan bulan”.

Wicara ini merupakan wicara langsung yang dituturkan oleh pengurus masjid yang mengumumkan bahwa tokoh anak sudah meninggal. Dalam banyak tradisi, terutama yang sudah bercorak Islam, kematian seseorang biasanya akan langsung diumumkan dengan maksud agar tetangga datang berkunjung dan membantu pross penguburan. Biasanya pengumuman diumumkan dengan menggunakan pelantang milik masjid atau musala, sedangkan yang mengumumkan biasanya adalah pengurus masjid. Dalam teks di atas tidak diketahui siapa yang mengumumkan, hanya saja informan memberikan sedikit gambaran bahwa hal tersebut dilakukan dalam masjid.

Tipe wicara yang dilapokan lain dalam teks adalah percakapan singkat antara tetangga dengan Kuntilanak. Dialog tersebut sangat sedikit, hal tersebut dikarenakan bahwa lawan bicara tetangga adalah sosok hantu, bukan manusia seperti dirinya. Berikut adalah dialog yang terdapat dalam teks.

Ditaros ku tatanggi abdi, “nuju naon di dieu?”, ceunah. “Ah, nuju cicing wéh”.

Kemudian ditanya oleh tetangga saya, ”sedang apa di sana?” ”Ah, sedang diam saja”.

Dialog ini terjadi saat tetangga melihat tokoh anak sedang berada di seberang sungai sambil menggendong bayi, tokoh tetangga tidak mengetahui bahwa sebenarnya tokoh anak sudah meninggal dan yang dilihatnya adalah sosok Kuntilanak.

2) Wicara yang Dinarasikan

(27)

dialami berbagai tokoh (lihat analisis sintaksis). Bahkan dalam awal teks cerita, penutur sudah mengatakan: Jadi caritana téh kieu (Jadi ceritanya begini). Awalan cerita tersebut kemudian dilanjutkan dengan wicara mengenai peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh. Berikut adalah contoh dari tipe penceritaan wicara yang dinarasikan.

Nah, suatu hari si ibu éta téh nguseup lauk di balong. Aya balongna deukeut bumi abdi. Terus téh meunang.

Geus wéh dijual ku ibu-ibu éta téh. Dijual ka pun indung. Pun indung kan alimeun, da teu resep kana lauk.

Nya uwa abdi téh resep lauk, nya ku uwa abdi téh, si laukna da ageung téa di ketrokan ku palu si sirahna téh. Terus awakna téh digérésél-gérésél kitu ku bedogna.

Nah, suatu hari si ibu memancing ikan di kolam. Ada kolamnya dekat rumah saya. Lalu dapat.

Akhirnya ikan tersebut dijual oleh si ibu. Dijual ke ibu saya. Ibu saya tidak mau karena tidak suka ikan.

Karena paman saya suka ikan, oleh paman saya ikan tersebut dipukul kepalanya oleh palu. Lalu badannya disayat-sayat dengan golok.

Masih banyak lagi sebenarnya tipe penceritaan wicara yang dinarasikan. Contoh-contoh di atas hanya berupa gambaran singkat.

3.3.3.2 Kehadiran Pencerita

(28)

Aya balongna deukeut bumi abdi.

Ageung pisan pokonamah siga anu teu wajarlah lamun lauk saageung kitu di pemukiman kecil di kampung abdi.

Dijual wéh ka uwa abdi. Nya uwa abdi téh resep lauk, nya ku uwa abdi téh, si laukna da ageung téa di ketrokan ku palu si sirahna téh.

Ada kolamnya dekat rumah saya.

Besar sekali pokoknya, seperti yang tidak wajar bila ikan sebesar itu ada di pemukiman kecil di kampung saya.

Dijual ke ibu saya. Ibu saya tidak mau karena tidak suka ikan. Akhirnya ikan itu dijual ke paman saya. Karena paman saya suka ikan, oleh paman saya ikan tersebut dipukul kepalanya oleh palu.

Dalam keseluruhan teks, terdapat lima pronomina persona abdi. Selain itu, tidak ditemukan lagi adalah pronomina persona lain dalam teks. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pencerita intern hadir sebagai orang yang terlibat langsung dalam cerita.

4.3.4 Pandangan Dunia Orang Sunda yang Tercermin dalam Struktur Cerita Kuntilanak

Setelah analisis struktur cerita dilakukan, selanjutnya peneliti akan mencoba menjawab pertanyaan mengenai pandangan dunia orang Sunda yang tercermin dalam struktur cerita. Pandangan dunia (vision du monde) adalah keseluruhan imaji dan nilai sebagian besar tidak begitu disadari, tetapi menentukan sikap individu maupun kelompok (Zaimar, 2008:43). Dalam penelitian ini pun, sikap kelompok, yakni kelompok masyarakat Sunda yang akan dikaji oleh peneliti. Istilah pandangan dunia juga terdapat dalam sosiologi sastra, yakni strukturalisme genetik, namun bukan itulah yang menjadi fokus penelitian ini.

4.3.4.1 Pandangan Dunia Orang Sunda Terhadap Alam Gaib

(29)

bahwa orang Sunda percaya pada alam gaib, hukum karma, hantu, dan kehidupan setelah kematian. Pada masyarakat penutur cerita, pengaruh agama Islam sudah sangat kuat mempengaruhi corak-corak kebudayaan setempat. Jadi kepercayaan mereka terhadap alam gaib sangat dipengaruhi ajaran Islam.

Dalam kepercayaan Sunda, alam gaib dipercaya memang ada dan bahkan dapat mempengaruhi kehidupan mereka di dunia. Dalam kosmologi Sunda, kekuasaan tertinggi dipegang oleh Sang Hyang Keresa (Yang Mahakuasa) disebut juga Batara Tunggal (Yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Séda Niskala (Yang Mahagaib) (lihat Ekadjati, 1993:73). Nama terakhir memberikan gambaran bahwa orang Sunda (buhun) mempercayai sesuatu yang gaib. Konsep lain dalam ajaran Sunda adalah mengenai tiga alam: Buana Nyungcung, Buana Panca Tengah, dan Buana Larang. Buana Nyungcung adalah alam teratas dalam mitologi Sunda. Tempat tersebut adalah tempat bersemayamnya Batara Séda Niskala. Buana Panca Tengah adalah tempat tinggal manusia, hewan, dan makhluk lain yang tidak kasat mata. Terakhir, Buana Larang adalah neraka, seburuk-buruknya tempat kembali (lihat Ekadjati, 1993:73). Dalam konsep ini, ruh yang telah terlepas dari badan kasar (kematian) akan pergi ke tempat yang baik, yakni (Mandala Hiyang), tetapi bila selama hidup di dunia si mati berbuat kotor, maka tempat kembalinya adalah ke neraka. Selain itu, bila si mati/keluarga berbuat tabu, maka si ruh akan tersesat, ruh tersesat itulah yang dapat menjadi Kuntilanak.

(30)

4.3.4.2 Pandangan Dunia Orang Sunda Terhadap Perempuan

Dalam pandangan dunia orang Sunda, perempuan menempati posisi yang sangat istimewa. Terdapat sebuah peribahasa Sunda yang berbunyi Indung anu ngandung, bapa anu ngayuga yang berarti ibu yang mengandung, bapak yang membimbing. Peribahasa lainnya yaitu, Indung tunggul rahayu, bapa tangkal darajat yang berarti ibu adalah pemberi keselamatan, sedamgkan bapak adalah pemberi kemuliaan. Kata Indung yang berati ibu selalu menempati posisi awal, hal ini berarti wanita Sunda mendapatkan tempat istimewa dalam kebudayaan Sunda.

Di samping itu terdapat mitos mengenai Sunan Ambu dan Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Sunan Ambu adalah salah satu tokoh dalam Carita pantun Lutung kasarung yang merupakan ibu dari Guru Minda yang diturunkan ke Buana Panca Tengah untuk menikahi Purbasari. Sunan Ambu adalah ratunya para dewa yang untuk menikahi Purbasari. Sunan Ambu adalah ratunya para dewa yang bersemayam di Swarga Loka. Dalam buku Sumardjo yang berjudul Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda (2009) Sunan Ambu seringkali menjadi pusat dari kosmologi Sunda seperti pada halaman 281, dikatakan bahwa Sunan Ambu adalah pusat Mandala Agung (Sumardjo, 2009:281). Mandala Agung atau Mandala Hyang sendiri adalah suatu tempat yang merupakan lapisan teratas dari 18 lapis pemisah antara Buana Nyuncung dengan Buana Panca Tengah (lihat Ekadjati, 1993:73). Selain Sunan Ambu terdapat Nyi Pohaci Sanghyang Sri sebagai salah satu dewi yang terkenal dalam mitologi Sunda. Nyi Pohaci Sanghyang Sri adalah dewi padi. Nyi Pohaci Sanghyang Sri sangat dihormati dalam kebudayaan Sunda karena perannya sebagai dewi padi, di mana padi merupakan makanan pokok orang Sunda. Nyi Pohaci Sanghyang Sri juga merupakan simbol dari kesuburan bumi. Sama halnya dengan Sunan Ambu, Nyi Pohaci Sanghyang Sri juga bersemayam di Mandala Agung. Kedua dewi tersebut menempati posisi sentral dalam kosmologi Sunda dan sangat dihormati lebih dari pada para dewa. Hal tersebut menggambarkan bagaimana orang Sunda memandang perempuan.

(31)

punggung keluarga (secara implisit). Sedangkan tokoh anak digambarkan tengah hamil tua dan menanggung beban seorang diri dengan hidup dari ibunya (suami tokoh anak tidak diceritakan dalam teks). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa orang Sunda memiliki pandangan bahwa perempuan mampu hidup mandiri dan bahkan setara dengan laki-laki. Dalam mitologi Sunda pun, perempuan bahkan memiliki peran sentral: menjadi pimpinan para dewa dan menjadi dewi padi yang dihormati.

4.4 Analisis Proses Penciptaan cerita Kuntilanak

Dalam proses penciptaan, analisis didasarkan pada teori skema komposisi dari Sweeney. Sweeney (1987:39-40) mengatakan bahwa proses penciptaan (komposisi) dalam masyarakat tradisional Melayu bersifat skematik. Skema merupakan dasar dalam setiap level komposisi (penciptaan), mulai dari plot cerita sampai pada pemilihn kata-kata yang digunakan. Dalam proses penciptaan sebuah cerita lisan, terdapat proses spontan dan terstruktur.

Dalam proses penciptaan cerita Kuntilanak, penutur berusaha mengingat cerita dari penutur sebelumnya. Setelah alur cerita dirasa mantap, maka penutur menuturkan ceritanya secara spontan. Spontanitas tersebut pada dasarnya didasari oleh sebuah skema yang ada dalam benak penutur. Berikut adalah proses penciptaan cerita Kuntilanak.

Pertama, penutur mengingat-ingat cerita yang sebelumnya pernai dia dengar dari orang tuanya. Proses ini memberikan panduan pada penutur mengenai apa saja yang harus dia tuturkan kembali. Teks yang menggambarkan hal tersebut adalah,

Jadi carinana téh kieu. Baheula téh aya ibu-ibu, sebuah keluarga. Ibu-ibuna téh gaduh putra tilu. Nu hiji eh, (informan sedikit kebingungan) nu hiji nuju hamil, nuju ngandung.

Jadi ceritanya begini. Dulu ada ibu-ibu, sebuah keluarga. Ibu-ibu tersebut mempunyai tiga anak. Yang satu eh, (informan sedikit kebingungan) yang satu sedang hami, sedang mengandung.

(32)

sebelumnya didapatkan, maka penutur akan mulai menyusun pola-pola uang akan dia ceritakan.

Kedua, setelah pokok-pokok cerita didapatkan, penutur bercerita secara spontan. Spontanitas dapat tampak dari mulai pemilihan kata, kalimat, sampai pada alur yang tetap. Dalam proses ini penutur memiliki kekhasan dalam bercerita yang belum tentu ada dalam cerita sebelumnya.

Ketiga, setelah penutur berusaha mengingat dan bercerita secara spontan, akan tampak sebuah pola atau skema yang menuntun penutur dapat bercerita dengan lancar. Skema tersebut akan peneliti gambarkan sebagai berikut.

Pola I: Deskripsi keadaan tokoh ibu dan keluarganya.

Pola II: Peristiwa memancingnya tokoh ibu di sungai yang membuahkan hasil berupa seekor ikan yangangat besar.

Pola III: Upaya tokoh ibu menjual ikan hasil tangkapannya kepada tokoh ibu (penutur)=gagal, upaya selanjutnya adalah menjual ikan kepada uak (penutur)=berhasil. Tokoh uak sebagai pemilik ikan memukul dan menyayat ikan sampai mati.

Pola IV: Jatuhnya karma pada tokoh anak yang menyebabkannya meninggal dan berubah menjadi Kuntilanak.

(33)

4.5 Analisis Konteks Penuturan Cerita Kuntilanak

Dalam menganalisis konteks penuturan, peneliti menggunakan teori acuan dari Bauman (dalam Badrun, 2003:40). Dalam teorinya, Bauman mengatakan bahwa sangat penting untuk memahami sebuah penuturan atau pertunjukan lewat konteks situasi dan konteks budaya. keagamaan, pendidikan, atau politik dapat ditelusuri dari perspektif keterwakilan konteks pertunjukan yang dilakukan dalam masyarakat itu. Prinsip yang paling menentukan dalam etnografi adalah peristiwatempat pertunjukan itu berlangsung (Bauman dalam Badrun, 2003:40).

Dalam analisis konteks penuturan, hal yang akan peneliti fokuskan adalah konteks situasi yang di dalamnya terdapat waktu, tujuan, peralatan, dan teknik penuturan dari penuturan legenda Kuntilanak dan konteks budaya yang terdiri dari lokasi, penutur dan audiens, latar sosial-budaya, serta latar sosial-ekonomi dari penuturan legenda Kuntilanak tersebut.

4.5.1 Konteks Situasi

(34)

meliputi waktu dan tempat penuturan, tujuan penuturan, peralatan yang digunakan dalam penuturan, dan teknik penuturan.

4.5.1.1 Waktu dan Tempat Penuturan

Sebenarnya tidak ada waktu khusus untuk menuturkan sebuah cerita hantu. Sering kali cerita hantu hanya merupakan obrolan ringan saat berada di pos ronda atau saat berkumpul bersama keluarga. Sering kali cerita hantu dianggap sebagai cerita yang kurang penting dan hanya merupakan perbincangan selingan untuk melepaskan diri dari segala kepenatan. Cerita hantu umumnya merupakan cerita yang profan dan hanya berfungsi sebagai cerita hiburan. Walau demikian, banyak sekali orang yang menyukai cerita hantu.

Ada sebuah pendapat yang menarik dari Bianca (2013). Bianca menyebutkan bahwa hantu adalah makhluk senjakala yang tercipta dari budaya sebuah masyarakat dan memiliki fungsi yang salah satunya adalah sebagai dongeng menjelang tidur bagi anak-anak (Bianca, 2013:5). Fungsi khusus inilah yang menjadikan cerita hantu memiliki waktu khusus pula untuk diceritakan, yakni saat orang tua ingin menidurkan anak-anaknya.

Dalam cerita Kuntilanak yang dianalisis, tidak ada waktu tententu untuk menuturkan cerita. Hal tersebut dikarenakan sifatnya yang profan. Saat peneliti meminta penutur untuk menceritakan cerita tersebut, awalnya penutur sedikit ketakutan karena takut terkena tulah, namun setelah peneliti berhasil membujuk penutur, penutur pun bersedia untuk menceritakan cerita yang dialami oleh keluarga dan tetangganya kepada peneliti.

(35)

4.5.1.2 Tujuan Penuturan

Saat peneliti mengetahui bahwa ada sebuah cerita Kuntilanak yang menarik di tempat tinggal penutur, peneliti berusaha untuk mendapatkan data berupa cerita tersebut. Saat data diberikan kepada peneliti, tujuan tersebut hanya memberikan informasi yang peneliti butuhkan. Tujuan dari penuturan cerita adalah penutur memberikan informasi yang ada di kampungnya tentang sebuah fenomena mistik dan menyebarkan pengalaman orang-orang di sekitarnya kepada peneliti. Di samping itu, tujuan lain dari penuturan sebuah cerita hantu, khususnya cerita Kuntilanak ini di kampungnya adalah merupakan sebuah hiburan tersendiri. Biasanya pendengar akan mengalami efek-efek seperti ketakutan, namun justru itulah hiburan yang peneliti maksudkan. Saat pendengar merasa penasaran akan sebuah cerita hantu, biasanya ia akan terus mendengarkan sekali pun ia merasa ketakutan. Saat . Saat cerita sudah selesai diceritakan, maka rasa penasaran tersebut akan berkurang. Pada umumnya orang Indonesia sangat menyukai hal-hal yang bersifat misteri, terutama bila misteri tersebut berada di lingkungan tempat tinggalnya.

(36)

meneguhkan kepercayaan bahwa seorang perempuan yang meninggal saat hamil tua tanpa mengeluarkan anaknya terlebih dahulu dapat menjadi Kuntilanak. Dalam adat Sunda sendiri hal tersebut sangat dipercayai bahkan ditakuti (lihat Mustapa, 2010:27-28).

4.5.1.3 Peralatan

Dalam penuturan cerita lisan, terutama yang bersifat profan tidak ada sesuatu yang sebelumnya harus dipersiapkan terlebih dahulu. Hal tersebut berbeda dengan penuturan puisi-puisi lisan. Contohnya dalam penuturan Sawér Panganten, dalam penuturannya, banyak sekali peralatan yang harus disiapkan seperti kemenyan, bunga-bungaan dan lain-lain. Dalam penuturan cerita lisan hal tersebut jarang dilakukan.

Saat penutur menuturkan cerita Kuntilanak ini pada peneliti. Tidak ada persiapan apapun yang dilakukan penutur dan peneliti. Peneliti hanya menggunakan telepon genggam dan beberapa catatan saat penuturan dilakukan.

4.5.1.4 Teknik Penuturan

Penuturan dilakukan oleh Kania Dewi (21) kepada peneliti. Tidak ada teknik khusus saat penuturan dilakukan. Penutur hanya berusaha menuturkan apa yang ia dengar dari orang tua tentang cerita Kuntilanak di kampungnya. Tidak ada teks yang penutur baca saat penuturan. Tuturan murni diucapkan dari ingatan penutur tentang cerita Kuntilanak dengan mempertimbangkan pola-pola seperti pada analisis proses penciptaan cerita Kuntilanak.

(37)

4.5.2 Konteks Budaya

Dalam konteks budaya, deskripsi akan difokuskan pada lokasi, interaksi penutur-audiens, latar sosial budaya, dan latar sosial ekonomi.

4.5.2.1 Lokasi

Ada dua lokasi yang berkaitan dengan cerita Kuntilanak. Lokasi pertama adalah lokasi penuturan cerita dan lokasi kedua adalah lokasi tempat terjadinya peristiwa. Lokasi pertama adalah lokasi saat penutur menuturkan cerita kepada peneliti. Lokasi ini berada di lantai lima gedung Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia. Peneliti yang kebetulan satu kelas dengan penutur melakukan perekaman sepulang menyelesaikan perkuliahan. Adapun lokasi kedua adalah tempat terjadinya peristiwa. Lokasi ini juga merupakan tempat tinggal penutur. Lokasi tersebut berada di Kampung Ciluncat Girang, Desa Tegal Sumedang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Di lokasi ini pula semua tempat dalam teks berada (lihat analisis ruang).

4.5.2.2 Interaksi Penutur-Audiens

(38)

dengan audiens/penonton seperti halnya dalam pertunjukan wayang kontemporer. Dalang tidak hanya menuturkan cerita, kadang dalang menyapa audiens dan membuat humor-humor yang membuat penonton tertawa.

4.5.2.3 Latar Sosial Budaya

Latar sosial budaya lebih difokuskan pada deskripsi unsur pembentuk kebudayaan Sunda sebagai asal dari cerita Kuntilanak ini. Latar sosial budaya dianggap penting untuk mengatahui deskripsi kebudayaan yang melatarbelakangi lahirnya teks cerita rersebut. Dalam latar sosial budaya, hal yang akan dideskripsikan adalah tujuh unsur kebudayaan universal yang terdiri dari: (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) kesenian, dan (7) sistem religi (Koentjaraningrat, 2005:4).

1) Bahasa

Bahasa yang digunakan dalam penuturan cerita Kuntilanak tentu terkait dengan bahasa dari penutur maupun audiens. Dalam penggunaan bahasa dalam komunikasi, kode bahasa yang dipahami bersama adalah salah satu faktor penentu keberhasilan sebuah tuturan. Kode bahasa yang penutur gunakan dalam menceritakan cerita Kuntilanak adalah bahasa Sunda yang merupakan salah satu unsur kebudayaan Sunda. Meski demikian, tuturan dari penutur tidak seluruhnya menggunakan bahasa Sunda terdapat peristiwa campur kode yang tampaknya alami dan tidak dibuat-buat. Ada beberapa sisipan kode bahasa lain yaitu bahasa Indonesia selama tuturan berlangsung. Berikut adalah teks yang menunjukkan hal tersebut.

Baheula téh aya ibu-ibu, sebuah keluarga.

Nah, suatu hari si ibu éta téh nguseup lauk di balong.

…teu wajarlah lamun lauk saageung kitu di pemukiman kecil di kampung abdi.

Biasana di laut masih bisa dipake logika kalau inimah besar banget. Terus karena saking gilana…

Nah pas dua jam kemudian…

(39)

Kata yang dicetak miring menunjukkan peristiwa campur kode di mana bahasa Sunda disisipi bahasa Indonesia. Hal tersebut terjadi karena penutur adalah orang yang berpendidikan tinggi dan mempelajari bahasa Indonesia secara formal. Walau terdapat peristiwa campur kode dalam penuturan cerita ini, kode utama yakni bahasa Sunda masih cukup baik. Pemilihan kosa kata menunjukkan tingkat penguasaan kode bahasa Sunda yang baik. Adapun mengenai tingkatan bahasa Sunda yang penutur gunakan merupakan bahasa Sunda dalam tingkatan lemes. Penggunaan pronomina persona abdi dapat dilihat sepanjang penuturan. Pronomina persona abdi merupakan salah satu tingkatan teratas lemes dalam undak-usuk bahasa Sunda. Penggunaan bahasa Sunda halus dimaksudkan untuk menghormati peneliti walaupun peneliti merupakan teman dari penutur.

2) Sistem Teknologi

Tidak bisa dipungkiri, perkembangan zaman turut berimbas pada kemajuan sistem teknologi. Kini di tengah semaraknya teknologi canggih yang membanjiri Indonesia, ada yang sebenarnya tersingkirkan yaitu teknologi tradisional. Orang Sunda sejak dulu sudah memiliki teknologinya sendiri yang berkembang seiring dengan sistem pengetahuannya. Sistem tekologi tersebut kini sudah tersingkirkan dengan sendirinya. Koentjaraningrat (2005:23) mengatakan bahwa sistem tekonologi tradisional sedikitnya terdiri dari delapan sistem peralatan, yaitu: (1) alat-alat produksi, (2) senjata, (3) wadah, (4) alat membuat api, (5) makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu, (6) pakaian dan perhiasan, (7) tempat berlindung dan rumah, dan (8) alat transportasi.

(40)

susuk (alat penggorengan) merupakan alat-alat tradisional yang berkaitan dengan tekonoli produksi makanan orang Sunda.

Ihwal senjata tradisional orang Sunda, tentu saja tidak lepas dari kujang. Kujang merupakan senjata tradisional orang Sunda yang sudah sejak lama dikenal. Dalam naskah Amanat galunggung dan Sanghyang Darma Siksa disebutkan bahwa kujang merupakan senjata pusaka yang disakralkan (Suryani NS, 2011:55).

Orang Sunda juga mengenal wadah-wadah dalam kehidupan mereka. Orang Sunda mengenal adanya boboko sebagai wadah untuk menyimpan nasi yang akan disajikan, téko sebagai wadah untuk menyimpan air yang sudah masak untuk disajikan, pabéasan adalah wadah dari tanah liat yang digunakan untuk menanak nasi.

Orang Sunda juga mengenal adanya songsong sebagai alat untuk menghasilkan api. Songsong terbuat dari bambu dan biasanya ditiupkan untuk menghasilkan api pada hawu.

Orang Sunda sangat dekat dengan alam. Hampir semua makanan tradisional orang Sunda berasal dari alam. Makanan pokok orang Sunda umumnya adalah nasi dari sawah-sawah mereka sendiri. Selain itu, pemanfaatan nasi juga sangat dimaksimalkan. Bila nasi tidak habis dan masih tersisa, orang Sunda tidak lantas membuang sisa nasi tersebut. Orang Sunda biasanya akan membuat ranginang dari nasi sisa tersebut. Selain itu, orang Sunda juga dikenal sebagai penyuka daun-daunan (lalab) dan sambal. Minuman tradisional orang Sunda antara lain bandrék, bajigur, dan céndol. Di samping itu, orang Sunda juga menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai obat seperti jahe, konéng, panglay, dan seureuh.

Pakaian tradisonal Sunda dewasa ini mulai diperkenalkan kembali. Contohnya oleh Pemerintah Kota Bandung, setiap hari Rabu PNS dan anak sekolah diharuskan memakai pakaian kampret lengkap dengan iket.

(41)

3) Sistem Ekonomi

Mata pencaharian orang Sunda pada umumnya adalah bertani. Pertanian sangat penting bagi orang Sunda. Bahkan beberapa religi orang Sunda terkait dengan pertanian itu sendiri. Misalnya orang Sunda sangat menghormati Sanghyang Sri sebagai dewi padi dan kesuburan.

4) Sistem Organisasi Sosial

Masyarakat Sunda saat ini sudah menerapkan kehidupan yang modern, termasuk dalam urusan sosial. Pada umumnya orang Sunda yang menetap di desa-desa, pemimpin dari desa tersebut disebut lurah yang memegang pemerintahan desa. Desa-desa tersebut kemudian terhimpun dalam sebuah wilayah kecamatan yang dipimpin oleh seorang camat. Kecamatan-kecamatan kemudian terhimpun dalam sebuah Kota/kabupaten yang dipimpin oleh Walikota/Bupati. Beberapa Kota/kabupaten kemudian membentuk sebuah provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Kemudian Gubernur bertanggung jawab kepada pimpinan negara yaitu presiden. Saat ini sistem organisasi sosial yang demikian adalah aturann dari pemerintah, namun di beberapa kampung adat, pemerintahan adatlah yang berlaku. Misalkan di kampung Naga, Tasikmalaya, pemimpin kampung tersebut disebut kuncen yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu.

5) Sistem Pengetahuan

(42)

anak-anak cara bertani, memasak, memilik kayu, dan pengobatan (lihat Suryani NS, 2010:87).

6) Kesenian

Orang Sunda memiliki beberapa kesenian tradisional yang penting seperti wayang golek dan tari-tarian seperti jaipong. Kesenian tersebut sudah sangat identik dengan orang Sunda. Selain itu, terdapat alat musik khas Sunda yang sudah mendunia yaitu angklung.

7) Religi

Dewasa ini, orang Sunda banyak yang mengikuti ajaran agama-agama besar seperti Islam dan Kristen. Islam merupakan agama mayoritas yang dipeluk orang Sunda. Walau demikian ajaran-ajaran asli Sunda pun tetap berkembang dan berdifusi dengan ajaran Islam. Ajaran Sunda asli (wiwitan) pun ada yang masih eksis di tengah derasnya gempuran agama-agama besar. Sebagai contoh, orang Sunda di Baduy, Cigugur, dan Cireundeu mereka tetap memegang teguh tradisi Sunda Wiwitan.

4.6 Analisis Fungsi Cerita Kuntilanak

(43)

Dalam teks cerita Kuntilanak yang peneliti analisis, terdapat beberapa fungsi antara lain sebagai pengesah kebudayaan. Fungsi pengesah kebudayaan adalah fungsi sastra lisan yang melegalkan suatu budaya. Terkait dengan teks, fungsi tersebut berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Sunda akan sosok Kuntilanak yang berasal dari jiwa perempuan meninggal akibat melahirkan. Oleh karena itu dalam budaya Sunda bila seorang peempuan meninggal akibat melahirkan, maka keluarga harus memeriksa keadaan jabang bayi terlebih dahulu, bila bayi masih hidup, bayi harus dikeluarkan, namun bila meninggal dapat dikubur bersama jenazah ibunya. Selain itu, terdapat beberapa upacara adat yang berkaitan dengan hal tersebut, yakni kain yang pada jari-jari tangan jenazah perempuan harus dijahit dan jarumnya harus ditancapkan dan dibawa masuk sampai liang lahat. Setelah itu di pojok-pojok rumah harus diletakkan Upih (pelepah daun pinang) yang dibentuk menjadi keris-kerisan yang kemudian diberi warna dengan kapur sehingga menjadi belang menyerupai ular. Upih tersebut lalu disatukan dengan daun nanas dan daun jukut palias. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah Kuntilanak mengganggu rumah (lihat Mustapa, 2010:27). Tentu saja adat tersebut harus terus dilanggengkan dan salah satu caranya adalah dengan selalu menceritakan cerita Kuntilanak.

Fungsi lain yang terdapat dalam teks yaitu alat pendidikan anak. Seringkali cerita hantu khususnya cerita Kuntilanak diceritakan untuk membuat anak-anak menjadi takut dan menuruti kehendak orang tuanya. Sebagai ilustrasi, bila waktu sudah menjelang malam (magrib) dan anak-anak kecil masih bermain di luar rumah dan tidak pergi ke masjid atau musala untuk salat berjamaah, maka para orang tua akan menceritakan cerita Kuntilanak dengan maksud memaksa anak-anak agar pulang dan beribadah. Sebenarnya hal tersebut merupakan bentuk pendidikan terhadap anak agar si anak berhenti bermain dan pulang untuk salat, belajar, dan beristirahat. Oleh sebab itulah Bianca (2013:5) menyebut hantu sebagai makhluk senjakala yang selalu hadir sebagai kisah pengantar tidur.

(44)

ditemukan dalam cerita Kuntilanak. Saat seseorang diisukan menjadi Kuntilanak, secara tidak langsung hal tersebut membuat orang yang diisukan akan dicela baik secara langsung maupun diam-diam oleh warga setempat. Orang yang diisukan menjadi Kuntilanak akan menjadi pembicaraan yang menarik di warung-warung, pos-pos ronda. Bahkan akan berdampak terhadap keluarga yang ditinggalkan. Seringkali keluarga Almarhumah akan dikucilkan dari pergaulan sosial oleh masyarakatnya sekitar.

Fungsi terakhir adalah sebagai hiburan semata. Bila di suatu masyarakat terdapat isu seputar hantu yang mencul dan bergentayangan, maka hal tersebut akan menjadi topik obrolan yang menarik seperti pada fungsi sebelumnya. Tidak jarang cerita yang seharusnya menyeramkan tersebut justru menjadi sebuah lelucon dan bahkan banyak yang ingin membuktikan keberadaan Kuntilanak tersebut dengan cara mendatangi kuburan malam-malam.

4.7 Analisis Makna Cerita Kuntilanak

Untuk menganalisis makna, peneliti menggunakan teori pemaknaan tahap kedua (signifikasi) dari Barthes. Barthes (2000:109-127) mengatakan bahwa:

Teori ini berlandaskan teori tentang penanda (bentuk) dan petanda (konsep) yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure. Dengan teori ini kita dapat sampai pada pemahaman tahap kedua, yaitu makna teks. Dalam teori ini, Barthes mengemukakan sebuah bagan seperti berikut.

Bahasa

Konotasi

Bagan Barthes tersebut dapat digunakan untuk menganalisis makna cerita. Dalam tahap pertama, penanda dan petanda dapat menghasilkan tanda bahasa (denotasi). Sedangkan tahap kedua dapat manjadi konotasi. Konotasi inilah yang

1 penanda 2 petanda

3 tanda

I PENANDA II PETANDA

(45)

selanjunya menjadi makna cerita Kuntilanak. Cerita Kuntilanak yang peneliti analisis memiliki makna sebagai berikut.

Cerita Kuntilanak sebenarnya memiliki pesan yang hendak disampaikan. Dengan kata lain, pesan tersebut sebenarnya tidak tampak dalam teks, namun kandungan makna di dalamnyalah yang merupakan pesan tersebut. Secara implisit cerita ini menunjukkan peringatan akan tindakan gegabah yang akan memberikan dampak buruk dikemudian hari. Hal tersebut tercermin dari tindakan gegabah keluarga Almarhumah yang langsung saja menguburkan jenazah tanpa memeriksa bayi dalam kandungan Almarhumah. Bila keluarga sedikit waspada akan hal tersebut, tentu saja Almarhumah tidak akan bergentayangan menjadi Kuntilanak.

Selanjutnya cerita ini mengindikasikan mengenai adanya kekuatan adikodrati yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindra dan tidak dapat dinalar dengan logika, namun kekuatan itu ada. Dalam teks hal tersebut ditunjukkan oleh kematian ikan yang membuat jatuhnya karma pada tokoh anak. Hal tersebut mengindikasikan tentang hal gaib yang kadang sulit dinalar namun ia ada. Selain itu, peristiwa yang sama juga menunjukkan adanya konsekuensi dari segala hal yang kita jalani. Segala sesuatu yang kita jalani tentu ada manfaat dan mudaratnya. Ada harga yang harus kita bayar saat memutuskan sesuatu. Saat tokoh ibu memutuskan untuk menjual ikan yang ‘ajaib’ tersebut, sebenarnya tokoh ibu sudah membuat sebuah keputusan yang harus ia bayar dengan nyawa anak dan cucunya sendiri.

Selain itu, cerita ini juga memberikan kita sebuah pesan agar kita selaku manusia janganlah terlalu serakah dalam mengolah alam. Tuhan memang telah menganugerahkan alam dan segala kekayaan di dalamnya untuk dikelola manusia, namun alangkah arifnya bila hal tersebut senantiasa disyukuri dan dimanfaatkan dengan baik. Tokoh ibu yang memancing ikan dan mendapatkan ikan yang ‘tidak wajar’ dan lantas menjualnya adalah cerminan dari makna tersebut. Ikan besar menyimbolkan kekayaan alam dan menjualnya adalah perbuatan mengeksploitasi alam dengan berlebihan.

(46)

sebaliknya bila bertindak buruk, maka ganjaran buruklah yang diterima. Untuk lebih mempermudah pemahaman, peneliti akan membuat visualisasi seperti berikut.

Dari visualisai tersebut dapat terlihat bahwa semua tindakan merupakan tindakan buruk dan berbuah ganjaran yang buruk pula. Kematian tokoh anak yang kemudian bergentayangan menjadi Kuntilanak adalah ganjaran yang harus diterima tokoh ibu dari semua tindakan yang dilakukannya.

Tindakan

Betindak gegabah

Mengingkari kekuatan adikodrati

Serakah dalam memanfaatkan alam

Ganjaran/konsekuensi

Menjadi Kuntilanak

(47)

5. SIMPULAN

Setelah analisis dilakukan terhadap teks cerita Kuntilanak. Kini sampailah peneliti untuk memberikan simpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Berikut adalah simpulan dari beberapa pembahasan di atas.

Dari segi aspek sintaksis, cerita kuntilanak yang peneliti analisis terdiri dari 19 fungsi utama yang bila dirangkai akan menjalin alur linear. Dari segi aspek semantik, peneliti melakukan fokus analisis pada tokoh, ruang, dan waktu dalam teks cerita. Hasil yang peneliti dapatkan adalah cerita ini memiliki empat orang tokoh: tokoh ibu, anak, indung (informan), dan ua (informan). Ruang yang terdapat dalam cerita meliputi: balong (kolam), pemukiman kecil, walungan (sungai), dan masjid. Lebih jauh, keempat ruang tersebut merupakan unsur yang padu. Analisis waktu menunjukkan penggunaan penunjuk waktu yang umum seperti suatu hari, dua jam kemudian, saminggu kemudian, tujuh bulan, dan dalapan bulan. Hal tersebut menunjukkan bahwa waktu dianggap kurang penting oleh penutur. Dalam analisis verbal, peneliti memfokuskan kajian pada tipe penceritaan dan kehadiran pencerita. Tipe penceritaan yang terdapat dalam teks berupa wicara yang dilaporkan, namun wicara ini sangat sedikit terdapat teks mengingat cerita ini merupakan cerita hantu yang tidak mungkin ada percakapan intens antara hantu dengan orang yang melihat. Tipe penceritaan lain adalah wicara yang dinarasikan. wicara ini mendominasi teks dengan frekuensinya yang intens. Analisis kehadiran pencerita menunjukkan bahwa teks cerita mempunyai pencerita intern yang dibuktikan dengan penggunaan pronomina persona abdi.

Referensi

Dokumen terkait

Metode pengembangan sistem yang digunakan untuk melakukan pengembangan situs penawaran properti di Yogyakarta berbasis web ini adalah metode terstruktur yaitu pengembangan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada efektivitas daya tarik iklan televisi mie sedaap white curry pada mahasiswa kos.. Kata kunci: Efektivitas, Iklan Televisi, Daya

Ketika user menekan pada tombol proses maka akan sistem akan secara otomatis menghitung kedekatan dengan menggunakan algoritma K-Nearest neighbour yang kemudian

kadar beta karoten, total asam, dan sifat sensorik yoghurt labu kuning. Mengukur dan menganalisis kadar beta karoten dan total

Suatu perpustakaan elektronik, divisi atau bagman yang harus ada minimal adalah bagian yang mengurus tentang hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak),

Bertolak dari latar belakang diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang Penerapan Kurikulum Pesantren Muhammadiyah pada Pendididkan Dasar dan Menengah Boarding School

Kemampuan antara siswa satu dengan siswa lainnya tidaklah sama. Oleh karena itu seorang guru tidak diperbolehkan menuntut seorang siswa sebagaimana siswa lain karena itu perbuatan

Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian terhadap hipotesis, ternyata kedua metoda latihan yang diujicobakan sama-sama memberi pengaruh signifikan terhadap