MINI PROYEK
PENYULUHAN GIZI BALITA DI DESA KASANG
PUDAK SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN GIZI
BURUK
MUARA KUMPEH
Oleh:
dr. Rendy Andika, B.MedSc
Pembimbing:
dr. Hasanah Suryani Utami
Puskesmas Muara Kumpeh
Kabupaten Muaro Jambi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangUsia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang
sangat pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat
perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan
gizi.1
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan
nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi masalah
yang belum terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk banyak dialami oleh
bayi dibawah lima tahun (balita). Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi
telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya
adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus
bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat
karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman. Dengan alasan tersebut,
masalah ini selalu menjadi program penanganan khusus oleh pemerintah.2
Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum
menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk,
kurang vitamin A, anemia deisiensi besi, gangguan akibat kurang Yodium
dan gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di seluruh
tanah air. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain
adalah tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan sesuai
dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan perilaku keluarga
dalam meilih, mengolah, dan membagi makanan di tingkat rumah tangga,
ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan
aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat yang
berkualitas.3
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development
Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator,
kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari lima indikator
sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi
gizi kurang pada anak balita (indikator keempat) dan menurunnya jumlah
penduduk dengan deisit energi (indikator kelima).4
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan.
Hal ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada
anak balita dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010.
Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih
relatif besar.1
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya status gizi anak demi kepentingan pertumbuhan dan perkembangan anak
Tujuan
B.1.Tujuan Umum
Meningkatkan kesadaran masyarakan akan pentingnya gizi anak B.2.Tujuan Khusus
• Untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat desa
Kasang Pudak mengenai gangguan tumbuh kembang yang dapat terjadi pada anak yang kurang gizi.
• Meningkatkan kewaspadaan pada masyarakat mengenai
kemungkinan kurang gizi pada anak-anak mereka. C. Manfaat
C.1.Bagi Puskesmas
Dengan adanya penyuluhan mengenai bahaya gizi buruk dan pengenalan gejala gizi buruk pada masyarakat diharapkan terjadi peningkatan kesadaran akan pentingnya gizi dan membantu untuk mencegah berulangnya kejadian bayi gizi buruk di masa mendatang.
C.2.Bagi Dokter Internsip
• Memberikan pengalaman untuk terjun langsung di lapangan
dan berkoordinasi dengan masyarakat di desa.
• Sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kemampuan
untuk memahami permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.
C.3.Bagi Masyarakat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DeinisiGizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan
menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight
(Kemenkes RI, 2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang
gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus,
kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4
2. Epidemiologi
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun
Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data
Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score
WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan
mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995. Upaya pemerintahan tara lain
melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS)
dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi
Buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk
menjadi 10,1 % pada tahun 1998; 8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001.
Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali menjadi 8% dan pada
tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus, kwashiorkor,
marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi
lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan pada
balita disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal,
7% campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain.5
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan.
Hal ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada
Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih
relatif besar.
3. Klasiikasi Gizi Buruk
Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan
marasmus-kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri
atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.
3.1 Marasmus
Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak
cukup karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak
tepat seperti mereka yang hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena
kelainan metabolic atau malformasi congenital. Gangguan berat setiap
system tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.6
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat.
Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak
terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit),
rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan
(sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel
dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar.
Berikut adalah gejala pada marasmus adalah : 4
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan
otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
3.2 Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby),
bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein,
walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya
atroi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki
Walaupun deisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran
klinik dan kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan
protein tidak cukup bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan
protein terganggu, seperti pada keadaan diare kronik, kehilangan protein
abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka bakar, dan
gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati kronik .6
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari deisiensi protein
berat dan masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari
kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan
oleh infeksi kronik, akibat deisiensi vitamin dan mineral dapat turut
menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi
yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini terutama berada di
daerah industri belum bekembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi,
apatis atau iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan
tidak cukup, kurang stamuna, kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya
kerentanan terhadap infeksi, dan udem. Imunodeisiensi sekunder
merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius dan konstan. Pada
anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan
tonus otot. Hati membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat
iniltrasi lemak. Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan
mungkin ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam organ dalam sebelum
dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal, laju iltrasi
glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil pada
awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini
sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang
teriritasi tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari.
Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi atau dapat
generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya.
Pada anak yang berambut hitam, dispigmentasi menghasilkan corak merah
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia,
mual, muntah, dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan
atroi, tetapi kadang-kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan.
Perubahan mental, terutama iritabilitas dan apati sering ada. Stupor, koma
dan meninggal dapat menyertai.6
Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah
dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut
kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba
dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir
yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
3.3 Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung
protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita
demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal
memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.4
4. Etiologi
sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan
ditingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain
itu, pemeliharaan kesehatan juga memegang peranan penting. Di bawah ini
dijelaskan beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah gizibalita,
yaitu:
a. Tingkat Pendapatan Keluarga.
Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang
disediakan untuk konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh
peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga
lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlawanan hampir
universal.
Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua
dalam hal memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam
kondisi yang higienis.
b. Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi
didasarkan pada tiga kenyataan yaitu:
• Status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. • Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya
mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan
tubuh yang optimal.
• Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat
belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu
menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan
gizi seseorang,maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah
makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi.
Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan tentang
penilaian status gizi balita. Dengan demikian ibu bias lebih bijak menanggapi
c. Tingkatan Pendidikan Ibu.
Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi
rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, kebersihan pemeriksaan
kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan
gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula
pada factor social ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan
hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal.
Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini
bias dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat.
Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih
tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan bias
mengambil tindakan secepatnya.
Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk
menghadapi berbagai masalah, missal memintakan vaksinasi untuk
anaknya, memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta
KB. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan
mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka
untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan
anak maupun salah satu penjelasannya.
d. Akses Pelayanan Kesehatan.
Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical
service)dan pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara
umum akses kesehatan masyarakat adalah merupakan subsistem akses
kesehatan, yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan)
dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak
melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan
hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak kecil, sehingga dapat menurunkan
angka kematian. Pusat kesehatan yang paling sering melayani masyarakat,
membantu mengatasi dan mencegah gizi kurang melalui program-program
pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap dan
dekat dengan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan derajat
kesehatan. Dengan akses kesehatan masyarakat yang optimal kebutuhan
kesehatan dan pengetahuan gizi masyarakat akan terpenuhi.
4. Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri
dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda
tergantung dari derajat dan lamanya deplesi protein dan energi, umur
penderita, modiikasi disebabkan oleh karena adanya kekurangan vitamin
dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang
tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti
berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat.2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta
pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
• BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)
• Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh
tubuh(kwashiorkor : BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor :
BB/TB < -3SD.
Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis
berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak
mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan
pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa adanya edema.7
Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
isik. Anamnesis terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :
• Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan
muntah dan diare (encer/darah/lender)
• Kapan terakhir berkemih
• Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan tertangani)
• Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit • Riwayat pemberian ASI
• Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari
terakhir
• Hilangnya nafsu makan
• Kontak dengan campak atau tuberculosis paru • Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir • Batuk kronik
• Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung • Berat badan lahir
• Riwayat tumbuh kembang • Riwayat imunisasi
• Apakah ditimbang setiap bulan
• Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak) • Diketahui atau tersangka infeksi HIV .7
Pemeriksaan Fisik
• Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua
punggung kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB
• Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat),
kesadaran menurun
• Demam (suhu aksilar ≥ 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C) • Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung
• Sangat pucat
• Pembesaran hati dan ikterus
• Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda
asites
• Tanda deisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia) • Ulkus pada mulut
• Fokus infeksi : THT, paru, kulit • Lesi kulit pada kwashiorkor • Tampilan tinja
• Tanda dan gejala infeksi HIV
5. Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk
Bagan 1. Alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk
Bagan 3. Pemberian Cairan dan Makanan Untuk Stabilisasi
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase
stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus
trampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini
digunakan baik pada penderita kwashiorkor, marasmus maupun
marasmik-kwarshiorkor.
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima
makanan hingga ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein
(TETP). Tahap penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2
minggu atau lebih lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk
menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg,
makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah
formula yang dimodiikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa
+2% tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan
lembek. Bila ada, berikan ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti
makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan
makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap
dengan keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3
hari. Untuk meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan
memperoleh makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang
tua hendaknya diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang
mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai
dengan kemampuan daya belinya.
Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat
tanda-tanda hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila
terdapat hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI
peroral atau 100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat
xeroftalmia, vitamin A diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg
berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat
besi (Fe) dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang
Tabel 1.Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk
6. Dampak Gizi Buruk
Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan deisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi.
Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi ”stunting” (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Proil Komunitas Umum
Secara geograis wilayah Kecamatan Kumpeh Ulu berbatasan langsung dengan kota Jambi. Kecamatan ini berkembang cukup pesat akibat meningkatnya aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat kota, sehingga turut mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Kecamatan ini umumnya terdiri dari wilayah pedesaan dengan area pertanian dan perkebunan, dengan mata pencaharian sebagai buruh tani dan buruh perkebunan.
B. Data Geograis
Kecamatan Kumpeh Ulu mempunyai luas wilayah 40.588 Km2. B.2. Batas Wilayah
Wilayah Kecamatan Kumpeh Ulu berbatasan dengan:
• Sebelah Utara: berbatasan dengan kecamatan Muara Sebo. • Sebelah Timur: berbatasan dengan Kecamatan Kumpeh Ilir. • Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kecamatan Sungai
Gelam.
• Sebelah Barat: berbatasan dengan Kota Jambi.
Terdiri dari 18 Desa, yaitu:
1. Moaro Kumpeh
Jumlah Penduduk Menurut Desa Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh
10 SIPIN TLK. DUREN 1.590 375
11 TELUK RAYA 1.830 457
12 RAMIN 1.747 452
14 SOLOK 1.737 497
15 KS.LOPAK ALAI 1.857 521
16 KS.PUDAK 12.606 2.814
17 KS.KUMPEH 4.733 1.149
18 KS. KOTA KARANG 1.687 456
Jumlah 49.420 12.346
Jumlah Perbandingan Penduduk Menurut Jenis Kelamin Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2013
1 MUARA KUMPEH 3.703 1.881 1.823
2 PUDAK 4.678 2.424 2.254
3 KOTA KARANG 1.776 894 882
4 LOPAK ALAI 976 501 475
5 SAKEAN 1.506 806 700
6 KASANG PUDAK 2.626 1.346 1.280
7 SEI. TERAP 1.751 895 856
8 SUMBER JAYA 1.292 656 636
9 ARANG-ARANG 2.139 1.166 973
10 SIPIN TLK. DUREN 1.590 815 774
11 TELUK RAYA 1.830 913 917
12 RAMIN 1.747 929 819
13 PEMUNDURAN 1.184 580 604
14 SOLOK 1.737 889 849
15 KS.LOPAK ALAI 1.857 994 864
16 KS.PUDAK 12.606 6.579 6.028
17 KS.KUMPEH 4.733 2.418 2.315
18 KS.KOTA KARANG 1.687 850 837
Kepadatan Penduduk Menurut Desa Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh
Tahun 2013
1 MUARA KUMPEH 820 Ha 3.703
2 PUDAK 1.800 Ha 4.678
3 KOTA KARANG 663 Ha 1.776
5 SAKEAN 3.500 Ha 1.506
6 KASANG PUDAK 4.375 Ha 2.626
7 SEI. TERAP 4.000 Ha 1.751
8 SUMBER JAYA 7.500 Ha 1.292
9 ARANG-ARANG 14.120 Ha 2.139
10 SIPIN TLK. DUREN 3.200 Ha 1.590
11 TELUK RAYA 7.040 Ha 1.830
12 RAMIN 3.325 Ha 1.747
13 PEMUNDURAN 4.500 Ha 1.184
14 SOLOK 24.000 Ha 1.737
15 KS.LOPAK ALAI 450 Ha 1.857
16 KS.PUDAK 1.500 Ha 12.606
17 KS.KUMPEH 76,2 Ha 4.733
18 KS.KOTA KARANG 3,63 Ha 1.687
JUMLAH 99.38 Ha 49.420
Jumlah Keluarga Miskin Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2013
1 MUARA KUMPEH 856 463 12,8
2 PUDAK 1.267 281 7,8
3 KOTA KARANG 433 56 1,5
4 LOPAK ALAI 270 40 1,1
5 SAKEAN 390 86 2,4
6 KASANG PUDAK 625 346 9,5
7 SEI. TERAP 515 315 8,7
8 SUMBER JAYA 378 88 2,4
9 ARANG-ARANG 606 170 4,7
10 SIPIN TLK. DUREN 375 150 4,1
11 TELUK RAYA 457 120 3,3
12 RAMIN 452 56 1,5
13 PEMUNDURAN 285 120 3,3
14 SOLOK 497 71 2
15 KS.LOPAK ALAI 521 53 1,5
16 KS.PUDAK 2.814 1.037 28,6
17 KS.KUMPEH 1.149 125 3,4
18 KS.KOTA KARANG 456 48 1,3
JUMLAH 12.346 3.625 100
Jumlah Tenaga Kesehatan Menurut Unit Kerja Dilingkungan
1 Puskesmas Induk / Perawatan 32 36
2 Puskesmas Pembantu :
Proporsi Tenaga Kesehatan Menurut Unit Kerja Dilingkungan Puskesmas Muara Kumpeh Per 31 Desember 2013
- TKS 4 1 - 5
Jumlah 50 20 19 89
Rasio Tenaga Kesehatan Menurut Jumlah Penduduk Dilingkungan Puskesmas Muara Kumpeh Per 31 Desember 2013
N orang diperbantukan oleh Tenaga Kerja Sukarela (TKS) yang tersebar dalam wilayah kerja Puskesmas Muara Kumpeh.
E. Sumber Daya Sarana Dan Prasarana
7 Sepeda Motor 7 - 1 8
Jumlah 20 12 4 37
Jumlah Tenaga Kesehatan Menurut Unit Kerja Di lingkungan Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2013
N o
Unit Kerja Jumlah Persentase
1 2 3 4
1 Puskesmas Induk / Perawatan 32 36
2 Puskesmas Pembantu :
F. Sarana Pelayanan Kesehatan yang Ada
7 Sepeda Motor 7 - 1 8
Jumlah 20 12 4 37
G. Data kesehatan masyarakat
10 Penyakit Terbesar Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2013
N o
Nama Penyakit Penderita
Jumlah %
1 ISPA 1.695 29,9
2 Diare 1.062 18,7
3 Dermatitis Alergen 715 12,6
4 Penyakit Infeksi Usus 536 9,5
5 Hipertansi 499 8,8
6 Malaria Klinis 448 7,9
7 ISPA 209 3,7
8 Reumathik 189 3,3
9 Ruda Paksa 169 3
10 Febris 144 2,5
BAB IV
p
Menghubungi perangkat desa yang bersangkutan dan menentukan tempat dan waktu pelaksanaan
penyuluhan.
Menentukan tujuan, sasaran, dan informasi yang akan diberikan dalam penyuluhan berkaitan dengan
program yang bersangkutan.
Merumuskan masalah dari timbulnya angka kejadian melalui diskusi dengan pemegang program dan kunjungan rumah ke desa yang bersangkutan.
Memilih salah satu program yang belum mencapai target dan mempunyai angka kejadian luar biasa.
Melihat dan mempelajari target dan prioritas angka kejadian dari program yang ada.
Mempelajari program yang ada di Puskesmas Muaro Kumpeh dan menganalisa pencapaian masing-masing program
BAB V
HASIL
A. Laporan KegiatanBerdasarkan data standar pelayanan minimal di Puskesmas Muara Kumpeh, didapatkan beberapa program dengan pencapaian rendah atau belum memenuhi target. Setelah melakukan analisa program berikut tampilan data terhadap indikator keadaan gizi di wilayah kerja Puskesmas Muaro Kumpeh.
Laporan pencapaian indikator kinerja pembinaan gizi bulanan Kecamatan
15 KASANG KUMPEH 0 381 4
16 KASANG PUDAK 2 935 0
17 KS. KOTA KARANG 1 133 0 2
18 KS. LOPAK ALAI 0 139 0 1
JUMLAH 25 3851 9 8
Laporan pencapaian indikator kinerja pembinaan gizi bulanan Kecamatan Muaro Kumpeh
Bulan Mei 2014
GIZI
Tempat Balai desa Kasang Pudak
Metode Penyuluhan audiovisual
Postest Tanya jawab Sarana pendukung Laptop
LCD
balik (-)
Jumlah peserta posyandu
48 ( Oktober 2014) 63 (November 2014)
Keterangan:
• Umpan balik dinilai dari jawaban-jawaban yang diberikan terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan setelah penyuluhan.
• Jumlah umpan balik (+): jumlah umpan balik dengan respon positif,
dimana peserta penyuluhan dikategorikan dengan pemahaman yang baik (skor ≥3)
• Jumlah umpan balik (-): jumlah umpan balikdengan respon negatif
dimana peserta penyuluhan dikategorikan belum cukup paham mengenai materi penyuluhan yang diberikan. (skor ≤ 2)
Penyuluhan dilakukan dengan beberapa sesi:
Pada sesi pembuka dilakukan perkenalan dan pembicaraan ringan untuk memancing antusiasme ibu-ibu.
Setelah didapatkan gambaran mengenai sedalam apa pemahaman peserta diajak untuk masuk kedalam sesi penyuluhan.
Setelah penyuluhan dilakukan kembali evaluasi untuk menilai peningkatan pemahaman peserta terhadap informasi yang telah diberikan pada sesi sebelumnya.
Acara diakhiri dengan sesi tanya jawab. Tanya jawab terbuka sesuai dengan topik pembicaraan dalam penyuluhan.
Diskusi
Sebagian besar ibu-ibu yang melakukan penimbangan pada anaknya (90%) dilakukan karena bersamaan dengan jadwal imunisasi sedangkan hanya sebagian kecil ibu-ibu yang menimbang anaknya tidak bersamamaan dengan imunisasi. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran ibu-ibu terhadap gizi anak
dari 1 anak dapat terlihat dari diskusi yang terjadi untuk mengetahui dan mengenal gejala gizi buruk.
Sementara rasa keingintahuan ibu-ibu muda yang baru memiliki anak pertama tentang mengenal gejala gizi buruk pun juga tampak dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan baik ditengah-tengah sesi penyuluhan maupun pada sesi tanya jawab.
Berdasarkan hasil dan pantauan yang ditemukan di lapangan dan dari sesi tanya jawab, dapat ditemukan bahwa mata pencaharian utama di desa tersebut bertani dan bekerjadi perkebunan, dengan latar pendidikan rendah dan memiliki pengetahuan yang rendah mengenai pemberian pola makan pada balita.
Secara keseluruhan umpan balik yang diberikan oleh semua ibu-ibu pada sesi posyandu cukup baik (64%). Terdapat pula kenaikan kunjungan posyandu dari bulan Oktober 2014 ( 48 orang ) dibandingkan dengan bulan November 2014 (63 orang) sebanyak 30 %
Kegiatan yang telah dilakukan ini tidak lepas pula dari banyaknya kekurangan terutama karena kurangnya waktu. Karena faktor waktu maka acara ini disatukan dengan acara penyuluhan yang dibawakan oleh dinas kesehatan Muaro Jambi.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan kegiatan penyuluhan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
Masih rendah nya kesadaran ibu-ibu terhadap gizi anak
Masih rendahnya pendidikan ibu-ibu di desa Kasang Pudak.
Keadaan sosioekonomi desa Kasang Pudak juga masih rendah, dengan mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah sebagai bertani, berempang atau berkebun, baik di kebun sendiri atau di perkebunan. Keadaan ekonomi tersebut membuat peserta kadang merasa kesulitan memenuhi kebutuhan gizi seimbang untuk anak-anak mereka.
Peserta yang sudah memiliki lebih dari 1 anak, tidak berarti sudah memahami dengan baik pemberian pola makan pada balita dan anak-anak mereka sekarang.
Setelah diberikan penyuluhan yang menjadi kekawatiran ibu-ibu tersebut adalah kemungkinan kurangnya keikutsertaan anggota keluarga yang lain seperti bibi, nenek, kakek, maupun tetangga dari anak-anak balita tersebut.
Desa Kasang Pudak hanyalah satu dari 18 desa yang masuk ke dalam wilayah kerja Puskesmas Muaro Kumpeh, tetapi gambaran keseluruhan desa-desa yang berada dalam wilayah Puskesmas Muaro Kumpeh tidaklah jauh berbeda dengan keadaan desa Kasang Pudak. Oleh karena itu tidak tertutuop kemungkinan akan timbulnya kejadian gizi buruk dimasa depan dapat terjadi di desa lain maupun terjadi berulang di desa Kasang Pudak.
penyuluhan berkala di desa-desa lain mengenai bahaya dan mengenal gejala gizi buruk.
DAFTAR PUSTAKA
. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen
Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume
4, Nomor 1
3. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi.
Jakarta : Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.
4. Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta :
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.
5. Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen
Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
6. Berhman dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta :
EGC.
7. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta
: Tim Adaptasi Indonesia-WHO Indonesia.
8. Astya Palupi, dkk. 2009. Status Gizi dan Hubungannya dengan Kejadian
Diare pada Anak Diare Akut di Ruang Rawat Inap RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta dalam Jurnal Gizi Klinik Indonesia Volume 6, No.1 (hal 1-7).
9. Syaiful, muthowif. 2009. Hubungan Antara Kejadian Diare dengan Status
Gizi Anak Balita di Kelurahan Bekonang Kecamatan mojolaban Kabupaten
Sukoharjo. Surakarta.
10. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta :
11. Ngurah Suwarba dkk. Proil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan
Perkembangan Global di Rumah Sakit Cipto mangunkusumo Jakarta dalam
Sari Pediatri Volume 10. No.4. Denpasar : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Universitas Udayana.
12. Zuhriyah H. 2009. Faktor Risiko Disfasia Perkembangan pada Anak.
Semarang : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro.