Sejarah, Puisi, dan Dunia Literasi
Oleh: Khothibul Umam
1)
Pada tahun 2007 terbit sebuah novel yang berjudul Rahasia Meede: Misteri Harta
Karun VOC karya E.S. Ito. Dengan mengambil latar waktu yang hanya berkisah
sekitar 24 jam, Rahasia Meede langsung mengingatkan kita pada resep-resep Dan
Brown dalam menulis Angels & Demons, Digital Fortress, Deception Point dan
tentu saja The Da Vinci Code. Kisah yang bercerita tentang perburuan emas VOC
pun secara tidak langsung mengingatkan pada film National Treasures yang
dibintangi oleh Nicholas Cage.
Harus diakui, resep fiksi ala E.S. Ito yang meramu fakta dan fiksi dengan
balutan thriller sejarah lumayan baru dalam dunia Sastra Indonesia. Tidak banyak
yang menulis novel dengan genre tersebut. Mungkin yang paling terkenal sebelum
Rahasia Meede adalah Pacar Merah Indonesia karya Matu Mona yang menyitir
kisah hidup Tan Malaka dalam kejaran intel Hindia Belanda.
Tokoh dan fakta sejarah juga bertaburan di novel ini, disertai dengan
data-data nama tempat yang persis aslinya. Hal ini tidaklah mengherankan, karena
salah satu syarat sastra populer/massa adalah harus “realis”. “Realis” di sini tidak
berarti “sama dengan realita” atau pun “merujuk pada realita tertentu”, melainkan
suatu dunia fiktif yang memberi kesan mirip dengan dunia yang kita kenal
sehari-hari, atau Vraisemblable (seakan-akan nyata)1.
Tema sejarah merupakan salah satu tema yang tiada habisnya dipakai
dalam eksplorasi kreatifitas dunia sastra. Baik cerita yang berlatarbelakang
peristiwa sejarah ataupun kisah yang hanya mencomot tokoh sejarah sebagai
pelakunya. Rahasia Meede juga seperti itu. Novel ini “meminjam” Bung Hatta
pada saat peristiwa Konferensi Meja Bundar di Den Haag, November 1949.
Dalam novel tersebut, Bung Hatta didatangi sosok misterius di malam terakhir
konferensi agar menerima segala sesuatu yang disyaratkan pihak Belanda dalam
KMB dengan alasan Indonesia tidak akan rugi karena harta karun VOC masih
tertinggal di tanah Indonesia.
Sejarah memang menjadi tema utama dalam novel ini. Frasa “Misteri
Harta Karun VOC” adalah kuncinya. Pemburu harta karun haruslah seorang yang
tahu tentang sejarah. Tidak bisa tidak.
Setidaknya ada beberapa tokoh dalam novel Rahasia Meede yang sangat
paham terhadap sejarah. Yang pertama adalah Guru Uban. Seorang guru sejarah di
SMA Abdi Bangsa, Bojonggede. Guru Uban adalah seorang brahmacari, orang
yang hidup membujang dan hidup vegetarian. Ia mengajar sejarah dengan
dongeng yang memukau murid-muridnya. Dalam mengajar sama sekali ia tidak
menyentuh buku paket sejarah. Pelajaran sejarah baginya harus disampaikan
dengan menarik dan interaktif. Selain itu ia selalu mengajak murid-muridnya
untuk berpikir kritis dengan belajar dari kesalahan masa lalu.
“Kalian tahu bagaimana orang-orang dulu menguasai pengetahuan?” tanya Guru Uban lagi. Kali ini dia ajukan ke seluruh penjuru kelas. Tetap tidak terdengar jawaban. Guru Uban menelan ludah. Sistem pendidikan apa yang diwarisi anak-anak ini hingga bisu tidak bersuara?”Anakku, coba kamu jawab.” tunjuknya pada murid laki-laki berambut tipis.
“Bisa juga, tetapi tidak sepenuhnya tepat jawabanmu itu. Yang lain?” “Sihir, mantra, dan santet, Pak,” terdengar seruan dari pojok belakang. Yang berseru langsung menyembunyikan kepala. Jawabannya disertai tawa penjuru kelas. Guru Uban tersenyum masam.
“Ada lagi?” Hilang sudah semua suara tadi. Guru Uban memungut buku teks dari mejanya. Lalu, dia acungkan tinggi-tinggi. “Dengan ini. Buku! Itu sebabnya kalian harus rajin membaca.” (Hal. 58)
Guru Uban mencoba membongkar kebebalan murid-muridnya dengan
pelajaran sejarah. Guru Uban mencoba melawan arus gaya pengajaran
konvensional hasil sistem pendidikan mutakhir yang sama sekali tidak
mencerdaskan murid-muridnya.
Di sisi lain ada tokoh dalam novel ini yang bernama Kalek. Ia
digambarkan sebagai salah satu pemimpin dari sebuah organisasi bernama Anarki
Nusantara. Berbekal atas tafsiran sejarah dan obsesi atas kejayaan Nusantara masa
lalu, Anarki Nusantara melakukan serangkaian pembunuhan terhadap berbagai
tokoh penting di Indonesia yang dianggap melakukan berbagai macam kejahatan
dan kesalahan.
Kalek memandang sejarah resmi hanyalah kedok penjajahan baru. Hal
tersebut bisa dilihat dari betapa bencinya Kalek pada Gajah Mada. Sosok yang
dimitoskan Orde Baru sebagai pelopor pemersatu Nusantara. Pandangan Kalek
juga bisa ditafsirkan dengan pandangan Jawa dan Luar Jawa. Telah lama Jawa
selalu menjadi pusat dan Luar Jawa terabaikan. Tokoh dari Luar Jawa seperti
Kalek dengan sangat tepat menjadi representasi suara dari Luar Jawa yang
menuntut kemakmuran yang sama dengan saudaranya di Jawa.
E.S. Ito dengan secara sadar memberikan alternatif pemaknaan sejarah
tidak pernah “belajar dari sejarah”. Para ahli filsafat sejarah pun masih berdebat
apakah sebetulnya sejarahlah yang membentuk manusia (sebagaimana yang
diajarkan oleh Hegel dan Marx, misalnya), ataukah sebetulnya manusia sendirilah
yang membentuk sejarahnya (sebagaimana dibela secara militan oleh Karl
Popper)2.
2)
Suatu hari di bulan Februari 1998, sebuah surat elektronik masuk. Surel itu berisi
pesan singkat saja, “Hanya ada satu kata: lawan!”. Pengirimnya adalah Wiji
Thukul, sang penyair aktivis pemberontak yang menjadi Ketua Jaringan Kerja
Kesenian Rakyat --organisasi sayap Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang
beroposisi terhadap Orde Baru-- dan kini hilang tak tentu rimbanya.
Satu kalimat pendek dari Wiji Thukul yang mendarat di mailing list (milis)
gerakan mahasiswa dan prodemokrasi itu menjalar cepat, mengobarkan api
perlawanan3. Meskipun bukan pemicu utama tumbangnya rezim Soeharto,
penggalan puisi dari Wiji Thukul tersebut merupakan sebuah bahan bakar yang
mujarab membangkitkan semangat para aktivis prodemokrasi untuk tetap
melawan hingga Soeharto lengser tiga bulan kemudian.
2 Lihat Ignas Kleden “Cerita-cerita Pulau Buru: Sejarah dan Nyanyi Burung Kedasih”, dalam
Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (2004).
Rezim Soeharto sendiri cukup sering melarang berbagai aktifitas kesenian
yang dianggap “mengancam ketertiban masyarakat”. Mulai dari pentas teater dan
baca puisi WS. Rendra, pementasan drama Nano Riantiarno bersama Teater
Koma, baca pusi Emha Ainun Nadjib, dan lain sebagainya. Yang menarik
pelarangan tersebut hanya untuk acara pentas atau pertunjukan saja, masyarakat
pembaca masih dapat mendapatkan buku-buku karya para sastrawan tersebut
dengan bebas. Dari sini dapat ditarik kesimpulan jika pemerintah saat itu lebih
khawatir pada “kelisanan” daripada “ketertulisan” sastra. Mungkin sikap ini
didasari pada anggapan bahwa masyarakat Indonesia masih cenderung pada
budaya lisan, sehingga “mendengar” sastra lebih efektif, dan oleh karenanya bisa
lebih membahayakan ketenteraman umum, dibandingkan “membaca” sastra4.
Hubungan antara sastra, sastrawan, masyarakat, dan pemerintah memang
tidak sederhana. Karya sastra bisa dilarang jikalau dianggap membahayakan
ideologi negara atau menodai norma masyarakat. Di sisi lain, setidaknya di
Indonesia, pemerintah kurang memberikan perhatian yang besar pada dunia sastra
dan literasi.
Kurangnya perhatian pemerintah pada dunia literasi tersebut menimbulkan
pekerjaan rumah yang cukup berat. Central Connecticut State University
mempublikasikan risetnya pada tahun 2016 yang bertajuk “World's Most Literate
Nations” (WMLRN). Riset ini menganalisis tren skala besar dalam perilaku
terkait dunia literasi di masyarakat di 60-an negara5.
https://tirto.id/potret-anak-indonesia-Posisi pertama negara dengan tingkat minat baca tertinggi adalah
Finlandia, di mana negara-negara Skandinavia lainnya mendominasi posisi 10
besar. Mirisnya, Indonesia berada di posisi kedua terbawah alias di urutan 60,
tepat satu tingkat di atas Botswana. Indonesia kalah dari negara-negara lain di
Asia Tenggara lainnya. Hingga posisi 20 besar, negara-negara Barat dengan
ekonominya yang telah mapan masih mendominasi.
Hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa perilaku masyarakat terhadap
dunia literasi menjadi faktor yang sangat penting dalam keberhasilan individu dan
bangsa dalam bidang ekonomi dan bidang lain yang memang bersyaratkan basis
pengetahuan yang memadai. Kecintaan terhadap dunia literasi juga menentukan
masa depan dunia sebuah masyarakat.
3)
Di kota Semarang sangat sedikit kelompok seni pertunjukan yang fokus pada
dunia literasi. Salah satu kelompok yang menjadikan dunia literasi sebagai arah
gerakan seninya adalah Wayang Tenda. Wayang Tenda sendiri awalnya adalah
proyek iseng-iseng yang dimulai pada tahun 2009.
Saat itu Khothibul Umam dan Vikki Rahman masih aktif di kelompok
Roda Gila dan Kelab Kelip Bersaudara (RGdKKB), sebuah kolektif seni
pertunjukan alternatif yang didirikan setelah lulus kuliah. RGdKKB rutin
membuat berbagai pertunjukan di ruang-ruang alternatif dan ruang publik di kota
Semarang. Salah satu proyek seni yang dibuat adalah eksplorasi bayangan.
Mereka memainkannya di dalam tenda dengan cerita yang kami buat sendiri6.
Seiring berjalannya waktu, proyek Wayang Tenda ini menemukan ruang
artistiknya sendiri. Konsep pertunjukan yang ditawarkan ternyata ditanggapi
dengan baik oleh para penonton, terutama anak-anak. Wayang Tenda pun
mencoba membuat wayang sendiri dengan barang-barang yang mudah ditemukan
sehari-hari. Kertas karton, plastik mika warna, sedotan, gunting, dan spidol7.
Anak-anak pun coba dilibatkan dalam pertunjukan, tidak hanya menjadi
penonton. Kadang anak-anak diajak untuk workshop singkat bagaimana membuat
wayang dan akhirnya mendongeng bersama8.
Dongeng sebagai salah satu bagian dari dunia sastra ternyata menjadi
media perkenalan yang efektif untuk mengenalkan anak-anak dengan dunia
literasi. Dengan dongeng anak-anak bisa belajar membaca tanpa paksaan,
mengekspresikan diri, dan mengenal lingkungan dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
6 Lihat Garna Raditya “Wayang Benda dalam Tenda”, saat itu Wayang Tenda memainkan lakon berjudul ’’Budi Lebih Senang Menyanyikan Indonesia Raya daripada Bermain Bola’’, pranala: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/09/02/78909/Wayang-Benda-dalam-Tenda.
7 Lihat Galih Priatmojo “Komunitas Wayang Tenda Hadirkan Pentas Tradisi Tanpa Pakem”, pranala: http://jateng.tribunnews.com/2015/08/29/komunitas-wayang-tenda-hadirkan-pentas-tradisi-tanpa-pakem
Central Connecticut State University. 2016. “World's Most Literate Nations Ranked”. Pranala: http://webcapp.ccsu.edu/?news=1767&data. Dilihat Kamis, 18 Mei 2017, pukul 13.31 WIB.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. “Sastra, Politik, Ideologi”, dalam Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Djokosujatno, Apsanti. “Estetika dan Nilai Sastra Massa”, dalam Majalah Horison edisi 06/XXVIII.
Hasan, Akhmad Muawal. 2017. “Potret Anak Indonesia: Lemah Nalar karena Kurang Membaca”, pranala:
https://tirto.id/potret-anak-indonesia-lemah-nalar-karena-kurang-membaca-ckZ6. Dilihat Kamis, 18 Mei 2017, pukul
13.43 WIB.
Ito, E.S. 2008 (Cetakan ketiga). Rahasia Meede: Misteri Harta Karun VOC. Jakarta: Hikmah.
Kleden, Ignas. 2004. “Cerita-cerita Pulau Buru: Sejarah dan Nyanyi Burung Kedasih”, dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kusumadewi, Anggi. 2017. “Internet: Senjata yang Menumbangkan Soeharto”, pranala:
https://kumparan.com/anggi-kusumadewi/internet-senjata-yang-menumbangkan-soeharto. Dilihat Kamis, 18 Mei 2017, pukul 13.14 WIB.
Priatmojo, Galih. 2015. “Komunitas Wayang Tenda Hadirkan Pentas Tradisi Tanpa Pakem”, pranala: http://jateng.tribunnews.com/2015/08/29/
komunitas-wayang-tenda-hadirkan-pentas-tradisi-tanpa-pakem. Dilihat
Kamis, 18 Mei 2017, pukul 14.23 WIB.
Raditya, Garna. 2009. “Wayang Benda dalam Tenda”, pranala:
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/09/02/78909/
Wayang-Benda-dalam-Tenda. Dilihat Kamis, 18 Mei 2017, pukul 14.14
WIB.
Zustiyantoro, Dhoni. 2015. “Alternatif Bercerita Wayang Tenda”. Pranala: