• Tidak ada hasil yang ditemukan

MINI PROYEK PENYULUHAN GIZI BALITA DI DE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MINI PROYEK PENYULUHAN GIZI BALITA DI DE"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

MINI PROYEK

PENYULUHAN GIZI BALITA DI DESA KASANG

PUDAK SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN GIZI

BURUK

MUARA KUMPEH

Oleh:

dr. Rendy Andika, B.MedSc

Pembimbing:

dr. Hasanah Suryani Utami

Puskesmas Muara Kumpeh

Kabupaten Muaro Jambi

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang

sangat pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat

perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan

gizi.1

Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan

nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi masalah

yang belum terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk banyak dialami oleh

bayi dibawah lima tahun (balita). Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi

telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya

adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus

bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat

karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman. Dengan alasan tersebut,

masalah ini selalu menjadi program penanganan khusus oleh pemerintah.2

Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum

menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk,

kurang vitamin A, anemia deisiensi besi, gangguan akibat kurang Yodium

dan gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di seluruh

tanah air. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain

adalah tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan sesuai

dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan perilaku keluarga

dalam meilih, mengolah, dan membagi makanan di tingkat rumah tangga,

ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan

aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat yang

berkualitas.3

Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development

Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator,

(3)

kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari lima indikator

sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi

gizi kurang pada anak balita (indikator keempat) dan menurunnya jumlah

penduduk dengan deisit energi (indikator kelima).4

Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan.

Hal ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada

anak balita dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010.

Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih

relatif besar.1

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya status gizi anak demi kepentingan pertumbuhan dan perkembangan anak

Tujuan

B.1.Tujuan Umum

Meningkatkan kesadaran masyarakan akan pentingnya gizi anak B.2.Tujuan Khusus

• Untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat desa

Kasang Pudak mengenai gangguan tumbuh kembang yang dapat terjadi pada anak yang kurang gizi.

• Meningkatkan kewaspadaan pada masyarakat mengenai

kemungkinan kurang gizi pada anak-anak mereka. C. Manfaat

C.1.Bagi Puskesmas

Dengan adanya penyuluhan mengenai bahaya gizi buruk dan pengenalan gejala gizi buruk pada masyarakat diharapkan terjadi peningkatan kesadaran akan pentingnya gizi dan membantu untuk mencegah berulangnya kejadian bayi gizi buruk di masa mendatang.

C.2.Bagi Dokter Internsip

• Memberikan pengalaman untuk terjun langsung di lapangan

dan berkoordinasi dengan masyarakat di desa.

• Sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kemampuan

untuk memahami permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.

C.3.Bagi Masyarakat

(4)
(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Deinisi

Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan

menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight

(Kemenkes RI, 2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang

gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi

badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus,

kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4

2. Epidemiologi

Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun

Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data

Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score

WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan

mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995. Upaya pemerintahan tara lain

melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS)

dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi

Buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk

menjadi 10,1 % pada tahun 1998; 8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001.

Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali menjadi 8% dan pada

tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa

anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus, kwashiorkor,

marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi

Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi

lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan pada

balita disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal,

7% campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain.5

Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan.

Hal ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada

(6)

Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih

relatif besar.

3. Klasiikasi Gizi Buruk

Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan

marasmus-kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri

atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.

3.1 Marasmus

Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak

cukup karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak

tepat seperti mereka yang hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena

kelainan metabolic atau malformasi congenital. Gangguan berat setiap

system tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.6

Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat.

Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak

terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit),

rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan

(sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel

dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar.

Berikut adalah gejala pada marasmus adalah : 4

a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan

otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit

b. Wajah seperti orang tua

c. Iga gambang dan perut cekung

d. Otot paha mengendor (baggy pant)

e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

3.2 Kwashiorkor

Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby),

bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein,

walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya

atroi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki

(7)

Walaupun deisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran

klinik dan kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan

protein tidak cukup bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan

protein terganggu, seperti pada keadaan diare kronik, kehilangan protein

abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka bakar, dan

gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati kronik .6

Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari deisiensi protein

berat dan masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari

kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan

oleh infeksi kronik, akibat deisiensi vitamin dan mineral dapat turut

menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi

yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini terutama berada di

daerah industri belum bekembang.6

Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi,

apatis atau iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan

tidak cukup, kurang stamuna, kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya

kerentanan terhadap infeksi, dan udem. Imunodeisiensi sekunder

merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius dan konstan. Pada

anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan

tonus otot. Hati membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat

iniltrasi lemak. Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan

mungkin ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam organ dalam sebelum

dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal, laju iltrasi

glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil pada

awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini

sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang

teriritasi tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari.

Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi atau dapat

generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya.

Pada anak yang berambut hitam, dispigmentasi menghasilkan corak merah

(8)

Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia,

mual, muntah, dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan

atroi, tetapi kadang-kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan.

Perubahan mental, terutama iritabilitas dan apati sering ada. Stupor, koma

dan meninggal dapat menyertai.6

Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :

a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis

b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah

dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut

kepala kusam.

c. Wajah membulat dan sembab

d. Pandangan mata anak sayu

e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba

dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir

yang tajam.

f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah

menjadi coklat kehitaman dan terkelupas

3.3 Marasmik-Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik

kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung

protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita

demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal

memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,

kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.4

4. Etiologi

(9)

sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan

ditingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain

itu, pemeliharaan kesehatan juga memegang peranan penting. Di bawah ini

dijelaskan beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah gizibalita,

yaitu:

a. Tingkat Pendapatan Keluarga.

Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang

disediakan untuk konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh

peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga

lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlawanan hampir

universal.

Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua

dalam hal memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam

kondisi yang higienis.

b. Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.

Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi

didasarkan pada tiga kenyataan yaitu:

• Status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. • Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya

mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan

tubuh yang optimal.

• Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat

belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.

Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu

menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan

gizi seseorang,maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah

makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi.

Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan tentang

penilaian status gizi balita. Dengan demikian ibu bias lebih bijak menanggapi

(10)

c. Tingkatan Pendidikan Ibu.

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi

rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat

pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, kebersihan pemeriksaan

kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan

gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula

pada factor social ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan

hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal.

Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang

menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini

bias dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat.

Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih

tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan bias

mengambil tindakan secepatnya.

Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk

menghadapi berbagai masalah, missal memintakan vaksinasi untuk

anaknya, memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta

KB. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan

mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka

untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan

anak maupun salah satu penjelasannya.

d. Akses Pelayanan Kesehatan.

Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical

service)dan pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara

umum akses kesehatan masyarakat adalah merupakan subsistem akses

kesehatan, yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan)

dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak

melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).

Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan

(11)

hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak kecil, sehingga dapat menurunkan

angka kematian. Pusat kesehatan yang paling sering melayani masyarakat,

membantu mengatasi dan mencegah gizi kurang melalui program-program

pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap dan

dekat dengan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan derajat

kesehatan. Dengan akses kesehatan masyarakat yang optimal kebutuhan

kesehatan dan pengetahuan gizi masyarakat akan terpenuhi.

4. Diagnosis

Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri

dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda

tergantung dari derajat dan lamanya deplesi protein dan energi, umur

penderita, modiikasi disebabkan oleh karena adanya kekurangan vitamin

dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang

tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti

berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat.2

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta

pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :

• BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)

• Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh

tubuh(kwashiorkor : BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor :

BB/TB < -3SD.

Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis

berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak

mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan

pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa adanya edema.7

Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan

isik. Anamnesis terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.

Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :

(12)

• Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan

muntah dan diare (encer/darah/lender)

• Kapan terakhir berkemih

• Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin

Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami

dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.

Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan tertangani)

• Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit • Riwayat pemberian ASI

• Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari

terakhir

• Hilangnya nafsu makan

• Kontak dengan campak atau tuberculosis paru • Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir • Batuk kronik

• Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung • Berat badan lahir

• Riwayat tumbuh kembang • Riwayat imunisasi

• Apakah ditimbang setiap bulan

• Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak) • Diketahui atau tersangka infeksi HIV .7

Pemeriksaan Fisik

• Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua

punggung kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB

(13)

• Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat),

kesadaran menurun

• Demam (suhu aksilar ≥ 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C) • Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung

• Sangat pucat

• Pembesaran hati dan ikterus

• Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda

asites

• Tanda deisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia) • Ulkus pada mulut

• Fokus infeksi : THT, paru, kulit • Lesi kulit pada kwashiorkor • Tampilan tinja

• Tanda dan gejala infeksi HIV

5. Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk

(14)

Bagan 1. Alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

(15)
(16)

Bagan 3. Pemberian Cairan dan Makanan Untuk Stabilisasi

Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase

stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus

trampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini

digunakan baik pada penderita kwashiorkor, marasmus maupun

marasmik-kwarshiorkor.

(17)

Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima

makanan hingga ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein

(TETP). Tahap penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2

minggu atau lebih lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk

menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg,

makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah

formula yang dimodiikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa

+2% tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan

lembek. Bila ada, berikan ASI.

Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti

makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan

makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan

ketentuan sebagai berikut:

a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.

b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.

c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap

dengan keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3

hari. Untuk meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan

d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari

(18)

Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan

memperoleh makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang

tua hendaknya diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang

mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai

dengan kemampuan daya belinya.

Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :

a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat

tanda-tanda hipoglikemia.

b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.

c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila

terdapat hipomagnesimia.

d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI

peroral atau 100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat

xeroftalmia, vitamin A diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg

berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.

e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat

besi (Fe) dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang

(19)

Tabel 1.Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk

6. Dampak Gizi Buruk

Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan deisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi.

(20)

Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi ”stunting” (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.

(21)

BAB III

GAMBARAN UMUM

A. Proil Komunitas Umum

Secara geograis wilayah Kecamatan Kumpeh Ulu berbatasan langsung dengan kota Jambi. Kecamatan ini berkembang cukup pesat akibat meningkatnya aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat kota, sehingga turut mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Kecamatan ini umumnya terdiri dari wilayah pedesaan dengan area pertanian dan perkebunan, dengan mata pencaharian sebagai buruh tani dan buruh perkebunan.

B. Data Geograis

(22)

Kecamatan Kumpeh Ulu mempunyai luas wilayah 40.588 Km2. B.2. Batas Wilayah

Wilayah Kecamatan Kumpeh Ulu berbatasan dengan:

• Sebelah Utara: berbatasan dengan kecamatan Muara Sebo. • Sebelah Timur: berbatasan dengan Kecamatan Kumpeh Ilir. • Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kecamatan Sungai

Gelam.

• Sebelah Barat: berbatasan dengan Kota Jambi.

Terdiri dari 18 Desa, yaitu:

1. Moaro Kumpeh

Jumlah Penduduk Menurut Desa Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh

10 SIPIN TLK. DUREN 1.590 375

11 TELUK RAYA 1.830 457

12 RAMIN 1.747 452

(23)

14 SOLOK 1.737 497

15 KS.LOPAK ALAI 1.857 521

16 KS.PUDAK 12.606 2.814

17 KS.KUMPEH 4.733 1.149

18 KS. KOTA KARANG 1.687 456

Jumlah 49.420 12.346

Jumlah Perbandingan Penduduk Menurut Jenis Kelamin Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2013

1 MUARA KUMPEH 3.703 1.881 1.823

2 PUDAK 4.678 2.424 2.254

3 KOTA KARANG 1.776 894 882

4 LOPAK ALAI 976 501 475

5 SAKEAN 1.506 806 700

6 KASANG PUDAK 2.626 1.346 1.280

7 SEI. TERAP 1.751 895 856

8 SUMBER JAYA 1.292 656 636

9 ARANG-ARANG 2.139 1.166 973

10 SIPIN TLK. DUREN 1.590 815 774

11 TELUK RAYA 1.830 913 917

12 RAMIN 1.747 929 819

13 PEMUNDURAN 1.184 580 604

14 SOLOK 1.737 889 849

15 KS.LOPAK ALAI 1.857 994 864

16 KS.PUDAK 12.606 6.579 6.028

17 KS.KUMPEH 4.733 2.418 2.315

18 KS.KOTA KARANG 1.687 850 837

Kepadatan Penduduk Menurut Desa Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh

Tahun 2013

1 MUARA KUMPEH 820 Ha 3.703

2 PUDAK 1.800 Ha 4.678

3 KOTA KARANG 663 Ha 1.776

(24)

5 SAKEAN 3.500 Ha 1.506

6 KASANG PUDAK 4.375 Ha 2.626

7 SEI. TERAP 4.000 Ha 1.751

8 SUMBER JAYA 7.500 Ha 1.292

9 ARANG-ARANG 14.120 Ha 2.139

10 SIPIN TLK. DUREN 3.200 Ha 1.590

11 TELUK RAYA 7.040 Ha 1.830

12 RAMIN 3.325 Ha 1.747

13 PEMUNDURAN 4.500 Ha 1.184

14 SOLOK 24.000 Ha 1.737

15 KS.LOPAK ALAI 450 Ha 1.857

16 KS.PUDAK 1.500 Ha 12.606

17 KS.KUMPEH 76,2 Ha 4.733

18 KS.KOTA KARANG 3,63 Ha 1.687

JUMLAH 99.38 Ha 49.420

Jumlah Keluarga Miskin Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2013

1 MUARA KUMPEH 856 463 12,8

2 PUDAK 1.267 281 7,8

3 KOTA KARANG 433 56 1,5

4 LOPAK ALAI 270 40 1,1

5 SAKEAN 390 86 2,4

6 KASANG PUDAK 625 346 9,5

7 SEI. TERAP 515 315 8,7

8 SUMBER JAYA 378 88 2,4

9 ARANG-ARANG 606 170 4,7

10 SIPIN TLK. DUREN 375 150 4,1

11 TELUK RAYA 457 120 3,3

12 RAMIN 452 56 1,5

13 PEMUNDURAN 285 120 3,3

14 SOLOK 497 71 2

15 KS.LOPAK ALAI 521 53 1,5

16 KS.PUDAK 2.814 1.037 28,6

17 KS.KUMPEH 1.149 125 3,4

18 KS.KOTA KARANG 456 48 1,3

JUMLAH 12.346 3.625 100

(25)

Jumlah Tenaga Kesehatan Menurut Unit Kerja Dilingkungan

1 Puskesmas Induk / Perawatan 32 36

2 Puskesmas Pembantu :

Proporsi Tenaga Kesehatan Menurut Unit Kerja Dilingkungan Puskesmas Muara Kumpeh Per 31 Desember 2013

(26)

- TKS 4 1 - 5

Jumlah 50 20 19 89

Rasio Tenaga Kesehatan Menurut Jumlah Penduduk Dilingkungan Puskesmas Muara Kumpeh Per 31 Desember 2013

N orang diperbantukan oleh Tenaga Kerja Sukarela (TKS) yang tersebar dalam wilayah kerja Puskesmas Muara Kumpeh.

E. Sumber Daya Sarana Dan Prasarana

(27)

7 Sepeda Motor 7 - 1 8

Jumlah 20 12 4 37

Jumlah Tenaga Kesehatan Menurut Unit Kerja Di lingkungan Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2013

N o

Unit Kerja Jumlah Persentase

1 2 3 4

1 Puskesmas Induk / Perawatan 32 36

2 Puskesmas Pembantu :

F. Sarana Pelayanan Kesehatan yang Ada

(28)

7 Sepeda Motor 7 - 1 8

Jumlah 20 12 4 37

G. Data kesehatan masyarakat

10 Penyakit Terbesar Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2013

N o

Nama Penyakit Penderita

Jumlah %

1 ISPA 1.695 29,9

2 Diare 1.062 18,7

3 Dermatitis Alergen 715 12,6

4 Penyakit Infeksi Usus 536 9,5

5 Hipertansi 499 8,8

6 Malaria Klinis 448 7,9

7 ISPA 209 3,7

8 Reumathik 189 3,3

9 Ruda Paksa 169 3

10 Febris 144 2,5

(29)

BAB IV

(30)

p

Menghubungi perangkat desa yang bersangkutan dan menentukan tempat dan waktu pelaksanaan

penyuluhan.

Menentukan tujuan, sasaran, dan informasi yang akan diberikan dalam penyuluhan berkaitan dengan

program yang bersangkutan.

Merumuskan masalah dari timbulnya angka kejadian melalui diskusi dengan pemegang program dan kunjungan rumah ke desa yang bersangkutan.

Memilih salah satu program yang belum mencapai target dan mempunyai angka kejadian luar biasa.

Melihat dan mempelajari target dan prioritas angka kejadian dari program yang ada.

Mempelajari program yang ada di Puskesmas Muaro Kumpeh dan menganalisa pencapaian masing-masing program

(31)

BAB V

HASIL

A. Laporan Kegiatan

Berdasarkan data standar pelayanan minimal di Puskesmas Muara Kumpeh, didapatkan beberapa program dengan pencapaian rendah atau belum memenuhi target. Setelah melakukan analisa program berikut tampilan data terhadap indikator keadaan gizi di wilayah kerja Puskesmas Muaro Kumpeh.

(32)

Laporan pencapaian indikator kinerja pembinaan gizi bulanan Kecamatan

15 KASANG KUMPEH 0 381 4

16 KASANG PUDAK 2 935 0

17 KS. KOTA KARANG 1 133 0 2

18 KS. LOPAK ALAI 0 139 0 1

JUMLAH 25 3851 9 8

Laporan pencapaian indikator kinerja pembinaan gizi bulanan Kecamatan Muaro Kumpeh

Bulan Mei 2014

(33)

GIZI

Tempat Balai desa Kasang Pudak

Metode Penyuluhan audiovisual

Postest Tanya jawab Sarana pendukung Laptop

LCD

(34)

balik (-)

Jumlah peserta posyandu

48 ( Oktober 2014) 63 (November 2014)

Keterangan:

• Umpan balik dinilai dari jawaban-jawaban yang diberikan terhadap

pertanyaan-pertanyaan yang diberikan setelah penyuluhan.

• Jumlah umpan balik (+): jumlah umpan balik dengan respon positif,

dimana peserta penyuluhan dikategorikan dengan pemahaman yang baik (skor ≥3)

• Jumlah umpan balik (-): jumlah umpan balikdengan respon negatif

dimana peserta penyuluhan dikategorikan belum cukup paham mengenai materi penyuluhan yang diberikan. (skor ≤ 2)

Penyuluhan dilakukan dengan beberapa sesi:

 Pada sesi pembuka dilakukan perkenalan dan pembicaraan ringan untuk memancing antusiasme ibu-ibu.

 Setelah didapatkan gambaran mengenai sedalam apa pemahaman peserta diajak untuk masuk kedalam sesi penyuluhan.

 Setelah penyuluhan dilakukan kembali evaluasi untuk menilai peningkatan pemahaman peserta terhadap informasi yang telah diberikan pada sesi sebelumnya.

 Acara diakhiri dengan sesi tanya jawab. Tanya jawab terbuka sesuai dengan topik pembicaraan dalam penyuluhan.

Diskusi

Sebagian besar ibu-ibu yang melakukan penimbangan pada anaknya (90%) dilakukan karena bersamaan dengan jadwal imunisasi sedangkan hanya sebagian kecil ibu-ibu yang menimbang anaknya tidak bersamamaan dengan imunisasi. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran ibu-ibu terhadap gizi anak

(35)

dari 1 anak dapat terlihat dari diskusi yang terjadi untuk mengetahui dan mengenal gejala gizi buruk.

Sementara rasa keingintahuan ibu-ibu muda yang baru memiliki anak pertama tentang mengenal gejala gizi buruk pun juga tampak dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan baik ditengah-tengah sesi penyuluhan maupun pada sesi tanya jawab.

Berdasarkan hasil dan pantauan yang ditemukan di lapangan dan dari sesi tanya jawab, dapat ditemukan bahwa mata pencaharian utama di desa tersebut bertani dan bekerjadi perkebunan, dengan latar pendidikan rendah dan memiliki pengetahuan yang rendah mengenai pemberian pola makan pada balita.

Secara keseluruhan umpan balik yang diberikan oleh semua ibu-ibu pada sesi posyandu cukup baik (64%). Terdapat pula kenaikan kunjungan posyandu dari bulan Oktober 2014 ( 48 orang ) dibandingkan dengan bulan November 2014 (63 orang) sebanyak 30 %

Kegiatan yang telah dilakukan ini tidak lepas pula dari banyaknya kekurangan terutama karena kurangnya waktu. Karena faktor waktu maka acara ini disatukan dengan acara penyuluhan yang dibawakan oleh dinas kesehatan Muaro Jambi.

(36)

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan kegiatan penyuluhan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:

 Masih rendah nya kesadaran ibu-ibu terhadap gizi anak

 Masih rendahnya pendidikan ibu-ibu di desa Kasang Pudak.

 Keadaan sosioekonomi desa Kasang Pudak juga masih rendah, dengan mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah sebagai bertani, berempang atau berkebun, baik di kebun sendiri atau di perkebunan. Keadaan ekonomi tersebut membuat peserta kadang merasa kesulitan memenuhi kebutuhan gizi seimbang untuk anak-anak mereka.

 Peserta yang sudah memiliki lebih dari 1 anak, tidak berarti sudah memahami dengan baik pemberian pola makan pada balita dan anak-anak mereka sekarang.

 Setelah diberikan penyuluhan yang menjadi kekawatiran ibu-ibu tersebut adalah kemungkinan kurangnya keikutsertaan anggota keluarga yang lain seperti bibi, nenek, kakek, maupun tetangga dari anak-anak balita tersebut.

Desa Kasang Pudak hanyalah satu dari 18 desa yang masuk ke dalam wilayah kerja Puskesmas Muaro Kumpeh, tetapi gambaran keseluruhan desa-desa yang berada dalam wilayah Puskesmas Muaro Kumpeh tidaklah jauh berbeda dengan keadaan desa Kasang Pudak. Oleh karena itu tidak tertutuop kemungkinan akan timbulnya kejadian gizi buruk dimasa depan dapat terjadi di desa lain maupun terjadi berulang di desa Kasang Pudak.

(37)

penyuluhan berkala di desa-desa lain mengenai bahaya dan mengenal gejala gizi buruk.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen

Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.

2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume

4, Nomor 1

3. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi.

Jakarta : Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi

Masyarakat.

4. Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta :

Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi

Masyarakat.

5. Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen

Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

6. Berhman dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta :

EGC.

7. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta

: Tim Adaptasi Indonesia-WHO Indonesia.

8. Astya Palupi, dkk. 2009. Status Gizi dan Hubungannya dengan Kejadian

Diare pada Anak Diare Akut di Ruang Rawat Inap RSUP dr. Sardjito

Yogyakarta dalam Jurnal Gizi Klinik Indonesia Volume 6, No.1 (hal 1-7).

9. Syaiful, muthowif. 2009. Hubungan Antara Kejadian Diare dengan Status

Gizi Anak Balita di Kelurahan Bekonang Kecamatan mojolaban Kabupaten

Sukoharjo. Surakarta.

10. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta :

(39)

11. Ngurah Suwarba dkk. Proil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan

Perkembangan Global di Rumah Sakit Cipto mangunkusumo Jakarta dalam

Sari Pediatri Volume 10. No.4. Denpasar : Departemen Ilmu Kesehatan

Anak Universitas Udayana.

12. Zuhriyah H. 2009. Faktor Risiko Disfasia Perkembangan pada Anak.

Semarang : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro.

(40)

LAMPIRAN

(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti menyusun sebuah penelitian tindakan bimbingan konseling dengan judul “Peningkatan Kepercayaan Diri dalam Presentasi

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) pedagang kaki lima yang menggunakan trotoar sebesar 57,1% termasuk kategori tidak mampu menyewa ruko, (2) luas lahan trotoar berubah fungsi

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa steam distillation yang dilakukan untuk pretreatment pada substrat jeruk berpengaruh terhadap kondisi substrat, yaitu mengurangi

Sebagai wadah artikulasi gerakan perempuan yang tergabung dalam IMM, maka Immawati dituntut memiliki peran dinamis, progresif,inovatif,serta proaktif terhadap setiap

Singkatnya, dalam hal ini perlu komunikasi umat dengan agama lain perlu dibuka aksesnya dengan tidak dilarang atau ditakut-takuti. Umat dibukakan akses dan

Kadar tepung kedelai optimum yang ditambahkan dalam pembuatan fish bah kwa ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) adalah 3% dan 10% untuk

Mengingat ada bagian dari senyawa polisiklis aromatis yang lebih mempunyai karakter ikatan rangkap, maka pada senyawa polisiklis aromatis dapat berlangsung reaksi- reaksi

Variabel dalam penelitian ini adalah minat siswa SMK Negeri dan Swsta kelas XI Program Keahlian Teknik Informatika di Wonosari untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan