• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA (1)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Indrawan Dwisetya Suhendi

Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia

dwisetyaindrawan@yahoo.com Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh berkembangnya cerita kuntilanak di masyarakat Sunda bahkan di Indonesia. Fenomena cerita kuntilanak telah bertransformasi menjadi film, baik yang mengangkat akar budaya dan kepercayaan suatu masyarakat, maupun yang hanya menyuguhkan erotisme berbalut cerita kuntilanak belaka. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi, makna, dan pandangan dunia orang Sunda yang tercermin dalam cerita pengalaman mereka saat berinteraksi dengan kuntilanak. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode etnografi untuk mendeskripsikan fenomena kebudayaan di masyarakat tempat cerita kuntilanak tumbuh dan metode formal untuk mendeskripsikan struktur cerita kuntilanak. Temuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) struktur cerita kuntilanak memunculkan oposisi-oposisi seperti watak tokoh yang takut dan berani saat berinteraksi dengan kuntilanak yang terjalin dengan pengaluran progresif. (2) Penciptaan cerita terjadi secara spontan mengacu pada skema-skema komposisi cerita dan ingatan dari penutur. (3) Kebudayaan Sunda kekinian turut berpengaruh terhadap cerita kuntilanak yang terlihat dari analisis konteks penuturan cerita. (4) Cerita kuntilanak memiliki fungsi pengesah kebudayaan, fungsi pendidikan, dan fungsi hiburan. (5) Makna yang terkandung dalam cerita kuntilanak adalah adanya interaksi antara manusia, alam, dan kekuatan adikodrati. (6) Adanya oposisi pandangan orang Sunda terhadap kuntilanak: takut dan berani. Berdasarkan hasil temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang Sunda memandang kuntilanak sebagai makhluk adikodrati yang memiliki ciri fisik sebagai perempuan berambut panjang, memakai baju berwarna putih, bertempat tinggal di tempat yang lembap dan pohon-pohon. Selain itu, orang Sunda juga memiliki oposisi sikap saat bertemu dengan kuntilanak, yakni berani dan takut.

Kata kunci: pandangan dunia orang Sunda, cerita kuntilanak, legenda alam gaib 1) Pendahuluan

Cerita hantu merupakan salah satu jenis cerita rakyat yang selalu ada dalam setiap kebudayaan. Iskandarsyah (2012, hlm. 1) mengatakan bahwa cerita hantu sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari cerita-cerita rakyat (folks tale) dan budaya serta ritual di dunia. Cerita hantu merupakan bagian dari legenda alam gaib. Legenda alam gaib adalah pengalaman pribadi seseorang yang dianggap benar-benar terjadi (lihat Danandjaja, 2007, hlm. 71). Legenda alam gaib seringkali menceritakan pengalaman seseorang bertemu atau berinteraksi dengan makhluk-makhluk gaib. Brunvand mengatakan berhubung legenda alam gaib merupakan pengalaman pribadi seseorang, ahli folklor Swedia, C.W. von Sydow, memberikan nama lain, yaitu memorat (Danandjaja, 2007, hlm. 71).

(2)

sejauh mana tingkat keberanian peserta yang mengikutinya. Acara-acara semacam itu banyak ditayangkan di Indonesia. Salah satu yang paling terkenal adalah Dunia Lain yang tayang di saluran Trans TV dari tahun 2003 sampai tahun 2010 dan (Masih) Dunia Lain yang tayang di saluran Trans 7 dari tahun 2010 dan masih tayang sampai sekarang. Dari sekian banyak hantu yang ada di Indonesia, kuntilanak adalah salah satu hantu yang paling populer. Kuntilanak adalah sosok hantu wanita yang meninggal dalam persalinan (Bianca, 2013, hlm. 80). Hantu perempuan yang meninggal karena melahirkan bukan hanya ada di Indonesia. Di Malaysia, hantu perempuan yang meninggal karena melahirkan disebut pontianak. Di Jepang dikenal dengan nama ubume. Sedangkan di Thailand dikenal dengan phi tai tong glom.

Akibat sangat populernya cerita mengenai hantu perempuan yang meninggal akibat melahirkan inilah banyak muncul film-film yang terinspirasi dari cerita tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Bianca (2013, hlm. 78) dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedi Hantu dan Makhluk Gaib Nusantara. Bianca mengatakan:

Kuntilanak atau sering disebut pontianak adalah sosok makhluk gaib yang sering dieksploitasi. Wujudnya mudah dikenali, yaitu wanita berambut panjang menutupi mata, badan setengah membungkuk, melayang-layang, dan mengeluarkan suara tawa seram.

Setelah melakukan pengamatan kepustakaan, peneliti menemukan 25 judul film dari tiga negara. Dari Indonesia ditemukan 17 judul dengan rentang tahun 1961 sampai 2013. Dari Malaysia ditemukan tiga judul dengan rentang tahun 1957 sampai 2005. Di Thailand ditemukan lima judul dengan rentang tahun 1959-2013.

Banyaknya film-film yang mengangkat cerita kuntilanak adalah bukti bahwa cerita tersebut masih dan akan terus diminati. Salah satu upaya untuk terus menghidupkan cerita kuntilanak dalam film adalah dengan memberikan suguhan pornografi dalam film tersebut. Film-film bermuatan pornografis kini marak mengangkat cerita kuntilanak. Sederet artis-artis yang dikenal sensual pun turut membintangi film-film tersebut. Kini cap film “panas” pun melekat dalam film yang mengangkat cerita kuntilanak. Cap film “panas” terhadap film tentang kuntilanak kini mulai bergeser kepada sosok Kuntilanak sendiri. Seringkali kuntilanak divisualkan dengan erotis dan memakai pakaian yang sensual. Hal tersebut semakin menjauhkan cerita kuntilanak yang sebenarnya merupakan warisan tradisi lisan yang tentu saja memiliki nilai di dalamnya. Zaimar (2008, hlm. 338) mengatakan bahwa di dalam tradisi lisan terpancar nilai, gagasan, norma, kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki baik oleh individu maupun masyarakat

(3)

(2012). Penelitian keenam adalah penelitian Anas Ahmadi yang berjudul Legenda Hantu Kampus di Surabaya: Kajian Folklor Hantu (Ghostlore) Kontemporer. Penelitian ini dimuat dalam buku Folklor Nusantara (2013). Penelitian terakhir adalah penelitian yang ditulis oleh Indrawan Dwisetya Suhendi (2013). Penelitian yang berjudul Ciri-ciri Fantastik Dua Cerita Rakyat Kalimantan dalam Buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Karya Kidh Hidayat.

Dari judul-judul penelitian tersebut, belum ada penelitian yang membicarakan kaitan cerita kuntilanak dengan pandangan dunia orang Sunda. Itulah celah yang akan peneliti garap untuk penelitian ini. Penelitian ini adalah penelitian tradisi lisan dengan data berupa rekaman mengenai cerita kuntilanak di kota Bandung. Kota Bandung dipilih karena dianggap oleh peneliti dapat mewakili masyarakat Sunda secara umum. Hal tersebut dikarenakan kota Bandung adalah ibu kota Jawa Barat dan pusat kebudayaan Sunda (Ekadjati, 1993, hlm. 15). Penelitian ini dipayungi oleh ilmu folklor, terutama folklor lisan. Penelitian ini akan membahas pandangan dunia orang Sunda terhadap alam gaib yang tercermin dalam struktur cerita, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi, dan makna cerita Kuntilanak sebagai legenda alam gaib.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) bagaimana struktur cerita kuntilanak? (2) bagaimana proses penciptaan cerita kuntilanak? (3) bagaimana konteks penuturan cerita kuntilanak? (4) apa fungsi yang terkandung dalam cerita kuntilanak? (5) apa makna cerita kuntilanak, dan (6) bagaimana pandangan dunia orang Sunda yang tercermin dalam cerita kuntilanak?

2) Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) naratologi Todorov (1985:12-13) untuk mengungkap struktur cerita Kuntilanak, 2) konteks situasi dan budaya dari Bauman (dalam Badrun, 2003:40) untuk analisis konteks penuturan, 3) skema komposisi cerita dari Sweeney (1987:39-40) untuk analisis proses penciptaan, 5) fungsi folklor Hutomo (1991:69) untuk analisis fungsi cerita, signifiksi Barthes (2000:109-127) untuk menganalisis makna, dan 6) teori sudut pandang sebagai keseluruhan imaji dan nilai sebagian besar tidak begitu disadari, tetapi menentukan sikap individu maupun kelompok dari Zaimar (2008:43) untuk menganalisis pandangan dunia orang Sunda.

3) Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode formal dan metode etnografi. Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek-aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra (Ratna, 2013, hlm. 49). Pandangan tersebut menjelaskan bahwa metode formal memandang teks sastra sebagai sumber analisis dengan memperhatikan kaitan antar unsur-unsur teks sastra. Metode ini merupakan metode yang digunakan untuk membedah aspek kesastraan cerita kuntilanak, yakni struktur cerita dan proses penciptaan. Dalam penerapan metode ini, deskripsi mengenai struktur cerita dan proses penciptaan menjadi fokus utama kajian.

(4)

4) Temuan dan Pembahasan

Dari hasil penelusuran data, didapatlah tiga cerita kuntilanak. Ketiga cerita tersebut didapat dari tiga kecamatan berbeda di Kota Bandung, yakni Kecamatan Cidadap (cerita I), Kecamatan Sukasari (cerita II), dan Kecamatan Sukajadi (cerita III). Dalam bab ini, ketiga cerita tersebut akan dianalisis sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian dengan menggunakan seperangkat teori dan metode yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Berikut adalah pembahasan dari ketiga cerita tersebut.

a. Sinopsis Cerita Kuntilanak

Cerita I bermula saat penutur (Wawan, 35 tahun) diminta untuk menemani emang (paman) untuk membenarkan bak penampungan air. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 2012. Peristiwa tersebut dilakukan pada malam Selasa sekitar pukul 01.00 WIB. Dalam perjalanan menuju tempat bak penampungan air, penutur merasakan adanya keanehan seperti ada suara seperti tukang patri yang mengikutinya dan adanya suara anak ayam yang bercicit. Keanehan tersebut membuat penutur penasaran dan mengarahkan lampu sorotnya ke arah bak penampungan air. Ternyata, di atas bak tersebut duduk sesosok kuntilanak yang kemudian terbang karena disorot oleh lampu.

Cerita II mengisahkan peristiwa yang dialami oleh ibu Dede (48 tahun) saat melihat sosok kuntilanak. Saat itu penutur diminta oleh anaknya untuk mengantarkan suaminya yang sedang sakit ke rumah sakit. Saat itu penutur pergi bersama suaminya. Di perjalanan pulang dari rumah sakit, suami penutur merasa ada hantu yang ditandai dengan meremangnya bulu kuduk. Tiba-tiba penutur melihat sesosok kuntilanak yang sedang duduk di pohon alpukat.

Cerita III mengisahkan Taufik dan temannya, Asep Jamur, yang sedang mendiami sebuah gubuk di sebuah lahan yang akan di bangun sebuah pesantren. Di lahan tersebut banyak terdapat pepohonan. Suatu saat, Taufik dan Asep Jamur mendengar suara cekikikan dari arah pohon kelapa. Kemudian mereka berdua keluar untuk melihat sumber suara tersebut. Suara tersebut ternyata berasal dari suara tertawa kuntilanak. Saat dihampiri oleh Taufik dan Asep jamur, kuntilanak tersebut lantas menghilang.

b. Struktur Cerita Kuntilanak

Analisis sintaksis teks cerita I menunjukkan terdapat 22 fungsi utama. Berikut adalah fungsi utama-fungsi utama yang akan menjalin alur cerita I.

F.1. Kerusakan bak penampungan air.

F.2. Ketiadaan air untuk berbagai kebutuhan keluarga penutur.

F.3. Keputusan mang Yaya untuk segera memperbaiki bak penampungan air. F.4. Waktu perbaikan bak: malam Selasa tengah malam.

F.5. Anggapan mang Yaya: mengajak seseorang tentu lebih baik dan lebih efektif. F.6. Ajakan mang Yaya kepada penutur untuk memperbaiki bak penampungan air. F.7. Tindakan mang Yaya dan penutur pergi ke tempat bak penampungan air. F.8. Tindakan mang Yaya dan penutur memperbaiki sistem bak penampungan air.

F.9. Kepercayaan orang Sunda bahwa malam Selasa tengah malam merupakan waktu yang angker.

F.10. Rasa takut yang menguasai penutur.

F.11. Sugesti penutur mengenai hal-hal yang aneh.

F.12. Keanehan yang dirasakan penutur: adanya suara seperti tukang patri “crik crik crik crik” yang mengikutinya dan suara anak ayam yang bercicit.

(5)

F.16. Tindakan penutur mencari asal suara dan menyorot bagian atas bak penampungan air dengan senter.

F.17. Ketidaksengajaan penutur melihat sosok kuntilanak. F.18. Perasaan kaget dan takut penutur.

F.19. Sosok kuntilanak terkena cahaya lampu senter. F.20. Kekagetan kuntilanak: ia terbang dengan tergesa. F.21. Tindakan kuntilanak terbang sambil tertawa. F.22. Kondisi fisik penutur: ia merasa lemas.

Fungsi utama-fungsi utama tersebut menunjukkan sebuah hubungan logis yang nantinya akan dijalin untuk menemukan alur cerita. Alur cerita I menunjukkan bahwa pengaluran cerita I cenderung linear. Lineraritas cerita tersebut dikarenakan cerita lisan bersifat sederhana dan tidak sekompleks cerita rekaan kontemporer.

Analisis semantik teks yang terdiri dari analisis tokoh, ruang, dan waktu menunjukkan bahwa tokoh cerita I terdiri dari tiga orang tokoh, yakni Wawan, mang Yaya, dan kuntilanak. Analisis tokoh tersebut menunjukkan beberapa temuan penting. Berikut adalah temuan-temuan dalam analisis tokoh. Pertama, terdapat oposisi antara tokoh manusia (Wawan dan mang Yaya) dengan tokoh hantu (kuntilanak). Oposisi ini juga dapat dimaknai lebih jauh menjadi oposisi manusia dengan sesuatu di luar kekuatan manusia (adikodrati). Kedua, terdapat oposisi watak antara watak pemberani (mang Yaya) dan penakut (Wawan) saat berinteraksi dengan tokoh kuntilanak. Ketiga, terdapat oposisi hubungan antartokoh. Hubungan antartokoh dapat terjalin erat atau renggang. Keeratan dan kerengganggan tersebut dapat dilihat dari hubungan darah dan hubungan dalam cerita. Hubungan antartokoh secara keseluruhan menunjukkan adanya oposisi rapat dan renggang. Hubungan yang rapat ditandai dengan adanya hubungan darah seperti tokoh Wawan dengan mang Yaya. Selain karena hubungan darah, kerapatan hubungan juga dapat ditandai dengan interaksi yang terjalin intensif dalam peristiwa. Kerapatan hubungan dalam cerita dapat dilihat dari adanya percakapan antartokoh maupun intensitas peristiwa yang menampilkan kedua tokoh tersebut. Kerapatan hubunga dalam cerita ditunjukkan oleh hubungan Wawan dengan mang Yaya yang memiliki percakapan dan intensitas peristiwa. Selain itu hubungan yang rapat dalam cerita juga ditunjukkan oleh Wawan dengan kuntilanak. Kedua tokoh tersebut memiliki intensitas peristiwa yang cukup intensif dalam cerita. Sedangkan hubungan yang renggang ditandai dengan tidak adanya hubungan darah antartokoh dan tidak adanya interaksi yang intensif dalam cerita. Tokoh mang Yaya dengan kuntilanak merupakan contoh hubungan yang renggang dalam cerita I. Kedua tokoh tersebut tidak memiliki intensitas cerita yang intensif.

Dalam analisis ruang cerita I, dapat disimpulkan bahwa terdapat oposisi antara ruang terbuka dengan ruang tertutup. Ruang terbuka diwakili dengan bak penampungan air yang berada di hulu. Bak penampungan air yang berada di hulu tersebut dapat diberi makna sebagai sumber kehidupan. Ruang tertutup diwakili oleh rumah. Rumah menjadi sebuah tanda yang dapat dimaknai sebagai keterbatasan gerak dan mikrokosmos. Bila air sebagai sumber kehidupan mereka tidak mengalir karena mengalami kerusakan, mereka harus pergi ke ruang terbuka (bak penampungan air yang berada di hulu) untuk mendapatkan kembali air di rumah mereka. Dalam ruang terbuka, terdapat interaksi antara Wawan, mang Yaya, dan kuntilanak. Hal ini dapat diberi makna, yaitu dalam ruang terbuka (makrokosmos) manusia dengan kekuatan adikodrati dapat berinteraksi. Hal tersebutlah yang menjadikan posisi ruang terbuka sangat penting dalam cerita ini.

(6)

keangkeran malam Selasa. Ketiga, waktu penuturan terjadi pada 17 Februari 2015 pukul 12.06-12.10 WIB. Keempat, terdapat selisih tiga tahun dari waktu cerita dengan waktu penceritaan.

Analisis aspek verbal teks cerita I menunjukkan bahwa terdapat dua tipe penceritaan dalam cerita: (1) wicara yang dilaporkan dan (2) wicara yang dinarasikan. Wicara yang dilaporkan berupa percakapan Wawan dan mang Yaya serta terdapat tuturan imperatif dan deklaratif yang di ucapkan mang Yaya kepada Wawan. Wicara yang dinarasikan tersebar di seluruh cerita, kecuali bagian percakapan dan tuturan langsung.

Struktur cerita II menunjukkan hal sebagai berikut. Analisis sintaksis teks cerita II menunjukkan bahwa pengaluran cerita cenderung progresif. Berikut adalah fungsi utama-fungsi utama cerita II.

F.1. Rasa sakit yang dirasakan oleh menantu penutur.

F.2. Tindakan anak penutur yang meminta penutur untuk mengantarkan suaminya ke rumah sakit.

F.3. Tindakan penutur beserta suaminya pergi mengantarkan menantunya ke rumah sakit. F.4. Rasa sungkan penutur dan suaminya untuk menginap di rumah sakit.

F.5. Tindakan penutur beserta suaminya pulang ke rumah. F.6. Waktu peristiwa: malam Selasa.

F.7. Penutur dan suaminya melintasi rumah yang dianggap angker.

F.8. Kepercayaan orang Sunda bahwa malam Selasa merupakan malam yang angker. F.9. Keyakinan suami penutur bahwa ada hantu di sekitarnya.

F.10. Perasaan takut suami penutur: bulu kuduknya meremang.

F.11. Tindakan suami penutur yang menyatakan kepada istrinya bahwa ada hantu di sekitar mereka.

F.12. Tindakan penutur yang menyuruh suaminya untuk mengabaikan keyakinannya. F.13. Penutur melihat sosok kuntilanak di atas pohon alpukat.

F.14. Tindakan penutur yang menyuruh suaminya untuk berjalan lurus. F.15. Keberanian penutur.

F.16. Tindakan penutur menegur kuntilanak.

Peristiwa-peristiwa dalam cerita disajikan berdasarkan urutan kronolgis. Pemililahan cerita berdasarkan satuan peristiwa dapat membuktikan hal tersebut. Fungsi utama-fungsi utama cerita II dipilah berdasarkan peristiwa yang terjadi dalam cerita berdasarkan urutan kronologis. Setelah didapat fungsi utama-fungsi utama cerita, kemudian dicarilah hubungan logis yang membentuk alur cerita. Selain ihwal pengaluran yang cenderung bergerak maju (progresif), alur cerita II juga sangat sederhana. Kesederhanaan cerita ditampilkan lewat penyampaian peristiwa per peristiwa berdasarkan waktu kronologis peristiwa berlangsung. hal ini membuktikan bahwa cerita lisan memang cenderung sederhana dan tidak serumit cerita rekaan kontemporer.

Analisis semantik teks cerita II menunjukkan bahwa analisis tokoh menunjukkan adanya oposisi antara tokoh manusia dan tokoh bukan manusia, yakni tokoh hantu. Tokoh manusia diwakili oleh Dede, suami, dan anak. Sedangkan tokoh hantu diwakili oleh kuntilanak. Oposisi ini juga dapat dimaknai lebih jauh menjadi oposisi manusia dengan sesuatu di luar kekuatan manusia (adikodrati). Selain itu, terdapat oposisi watak toko manusia saat berinteraksi dengan kuntilanak, yakni takut dan berani. Tokoh Dede yang pemberani dapat diartikan sebagai kekuatan dan penyeimbang dari watak penakut tokoh suami.

(7)

yakni kuntilanak. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai ketiadaan batas. Hal tersebut menunjukkan bahwa ruang terbuka adalah semesta yang tidak memiliki batas. Dalam ruang terbuka Cirateun Wetan, keterbatasan manusia dalam berinteraksi dengan makhluk adikodrati seolah melebur. Peleburan keterbatasan itulah yang mengakibatkan tokoh manusia bertemu dengan tokoh hantu. Terdapat tiga ruang tertutup dalam cerita II, yakni rumah Dede, rumah tokoh anak, dan rumah sakit. Ketiga ruang tertutup tersebut dapat bermakna sebagai keterbatasan gerak. Ketiga ruang tertutup tersebut tidak begitu dominan hadir dalam teks. Hal tersebut dikarenakan tidak banyaknya peristiwa dan hal yang terjadi di ruang tertutup. Namun, ruang tertutup rumah sakit dapat dimaknai sebagai ruang yang angker sehingga dapat menimbulkan ketakutan di benak tokoh suami. Hal tersebut terus muncul di benak tokoh suami sehingga saat perjalanan pulang, tokoh suami merasakan adanya hantu di sekitarnya.

Analisis waktu cerita II menunjukkan bahwa cerita hanya terjadi dalam satu malam, yakni malam Selasa. Waktu cerita memiliki efek ketakutan. Hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan orang Sunda yang meyakini bahwa malam Selasa dan malam Jumat adalah waktu-waktu yang dianggap angker.

Analisis aspek verbal menunjukkan bahwa kehadiran pencerita menunjukkan bahwa pencerita hadir secara langsung dalam cerita sebagai tokoh. Hal tersebut dapat dilihat dari dua kata ganti yang merujuk kepada pencerita, yakni ibu dan emak. Dalam terjemahan teks bahasa Indonesia, kedua kata tersebut mendapat catatan penerjemah, yakni penutur. Dengan kata lain, dalam cerita II, pencerita yang hadir adalah pencerita intern.

Hasil analisis tipe penceritaan menunjukkan bahwa terdapat dua tipe penceritaan dalam cerita II, yakni wicara yang dilaporkan dan wicara yang dinarasikan. Wicara yang dilaporkan merupakan dialog tokoh suami dan Dede. Konteks dialog tersebut adalah saat tokoh suami merasakan bahwa ada hantu di sekitar mereka. Untuk memperingatkan istrinya ia berkata bahwa ada hantu di sini. Dede merespons kalimat deklaratif tersebut dengan kalimat imperatif yang menyuruh agar suaminya tenang dan mengabaikan perasaannya tersebut. Selain itu, terdapat dua kalimat langsung yang dituturkan oleh Dede. Kalimat pertama merupakan kalimat imperatif yang menyuruh tokoh suami untuk tidak menengok ke belakang dan berjalan lurus. Kalimat kedua merupakan kalimat imperatif yang berfungsi sebagai teguran Dede kepada kuntilanak. Wicara yang dinarasikan tersebar di seluruh teks kecuali bagian wicara yang dilaporkan.

Struktur cerita III menunjukkan bahwa alur cerita III terdapat 15 fungsi utama yang bila dirangkai akan membentuk hubungan yang logis dalam cerita. Berikut adalah fungsi utama-fungsi utama cerita III.

F.1. Kenyataan: Taufik dan Asep merupakan seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren.

F.2. Tradisi santri: mendiami suatu tempat untuk menguji keberanian.

F.3. Tindakan Taufik dan Asep mendiami sebuah lahan bergubuk yang nantinya akan dijadikan pesantren.

F.4. Deskripsi ruang: sebuah gubuk yang dikelilingi oleh lahan bekas sawah dan pepohonan.

F.5. Waktu peristiwa: malam hari. F.6. Kemunculan kuntilanak.

F.7. Tindakan kuntilanak tertawa cekikikan untuk mengganggu Taufik dan Asep. F.8. Kepenasaranan Taufik dan Asep mengenai suara cekikikan yang didengarnya. F.9. Keberanian Taufik dan Asep.

(8)

F.12. Taufik dan Asep melihat kuntilanak.

F.13. Tindakan Taufik dan Asep menghampiri kuntilanak. F.14. Tindakan Taufik menegur kuntilanak.

F.15. Tindakan kuntilanak menghilang.

Aspek pengaluran menunjukkan bahwa bahwa cerita bergerak maju atau progresif. Selain itu, yang dapat dilihat dari alur cerita III adalah kesederhanaan cerita. Cerita lisan memang cenderung sederhana dan tidak sekompleks cerita rekaan kontemporer. Sifat kelisanan itulah yang membuat cerita menjadi sederhana. Pergantian satu peristiwa ke peristiwa lain terjadi secara kronologis dan jelas. Hanya peristiwa-peristiwa penting sajalah yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuklah alur cerita. Peristiwa-peristiwa yang tidak penting dan hanya sebagai sempilan, cenderung diabaikan oleh penutur. Hasil analisis alur ini akan dijadikan landasan analisis-analisis lain.

Hasil analisis sintaksis naratif cerita III menunjukkan bahwa cerita III memiliki 15 fungsi utama. Ke-15 fungsi utama tersebut kemudian dihubungkan secara logis sehingga terjalinlah alur cerita yang utuh. Dari aspek pengaluran, cerita III cenderung memiliki pengaluran yang progresif (bergerak maju). Hal tersebut menunjukkan bahwa cerita III sebagai cerita lisan cenderung memiliki pengaluran yang menampilkan urutan peristiwa secara progresif. Selain itu, cerita III memiliki kesederhanaan dari segi peristiwa. Hanya peristiwa-peristiwa penting saja yang terdapat dalam cerita. Hal tersebut juga merupakan indikasi bahwa cerita lisan cenderung sederhana dan tidak sekompleks cerita rekaan.

Analisis tokoh cerita III menunjukkan adanya oposisi tokoh manusia dan tokoh bukan manusia. Tokoh manusia dalam cerita III adalah Taufik dan Asep, sedangkan tokoh bukan manusia adalah kuntilanak yang merupakan hantu. Oposisi ini juga dapat dimaknai lebih jauh menjadi oposisi manusia dengan sesuatu di luar kekuatan manusia (adikodrati).

Interaksi antartokoh terjalin rapat. Ketiga tokoh dalam cerita III bertemu dan berinteraksi secara langsung. ketiga tokoh dalam cerita III memang tidak memiliki hubungan darah, namun hubungan dalam cerita yang terjalin rapat membuat interaksi ketiga tokoh dalam cerita terjalin rapat.

Analisis ruang menunjukkan bahwa terdapat oposisi ruang dalam cerita III, yakni ruang terbuka dan ruang tertutup. Ruang terbuka dalam cerita III adalah lahan bekas sawah yang ditumbuhi pepohonan, sedangkan ruang tertutup adalah gubuk. Ruang terbuka dapat dimaknai lebih lanjut menjadi makrokosmos karena sifatnya yang luas dan tidak terbatas sehingga tokoh manusia dan tokoh hantu dapat saling berinteraksi. Dalam ruang terbuka terjadi perancuan ruang sehingga batas-batas yang memisahkan ruang manusia dan ruang hantu menjadi kabur. Hal inilah yang menjadikan lahan bekas sawah adalah penanda dari makrokosmos. Ruang tertutup dalam teks adlah gubuk. Gubuk adalah tempat Taufik dan Asep melakukan uji nyali sebagai upaya pelestarian tradisi santri. Selain itu, di gubuklah untuk pertama kali taufik dan Asep mendengar suara kuntilanak. Gubuk sebagai ruang tertutup dapat dimaknai sebagai mikrokosmos. Dalam ruang tertutup segala aktivitas seolah terdapat sekat-sekat yang membatasi gerak. Hal tersebut terlihat saat Taufik dan Asep mendengar suara kuntilanak. Untuk mengetahui asal suara tersebut, mereka harus meninggalkan gubuk menuju lahan bekas sawah.

Analisis waktu menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tidak terdapat petunjuk waktu yang jelas dalam cerita III. Waktu cerita III terjadi dulu saat bangunan pesantren An-Nur tidak semegah sekarang. Dulu bangunan pesantren An-An-Nur adalah lahan bekas sawah yang ditanami pepohonan. Hanya itulah petunjuk waktu dalam teks. Hal ini mengisyaratkan adanya kerancuan waktu dalam cerita III.

(9)

tersebut dapat dibuktikan dengan penggunaan pronomina orang pertama Abdi. Taufik selaku pencerita intern juga berperan sebagai tokoh, pemandang, dan penutur cerita.

Secara keseluruhan, teks cerita III menunjukkan bahwa terdapat dua tipe penceritaan, yakni wicara yang dilaporkan dan wicara yang dinarasikan. Wicara yang dilaporkan dalam cerita III adalah berupa teguran Taufik kepada kuntilanak dengan menggunakan kalimat interogratif Rék naon sia? Rék ngaganggu? (Mau apa kamu? Mau mengganggu?). Kalimat interogratif tersebut sebenarnya merupakan teguran Taufik terhadap kuntilanak yang mengganggu aktivitasnya mendiami gubuk. Selain itu, terdapat wicara yang dinarasikan. Wicara ini tersebar di seluruh teks, kecuali teks wicara yang dilaporkan.

c. Proses Penciptaan Cerita Kuntilanak

Dari hasil analisis proses penciptaan cerita I dapat disimpulkan bahwa penciptaan cerita terjadi secara spontan. Hal tersebut ditandai dengan terdapatnya partikel eu yang digunakan oleh penutur sebagai jeda bila terdapat bagian cerita yang dilupakannya. Selain itu, terdapat tiga tahap proses penciptaan dalam cerita I. Ketiga proses tersebut adalah (1) penutur berusaha mengingat cerita, (2) penutur menuturkan cerita, dan (3) penutur menuturkan cerita dengan didasari oleh sebuah skema yang terdiri dari lima bagian. Kelima bagian tersebut adalah (1) deskripsi waktu cerita, (2) peristiwa yang menjadi motor penggerak cerita, (3) keanehan yang dialami penutur, keanehan ini menimbulkan efek angker dan seram terhadap penutur, (4) penutur melihat sosok hantu yang menyeramkan, dan (5) penjelasan tokoh lain (mang Yaya) kepada penutur bahwa makhluk yang dilihatnya adalah kuntilanak. Kelima bagian itu dapat dirangkum ke dalam tiga tahap cerita. Tahap awal (bagian I), puncak cerita (bagian II, III, dan IV), dan tahap ahkir (bagian V).

Analisis proses penciptaan cerita II menunjukkan bahwa penciptaan cerita terjadi secara spontan. Hal tersebut ditandai dengan ekspesi penutur yang tampak seolah sedang berusaha mengingat peristiwa yang pernah dialaminya Selain itu, terdapat dua tahap proses penciptaan dalam cerita II. Kedua proses tersebut adalah (1) penutur berusaha mengingat cerita, dan (2) penutur menuturkan cerita. Dari penuturan cerita, akan tampat sebuah skema yang terdiri dari lima bagian. Kelima bagian tersebut adalah (1) deskripsi waktu cerita, (2) peristiwa yang menjadi motor penggerak cerita, (3) keanehan yang dialami penutur, keanehan ini menimbulkan efek angker dan seram terhadap penutur, (4) penutur melihat sosok hantu yang menyeramkan, dan (5) penegasan dari tokoh mengenai tempat berlangsungnya peristiwa. Kelima bagian itu dapat dirangkum ke dalam tiga tahap cerita. Tahap awal (bagian I), puncak cerita (bagian II, III, dan IV), dan tahap ahkir (bagian V).

(10)

d. Konteks Penuturan Cerita Kuntilanak

Konteks penuturan yang terdiri dari konteks situasi dan budaya menunjukkan bahwa tidak terdapat waktu, tujuan, dan peralatan khusus dalam cerita kuntilanak karena sifatnya yang profan. Teknik penuturan terdiri dari tiga teknik, yakni prapenuturan, penuturan, dan pascapenuturan.

Lokasi penuturan cerita adalah di tiga kecamatan di Kota Bandung, yakni Kecamatan Cidadap, Kecamatan Sukasari, dan Kecamatan Sukajadi. Interaksi penutur dan audiens terjadi secara searah dari penutur ke audiens, namun saat prapenuturan, terjadikomunikasi dua arah antara penutur dan peneliti. Latar sosial-budaya menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam penuturan cerita adalah bahasa Sunda, walau terkadang bercampur dengan bahasa Indonesia, bahkan bahasa Inggris.

Sistem teknologi yang terdapat di tiga kecamatan tersebut menunjukkan adanya pergeseran dari teknologi tradisional ke teknologi modern. Sistem ekonomi masyarakat di tiga kecamatan tersebut menunjukkan bahwa pertanian sudah mulai ditinggalkan karena lahan pertanian baik berupa sawah maupun ladang sudah semakin berkurang.

Sistem organisasi sosial di tiga kecamatan tersebut adalah sistem organisasi sosial yang modern. Individu-individu yang memiliki hubungan darah membentuk kepala keluarga (KK). Himpunan dari KK-KK tersebut membentuk sebuah RT. RT-RT tersebut membentuk sebuah wilayah administratif yang lebih luas, yakni RW. Gabungan dari RW-RW membantuk wilayah administratif yang lebih luas, yakni kelurahan. Beberapa kelurahan tersebut kemudian berhimpun menjadi sebuah kecamatan.

Sistem pengetahuan yang terdapat di tiga kecamatan tersebut umumya adalah sistem pengetahuan modern. Walau demikian, masih terdapat juga sistem pengetahuan tradisional seperti kepercayaan rakyat akan tumbuh-tumbuhan obat.

Kesenian yang berkembang di tiga kecamatan tersebut adalah kesenian tradisional dan modern. Kesenian tradisional sudah semakin terpojokkan oleh kesenian modern. Modernisasi juga membuat kesenian tradisional dapat dinikmat dalam kemasan yang lebih modern.

Sistem religi yang dianut oleh masyarakat di tiga kecamatan tersebut pada umumnya menganut agama-agama resmi seperti agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan Budha. Namun, ajaran agama Islam sebagai agama yang paling banyak dianut pada umumnya bersinggungan dengan agama Hindu dan kepercayaan lokal. e. Fungsi Cerita Kuntilanak

Secara keseluruhan, ketiga cerita kuntilanak memiliki fungsi pengesah kebudayaan, fungsi pendidikan, dan fungsi hiburan. Fungsi pengesah kebudayaan yang tampak dalam cerita adalah adanya upaya peneguhan terhadap kepercayaan orang Sunda terhadap wujud kuntilanak, ciri-ciri kehadiran kuntilank, dan tampat yang disukai oleh kuntilanak. Selain itu, cerita juga memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan. Nilai pendidikan yang diajarkan oleh teks adalah nilai budaya dan nilai kelestarian lingkungan. Fungsi ketiga yang tampak dalam teks cerita adalah fungsi hiburan. Penuturan cerita hantu di saat senggang memberikan efek hiburan. Efek hiburan tersebut timbul karena ketakutan-ketakutan dan gosip yang menyertai cerita hantu. Freud (dalam Endraswara, 2004, hlm. 34) mengatakan bahwa sejak manusia primitif memang telah ada bekal rasa takut terhadap misteri. Bekal rasa taku inilah yang menimbulkan efek kepenasaranan akan hantu.

f. Makna Cerita Kuntilanak

(11)

dengan alam, dan manusia dengan manusia. Hal inilah yang disebut pola tritangtu dalam budaya Sunda sebagaimana telah dikatakan Sumardjo seperti berikut. Sumardjo (2011, hlm. 12) mengatakan bahwa,

Orang Sunda membangun pola hubungan dengan manusia bukan Sunda, membangun pola hubungan dengan manusia Sunda yang lain, dengan alam lingkungannya, dengan nenek moyangnya, dengan Tuhan, dengan tempat tinggalnya, dengan kampungnya, dengan negaranya.

g. Pandangan Dunia Orang Sunda

Tokoh-tokoh dalam cerita kuntilanak sebagai representasi orang Sunda memandang kuntilanak sebagai makhluk adikodrati yang memiliki ciri fisik sebagai perempuan berambut panjang, memakai pakaian putih kumal, dan berwajah menyeramkan. Di samping itu, tokoh-tokoh dalam cerita memandang kuntilanak adalah hantu yang mendiami tempat-tempat lembap seperti bak penampungan air dan lahan bekas sawah. Selain itu, orang Sunda juga memandang kuntilanak sebagai hantu yang senang mendiami pepohonan, seperti pohon alpukat dan pohon kelapa. Orang Sunda juga memiliki dua oposisi sikap saat berinteraksi dengan kuntilanak, oposisi sikap tersebut adalah takut dan berani. Rasa takut ditunjukkan oleh tokoh Wawan dan tokoh suami, sedangkan tokoh yang berani saat berinteraksi dengan kuntilanak adalah mang Yaya, Dede, Taufik, dan Asep. 5) Simpulan

Secara keseluruhan, temuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) struktur cerita kuntilanak memunculkan oposisi-oposisi seperti watak tokoh yang takut dan berani saat berinteraksi dengan kuntilanak yang terjalin dengan pengaluran progresif. (2) Penciptaan cerita terjadi secara spontan mengacu pada skema-skema komposisi cerita dan ingatan dari penutur. (3) Kebudayaan Sunda kekinian turut berpengaruh terhadap cerita kuntilanak yang terlihat dari analisis konteks penuturan cerita. (4) Cerita kuntilanak memiliki fungsi pengesah kebudayaan, fungsi pendidikan, dan fungsi hiburan. (5) Makna yang terkandung dalam cerita kuntilanak adalah adanya interaksi antara manusia, alam, dan kekuatan adikodrati. (6) Adanya oposisi pandangan orang Sunda terhadap kuntilanak: takut dan berani. Berdasarkan hasil temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang Sunda memandang kuntilanak sebagai makhluk adikodrati yang memiliki ciri fisik sebagai perempuan berambut panjang, memakai baju berwarna putih, bertempat tinggal di tempat yang lembap dan pohon-pohon. Selain itu, orang Sunda juga memiliki oposisi sikap saat bertemu dengan kuntilanak, yakni berani dan takut.

Referensi

Adimihardja, K. (1984). ”Pertanian: Mata pencaharian hidup masyarakat sunda” dalam Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pustaka.

Ahmadi, A. (2013). “Legenda hantu kampus di surabaya: Kajian folklor hantu kontemporer” dalam Endraswara (Penyunting). Folklor nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Amir, A. (2013). Sastra lisan indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Badrun, A. (2003). Patu mbojo: Struktur, konteks pertunjukan, proses penciptaan, dan fungsi. (Disertasi). Program Studi Ilmu Susastra Universitas Indonesia, Depok. Barthes, R. (2000). Mythologies. London: Vintage.

Bianca, F. (2013). Ensiklopedi hantu dan mahkluk gaib nusantara. Yogyakarta: Narasi. BPS Kota Bandung. (2014). Kecamatan cidadap dalam angka 2014. [online].

Diakases dari http://bandungkota.bps.go.id/publikasi/cidadap-2014.

(12)

BPS Kota Bandung. (2013). Kecamatan sukasari dalam angka 2013. [online]. Diakses dari http://bandungkota.bps.go.id/publikasi/sukasari-2014.

Bravianingrum, D. H. (2011). Perbandingan mitos yang terdapat pada legenda (Ko-Sodate Yuurei) (Jepang) dan legenda kuntilanak (Indonesia) (Kajian Sastra Bandingan). (Skripsi). Universitas Pesantren Tinggi Darul’Ulum Jombang, Jombang.

Danandjaja, J. (2007). Folklore indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Danandjaja, J. (2008). “Pendekatan folklor dalam bahan-bahan penelitian tradisi lisan” dalam Pudentia (Penyunting). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Danasasmita, M. (2001). Wacana bahasa dan sastra sunda lama. Bandung: STSI Press. Durachman, M, dkk. (2006). Cerita si kabayan: Transformasi, proses penciptaan, makna,

dan fungsi. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif. Bandung: UPI. Endraswara, S. (2004). Dunia hantu orang jawa. Yogyakarta: Narasi. Endraswara, S. (2010). Folklor jawa. Jakarta: Penaku.

Endraswara, S. (2011). Metodologi penelitian sastra. Yogyakarta: CAPS.

Endraswara, S. (Penyunting). (2013). Folklor nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Ekadjati, E. S. (Penyunting). (1984). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT.

Girimukti Pustaka.

Ekadjati, E. S. (2014). Kebudayaan sunda: Suatu pendekatan sejarah. Bandung: Pustaka Jaya.

Garna, J. (1984). “Pola kampung dan desa, bentuk serta organisasi rumah masyarakat sunda” dalam Edi S. Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pusaka.

Geerts, C. (1981). Abangan, santri, priyayi dalam masyarakat jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Geerts, C. (2003). Pengetahuan lokal. Yogyakarta: Merapi.

Hutomo, S. H. (1991). Mutiara yang terlupakan. Surabaya: HISKI.

Hidayat, S. (2012). Pandangan dunia orang sunda dalam tiga novel indonesia tentang perang bubat. (Tesis). Program Studi Ilmu Susastra Universitas Indonesia, Depok. Hoed, B. H. (2011). Semiotik dan dinamika sosial budaya. Depok: Komunitas Bambu. Iskandarsyah, M. (2012). Hantu merah: Melihat konstruksi budaya dan telaah fungsi

dalam memaknai cerita legenda alam gaib kampus UI. (Skripsi). Departemen Antropologi Sosial Universitas Indonesia, Depok

Koenjtaraningrat. (1984). Kebudayaan jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar antropologi: Pokok-pokok etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta.

Komarasari, D. (2013). Kasenian bring-brung di kalurahan ledeng kacamatan cidadap kota bandung pikeun bahan pangajaran maca di sma. (Skripsi). Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Maheswarina, T. A. (2012). Kepercayaan masyarakat jawa dalam film kuntilanak. (Skripsi). Universitas Malang, Malang.

Moleong, L. J. (2007). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Rosda. Mustapa, H. H. (2010). Adat istiadat sunda. Bandung: PT. Alumni. Nurgiantoro, B. (2012). Teori pengkajian fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Pudentia. (Penyunting). (2008). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

(13)

Ratna, N. K. (2013). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rozak, A. (2005). Teologi kebatinan sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Rusyana, Y. dan Raksanagara, A. (1978). Sastra lisan sunda: Ceritera karuhun, kajajaden, dan dedemit. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Suhamihardja, A. S. (1984). “Agama, kepercayaan, dan sistem pengetahuan” dalam Edi S. Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pusaka.

Suhendi, I. D. (2013). “Ciri-ciri fantastik dua cerita rakyat kalimantan dalam buku kumpulan cerita rakyat nusantara karya kidh hidayat”. Jurnal Lokabasa 5. (2). 122-135

Sukarsini, R. (2012). Struktur mitos cerita hantu dalam acara nightmare side radio ardan 105.9 fm bandung: Kajian strukturalisme claude lévi-strauss. Skripsi. Unpad, Bandung.

Sumardjo, J. (2011). Sunda: Pola rasionalitas budaya. Bandung: Kelir. Spradley, J. P. (2007). Metode etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sweneey, A. (1987). A full hearing: Orality and literacy in the malay world. Berkeley: University of California Press.

Taum, Y. Y. (2011). Studi sastra lisan: Sejarah, teori, metode, dan pendekatan disetai contoh penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.

Todorov, T. (1985). Tata sastra. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Warnaen, S. (1987). Pandangan hidup orang sunda seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastra sunda. Bandung: Depdikbud.

Zaimar, O. K.S. (1991). Menelusuri makna ziarah karya iwan simatupang. Jakarta: Intermasa.

Zaimar, O. K.S. (2008). “Metodologi penelitian sastra lisan” dalam Pudentia (Penyunting). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah : (1) menemukan perbedaan sistem komunikasi di sekolah dan penerapan komunikasi orangtua dengan anak tunarungu di rumah, (2)

Dalam pencapaian percepatan penanganan lingkungan kumuh, pemerintah pusat membuat program KOTAKU dimana program ini merupakan program turunan dari pemerintah pusat kepada

Dalam penelitian ini, telah dilakukan sintesis membran elektrolit polimer LiBOB ( Lithium Bis Oksalato Borate dengan rumus kimia LiB(C 2 O 4 ) 2 ) dengan menggunakan

Spektrum absorpsi radiasi yang terbentuk, khas molekul senyawa organik yang bersangkutan dan dapat digunakan untuk analisis kualitatif, sedangkan absorban pada frekuensi khas

Hal ini menjelaskan bahwasanya responden setuju dengan pemyataan yang diajukan bahwasanya inisiatif pegawai dalam melaksanakan pekeijaannya pada Dinas Pendapatan Pengelolaan

Kemudian untuk guru yang dianggap berprestasi dan disiplin diberikan bingkisan diakhir pembelajaran (akhir tahun). Punishment bagi siswa diantaranya jika datang terlambat lebih dari

Dalam membantu mengatasi kekurangan tenaga pelayar di Indonesia, terutama di jawa timur membutuhkan lembaga tambahan yakni Sekolah Tinggi Pelayaran yang mengikuti standar STCW